BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cerita bersambung atau cerbung merupakan salah satu bentuk hasil karya sastra. Karya sastra pada umumnya merupakan sebuah dunia tersendiri yang berusaha dilahirkan kembali oleh pengarang (Dahana, 2001:7). Kelahiran kembali karya sastra oleh pengarang diharapkan mampu memunculkan kenikmatan batin dan penambah khasanah bahasa bagi pembaca. Seorang pengarang mampu mengungapkan hal yang dialaminya maupun yang muncul dari inspirasi kehidupan nyata dan diwujudkan ke dalam bentuk tulisan. Berbagai peristiwa dalam kehidupan nyata diangkat oleh pengarang melalui karya-karyanya. Kompleksitas dan problema manusia hidup dapat ditemui pada karya-karya sastra. Sebuah karya sastra fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetapi merupakan bangunan struktur yang koheren,dan tetap mempunyai tujuan estetis (Wellek & Warren dalam Nurgiyantoro, 2010:3). Jadi fiksi adalah cerita rekaan yang tetap mementingkan tujuan estetik pada peristiwa-peristiwa yang termuat dalam cerita. Pengarang atau penulis memberikan intensinya dalam karyanya. Sebuah karya sastra tidak lepas dari penulisnya. Karya sastra merupakan penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang dan menghasilkan kehidupan yang diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang. Karya sastra lahir
1
2
di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya (Pradopo, 2008:114). Tinjauan psikologis yang dilakukan peneliti dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto merupakan suatu tinjauan aspek psikologis yang berhubungan dengan sikap, rasa dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh utama dalam mewujudkan impiannya dalam cerbung Ngonceki Impen yaitu Waskitha. Hal tersebut menjadikan peneliti tertarik dengan problem-problem yang dialami oleh tokoh utama Waskitha dalam mewujudkan impiannya. Konflik yang dihadapi Waskitha antara lain, pertama ia harus menempuh kuliah lagi karena tuntutan profesi di saat ekonominya belum mapan dan belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua, ditengah-tengah kuliah Waskitha harus membangun rumah sendiri karena rumah yang ia tempati merupakan milik kerabatnya. Ketiga, Waskitha rela melepaskan kuliahnya demi mewujudkan impiannya membangun rumah. Biaya yang sedianya untuk keperluan kuliah dipakai untuk modal membangun rumah. Pertemuan Waskitha dengan Wirasthi, sosok perempuan yang dulu pernah menjadi kekasihnya, dan sekarang menjadi dosennya, sedikit banyak mempengaruhi konflik-konflik psikis dalam diri Waskitha. Konflik yang terakhir yaitu, setelah Waskitha bisa membangun rumah kemudian datang orang ketiga yang berniat merusak rumah tangganya. Waskitha tidak pernah menyerah dalam menghadapi setiap tantangan dan masalah dalam hidupnya. Ia optimis dan memiliki keyakinan yang kuat bahwa orang yang memiliki pandangan positif terhindar dari kemungkinan-kemungkinan menemui peristiwa yang tidak menyenangkan.
3
Optimisme adalah suatu harapan yang ada pada individu bahwa segala sesuatu akan berjalan menuju ke arah kebaikan (Lopes & Sinder, 2003: 47). Perasaan optimisme membawa individu pada tujuan yang diinginkan, yakni pada diri dan kemampuan yang dimiliki. Sikap optimisme menjadikan seseorang keluar dengan cepat dari permasalahan yang dihadapi karena adanya pemikiran dan perasaan memiliki kemampuan. Juga didukung anggapan bahwa setiap orang memiliki keberuntungan sendiri-sendiri. Sri Sugiyanto menekuni hobi menulis sejak duduk di bangku SMP. Karya-karya Sri Sugiyanto yang telah dimuat dan dipublikasikan antara lain: cerkak “Randha Kembang” (1981) dalam majalah Panjebar Semangat, cerkak “Impen Kang Mranggas” (2015) dalam majalah Panjebar Semangat, Karya dalam bentuk cerbung, antara lain: cerita bersambung yang berjudul “Janggrung” (2006) dalam majalah Panjebar Semangat, telah diteliti oleh Nur Cahyo Wahyu Broto dari UNS dengan tinjauan kritik sastra ekspresif, cerita bersambung berjudul “Nglacak Singlon Sardula Krodha” (2000) dalam majalah Panjebar Semangat, dan “Ngonceki Impen” (2014) dalam majalah Panjebar Semangat. Karyanya yang berbentuk novel antara lain: Novelette yang berjudul “Titisan Derai Kasih” (2000) dalam Majalah FEMINA dan ”Selendang Buat Inuk” (2002) dalam Majalah FEMINA. Ngonceki Impen merupakan salah satu karya Sri Sugiyanto yang berbentuk cerbung. Cerbung Ngonceki Impen ini menjadi salah satu koleksi di Monumen Pers Nasional, Surakarta. Cerbung Ngonceki Impen dimuat dalam majalah Panjebar Semangat pada edisi nomor 10, tanggal 8 Maret 2014 sampai dengan edisi nomor 33, tanggal 16 Agustus 2014 sebanyak 24 episode. Setiap episode
4
dalam cerbung ini disertai dengan gambar ilustrasi dan kutipan beberapa baris kalimat yang ditulis menggunakan huruf Jawa, yang menunjukkan intisari cerita per episodenya sehingga pembaca lebih mudah memahami jalannya cerita. Cerbung Ngonceki Impen merupakan karya fiksi yang menarik, menggunakan latar belakang kehidupan pedesaan yang masih tradisional, kekeluargaan, dan norma serta etika masih dijunjung tinggi. Pengarang mengusung topik keluarga dengan tokoh utama Waskitha sebagai kepala keluarga. Permasalahan-permasalahan yang dialami oleh Waskitha ini menimbulkan aspekaspek psikologi berupa rasa, sikap dan kepribadian dalam setiap menemui persoalan. Sikap dan optimisme tokoh utama menjadi hal pokok yang digunakan dalam penelitian ini. Pengarang menunjukkan kreativitas dalam cerbung Ngonceki Impen dengan membawa topik keluarga kecil yang belum mapan dalam ceritanya sehingga pembaca merasa seolah-olah berada dalam cerita tersebut dan menyesuaikan dengan kehidupan nyata sekarang ini. Cerbung Ngonceki Impen ditinjau dari segi isi dan bahasa sangat baik dan tertata sehingga para pembaca dan penikmat sastra dengan mudah bisa memahami dan menikmati dari paparan para tokoh dan paparan langsung sehingga mempunyai ruang pengolahan karakter lebih kompleks. Gaya yang dipaparkan Sri Sugiyanto melalui karakter, alur, dan latar dalam cerbung Ngonceki Impen seakan pembaca lebih dekat dengan konflik yang terjadi dan dialami Waskitha dalam cerita. Penelitian terhadap cerbung Ngonceki Impen penting untuk diteliti atas dasar: pertama, dari segi isi pengarang menampilkan sesuatu yang baru, yaitu kehidupan berumah tangga dan tantangan hidup di jaman serba modern. Kedua, cerbung Ngonceki Impen belum pernah diteliti secara akademik menggunakan
5
