BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan sebagai upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya. Dengan memperhatikan pentingnya peranan kesehatan bagi masyarakat Indonesia, maka diperlukan upaya yang lebih memadai bagi peningkatan derajat kesehatan secara menyeluruh dan terpadu. Salah satu upaya kesehatan dapat dilakukan dengan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dengan transfusi darah (UU No 23 tahun 1992). Transfusi darah adalah bagian dari pelayanan kesehatan rakyat dan merupakan suatu bentuk pertolongan yang sangat berharga kepada umat manusia. Pelayanan transfusi darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang meliputi perencanaan, pengerahan dan pelestarian pendonor darah, penyediaan darah, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (PP No 7 tahun 2011). Pemakaian darah yang semakin meningkat menyebabkan terjadinya kepincangan antara pengadaan darah dan kebutuhan darah. Kebutuhan transfusi darah secara universal untuk menangani pasien anemia berat, pasien dengan kelainan darah bawaan, pasien yang mengalami kecederaan parah, pasien yang hendak menjalankan tindakan bedah operatif dan pasien yang mengalami penyakit liver ataupun penyakit lainnya yang mengakibatkan tubuh pasien tidak dapat memproduksi darah atau komponen darah sebagaimana mestinya. Pada negara berkembang, transfusi darah juga diperlukan untuk menangani kegawat daruratan melahirkan dan anak-anak malnutrisi yang berujung pada anemia berat (Tako et al., 2007). Dalam menunjang tercapainya tujuan pembangunan millenium (Millenium Development Goals/MGDs) transfusi darah berperan dalam mewujudkan tujuan ke-5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu dengan menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara tahun 1990 sampai tahun 2015, karena salah satu
1
2
penyebab kematian ibu adalah komplikasi kehamilan yang menyebabkan pendarahan. Di Indonesia, 500.000 wanita hamil meninggal setiap tahun, 28% nya dikarenakan kehabisan darah (Armida, 2010). Transfusi darah juga diperlukan untuk manajemen Demam Berdarah Dengue (DBD) dan bencana alam. Syok DBD yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan anoksia jaringan, asidosis metabolic dan berakhir dengan kematian. Salah satu cara penanggulangan syok dan pendarahan adalah dengan hemoterapi. Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi pendarahan nyata, sedangkan plasma darah dan atau suspensi trombosit untuk pasien dengan pendarahan masif (Depkes, 2004). Berdasarkan data penyakit DBD di Kota Yogyakarta, dari tahun ke tahun selalu ada kasus DBD. Pada tahun 2010 terdapat 26 orang yang menderita DBD setiap 10.000 jiwa (Dinkes Kota Jogja, 2010). Peningkatan kebutuhan darah di Yogyakarta juga dikarenakan seringnya terkena bencana. Dalam laporan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 2009-2013 disebutkan bahwa secara geologis DIY merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang rawan terhadap bencana alam. Potensi bencana alam yang berkaitan dengan bahaya geologi di Yogyakarta meliputi bahaya alam Gunung Merapi, bahaya gerakan tanah/batuan dan erosi, bahaya banjir dan kekeringan, serta bahaya gempa bumi dan tsunami (Perda No 4 tahun 2009). Bencana alam yang terjadi dapat mendorong peningkatan kebutuhan darah yang tidak sedikit, sehingga dibutuhkan para pendonor darah, terutama pendonor darah tetap sukarela. Pendonor
darah
adalah
orang
yang
menyumbangkan
darah
atau
komponennya kepada pasien untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pendonoran darah dilakukan dengan sukarela dan harus memberikan informasi yang benar perihal kesehatan dan perilaku hidupnya (PP No 7 tahun 2011). Dengan merekrut pendonor darah sukarela berarti kita sudah merekrut pendonor darah berisiko rendah, karena para pendonor darah sukarela biasanya cenderung menyumbangkan darah secara teratur akan mempunyai risiko rendah terhadap infeksi yang dapat ditularkan melalui transfusi (Julia & Sumantri, 2010).
