BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan, sehingga akses dan penyediaan obat adalah tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah. Selain itu jaminan khasiat, keamanan, mutu obat dan perbekalan kesehatan yang beredar juga harus didukung olah sarana prasarana pelayanan kefarmasian. Di dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 36 diamanatkan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial dan dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk penyediaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Kebijakan Obat Nasional (KONAS) yang tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan
No.
189/Menkes/SK/II/2006
adalah
menjamin
ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat essensial dengan ruang lingkup antara lain mencakup pembiayaan, ketersediaan serta pemerataan obat bagi masyarakat. Gambar 1. Skema Otonomi Daerah dan Desentralisasi Skhema Otonomi Daerah & Desentralisasi •Perwakilan Rakyat •Pilkada
Desentralisasi Politik
Otonomi Daerah
Desentralisasi Penerimaan
Perluasan Taxing Power
Desentralisasi Pengeluaran
Alokasi dana Transfer Ke Daerah
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Kewenangan
Kewenangan yang dilimpahkan • Pembangunan ekonomi dimulai dari daerah • Pertumbuhan ekonomi nasional adalah agregat pertumbuhan ekonomi daerah
Desentralisasi Ekonomi
Catatan : PAD, penerimaan lainnya, dan Transfer ke daerah digunakan untuk mendanai pelaksanaan desentralisasi politik dan desentralisasi kewenangan (money follows function) untuk melayani masyarakat dan penyediaan belanja aparatur, serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
Sumber data : Ditjen, Perimbangan Keuangan Kemenkeu, 2010
1
2
Otonomi daerah di Indonesia mulai diterapkan sejak tahun 2000 berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan didukung dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan dipertegas dengan PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, mengakibatkan beberapa peran pemerintah pusat dialihkan ke pemerintah daerah, termasuk bidang kesehatan. Dengan adanya otonomi daerah ini terjadi 4 desentralisasi yaitu desentralisasi politik dalam bentuk pemilihan kepala daerah; desentralisasi fiskal yang meliputi penerimaan (perluasan kewenangan pajak) dan pengeluaran (alokasi transfer ke daerah); desentralisasi kewenangan (kewenangan yang dilimpahkan); dan desentralisasi ekonomi (pembangunan ekonomi dimulai dari daerah dan pertumbuhan nasional adalah agregat pertumbuhan ekonomi daerah). Penelitian Danishevski, et al (2006) yang mengamati federasi yang terfragmentasi pada desentralisasi kesehatan di Rusia yang dahulunya sangat sentralisasi menjadi federasi sehingga pemerintah pusat menyerahkan sepenuhnya kewenangan pada daerah, namun hasil penelitian menyebutkan ternyata daerah mempunyai lingkup terbatas dalam melakukan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat. Saltman et al (1997) menyatakan pergerakan menuju desentralisasi politik dan ekonomi pada pemerintahan Rusia, tercermin dalam sektor kesehatan dan pandangan komunitas kesehatan internasional
menyatakan
bahwa
reformasi
kesehatan
membutuhkan
desentralisasi sistem kesehatan. Sehingga dalam periode pasca transisi ini dapat terlihat antusiasme negara mantan komunis menerapkan desentralisasi secara luas dan besar-besaran, tetapi tantangan desentralisasi dalam sistem kesehatan Rusia adalah adanya hambatan karena kurangnya kapasitas kelembagaan Vlassov, (2000). Selain itu menurut Twigg (1999) terkait hambatan
desentralisasi
Rusia
lainnya
adalah
kesiapan
administrator/pemerintah lokal untuk mengambil alih tanggung jawab untuk mengelola pendapatan atau anggaran kesehatan.
3
Alur
penganggaran
bersumber
APBN
dari
pusat
kepada
kementerian/lembaga dan daerah seperti pada gambar 2. Gambar.2. Alur APBN Ke Daerah
Sumber data: Ditjen. Perimbangan Keuangan Kemenkeu, 2011
Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terdiri dari komponen pendapatan dan komponen belanja negara. Komponen belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat dan anggaran yang ditransfer ke daerah. Belanja pemerintah
pusat
selain
untuk
digunakan
di
pusat
yaitu
kementerian/lembaga (K/L), ada bagian dari belanja pusat yang diserahkan ke daerah melalui dana Unit Pelayanan Teknis (UPT); dana dekonsentrasi; dan dana tugas pembantuan (TP). Anggaran yang ditransfer ke daerah terdiri dari dana perimbangan; dana otonomi khusus (otsus); dan dana penyesuaian. Dana Perimbangan meliputi Dana Alokasi Umum (DAU); Dana Bagi Hasil (DBH); dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana otsus diberikan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Dana penyesuaian digunakan antara lain
4
untuk tunjangan penghasilan guru, tunjangan profesi guru, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Insentif Daerah (DID). Anggaran pusat yang ditransfer ke daerah sebagai komponen pembiayaan desentralisasi sesuai dengan gambar 3 dibawah ini. Gambar 3. Ruang Lingkup Transfer Ke Daerah Ruang Lingkup Transfer Ke Daerah Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Perimbangan
TRANSFER KE DAERAH
Dana Otsus
DBH PBB
Dana Alokasi Khusus (DAK)
DBH BPHTB
Dana Otsus PAPUA
DBH PPh
Dana Otsus PAPUA BARAT
DBH Cukai HT
Dana Otsus ACEH Dana Infras Otsus Papua Dana Infras Otsus Papua Barat
Dana Otsus & Penyesuaian
Dana Penyesuaian
DBH Pajak
Dana Alokasi Umum (DAU)
DBH SDA
DBH Kehutanan DBH Pert umum
Tambahan Penghasilan Guru
DBH Perikanan
Tunjangan Profesi Guru
DBH Migas
Bantuan Operasional Sek (BOS)
DBH Panas Bumi
Dana Insentif Daerah (DID)
4
Sumber data: Ditjen. Perimbangan Keuangan Kemenkeu, 2011
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK merupakan bagian dari dana perimbangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Daerah tertentu yang mendapat DAK memenuhi kriteria umum (kemampuan fiskal), kriteria khusus (karakteristik wilayah) dan kriteria teknis (data teknis yang diformulasikan menjadi indeks teknis oleh K/L). Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan block grant yang diserahkan kepada daerah yang umumnya untuk sebagai belanja pegawai/gaji, belanja modal dan operasional sedangkan
5
DAK merupakan specific grant yang penggunaannya mengikuti petunjuk teknis yang ditetapkan oleh kementerian terkait setiap tahunnya. Dalam penggunaan DAU tidak dibebankan dana pendamping sedangkan DAK membutuhkan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari besaran DAK yang diterima daerah. Dalam era desentralisasi ini, terjadi reposisi peran pemerintah pusat terhadap akses dan penyediaan obat bagi masyarakat di lingkup kabupaten/kota menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, namun karena adanya keterbatasan anggaran yang ada di daerah maka pemerintah pusat mempunyai kewajiban penyediaan obat program dan persediaan penyangga serta membantu pembiayaan obat di daerah. Gambar 4. Sumber Pembiayaan Obat di Daerah . SUMBER OBAT UNTUK KAB/ KOTA US$ 2.00 DAK
I.
II.
APBN - PUSAT :
-
Bufferstok obat Program : P2PL & Gizi Obat bencana + Flu burung Vaksin Reguler
- Daerah :
- Jamkesmas
APBD :
- DAU - ASKES - BKKBN
Sumber data : Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes Kemenkes, 2010
Di tingkat kabupaten/kota sumber pembiayaan obat meliputi APBN (bufferstock, obat program, obat bencana dan vaksin reguler, jamkesmas) sedangkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) meliputi DAU, Askes dan BKKBN). DAU dapat digunakan untuk penyediaan obat, namun tidak menjamin seluruh kebutuhan obat di daerah, karena banyak digunakan untuk gaji ataupun operasional. Dari kedua sumber tersebut ternyata sesuai dengan analisis Direktorat Jenderal Bina Kefamasian dan Alat
6
Kesehatan (Ditjen. Binfar dan Alkes) belum mencapai standar obat 2 dollar per kapita atau sekitar Rp.18.000,-/orang. Sehingga diusulkan kekurangan pembiayaan obat tersebut melalui DAK. Hal serupa yang dilakukan oleh pemerintah Kenya untuk mengatasi keterbatasan anggaran kesehatan melalui inovasi pendanaan fasilitas langsung (DFF) yaitu anggaran khusus ke daerah untuk sektor kesehatan di daerah. Inovasi sistem pendanaan ini telah digunakan pada sektor pendidikan di Kenya dan negara-negara lain yang mengikuti penerapan pendidikan dasar gratis ( Ayako, 2006). UU No. 33 Tahun 2004, dimana DAK dipergunakan untuk kegiatan fisik dan berumur ekonomi panjang. Obat bisa masuk salah satu kegiatan DAK setelah mendapat persetujuan DPR RI melalui Badan Anggaran Transfer Daerah. Obat adalah benda fisik namun umur ekonomis tidak sepanjang bangunan karena obat mempunyai batas kadaluarsa. Oleh karena itu, sangat penting untuk penyediaan obat ini dari sisi perencanaan (pembiayaan, pengadaan) dan penggunaannya. Bila tidak tepat, obat yang ada bisa menjadi kadaluarsa dan dianggap merugikan negara. Arah kebijakan DAK Bidang Kesehatan untuk subbidang pelayanan kefarmasian adalah penyediaan obat terutama obat generik dan sarana pendukung pengelolaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin yang berkhasiat, aman, bermutu dan bermanfaat terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Sasaran dari penerapan kebijakan ini adalah bantuan untuk penyediaan obat dan perbekalan kesehatan bagi daerah untuk pelayanan kesehatan dasar di kabupaten/kota terutama penduduk miskin dan DTPK untuk mendukung pemenuhan obat 18 bulan. Besaran
alokasi
DAK
Bidang
Kesehatan
Subbidang
Pelayanan
Kefarmasian dibandingkan Pagu DAK Kesehatan secara keseluruhan sekitar 35% atau satu per tiga dari total anggaran DAK Bidang Kesehatan. Ruang lingkup kefarmasian ini juga diperluas dengan menu sarana prasarana penunjang instalasi farmasi kabupaten/kota dalam rangka pengelolaan obat untuk menjamin mutu dan khasiat obat bagi masyarakat.
7
Tabel 1. Perbandingan DAK Subbidang Pelayanan Kefarmasian dibandingkan dengan pagu DAK Bidang Kesehatan. Total DAK Prosentase Tahun Anggaran Kefarmasian Kesehatan (%) 2010 2.829.760.000.000 1.000.000.000.000 35,34 2011 3.000.800.000.000 1.100.685.000.000 36,68 2012 3.005.931.000.000 1.100.685.000.000 36,62 Sumber data: Biro Perencanaan dan Anggaran, Kemenkes 2012
Tabel 2. Menu DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian Tahun Anggaran 2011 Obat dan Perbekkes
2010 Obat dan Perbekkes
IFK Kab/Kota Sarana Prasarana IFK
2012 Obat dan Perbekkes IFK Kab/Kota dan sarana prasarana IFK gugus pulau dan satelir serta Sarana Prasarana
Sumber data: Biro Perencanaan dan Anggaran, Kemkes, 2012
Perencanaan DAK Bidang Kesehatan selalu dimulai dengan t-1, misalkan perencanaan
DAK
Bidang
Kesehatan
Tahun
2011
maka
proses
perencanaannya dimulai sejak awal tahun 2010 yang meliputi penetapan arah kebijakan, ruang lingkup kegiatan/menu dan pembahasan data-data antara pusat dan daerah, sehingga perencanaan DAK bersifat bottom up. Data tersebut akan diolah dengan menggunakan formula teknis sehingga menjadi indeks teknis (IT) subbidang pelayanan kefarmasian. Indeks fiskal adalah indeks yang didapatkan dari perhitungan Fiskal Netto (FN) yang merupakan Penerimaan Umum Daerah dikurangi Belanjan Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). Indeks wilayah (IKW) ditentukan berdasarkan karakteristik wilayah seperti
daerah
pesisir
dan
kepulauan,
daerah
perbatasan,
daerah
tertinggal/terpencil, daerah rawan bencana, daerah ketahanan pangan. Hasil gabungan indeks teknis, indeks fiskal dan indeks kewilayahan akan digabung menjadi Indeks Fiskal Wilayah Teknis (IFWT) akan dibahas dalam sidang badan anggaran transfer dan selanjutnya menjadi alokasi untuk DAK per kabupaten/kota. Penentuan daerah yang layak dengan komposisi 50 %
8
IFW dan 50 % IT dan penentuan besaran alokasi digunakan perumusan 20 % IFW dan 80% IT. Hasil penentuan daerah yang mendapat alokasi beserta besarannya harus dibahas dan mendapat persetujuan panitia kerja (panja) belanja transfer daerah DPR – RI. Tabel 3.Jumlah kabupaten/kota penerima DAK Bidang Kesehatan untuk Subbidang Pelayanan Kefarmasian Jumlah Kabupaten/ Alokasi Alokasi Kab/kota Kota maksimal Minimal Tahun Indeks Penerima Teknis >0 DAK 2010 419 378 18,087 M 489,2 juta 2011 491 440 18,607 M 512,3 juta 2012 491 444 16,464 M 462, 5 juta Sumber data: Biro Perencanaan dan Anggaran Kemenkes, 2012
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tidak semua daerah bisa mendapatkan alokasi DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian. Namun melihat dari persentase penerima DAK pada tahun 2011 dan 2012 sekitar 90% dari total kabupaten/kota maka perlu diteliti ketepatan sasaran DAK pada subbidang pelayanan kefarmasian pada tingkat kabupaten/kota, karena bila 90% mendapat alokasi khusus maka ada kecenderungan bahwa DAK ini sudah kehilangan “kekhususannya”. Sangat dimungkinkan terjadinya daerah dengan kapasitas fiskal tinggi yang seharusnya tidak layak mendapatkan alokasi, tetap mendapat alokasi tersebut. Hal ini akan mengurangi besaran anggaran DAK pada daerah lainnya yang lebih layak mendapatkan. Dengan adanya DAK untuk memenuhi kebutuhan obat, maka daerah akan cenderung mengurangi anggaran obatnya dalam APBD dan mengandalkan pusat sebagai sumber pembiayaan obat. Hal ini tidak sesuai dengan konsep desentralisasi dan kembali ke resentralisasi. Selain itu tujuan DAK sebagai bantuan atau penambah anggaran obat di daerah tidak tercapai karena justru anggaran DAK ini menjadi subsitusi atau pengganti anggaran obat di daerah. Menurut Gilson et al (2005) dan James et al (2006) mengurangi anggaran kesehatan mempunyai dampak terhadap pengurangan anggaran untuk fasilitas pelayanan kesehatan, peningkatan beban kerja, pengurangan anggaran obat,
9
penurunan kinerja sumber daya kesehatan dan dampak negatifnya adalah keengganan masyarakat untuk menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan dalam rangka melihat ketepatan sasaran dalam penerapan kebijakan pembiayaan obat melalui DAK Bidang Kesehatan yang dilatarbelakangi dengan adanya kekurangan sumber pembiayaan obat dari pusat dan daerah untuk mencapai standar Rp. 18.000,- per kapita. B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalahnya adalah apakah besaran alokasi DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian untuk kabupaten/kota sudah sesuai sasaran ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum: diketahuinya hasil evaluasi besaran DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian terhadap kesesuaian dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tujuan khusus mengetahui penggunaan DAK bagi daerah yang dengan kemampuan fiskal tinggi. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan masukan dan saran dalam rangka penyempurnaan arah kebijakan, data dan formulasi yang digunakan dalam pengalokasian DAK di daerah bagi pengambil kebijakan di Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan, khususnya di Biro Perencanaan dan Anggaran serta Ditjen. Bina Kefarmasian dan Alkes yang disertai dengan bukti empirik tentang besaran
10
alokasi DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian terkait dengan sasaran yang akan dicapai. E. Keaslian Penelitian
Penelitian oleh Gani (1999) tentang Aplikasi Indikator Kesehatan dan Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) dalam Alokasi Anggaran Kesehatan Masyarakat mengevaluasi bagaimana cara alokasi anggaran pusat ke kabupaten-kabupaten di Jawa Barat sehingga alokasi tersebut relevan dan responsif terhadap kebutuhan kesehatan di masing-masing kabupaten. Adapun data yang digunakan meliputi data IPM yang diambil dari BPS, data imunisasi diambil dari Dinas Kesehatan dan data keadaan lantai rumah serta akses rumah tangga kepada air bersih diperoleh dari Susenas. Analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif. Hasil penelitian Gani menyatakan bahwa penggunaan formula dalam pengalokasian anggaran mempunyai keunggulan 2 kali lebih baik dari cara konvensional. Sedangkan penelitian ini difokuskan untuk ketepatan sasaran kabupaten/kota yang mendapatkan DAK yang pengalokasiannya berdasarkan formulasi dari indeks fiskal, indeks kewilayahan dan indeks teknis. Data yang digunakan bersumber dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan. Penelitian oleh Herbianto dkk (2004) yang berjudul Desentralisasi Pembiayaan Kesehatan dan Teknik Alokasi Anggaran, melihat tentang perkembangan dana-dana desentralisasi dan dekonsentrasi, apakah bergerak ke arah desentralisasi atau ke arah resentralisasi. Hasil penelitian Herbianto menemukan
bahwa
pengalokasian
anggaran
kesehatan
tidak
mempertimbangkan kemampuan fiskal daerah dan sosial ekonomi masyarakat, sehingga daerah yang kaya dan miskin mendapatkan alokasi yang sama. Mekanisme anggaran pusat belum dapat menyeimbangkan perbedaan keuangan antar daerah dan tidak adanya formula yang jelas, maka proses penganggaran banyak dipengaruhi hal yang bersifat non teknis. Jenis penelitian menggunakan data sekunder yang diolah secara kuantitatif.
11
Sedangkan penelitian ini mengarah kepada sumber pembiayaan desentralisasi yaitu DAK dikaitkan dengan sasaran kebijakan penerapan pembiayaan obat melalui DAK. Penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2008) tentang Kebijakan Transfer Anggaran Belanja Departemen Kesehatan dan Penyusunan Formula Anggaran, menjelaskan tentang mekanisme transfer anggaran dekonsentrasi, tugas pembantuan dan sektoral di Departemen Kesehatan yang tidak jelas arahnya dan belum menggunakan formulasi yang jelas. Hasil penelitian Herawati menyatakan program kesehatan ibu belum mempunyai formula yang jelas; program TBC berdasarkan hystorical budget dan dipengaruhi oleh donor; alokasi untuk RS tidak mempertimbangkan kemampuan fiskal daerah; program obat dan gakin menggunakan jumlah penduduk miskin sebagai indikator pengalokasian anggaran. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Sedangkan penelitian ini lebih mengarah kepada formulasi anggaran transfer daerah yaitu DAK yang sudah menggunakan formulasi. Hasil dari penghitungan tersebut dikaitkan kembali kepada sasaran DAK. Penelitian yang dilakukan Opwora et al pada tahun 2009 terkait Direct Facility Funding (DFF) yaitu pendanaan langsung kepada fasilitas pelayanan kesehatan sebagai dampak dari pengurangan anggaran kesehatan yang diimplementasikan pada pusat pelayanan kesehatan dan apotik (pelayanan kefarmasian) di Kenya. Penelitian ini dilakukan setelah implementasi kebijakan DFF selama 2,5 tahun. Secara kuantitatif dengan mengambil data dari 30 pelayanan kesehatan dan apotik serta depht interview dengan 12 pimpinan pelayanan kesehatan,
staf dinas kesehatan dan stake holder
lainnya. DFF ini merupakan income/pendapatan bagi daerah dimana 47 % untuk pelayanan kesehatan dan 62% untuk farmasi. Penggunaan DFF ini untuk tenaga kesehatan (32%), untuk perjalanan dinas (21%) sedangkan untuk infrastruktur dan pemeliharaan (18%). DFF ini berdampak positif pada pelayanan kesehatan masyarakat, renovasi infrastruktur pelayanan kesehatan, rujukan pasien dan peningkatan motivasi tenaga kesehatan. Permasalahan dari
12
DFF ini adalah tingkat kepatuhan pelaporan dan tidak ada dokumentasi DFF ini di fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu keterbatasan pengetahuan terkait DFF ini membuat ketidakpercayaan antara tenaga kesehatan dengan pemerintah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peningkatan anggaran kesehatan berdampak signifikan ketika anggaran tersebut dikelola oleh daerah, dan pemerintah Kenya akan menerapkan DFF ini secara luas namun disertai pelatihan, pendokumentasian dan fokus untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat. Pada penelitian ini DFF merupakan sistem pendanaan yang menyerupai DAK di Indonesia, dimana anggaran langsung dari pusat masuk
ke daerah. Kuantitatif menggunakan data dari 491
kabupaten/kota untuk evaluasi besaran alokasi DAK Bidang Kesehatan 2011 dan 2012 untuk Pelayanan Kefarmasian dikaitkan dengan kesesuaian sasaran dalam arah kebijakan DAK Bidang Kesehatan. Sedangkan kualitatif dengan melakukan
wawancara
pengelola
kefarmasian
di
2
kabupaten/kota
kemampuan fiskal tinggi, namun daerah tersebut mendapat DAK. Penelitian yang dilakukan Ockti Palupi (2011) menitikberatkan pada pengaruh formula dalam pengalokasian DAK untuk menu tempat tidur kelas III di RS provinsi/ kabupaten/kota. Penelitian ini dilakukan 2 tahap, yaitu penyusunan formula DAK baru oleh RS terpilih dan tahap kedua membandingkan formula DAK versi Ditjen. Pelayanan Medik (Yanmed) dengan formula DAK yang baru. Rancangan penelitian pada tahap pertama menggunakan analisis deskriptif, sedangkan tahap kedua menggunakan analisis cross sectional dengan uji statistik Chi Square ( x²). Hasil penelitian Palupi (2011), adanya usulan formula pengalokasian DAK daerah hampir sama dengan pusat dan prioritas yang ditentukan pusat belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada besaran alokasi DAK dikaitkan dengan arah kebijakan penyediaan obat dan perbekalan kesehatan yang sasarannya adalah penduduk miskin dan DTPK.