BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu toleransi beragama merupakan isu yang seolah selalu „menempel‟ dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Tidaklah mengherankan, karena Indonesia merupakan negara dengan latar belakang masyarakat yang beragam, baik dari segi suku, agama dan ras. Latar belakang yang beragam tersebut tidak dapat menghindarkan Indonesia dari bentuk masyarakat yang plural. Dalam kondisi tersebut masyarakat Indonesia dihadapkan pada sejumlah isu dan tantangan akan wacana toleransi beragama. Indonesia terbiasa dengan perbedaan. Perbedaan itu termaktub dalam semboyan negara „Bhinneka Tunggal Ika‟ yang berarti „berbeda-beda tetapi satu jua‟. Secara normatif masyarakat Indonesia diharapkan dapat menerima perbedaan dan melaksanakan kehidupan dengan tingkat toleransi yang tinggi. Sayangnya, dalam kehidupan nyata pluralitas agama, etnis, dan suku menjadi isu yang cukup sensitif dan kerap kali menimbulkan polemik. Indonesia menghadapi sejumlah masalah terkait dengan masalah keberagaman misalnya kekerasan yang terjadi antar umat, diskriminasi etnis dan lain sebagainya. Indonesia pada kenyataannya seolah „takut‟ untuk berbeda. Hanung mencoba mendedahkan isu toleransi beragama dalam film (?) (selanjutnya akan ditulis Tanda Tanya). Film dengan tagline „Masih Pentingkah Kita Berbeda?‟ adalah film produksi tahun 2011, diperankan oleh Reza Rahadian, Revalina S Temat, Agus Kuncoro, Endhita, Rio Dewanto, Henky Solaiman, Edmay Solaiman, Glenn Fredly, Baim, David Chalik, Deddy Sutomo. Skenario ditulis oleh penulis skenario Titien Wattimena. Film ini diproduseri oleh Erick Thohir, Hanung Bramantyo, Celerina Judisari.1 Seperti yang telah disebutkan diatas isu pluralitas, pluralisme dan toleransi dalam beragama kerap menjadi masalah yang cukup pelik di Indonesia, seolah tidak berujung pangkal. Kasus kekerasan yang melibatkan kelompok Sunni dan 1
Guntur Romli. Sebuah Tanda Tanya untuk Kita. Terarsip di http://filmindonesia.or.id/movie/review/rev4dec4fc6f0cb5_sebuah-tanda-tanya-untukkita#.UFHLabLiYqI Diakses 13 September 2012
1
Syiah di Sampang, Madura hanya sebagian kecil persoalan dari tumpukan masalah yang ada. Toleransi beragama akan sulit dilakukan jika sikap sentimen, prasangka buruk, dan stereotype merasuki cara pandang masyarakat satu sama lain, terutama ketika hal tersebut merasuk ke unit terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Masalah tersebut dihadirkan lewat film Tanda Tanya melalui jalinan konflik yang terjadi dalam 3 keluarga, yakni Hendra (Rio Dewanto) yang gamang dalam menentukan pilihan apapun, dan bersikap acuh terhadap bisnis restoran orang tuanya, Tan Kat Sun (Henky Solaiman) dan Lim Giok Lie (Edmay Solaiman), dan hubungan Rika (Endhita), sahabat Menuk yang baru berpindah agama dari Islam ke Katholik, dengan Surya (Agus Kuncoro). Wacana toleransi beragama dalam film ini ini digambarkan dengan begitu jelas dan terang. Sutradara cukup berani mengambil langkah ini, mengingat masyarakat Indonesia pada umumnya bersikap sensitif pada isu-isu toleransi dan perbedaan agama. Terdapat banyak sekali simbol keagamaan dalam film ini. Disatu sisi, film merupakan salah satu medium komunikasi massa yang dilihat dari elemen realitas memiliki pengaruh secara psikologis terhadap penontonnya. Tingkat realitas yang dapat disajikan melalui film jauh lebih besar dari televisi atau media lainnya. Bahasa film bersifat universal dan ini membantu dalam memecahkan hambatan sosial atau budaya. McQuail, dalam buku Mass Communication Theory, menulis bahwa film adalah presentasi dan distribusi dari tradisi lama sebuah hiburan yang menawarkan cerita, sebuah sudut pandang, musik, drama, humor dan trik teknis untuk konsumsi popular,
Film began at the end of the nineteenth century as a technological novelty, but what it offered was scarcely new in content or function. It transferred to a new means of presentation and distribution an older tradition of entertainment, offering stories, spectacles, music, drama, humour and technical tricks for popular consumption.2
2
Denis McQuail. 2005. Mass Communication Theory Sixth Edition. London: Sage Publications Ltd. hal. 32
2
Film sebagai medium komunikasi massa mampu menyampaikan pandangan tertentu yang diangkat dari realiatas sosial masyarakat. McQuail, juga menyebutkan bahwa film sebagai medium komunikasi massa mempunyai fungsi lain yaitu sebagai alat propaganda. Secara tersirat dan bahkan tersurat banyak film yang memasukan unsur-unsur ideologi ke dalam alur ceritanya. Contohnya film G30SPKI yang pada masa Orde Baru diputar setiap tanggal 30 September, yang sarat akan propaganda tentang PKI sebagai pelaku utama dari pembunuhan para Jenderal. Masih menurut McQuail, fenomena semacam itu mungkin berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat atau mungkin juga bersumber dari keinginan untuk memanipulasi. Dalam hal ini, melihat bagaimana film Tanda Tanya begitu jelas menggambarkan pluralitas beragama, sang sutradara berusaha merepresentasikan realitas sosial yang ada. Dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa film memiliki peran yang cukup penting sebagai medium komunikasi massa. Ia dapat merepresentasikan beragam persepsi, ideologi dan bahkan produk media lain (pameran bagi media lain)3. Meskipun konten dalam film tidak dapat bersifat bebas nilai, karena konten dalam film merupakan hasil kontruksi dan rekontruksi dari apa yang ingin disampaikan. Disisi lain, film menjadi media alternatif dalam menyampaikan fenomena dari realitas sosial yang ada. Ia menjadi semacam alat untuk mentrasfer nilai-nilai yang
ingin
disampaikan
oleh
si
pembuat
film
kepada
masyarakat
luas/penontonnya. Berbicara tentang film, maka kita tidak dapat mengabaikan audiens sebagai pihak yang mengkonsumsi. Posisi audiens sangatlah penting dalam film, karena sebagai fenomena sosial dalam suatu kebudayaan, audiens merupakan penerima pesan (receiver) dari pesan yang ingin disampaikan oleh orang dibalik film tersebut yaitu sutradara dan pihak lainnya. Tanpa kebeadaan audiens, pesan-
3
Jowet dan Linton (1980) dalam McQuail, Dennis. 1987. Mass Communication Theory Second Edition. London: Sage Publications Ltd. hal. 15
3
pesan tersebut tak akan berarti karena tidak ada yang menonton dan memberikan makna terhadap pesan-pesan tersebut. Ada dua perspektif teori komunikasi tentang bagaimana audiens berhubungan dengan media. Yaitu posisi audiens sebagai audiens pasif dan audiens sebagai audiens aktif. Dalam perspektif audiens pasif, kita mengenal model jarum hipodermik yang tidak dapat dibuktikan secara keseluruhan. Khalayak tidak sepenuhnya pasif dan menerima begitu saja pesan yang diterimanya. Faktor latar belakang dan faktor-faktor pendukung lainnya, akan mempengaruhi masing-masing individu dalam memaknai suatu pesan. Sementara itu dalam perspektif audiens aktif, kita mengenal analisis resepsi. Audiens aktif merupakan hal yang penting dan utama dalam analisis resepsi. Salah satu penggagas analisis resepsi adalah Stuart Hall dengan konsep encoding dan decoding. Pesan tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang mudah dilempar oleh pengirim pesan kepada penerima pesan. Audiens yang berbeda akan menginterpretasi pesan dengan berbeda pula sesuai denga proses pemaknaan yang terjadi dalam masing-masing individu. Hall sendiri tidak menyangkal adanya efek yang ditimbulkan oleh suatu pesan. Namun melalui framework semiotik yang diperkenalkannya, semua efek pesan tetap bergantung pada interpretasi atau pemaknaan atas pesan media itu sendiri.4 Analis resepsi melihat bagaimana penonton memberikan makna atas teks media yang ia peroleh. Adapun studi resepsi telah lama digunakan dalam kajian film atau penelitian tentang film. Contohnya, penelitian yang dilakukan oleh Russ Hunter, yang membandingkan praktek resepsi penonton film-film Dario Argento di UK dan Italy5. Atas latar belakang tersebut dari pemahaman bahwa audiens bersikap aktif dalam memaknai pesan, maka peneliti pun ingin mengetahui bagaimana audiens memaknai pesan pluralism agama dalam film “?”. Peneliti memilih film ini karena
4
Pertti Alasuutari. 1999. Introduction: Three Phases of Reception Studies. dalam Pertti Alasuutari (ed.). Rethinking The Media Audience. The New Agenda. London: SAGE Publications. hal. 3 5 Russ Hunter. A Reception Study of the Films of Dario Argento in the UK and Italy. Terarsip di http://cadair.aber.ac.uk/dspace/bitstream/handle/2160/3516/Russ%20Hunter%20thesis.pdf?sequen ce=1. Diakses tanggal 18 September 2012
4
film tersebut memancing banyak kontroversi dari berbagai pihak baik itu organisasi keagamaan maupun individu. Reaksi yang ditimbulkan dari film ini cukup problematik, sehingga membuat beberapa organisasi keagamaan meradang dan mengecam film ini. Akan tetapi meskipun film Tanda Tanya sarat kontroversi dan kecaman, film ini juga mendapat tanggapan positif dari beberapa audiens6. Tanggapan bernada positif ini kebanyakan memuji keberanian Hanung Bramantyo dalam mengungkapkan tema dan isu sensitif pluralism agama di Indonesia. Selain itu, segala kontroversinya, film Tanda Tanya, menurut penelitian J.B Kristanto dan Adrian Jonathan Pasaribu, merupakan film dengan raihan penonton terbanyak keempat di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2011. Hal ini menjadi poin menarik, karena di tengah kontroversi yang cukup tajam, film ini secara umum mampu merebut hati masyarakat Indonesia.7 Selanjutnya, film bertema toleransi beragama yang terjadi di Indonesia ini menimbulkan beragam pemaknaan tentang pemahaman akan toleransi beragama. Audiens akan memiliki pemahaman tersendiri mengenai toleransi beragama dalam film Tanda Tanya sesuai dengan latar belakang dan pengalaman sosialkultural masing-masing. Maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pesan toleransi beragama dalam film Tanda Tanya dimaknai oleh audiens sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembuat film atau audiens memiliki pemaknaan pesan tersendiri. Fokus penelitian ini bukan terletak pada teks film, melainkan pada pemaknaan yang dihasilkan audiens mengenai pesan toleransi beragama yang terdapat di film Tanda Tanya. Menarik untuk melihat bagaimana audiens Indonesia yang beragam memaknai film dengan pesan toleransi beragama dengan latar belakang negeri sendiri. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah konteks kehidupan sosial (keluarga, lingkungan, pertemanan) serta pengalaman individual yang melatarbelakangi pemaknaan audiens terhadap film Tanda Tanya.
6
Pro dan Kontra Film Tanda Tanya. Terarsip di http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/prodan-kontra-sikap-mui-terhadap-.html. Diakses 12 Januari 2013 7 JB. Kristanto & Adrian Jonathan Pasaribu. Catatan 2011: Menonton Penonton. Terarsip di http://www.academia.edu/1266931/Catatan_2011_Menonton_Penonton. Diakses 12 Januari 2013
5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang disampaikan sebelumnya, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah: “Bagaimana audiens memaknai wacana toleransi beragama dalam film Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo ?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pemaknaan audiens terhadap wacana toleransi beragama dalam film Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo. 2. Mengetahui faktor-faktor yang membangun pemaknaan audiens terhadap wacana toleransi beragama dalam film Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo 3. Memahami wacana toleransi beragama dalam film tersebut.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi studi komunikasi, penelitian ini akan memberikan sumbangan referensi mengenai pemaknaan audiens terhadap suatu film. 2. Bagi audiens, penelitian ini dapat menjadi referensi tersendiri untuk lebih kritis terhadap pesan dalam film atau suatu media
E. Kerangka Pemikiran 1. Audiens dalam Studi Ilmu Komunikasi Audiens merupakan kata serapan dari bahasa Inggris audience yang berarti penonton. Dalam sebuah proses komunikasi, audiens adalah pihak yang menerima pesan atau biasa disebut juga komunikan. Akan tetapi tidak semua komunikan merupakan audiens. Karena, audiens adalah komunikan dalam proses komunikasi massa. Audiens adalah komunikan yang mengonsumsi media massa seperti surat kabar, televisi, musik, film dan seterusnya.
6
Wilbur Schram menyebut bahwa istilah audience merupakan istilah kolektif untuk penerima pesan (receivers) dalam model proses komunikasi massa yang dimanfaatkan oleh para pelopor di ranah penelitian tentang media8 Herbert Blumler merupakan orang yang pertama kali mendefinisikan istilah “audiens massa” sebagai sebuah tipe baru formasi sosial dalam masyarakat modern9. Kemudian istilah ini mengalami berbagai penyesuaian sesuai dengan perkembangan media. Misalnya penerima pesan komunikasi massa dsebut pendengar (listeners), media cetak disebut audiens pembaca (reader), dan dalam televise disebut audiens pemirsa (viewers). Berkaitan dengan perkembangan tersebut, maka secara sederhana audiens dapat didefinisikan
sebagai
penerima
atau
pengkonsumsi
teks
media
(Bertrand&Hughes, 2005:27).10 Terkait dengan bagaimana audiens mengkonsumsi media, penelitian audiens dan media memiliki beberapa pandangan tentang karakteristik audiens. Dahulu, penelitian media berpendapat bahwa media massa merupakan sarana yang paling efektif dalam menyampaikan pemikiran dari kelompok yang lebih dominan ke populasi massa yang lebih luas. Pandangan tradisional ini memposisikan masyarakat atau massa sebagai audiens pasif yang dapat didoktrin oleh media secara terus menerus dan tanpa mereka sadari telah dipengaruhi oleh si komunikator atau pengirim pesan. Hal ini ditunjukan dalam teori jarum hipodermik yang banyak dikritik dan diperdebatkan. Dalam model ini, masyarakat merupakan massa, sementara komunikasi massa menginjeksikan ide, sikap, dan sifat yang mengarah pada perilaku pasif dan mudah terpengaruh.11 Dalam teori ini, audiens menerima begitu saja sepenuhnya pesan dari media massa. Media massa berada di posisi yang kuat dan mendominasi khalayaknya. Media massa dengan perbandingan jumlah yang lebih sedikit,
8
Denis McQuail. 1997. Audience Analysis. California: Sage Publications Ltd. hal.1 Denis McQuail. 2008. Mass Communication Theory. London: Sage Publications Ltd.. hal. 56 10 Ina Bertrand & Peter Hughes. 2005. Media Research Methods: Audience, Institution, Texts. New York: Palgrave McMillan. hal 27 11 Todd Gitlin. 2002. Media Sociology: The Dominant Paradigm. dalam Denis McQuail (ed). McQuail‟s Reader in Mass Communication Theory. London: SAGE Publications. hal. 29. 9
7
sebagai suatu lembaga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini audiens mengenai suatu hal. Bila dilihat lebih dalam, media dan audiens memiliki hubungan yang lebih kompleks. Bukan hanya sebatas bahwa media dapat mempengaruhi audiens. Para teoritisi media pun masih memperdebatkan konseptualisasi audiens. Yaitu apakah audiens merupakan masyarakat massa (mass society) atau komunitas (community) dan gagasan mengenai audiens pasif atau audiens aktif.12 Pandangan mengenai masyarakat massa (mass society) senada dengan teori-teori powerful effect yakni bahwa media memiliki kekekuatan yang besar dalam mempengaruhi audiens. Dalam pemikiran ini, audiens dipandang sebagai suatu populasi besar yang dapat dibentuk dan atau diarahkan oleh media. Pandangan ini senada dengan pandangan bahwa audiens bersifat pasif (passive audience). Sedangkan dalam gagasan tentang komunitas (community) audiens dipandang sebagai anggota dari kelompok kecil yang dapat dibedakan dan dipengaruhi oleh kawan sebaya. Audiens sebagai community terdiri dari beragam kelompok, masing-masing dengan nilai, ide dan minatnya sendiri. Audiens dalam community lebih banyak dipengaruhi oleh kawan sebaya dan lingkungannya. senada dengan pernyataan Richard T. La Piere dalam bukunya “Theory of Social Control” menyatakan bahwa lingkungan inti seperti rumah, keluarga, dan jaringan persahabatan lebih mempengaruhi nilai, sikap, dan perilaku individu ketimbang media13. Individu mengkonsumsi media untuk memperoleh apa yang mereka cari, bukan menyerahkan diri kepada media untuk dipengaruhi. Seseorang tidak begitu saja dengan mudah mengubah keyakinan atau pendapatnya tentang sesuatu, apalagi ada jarak dalam hubungan media dengan individu. Individu lebih mempercayai lingkungan sosial terdekatnya. Hubungan sosial yang tercipta menjadi penyaring hubungan impersonal dengan media massa. 12
Stephen W. Littlejohn. 2002. Theories of Human Communication. Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning. hal. 310. 13 Jay W. Jensen, Theodore Peterson, & William L. Rivers. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana. hal. 41.
8
Kemudian, pesan media akan diterima bila itu sesuai dengan pesan di lingkungan sosialnya. Gagasan audiens sebagai community ini senada dengan gagasan tentang audiens yang aktif dalam membuat keputusan penggunaan media atau disebut juga audiens aktif (active audience). Selanjutnya, audiens aktif tersebut bukan terbatas pada penggunaan atau pemilihan media. Dalam kajian lanjutan mengenai audiens, audiens dipandang aktif dalam memaknai pesan-pesan media (active interpreter) dan tidak begitu saja menerima pesan yang dimaksud komunikator. Gagasan mengenai “audiens aktif” atau active audiens tersebut muncul sebagai bentuk perlawanan, kritik dan sinisme terhadap dominasi ideologi audiens pasif dan kekuatan media. Dalam memahami audiens, kita juga perlu memahami dua faktor besar, yaitu berbagai faktor yang ada di sisi audiens dan berbagai faktor yang ada di sisi media. Baik sisi audiens maupun sisi media, ibarat kedua sisi mata uang yang saling melengkapi. Faktor-faktor tersebut di antaranya:
Tabel I.1 Faktor-faktor yang Saling Melengkapi Dari Khalayak Maupun Media14 Sisi Khalayak 1. gender,
Atribut posisi
Sisi Media sosial
dalam
(usia,
keluarga,
1.
Sistem media, yaitu
tinjauan umum atas preferensi dan
situasi pendidikan atau pekerjaan,
pilihan
pendapatan, gaya hidup).
penataan dalam level nasional.
2.
Latar belakang sosial.
3.
Kebutuhan
2.
yang
berkait dengan media. 4.
Cita
yang
media.
dan
14
oleh
Struktur dari penataan Struktur
berkaitan
erat
dengan pola umum apa saja yang disediakan
rasa
dipengaruhi
masyarakat.
oleh
media
Struktur
untuk juga
Rianto, Puji, dkk. 2011. Panduan Riset Khalayak: Desain dan Metode untuk Lembaga Penyiaran Publik. Yogyakarta: PKMBP. Peneliti tidak mendapat akses langsung pada buku ini, melainkan mengutip http://wisnumartha14.blogspot.com/2011/06/memahami-khalayak-lembagapenyiaran.html , diakses pada 30 Oktober 2014, pukul 21:22.
9
preferensi. personal atas genre. 5.
Kebiasaan
mempengaruhi
dalam
6.
dipengaruhi
oleh ekspektasi khalayak.
menghabiskan waktu luang dengan menggunakan media.
dan
3.
Pilihan isi pesan yang
tersedia.
Apresiasi atas berbagai
4.
Publisitas
media.
pilihan yang tersedia dan jenis
Khalayak lebih terpengaruh pada
informasi yang dimiliki.
citra
7.
Konteks
penggunaan
media yang spesifik. 8.
media
bersangkutan
bukan pada isi pesan media. 5.
Kesempatan khalayak
yang
Waktu dan presentasi
pesan.
mengakses isi pesan media.
Perkembangan konsep audiens didorong oleh pertumbuhan jumlah media semakin banyak, yang juga disertai semakin beragamnya materi isi media. Kondisi struktur dan konsentrasi media yang semakin beragam dan materi isi yang semakin banyak dengan variasi jenis yang beragam telah menjadikan khalayak terfragmentasi menurut kelompok media dan kelompok materi isi yang disampaikan oleh media, sehingga komposisi dan struktur khalayak semakin kecil. Dan inilah, terutama untuk media TV, yang sering disebut dengan berakhirnya audiens yang bersifat massa. McQuail menegaskan bahwa audiens tidak bisa dilihat hanya sebagai spectator, apalagi hanya sebagai penonton atau pendengar; sebab audiens melakukan proses resepsi, pemaknaan atau interpretasi pesan, yang tentunya terbangun secara terus menerus.15
2. Analisis resepsi Dalam tradisi penelitian audiens, setidaknya pernah berkembang beberapa ragam penelitian diantaranya, disebut berdasarkan perjalanan historis lahirnya; 15
McQuail, Denis. 1997. Audience Analysis. USA: SAGE Publication. Hal 66
10
effect research, uses and gratification research, literary criticsm, cultural studies dan reception analysis.16 Analisis resepsi merupakan perspektif baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi. Analisis resepsi merupakan salah satu fokus studi yang mengkaji audiens aktif. Tradisi ini mengkaji audiens sebagai penerima pesan yang aktif dalam proses pemaknaan. Konsep penting dari analisis resepsi adalah bahwa makna teks media tidak melekat pada teks media tersebut, tetapi diciptakan dalam interaksi antara audiens dengan teks.17 Sebagai respon terhadap tradisi keilmuan dalam ilmu sosial, analisis resepsi menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasinalisasi, seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya sebagai respon terhadap studi teks humanistik, analisis resepsi menyarankan baik audiens maupun konteks dalam komunikasi massa perlu dilihat tersendiri secara sosial, dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (persepektif sosial dan diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning).18 Secara umum, analisis resepsi memiliki dua premis yaitu teks media mendapatkan makna pada saat penerimaan, dan bahwa audiens secara aktif memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai dengan posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Premis kedua, sebagai landasan penelitian, menyiratkan bahwa pesan-pesan media secara subjektif dikontruksikan audiens secara individual, bahkan ketika media berada dalam posisi paling dominan. Premis ini memposisikan audiens sebagai 16
Klaus Bruhn Jensen & Karl Erik Rosengen. “Five Tradition in Search of Audience”. Dalam Oliver Boyd-Barret & Chris Newbold (ed.) Approaches to A Media Reader. 1995. New York: Oxford University Press Inc. hal 174 17 Ido Prijana Hadi. 2008. Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis. dalam Jurnal Ilmiah Scriptura.Vol.(2).No.1.hal.1-7. Terarsip di: http://puslit.petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID=IKO09030101. Diakses: 16 Januari 2013 18 Klaus Bruhn Jensen. 1993“Media Audiences. Reception Analysis; mass communication as the social production of meaning”. Dalam Klaus Bruhn Jensen and Jankowski, W Nicholas. 1993. A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Second Edition. London: Rotledge. Hal 137
11
makhluk bebas yang mempunyai kekuatan besar dalam pemaknaan atau pemberian makna terhadap pesan. (Croteau dan Hoynes, 2003:274).19 Hal senada diungkapkan oleh Denis McQuail dalam bukunya Audience Analysis. McQuail menyatakan bahwa analisis resepsi yang termasuk dalam studi kultural (cultural studies) menekankan pada penggunaan media (media use) sebagai refleksi dari konteks sosiokultural dan sebagai suatu proses pemaknaan pesan pada produk budaya serta pengalaman-pengalaman20 Masih menurut McQuail, studi resepsi berkembang dan menekankan gagasan kepada audiens sebagai audiens penafsir atau interpretive communities. Pada interpretive communities, teks dan pesan-pesan media dimaknai dan diinterpretasikan secara bebas dan berbeda-beda oleh audiens menurut lingkungan sosial dan budaya dimana aktivitas berbagi pengalaman-pengalaman pemaknaan terjadi. Melalui proses decoding dan pemaknaan terhadap teks media, maka masyarakat sebagai audiens memiliki kekuatan untuk bertahan dari dominasi media massa. McQuail kemudian mengklasifikasikan penelitian resepsi sebagai studi kultural modern yang berada dalam ranah pendekatan stukturalis behavoris dan beberapa yang terkait dengan fokus dalam pengertian analisis resepsi, diantaranya:
Teks media harus dibaca berdasarkan persepsi audiens. Dimana persepsi tersebut tidak pasti dan tidak dapat diprediksi. Audiens mengkontruksi makna secara bebas dan sesuai dengan latar belakang masing-masing.
Fokus dari analisis resepsi adalah proses dalam penggunaan atau pemaknaan media. Inti dari analisis ini adalah proses-proses bagaimana audiens membaca, memahami, memaknai teks media dan pada akhirnya hasil dari proses tersebut akan memperlihatkan bentukbentuk resepsi audiens terhadap media yang dihadirkan.
19
David Croteau & William Hoynes. 2003. Media/Society: Industry, Images, and Audiences. London: Pine Forge Press. hal 274 20 McQuail. Op. Cit. hal 18
12
Media use atau penggunaan media merupakan bagian dari sistem sosial dalam interpretive communities. Pemaknaan akan media digunakan oleh audiens untuk saling berbagi pemaknaan dengan sesama dan lingkungannya.
Audiens sebagai interpretive communities memiliki peran dalam pembentukan wacana dan kerangka dalam pemaknaan media di lingkungannya.
Audiens tak dapat dikatakan pasif dan tak dapat juga dikatakan sama atau sederajat (equal). Meskipun akan ada beberapa audiens yang lebih aktif maupun berpengalaman. Mereka membaca, memahami, dan melakukan pemaknaan secara bebas sesuai dengan latar belakang sosio-kultur masing-masing.
Penelitian ini dapat dikaji menggunakan metode kualitatif dan mendalam dengan mempertimbangkan konten, perilaku resepsi dan konteks keduanya (Lindlof, 1991).21
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa analisis resepsi memandang audiens sebagai bagian dari interpretive communitis bersikap aktif dalam memaknai pesan media. Audiens tidak begitu saja menerima pesan media. Audiens juga memiliki latar belakang dan pengalaman tersendiri yang dapat memberikan pengaruh dalam proses pemaknaan. Perbedaan pembacaan di antara khalayak disebabkan oleh perbedaan posisi-posisi
sosial
khalayak.
Meski
khalayak
dianggap
dapat
menginterpretasikan teks spesifik dalam cara yang berbeda-beda, suatu teks tetaplah tidak terbuka secara utuh dan mutlak. Khalayak terbatasi dan dibentuk oleh posisi sosial mereka sebagaimana juga pembatasan dan ketertutupan teks itu sendiri. Pengalaman khalayak merupakan dalah satu faktor yang menentukan pembacaan khalayak pada posisi tertentu. Misalnya khalayak dengan posisi pembacaan ternegosiasi. Khalayak ternegosiasi bisa jadi menerima arah pesan spesifik media secara luas tetapi juga melakukan adaptasi, menolak beberapa 21
Ibid. hal 19-20
13
elemen dari keseluruhan teks karena tidak sesuai denga pengalaman terdekat khalayak dalam memandang dunia. Misalnya, khalayak Indonesia bisa saja menikmati film barat tetapi tidak menyukai adegan-adegan di dalamnya yang berbeda dengan budaya ketimuran. Pengalaman khalayak yang hidup dalam budaya ketimuran membawanya pada anggapan bahwa tayangan film yang melanggar norma susila tidak layak untuk ditonton. Penelitian David Morley terhadap khalayak pemirsa Nationwide menghasilkan kesimpulan bahwa tidak hanya kelas sosial dan ekonomi saja yang memengaruhi pemahaman khalayak. Gender dan latar belakang etnis juga memiliki pengaruh yang sama pentingnya dengan status ekonomi khalayak. Mengenai pengaruh latar belakang etnis, hal ini ditunjukkan oleh khalayak pemirsa Dallas yang berasal dari Arab. Dalam serial Dallas, karakter Sue Ellen kabur bersama bayinya dari rumah suaminya setelah terjadinya perselisihan di antara mereka. Pemirsa Arab ternyata melakukan pemaknaan yang tidak tepat (aberrant decoding) dengan menambahkan satu elemen pada bagian cerita, yakni Sue kembali ke rumah ayahnya. Pemaknaan tersebut muncul dari konteks budaya Arab, arti hubungan antara anak perempuan dengan orangtuanya, serta pentingnya pernikahan dan keluarga dalam budaya Arab22 Pembacaan teks juga berhubungan dengan posisi ideologi pembuat dan pembaca teks, misalnya patriarki atau feminisme. Ideologi tertanam dalam praktik sosial budaya dalam satu kelas. Apabila pembuat dan pembaca teks memiliki ideologi yang sama, maka terjadilah pembacaan dominan oleh khalayak karena tidak ada perbedaan pandangan. Dengan demikian, pembaca tidak hanya menerima teks, tetapi juga menikmati dan mengkonsumsinya lebih jauh. 23 Memprediksi respon khalayak terhadap film sendiri merupakan sesuatu yang sulit. Kesulitan dalam memrediksi dan memahami interpretasi khalayak terhadap film sebagian disebabkan fakta adanya bermacam-macam jarak yang
22
Bignell. 2003. An Introduction to Television Studies. London: Routledge. Hal 285 Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. Hal. 9697. 23
14
ekstrem, mulai dari isyarat, kode dan konteks yang dilibatkan dalam produksi, distribusi dan konsumsi film.
3. Film Sebagai Media Massa Film merupakan medium komunikasi massa yang hadir sebagai suatu teknologi baru yang mampu mentransformasikan tradisi seni pertunjukan lama kepada cara yang baru. McQuail menyatakan, film hadir di abad 19 sebagai teknologi baru yang menawarkan konten dan fungsi yang hampir baru juga. Film memperkenalkan hiburan dengan cara presentasi dan distribusi baru, menawarkan cerita, pertunjuan, komedi, dan trik-trik teknis untuk konsumsi popular.24 Film sebagai media massa mengalami perkembangan yang cukup pesat dari masa ke masa. Film terus berkembang dari segi penonton, teknologi perfilman, distribusi, hingga genre film tersebut. Masing-masing negara di belahan bumi ini memiliki sejarah perfilman dan ciri khas genre film tersendiri. Perkembangan yang pesat tersebut membuat banyak akademisi melirik film beserta unsur-unsur yang terdapat didalamnya untuk dikaji secara akademis. Jowett dan Linton seperti dikutip oleh Austin menyatakan film sebagai media massa banyak diteliti oleh akademisi sebagai objek penelitian, baik dari segi audiens maupun konten, karena perkembangan film mampu memunculkan perdebatan-perdebatan.25 Film seperti media massa lainnya memiliki karakteristik tertentu, diantaranya film memiliki teknologi pembuatan dan penyebaran yang beragam. Teknologi pembuatan film semakin berkembang. Perkembangan film dimulai dengan digunakannya alat kinetoskop yang ditemukan oleh Thomas Alfa Edison yang pada masa itu digunakan oleh penonton secara perorangan. Film pada masa awal kemunculannya masih bisu dan tidak berwarna. Pemutaran film di bioskop untuk pertama kalinya dilakukan pada awal abad 20 di Hollywood. 24
McQuail. Op. Cit. hal 32 Bruce A. Austin. 1991.Movies as Mass Communication. Terarsip dalam Canadian Journal of Communication Vol. 16 No 2. http://www.cjc-online.ca/index.php/journal/article/view/617/523. Diakses tanggal 4 Febuari 2013 25
15
Hingga industri perfilman Hollywood sampai saat ini merajai industri perfilman populer secara global. Tehnologi pembuatan film berkembang pesat sampai saat ini. Dewasa ini pembuatan film berlangsung secara digital meskipun berbudget besar. Penonton film dapat menikmati tayangan film dengan kualitas gambar dan suara yang mengagumkan. Selain dalam hal pembuatan, proses penyebaran dan media film juga mengalami perkembangan pesat. Dahulu film ditonton acapkali lewat bioskop dan ditonton secara bersamaan. Perkembangan teknologi membuat film hadir dengan beragam bentuk media, antara lain video, VCD, DVD, Blue-Ray dan bahkan film bisa dinikmati lewat TV, TV kabel, dan internet. Perkembangan film yang pesat tersebut memungkinkan film dikonsumsi secara personal dengan kualitas gambar dan suara yang sama baiknya Sebagai media massa, film dikirim oleh komunikator professional atau lembaga. Komunikator professional terdiri dari sutradara, produser dan pihakpihak yang terkait dengan production house penghasil film yang bersangkutan. Film pada umumnya membidik pasar audiens tertentu berdasarkan hal-hal tertentu di masyarakat. Misalnya umur, status ekonomi dan terkadang gender. Film disampaikan oleh pembuat film (filmmaker) sebagai komunikator professional (perusahan produsen film) dan umumnya didistribusikan melalui perusahaan distributor film baik skala besar maupun kecil, nasional maupun internasional. Selama ini, industri perfilman global didominasi oleh lima perusahaan produsen (atau biasanya disebut production house) film yakni Warner
Bros
Entertainment,
20th
Century
Fox,
Paramount
Pictures
Corporations, Sony Pictures Entertainment. Semuanya berasal dari Amerika dan telah mengeluarkan film-film dengan kelas box office di berbagai belahan dunia. Di Indonesia perusahaan-perusahaan ini diwakili oleh organisasi Motion Picture Association. Tercatat, Walt Disney Company, Sony Pictures, Paramount Pictures, 20th Century Fox, Universal Studios, Warner Bros merupakan perusahaan-perusahaan film yang tergabung dalam MPA.
16
Di Indonesia, terdapat pula beberapa PH (production house) yang cukup produktif, diantaranya MD Pictures, Soraya Intercine Film, Kalyana Shira Films, Dapur Film, Miles Film, dan seterusnya. Perusahaan-perusahaan ini cukup produktif memproduksi film-film, terutama MD Picture yang kerap kali filmnya menjadi box office di Indonesia. Misalnya Ayat-Ayat Cinta (2008) dan yang terbaru Habibi & Ainun (2012). Karakteristik film yang lainnya, film merupakan salah satu medium komunikasi massa yang mampu menjangkau audiens dalam skala besar bahkan, ia mampu menjangkau populasi yang berada di daerah terpencil, dengan catatan ketersediaan alat dan teknis yang mampu memutar film. Jangkauan penonton yang luas membuat film acapkali dibuat untuk menyampaikan suatu pandangan tertentu yang diangkat dari realiatas dan fenomena sosial di masyarakat. McQuail menyatakan bahwa film sebagai medium komunikasi massa mempunyai fungsi lain yaitu sebagai alat propaganda. Secara tersirat dan bahkan tersurat banyak film yang memasukan unsur-unsur ideologi ke dalam alur ceritanya .Fenomena semacam ini berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat atau mungkin juga bersumber dari keinginan untuk memanipulasi.26 Di Indonesia, film kerap diproduksi untuk menyampaikan ideologi, propaganda atau paham tertentu. Misalnya yang paling kuat dalam ingatan masyarakat Indonesia adalah film G30S PKI yang ketika masa rezim Orde Baru wajib diputar tiap tanggal 30 September. Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari propaganda rezim Orde Baru untuk mendiskreditkan Partai Komunis Indonesia.27 Dari paparan-paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa film memiliki peran yang cukup penting sebagai medium komunikasi massa. Ia dapat merepresentasikan beragam persepsi, ideologi dan bahkan produk media lain (pameran bagi media lain). Meskipun konten dalam film tidak dapat bersifat 26
McQuail. Op. Cit. hal 32 Film G30S, Satu dari Sekian Propaganda Orde Baru. Terarsip di http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432757/Film-G30S-Satu-dari-Sekian-PropagandaOrde-Baru. Diakses tanggal 2 Febuari 2013 27
17
bebas nilai, karena konten dalam film merupakan hasil kontruksi dan rekontruksi dari apa yang ingin disampaikan komunikator.
4. Wacana toleransi beragama dalam film Bila ditapaki secara historis, tema religi dalam dalam film pertama kali muncul pada tahun 1959. Dimana sutradara Asrul Sani menyutradarai film berjudul “Titian Serambut Dibelah” yang kemudian difilmkan kembali oleh Chaerul Umam pada tahun 1982. Kemudian dalam rentang waktu 1960-an sampai 1990an terdapat beberapa film bertema religi yang cukup mendapat tempat di hati penonton. Pada tahun 1985, film tentang bagaimana pluralnya keyakinan dalam Islam diproduksi. Film tersebut berjudul Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar, disutradarai oleh Sofyan Sharna, Ackyl Anwari. Film ini menceritakan tentang kehidupan Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar dan bagaimana mereka memiliki perbedaan keyakinan dalam memahami Islam sehingga pada akhirnya Syeh Siti Jenar harus dihukum pancung. Film religi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah film-film yang membawa unsur agama untuk dijadikan tema filmnya. Misalnya film tentang para wali, pastur, kehidupan di pesantren, kehidupan religi seorang tokoh atau individu. Film religi merupakan sub-genre dari film drama yang mengangkat agama sebagai pusat ceritanya. Meski belum ada definisi yang baku mengenai film religi maupun film dakwah, secara garis besar dapat diambil kesimpulan sementara bahwa film religi merupakan film yang menampilkan nilai-nilai dan simbol-simbol tertentu dalam satu agama sebagai latar cerita. Seperti yang telah dikemukakan diatas, film religi telah muncul di Indonesia dari tahun 1950-an. Kemudian gema film religi hadir kembali pada era pasca Orde Baru yakni era Reformasi. Kebangkitan film religi di era reformasi tidak lepas dari gaung kebebasan berekspresi yang merupakan angin segar bagi insan perfilman. Tema religi kurang berkembang pada masa Orde Baru dikarenakan ketatnya kontrol pemerintah. Dahulu, pada masa Orde Baru dimana stabilitas negara menjadi dasar ideologinya, pemerintah menerapkan pengawasan yang
18
ketat terhadap isu-isu yang dapat menggoyang pemerintah. Agama merupakan salah satu isu yang sensitif disamping persoalan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Isu yang menyangkut persoalan agama dan SARA diawasi secara ketat oleh pihak pemerintah melalui berbagai saluran. Menyangkut masalah film, banyak film yang mendapat potongan sensor beberapa kali oleh Lembaga Sensor Film (LSF), sehubungan dengan kontennya yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi politik zaman Orde Baru.28 Kemudian baru pada era reformasi, film religi kembali bangkit. Bangkitnya kembali film religi, ditandai dengan kemunculan film „Kiamat Sudah Dekat‟ (2004) besutan Deddy Mizwar. Film “Kiamat Sudah Dekat” sukses di pasaran. Kemudian selanjutnya film-film dengan tema religi pun marak bermunculan. Diantaranya yang berhasil mencuri perhatian adalah film “Ayat-Ayat Cinta” (2007) besutan Hanung Bramantyo dan Ketika Cinta Bertasbih(2009) garapan Chairul Umam. Ayat-ayat Cinta (2007) karya Hanung Bramantyo merupakan film yang mengangkat genre religi menjadi populer hingga sekarang. Film religi kental sekali dengan nuansa agama dan kisahnya berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dan tak jarang pula dibumbui unsur roman. Populernya tema religi membuat para sutradara/produsen film mulai berani membuat film religi dengan sudut pandang yang lebih berani. Salah satunya adalah wacana toleransi beragama. Dengan kondisi bangsa yang multikultur ini, menarik untuk melihat bagaimana isu sesensitif toleransi beragama disajikan lewat media film dan bagaimana audiens memaknainya. Sebelum
membahas
bagaimana
toleransi
beragama
dalam
film,
sebelumnya mari kita bahas apa sebenarnya arti dari toleransi beagama tersebut. Sebenarnya diskusi mengenai wacana toleransi beragama seakan tak ada ujungnya. Tiap orang dengan latar belakang kultural, sosial, dan agama masing-
28
Veronica Kusuma dan Ignatius Haryanto.2007.”Sensor Film di Indonesia”. Dalam Ignatius Haryanto. Ketika Sensor tak Mati-Mati. 2007.Jakarta: Yayasan Kalam. Hal 114
19
masing mempunyai pemahaman yang berbeda menyoal definisi dari toleransi beragama. John Ladd mendefinisikan toleransi beragama (religious tolerance) sebagai berikut:
Religious Tolerance refers to the ability to appreciate spiritual values, beliefs and practices which are different from your own. This goal is a complex one due the great diversity of religions and spiritual beliefs existing in the world today. Religion is also a very emotional topic. It can often be difficult for individuals to put their personal biases aside and consider ideas or situations objectively. There is also an ongoing debate between theorists who favor cultural/ethical relativism (the idea that the “moral rightness and wrongness of actions varies from society to society and that there are no absolute universal moral standards binding on all men at all times”29 Dari paparan tersebut kita dapat menyimpulkan, toleransi beragama adalah kemampuan untuk menghargai nilai, kepercayaan dan ritual spiritual yang berbeda dari nilai, kepercayaan dan ritual kita sendiri. Indonesia sendiri, dengan keberadaan jumlah suku lebih dari 300 dan 700 bahasa, Indonesia dilihar dari konteks budaya dan bahasa, merupakan negara dengan keberagaman paling tinggi di muka bumi. Dalam segi agama, jumlahnya lebih sederhana, karena hanya 6 agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Menurut sensus tahun 2000, 86% populasi masyarakat beragama Islam, 6% beragama Protestan, 3% beragama Katolik, 2% beragama Hindu, dan persentase lebih kecil beragama Budha. Sejak tahun 2006, Confusianisme telah secara resmi diakui sebagai agama.30 Kenyataan masyarakat Indonesia dengan pluralitas etnis, ras, dan agama menuntut masyarakat Indonesia harus hidup dalam perbedaan. Maka dititik ini toleransi beragama merupakan satu hal yang harus senantiasa dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Apalagi, seperti kita ketahui isu-isu
29
Mary Courtis & Chris Cayton. Issues Concerning Religious Tolerance and Diversity. terarsip di www.pcc.edu/resources/.../religious-bias-curriculum.pdf. Diakses tanggal 19 Febuari 2013. 30 Lyn Parker.2010. Religious Tolerance And Inter-Faith Educatin in Indonesia. Terarsip di asaa.asn.au/ASAA2010/reviewed_papers/Parker-Lynn.pdf. diakses tanggal 20 Febuari 2013
20
terkait SARA dan toleransinya kerap kali mengundang konflik masyarakat antar-agama bahkan tak jarang menimbulkan kekerasan. Kembali ke film, di Indonesia film bertema toleransi agama yang cukup menarik perhatian adalah film Cin(t)a (2009) karya sutradara muda asal Bandung, Sammaria Simanjuntak. Cin(t)a merupakan film drama dimana kisah perbedaan agama dan etnis antar dua tokoh utama menjadi penghalang cinta keduanya bersatu. Film ini diproduksi dan diedarkan secara independen dari kampus ke kampus, komunitas film, dan kota ke kota. Film ini menarik perhatian dan sempat membuat kontroversi. Setelah film Cin(t)a film yang mengangkat wacana toleransi beragama sebagai tema filmnya adalah 3 Hati, 2 Dunia, Satu Cinta (2010), Tanda Tanya Tanda Tanya, Soegija (2012) dan yang terbaru Cinta Tapi Beda (2012) Diantara film-film bertema toleransi beragama lainnya, film Tanda Tanya Tanda Tanya yang merupakan bagian dari penelitian ini merupakan film yang paling mengundang kontroversi. MUI dan FPI adalah lembaga-lembaga yang meradang karena film ini. Akan tetapi ditengah kontroversinya, film ini merupakan film merupakan film dengan raihan penonton terbanyak keempat di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2011 (J.B Kristanto dan Adrian Jonathan Pasaribu). Film ini menyampaikan pesan tentang toleransi beragama dengan begitu terang, ceritanya komplek dan berlapis. Cerita tidak hanya membicarakan cinta, akan tetapi juga bagaimana seseorang memilih pindah agama, dan bagaimana agama-agama yang berbeda dapat hidup berdampingan secara damai.
F. Kerangka Konsep 1. Audiens dengan Latar Belakang Berbeda-beda Dalam penelitian ini, yang dimaksud audiens dengan latar belakang budaya yang berbeda adalah informan yang dipilih berdasarkan alasan-alasan tertentu. Adapun latar belakang berbeda dari informan-informan tersebut mencakup latar belakang agama, ras, suku, pengalaman dan group-reference
21
2. Film Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo dan Wacana Toleransi Beragama dalam Film Pada bulan April 2011, Hanung meluncurkan film Tanda Tanya, film yang mengangkat isu multikulturalisme dan toleransi beragama di Indonesia. Hanung memang kerap mengangkat tema religi dalam film-filmnya seperti Ayat-Ayat Cinta (2008), Perempuan Berkalung Sorban (2009), dan setelah Tanda Tanya yang melahirkan kontroversi di berbagai lapisan masyarakat, Hanung bahkan membuat film dengan tema percintaan beda agama Cinta Tapi Beda (2012) yang kembali melahirkan kontroversi. Adapun, Film Tanda Tanya menuai kontroversi dan kritikan yang pedas dari Majelis Ulama Indonesia serta ormas Islam karena dianggap menyebarkan paham pluralisme karena menganggap semua agama benar. Padahal Hanung sendiri melihat film ini sebagai sebuah film yang berkisah tentang hubungan antara keberagaman dan toleransi, terutama keberagaman dalam hal keagamaan dan suku bangsa. Karya ini berangkat dari kegelisahannya sebagai orang Islam dalam menanggapi stigma negatif yang beredar selama ini. Hanung ingin memberi tahu bahwa Islam itu sebenarnya agama cinta damai. Keberagaman dan toleransi merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia. Meskipun penduduknya mayoritas Muslim dengan berbagai macam etnis dan kebudayaan, namun toleransi akan keberagaman adalah inti pembentuk negara ini.
3. Proses Resepsi Film Tanda Tanya oleh Audiens Resepsi film Tanda Tanya oleh audiens adalah cara audiens memaknai pesanpesan yang terdapat dalam film Tanda Tanya yang ditontonnya. Resepsi film Tanda Tanya oleh audiens dapat diteliti dari tiga tahapan, yakni: a)
Proses decoding pesan dalam film. Dalam penelitian ini, proses decoding akan menentukan bagaimana cara informan memahami pesan yang disampaikan dalam film Tanda Tanya.
22
b)
Penilaian atas film Tanda Tanya. Dalam penelitian ini, tanggapan informan atas film yang ditonton juga akan berkaitan dengan setuju atau tidaknya audiens akan wacana toleransi beragama yang disampaikan oleh Hanung.
c)
Makna yang diterima oleh informan dalam penelitian ini berkaitan dengan penilaian atas film yang ditonton. Data dalam bagian ini kemudian akan dikategorikan sesuai dengan teori resepsi pesan yang dikemukakan oleh Stuart Hall, yakni preferred/dominant reading, negotiated meaning, dan oppositional decoding
. G. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Karakteristik utama dari penelitian kualitatif adalah fleksibilitas dalam perolehan data.31 Penelitian kualitatif memungkinkan spontanitas serta adaptasi dalam interaksi antara peneliti dengan partisipan studi. Hubungan yang tercipta antara keduanya lebih berkesan informar, tidak seperti dalam penelitian kuantitatif. Penelitian tentang pemaknaan audiens terhadap suatu pesan biasa disebut analisis resepsi. Analisis resepsi akan merujuk pada penerimaan audiens yang merupakan salah satu studi yang digunakan untuk memehami bagaimana audiens menginterpretasi atau memaknai pesan yang diterimanya melalui media. Dalam analisis resepsi, makna teks tidak terletak pada teks itu sendiri. Audiens tidak menemukan makna dalam teks tetapi dalam interaksinya dengan teks.
Selain
itu
analisis
resepsi
melibatkan
faktr
kontekstual
yang
mempengaruhi pemaknaan audiens terhadap teks media seperti identitas, latar belakang sosial, dan persepsi. Media dipandang memiliki posisi yang tidak lebih kuat dengan audiens. Peneliti
menggunakan
pendekatan
penelitian
kualitatif.
Penelitian
kualitatif merupakan salah satu meted yang bertujuan untuk mendapatkan 31
Cynthia Woodsong, Emily Namey, Greg Guest, Kathleen M. Macqueen, & Natasha Mack. 2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. Research Triangle Park, NC: Family Health International. hal. 4.
23
pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir induktif32. Peneliti menggunakan pendekatan ini dengan tujuan untuk memahami bagaimana pemaknaan audiens terhadap wacana toleransi beragama dalam film Tanda Tanya Tanda Tanya secara mendalam serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemaknaan tersebut.
2.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, peneliti membagi teknik pengumpulan data menjadi
pengumpulan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui teknik wawancara mendalam individual (in depth interview) dan observasi partisipatoris Observasi partisipatoris digunakan untuk memahami apa yang terjadi, serta memahami pola-pola dan interaksi. Observasi dapat mengoptimalkan kemampuan atau kepekaan peneliti dalam memahami fenomena yang terjadi. Observasi partisipatoris dilakukan dengan partisipasi peneliti sebagai audiens. Selama berpartisipasi, peneliti mengamati sekaligus melakukan pencatatan. Wawancara mendalam (in-depth interview) secara sederhana dapat didefiniskan
sebagai
percakapan
antara
peneliti
dan
seorang
33
informan. Wawancara mendalam ini digunakan untuk mengetahui bagaimana subjek melakukan pemaknaan terhadap film Tanda Tanya terkait dengan wacana toleransi beragama didalamnya. Kemudian dalam pengumpulan data sekunder atau pendukung, peneliti melakukan studi pustaka dari literatur seperti buku, jurnal, dan internet. Datadata pendukung ini digunakan untuk memperkuat konsep dan kerangka pemikiran yang akan dibuktikan dan diterapkan melalui penelitian. Studi pustaka ini juga menjadi langkah awal dalam melakukan penelitian.
32
Basrowi & Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta Arthur Asa Berger. 2000. Media and Communication Research: An Introduction to Qualitative and Quantitative Approaches. London : SAGE 33
24
3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dari penelitian ini adalah dengan menganalisis data yang telah didapatkan peneliti melalui pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara mendalam, studi pustaka serta dokumentasi. Dari sekian banyak data yang didapatkan dari pengumpulan data, kemudian dipilih data yang mewakili jawaban dari rumusan masalah. Hasil data dari wawancara mendalam dalam penelitian ini dikumpulkan dalam catatan tertulis (transkrip data wawancara). Transkrip data wawancara tersebut kemudian akan digunakan untuk menganalisis bagaimana pemaknaan yang dilakukan informan terhadap film Tanda Tanya. Kemudian, setelah pengumpulan transkrip, data diorganisasikan sehingga lebih memudahkan peneliti untuk mencari data yang diperlukan dalam transkrip. Sebelum melakukan analisis pokok, peneliti merangkum gambaran awal yang didapat dari masing-masing informan setelah itu kemudian peneliti melakukan analisis pokok.
4. Informan Penelitian Informan penelitian ini adalah anak-anak muda dengan rentang usia antara 23-32 tahun dengan latar belakang sosio-kultural, pengalaman, agama, dan etnis yang berbeda-beda. Selain itu masing-masing informan memiliki ketertarikan terhadap film dan senang menonton film, serta pernah menonton film Tanda Tanya Alasan ini dipilih karena, film Tanda Tanya menceritakan tokoh-tokoh dengan identitas, latar belakang sosio-kultural, pengalaman, agama, dan etnis yang berbeda, dan bagaimana mereka hidup berdampingan. Berikut nama-nama informan beserta alasan dipilihnya informan tersebut dalam penelitian ini : a) Anisa Anisa merupakan seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Yogyakarta. Sebelumnya, ia tinggal di Jakarta dan pindah ke Yogyakarta setelah menikah. Ia dipilih karena reference grup yang khas. Anisa banyak terlibat aktif dalam
25
komunitas-komunitas atau organisasi-organisasi keagaaman Islam. Menarik mengamati bagaimana seseorang berlatar belakang Islam yang konservatif memaknai film yang diklaim sutradaranya merepresentasikan Islam yang damai b) Jason Jason adalah seorang filmmaker yang cukup produktif. Filmnya yang berjudul Seserahan (2013) diputar di Jakarta International Film Festival. Jason tentu saja memiliki kedekatan khusus dengan film, karena ia telah mulai membuat film sejak usia 17 tahun. Faktor inilah yang membuat peneliti memilih Jason sebagai salah satu informan. Selain itu, Jason yang merupakan etnis Tionghoa dan beragama Katolik dapat membuat pemaknaan yang ada semakin beragam c) Tasya Tasya merupakan karyawan swasta yang aktif di komunitas-komunitas gereja. Tasya beragama Protestan yang memiliki pengalaman pergersekan dengan ormas lain agama. Faktor grup reference yang kental dengan nuansa agama dan pengalamannya menjadi alasan peneliti memilih Tasya sebagai salah satu informan d) Cipuk Cipuk adalah seorang fresh graduate dari Fakultas Hukum UGM yang memiliki latar belakang keluarga menarik. Dari aspek agama, keluarga besar Cipuk memiliki latar belakang heterogen, sedangkan keluarga intinya bersifat homogen, yakni seluruh anggota keluarga inti memeluk agama Islam. Berdasarkan faktor tersebut, peneliti memilih Cipuk sebagai salah satu informan e) Windu Windu merupakan dosen di sebuah Jurusan Perfilman di salah satu universitas swasta di Jakarta. Dapat dibilang Windu memiliki kedekatan film. Selain itu, dari aspek agama, Windu tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Aspek tersebut membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana Windu akan memaknai toleransi beragama dalam film Tanda Tanya
26
5. Waktu Penelitian Waktu penelitian berlangsung dalam rentang waktu antara tahun 20122014. Hal tersebut dikarenakan kesibukan beberapa informan sehingga, waktu untuk penelitian bervariasi. Adapun penelitian dilakukan setelah informan menonton film Tanda Tanya
27