3
Unit Donor Darah (UDD) merupakan tempat pelaksana teknis pelayanan transfusi darah. Adapun pelayanan darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengatur pengerahan dan
pelestarian pendonor darah untuk menjamin
ketersediaan darah (PP No 7 tahun 2011). Istilah Unit Transfusi Darah (UTD) sejak tanggal 6 Januari 2011 berdasarkan SK PP No. 002/KEP/PP PMI/I/2011 namanya secara resmi diganti menjadi UDD. Saat ini di seluruh Indonesia terdapat 188 UDD yang terletak di setiap kota dan kabupaten. Namun seiring dengan adanya pemekaran daerah setelah otonomi daerah menjadi 408 UDD (PMI, 2013). Di DIY terdapat 5 UDD yang tersebar di tiap kabupaten dan kota. Setiap UDD harus melakukan pendataan pendonor darah melalui sistem informasi. Pendataan sebagaimana dilakukan dengan tujuan untuk pelestarian pendonor darah secara nasional (PP No 7 tahun 2011). UDD PMI Kota Yogyakarta yang telah menggunakan Sistem Informasi Manajemen (SIM) dengan komputerisasi yang terhubung jaringan dalam pendataan pendonor darah, sehingga memudahkan pemanggilan kembali pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin. Jumlah penduduk Kota Yogyakarta adalah 462.752 jiwa (BPS, 2012). Kebutuhan darah menurut Hollan (2009) adalah 2% dari jumlah penduduk suatu wilayah, yaitu 13.883 kantong darah per tahun atau membutuhkan sekitar 4.623 pendonor tetap yang mendonorkan darahnya secara rutin 2 sampai 3 kali dalam satu tahun. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan direktur UDD PMI Kota Yogyakarta tanggal 10 Februari 2012 kenyataannya UDD PMI Kota Yogyakarta membutuhkan darah sekitar 36.000 kantong darah per tahun, sedangkan untuk memenuhi permintaan darah dari pasien rumah sakit hanya mampu memenuhi sekitar 50% dari permintaan tiap bulan. Hal ini disebabkan UDD PMI Kota Yogyakarta tidak hanya melayani rumah sakit lingkup Kota Yogyakarta saja, namun juga banyak permintaan dari luar DIY seperti Kabupaten Klaten dan Kabupaten Purworejo. Jumlah seluruh pendonor darah yang tercatat dalam buku register donor darah periode tahun 2012 adalah 15.000 orang pendonor, dengan
4
rincian 3.150 orang pendonor pengganti (21%) dan 11.850 (79%) orang pendonor darah sukarela. Anjuran WHO dalam Deklarasi Melbourne pada bulan Juni 2009 mencanangkan pencapaian 100% donor darah sukarela di setiap negara di dunia pada tahun 2020 (WHO, 2010). Dari pendonor sukarela di atas tidak semuanya menjadi pendonor darah tetap, hanya 60% yang mendonorkan darahnya secara rutin. WHO (1988) menyebutkan bahwa pendonor rutin adalah orang yang menyumbangkan darah 2 sampai 3 kali setahun dan terus menyumbangkan setidaknya sekali setahun. Penyebaran informasi dan persuasi merupakan aspek penting dari perekrutan pendonor darah. Pendonor mendapatkan informasi mengenai kebutuhan negara untuk donor darah, kekurangan darah dan kecepatan serta kemudahan. Komunikasi tertulis seperti brosur, poster dan leaflet informasi adalah segala bentuk komunikasi tertulis yang penting. Bahan harus menarik perhatian, mudah dipahami, dan menjadi selaras dengan kondisi setempat (Hollan, 1990). Bila kita tinjau dari sisi budaya masyarakat Jawa, khususnya masyarakat
DIY dalam
Pergub DIY No 17 tahun 2010 disebutkan bahwa masyarakat DIY mempunyai potensi budaya
intangible (tidak bisa diraba/non fisik) seperti gagasan, ide,
sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang berlaku dalam masyarakat yang tinggi. Theory of planned behaviour (TPB) merupakan salah satu teori yang menghubungkan sikap dan perilaku yang merupakan penyempurnaan dari theory of reasoned action, selain sikap dan norma subjektif, TPB menambahkan perceived behaviour control (PBC) atau self-efficacy yang berasal dari Social Cognitive Theory. Self-efficacy sebagai keyakinan bahwa seseorang dapat berhasil melaksanakan perilaku untuk mendapatkan hasil tertentu yang lebih produktif, dalam hal ini self-efficacy merupakan prasyarat penting dalam perubahan perilaku (Ajzen, 1991). TPB telah dibuktikan dalam banyak penelitian. Penelitian sebelumnya yang menggunakan pendekatan TPB di Australia untuk melihat intensi mendonorkan darah pada orang yang bukan pendonor dan pendonor baru menunjukkan bahwa sikap, norma subjektif, penyesalan,
self-efficacy, norma moral,
kecemasan dari pendonor darah sebelumnya dan identitas diri
5
sebagai pendonor darah secara signifikan dapat mempengaruhi terhadap intensi orang-orang untuk mendonorkan darahnya (Robinson et al., 2008). Berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Robinson (2008) dengan pendekatan TPB dan hasilnya mempunyai pengaruh adanya intensi untuk mendonorkan darah pada orang yang bukan pendonor dan pendonor baru, maka penelitian ini terfokus pada berbagai faktor yang mempengaruhi seseorang untuk mendonorkan darah secara tetap sukarela. Dalam hal ini peneliti mencoba mengkaitkan antara intensi mendonorkan darah dengan TPB oleh Ajzen (2005) yaitu sikap, norma subjektif dan PBC. Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, perlu diteliti hubungan sikap, norma subjektif dan PBC dengan intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Berdasarkan data dan fakta yang diuraikan dalam latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Masalah Umum : Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta ?
