BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem hukum Indonesia mengadopsi sistem hukum peninggalan Belanda, yang merupakan tradisi hukum yang paling umum dianut di hampir seluruh benua Eropa, Amerka Selatan, dan berbagai Negara Asia. Sistem hukum kontinental biasanya dianggap mengandalkan kitab undangundang. Menurut teorinya, para hakim di negara yang menganut tradisi hukum Kontinental seharusnya hanya menerapkan hukum yang termuat dalam undang-undang atau kitab undang-undang maupun tidak boleh membuat hukum. Berlawanan dengan Hukum Kontinental, Negara dengan sistem hukum Anglo-saxon menganggap Hakim adalah pembuat Undang-Undang. Hakim berhak membuat putusan yang lebih didasarkan pada norma yang berlaku di masyrakat dari pada berpegang pada norma hukum itu sendiri. Namun, perbedaan tersebut semakin lama semakin tidak penting di negaranegara yang telah menerapkan sebagian dari tradisi hukum Anglo-saxon. (http://hukumpedia.ac.id) Pada negara – negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika dan Inggris, Pendapat atau Opini di bidang hukum biasanya merupakan penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan peranan Para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan Tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsip hukum yang mengarahkan mereka kepada peraturan yang dibuat. Pendapat biasanya diterbitkan dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para Hakim Pengadilan tersebut biasanya kemudian melakukan penegakkan kembali, perubahan, dan penerbitan 1
2
terhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan dalam hukum. Pendapat atau Opini dalam hukum tersebut dikenal dengan istilah Legal Opinion. Legal Opinion dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai pendapat hukum. Pada negara – negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon, Legal Opinion tersebut terdiri dari : 1.Judicial Opinion adalah pernyataan atau pendapat atau putusan hakim di dalam memutuskan perkara atau kasus, baik kasus perdata maupun pidana; 2.Majority Opinion adalah pendapat hakim yang disetujui oleh mayoritas dari para hakim pengadilan; 3. Dissenting Opinion adalah perbedaan pendapat; 4.Plurality Opinion adalah pendapat yang berasal dari suatu kelompok dari lingkungan peradilan, yang kerapkali dalam pengadilan banding, dimana tidak terdapat pendapat tunggal yang diterima yang didukung oleh kelompok mayoritas di pengadilan. 5.Concuring Opinion adalah pendapat tertulis dari beberapa hakim pengadilan yang setuju dengan kelompok mayoritas di pengadilan tetapi menuangkannya dengan cara yang berbeda. 6.Memorandum Opinion adalah pendapat yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan tertinggi kepada lembaga peradilan yang lebih rendah berupa catatan atau memo. ( http://www.jdih.bpk.go.id /informasihukum/ Dissenting_Opinion.pdf ) Lain halnya dengan sistem hukum Kontinental yang bersifat dogmatis, dimana dalam proses peradilannya tidak menggunakan sistem juri tetapi segala sesuatunya kembali kepada ketentuan undang-undang, sehingga yang diperdebatkan oleh para hakim seharusnya adalah peraturan dalam undang-undang yang didakwakan kepada terdakwa. Namun, sebenarnya pada negara – negara yang menganut sitem hukum Eropa Kontinental seperti Negara Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem hukum Kontinental, memberikan kekuasaan kepada Hakim sebagai kaki yang di ibaratkan sebagai terompet undang – undang. Pasal 1 Undang
3
Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman juga mempunyai beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum. Asas-asas hukum umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baik menurut Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari diantaranya meliputi hal-hal sebagai berikut : 1.Asas Kebebasan Hakim 2.Pemeriksaan Berlangsung Terbuka 3.Hakim Bersifat Aktif 4.Asas Objektivitas 5.Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht) 6.Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan” 7.Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan 8.Susunan Persidangan Dalam Bentuk Majelis 9.Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat ( Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005: 66) Menurut buku “Peristilahan Hukum Dalam Pratek” yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia tahun 1985, hal 221, putusan diartikan sebagai berikut “Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan” (Leden Marpaung, 1992: 406). Berdasarkan uraian diatas, apabila putusan hakim dijatuhkan dengan memenuhi asas – asas tersebut diatas selain menjamin adanya kepastian hokum, diharapkan juga demi memenuhi rasa keadilan. Sebagaimana diketahui, bahwa di dalam KUHP dikenal jenis – jenis perkara yaitu persidangan perkara biasa, perkara singkat, serta perkara cepat. Disamping
4
itu di dalam KUHAP dikenal adanya hal yang baru yakni pemeriksaan dalam persidangan pra peradilan. Putusan hakim diambil setelah pemeriksaan ditutup, kemudian diadakan suatu musyawarah terakhir oleh Majelis Hakim untuk mengambil keputusan. Dalam Pasal 186 ayat (6) KUHAP menyatakan bahwa sedapat mungkin musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika telah diusahakan dengan sungguh-sungguh namun tidak dicapai kesepakatan bulat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak dari majelis hakim atau putusan diambil berdasarkan pendapat hakim yang paling menguntungkan, kemudian pendapat hakim yang berbeda akan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Jadi,
menurut
Pasal 77
KUHAP
pengadilan
negeri
dapat
melaksanakan sidang praperadilan untuk menentukan apakah penangkapan atau penahanan dilakukan secara sah. Pengadilan juga berwenang untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Seringkali dalam sidang pra peradilan Hakim mengeluarkan Dissenting Opinion dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan. Dissenting Opinion itu sendiri lebih sering digunakan di negaranegara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxon seperti Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris. Pada Sistem Hukum tersebut Dissenting Opinion digunakan jika terjadi perbedaan pendapat antara seorang Hakim dengan Hakim lain yang putusannya bersifat mayoritas. Pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan tersebut akan ikut dilampirkan dalam putusan dan menjadi Dissenting Opinion. Di Amerika Serikat yang menjadi perdebatan oleh para hakim adalah kasus yang diperiksa. Hal tersebut dimaksudkan agar terciptanya suatu hukum baru karena secara prinsip para hakim tersebut berpegang teguh pada pemikiran Judge Made Law. Dimana para hakim tersebut dituntut untuk senantiasa dapat menjawab dan memberikan kepastian hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dalam masyarakat.
5
Pada awalnya penerapan Dissenting Opinion sangatlah tidak mungkin diterapkan di Indonesia karena tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga terdapat ketentuan dalam Buku II MA yang melarang penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Walaupun demikian Dissenting Opinion itu sendiri bukan merupakan suatu hal yang baru khususnya dalam komunitas masyarakat hukum yang secara tatanan keilmuan telah mempelajari teori – teori maupun aplikasinya dalam bidang hukum. Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam tatanan teori maupun praktek hukum, namun dirasakan sangatlah perlu untuk diberikan suatu perspektif yang jelas tentang penggunaan mekanisme Dissenting Opinion. Seiring dengan perkembangan zaman, dimana muncul banyak sekali kasus-kasus
yang
menuntut
kecermatan
dari
para
hakim
dalam
memutuskannya maka di indonesia diterapkan juga penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Selain itu, penerapan Dissenting Opinion tersebut juga dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran sederhana yang menyatakan bahwa sebuah putusan itu baru bisa disebut adil apabila setiap hakim bisa menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas, terbuka dan jujur dengan tentunya menggunakan pertimbangan hukum, sampai dihasilkan satu putusan yang bersifat kolektif. Kini terminology Dissenting Opinion pun bukan hal yang asing lagi di kalangan masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi kelompok masyarakat yang merupakan komunitas hukum yang memang secara tatanan keilmuan telah mempelajari teori – teori maupun aplikasinya dalam bidang hukum. Prinsip dari adanya Dissenting Opinion adalah adanya suatu perbedaan yang terjadi, yang di Indonesia isu ini mengemuka secara eksklusif di bidang hukum pidana dan acara pidana. Meskipun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam tatanan teori maupun praktek hukum, Namun topik Dissenting Opinion ini juga merupakan satu aspek hukum yang juga perlu untuk dikritisi agar tidak terbentuk suatu opini yang keliru dikalangan masyarakat. Karena
6
masyarakat mulai memiliki suatu persepsi bahwa Dissenting Opinion adalah suatu rekayasa hukum, yang bukanya berupaya menegakkan supremasi hukum. Yang akan disampaikan dalam tulisan ini adalah berkenaan dengan upaya untuk memberikan suatu perspektif tentang penggunaan maupun dampak dari penggunaan mekanisme Dissenting Opinion tersebut agar tidak ada salah pengertian mengenai Disenting Opinion itu sendiri. Dari uraian tersebut diatas penulis tertarik untuk menggali lebih dalam dengan menuangkannya dalam suatu penelitian hukum dengan judul : “
ANALISIS
YURIDIS
TERJADINYA
PERBEDAAN
PENDAPAT (DISSENTING OPINION) DIANTARA HAKIM DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS PERKARA PRA PERADILAN TENTANG PENGHENTIAN PENUNTUTAN YANG TIDAK SAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PUTUSAN (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 70 PK/2006) ”
7
B. Perumusan Masalah Di dalam setiap penelitian diperlukan adanya perumusan masalah agar penelitian tetap terarah, tidak menimbulkan pengertian yang menyimpang dari pokok permasalahan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk terjadinya Dissenting Opinion diantara para Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah? 2. Bagaimanakah implikasi terjadinya perbedaan pendapat Dissenting Opinion diantara Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan terhadap putusan yang dijatuhkan? C. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan penelitian yang jelas dan sudah pasti, sebagai sasaran yang akan dicapai untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Maka berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan oleh penyusun, tujuan penulisan hukum ini adalah: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui bentuk terjadinya Dissenting Opinion diantara para Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah. b. Untuk
mengetahui
implikasi
terjadinya
perbedaan
pendapat
Dissenting Opinion diantara Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan terhadap putusan yang dijatuhkan.
8
2. Tujuan Subyektif a. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya mengenai penyelesaian suatu perkara pidana . c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian Selain tujuan penelitian seperti tersebut di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberi hasil guna sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis : a. Dapat memberikan masukan kepada peneliti di bidang hukum acara pidana, terutama yang berhubungan dengan putusan hakim yang berbeda pendapat dissenting opinion. b. Dapat memberikan gambaran mengenai dissenting
opinion
para
Hakim
perbedaan pendapat
terhadap
kasus
penghentian
penuntutan. c. Hasil
dari
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menyumbangkan
pemecahan-pemecahan atas permasalahan dari sudut teori. d. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang karya ilmiah yang tujuannya juga untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang hukum. e. Penelitian ini juga merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah kemampuan, pengalaman dan dokumentasi ilmiah.
9
2. Manfaat Praktis a. Dapat menjadi masukan bagi pihak yang berwenang sebagai bahan untuk menyusun kebijaksanaan khususnya yang berkaitan dengan dissenting opinion. b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penyusun dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. c. Dapat memperluas cakrawala berfikir dan pandangan bagi civitas akademika
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta,
khususnya
mahasiswa Fakultas Hukum yang menerapkan penulisan hukum ini. d. Dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang sedang terjadi. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif yang lebih mementingkan pemahaman data yang ada daripada kuantitas / banyaknya data (Lexy J. Moleong, 1993:3). Dalam penelitian hukum normatif, peneliti cukup dengan mengumpulkan datadata sekunder dan mengkonstruksikan dalam suatu rangkaian hasil penelitian. Sifat penelitian yang akan dilakukan yaitu deskriptif analitis. Disebut deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai masalah yang diteliti, yaitu mengenai perbedaan pendapat Dissenting Opinion diantara Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan.
2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan menggunakan pendekatan penelitian yang menggunakan metode penelitian kualitatif sesuai dengan sifat data yang ada.
10
3. Jenis Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahanbahan kepustakaan, terdiri dari literature, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti.
4. Sumber Data Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah sumber data sekunder. Yang dimaksud sumber data sekunder adalah bahan-hahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen putusan pengadilan, buku-buku, laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Bahan Hukum Primer 1) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70 PK / Pid / 2006; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 3) UU No. 81 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 4) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; 5) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung; 6) Perma No. 2 Tahun 2000 tentang Hakim Ad Hoc.
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data sekunder dari bahan hukum primer yang akan digunakan dalam
11
penelitian ini yakni terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, koran, makalah dan majalah.yang terkait dengan masalah penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan jenis dan sumber datanya. Sumber data yang disebut bahan penelitian ini diperoleh lewat penelitian ini diperoleh lewat penelitian kepustakaan akan diinventarisasi dan dianalisis.
6. Teknik Analisis Data. Teknik analisa yang dipakai peneliti adalah teknik analisa kualitatif dengan model interaktif yaitu komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data terkumpul maka ketiga komponen tersebut berinteraksi dan bila kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali menyimpulkan data lapangan (H.B. Soetopo, 1999:8). Menurut H. B. Soetopo, ketiga komponen tersebut adalah : a. Mereduksi data Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan yang tertulis di lapangan. Kegiatan ini berupa menajamkan, menggolongkan, mengarahkan dan membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data. b.
Menyajikan data Penyajian data sebagai sekumpulan informasi yang tersusun dalam suatu kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif dalam
konfigurasi
yang
mudah
dipakai
kemungkinan adanya pengambilan keputusan.
sehingga
memberi
12
c.
Menarik kesimpulan Penarikan kesimpulan terhadap data yang sudah tersaji dengan baik dan terorganisir. Dengan demikian data yang terkumpul akan berhubungan satu dengan yang lainnya secara sistematis.
Untuk lebih jelas dapat digambarkan pada bagan di bawah ini mengenai tiga hal yang utama secara siklus dan interaktif yang bergerak bolak-balik diantara kegiatan tersebut. (H.B. Soetopo, 1999:8)
Pengumpulan Data
Data Display (Penyajian data)
Data Direduksi
Conclusion drawing (kesimpulan)
(Gambar : analisa model interaktif)
Setelah data terkumpul kemudian direduksi, setelah itu kita sajikan kemudian kita ambil kesimpulan. Tahapan ini harus dilakukan secara berurutan, seperti misalnya kita memperoleh data tanpa kita reduksi data itu sudah lengkap langsung kita sajikan. Dan misalnya kita sudah sampai tahap penyajian data maka kita kesulitan untuk mengambil kesimpulan, karena data masih kurang lengkap dan kita dapat kembali ke tahap pengumpulan data lagi atau ke tahap yang lainnya. Jadi antara tahap satu dengan lainnya saling berhubungan membentuk suatu siklus.
13
F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatu uraian mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan terperinci, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa yang ditulis tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kerangka ini, penulis menguraikan tentang hal-hal pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukm ini terdiri dari empat bab, yaitu: BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini Penulis menguraikan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan
dan
manfaat
penelitian,
metodologi
penelitian dan sistematika skripsi. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini diuraikan tinjauan umum tentang pengertian dan pengaturan Dissenting Opinion, tinjauan numum mengenai pengertian, tujuan dan wewenang pra peradilan, serta tinjauan umum mengenai pengertian dan alasan tentang penghentian penuntutan.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam Bab ini Penulis menguraikan analisis yuridis mengenai
terjadinya
perbedaan
pendapat
(Dissenting
Opinion) diantara para Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah dan implikasinya terhadap putusan. Materi-materi dan teori-teori ini merupakan landasan yang mendasari analisis hasil penelitian yang diperoleh mengacu pada pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan pada Bab I.
14
BAB IV
: PENUTUP Dalam
bab
ini
diuraikan
permasalahan–permasalahan penelitian.. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
kesimpulan yang
dari
jawaban
menjadi
obyek
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Dissenting Opinion a. Pengertian dissenting opinion Dissenting opinion merupakan hal baru dalam sistem hukum di Indonesia. Ada beberapa definisi dissenting opinion, yaitu : 1) Menurut Bagir Manan Dissenting
opinion
adalah
pranata
yang
membenarkan
perbedaan pendapat hakim (minoritas) atas putusan pengadilan (Bagir Manan,2006:11). 2) Menurut Artidjo Alkostar : Dissenting opinion merupakan suatu perbedaan pendapat hakim dengan hakim lain (Artidjo Alkostar,2000:1) 3) Menurut Pontang Moerad : Dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim (Pontang Moerad, 2005: 111). Dissenting Opinion merupakan pendapat/Putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim yang mengadili suatu perkara. Umumnya ditemukan di negara-negara yang bertradisi common law di mana lebih dari satu hakim mengadili perkara. Tetapi, sejumlah negara yang menganut tradisi hukum kontinental telah memperbolehkan dissenting opinion oleh hakim, terutama di pengadilan yang lebih tinggi. Di Indonesia, awalnya dissenting opinion ini diperkenalkan pada pengadilan niaga, namun kini telah
15
16
diperbolehkan di pengadilan lain, termasuk dalam perkara pidana .(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Dissenting_Opinion.p df)
b. Pengaturan dissenting opinion Pranata dissenting opinion muncul setelah dikeluarkannya Undang-Undang
No.
4
Tahun
2004
tentang
Kekuasaan
Kehakiman. Dimana dijelaskan dalam Pasal 19 UU no.4 tahun 2004 ayat 3 mengatakan bahwa rapat musyawarah hakim adalah bersifat rahasia, yang berarti bahwa tidak boleh diketahui oleh umum atau diluar yang ikut musyawarah, sedang ayat 5 mengatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan (dissenting opinion). Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam putusan juga diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan Dissenting Opinion pada LembagaLembaga Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencatuman Dissenting Opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada Pengadilan Niaga dan pada Mahkamah Konstitusi :
17
1)
Pada Pengadilan Niaga, model pencatuman Dissenting Opinion terpisah dari putusan.
2)
Pada Mahkamah Konstitusi, Dissenting Opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
3)
Sehingga
diperlukan
penyeragaman
model
pencatuman
Dissenting Opinion dalam suatu peraturan yang khusus mengatur tentang Dissenting Opinion tersebut. Namun, sebelum memasukkan Dissenting Opinion dalam Peraturan Perundang-Undangan terlebih dahulu harus mengetahui adakah nilai-nilai positif atau manfaat yang dapat kita peroleh dari penggunaan Dissenting Opinion tersebut. Apakah Dissenting Opinion dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum negara kita. Pada Kenyataanya keinginan memasukan Dissenting Opinion dalam KUHAP dilatarbelakangi oleh karena Dissenting Opinion dirasakan mempunyai manfaat dan nilai-nilai positif yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengontrol Hakim. Nilai-nilai positif yang bisa diambil dari pelaksanaan Dissenting Opinion, yaitu : a) dapat diketahui pendapat Hakim yang berbobot, dalam upaya
hukum
banding
atau
kasasi
akan
menjadi
pertimbangan pendapat Hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut; b) sebagai indikator untuk menetukan jejang karir Hakim, karena dari sinilah dapat dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi Hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi Hakim berdasarkan kualitas putusan Hakim;
18
c) sebagai
upaya
masyarakat
untuk
terhadap
menghindari praktek
kecurigaan
dari
Korupsi,Kolusi
dan
Nepotisme (KKN) dan Mafia Peradilan; d) dengan Dissenting Opinion dapat diketahui apakah putusan Hakim tersebut sesuai dengan Aspirasi Hukum yang berkembang dalam masyarakat; e) Dissenting Opinion juga dapat dipakai untuk mengatur apakah
suatu
Peraturan
Perundang-Undangan
cukup
responsif. f) Nilai-nilai positif tersebut di atas baru dapat diwujudkan jika kebijakan untuk memberlakukan Dissenting Opinion tersebut didukung juga dengan adanya kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan salinan putusan pengadilan, karena jika tidak maka Dissenting Opinion tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat karena masyarakat tidak dapat mengetahui dan menilai pendapat Hakim yang berbeda dengan putusan. Dalam KUHAP diatur mengenai tingkatan pemeriksaan suatu perkara pidana. Tahapan tingkat pemeriksaan tersebut terdiri atas tahap pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti yang diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP, tahap proses persidangan selanjutnya ialah
penuntutan , pembelaan, dan
jawaban. Tibalah saatnya hakim ketua mejelis menyatakan pemeriksaan
dinyatakan
ditutup”.
Pernyataan
inilah
“
yang
mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim, guna menyiapkan putusan yang akan diajukan pengadilan. Sebenarnya, dari tahap-tahap tingkat pemeriksaan tersebut yang paling ditunggu-tunggu
ialah
keluarnya
putusan
hakim.
Putusan
pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam
19
sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Pengambilan putusan dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 182 ayat 4 KUHAP. Untuk menentukan suatu putusan perlu diadakan musyawarah terlebih dulu oleh majelis hakim, dalam musyawarah tersebut didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis memberi kesempatan kepada setiap anggota majelis untuk memberikan pendapat disertai dengan alasannya dan yang memberi pendapat terakhir ialah ketua majelis(Pasal 182 ayat 5 KUHAP). Pada asasnya putusan yang dikeluarkan majelis hakim tersebut merupakan hasil permufakatan bulat. Namun, apabila setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai kesepakatan, maka berlaku ketentuan bahwa putusan yang diambil merupakan putusan yang diambil dengan suara terbanyak, jika suara terbanyak tidak juga dapat terpenuhi maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa (Pasal 182 ayat 6 KUHAP ). Apabila putusan diambil seperti ketentuan dalam ayat (6) tersebut maka dicatat daam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Dalam pasal 182 Ayat (6) KUHAP, Hukum Acara (Pidana) Indonesia masih mengandalkan sistem tertutup dan rahasia berdasarkan pendekatan konservatif. Adanya suatu putusan harus dilandasi suatu permufakatan bulat, kecuali apabila dengan sungguh-sungguh permufakatan bulat tidak dapat dicapai, maka putusan
diambil
dengan
suara
terbanyak
dengan
tetap
20
memperhatikan
prinsip
In
Dubio
Proreo
(yang
paling
menguntungkan terdakwa), bahkan penjelasan Pasal tersebut menegaskan bahwa dissenting opinion tersebut dicatat dalam berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia. Seolah, dissenting opinion yang terbuka dianggap hal yang tabu saja(Indriyanto Seno Adji, 2001). Pranata dissenting opinion lebih dahulu dikenal dalam tradisi hukum common law system yang dianut negara-negara anglo saxon, sedangkan Indonesia menganut tradisi hukum civil law system atau lebih dikenal dengan eropa kontinental. Karena, dissenting opinion dikenal berasal dari negara yang menganut sistem hukum common law, alangkah baiknya apabila menilik bagaimana pengadilan di negara Amerika Serikat yang menganut tradisi common law dalam memutus suatu perkara pidana. Oleh Karena itu, dipandang sangatlah perlu untuk segera dirampungkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang salah satu Pasalnya direncanakan mengatur tentang Dissenting Opinion. Dengan demikian, diharapkan agar Dissenting Opinion tersebut dapat diterapkan dengan baik oleh Para Hakim pada Lembaga-Lembaga Yudikatif, dalam rangka menegakkan supremasi hukum khususnya dalam menciptakan transparansi
informasi
di
dunia
peradilan
di
Indonesia.
(http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Dissenting_Opinion.p df)
21
2. Tinjauan tentang Pra Peradilan
a. Pengertian pra peradilan Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”Pra Peradilan” maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti ”Pra Peradilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan (Andi Hamzah, 1996:1). Menurut Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang ini tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka: 1) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. 2) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
b. Tujuan Pra Peradilan Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Tindakan upaya paksa
22
yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perampasan terhadap hak asasi tersangka. Pra peradilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun. Lembaga yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam taraf proses pemeriksaan penyidikan atau penuntutan inilah yang dilimpahkan KUHAP kepada pra peradilan. Kalau begitu, pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Pra Peradilan dalam KUHAP, untuk melakukan ”pengawasan horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada di dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang ( M. Yahya Harahap, 2000:4 ). c. Wewenang Pra Peradilan 1) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa Inilah wewenang pertama yang diberikan undangundang kepada pra peradilan. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan. Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan,
23
penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada Pra Peradilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan kepada Pra Peradilan, bahwa tindakan penahanan yang
dikenakan
pejabat
penyidik
bertentangan
dengan
ketentuan Pasal 21 KUHAP. Atau penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP. 2) Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Penyidik menghentikan
maupun
penuntut
pemeriksaan
penyidikan
umum
berwenang
atau
penuntutan.
Alasan penghentian penyidikan yaitu hasil pemeriksaan penyidikan
atau
penuntutan
tidak
cukup
bukti
untuk
meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang disangkakan
kepada tersangka bukan merupakan kejahatan
atau pelanggaran tindak pidana. Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kadaluarsa untuk menuntut. Oleh karena itu, apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kadaluarsa dalam perkara yang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan. Apabila penyidikan atau penuntutan dihentikan perkara yang bersangkutan tidak diteruskan ke sidang pengadilan. Tetapi undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau
24
pihak
ketiga
yang
berkepentingan
untuk
mengajukan
pemeriksaan kepada Pra Peradilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada Pra Peradilan. 3) Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi Pasal 94 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan keluarganya, tersangka atau penasehat hukumnya kepada Pra Peradilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka berdasarkan alasan : a) karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah b) atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. c) karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa. 4) Memeriksa permintaan rehabilitasi Pra Peradilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. 5) Pra Peradilan terhadap tindakan penyitaan Terhadap penggeledahan ataupun penyitaan pun dapat diajukan ke forum Pra Peradilan, baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan :
25
a)
dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan Ketua Pengadilan Negeri mutlak menjadi yurisdiksi Pra Peradilan untuk memeriksa keabsahannya.
b)
dalam hal, penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau surat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri, tetap dapat diajukan ke forum Pra Peradilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni : -
Pra Peradilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau surat persetujuan yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri tentang hal itu.
-
Yang dapat dinilai oleh Pra Peradilan, terbatas pada masalah pelaksanaan surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau tidak (M. Yahya Harahap, 2004:7-8).
3. Tinjauan tentang Penghentian Penuntutan a. Pengertian Penghentian Penuntutan Timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata – kata menutup
perkara,
penghentian
penuntutan,
dan
mengenyampingkan perkara. Undang – undang itu sendiri tidak memberikan penjelasan. Untuk itu sebagaimana layaknya apabila terdapat kata – kata tidak jelas di dalam perundang – undangan, maka digunakanlah metode penafsiran yang dapat dibenarkan untuk dipergunakan dalam rangka menafsirkan perkataan – perkataan yang kurang atau tidak jelas dalam suatu perundang – undangan. Seperti kita ketahui bahwa dalam ilmu hukum (pidana) dikenal beberapa macam penafsiran, antara lain adalah penafsitran secara otentik , sistematik logis, dan lain – lain. Dengan melihat pada penafsiran otentik dari pengertian penuntutan, dapat diketahui
26
bahwa penuntutan merupakan tindakan penuntut umum
untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dengan permintaan agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dengan demikian agar penuntut umum itu dapat disebut telah melakukan penuntutan apabila ia telah melakukan tindakan – tindakan sebagaimana telah disebutkan diatas dan hanya karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwanya sendiri bukan merupakan suatu tindak pidana, penuntut umum kemudian mencabut kembali penuntutanya. Jadi apabila penuntut umum belum melakukan penuntutan, kita juga belum dapat berbicara mengenai penghentian penuntutan. Sedangkan
dalam
penghentian
penuntutan
tersebut
penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Ketentuan tersebut dicantumkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. (P.A.F Lamintang, 1984:106)
b. Alasan Penghentian Penuntutan Menurut Pasal 14 KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang: 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik; 2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan
ayat
4
dengan
memberi
petunjukdalam
menyempurnakan penyidikan dan penyidik.
rangka
27
3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4) Membuat surat dakwan; 5) Melimpahkan perkara kepengadilan; 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan; 7) Melakukan penuntutan; 8) Menutup perkara demi kepentingan hokum; 9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang; 10) Melaksanakan penetapan hakim. Seperti kita ketahui dalam pasal 14 KUHAPmenentukan bahwa salah satu wewenang penutut umum adalah perbuatan untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Dalam ketentuan lain yaitu di dalam Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP menyebutkan pula perbuatan lain yang dapat dilakukan oleh penuntut umum, yaitu berupa penghentian penuntutan, sedang dalam Pasal 46 ayat 1 huruf c KUHAP menentukan pula wewenang lain, yaitu tentang mengesampingkan perkara untuk kepentingan umum. Dasar-dasar yang meniadakan penuntutan antara lain dalam buku 1 KUHP: 1)
Bab V, yaitu dalam Pasal-Pasal 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwabpenerbit dan pencetak itu tidak dituntuit apabila pada benda – benda yang telah dicetak atau diterbitkan itu telah mereka cantumkan nama serta alamat orang yang telah menyuruh mencetak benda – benda tersebut, atau pada kesempatan pertama setelah ditegur
28
kemudian telah memberitahukan nama dan alamat orang tersebut; 2)
Bab VII
, yaitu pada Pasal 72 KUHP dan selanjutnya,
yang menentukan bahwa tidak dapat dilakukan suatu penuntutan apabila tidak ada pengaduan; 3)
Bab VIII , yaitu: a)
Dalam Pasal 82 KUHP yang mengatur batalnya hak untuk melakukan penuntutan karena adanya suatu afdoening
buiten
process
atau
adanya
suatu
penyelesaian tidak melalui proses peradilan, yakni dengan cara membayar jumlah denda tertinggi secara sukarela kepada penuntut umum dalam perkara pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda saja. b)
Dalam Pasal 76 KUHP yang mengingatkan orang akan berlakunya asas ne bis in idem di dalam hukum acara pidana yakni dengan menentukan bahwa tidak seorangpun dapat dituntut untuk kedua kalinya karena tindak pidana yang sama, apabila karena tindak pidana tersebut pelakunya telah mendapatkan suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c)
Dalam Pasal 77 KUHP yang menentukan, bahwa hak untuk melakukan penuntutan itu hapus karena meninggalnya terdakwa.
d)
Dalam Pasal 78 KUHP yang menentukan bahwa hak untuk melakukan penuntutan itu gugur karena kadaluarsa atau karena lampau waktu.
29
Dalam KUHP
juga masih dapat dijumpai beberapa
ketentua pidana yang secara logis haurs dipandang sebagai dasardasar yang meniadakan penuntutan dan bukan sebagai dasar-dasar yang meniadakan pidana, yaitu misalnya ketentuan pidana yang diatur
dalam.Pasal
166
KUHP
yang
berbunyi
antara
lain:“…..Ketentuan-ketentuan pidana dalam Pasal 164 dan 165 KUHP itu tidak diberlakukan bagi mereka yang dengan pemberitahuan tersebut dapat mendatangkan bahwa penuntutan pidana bagi dirinya….” Pasal
221
ayat
2
KUHP
yang
berbunyi
antara
lain:“….Ketentuan-ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi mereka yang telah melakukan tindakan-tindakan sperti yang dimaksudkan di dalamnya dngan maksud untuk mencegah atau menghindarkan bahaya penuntutan bagi salah seorang saudaranya yang sedarah….” Pasal 284 ayat 2 KUHP yang berbunyi:“….tidak ada suatu penuntutan pun akan dilakukan kecuali ada pengaduan dari suami yang terhina…” Menurut Undang-Undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik
Indonesia,
yang
berwenang
mengesampingkansuatu perkara berdasarkan kepentingan umum itu adalah Jaksa Agung. Wewenang untuk mengesampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum seperti itu,dalam ilmu pengetahuan hukum pidan juga dikenal sebagai wewenang untuk mengesampingkan
perkara
berdasarkan
asas
oportunias
(opportuniteits beginsel), yakni salah sebuah asas yang sematamata terdapat dalam hokum acara pidana dan tidak terdapat dalam hokum penitensier. (Andi Hamzah, 1987:169). Menurut Franken wewenang untuk mengesampingakan perkara berdasarkan asa oprtunitas itu meliputi wewenang: 1) tidak menuntut atau tidak melanjutkan penuntutan
30
2) membatasi penuntutan atau penuntutan lebih lanjut lebih lanjut tersebut 3) tidak menuntut atau tidak melanjutkan penuntutan secara bersyarat. Adapun alasan penghentian suatu perkara dalam hukum pidana formil antara lain: 1) Pertama, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diatur dalam Pasal 109 Ayat (2) KUHAP. SP3 dikeluarkan jika tidak terdapat cukup bukti, peristiwa itu bukan merupakan tindak pidana, atau dihentikan demi hukum. Merujuk KUHP dan doktrin yang dimaksudkan dengan ”dihentikan demi hukum” jika perkara itu terkait seseorang yang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama, kedaluwarsa, atau terdakwa meninggal dunia. 2) Kedua, penghentian perkara dengan instrumen surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) berdasarkan Pasal 140 Ayat (2) KUHAP. Alasan penghentian penuntutan sama persis dengan alasan penghentian penyidikan seperti uraian pertama. 3) Ketiga, penghentian perkara oleh Jaksa Agung melalui mekanisme Pasal 35 Huruf c UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang berbunyi, ”Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Hal ini merupakan asas oportunitas Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan suatu perkara pidana demi kepentingan umum. Asas ini adalah pengecualian dari asas legalitas dalam hukum acara pidana yang berarti bahwa setiap perbuatan pidana harus dituntut. Penjelasan Pasal 35 Huruf c menyebutkan, kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas.
31
4. Tinjuan tentang Peninjauan Kembali Kata
“Peninjauan
Kembali”
diterjemahkan
dari
kata
herziening. Mr.M.H.Tirtaamidjaja menjelaskan herziening, sebagai berikut. “Itu adalah suatu jalan untuk memperbaiki suatu keputusan yang telah menjadi tetap jadinya tidak dapat diubah lagi dengan maksud memperbaiki suatu kealpaan Hakim, yang merugikan si terhukum….Kalau perbaikan itu hendak dilakukan, maka ia harus memenuhi beberapa syarat, yakni bahwa ada sesuatu keadaan yang pada pemeriksaan hakim, tidak diketahui oleh hakim itu……jika ia mengetahui keadaan itu, akan memberikan keputusan lain……..” Dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, Permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar : (1)
terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
(2)
dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
(3)
putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Kemudian, di dalam ayat (3) disebutkan bahwa atas dasar
alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan
32
tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Menurut penulis, ini hanya berlaku untuk rehabilitasi nama terdakwa belaka. Dalam Pasal 266 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan Peninjauan Kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut : (1) Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan Peninjauan Kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya. (2) Apapabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan Peninjauan Kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa : (i) putusan bebas (ii) putusan lepas dari segala tuntutan hukum (iii)putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum (iv) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Suatu ketentuan yang tercantum dalam ayat (3) Pasal 266 KUHAP tersebut yang menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan dalam putusan Peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Dalam ayat (2) Pasal itu yang disebut di muka, telah jelas putusan yang dapat dijatuhkan limitatif itu.
33
B. Kerangka Pemikiran Perkara pra peradilan pidana
PUTUSAN PN Surabaya ( sahnya penghentian penuntutan)
Banding
PUTUSAN PT Jawa Timur (surat Penetapan penghentian penuntutan tidak sah)
Kasasi Implikasi terjadinya Ditolak
perbedaan pendapat
Permohonan Peninjauan Kembali
Terjadi Dissenting Opinion dari Ketua Majelis Hakim
·
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dariBAB pemohon III
·
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dan Putusan Mahkamah Agung
Surat Penetapan Penghentian Penuntutan Sah
34
PENJELASAN KERANGKA PEMIKIRAN
Pra peradilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun. Dalam Kasus Para Peradilan itu sendiri tidak jarang terjadi Perbedaan Pendapat antara para Hakim dalam mengambil keputusan yang sering disebut dengan Dissenting Opinion. Dissenting Opinion merupakan pendapat/Putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim yang mengadili suatu perkara. Umumnya ditemukan di negara-negara yang bertradisi common law di mana lebih dari satu hakim mengadili perkara. Tetapi, sejumlah negara yang menganut tradisi hukum kontinental telah memperbolehkan dissenting opinion oleh hakim, terutama di pengadilan yang lebih tinggi. Di Indonesia, awalnya dissenting opinion ini diperkenalkan pada pengadilan niaga, namun kini telah diperbolehkan di pengadilan lain, termasuk dalam perkara pidana. Kerangka
pemikiran
tersebut
menjelaskan
mengenai
implikasi
dissenting opinion antara para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara pra peradilan tentang penghentian penuntutan yang tidak sah, dimana pada akhirnya Disenting Opinion tersebut tidak berpengaruh apa – apa terhadap putusan karena perbedaan (Dissenting Opinion) yang diajukan kalah suara. Dan tidak berpengaruh terhadap sahnya penghentian penuntutan.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk Terjadinya Dissenting Opinion Diantara Para Hakim Mahkamah Agung dalam Memeriksa dan Memutus Perkara Pra Peradilan tentang Penghentian Penuntutan yang Tidak Sah
1. Deskripsi Kasus Pada bulan Oktober 2000 Jemmy Tjahyadi menjual 9 bidang tanah (9 petok D) kepada Pemohon (Ikatan Jual Beli di hadapan Notaris Soetarto H. Soebroto, S.H.) dan kemudian setelah diumumkan di BPN, H. Abdullah mengajukan keberatan atas akan di terbitkannya sertifikat atas nama Jemmy Tjahyadi. Sehubungan dengan tidak terbitnya sertifikat tersebut, pada tanggal 27 Agustus 2001, Basuki Rahardjo (Staf BPN Surabaya) meminjamkan warkah permohonan hak kepada Sri Harjo (Kuasa dari Jemmy Tjahyadi tanggal 23 Agustus 2001). Akibat pengeluaran warkah tanpa prosedur tersebut, Jemmy Tjahyadi dengan bantuan Lurah Sutorejo, Drs. Eddy Christijanto telah merubah petok-petok tersebut menjadi atas nama Tjahyadi Susanto yang telah meninggal dunia pada tahun 1990, sehingga selanjutnya Jemmy Tjahyadi dapat menjual kembali tanah tersebut kepada Widodo Budiarto alias Tio Boen Hwi (Tersangka), (Akte Jual Beli/PPAT Noor Irawan, S.H.). Jual beli Jemmy Tjahyadi dengan Widodo Budiarto tersebut sebagai saksinya adalah H. Abdullah, Lurah Sutorejo, Sekdes Sutorejo, Sri Hardjono dan Benani Samsudin. H. Abdullah mengetahui dan menyetujui atas peralihan tanah tersebut kepada dirinya sendiri maupun
orang
lain
bahwa
tanah
tersebut
sesuai
putusan
No.599/Pdt.G/1997/PN.Sby., tanggal 4 Maret 1998 tanah yang diperjual belikan terhitung tanggal 11 Maret 1998 status tanah masih dalam keadaan sita jaminan (conservatoir beslag) dan menunggu 35
36
putusan pada tingkat kasasi MARI. Di samping tanah-tanah tersebut saat ini juga menjadi obyek sita jaminan atas perkara perdata No.366/Pdt.G/1999/PN.Sby.,
dalam
sengketa
antara
Boenarto
Tedjoisworo melawan Ahli Waris Tjahyadi Susanto dan H. Abdullah yang hingga kini masih dalam proses hukum. Dasar jual beli tersebut dari Kutipan Register Letter C Kelurahan Sutorejo yang riwayat tanahnya telah diterbitkan lagi oleh Lurah Sutorejo Drs. Eddy Christijanto atas nama Tjahyadi Susanto yang telah meninggal dunia tahun 1990, dan sudah diterbitkan keterangan waris atas nama Jemmy Tjahyadi dan kawan-kawan oleh Notaris Suyanti Subandi, S.H. pada tanggal 23 Juni 1990. Widodo Budiarto (Tersangka) sebelum beli tanah tersebut telah diberitahu dan ditunjukkan bukti berupa akta pengikatan jual beli oleh Pemohon dengan disaksikan M. Anas mantan Lurah Sutorejo dan H. Abddullah membantu menunjukkan ikatan jual beli antara Jemmy Tjahyadi dengan H. Abdullah atas tanah tersebut. Namun diluar dugaaan Pemohon, Termohon pada tanggal 30 September 2002 telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP2) Nomor : 1064/0.5.9/Ep.2/09/2002 atas Tersangka Widodo Budiarto yang berkas masih dalam proses P-22 untuk dilakukan penyempurnaan berkas antara Penyidik pada Polda Jatim dengan Termohon. Dan selain mengeluarkan SKP-2 kepada Tersangka WidodoBudiarto, Termohon juga telah mengeluarkan SKP2 Nomor : 1067/0.5.9/Ep.2/09/2002 atas Tersangka H. Abdullah yang telah
dinyatakan
P-21
(berkas
sempurna),
SKP-2
Nomor
:
1065/0.5.9/Ep.2/ 09/2002 atas Tersangka Drs. Eddy Christianto yang hingga saat ini masih dalam proses P-22 (dalam koordinasi dengan Penyidik) serta Abdul Rachman, SE. dan Sri Hardjono yang berkasnya telah dinyatakan P-21 (berkas sempurna) oleh Termohon sendiri. Maka dengan demikian jelas tindakan Termohon ini telah bertentangan dengan hukum dan berkesan mengabaikan bukti-bukti sah yang ada dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 huruf d
37
Undang-undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan beserta penjelasannya dan Pasal 138 ayat 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya atas Tersangka Widodo Budiarto alias Tio Boen Hwi yang masih dalam proses P-22, hal mana hingga sampai saat SKP-2 dikeluarkan oleh Termohon, Termohon belum pernah melakukan pemeriksaan tambahan atas Tersangka Widodo Budiarto yang dikoordinasikan dengan Penyidik di Polda Jawa Timur sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 huruf d Undang-Undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Dengan demikian SKP-2 ini telah cacat hukum serta jauh dari asas keadilan dan kepastian hukum. Sedangkan alasan Termohon mengeluarkan dan atau menerbitkan SKP-2 a quo adalah karena perkara tersebut tidak cukup alat bukti sehingga tidak layak untuk dilimpahkan ke pengadilan adalah tidak berdasar secara hukum serta bertentangan dengan fakta-fakta hukum yang sebenarnya dengan kata lain Termohon telah bersikap tidak obyektif, tidak hati-hati sehingga mengabaikan asas keadilan dan kepastian hukum dalam menangani kasus a quo, dan karenanya telah merugikan Pemohon. Oleh karena itu pemohon meminta hakim pemeriksa permohonan praperadilan untuk memanggil termohon untuk datang dan menjelaskan surat ketetapan yang dibuat oleh termohon. Dimana pemohon mengajukan permohonan kepada hakim yang memeriksa perkara ini agar membatalkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP-2) yang dikeluarkan oleh termohon. Namun dalam hal ini termohon
lalu
mengajukan
eksepsi
dimana
eksepsi
tersebut
menyatakan bahwa permohonan pemohon telah mencampur adukan permohonan yang satu dengan permohonan yang lain. Namun eksepsi termohon tersebut tidak dapat diterima. Itu berarti permintaan banding pemohon diterima dan pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri, mengabulkan permohonan pemohon, menyatakan
38
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan, dan memerintahkan untuk melanjutkan penuntutan. Pada tanggal 16 Febuari 2005 Mahkamah Agung memutuskan bahwa permohonan kasasi oleh pemohon tidak dapat diterima. Selanjutnya pemohon dengan perantara kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 13 Febuari 2006 mengajukan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 15 Febuari 2006 dengan alasan kepentingan dan kepastian hukum. Dalam peninjaauan kembali tersebut Mahkamah Agung membenarkan alasan alasan peninjauan kembali tersebut dimana putusan Pengadilan Negri terhadap Praperadilan tentang sahnya penghentian penuntutan tidak dapat dimintakan banding, ini berarti dengan membatalkan putusan pengadilan Negeri merupakan suatu kekeliruan yang nyata dari Pengadilan Tinggi. Tapi disini terdapat perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dari Ketua Majelis Harifin A. Tumpa,SH., MH. Yang pada intinya menyatakan Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, dan berpendapat untuk menolak
peninjauan kembali. Karena terjadi
perbedaan pendapat dan tidak tercapai kemufakatan maka keputusan diambil dari suara terbanyak. Yakni mengabulkan peninjauan kembali, membatalkan putusan Pengadilan tinggi, dan menyatakan “Surat Penetapan Penghentian Penuntutan” No. 1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya adalah sah.
2. Alasan Pengajuan Permohonan Pemeriksaan Pra Peradilan Mengenai putusan Praperadilan yang dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, diatur dalam Pasal 83 ayat (2). Disitu ditentukan , Putusan Praperadilan yang menetapkan ”tidak sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan saja yang dapat diajukan banding. Pasal 83 ayat (2) membedakan antara putusan yang ”mengesahkan” dengan ”tidak
39
mengesahkan” penghentian penyidikan / penuntutan. Oleh karena itu, tidak terhadap semua putusan Praperadilan yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penghentian penyidikan / penuntutan. Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 83 ayat (2): a. Terhadap putusan yang menetapkan ”sahnya” penghentian penyidikan / penuntutan tidak dapat diajukan banding. b. Terhadap putusan yang menetapkan ”tidak sahnya” penghentian penuntutan dapat diajukan banding. c. Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan / penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus ” dalam tingkat akhir”. (M. Yahya Harahap, 2002:24) Sedangkan alasan yang diajukan oleh pemohon untuk mengajukan permohonan banding dalam kasus ini adalah: a. Bahwa pada tanggal 21 Pebruari 2002 Pemohon melaporkan Widodo Budiarto, Cs. ke Kepolisian Daerah Jawa Timur dengan alasan bahwa Widodo Budiarto telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat dan atau memberikan keterangan tidak benar ke dalam akta otentik serta penadahan,
sebagaimana
Laporan
Polisi
No.LP/68/II/2002/Puskodalops tertanggal 21 Pebruari 2002. Bahwa dari uraian di atas, maka telah jelas keterlibatan para Tersangka atas persoalan ini adalah sebagai berikut : 1) H. Abdullah alias H. Tik Abdullah : Bahwa H. Abdullah sekitar tahun 1997 telah mengajukan gugatan terhadap Ahli Waris Tjahyadi Susanto yaitu Jemmy Tjahyadi dan kawan-kawan yang terdaftar dalam register perkara No.599/Pdt.G/ 1997/PN.Sby., yang telah diputus pada tanggal 4 Maret 1998 yang isinya antara lain mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang dilakukan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Surabaya
40
pada tanggal 11 Maret 1998, daftar No.599/Pdt.G/1997/PN.Sby., atas 5 (lima) bidang tanah yang kesemuanya terletak di Desa Sutorejo,
Kecamatan
Mulyorejo,
Kotamadya
Surabaya
sebagaimana termuat dalam berita acara sita jaminan ; Bahwa selanjutnya atas putusan tersebut dilakukan banding oleh para pihak sehingga turun putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur No.986/Pdt/1998/PT.Sby., dan atas putusan ini pun masih dimintakan kasasi, sehingga dengan demikian sita jaminan yang diletakkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya tersebut masih berlaku dan belum diangkat (Vide bukti P-6) ; Bahwa di samping tanah-tanah tersebut saat ini juga menjadi
obyek
sita
jaminan
atas
perkara
perdata
No.366/Pdt.G/1999/PN.Sby., dalam sengketa antara Boenarto Tedjoisworo melawan Ahli Waris Tjahyadi Susanto dan H. Abdullah yang hingga kini masih dalam proses hukum (Vide bukti P-7) ; Bahwa akan tetapi pada tanggal 15 November 2002 saudara H. Abdullah telah bertindak sebagai saksi dalam jual beli tanahtanah tersebut yang dilakukan oleh Widodo Budiarto dengan Jemmy Tjahyadi yang dilakukan di hadapan Notaris/PPAT Noor Irawati, S.H. dengan Akta Jual Beli No.1007, 1008, 1009, 1010 dan 1011/ Mulyorejo/2001 tertanggal 15 November 2001 (vide bukti P-5) ; Dengan demikian kesaksian H. Abdullah ini seharusnya tidak perlu dilakukan bahkan seharusnya mencegah terjadinya transaksi jual beli dimaksud, mengingat H. Abdullah sendiri sebenarnya tahu kalau tanah-tanah tersebut masih dalam tahap sengketa di Pengadilan Negeri Surabaya (Perkara Perdata No.599/Pdt.G/1997/PN.Sby.
dan
perkara
perdata
No.366/Pdt.G/1999/PN.Sby.). Lebih lanjut H. Abdullah sendiri pada tanggal 26 November 1998 telah dilakukan Ikatan Jual Beli
41
dengan ahli waris Tjahyadi Susanto di hadapan Notaris/PPAT Sindhunatha, S.H. dan lebih jauh lagi H. Abdullah alias Tik Abdullah mengetahui kalau tanah-tanah tersebut telah dibeli oleh Pemohon ; 2)
Jemmy Tjahyadi : Selaku ahli waris almarhum Tjahyadi Susanto, Jemmy Tjahyadi telah berperan sebagai pihak yang telah melakukan transaksi lebih dari satu kali atas obyek yang sama yaitu (1) kepada Pemohon pada tanggal 18 Oktober 2000 di hadapan Notaris Soetarto Hardjosubroto, S.H. dengan akta No.17, 19, 21, 25 dan 27 atas tanah seluas kurang lebih 1,5 Ha., terletak di Wilayah Kelurahan Dukuh Sutorejo, Kodya Surabaya, dengan Kutipan Register Letter “C” No.1152, 1153, 1154, 1155, 1156 dan 1157 dan (2) kepada Widodo Budiarto pada tanggal 15 November 2001 dan ditandatangani pada tanggal 19 Oktober 2001 (Vide bukti P-2) ; Ia telah memberikan kuasa pada Sri Hardjono pada tanggal 23 Agustus 2001 untuk mengambil warkah di BPN, sehingga selanjutnya warkah tersebut digunakan untuk merubah Petok D atas nama Jemmy Tjahyadi menjadi Tjahyadi Susanto, yang meninggal tahun 1990 (Vide Bukti P-3 dan P-4) ;
3)
Sri Hardjono : Meminjam berkas warkah tanpa prosedur yang berlaku di Badan Pertanahan Nasional Surabaya pada tanggal 27 Agustus 2001 untuk digunakan mengganti nama Letter C dari Jemmy Tjahyadi menjadi Tjahyadi Susanto (Vide Bukti P-4) ;
4)
Basuki Rahardjo : Memberikan pinjaman warkah/berkas yang ada di BPN pada tanggal 27 Agustus 2001 tanpa prosedur yang berlaku di BPN (Vide bukti P-3) ;
5)
Eddy Christijanto Lurah Sutorejo :
42
Membantu merubah Petok D atau Letter “C” dari Jemmy Tjahyadi menjadi almarhum Tjahyadi, yang telah meninggal dunia pada tahun 1990, dari sebelumnya bernomor : 1152, 1154, 1155, 1156 dan 1157 menjadi 1007, 1008, 1009, 1010 dan 1011/Mulyorejo/2001 ; Yang bersangkutan telah mengetahui kalau tanahtanah atas nama Jemmy Tjahyadi tersebut telah dibeli oleh Pemohon
sebagaimana
surat
Pemohon
tertanggal
24
November 2001 yang telah diterima oleh Tersangka pada tanggal
26
November
2001.
Lebih
lanjut
Tersangka
seharusnya menolak menjadi saksi dan mencegah transaksi tersebut pada saat terjadi akta jual beli antara Jemmy Tjahyadi dengan Widodo Budiarto di hadapan Notaris Noor Irawati, S.H. karena pengetahuan tersebut ;
6)
Widodo Budiarto/Tio Boen Hwi : Mengetahui kalau petok dari Jemmy Tjahyadi selaku ahli waris Tjahyadi Susanto telah dibeli oleh Pemohon pada tanggal 18 Oktober 2000, karena sekitar bulan Mei 2001 Pemohon telah mengajak Sdr. Moch. Anas untuk menemui Sdr. Widodo Budiarto alias Tio Boen Hwi di rumahnya Jalan Manyar Kertoarjo Surabaya dimana pada saat itu Pemohon telah menunjukkan Akta Ikatan Jual Beli antara Pemohon dengan Sdr. Jemmy Tjahyadi di hadapan Notaris Soetarto Hardjosoebroto, S.H., selanjutnya pada bulan Oktober 2001, Sdr. Widodo Budiarto telah pula datang ke tempat kerja Pemohon di Jalan Kalimantan No.16-B Surabaya untuk membeli tanah yang telah dibeli oleh Pemohon dari Jemmy Tjahyadi, tetapi karena ketidak cocokkan soal harga, transaksi jual beli dimaksud menjadi batal/tidak terjadi ;
43
Akan tetapi ternyata pada tanggal 15 November 2001, pada tanggal 19 November 2001 Sdr. Widodo Budiarto telah membeli kembali tanah-tanah tersebut dari Jemmy Tjahyadi setelah sebelumnya dirubah kembali tahun 1990, dan Widodo Budiarto diduga telah mengetahui adanya Surat Keterangan Waris
dari
almarhum
Tjahyadi
Susanto
No.004/VI/KWH/SIU/90 tertanggal 23 Juni 1990 (Vide bukti P-8) ; b. Bahwa atas laporan a quo selanjutnya Penyidik pada Polda Jawa Timur melakukan pemeriksaan awal terhadap para pelaku antara lain H. Tik Abdullah, Widodo Budiarto, H. Basuki Rahardjo (Staf BPN), SE, Sri Harjono, Dr. Eddy Christijanto (Lurah Sutorejo), Abdul Rachman, M. Anas (mantan Lurah Sutorejo). Dari pemeriksaan awal inilah selanjutnya Penyidik pada Polda Jawa Timur menetapkan Tersangka awal dalam perkara ini adalah H. Abdullah
alias
H.
Tik
Abdullah
dengan
tidak
menutup
kemungkinan akan ada Tersangka lain dalam kasus ini ; c. Bahwa selanjutnya dari hasil penyidikan tersebut, penyidik mengkoordinasikan dengan Kejati Jawa Timur selaku Jaksa Penuntut Umum (Termohon) yang selanjutnya pada tanggal 22 Mei 2002 Termohon telah mengeluarkan P-19 atas perkara dengan Tersangka H. Abdullah, dengan petunjuk atau arahan agar Polda Jatim dalam menyidik kasus ini agar segera merubah status saksisaksi yang lain menjadi Tersangka, yaitu Sri Harjono, Eddy Christijanto (Lurah Sutorejo) Basuki Rahardjo (Staf BPN), Abdul Rachman dan Widodo Budiarto (Pimpinan PT. Griyo Mapan Sentosa) dengan perintah splitzing atau pemisahan berkas perkara bagi Widodo Budiarto karena adanya ancaman pidana yang berbeda yaitu Pasal 480 KUHP (bukti P-9) ; d. Bahwa pada tanggal 5 Juni 2002 Termohon menyatakan P.21 (berkas sempurna) dengan Tersangka H. Abdullah dengan
44
permintaan agar penyidik segera melimpahkan berkas perkara beserta Tersangka kepada Termohon, untuk dilakukan penuntutan, dan segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Surabaya untuk dilakukan persidangan (bukti P- 10) ; e. Bahwa selanjutnya khusus Tersangka Widodo Budiarto alias Tio Boen Hwi pada tanggal 10 September 2002 Termohon (d/h. Kejati Jatim melalui Aspidum) telah menyatakan P-22 dengan permintaan untuk melengkapi berkas penyidikan (bukti P-11) ; f. Bahwa diluar dugaaan Pemohon, Termohon pada tanggal 30 September 2002 telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP2) Nomor : 1064/0.5.9/Ep.2/09/2002 atas Tersangka Widodo Budiarto yang berkas masih dalam proses P-22 untuk dilakukan penyempurnaan berkas antara Penyidik pada Polda Jatim dengan Termohon (bukti P-12) ; g. Bahwa
selain
mengeluarkan
SKP-2
kepada
Tersangka
WidodoBudiarto, Termohon juga telah mengeluarkan SKP-2 Nomor : 1067/0.5.9/Ep.2/09/2002 atas Tersangka H. Abdullah yang telah dinyatakan P-21 (berkas sempurna), SKP-2 Nomor : 1065/0.5.9/Ep.2/ 09/2002 atas Tersangka Drs. Eddy Christianto yang hingga saat ini masih dalam proses P-22 (dalam koordinasi dengan Penyidik) serta Abdul Rachman, SE. dan Sri Hardjono yang berkasnya telah dinyatakan P-21 (berkas sempurna) oleh Termohon sendiri (bukti P-13) ; h. Bahwa dengan demikian jelas tindakan Termohon ini telah bertentangan dengan hukum dan berkesan mengabaikan buktibukti sah yang ada dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 huruf d Undang-undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan beserta penjelasannya dan Pasal 138 ayat 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya atas Tersangka Widodo Budiarto alias Tio Boen Hwi yang masih dalam proses P-22, hal mana hingga sampai saat SKP-2 dikeluarkan oleh Termohon, Termohon
45
belum pernah melakukan pemeriksaan tambahan atas Tersangka Widodo Budiarto yang dikoordinasikan dengan Penyidik di Polda Jawa Timur sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 huruf d Undang-Undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Dengan demikian SKP-2 ini telah cacat hukum serta jauh dari asas keadilan dan kepastian hukum ; i. Bahwa alasan Termohon mengeluarkan dan atau menerbitkan SKP-2 a quo adalah karena perkara tersebut tidak cukup alat bukti sehingga tidak layak untuk dilimpahkan ke pengadilan adalah tidak berdasar secara hukum serta bertentangan dengan fakta-fakta hukum yang sebenarnya (Vide bukti P-2 s/d P-11) dengan kata lain Termohon telah bersikap tidak obyektif, tidak hati-hati sehingga mengabaikan asas keadilan dan kepastian hukum dalam menangani kasus a quo, dan karenanya telah merugikan Pemohon; 3. Identitas Pemohon dan Termohon Pra Peradilan a. Identitas Pemohon 1) Pemohon I Nama Lengkap
: Istrisno Haris, SH.
Tempat Tinggal
: Jl. Kasuari No. 1 Surabaya
2) Pemohon II Nama Lengkap
: Darwati, SH.
Tempat Tinggal
: Jl. Kasuari No. 1 Surabaya
b. Identitas Termohon Nama Lengkap
: Arief Ridwanto
Tempat Tinggal
: Jl. Kali Judan Indah 7/1 Surabaya
4. Putusan
Pengadilan
Negeri
Surabaya
Nomor:
40/Pid.Pra.P/2002/PN.Sby. adalah sebagai berikut: a. Menyatakan eksepsi termohon tidak dapat diterima. b. Menyatakan “ Surat Penetapan Penghentian Penuntutan” No. 1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala kejaksaan Negeri Surabaya adalah sah.
46
c. Membebankan biaya perkara kepada pemohon yang ditetapkan nihil.
5. Putusan Pengadilan Tinggi a. Menerima permintaan banding dari Pemohon Praperadilan ; b. Membatalkan putusan Pengadilan 40/Pid.Prap/2002/PN.Sby.
tanggal
Negeri 25
Surabaya Nomor :
November
2002
yang
dimintakan banding tersebut ; c. Mengabulkan permohonan Pemohon Praperadilan ; d. Menyatakan eksepsi tidak dapat diterima ; e. Menyatakan tidak sah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara
(SKP2)
Nomor
1064/0.5.9/Ep.2/09/2002
tanggal
30
September 2002 atas nama Terdakwa WIDODO BUDIARTO alias TIO BOEN HWI ; f.
Memerintahkan Termohon-Terbanding untuk melanjutkan Penuntutan terhadap Terdakwa WIDODO BUDIARTO alias TIO BOEN HWI ke Pengadilan Negeri Surabaya ;
g. Membebankan biaya perkara ini kepada Termohon-Terbanding dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam peradilan tingkat banding sebesar Nihil ;
6. Putusan Kasasi a. Menyatakan tidak dapat diterima permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Cq. KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR, Cq. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA tersebut ; b. Membebankan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini kepada Negara ;
47
7. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali Alasan peninjauan kembali yang diajukan dalam kasus ini: a. Bahwa demi kepentingan kepastian hukum (legal certainty) dalam perkara Praperadilan khususnya Pasal 83 ayat (1) dan (2) jo Pasal 80 KUHAP, sehingga nantinya tidak ada lagi kekeliruan atau kesalahan dalam pelaksanaan hukum mengenai hal tersebut, serta menghindari timbulnya preseden buruk dalam penegakan hukum dalam masalah Praperadilan tersebut, maka sesuai Pasal-Pasal tersebut dapat disimpulkan secara otentik dan tidak dapat ditafsirkan lain hal-hal sebagai berikut : 1)
Bahwa putusan Praperadilan tentang sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak dapat diajukan banding, kecuali putusan Praperadilan yang menetapkan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dapat diajukan permintaan banding ;
2)
Bahwa Hakim Pengadilan Tinggi dalam perkara Praperadilan hanya berwenang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang putusan Pengadilan Negeri yang menetapkan tidak sahnya penghentian penuntutan dan bukan terhadap putusan
Pengadilan
Negeri
yang
menetapkan
sahnya
penghentian penuntutan ; b. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas telah terbukti nyata Pengadilan
Tinggi
Surabaya
yang
Pengadilan
Negeri
Surabaya
tentang
membatalkan sahnya
putusan
penghentian
penuntutan, telah melampaui kewenangannya, karena Pegadilan Tinggi Surabaya tidak berwenang mengadili putusan praperadilan tersebut ; Bahwa asal 83 ayat (1) KUHAP merupakan prinsip hukum acara tentang larangan upaya banding bagi putusan Praperadilan yang menetapkan sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan,
48
sedangkan Pasal 83 ayat (2) KUHAP merupakan perkecualian yang khususnya mengenai putusan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, sehingga putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tersebut merupakan produk hukum yang cacat dan keliru serta telah melanggar hukum tentang lembaga Praperadilan ; Bahwa permohonan peninjauankembali kami dalam kasus a quo tidak lain dan tidak bukan untuk menempatkan persoalan Praperadilan agar sesuai dengan koridor hukum yang telah ada yaitu Pasal 83 ayat (1) dan (2) KUHAP jo Pasal 80 KUHAP jo Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang- Undang No.5 Tahun 2004, sehingga tidak lagi terjadi interprestasi yang keliru dalam pelaksanaan hukum Pasal tersebut ; c. Bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung telah menimbulkan konsekwensi yuridis dan penafsiran hukum sebagai berikut : 1)
Menimbulkan kewenangan Pengadilan Tinggi Surabaya untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya mengenai Praperadilan yang menetapkan sahnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan No.1064/0.5.9/Ep.2/09/2002 tanggal 30 September 2002 terhadap Tersangka Widodo Budiarto, padahal berdasarkan Pasal 83 ayat (1) jo Pasal 80 KUHAP, dengan tegas menyatakan Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk memutuskan tentang sahnya penghentian penuntutan, karena tidak diperkenankan upaya banding ;
2)
Menimbulkan inkosistensi dalam penegakan hukum dan mengaburkan (obscuur) ketentuan KUHAP khususnya Pasal 83 ayat (1) jo Pasal 80 KUHAP mengenai Parperadilan, padahal telah jelas terbaca dan sesuai dengan penafsiran otentik, untuk keputusan Praperadilan yang menetapkan sahnya penghentian penyidikan diperkenankan upaya banding ;
atau penuntutan tidak
49
d. Bahwa dengan demikian Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya telah melanggar Pasal 30 Undang-Undang No.5 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan untuk mengadili putusan Pengadilan Tinggi yang melampaui batas kewenangannya tersebut; Bahwa dalam putusan kasasi Mahkamah Agung nampak jelas sekali memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP, karena : 1)
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam putusannya halaman 21 alinea terakhir dan berlanjut ke halaman
22,
justru
menguatkan
pendapat
Pemohon
Peninjauankembali/Termohon Praperadilan yang sejak semula berpendapat bahwa putusan Praperadilan yang menyatakan penghentian
penuntutan
kami
adalah
sah,
seharusnya
berdasarkan Pasal 83 ayat (1), putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut tidak dapat diajukan banding ; Dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung mendukung bahwa putusan Pengadilan Negeri tidak dapat diajukan banding, namun ternyata dalam amar putusannya justru menyatakan permohonan kasasi Pemohon Peninjauankembali/Termohon Praaperadilan tidak dapat diterima ; Seharusnya dengan pertimbangan hukum yang demikian itu, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan
kasasi
Pemohon
Peninjauankembali/Termohon Praperadilan, karena nyatanyata berdasarkan undang-undang, Pengadilan Tinggi tidak berwenang dan telah melampaui batas kewenangannya terhadap putusan Praperadilan tentang sahnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan yang sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Surabaya ; 2)
Bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung antara pertimbangan hukum dan amar putusannya saling bertentangan serta tidak
50
dijumpai pertimbangan hukum yang bertalian dengan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang di kasasi oleh Penuntut Umum/Pemohon peninjauankembali/Termohon Praperadilan ;
8. Bentuk Dissenting Opinion dalam Pemeriksaan Peninjauan Kembali Dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat Dissenting Opinion dari Ketua Majelis, Yaitu Harifin A. Tumpa, S.H., M.H yang berpendapat, sebagai berikut : a. Bahwa putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi ; b. Bahwa memang benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut keliru, karena putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding ; c. Bahwa untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut, maka Majelis Peninjauan Kembali terlebih dahulu harus membatalkan putusan kasasi. Padahal Hakim Kasasi tidak melakukan kekeliruan yang nyata dan tidak melakukan kesalahan penerapan hukum, karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP dan Pasal 45 A Undang-Undang No.5 Tahun 2005, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi ; d. Bahwa dari pertimbangan tersebut di atas, tidak ada jalan untuk membatalkan putusan kasasi, sehingga tidak mungkin pula untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, sehingga permohonan peninjauan kembali harus ditolak ;
9. Amar Putusan Peninjauan Kembali a. Mengabulkan
permohonan
peninjauan
kembali
dari
Pemohon
Peninjauankembali : JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Cq.KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR, Cq. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA tersebut ;
51
b. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 3 Februari 2003 No.01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby. dan putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Februari 2005 No.978 K/Pid/2003 ; c. Menyatakan
“Surat
Penetapan
Penghentian
Penuntutan”
No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya adalah sah d. Membebani Termohon Peninjauankembali untuk membayar biaya perkara dalam permohonan peninjauankembali ini ditetapkan sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;
10. Pembahasan Keharusan majelis hakim untuk memuat pendapat hakim yang berbeda dalam putusan juga diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yaitu pada Pasal 30 ayat (2) yang menetapkan bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Kemudian pada ayat (3) ditambahkan bahwa, dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan Dissenting Opinion pada Lembaga-Lembaga Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencatuman Dissenting Opinion itu sendiri. Dalam KUHAP diatur mengenai tingkatan pemeriksaan suatu perkara pidana. Tahapan tingkat pemeriksaan tersebut terdiri atas tahap pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti yang diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP, tahap proses persidangan selanjutnya ialah penuntutan , pembelaan, dan jawaban. Tibalah saatnya hakim ketua mejelis menyatakan “ pemeriksaan dinyatakan ditutup”. Pernyataan inilah yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim, guna menyiapkan
52
putusan yang akan diajukan pengadilan. Sebenarnya, dari tahap-tahap tingkat pemeriksaan tersebut yang paling ditunggu-tunggu ialah keluarnya putusan hakim. Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Pengambilan putusan dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 182 ayat 4 KUHAP.
Untuk menentukan suatu putusan perlu diadakan
musyawarah terlebih dulu oleh majelis hakim, dalam musyawarah tersebut didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis memberi kesempatan kepada setiap anggota majelis untuk memberikan pendapat disertai dengan alasannya dan yang memberi pendapat terakhir ialah ketua majelis(Pasal 182 ayat 5 KUHAP). Dalam kasus yang penulis teliti terdapat dissenting opinion atau perbedaan pendapat yang diajukan oleh ketua majelis Hakim Harifin A. Tumpa dalam upaya peninjauan kembali terhadap putusan penghentian penuntutan, upaya hukum luar biasa itu sendiri dicantumkan dalam BAB XVIII KUHAP. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa, upaya banding dan kasasi. Putusan pengadilan yang dimohon banding atau kasasi belum merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap, dan dapat diajukan terhadap semua putusan baik oleh pihak terdakwa maupun penuntut umum. Upaya hukum luar biasa hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum (Pasal 260 ayat (1) KUHAP) dan terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263 ayat (1) KUHAP). Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap semua putusan instansi
53
pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, asalkan putusan instansi itu telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap putusan Pengadilan Tinggi, dapat diajukan permintaan peninjauan kembali, jika terhadap putusan itu sudah tertutup jalan mengajukan permintaan kasasi, sebab putusan Pengadilan Tinggi yang demikian, sudah melekat sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sejak itu terbuka kemungkinan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Demikian pula terhadap putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan upaya peninjauan kembali, setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Berarti setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, sejak saat itu melekat dalam putusan Mahkamah Agung sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 263 ayat (2) KUHAP memuat alasan yang dapat dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali, yang dituangkan pemohon dalam surat permintaan peninjauan kembali. Dalam surat permintaan atau permohonan peninjauan kembali itulah pemohon menyebut secara jelas dasar alasan permintaan. Alasan-alasan diadakannya peninjauan kembali tersebut antara lain: a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. b.Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bresifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. c. Apabila telah dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut. d.Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama lain. Apabila dalam
54
suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., menyatakan dalam pendapatnya, Bahwa putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, Dapat dibenarkan karena Mengenai putusan Praperadilan yang dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi, diatur dalam Pasal 83 ayat (2). Disitu ditentukan, Putusan Praperadilan yang menetapkan ”tidak sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan saja yang dapat diajukan banding. Pasal 83 ayat (2) membedakan antara putusan yang ”mengesahkan” dengan ”tidak mengesahkan” penghentian penyidikan / penuntutan. Oleh karena itu, tidak terhadap semua putusan Praperadilan yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penghentian penyidikan / penuntutan. Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 83 ayat (2): a. Terhadap putusan yang menetapkan ”sahnya” penghentian penyidikan / penuntutan tidak dapat diajukan banding. b. Terhadap putusan yang menetapkan ”tidak sahnya” penghentian penuntutan dapat diajukan banding. c. Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan / penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus ” dalam tingkat akhir”. Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., menyatakan dalam pendapatnya, Bahwa memang benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut keliru, karena putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Tidak semua putusan pra peradilan dapat diminta banding. Sebaliknya pula, tidak seluruhnya putusan praperadilan tidak dapat diminta pemeriksaan banding. Demikian menurut Pasal 83 KUHAP. Dalam Pasal 83 inilah ditentukan putusan yang menyangkut kasus mana yang dapat disbanding, dan yang tidak dapat diajukan permintaan banding. Pendapat Ketua Majelis Hakim Harifin
55
A. Tumpa, S.H., M.H., didasarkan pada pra peradilan yang dalam ketentuan hukum tidak dapat dimintakan banding, wewenang pra peradilan yaitu : a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada pra peradilan. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapa dan penahanan.
Berarti,
seorang
tersangka
yang
dikenakan
tindakan
penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada Pra Peradilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukan pemeriksaan kepada Pra Peradilan, bahwa tindakan penahanan yang dikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP. Atau penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP. b.
Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Penyidik
maupun
penuntut
umum
berwenang
menghentikan
pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan penghentian penyidikan yaitu hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang disangkakan
kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau
pelanggaran tindak pidana. Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kadaluarsa untuk menuntut. Oleh karena itu, apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kadaluarsa dalam perkara yang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan. Apabila penyidikan atau penuntutan dihentikan perkara yang bersangkutan tidak diteruskan ke sidang
56
pengadilan. Tetapi undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada Pra Peradilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada Pra Peradilan. c.
Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi Pasal 94 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan keluarganya, tersangka atau penasehat hukumnya kepada Pra Peradilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka berdasarkan alasan : 1) karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. 2) karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa.
d.
Memeriksa permintaan rehabilitasi Pra Peradilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.
e.
Pra Peradilan terhadap tindakan penyitaan Terhadap penggeledahan ataupun penyitaan pun dapat diajukan ke forum Pra Peradilan, baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan : 1)
dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan Ketua Pengadilan Negeri mutlak menjadi yurisdiksi Pra Peradilan untuk memeriksa keabsahannya.
57
2)
dalam hal, penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau surat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri, tetap dapat diajukan ke forum Pra Peradilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni : a) Pra Peradilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau surat persetujuan yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri tentang hal itu. b) Yang dapat dinilai oleh Pra Peradilan, terbatas pada masalah pelaksanaan surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau tidak (M. Yahya Harahap, 2004:7-8).
Dimana salah satu wewenang pra peradilan adalah Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dimana Penyidik maupun penuntut umum berwenang menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan penghentian penyidikan yaitu hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang disangkakan
kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau
pelanggaran tindak pidana. Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kadaluarsa untuk menuntut. Oleh karena itu, apabila dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan dijumpai unsur kadaluarsa dalam perkara yang diperiksa, wajar penyidikan atau penuntutan dihentikan. Apabila penyidikan atau penuntutan dihentikan perkara yang bersangkutan tidak diteruskan ke sidang pengadilan. Tetapi undang-undang memberi
58
hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada Pra Peradilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut. Demikian pula sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan kepada Pra Peradilan. Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., bersikukuh bahwa untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut, maka Majelis Peninjauan Kembali terlebih dahulu harus membatalkan putusan Kasasi. Padahal Hakim Kasasi tidak melakukan kekeliruan dan tidak melakukan penerapan hukum yang salah, sehingga Pra Peradilan tidak dapat dapat dimintakan kasasi. Dan karena tidak dapat dimintakan kasasi sehingga tidak mungkin pula untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, sehingga Permohonan Peninjauan Kembali harus ditolak.. Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., mengajukan Dissenting Opinion karena memperjuangkan apa yang dianggapnya benar menurut tata cara peradilan yang berlaku di Indonesia. Dalam kasus ini Harifin A Tumpa,SH., MH., menganggap tidak sesuai dengan tata cara dan wewenang peradilan yang berlaku.
B. Implikasi Terjadinya Perbedaan Pendapat oleh Hakim Mahkamah Agung terhadap Putusan yang Dijatuhkan dalam Perkara Pra Peradilan Penghentian Penuntutan yang Tidak Sah
Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat Dissenting Opinion dalam para Anggota Majelis dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak tercapai permufakatan, maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, Majelis setelah bermusyawarah dan diambil keputusan dengan suara terbanyak, yaitu mengabulkan permohonan peninjauankembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauankembali : Jaksa Agung Republik Indonesia, Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Cq. Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya tersebut ;
59
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali dikabulkan, maka biaya perkara peninjauankembali dibebankan kepada Termohon
Peninjauankembali
;
Memperhatikan
Pasal-Pasal
yang
bersangkutan dari KUHAP, Pasal 21 Undang-Undang No.4 Tahun 2004, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 serta peraturan lain yang bersangkutan ;
Pembahasan Bahwa putusan Pengadilan Negeri terhadap Praperadilan tentang sahnya penghentian penuntutan, tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83 ayat (1) dan (2) jo Pasal 80 KUHAP), oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi yang mengadili di tingkat banding, dengan membatalkan putusan Pengadilan Negeri merupakan suatu kekeliruan/kekhilafan yang nyata dari Pengadilan Tinggi. Bahwa sekalipun putusan Pengadilan Tinggi merupakan putusan dalam tingkat akhir dari Praperadilan, seyogiannya apabila terdapat penyimpangan, dapat diluruskan dalam tingkat kasasi (pengecualian dalam rangka membina kepastian hukum dan unifornitas hukum). Pada prinsipnya semua putusan akhir (eind-vonnis atau final sentence, final judgement) Pengadilan Negeri dapat diajukan permintaan banding. Akan tetapi terhadap prinsip ini ada pengecualian, dan pengecualian itu ditegaskan dalam Pasal 67. Atas pengecualian tersebut, tidak semua putusan akhir pengadilan tingkat pertama dapat diminta banding. Ada yang dapat diajukan permintaan banding, dan ada pula putusan yang tidak dapat diajukan permintaan banding. Pertama – tama kita akan menginventarisasi putusan akhir yang dapat dimintakan banding. Adapun putusan akhir pengadilan tingkat pertama yang dapat diajukan pemeriksaan pada tingkat banding: a. Putusan pemidanaan dalam acara biasa b. Putusan pemidanaan dalam acara singkat
60
c. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dalam acara biasa dan singkat d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum e. Putusan perampasan kemerdekaan dalam acara cepat f. Putusan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Ini berarti putusan pra peradilan dapat dimintakan banding, Dalam kasus ini Pengadilan Tinggi Jawa Timur mengeluarkan putusan yang menetapkan Surat Ketetapan Penghentian Penutupan Perkara (SKP2) Nomor 1604/0.5.9/Ep.2/09/2002 dinyatakan tidak sah, dan memerintahkan termohon untuk melajutkan penuntutan. Karena keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur tersebut, Jaksa Agung Republik Indonesia, Cq Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Cq Kepala Kejaksaan Surabaya mengajukan kasasi, berkenaan dengan hal tersebut, akan tetapi permohonan kasasi tersebut ditolak. Sudah dijelaskan ada putusan Praperadilan yang dapat diminta banding, dimana Pengadilan Tinggi bertindak sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat akhir, apakah putusan praperadilan dapat dimintakan kasasi atau tidak, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menyatakan putusan pra peradilan dapat dimintakan kasasi akan tetapi ada yang menyatakan tidak dapat dikasasi. Sampai saat sekarang Mahkamah Agung lebih cenderung pada pendirian, yakni tidak memperkenankan permintaan kasasi atas putusan praperadilan yang mana pendirian tersebut berpegang terhadap Pesal 244 KUHAP. Bahwa menurut yurisprudensi tetap terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, sehingga permohonan kasasi dari pemohon kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Ini berarti permintaan kasasi terhadap putusan pra peradilan tidak dimungkinkan. Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap semua putusan instansi
61
pengadilan, dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri, asalkan putusan instansi itu telah berkekuatan hukum tetap. Demikian pula terhadap putusan Pengadilan Tinggi, dapat diajukan permintaan peninjauan kembali, jika terhadap putusan itu sudah tertutup jalan mengajukan permintaan kasasi, sebab putusan Pengadilan Tinggi yang demikian, sudah melekat sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sejak itu terbuka kemungkinan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Demikian pula terhadap putusan Mahkamah Agung, dapat diajukan upaya peninjauan kembali, setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Berarti setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, sejak saat itu melekat dalam putusan Mahkamah Agung sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dissenting opinion dari Ketua Majelis Harifin A Tumpa SH., MH., yang diajukan dalam persidangan tersebut tidak dapat digunakan, dikarenakan suara Majelis yang lain lebih banyak. Maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, Keputusan diambil dengan suara terbanyak. Majelis bermusyawarah dan mengambil keputusan dengan suara terbanyak, yaitu mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Agung Republik Indonesia, Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Cq. Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya, selain itu Majelis Kasasi juga memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi jawa Timur tanggal 3 Febuari 2003 No. 01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby., yang memutuskan bahwa penghentian penuntutan tidak sah, dan membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Februari 2005 No.978 K/Pid/2003 yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima, memutuskan untuk mengabulkan
permohonan
Peninjauankembali
:
JAKSA
peninjauan AGUNG
kembali
dari
REPUBLIK
Pemohon
INDONESIA,
Cq.KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR, Cq. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA tersebut, Membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi
Surabaya
tanggal
3
Februari
2003
No.01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby. dan putusan Mahkamah Agung tanggal 16
62
Februari 2005 No.978 K/Pid/2003, dan Menyatakan “Surat Penetapan Penghentian Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya adalah sah. Ini berarti adanya Dissenting Opinion dalam kasus tersebut tidak merubah putusan dari Majelis, karena perbedaan pendapat Dissenting Opinion yang disampaikan oleh Harifin A Tumpa SH., MH., tersebut tidak digunakan karena majelis telah bermusyawarah dan diambil suara terbanyak. Sedangkan implikasi Dissenting Opinion tersebut terhadap sah atau tidaknya ”Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya tidak menimbulkan implikasi apa – apa. Karena Dissenting Opinion tidak akan digunakan apabila Dissenting Opinion tersebut kalah Suara. Dan pada intinya Dissenting Opinion dalam kasus ini tidak berpengaruh terhadap sahnya ”Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Bentuk Terjadinya Perbedaan Pendapat oleh Hakim Mahkamah Agung dalam Memeriksa dan Memutus Perkara Pra Peradilan tentang Penghentian Penuntutan yang Tidak Sah Dalam perkara ini terdapat perbedaan pendapat Dissenting Opinion dari Ketua Majelis, Yaitu Harifin A. Tumpa, S.H., M.H yang berpendapat, sebagai berikut : a. Putusan Majelis Kasasi tidak dapat diterima, karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi ; b. Memang benar putusan Pengadilan Tinggi tersebut keliru, karena putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan banding ; c. Untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut, maka Majelis Peninjauankembali terlebih dahulu harus membatalkan putusan kasasi. Padahal Hakim Kasasi tidak melakukan kekeliruan yang nyata dan tidak melakukan kesalahan penerapan hukum, karena berdasarkan Pasal 83 KUHAP dan Pasal 45 A UndangUndang No.5 Tahun 2005, Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi ; d. Dari pertimbangan tersebut di atas, tidak ada jalan untuk membatalkan putusan kasasi, sehingga tidak mungkin pula untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, sehingga permohonan peninjauan kembali harus ditolak ; e. Ketua Majelis Harifin A Tumpa, S.H., M.H., mengajukan Dissenting
Opinion
karena
memperjuangkan
apa
yang
dianggapnya benar menurut tata cara peradilan yang berlaku di Indonesia. Dalam kasus ini Harifin A Tumpa,SH., MH., 63
64
menganggap tidak sesuai dengan tata cara dan wewenang peradilan yang berlaku. 2. Implikasi Terjadinya Perbedaan Pendapat oleh Hakim Mahkamah Agung terhadap Putusan yang Dijatuhkan dalam Perkara Pra Peradilan Penghentian Penuntutan yang Tidak Sah Terjadinya perbedaan pendapat Dissenting Opinion dalam Anggota Majelis Hakim yang menimbulkan tidak tercapainya mufakat untuk mengambil putusan. Akan tetapi dissenting opinion dari Ketua Majelis Harifin A Tumpa SH., MH., yang diajukan dalam persidangan tersebut tidak dapat digunakan, dikarenakan suara Majelis yang lain lebih banyak. Maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP, Keputusan diambil dengan suara terbanyak. Majelis bermusyawarah dan mengambil keputusan dengan suara terbanyak, yaitu mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Jaksa Agung Republik Indonesia, Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Cq. Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya, selain itu Majelis Kasasi juga memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
jawa
Timur
tanggal
3
Febuari
2003
No.
01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby., yang memutuskan bahwa penghentian penuntutan tidak sah, dan membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Februari 2005 no.978 K/Pid/2003 yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima, mengabulkan
permohonan
peninjauan
memutuskan untuk
kembali
dari
Pemohon
Peninjauan kembali : JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Cq.KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR, Cq. KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA tersebut , Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 3 Februari 2003 No.01/Pid.Pralan/2003/PT.Sby.
dan
putusan
Mahkamah
Agung
tanggal 16 Februari 2005 No.978 K/Pid/2003 , dan Menyatakan “Surat Penetapan Penghentian Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya adalah sah.
65
Ini berarti adanya Dissenting Opinion dalam kasus tersebut tidak merubah putusan dari Majelis, karena perbedaan pendapat Dissenting Opinion yang disampaikan oleh Harifin A Tumpa SH., MH., tersebut tidak digunakan karena majelis telah bermusyawarah dan diambil suara terbanyak. Sedangkan implikasi Dissenting Opinion tersebut terhadap sah atau tidaknya ”Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya tidak menimbulkan implikasi apa – apa. Karena Dissenting Opinion tidak akan digunakan apabila Dissenting Opinion tersebut kalah Suara. Dan pada intinya Dissenting Opinion dalam kasus ini tidak berpengaruh terhadap sahnya
”Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan” No.1064/0.5.9/Ep/09/2002 Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya.
B. Saran-Saran 1. Hakim dalam menggunakan kewenangan dissenting opinion harus didasarkan kepada pertimbangan yang cermat dan bijaksana, agar tidak merugikan kepentingan semua pihak. 2. Penggunaan dissenting opinion harus dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum. 3. Ketentuan mengenai dissenting opinion seyogianya dijabarkan secara lebih terperinci dalam KUHAP agar memberikan kepastian hukum dalam penerapannya oleh hakim dalam memutus perkara pidana.
66
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sulistiyono. 2006. Krisis Lembaga Peradilan Di Indonesia. Surakarta: UNS Press. Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Ansorie Sabuan. 1990. Hukum Acara Pidana. Bandung: Angkasa. Bagir Manan. 2006. Dissenting Opinion. Jakarta: IKAHI Bambang Sutiyoso dan Sri hastuti Puspitasari. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. Lawrence M Friedman. 2001. American Law.Jakarta: Tatanusa. Nanda Agung Dewantara. 1987. Masalah Kebebasan hakim Dalam Menangani suatu Perkara Pidana. Jakarta: Aksara Persada Indonesia. Oemar Seno Adji. 1984. Hukum-Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga. Pontang Moerad. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara pidana. Bandung: PT.Alumni. Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. ----------------------- dan Sri Mahmudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: CV Rajawali. Subagio Gigih, 2007, Penerapan............................, Skripsi Fakultas hukum UNS Surakarta Wirjono Projodikoro. 1962. Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sumur Bandung. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika.
67
Perundang-Undangan : KUHAP Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Jakarta: Sinar Grafika. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Sinar Grafika. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Jakarta: Sinar Grafika. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Jakarta: Sinar Grafika. Undang-Undang No. 81 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jakarta : Sinar Grafika.
Publikasi Internet : http://www.pemantauperadilan.com diakses tanggal 5 Oktober 2009 http://www.komisiyudisial.go.id/artikel/artidjo.pdf diakses tanggal 5 Oktober 2009 http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Dissenting_Opinion.pdf diakses tanggal 10 Oktober 2009 http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2003slametsupr-330 diakses tanggal 15 Oktober 2009 http://en.wikipedia.org/wiki/Opinion diakses tanggal 15 Oktober 2009 http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 10 November 2009 http://www.lawyers.com diakses tanggal 10 November 2009