BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan salah satu sendi utama dalam kehidupan masyarakat modern, karena merupakan salah satu pusat kegiatan manusia untuk memenuhi kehidupan kesehariannya. Bagi negara, keberadaan perusahaan tidak dapat dipandang sebelah mata, karena kontribusinya yang tidak kecil sebagai sumber pendapatan negara, utamanya dari sektor pajak. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional diperlukan berbagai sarana penunjang, antara lain berupa tatanan hukum yang mendorong, menggerakkan, dan mengendalikan berbagai kegiatan pembangunan di bidang ekonomi. Pembangunan nasional juga harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan mengenai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) agar pelaksanaan pembangunan nasional tersebut dapat terlaksana sesuai dengan visi, misi dan tujuan dibentuknya pemerintahan Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945, hal ini didasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 sampai 2025 bahwa “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.” Dalam Buku II Agenda Pembangunan Bidang yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2014, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2014 sampai 2019 sasaran yang dituju dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai dalam 5 (lima) tahun kedepan salah satunya, mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif untuk mendukung kemandirian ekonomi, berkelanjutan kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Pada sektor lain, perusahaan juga merupakan wahana untuk menyalurkan tenaga kerja. Usaha perusahaan atau yang menjalankan perusahaan, sesungguhnya merupakan padanan kata dari pedagang atau kegiatan perdagangan, yang
maknanya melakukan kegiatan terus-menerus, secara terang-terangan dalam rangka mencari keuntungan. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas selanjutnya disebut UUPT menyebutkan bahwa “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Banyak orang yang mau dan bersedia menginvestasikan uang simpanan mereka dalam jumlah besar pada perusahaan yang beresiko tinggi, apabila mereka hanya dibebani dengan tanggungjawab terbatas (limited liability). Hanya sedikit sekali orang yang mau menanam modal pada bentuk organisasi perusahaan yang memikulkan tanggungjawab tidak terbatas (unlimited liability) kepada investor.1 Perseroan Terbatas selanjutnya disingkat PT merupakan bentuk kegiatan usaha ekonomi yang paling disukai karena disamping pertanggungjawabannya yang bersifat terbatas, PT
juga memberi
kemudahan bagi
pemiliknya
untuk
mengalihkan
perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. Selain itu bentuk PT lebih mudah dalam mengumpulkan dana untuk modal dari bentuk badan usaha lain. Hal ini disebabkan pemilik dana (investor) menginginkan risiko dan biaya sekecil mungkin dalam melakukan investasi. Pasal 7 ayat (4) UUPT menyebutkan bahwa “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.” Sejak perseroan terbatas berstatus sebagai badan hukum, maka sejak saat itu hukum memperlakukan pemegang saham dan pengurus (direksi) terpisah dari perseroan terbatas itu sendiri yang dikenal dengan istilah: “separate legal personality” yaitu sebagai individu yang berdiri sendiri. Ini berarti secara prinsip pemegang saham tidak bertanggungjawab secara pribadi atas seluruh perikatan yang dibuat oleh dan atas nama perseroan dengan pihak ketiga, dan oleh karenanya tidak bertanggungjawab atas setiap kerugian yang diderita oleh perseroan. Para pemegang saham tersebut hanya bertanggungjawab atas penyetoran penuh dari nilai saham yang diambil bagian olehnya. Meskipun tanggungjawab dari pemegang saham perseroan sudah bersifat terbatas, namun berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPT,
1
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ctk keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 71
bahwa “Perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggungjawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.” PT merupakan badan hukum atau artificial person2 yang mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui wakilnya, oleh karena itu perseroan juga merupakan subjek hukum mandiri yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum. Untuk melaksanakan segala hak dan kewajiban dalam hubungan hukum perseroan terbatas dalam Pasal 1 ayat (2) UUPT menjelaskan bahwa “Organ perseroan adalah rapat umum pemegang saham, direksi dan komisaris”. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa perseroan terbatas mempunyai organ yang terdiri atas: 1. Rapat umum pemegang saham (RUPS); 2. Direksi; 3. Komisaris.3 Diantara ketiga organ perseroan terbatas ini yang memilki kewenangan penuh terhadap perseroan adalah direksi. Direksi atau disebut juga sebagai pengurus perseroan adalah alat perlengkapan perseroan yang melakukan semua kegiatan perseroan dan mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan. Dengan demikian, ruang lingkup tugas direksi ialah mengurus perseroan.4 Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (5) UUPT menyebutkan bahwa “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar” Dalam perusahaan perseroan terbatas, direksi adalah pihak yang paling memilki peranan penting, baik dalam mengatur perusahaan, mengelola, maupun untuk memajukannya. Direksi ini diangkat oleh RUPS, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) UUPT, bahwa: “Anggota Direksi diangkat oleh RUPS” dan lebih lanjut ayat (3) bahwa: “Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali.”
2
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Doktrin, Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Cetakan Kedua, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm.4 3 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri PT, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 57 4 Ibid; hlm. 63
Setiap anggota direksi wajib pula beritikad baik dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan perseroan. Jika dalam menjalankan tugasnya ada indikasi bahwa seorang direksi menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya untuk kepentingan pribadi dan menyebabkan kerugian finansial yang berujung pada pailitnya perseroan, maka seorang direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi atau harta kekayaan pribadinya dapat dijadikan jaminan pelunasan hutanghutang perseroan yang sedang dalam kepailitan. Tanggungjawab direksi dalam perseroan terbatas yang mengalami kepailitan tidak semata-mata didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, namun didalam hukum perusahaan umumnya dikenal doktrin-doktirn
hukum
yang
mengatur
tentang
bagaimana
seorang
direksi
bertanggungjawab kepada perseroan terbatas, jika perbuatan direksi itu menyebabkan palilitnya suatu perseroan. Diantaranya doktirin-doktirn hukum perusahaan tersebut antara lain: tanggungjawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty to skill and care; tanggungjawab berdasarkan doktrin manajemen ke dalam (indoor manajement rule); tanggungjawab berdasarkan prinsip Ultra vires; dan tanggungjawab berdasarkan prinsip piercieng the corporate veil.5 Doktrin-doktrin ini merupakan doktrin hukum perusahaan yang dikenal dalam sistem hukum Common Law yang kemudian diadopsi untuk dianut dalam sistem hukum perusahaan Indonesia, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Asas atau prinsip adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. Dalam arti sempit, kata principle dipahami sebagai sumber yang abadi dan tetap dari banyak hal, aturan atau dasar bagi tindakan seseorang, suatu pernyataan (hukum, aturan, kebenaran) yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjelaskan sesuatu peristiwa,6 sedangkan doktrin adalah pendapat para ahli hukum terkemuka yang dijadikan dasar atau asas-asas penting dalam hukum dan penerapannya. Doktrin sebagai sumber hukum formal banyak digunakan para hakim dalam memutuskan perkara melalui yurisprudensi, bahkan punya pengaruh yang sangat besar dalam hubungan internasional.7 Perbedaan asas dan doktrin adalah asas tidak akan pernah berubah dalam suatu undang-undang karena asas merupakan dasar pemikiran dari undang-undang, sedangkan doktrin bisa 5
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktek di Peradilan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 227 6 Mahadi, Falsafah Hukum suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 119 7 Budiyanto, Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga, Jakarta, 2003, hlm. 125
berubah kalau sudah tidak sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan dalam masyarakat. Teori dalam hukum perusahaan yang disebut dengan teori Penyingkapan Tirai Perusahaan (Piercing The Corporate Veil) merupakan topik yang sangat populer dalam hukum perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan dalam hukum modern di negara lain. Penerapan prinsip ini mempunyai tujuan utama yaitu keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dengan perseroan, baik investor maupun para pemegang saham.8 Kata Piercing The Corporate Veil terdiri dari kata-kata: Pierce: menyobek/ mengoyak/ menembus, dan Veil: kain/ tirai/ kerudung dan Corporate: perusahaan. Karena itu secara harfiah istilah Piercing The Corporate Veil berarti menyingkap tirai perusahaan. Sedang dalam ilmu hukum perusahaan merupakan suatu prinsip/teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang lain, oleh suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku, tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perusahaan pelaku tersebut.9 Pada umumnya prinsip piercing the corporate viel diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggungjawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku, tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya perbuatan tersebut dilakukan oleh/atas nama perseroan pelaku.10 Dengan demikian, piercing the corporate viel ini pada hakikatnya merupakan doktrin yang memindahkan tanggungjawab dari perusahaan kepada pemegang saham, direksi, atau komisaris, dan biasanya doktrin ini baru diterapkan jika ada klaim dari pihak ketiga kepada perseroan. Dengan diterapkannya doktrin ''Piercing The Corporate Veil”, maka pihak pemegang saham yang biasanya dimintakan pertanggungjawaban atas kegiatan yang dilakukan oleh perseroan atau perusahaan holding. Namun dalam perkembangannya kemudian teori "Piercing The Corporate Veil tersebut juga dapat diterapkan kepada pihak lainnya selain pemegang saham yaitu kepada direksi maupun komisaris, misalnya jika direktur atau komisaris "sangat dominan" dalam melakukan perbuatan yang menyebabkan timbulnya Piercing The Corporate Veil tersebut. Tanggungjawab direksi akibat penerapan teori "Piercing The Corporate Veil tersebut, dari segi yang lain dapat 8
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Cetakan III, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 7 9 Ibid 10 Ibid
juga dilihat sebagai akibat penerapan prinsip fiduciary duty dari direksi yang bersangkutan.11 Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar (AD) perseroan. Selama direksi tidak melakukan pelanggaran AD, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan Direksi tersebut, sedangkan apabila tindakan-tindakan direksi yang merugikan perseroan atau menyebabkan pailitnya perseroan di luar batas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh Anggaran Dasar, maka tindakan-tindakan tersebut dapat tidak diakui oleh perseroan atau menjadi tanggungjawab pribadi direksi. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1311 K/Pdt/2012 tentang Su Meng Liang (Direktur Utama PT. Gunung Bintang Abadi) (Tergugat/ sekarang pelawan) melawan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang yang mengabulkan permohonan sita jaminan PT. Bank Cimb Niaga, Tbk (Penggugat/sekarang Terlawan). Menurut pelawan, barangbarang diletakkan sita jaminan bukan merupakan barang milik perusahaan yang dipimpinnya (tergugat dalam perkara awal) melainkan barang milik pribadi pelawan. Sita jaminan telah merugikan pelawan, sehingga memohon agar Pengadilan Negeri Tanjung Pinang mengangkat kembali sita jaminan tersebut. Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Tanjung Pinang menolak perlawanan pelawan dan menyatakan sebagai pelawan yang tidak benar. Putusan tersebut dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Pekan Baru. Atas putusan yang demikian, Pelawan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Salah satu alasan pemohon kasasi yaitu bahwa yang melakukan perjanjian jual beli valuta asing dan perjanjian gadai adalah PT.Bank Lippo, Tbk cabang Tanjung Pinang yang diwakili dan di tandatangani oleh kuasa Direksi yaitu saudara Herman Phang (Herman) dan Oktavia dengan PT.Gunung Bintan Abadi yang diwakili dan ditanda tangani oleh Su Meng Liang (Pemohon Kasasi I/Pelawan/Pembanding) selaku direktur. Namun, MA menolak permohonan kasasi pemohon. Menurut MA, sebagai Direktur dan Presiden Komisaris, para pelawan ikut bertanggungjawab atas kewajiban perusahaan dalam perjanjian tersebut.
11
Ibid; hlm. 22
Putusan Mahkamah Agung Nomor 514 K/PDT.SUS-PAILIT/2013 tentang PT. MANDIRI AGUNG JAYA UTAMA, diwakili oleh Mayananda, Direktur Utama PT. Mandiri Agung Jaya Utama (Pemohon Kasasi dahulu Termohon Pailit) melawan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan pailit PT Galena Surya Gemilang (Termohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit). Menurut Termohon Pailit bahwa Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, permohonan pailit telah merugikan Termohon Pailit, sehingga memohon agar Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengangkat kembali/mencabut putusan tersebut Pada tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat
Nomor
34/PDT.SUS-Pailit/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst
memutuskan
memailitkan PT. Mandiri Agung Jaya Utama, perusahaan penggali batu besi. Majelis berpandangan Mandiri Agung terbukti memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. Utang sejumlah Rp23,24 miliar dapat dibuktikan secara sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pembuktian yang sederhana atas eksistensi utang ini merujuk pada perjanjian Penyelesaian Utang Piutang Usaha Batu Besi Musi Rawas pada 23 Mei 2011. Perjanjian tersebut telah mengatur hak dan kewajiban para pihak, termasuk kewajiban Mandiri Agung untuk mengangsur dana yang dipinjamkan PT Galena Surya Gemilang sejumlah Rp15 miliar. Tata cara angsuranpun telah dirinci dalam perjanjian tersebut. Namun, jangankan membayar lunas, Mandiri Agung sama sekali tidak pernah mengangsur utang-utangnya. Atas hal ini, majelis berpandangan eksistensi utang telah terbukti secara sederhana. Dikarenakan putusan yang demikian, PT. Mandiri Agung Jaya Utama mengajukan kasasi yang ditolak oleh Mahkamah Agung dan tetap memailitkan PT. Mandiri Agung Jaya Utama. Dilihat
dari
putusan
tersebut,
dengan
berdalih
di
belakang
sifat
pertanggungjawaban yang terbatas, seringkali ditemukan keadaan dimana perseroan dijadikan tameng oleh direksi perseroan yang tidak beritikad baik, melalui hal tersebut harta kekayaan direksi perseroan yang tidak beritikad baik seolah-olah menjadi tidak tersentuh. Disinilah penulis merasa perlu melihat bagaimana eksistensi doktrin Piercing The Corporate Veil berdasarkan UUPT pada kedua contoh putusan tersebut diatas terhadap tanggungjawab direksi atas terjadinya kepailitan perseroan terbatas. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menulis Tesis ini dengan judul “EKSISTENSI DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL DI DALAM
UNDANG-UNDANG
NOMOR
40
TAHUN
2007
TENTANG
PERSEROAN
TERBATAS TERHADAP TANGGUNGJAWAB DIREKSI ATAS TERJADINYA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa Doktrin Piercing The Corporate Veil diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas? 2. Bagaimana tanggungjawab direksi pada perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atas terjadinya kepailitan perseroan terbatas?
C. Batasan Masalah Dari identifikasi masalah yang diuraikan diatas diperoleh gambaran dimensi permasalahan yang luas, namun menyadari bahwa adanya keterbatasan waktu dan kemampuan maka penulis memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas dan terfokus, selanjutnya masalah yang menjadi objek penelitian dibatasi pada eksistensi doktrin Piercing The Corporate Veil dan tanggungjawab direksi atas terjadinya kepailitan sebuah perseroan terbatas.
D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk menganalisis Doktrin Piercing The Corporate Veil diatur dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. b. Untuk menganalisis tanggungjawab direksi pada perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atas terjadinya kepailitan perseroan terbatas. 2. Tujuan Subyektif a. Menjelaskan Doktrin Piercing The Corporate Veil dan tanggungjawab direksi atas terjadinya kepailitan terhadap Perseroan Terbatas.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi pengembangan ilmu hukum khusunya hukum perdata tentang perseroan terbatas.
E. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, khususnya hukum perusahaan dan bisnis. b. Untuk lebih mendalami teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Manfaat praktis a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi organ perusahaan khususnya direksi terhadap eksistensi doktrin Piercing The Corporate Veil berdasarkan UUPT pada tanggungjawab direksi tersebut atas pailitnya suatu perseroan terbatas agar lebih berhati-hati dan beriktikad baik dalam menjalankan sebuah peseroan terbatas. b. Memberikan pendalaman, pengetahuan, dan pengalaman baru kepada penulis mengenai permasalahan hukum yang dikaji, yang dapat berguna bagi penulis dikemudian hari.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penulisan ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan hukum ini terbagi menjadi 5 (lima) bab, masing-masing bab saling berkaitan. Adapun gambaran yang jelas mengenai penulisan hukum ini akan diuraikan dalam sistematika sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Bab ini berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan/Kegunaan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II
Tinjauan Pustaka Bab ini penulis memaparkan tinjauan umum tentang perseroan terbatas sebagai badan hukum dengan tanggungjawab terbatas yang memuat di dalamnya karakteristik perseroan terbatas sebagai badan hukum, organ-organ
perusahaan, perolehan status badan hukum suatu PT, tanggungjawab terbatas pada PT dan pemisahan harta kekayaan PT dengan organ perusahaan, Asasasas hukum dalam UUPT, Eksistensi doktrin Piercing The Corporate Veil, tinjauan umum mengenai kepailitan suatu PT, dan Teori hukum dalam penelitian. Bab III
Metode Penelitian Bab ini berisikan Jenis Penelitian, Sifat Penelitian, Pendekatan Penelitian, Jenis dan Sumber Bahan Hukum, Teknik Pengumpulan Bahan Hukum, Teknik Analisis Bahan Hukum dan Teknik Penafsiran Bahan Hukum.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini mengacu pada hasil penelitian dan analisis mengenai Doktrin Piercing The Corporate Veil diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan tanggungjawab direksi pada perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atas terjadinya kepailitan perseroan terbatas. Bab V
Penutup Bab ini berisikan kesimpulan sebagai hasil penelitian dan implikasi serta saransaran yang berkaitan dengan pembahasan dari semua yang terurai pada bab sebelumnya