teori sastra. Cerbung ini menarik untuk dijadikan objek penelitian dengan tinjauan psikologi sastra, karena menghadirkan kepribadian dan karakter tokoh utama yang berprofesi sebagai guru dengan teori psikologi Jawa Ki ageng Suryamentaram. Cerbung Ngonceki Impen, dilihat dari unsur-unsur strukturnya, terdapat suatu jalinan yang utuh dan mudah dimengerti. Manfaat dari penelitian ini yaitu manfaat secara teoritis dan secara praktis. Manfaat secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu khasanah pengetahuan dan dapat memberikan gambaran sebuah pendekatan yang dapat dipergunakan terhadap obyek-obyek penelitian karya fiksi lainnya, yang dalam hal ini menggunakan pendekatan struktural dimana keterkaitan antar unsur pembangunnya lebih ditekankan, sehingga mampu mempertajam suasana akademis bagi pembacanya. Manfaat secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pembaca dan penikmat pada umumnya serta dapat dijadikan perbandingan untuk penelitian lain yang sejenis. Mengingat isi cerbung Ngonceki Impen menunjukkan adanya profil kepribadian seorang yang memiliki rasa optimis, maka peneliti tertarik untuk mengkaji cerbung ini dengan pendekatan psikologi sastra. Penelitian ini berjudul “Optimisme Tokoh Utama dalam Cerita Bersambung Ngonceki Impen Karya Sri Sugiyanto (Suatu Tinjauan Psikologi Sastra)”.
6
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah berkaitan dengan apa yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur yang membangun cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto yang meliputi fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi)? 2. Bagaimanakah kejiwaan tokoh utama dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto menurut teori psikologi Jawa Ki Ageng Suryamentaram? 3. Bagaimanakah keadaan optimisme tokoh utama dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian berfungsi untuk menjawab rumusan masalah yang sudah ditemukan. Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1. Memaparkan struktur yang membangun cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto yang meliputi fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi). 2. Memaparkan dan mengungkapkan kejiwaan tokoh utama dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto menurut psikologi Jawa Ki Ageng Suryamentaram.
7
3. Memaparkan dan mengungkapkan sikap optimis tokoh utama dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto.
D. Batasan Masalah Pembatasan masalah bertujuan supaya inti permasalahan yang ingin dicapai dalam penelitian ini tidak meluas. Penelitian terhadap cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto terlebih dahulu dianalisisi menggunakan pendekatan struktural menurut Robert Stanton yang meliputi fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme,
ironi).
Langkah
selanjutnya
menganalisis
psikologi
sastra
menggunakan teori kramadangsa Ki Ageng Suryamentaram. Pendekatan psikologi sastra dalam penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kejiwaan tokoh utama yang terkandung dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto. Kemudian menganalisis sikap optimis pada tokoh utama yang terdapat dalam cerbung Ngonceki Impen menggunakan teori optimisme yang dikemukakan Seligman dan Ginnis.
E. Teori Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan relitas. Pada tataran yang lebih luas, dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Teori tertentu dengan demikian lahir melalui ilmu tertentu. Tujuan akhir suatu ilmu adalah melahirkan sebuah teori (Ratna, 2012:1). Meskipun demikian, sebuah
8
teori, dengan tingkat keumuman yang tinggi dapat dimanfaaatkan untuk memahami pendekatan-pendekatan teori. Teori dan pendekatan merupakan salah satu bagian penting dalam melakukan suatu penelitian, agar sesuai dengan objek yang akan diteliti. Penelitian pada cerbung Ngonceki Impen karya Sri Surgiyanto membutuhkan teori yang digunakan terkait dengan permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pendekatan struktural Robert Stanton, teori psikologi Jawa Ki Ageng Suryamentaram, dan teori optimisme menurut Selligman dan Ginnis. 1. Cerbung Cerita bersambung atau cerbung adalah suatu cerita atau karangan yang dimuat tidak hanya sekali saja pada suatu majalah atau media lainnya, melainkan dimuat beberapa kali. Cerita bersambung sangat panjang karena teknik penceritaan yang mendetail antara satu kejadian dengan kejadian lain serta penuturan sari satu bagian ke bagian dalam cerita bersambung. Setiap satu episode dimuat dalam satu majalah yang terbit, dan episode berikutnya dimuat dalam majalah yang terbit berikutnya pula. Cerita bersambung merupakan hasil karya pengarang Jawa Modern dan menjadi genre sastra dalam khasanah kesusastraan Jawa baru yang mendapat dukungan dari berbagai pihak. Cerbung sebagai sebuah karya sastra, menawarkan banyak permasalahan dalam kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian
9
diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya (Nurgiyantoro, 2002: 2). Cerita bersambung merupakan awal dari perkembangan novel Jawa modern yang dimuat dalam beberapa majalah dan surat kabar (Hutomo, 1975: 5). Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam kaitannya dengan perkembangan novel Jawa Modern, cerita bersambung mempunyai peranan penting sebagai salah satu karya sastra Jawa yang dapat dijadikan sebagai objek penelitian. Cerita bersambung memiliki struktur yang sama dengan novel, cerita pendek ataupun roman, yakni memiliki tema, amanat, penokohan, alur dan latar dalam cerita. Perbedaan antara cerita bersambung dengan karya sastra lainnya yaitu cerita bersambung setiap episodenya dimuat secara urut dalam majalah atau media lain, sedangkan cerita pendek, roman atau novel tidak disajikan secara periodik. 2. Pendekatan Struktural Pendekatan struktural merupakan langkah kerja yang tidak boleh ditinggalkan dalam penelitian, karena struktural merupakan kerangka pokok bangunan dari sebuah karya sastra. Struktur karya sastra tidak berdiri sendiri dan terpisah, melainkan berkaitan erat dalam suatu kesatuan utuh. Karya sastra baik fiksi atau non fiksi, menurut kaum strukturalisme merupakan sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh unsur pembangunnya. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara
10
bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010: 36). Analisis struktural terhadap sebuah karya fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik. Pendekatan struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendalami unsur-unsur tertentu dalam karya sastra, namun lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur dan sumbangan apa yang diberikan terhadap sastra, yaitu tema, amanat, penokohan, setting, dan alur memberikan sebuah gambaran bagi para pembaca (Nurgiyantoro, 2010: 37). Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendapat di atas bahwa pendekatan struktural merupakan pendekatan yang menganalisis dan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik sebuah karya sastra berupa tema, alur, penokohan, latar, amanat, dan mencari hubungan antarunsur tersebut. Teori yang digunakan dalam menganalisis struktur cerita bersambung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto yaitu teori fiksi Robert Stanton. Analisis strukturalnya yaitu fakta-fakta cerita yang meliputi penokohan, alur, latar, kemudian tema, serta sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi (Stanton, 2007: 20). a. Fakta-Fakta Cerita Fakta-fakta cerita meliputi alur, karakter, dan latar. Ketiga aspek tersebut berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita.
11
1) Alur Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007: 26). Menurut Stanton (2012: 28) alur merupakan tulang punggung cerita. Alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang ditulis panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri, alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, serta dapat menciptakan bermacam kejutan, memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah „konflik‟ dan „klimaks‟. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki „konflik internal‟ yang hadir melalui hasrat dua orang atau seorang karakter dengan lingkungannya. „Klimaks‟ adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga penyelesaian tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan. Klimaks utama sering
12
berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler (Stanton, 2007:3132). 2) Karakter Karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada berbagai percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individuindividu tersebut. Sebagian besar cerita dapat ditemukan satu „karakter utama‟ yaitu karakter yang terkait/ menjadi pusat dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Alasan seorang tokoh untuk bertindak sebagaimana yang dilakukan dinamakan „motivasi‟. Motivasi dibagi menjadi dua yaitu „motivasi spesifik‟ dan „motivasi dasar‟. Motivasi spesifik seorang karakter adalah alasan atas reaksi spontan yang mungkin juga tidak disadari, yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu. Sedangkan motivasi dasar adalah suatu aspek umum dari satu karakter atau dengan kata lain hasrat dan maksud yang memandu sang karakter dalam melewati keseluruhan cerita. Arah yang dituju oleh motivasi dasar adalah arah tempat seluruh motivasi spesifik bermuara. Karakterisasi dapat dilihat dalam bukti-bukti penafsiran nama karakter, deskripsi eksplisit, komentar pengarang maupun komentar tokoh lain (karakter minor) (Stanton, 2012: 33-35). Setiap tokoh memiliki wataknya sendiri-sendiri. Tokoh berkaitan dengan orang atau seseorang sehingga perlu penggambaran yang jelas
13
tentang tokoh tersebut. Jenis-jenis tokoh dapat diklasifikasikan sebagai berikut. a) Berdasarkan segi peranan dalam cerita, dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang dominan dan diutamakan dalam cerita, sedangkan tokoh tambahan merupakan tokoh yang frekuensi kemunculannya lebih sedikit dibandingkan tokoh utama. b) Berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis merupakan tokoh heroik yang menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan/ harapan kita (pembaca), sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik. c) Berdasakan perkembangan perwatakan, dapat dibedakan menjadi tokoh bulat dan tokoh pipih/sederhana. Tokoh bulat adalah tokoh tokoh kompleks yang memiliki karakter berubah-ubah dan dapat diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Tingkah lakunya sering tak terduga dan memberikan efek kejutan pada pembaca, sedangkan tokoh pipih/ sederhana merupakan tokoh yang hanya memiliki satu sifat/watak tertentu saja. Tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan
bagi
pembaca.
Sifatnya
datar,
monoton,
hanya
mencerminkan satu watak tertentu (Nurgiyantoro, 2005: 176-182).
14
3) Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor, waktu-waktu tertentu (hari, bulan, tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita (Stanton, 2012: 35). b. Tema Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua (Stanton, 2012: 36-37). Robert Stanton (2012: 37) menyatakan bahwa tema merupakan pernyataan generalisasi, akan sangat tidak tepat diterapkan untuk cerita-cerita yang mengolah emosi karakter-karakternya. Istilah yang digunakan ada tiga, yaitu „tema‟, „gagasan utama‟, dan „maksud utama‟ secara fleksibel, tergantung pada konteks yang ada. Sama seperti makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Sekali lagi, sama seperti makna pengalaman manusia, tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu,
15
mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema. c. Sarana-Sarana Sastra Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi. Sarana-sarana paling signifikan di antara berbagai sarana yang kita kenal adalah karakter utama, konflik utama, dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan „kesatuan organis‟ cerita. Ketigatiganya terhubung demikian erat, ketiganya menjadi fokus cerita itu sendiri (Stanton, 2012:51). Sarana-sarana sastra meliputi judul, sudut pandang, gaya atau tone, simbolisme, dan ironi. 1) Judul Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau latar tertentu (Stanton, 2012:51). 2) Sudut Pandang Sudut pandang merupakan pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita. Posisi ini memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap cerita, di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional.
16
Menurut Stanton (2012:53), dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Variasi pada „orang pertama-utama‟, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Variasi pada „orang pertama-sampingan‟, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan). Variasi pada „orang ketiga-terbatas‟, pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. Pada „orang ketiga-tidak terbatas‟, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berfikir atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir. 3) Gaya dan Tone Gaya adalah cara pandang pengarang dalam menggunakan bahasa. Campuran dari berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan dan banyaknya imaji dan metafora (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya. Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah tone. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa nampak dalam berbagai wujud, baik ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan (Stanton, 2012:63).
17
4) Simbolisme Salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi agar tampak nyata adalah melalui „simbol‟, simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Simbol dapat berwujud apa saja, dari sebutir telur hingga latar cerita seperti satu objek, beberapa objek bertipe sama, substansi fisis, bentuk, gerakan, warna, suara, atau keharuman. Semua hal tersebut dapat menghadirkan satu fakta terkait kepribadian seorang manusia, ambisi yang semu, kewajiban manusia, atau romantisme masa muda (Stanton, 2012:64). Menurut Stanton (2012:64) simbolisme dapat memunculkan tiga efek
yang
masing-masing
bergantung
pada
bagaimana
simbol
bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Kedua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta cerita. Ketiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema. 5) Ironi Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita (terutama yang dikategorikan „bagus‟). Bila dimanfaatkan dengan benar, ironi dapat memperkaya cerita seperti menjadikannya menarik, menghadirkan efek-
18
efek tertentu, humor atau pathos, memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang, dan menguatkan tema (Stanton, 2012:71). Menurut Stanton (2012:71), ada dua jenis ironi yang dikenal luas yaitu „ironi dramatis‟ dan „tone ironis‟. Ironi dramatis atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pasangan elemenelemen di atas terhubung satu sama lain secara logis (biasanya melalui hubungan kasual atau sebab-akibat). Tone ironis atau ironi verbal digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan. Penggunaan teori fiksi Robert Stanton dalam penelitian ini dikarenakan teori Robert Stanton lebih lengkap dibanding teori yang lain. Yang dimaksud lengkap yakni dalam suatu karya sastra tidak hanya terpaut pada struktural dasar seperti tema, karakter, alur, amanat, dan lain sebagainya, melainkan terdapat simbol-simbol atau tone yang ingin disampaikan pengarang melalui tokoh atau cerita. 3. Ilmu Jiwa Kramadangsa Ki Ageng Suryometaram Psikologi kepribadian dalam istilah Jawa yang dipakai Ki Ageng Suryametaram ialah pangawikan pribadi yang berarti pengetahuan diri sendiri (Fudyartanto, 2003: 102).
19
Orang Jawa umumnya hidup dalam dunia kejiwaan yang dalam. Penguasaan kejiwaan yang matang dan terlatih inilah yang membedakan psikologi Jawa dengan psikologi yang lain. Psikologi Jawa yang banyak memberikan dasar pemahaman hidup melalui aspek kejiwaan adalah Ki Ageng Suryametaram (Endaswara, 2006: 211-212). Menurut Ki Ageng Suryamentaram struktur kejiwaan manusia salah satunya terdiri atas keakuan kramadangsa. Keakuan kramadangsa: Kepribadian Manusia. Bahwa diri manusia itu mempunyai rasa keakuan atau rasa pribadi yang berfungsi sebagai rasa individualitas atau rasa aku selaku individu, sebagai seseorang tertentu. Rasa keakuan itu menunjukkan rasa yang sifatnya sangat pribadi, tidak dapat diwakilkan pada orang lain (Fudyartanto, 2003: 108-109). Namun, keakuan kramadangsa ini bukan berarti inti pribadi manusia, melainkan hanya identitas yang menempel saja sebagai hasil pengalaman pribadi manusia pada masa lalu. Suryametaram mengatakan: “Awakipun piyambak (Kramadangsa) punika wategipun pribadi, tegesipun wonten nggen raos boten saged nyambat lan boten saget wakil. Upami, tiyang sakit untu punika boten saged wakil lan boten saged nyambat lan sakit untu wau mesthi dipunrasoaken piyambak. Mila kraos pribadi punika mesthi sakeca pribadi lan boten marduli tiyang sanes sanajan bojonipun.” (Suryometaram, 1989:107) Terjemahan: “Diri pribadi (Kramadangsa) adalah sifatnya pribadi, artinya adanya rasa tidak dapat mengeluh dan diwakilkan. Seumpama orang sakit gigi itu tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat mengeluh dan sakit gigi tadi pasti hanya dirasakan sendiri. Oleh karena itu rasa pribadi itu pasti seenaknya sendiri dan tidak memperdulikan orang lain walaupun istri/suaminya.” (Suryometaram, 1989:107)
20
Keakuan kramadangsa terdiri dari dua unsur, yaitu: 1) Catatan (cathetan) Catatan adalah segala hal yang tercatat dan mengendap dalam batin, yang berasal dari pengalaman sejak lahir sampai mati. Catatan tidak lain merupakan segala berkas-berkas ingatan mengenai semua hal yang pernah dialami oleh seseorang semasa hidupnya. Catatan hidup terus dalam batin manusia walaupun tidak disadarinya (Frudyartanto, 2003: 09). 2) Rasa hidup Rasa hidup adalah rasa yang timbul disebabkan adanya kebutuhankebutuhan kodrati dalam diri manusia. Kebutuhan kodrati ada dua macam, ialah kebutuhan untuk melangsungkan hidup dan kebutuhan untuk melangsungkan jenisnya (Fudyartanto, 2003: 113-114). a) Rasa senang dan rasa susah (Raos bingah-susah) Ki Ageng Suryametaram mengatakan: “Lha tiyang ingkang murugaken bingah punika karep kalampahan, karep kalampahan punika bingah, inggih punika raosing manah sakeca, lega, marem, ayem, gembira, bingar. Mangka, karep punika yen kalampahan, mesthi lajeng mindhak, inggih lajeng boten kalampahan, la susah, mila bungah punika boten saged ajeg. Mangke yen mulur punika kalampahan, inggih lajeng mulur malih.” (Suryametaram, 1989: 9) Terjemahan: “Lha orang yang merasakan bahagia itu keinginan terpenuhi, keinginan terpenuhi itu bahagia, yaitu rasanya hati enak, lega, puas, tentram, gembira, berseri-seri. Padahal, keinginan itu jika terpenuhi, pasti kemudian meningkat, iya kemudian tidak terpenuhi, la susah, maka bahagia itu tidak bisa terus-menerus. Nanti jika meningkat tersebut terpenuhi, iya kemudian meningkat lagi.” (Suryametaram, 1989:9)
21
Ki Ageng Suryametaram juga mengatakan: “Lha tiyang ingkang murugaken susah punika karep boten kalampahan, karep boten kalampahan punika susah, inggih punika raosing manah boten sekeca, gela, cuwa, kagol, muring, wirang, sakit, risi. Mangka karep punika yen boten kalampahan, mesthi lajeng mungkret, lajeng mlorot, tegesipun ingkang dipunkarepaken lajeng suda, inggih lajeng kalampahan, la bingah, mila susah punika boten saged ajeg. Mangke yen mungkret punika boten kalampahan, inggih lajeng mungkret malih. Ungkreting karep punika mesthi dumugi ingkang dipunkarepaken, mesthi saged kalampahan, tegesipun ingkang dipunkarepaken apa anane, sa anane, la inggih lajeng kalampahan, la bingah, mila susah punika boten saged ajeg. (Suryametaram, 1989:12) Terjemahan: “Lha orang yang merasakan susah itu keinginan tidak terlaksana, keinginan tidak terlaksana itu susah, yaitu rasanya hati tidak enak, sakit hati, kecewa, kagol, marah, malu, sakit, kikuk. Padahal keinginan itu jika tidak terlaksanan, pasti kemudian menyusut, kemudian melorot, artinya yang diinginkan kemudian berkurang, dan kemudian terpenuhi, la bahagia, maka susah itu tidak bisa terus-menerus. Nanti kalau menyusut tersebut tidak terpenuhi, iya kemudian menyusut lagi. Menyusutnya keinginan pasti sampai pada yang diinginkan, pasti bisa terpenuhi, artinya yang diinginkan apa adanya, seadanya, la iya kemudian terpenuhi, la bahagia, maka susah itu tidak bisa terus-menerus. (Suryametaram, 1989:12) Kutipan di atas mengatakan bahwa, kehidupan manusia selalu diikuti dengan perasaan susah dan senang yang silih berganti. Susah dan senang ini terjadi karena adanya keinginan, keinginan yang terpenuhi menimbulkan rasa senang, akan tetapi rasa senang itu hanya sementara karena, keinginan tersebut pasti akan mulur. Sedangkan rasa susah dirasakan apabila keinginan tidak dapat terpenuhi, pada akhirnya keinginan akan mungkret, sehingga dapat terpenuhi dan kemudian merasakan senang.
22
b) Rasa sama (raos sami) Jika orang dapat mengerti keinginannya sendiri, maka akan mencapai rasa sama. Sebab siapa saja dan dimana saja, rasa hidup orang tentu sama, yakni sebentar susah, sebentar senang. Hal ini terjadi karena semua orang mempunyai keinginan, dan semua keinginan bersifat sama (Frudyartanto, 2003:122). Suryametaram mengatakan, “Dados raosing gesang tiyang sajagat punika sami mawon, inggih punika mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Sanajan tiyang sugih, sanajan tiyang mlarat, sanajan ratu, sanajan kuli, sanajan wali, sanajang bajingan, raosing gesang inggih sami mawon, inggih mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek susah. Raosing bungah susah, dangu sakedhaping bungah susah, sangeting bungah susah, punika ingkang sami mawon, dene ingkang dipunbungahi, ingkang dipunsusahi, punika ingkang beda-beda.” (Suryametaram, 1989:14) Terjemahan: “Jadi rasanya hidup orang sedunia itu sama saja, yaitu pasti senang, lalu susah, lalu senang, lalu susah. Walaupun orang kaya, walaupun orang miskin, walaupun ratu, walaupun kuli, walaupun wali, walaupun bajingan, rasanya hidup iya sama saja, iya pasti senang, lalu susah, lalu senang, lalu susah. Rasanya senang susah, lama sebentarnya senang susah, sangatnya senang susah, tersebut yang sama saja, tapi yang membuat senang, yang membuat susah, itu yang berbeda-beda.” (Suryametaram, 1989:14) c) Rasa damai (raos tentrem) Menurut Ki Ageng Suryomentaram rasa damai, rasa tentram itu dapat tercapai jika orang dalam semua hal bertindak seenaknya (segala sesuatu dihadapi dengan enak), sebutuhnya (segala sesuatu dipenuhi menurut kebutuhannya), seperlunya (segala sesuatu
23
dilakukan karena memang perlu), secukupnya (segala sesuatu diinginkan dan dilakukan secukupnya, tidak lebih tidak kurang), semestinya (sesuai dengan aturan), dan sebenarnya (dilakukan dengan benar). “Yen mangertosi, yen raosing gesang tiyang sajagat punika sami mawon, tiyang lajeng luwar saking naraka meri pambegan lan manjing swarga tentrem, tegesipun: apa-apa sakepenake, sabutuhe, saperlune, sacukupe, samestine, sabenere.” (Suryametaram, 1989: 19) Terjemahan: “Jika mengerti, jika rasanya hidup orang sedunia itu sama saja, orang lalu keluar dari neraka iri sombong dan masuk surga damai, artinya apa-apa se-enaknya, sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya, sebenarnya.” (Suryametaram, 1989:19) d) Rasa tabah (raos tatag) Tabah artinya berani menghadapi segala hal, baik hal-hal yang
menyenangkan
maupun
yang
tidak
menyenangkan
(menyusahkan) (Frudyartanto, 2003:124). Suryametaram menerangkan, “Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng luwar saking naraka getun sumelang lan manjing swarga tatag, tegesipun „apa-apa ya wani‟. Dados tiyang sugih, tatag lan dados tiyang mlarat, tatag.” (Suryametaram, 1989:28) Terjemahan: “Jika mengerti, jika orang itu abadi, orang kemudian keluar dari neraka kecewa dan khawatir lan masuk surga tabah, artinya „apa-apa ya berani‟. Jadi orang kaya, tabah dan jadi orang miskin, tabah.” (Suryametaram, 1989:28).
24
e) Rasa iri dan sombong (raos meri–pambegan) Menurut Suryametaram (1989:15), rasa iri dan sombong adalah: “Meri punika rumaos kawon tinimbang liya lan pambegan punika rumaos menang tinimbang liya.” Terjemahan: Iri adalah merasa kalah dengan orang lain dan sombong itu merasa menang dibanding dengan orang lain. Rasa iri dan sombong timbul, karena orang tidak mengerti akan kebenaran hidup. Orang yang iri dan sombong bercita-cita untuk asal dapat melebihi orang lain dalam segala hal. Jika usaha tersebut gagal, maka kesalah hatinya, lalu timbullah rasa dendam dan berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan orang lain yang melampaui dirinya (Frudyartanto, 2003:125). f) Rasa sesal dan khawatir (raos getun – sumelang) Suryametaram mengutarakan bahwa: “Getun punika ajrih dhateng lelampahan ingkang sampun kalampahan. Sumelang punika ajrih dhateng lelampahan ingkang dereng kelampahan.” (Suryametaram, 1989: 23) Terjemahan: “Sesal itu takut pada perbuatan yang sudah terjadi. Khawatir itu takut pada perbuatan yang belum terjadi.” (Suryametaram, 1989:23)
25
Rasa sesal adalah rasa takut terhadap pengalaman yang telah terjadi; dan rasa khawatir adalah rasa takut pada pengalaman yang belum
terjadi,
kalau-kalau
menimbulkan
keadaan
celaka
(Frudyartanto, 2003: 126). g) Rasa bebas Ki Ageng Suryamentaram memberi pengertian bahwa rasa bebas adalah rasa tidak bertentangan (konflik). Apabila orang melihat sesuatu dan mengerti sifatnya, ia akan merasa bebas; yakni tidak berselisih dengan yang dilihat dan dimengerti. Melihat dan mengerti itu tidak hanya melalui panca indera, tetapi juga rasa hati atau pikiran. (Ki Ageng Suryamentaram, 1978:5). Dalam bahasa Jawa, dipakai sikap laku “tepa salira”, tenggang rasa. Sikap laku “tepa salira” ini berguna untuk berinteraksi dan dan menghadapi orang lain, dan harus tahu perasaan-perasaan orang lain. Cara untuk mengetahui perasaan orang lain adalah harus lebih tahu perasaan diri sendiri. Jika mengerti perasaan orang lain, maka hubungan dan pergaulan dengan orang lain menjadi bebas, dan tidak akan ada perasaan yang bersinggungan. Jika dilihat dari pembagian kejiwaan (psikoanalisis) Freud, ketika kramadangsa telah meluas menjadi nafsu diri yang baik disebut Id. Id adalah kepribadian “gelap” alam bawah sadar. Yakni sebuah insting yang menggerakkan energi buta.
Id kadang-kadang kurang rasional. Berbeda
dengan Ego (aku) yang cara bersikap dan bertindak masih dalam batas
26
kenyataan. Id dan Ego akan dikontrol oleh Super Ego akan selalu dimonitoring oleh Kramadangsa. Ketiganya bersifat labil, kadang senang dan kadang susah (Endraswara, 2006: 217). 4. Teori Optimisme Manusia sebagai makhluk yang berkembang dan aktif berbuat dan bertindak sesuai dengan adanya faktor-faktor yang datang dari luar dirinya dan juga dari dalam diriya. Karena itu faktor yang ada di dalam diri manusia tersebut akan ikut menentukan perbuatannya (Walgito, 1997: 52). Dalam dirinya, manusia berbuat sesuatu karena didorong oleh suatu kekuatan yang datang dalam dirinya yang menjadi pendorong untuk berbuat. Salah satu dorongan yang ada dalam diri manusia itu adalah berpikir. Seseorang berpikir bila menghadapi permasalahan atau persoalan. Tujuan berpikir adalah memecahkan masalah tersebut. Karena itu sering dikemukakan bahwa berpikir itu adalah merupakan aktivitas psikis yang dimensional, berpikir tentang sesuatu. Dalam pemecahan masalah tersebut orang memungkinkan satu hal yang lain hingga dapat mendapatkan pemecahannya (Walgito, 1997: 43-50). Dalam berpikir ini, seseorang bisa memunculkan suatu optimisme dalam dirinya. Pola berpikir bisa dibedakan menjadi dua yaitu, pola berpikir positif dan pola berpikir negatif. Dalam menghadapi permasalahan atau peristiwa yang tidak mengenakkan peran pola pikir ini sangat penting. Seseorang yang menggunakan pola pikir positif dalam menghadapi peristiwa yang tidak mengenakkan akan bersikap optimis sedangkan apabila menggunakan pola berpikir negatif akan menimbulkan sikap yang pesimis.
27
Optimisme adalah suatu rencana atau tindakan untuk menggali yang terbaik dari diri sendiri, bertanggung jawab penuh atas hidup, membangun cinta kasih dalam hidup dan menjaga agar antusiasme tetap tinggi (Mc. Ginnis, 1995: 224). Mc. Ginnis menjelaskan lebih lanjut bahwa seseorang harus mengubah dirinya dari pesimis menjadi optimis melalui rencana tindakan dan strategi yang ditetapkan sendiri untuk menjaga agar dirinya terus termotivasi. a. Ciri-ciri Optimisme Ginnis dalam bukunya Abnormal Psychology (1995) mengemukakan bahwa ciri-ciri khas optimis, yaitu : 1) Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang optimis berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada hari esok. 2) Mencari pemecahan sebagian. Orang optimis berpandangan bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil. Orang optimis membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang bisa ditangani. 3) Merasa yakin bahwa individu mempunyai pengendalian atas masa depannya. Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa individu menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama setelah lain-lainnya menyerah.
28
4) Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang menjaga optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu bertahun-tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan)
pribadi,
untuk memastikan
bahwa
sistem
tidak
meninggalkan mereka. 5) Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran yang lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak
hal
sedapat
mungkin
dari
segi
pandangan
yang
menguntungkan. 6) Meningkatkan kemampuan apresiasi. Yang kita ketahui bahwa dunia ini, dengan semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh dengan hal-hal baik untuk dirasakan dan dinikmati. 7) Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya. Mereka belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif. 8) Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis. 9) Merasa yakin bahwa manusia memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun
29
umurnya, individu mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari dirinya belum tercapai. 10) Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita bicarakan dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting terhadap suasana hati kita. 11) Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi dan menikmati banyak hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat kuat yang membantu mereka memperoleh optimisme. 12) Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang memiliki hasrat mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat frustrasi dan mereka melihat orang-orang ini tidak akan berubah, mereka menerima orang-orang itu apa adanya dan bersikap santai. b. Aspek-aspek Optimisme Untuk mengetahui optimis tidaknya seseorang, dapat diketahui cara berpikir dia terhadap penyebab terjadinya suatu peristiwa. Ketika individu biasa melihat penyebab dari suatu peristiwa buruk sebagai sesuatu yang menetap (stabil), global, dan internal. Misalnya "itu merupakan salah saya",
30
"saya mengira ini terjadi pada saya", "kejadian ini sering menimpa saya", dapat dikatakan bahwa gaya penjelasan mereka pesimistik. Istilah pesimistik, karena gaya yang terus menerus menyoroti peristiwa buruk terjadi dan berlaku pada seluruh usaha nampak ditangkap sebagai apa yang biasanya diartikan sebagai pesimisme serta melihat hal-hal yang baik dalam cara yang berbeda dikatakan gaya optimistik (Zullow dkk, 1988: 83). Seligman (1991: 97) menamakan cara atau gaya yang menjadi kebiasaan individu dalam menjelaskan kepada diri sendiri mengapa suatu peristiwa terjadi sebagai gaya penjelasan (explanatory style). Gaya penjelasan yang dipakai merupakan indikator optimis atau pesimisnya seseorang. Gaya penjelasan tersebut lebih dari sekedar apa yang dikatakan seseorang ketika menemui kegagalan melainkan juga merupakan kebiasaan berpikir yang dipelajari sejak masa kanak-kanak dan masa remaja (Darmaji, 1996: 78). Dasar dari gaya penjelasan tersebut terbentuk melalui cara pandang terhadap diri dan lingkungannya apakah dirinya merasa berharga dan layak atau tidak. Menurut Seligman (1991: 103-105), gaya penjelasan seseorang terdiri dari tiga aspek yaitu : 1) Permanensi Permanensi, merupakan gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan waktu, yaitu temporer dan permanen. Orang yang pesimis akan menjelaskan kegagalan atau kejadian yang menekan dengan cara menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dengan kata-kata "selalu", dan "tidak pernah", sebaliknya orang yang optimis akan
31
melihat peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai sesuatu yang terjadi secara temporer, yang terjadi dengan kata-kata "kadang-kadang", dan melihat sesuatu yang menyenangkan sebagai sesuatu yang permanen atau tetap. 2) Pervasivitas Pervasivitas, adalah gaya penjelasan yang berkaitan dengan dimensi ruang lingkup, dibedakan menjadi spesifik dan universal. Orang yang pesimis akan mengungkap pola pikir dalam menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dengan cara universal, sedangkan orang yang optimis dengan cara spesifik. Dalam menghadapi peristiwa yang menyenangkan, orang yang optimis melihatnya secara universal atau keseluruhan, sedangkan orang yang pesimis memandang peristiwa menyenangkan disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. 3) Personalisasi Personalisasi, yaitu gaya penjelasan yang berkaitan dengan sumber penyebab, intenal dan eksternal. Orang yang optimis memandang masalah-masalah yang menekan dari sisi masalah lingkungan (eksternal) dan memandang peristiwa yang menyenangkan berasal dari dalam dirinya (internal). Sebaliknya, orang yang pesimis memandang masalah-masalah yang menekan bersumber dan dalam dirinya (internal) dan menganggap keberhasilan sebagai akibat dari situasi diluar dirinya (eksternal). Uraian di atas tersebut terlihat bahwa kebiasaan berpikir negatif cenderung melemahkan kamampuan individu menghadapi tantangan dan
32
lingkungannya, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam optimisme adalah permanensi (berkaitan dengan waktu), pervasivitas (berkaitan dengan ruang lingkup), dan personalisasi (berkaitan dengan sumber penyebab). c. Faktor yang Mempengaruhi Optimisme Orang pesimis berpikir bahwa setiap masalah timbul akibat kesalahannya sendiri. Sebaliknya, ketika menghadapi masalah atau kegagalan, orang optimis akan berpikir bahwa hal itu tidak akan berlangsung lama dan tidak membuat seluruh segi kehidupannya menjadi bermasalah. Menurut Seligman (1991: 124-127), cara berpikir yang digunakan individu akan mempengaruhi hampir seluruh bidang kehidupannya antara lain dalam bidang berikut: a) Pendidikan Dalam bidang prestasi orang yang pesimis berada dibawah potensi mereka yang sesungguhnya, sedangkan orang optimis dapat melebihi potensi yang mereka miliki. Orang yang optimis lebih berhasil daripada orang yang pesimis meskipun orang yang pesimis itu mempunyai minat dan bakat yang relatif sebanding. b) Pekerjaan Individu yang berpandangan optimis lebih ulet menghadapi berbagai tantangan
sehingga
dibandingkan
akan lebih sukses
individu
yang
dalam
berpandangan
bidang pekerjaan
pesimis.
Eksperimen
menunjukkan bahwa orang yang optimis mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik di sekolah, kuliah dan pekerjaan (Seligman, 1991: 124-125).
33
c) Lingkungan Menurut Clark (dalam Mc. Ginnis, 1995) tumbuhnya optimisme dipengaruhi oleh pengalaman bergaul dan orang-orang. Mendukung pendapat Clark, Seligman (1995: 126) menambahkan bahwa kritik pesimis dari orang-orang yang dihormati, seperti orang tua, guru, dan pelatih akan membuat individu segera memulai kritik terhadap dirinya dengan gaya penjelasan yang pesimis pula. Pengalaman berinteraksi antara anak dan orangtuanya juga mempengaruhi pembentukan gaya penjelasan anak. Akibat interaksinya sehari-hari itu, gaya penjelasan yang biasa diucapkan orangtua dalam menjelaskan penyebab terjadinya suatu peristiwa yang akan ditiru oleh anak. d) Konsep diri Individu dengan konsep diri yang tinggi selalu termotivasi untuk menjaga pandangan yang positif tentang dirinya dan jika individu memandang hal-hal positif dalam dirinya maka individu tersebut akan melakukan refleksi diri dan akan merefleksi pengalamannya yang bermacam-macam dan apa yang dia ketahui sehingga individu dapat mengetahui dirinya dan dunia sekitarnya (Bandura, 1986: 71). Pengalaman-pengalaman individu tersebut terdiri atas pengalamanpengalaman
penguasaan
dan
ketidakberdayaan.
Kegagalan
dan
ketidakberdayaan yang melebihi batas, seperti kematian ibu sejak masa kanak-kanak, penganiayaan fisik, percekcokan orangtua yang terusmenerus dapat merusak konsep diri seseorang dan dapat merusak pandangan optimistik. Namun sebaliknya, tantangan tidak terduga yang
34
menghasilkan penguasaan dapat menjadi titik awal perubahan ke dalam optimisme yang akan berlangsung sepanjang waktu (Seligman, 1995: 127).
F. Sumber Data dan Data Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya merupakan data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2010: 157). Sumber data dan data terbagi menjadi primer dan sekunder, sebagai berikut: 1. Sumber Data Menurut Siswantoro (2004: 140) sumber data primer merupakan sumber data utama, sedangkan sumber data sekunder merupakan sumber kedua. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah cerita bersambung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto yang diterbitkan oleh majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat pada tanggal 8 Maret sampai dengan 16 Agustus sebanyak 24 episode. Sumber data sekunder diperoleh dari informan yaitu Sri Sugiyanto selaku pengarang. 2. Data Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah isi teks cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto berdasarkan unsur-unsur struktural yang meliputi faktafakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi), informasi kejiwaan tokoh utama,
35
dan informasi optimisme tokoh utama dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto. Data sekunder atau data pendukung dalam penelitian ini berupa hasil wawancara dengan Sri Sugiyanto selaku pengarang cerbung Ngonceki Impen.