2.
Masalah Khusus : a.
Apakah ada hubungan antara sikap dengan intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta ?
b.
Apakah ada hubungan antara norma subjektif dengan intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta ?
c.
Apakah ada hubungan antara
PBC dengan intensi pendonor darah
sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta ?
6
d.
Apakah ada peran masing-masing variabel sikap, norma subjektif dan PBC terhadap intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta ? C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum : Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta.
2.
Tujuan Khusus : a.
Diketahuinya hubungan antara sikap dengan intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta.
b.
Diketahuinya hubungan antara norma subjektif dengan intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta.
c.
Diketahuinya hubungan antara PBC dengan intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta.
d.
Diketahuinya peran masing-masing variabel sikap, norma subjektif dan PBC terhadap intensi pendonor darah sukarela untuk mendonorkan darah secara rutin di UDD PMI Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian
1.
Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu dibidang KIE dan promosi kesehatan, terutama penerapan TPB dalam menyusun strategi untuk melestarikan program donor darah tetap sukarela.
2.
Bagi Unit Donor Darah Penelitian ini dapat memberi masukan kepada UDD Kota Yogyakarta dalam program rekrutmen donor darah sehingga akan semakin banyak pendonor sukarela yang mendonorkan darah secara rutin.
7
3.
Bagi Peneliti lain Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi peneliti lain, khususnya para peneliti yang akan melakukan penelitian di bidang serupa. E. Keaslian Penelitian Setelah melakukan kajian pustaka atas beberapa penelitian serupa,
ditemukan beberapa penelitian yang sejenis yang mengkaji tentang penerapan TPB terhadap motivasi seseorang melakukan perilaku sukarela, khususnya yang tekait dengan perilaku seseorang untuk mendonorkan darahnya secara sukarela. Penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian relevan terdahulu, seperti diuraikan berikut : 1.
Robinson et al. (2008), melakukan penelitian yang berjudul Predicting intentions to donate blood among nondonors in Australia: an extended theory of planned behavior. Hasil Penelitian : Variabel standar dalam TPB (sikap, norma subjektif dan PBC) diperluas dengan variabel prediktor yaitu moral, norma subjektif, kecemasan berhubungan signifikan dengan intensi orang yang bukan pendonor dan pendonor darah baru untuk menyumbangkan darah pertama kalinya. Persamaan Penelitian : Variabel independen yaitu sikap, norma subjektif, dan PBC. Perbedaan Penelitian : Lokasi, subjek dan variabel dependen adalah intensi untuk mendonorkan darah pertama kali, sedangkan dalam penelitian ini adalah intensi untuk mendonorkan darah secara sukarela.
2.
Renate et al. (2006), melakukan penelitian yang berjudul Study on the knowledge, beliefs, perceptions, attitudes and practices on voluntary nonremunerated blood donations in Namibia. Hasil
Penelitian:
Pengetahuan,
keyakinan,
sikap,
praktek,
komunikasi/media mempengaruhi sumbangan donor darah tetap sukarela di Namibia.
8
Persamaan penelitian : Variabel dependen yaitu pada donor darah tetap. Perbedaan penelitian : Desain penelitian, tempat, waktu dan variabel bebasnya, dimana (Renate et al., 2006) variabel bebasnya adalah pengetahuan, keyakinan, praktek, komunikasi/media, sedangkan dalam penelitian ini, norma subjektif, dan PBC. 3.
Giacomini & Wilson (2009), melakukan penelitian yang berjudul Strategies to increase recruitment of voluntary and habitual blood donors. Hasil Penelitian : Ada kebutuhan untuk mengembangkan strategi komunikasi untuk mengurangi rasa takut dan untuk memotivasi sumbangan darah. Selain itu, ada kebutuhan untuk mengembangkan filosofi perawatan berdasarkan humanisasi untuk meningkatkan perekrutan donor darah sukarela dan menjadi suatu kebiasaan. Persamaan penelitian : Topik yaitu donor darah secara rutin. Perbedan penelitian : Lokasi dan desain penelitian dimana (Giacomini & Wilson, 2009) menggunakan desain penelitian kualitatif dan dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif.