BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia secara resmi melalui Ketetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 yang dikuatkan dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1969 mengakui bahwa di Indonesia terdapat enam agama, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu, dengan prosentase penganut agama yang berbeda-beda. Keenam agama ini masuk ke Indonesia melalui proses penyebarannya sendiri, terutama melalui jalur perdagangan karena letak Indonesia yang strategis dan menghubungkan wilayah-wilayah Asia yang lain, seperti India, Persia, Arab, Mesir, juga dengan wilayah Eropa, pada kota-kota pelabuhan seperti Ternate di Maluku, Perlak di Sumatera Utara, dan Jawa, yang berhadapan dengan agama-agama suku sebagai agama yang mula-mula di Indonesia.1 Penganut agama-agama dengan berbagai istilah seperti umat, jemaat, jamaah, dll. tersebut tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau yang membentang dari barat sampai timur. Penganut-penganut ini dapat dibedakan menjadi berbagai suku atau etnis yang memiliki adat istiadatnya masing-masing. Tiap agama dengan sumber ajarannya masing-masing memiliki nilainilai religiositas yang mengajarkan kebaikan dan kasih sayang diantara pemeluknya juga terhadap hubungan dengan pemeluk agama yang lain. Keberagaman ini sangat memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia secara keseluruhan di mata dunia internasional.
Tetapi kekayaan bangsa Indonesia ini pada saat yang bersamaan juga memunculkan persoalanpersoalan yang dapat merusak kehidupan umat manusia dan lingkungannya. Pertikaian antar pemeluk agama yang berbeda dengan tindakan-tindakan yang mengatasnamakan agama, merosotnya nilai-nilai keagamaan sebagai dampak kemajuan moderen yang menawarkan banyak fasilitas, terutama hiburan, kurangnya perhatian umat terhadap masalah sosial seperti kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan, serta pemanfaatan atau penyalahgunaan
1
Th. van den End, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, cetakan keenam, 1996, hal.19-20.
1
sentimen agama oleh orang atau kelompok tertentu untuk tujuan yang kurang sesuai dengan tujuan agamanya sendiri, merupakan hal-hal yang harus dihadapi oleh umat beragama di Indonesia.2
Secara historis-sosiologis, Indonesia berkembang menjadi wadah bagi masyarakat yang hidup dalam berbagai budaya dan agama. Dalam masyarakat dengan segala kemajemukan (plural) tersebut, konflik dapat terjadi. Dalam situasi demikian inilah agama seringkali memunculkan dirinya sebagai faktor konfliktual dalam masyarakat. Tidak mengherankan apabila konflik yang muncul dalam masyarakat, seringkali berawal dari masalah keagamaan.3 Hal-hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ekslusivitas dari pemimpin dan pemeluk agama yang mengganggap agamanya adalah yang paling benar sehingga muncul sikap membanding-bandingkan agama dan menilai agama-agama yang lain adalah salah. Kedua, sikap tertutup dan saling curiga antar agama karena menganggap agama lain merupakan ancaman, seringkali pendirian rumah ibadah dipandang sebagai suatu ekspansi yang akan merugikan agamanya. Ketiga, keterkaitan yang berlebihan kepada simbolsimbol agama dengan membanggakan tata cara dan rumah ibadahnya, sehingga muncul kesombongan yang dapat merugikan pihak-pihak yang lain. Keempat, sifat agama sebagai tujuan berubah menjadi alat karena agama dipakai untuk mencapai kuantitas pemeluk dan alat pengemban kekuasaan dalam bentuk institusi untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kelima, kondisi politik dan sosial yang tidak stabil, serta ketidakadilan ekonomi dalam pembangunan yang tidak merata dalam masyarakat sehingga melemahkan kekuasaan hukum dengan memanfaatkan situasi yang ada, seperti pembangunan dan reformasi sebagai ajang pelampiasan demokrasi yang tidak bertanggung jawab.4 Faktor-faktor tersebut menunjukan didahulukannya kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan mengorbankan pihak-pihak lain. Tekanan ekonomi dan ketidakadilan pembangunan ini telah dimanfaatkan oleh orang-orang atau pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan agama misalnya adanya kaum fundamentalis yang menjadi ganjalan bagi perkembangan toleransi. Paham fundamentalisme yang dijalankan oleh kaum fundamentalis sebetulnya dapat ditemukan di semua agama, baik yang monoteistis maupun yang bukan. Fundamentalisme dapat merusak karena menawarkan suatu kehidupan yang terpecah, yang memisahkan iman dan keyakinan dari praktek
2
Machasin, “Pluralisme dalam Semangat Kesatuan Transendal”, dalam Th.Sumartana, dkk. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2001, hal.9-10. 3 Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya Dan Politik, Sipress, Jogjakarta,1994, hal.25. 4 Arifin Assegaf, “Memahami Sumber Konflik Antar Iman”, scn.2, hal.34-38.
2
hidup komunitas, sehingga tidak dapat menjadi suatu alternatif yang tepat dalam era pascamoderen untuk menghayati kehidupan beragama.5
Pluralitas adalah kepelbagaian yang merupakan kenyataan yang telah menjadi bagian dari kehidupan manusia pada umumnya, baik di negara-negara maju, maupun di negara-negara berkembang, sehingga pengaruhnya dapat menjadi kekuatan yang hadir dalam kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Pengaruh ini hadir karena kesadaran adanya kepelbagaian yang ada, sehingga kesadaran ini memunculkan pemahaman mengenai kepelbagaian tersebut yang disebut pluralisme, atau singkatnya: pluralisme muncul karena adanya pluralitas. Ada pihak-pihak tertentu yang langsung melihat segi-segi negatif dari kekuatan-kekuatan tersebut yang telah mengganggu sistem budaya dan agama di Indonesia, dan karena itu langsung menolaknya. Pada pihak lain, kekuatan pluralisme dapat dilihat sebagai suatu kekayaan, dimana manusia belajar menerima kepelbagaian yang memang telah menjadi kenyataan seperti di Indonesia. Fakta ini sekaligus mendorong manusia untuk menyadari keberbagaian budaya dan agama, bahwa seseorang hidup dalam budaya dan agama tertentu diantara beragam budaya dan agama disekitarnya. Dan pada pihak lain juga, adanya kekuatan pluralisme telah membuat sebagian orang memusuhi sesamanya karena tidak mampu menerima perbedaan, sehingga muncullah konflik. Bangsa Indonesia yang sedang dilanda konflik semacam ini harus berusaha mencari penyelesaian dari berbagai konflik itu.
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa pluralisme menjadi kekuatan yang dapat mengubah kehidupan sosial di zaman sekarang ini. Dampak dari perubahan ini dapat dirasakan pada kehidupan bersama, keluarga, bahkan identitas pribadi, misalnya sikap seseorang ketika bertemu dengan orang lain yang berbeda agama atau latar belakang sosialnya. Karena itu manusia harus menghadapi fenomena ini dengan baik. Menurut Giddens, tradisi yang sudah ada saat ini bukan lagi satu-satunya pegangan bagi kehidupan sekarang, ada dua macam cara untuk “mempertahankan” tradisi, yaitu cara moderen melalui penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan cara tradisional melalui pembaharuan dalam bidang keagamaan.6
5
Ioanes Rakhmat, “Tempat Fundamentalisme Protestan dalam Teologi-Teologi Kristen Memasuki Milenium III”, dalam Martin L.Sinaga (edt), Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, Grasindo, Jakarta, 2000, hal.98,125-127. 6 Anthony Giddens, Runaway World, Profile Books, London, 1999, dalam I. Wibowo, “Globalisasi dan Gereja (Indonesia)”, dalam J.B. Banawiratma, SJ (edt.), Gereja Indonesia, Quo Vadis?, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hal. 30-32.
3
Di samping melakukan tinjauan atau revisi ajaran-ajaran agama terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, pembaharuan keagamaan di Indonesia secara formal dilakukan dengan membentuk lembaga-lembaga keagamaan. Agama Islam diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kristen dengan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Katolik dengan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Hindu dengan Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Budha dengan Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi), serta Khong Hu Cu dengan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). Lembaga-lembaga keagamaan ini dibentuk untuk memudahkan koordinasi umat beragama dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya dalam situasi masyarakat Indonesia yang mempunyai perbedaan agama, sosial, dan ekonomi. Melalui lembaga-lembaga keagamaan ini, umat dapat mengerti dan menyatukan sikap terhadap ajaran-ajaran keagamaan yang dijalaninya masing-masing untuk menghindari munculnya perbedaan pemahaman ajaran-ajaran keagamaan di Indonesia, misalnya di pulau Jawa dengan pulau yang lain, sekaligus juga menyadari keberadaan umat lain yang menjalankan ajaran agama-agamanya, sehingga diharapkan dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing, tidak terjadi kesalahpahaman baik dalam agamanya sendiri maupun dalam berinteraksi dengan penganut agama yang lain. Keberadaan lembaga-lembaga ini dirasakan sangat berperan dalam meredam perbedaan-perbedaan yang ada. Dalam sistem kenegaraan, dibentuk Departemen Agama, sehingga hubungan antara negara dan agama dapat saling mendukung kesuksesan pembangunan Indonesia, karena umat beragama di Indonesia adalah juga warga negara Indonesia yang tidak terkecuali dan wajib menyukseskan pembangunan melalui dukungan para pemimpin agama dengan ajaran-ajaran yang dapat memperlancar usaha-usaha pembangunan yang sedang dilaksanakan bangsa Indonesia ini.
MUI sebagai lembaga keagamaan Islam, bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta mewujudkan masyarakan yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhoi Allah Swt. dalam negara republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sejak didirikan pada tahun 1975, MUI telah melahirkan banyak fatwa yang meliputi ibadah, faham keagamaan, masalah sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dsb.7
Di Indonesia pada tahun 2005 muncul kontroversi seputar fatwa hasil Musyawarah Nasional (Munas) VII MUI yang diumumkan pada 28 Juli 2005. Pihak MUI berencana melakukan sosialisasi 7
Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Depag RI, 2003.
4
fatwa dengan menggelar dialog terbuka. Keluarnya 11 fatwa dari MUI memunculkan reaksi keras dari beberapa tokoh agama. Mereka menentang fatwa yang berkaitan dengan Ahmadiyah serta paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama karena dikhawatirkan akan membawa implikasi negatif pada kerukunan umat beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Tokoh agama tersebut di antaranya adalah Dawam Raharjo, Syafi’i Anwar, Ulil AbsharAbdalla, dan Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa KH Abdurrahman Wahid. Dalam pertemuan itu Abdurrahman menolak keras fatwa MUI tersebut. Menurut Abdurrahman, Indonesia bukan suatu negara yang didasari satu agama tertentu. Selain itu, MUI juga dinilai bukan institusi yang berhak menentukan apakah sesuatu hal benar atau salah. Secara terpisah, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menilai fatwa MUI itu merupakan langkah mundur terutama bagi kehidupan antarumat beragama. Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta ulama memberikan pemahaman dan pencerahan kepada masyarakat mengenai bagaimana menyikapi perbedaan pandangan di antara umat.8
Hal yang menarik untuk dikaji yaitu bagaimana sebenarnya pemahaman MUI terhadap keberagaman yang ada, khususnya keberagaman agama di Indonesia melalui hasil Munas ke-7 MUI tahun 2005 yang membahas tentang pluralisme agama di Indonesia. Hal lain yang perlu dikaji lebih lanjut adalah untuk melihat bukan saja bahwa pluralisme agama dimasukkan dalam perbincangan Munas tersebut tetapi juga tentang perbedaan pendapat yang tertuang sebagai tanggapan-tanggapan terhadap hasil Munas MUI 2005 itu.
B. Rumusan Masalah
Agama sangat berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat luas karena berkaitan dengan orang atau kelompok dalam masyarakat yang menganut agama menurut keyakinannya masingmasing. Karena pluralisme agama adalah pemahaman yang menyangkut agama, maka aspek-aspek dalam pluralisme itu dengan sendirinya akan berhubungan dengan orang atau kelompok yang menjalankan ajaran-ajaran agamanya dalam masyarakat tersebut. Faktor-faktor dalam agama seperti ajaran, sumber pemahaman, eksistensi, tata cara, dan lain-lain yang membentuk dan memberi isi
8
“Terkait Fatwa, MUI Rencanakan Dialog Terbuka”, Kompas, 2 Agustus 2005.
5
dalam pertumbuhan dan perkembangan kelompok sosial tersebut juga turut dipengaruhi, terutama dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Islam sebagai agama besar di Indonesia, turut memberi perhatian terhadap perkembangan masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi karena pengaruh pluralisme agama atau pemahaman atas keberadaan agama-agama di Indonesia yang plural. Karena itu dalam membina kehidupan Islam di Indonesia, melalui MUI – salah satu wadah yang mempersatukan umat Islam sebagai agama di Indonesia, pokok mengenai pluralisme agama diagendakan dalam pertemuan Munas MUI tahun 2005 tersebut.
Yang menarik adalah terdapatnya perbedaan-perbedaan pendapat dan persepsi dalam menyikapi pengaruh pluralisme agama tersebut dalam hubungan dengan kehidupan beragama khususnya dalam agama Islam sendiri. Selain itu, perbedaan-perbedaan pendapat tersebut akan membentuk persepsi yang baru dalam mempertahankan eksistensi agama Islam di Indonesia, dan juga turut mempengaruhi nilai-nilai koeksistensi dan interaksi kehidupan beragama di Indonesia.
Perumusannya adalah sebagai berikut : -
Bagaimana pemahaman pluralisme agama itu ?
-
Bagaimana pemahaman MUI mengenai pluralisme agama sebagai salah satu hasil fatwa Munas MUI tahun 2005 ?
-
Bagaimana tinjauan situasi di Indonesia yang pluralistik terhadap pemahaman MUI mengenai pluralisme agama ?
C. Batasan Masalah
Permasalahan tentang pemahaman pluralisme agama yang dibahas dalam skripsi ini adalah pemahaman pluralisme agama sebagai salah satu fatwa MUI lewat Munasnya yang ke-7 di Jakarta tanggal 26-29 Juli 2005. Hasil Munas tersebut tertuang dalam naskah setebal 42 halaman, dengan memasukkan 102 dalil dan hadits.9
9
“Kholil Ridwan: Penentang Fatwa MUI Harus Berpikir Ulang”, Kompas, 7 Agustus 2005.
6
Berdasarkan semua pemaparan di atas, maka penulis merumuskan judul skripsi sebagai berikut:
Pluralisme Agama dalam Fatwa MUI 2005
D. Tujuan Penulisan
-
Menganalisa hasil fatwa MUI tahun 2005 mengenai pluralisme agama dengan melihat pemahaman dasar mengenai pluralisme agama.
-
Memberi tinjauan terhadap situasi di Indonesia berkaitan dengan fatwa MUI tahun 2005 dalam kehidupan bernegara dan beragama yang pluralistis.
E. Metodologi Penulisan
Metode yang akan dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode Analisis Literer. Metode ini dilakukan dengan melakukan analisa terhadap referensi-referensi tertulis yang berasal dari bahanbahan seperti buku, surat kabar, artikel, stensilan, juga website yang dirasakan cukup objektif untuk membantu penulisan ini. Dengan metode ini, penulis akan mengumpulkan dokumen-dokumen tertulis sebagai data-data sehubungan dengan pelaksanaan Munas MUI tahun 2005 serta hasil Munas tersebut. Termasuk dalam upaya ini adalah pengumpulan data-data primer berupa tanggapantanggapan atau persepsi para tokoh Islam dan non-Islam. Kemudian data-data tersebut dianalisa dan dibandingkan satu terhadap yang lain, khususnya berhubungan dengan tanggapan mengenai pokokpokok pluralisme agama sebagai hasil Munas MUI tahun 2005. Pernyataan atau definisi MUI tentang pluralisme agama ini akan dianalisa dengan maksud untuk melihat munculnya perbedaan persepsi terhadap hasil Munas tersebut dengan pemahaman dasar mengenai pluralisme agama. Deskripsi tentang hal-hal tersebut akan mengantar penulis pada penyajian tinjauan terhadap situasi pluralistis Indonesia sehubungan dengan kehidupan bernegara dan beragama di Indonesia, sebelum diakhiri dengan kesimpulan dan saran.
7
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan akan mengikuti pembagian bab-bab sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan, yang mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penulisan, Metodologi Penulisan, serta Sistematika Penulisan.
BAB II
akan mengemukakan hasil Munas ke-7 tentang Fatwa MUI, 26-29 Juli 2005 di Jakarta, khususnya yang menyangkut pemahaman mengenai Pluralisme. Ini akan diikuti dengan tanggapan beberapa tokoh agama/sosial/politik, baik dari kalangan Islam maupun dari kalangan nonIslam yang pro dan kontra terhadap hasil Munas MUI tahun 2005 tersebut.
BAB III akan menyajikan pembahasan mengenai pluralisme agama secara umum, melalui pengertian bahasa Indonesia dan Inggris, filsafat, juga agama, faktor-faktornya, dan bentuk-bentuk umum untuk memahami pluralisme agama.
BAB IV akan menyajikan tinjauan terhadap situasi di Indonesia berkaitan dengan fatwa MUI tahun 2005, dalam kehidupan bernegara dan beragama yang pluralistis.
BAB V
berupa Penutup, yang akan memberi Kesimpulan atas semua penguraian dalam bab-bab terdahulu serta Saran seperlunya.
8