G. Metode dan Teknik 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode ini menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif induktif, serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antara fenomena yang diamati. Metode kualitatif yaitu kegiatan penelitian untuk memperoleh informasi kualitatif dengan deskriptif yang lebih berharga dari sekunder angka, yang dimaksudkan sebagai penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau angka, tetapi pada prosedur nonmatematis (H. B. Sutopo 2003:88).. Data-data tulisan dalam cerita bersambung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto berupa kata-kata, frasa, klausa, kalimat, atau paragraf akan menjadi data-data yang dianalisis. Dengan menggunakan metode yang tepat, diharapkan penelitian terhadap suatu karya dapat menjadi lebih maksimal sehingga hasilnya pun lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan. 2. Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan data yang digunakan maka teknik pengumpulan yang dilakukan adalah sebagai berikut.
36
a. Teknik Content Analysis Content analysis atau kajian isi merupakan teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karakteristik sebuah pesan, dan dilakukan secara obyektif dan sistematis (Moleong, 2010:163). Teknik ini kerjanya berupa analisis isi yang terdapat dalam karya sastra. Kumpulan-kumpulan data berupa teks isi yang yang didapatkan dengan cara membaca, menyimak, mencatat, kemudian mengelompokkan ke dalam dua kategori. Kategori pertama didapatkan dengan cara mengungkapkan unsur-unsur struktur cerita dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto dengan menggunakan teori struktural Robert Stanton, sehingga mendapatkan data katagoris yang berupa: fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi). Kategori kedua adalah psikologi sastra dengan mengungkapkan isi karya sastra terutama mengenai kejiwaan serta optimisme dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto. b. Teknik Wawancara Teknik wawancara merupakan teknik yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara peneliti dengan yang diteliti. Wawancara juga merupakan cara untuk memperoleh data dengan percakapan, yaitu antara pewawancara dengan yang diwawancarai (Moleong, 2010:186). Wawancara dilakukan kepada Sri Sugiyanto selaku pengarang cerbung Ngonceki Impen yang tinggal di RT 1 RW 4 Dusun Randusari, Desa Ngadirojo Kidul, Kecamatan Ngadirojo, Wonogiri.
37
Wawancara dilakukan secara terstruktur, artinya pewawancara menyiapkan pertanyaan berupa daftar pertanyaan sehingga nantinya akan bisa meluas dan berkembang dengan sendirinya namun tetap terarah dengan proses perekaman menggunakan handycam atau hand phone. Peneliti mengajukan pertanyaan dengan mengacu pada daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun. Peneliti menggunakan jenis wawancara ini bertujuan agar wawancara dapat berkembang guna mencari jawaban terhadap hipotesis kerja c. Teknik Studi Pustaka. Penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka, yaitu mengumpulkan data-data dengan bangunan pustaka yang meliputi naskah, buku-buku, skripsi, dan media massa. Teknik studi pustaka ini dimaksudkan untuk memperoleh data-data yang dapat menunjang penelitian. Data yang diperoleh dari penelitian perpustakaan ini dijadikan pondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian. 3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif dilaksanakan secara terus-menerus, sejak pengumpulan data di lapangan sampai penulisan laporan penelitian (Aminudin, 1990:18). Data yang telah diolah kemudian dianalisis melalui beberapa tahapan. Tahapan tersebut merupakan rangkaian suatu proses yang berurutan dan berkesinambungan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Tahap deskripsi, yaitu seluruh data yang diperoleh dihubungkan dengan persoalan, setelah itu dideskripsikan.
38
b. Tahap klasifikasi, yaitu data-data yang telah dideskripsikan kemudian dikelompokkan menurut kelompoknya masing-masing sesuai dengan permasalahan yang ada. c. Tahap analisis, yaitu semua data-data yang telah diklasifikasikan menurut kelompoknya
masing-masing
dianalisis
menggunakan
pendekatan
struktural kemudian dilanjutkan dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra. d. Tahap interpretasi data, yaitu upaya penafsiran dan pemahaman terhadap analisis data sehingga mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan utuh. e. Tahap evaluasi, yaitu seluruh data-data yang sudah dianalisis dan diinterpretasikan kemudian ditarik kesimpulan, namun sebelum ditarik kesimpulan data itu diteliti kembali supaya dapat dipertanggungjawabkan. 4. Validitas Data Ada empat macam teknik trianggulasi menurut Patton yang diungkapkan Sutopo (2003: 78), yaitu (1) trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3) trianggulasi metode, dan (4) trianggulasi teori. Penelitian terhadap karya sastra yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi data. Teknik trrianggulasi merupakan teknik yang didasari oleh pola pikir femenologi yang bersifat multiperspektif, artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang (Sutopo, 2003:78). Karena hal itu berkaitan dengan hasil yang diperoleh, maka diperlukan beberapa cara pandang untuk menguji keabsahan data agar data yang diperoleh benar-benar teruji kebenarannya. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
39
trianggulasi sumber data. Teknik trianggulasi sumber data dilakukan dengan cara menggali sumber yang berupa catatan atau arsip dan dokumen yang memuat catatan yang berkaitan dengan data yang dimaksud dan dapat berupa sumber dari informan atau narasumber.
H. Sistematika Penulisan Sistematika
penulisan
dalam
sebuah
penelitian
berfungsi
untuk
memberikan gambaran mengenai langkah-langkah suatu penelitian. Adapun sistematika dalam penulisan ini sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, teori, sumber data dan data, metode dan teknik, dan sistematika penulisan. BAB II: PEMBAHASAN Meliputi analisis struktural yang membangun cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto menggunakan teori fiksi Robert Stanton yang meliputi fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi), mendeskripsikan dan mengungkapkan aspek psikologi tokoh utama dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto dalam perspektif pendekatan psikologi sastra, serta mengungkapkan wujud-wujud optimisme yang terdapat pada diri tokoh Waskitha. BAB III: PENUTUP Meliputi simpulan dan saran.
40
DAFTAR PUSTAKA Meliputi buku-buku referensi sebagai acuan dalam penelitian. LAMPIRAN Meliputi surat keterangan wawancara dengan pengarang, wawancara dengan pengarang, biodata pengarang, foto penulis dengan pengarang, sinopsis cerbung Ngonceki Impen, serta cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto.