BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan pada UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) dan berasaskan Pancasila. Penekanan bentuk dan kedaulatan negara Indonesia adalah negara hukum tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Dalam mengemban amanat tentang tujuan negara yang terdapat pada alenia keempat yakni yang berbunyi “…untuk membentuk pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, keadilan sosial...” pembangunan nasional merupakan upaya secara keseluruhan untuk mencapai amanat dalam pembukaan UUD NRI 1945 alenia keempat tersebut yang telah dijabarkan dalam Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional “Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara”. Upaya untuk mewujudkan pembangunan nasional, diperlukan biaya atau pengeluaran pemerintah yang cukup besar sesuai dengan setiap kegiatan yang dilakukan. Pemerintah membutuhkan seluruh potensi dan kemampuan yang dapat dijadikan penerimaan sebagai dana atau pendapatan negara untuk memenuhi pembiayaan atau pengeluaran pemerintah. Pemenuhan pembiayaan atau pengeluaran pemerintah tersebut sudah barang tentu dibutuhkan uang yang dapat diperoleh pemerintah dengan jalan mencetak sendiri ataupun meminjam namun selain itu pemerintah juga mempunyai sumber-sumber penghasilan yang umumnya terdiri dari: perusahaan-perusahaan negara, barang-barang milik pemerintah atau yang dikuasai pemerintah, denda-denda dan perampasanperampasan untuk kepentingan umum, hak-hak waris atas harta peninggalan
1
2
terlantar, hibah-hibah, dan terakhir terkait dengan tiga macam iuran yakni pajak, retribusi, sumbangan (Santoso Brotodiharjo, 2013 : 9). Sumber-sumber penghasilan yang telah disebutkan diatas, pajak merupakan salah satu penerimaan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional.Berdasarkan Nota Keuangan Kementerian Keuangan 2015 dari sektor perpajakan telah berkontribusi cukup besar sebagai sumber penerimaan negara. Hal ini dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1. PENDAPATAN NEGARA 2014-2015 (dalam milyar rupiah) Uraian Pendapatan Dalam Negeri Pendapatan Perpajakan Pendapatan Negara Bukan Pajak II. Pendapatan Hibah Jumlah
2014 APBN APBNP 1.665.780,7 1.633.063,4
2015 APBN RAPBNP 1.790.332,6 1.765.662,2
1.280.389,0
1.246.107,0
1.379.991,6
1.484.589,3
385.391,7
386.946,4
410.341,0
281.072,9
1.360,1
2.325,1
3.256,3
3.308,4
1.667.140,8
1.635.378,5
1.793.588,9
1.768.970,7
(Sumber: Nota Keuangan Kementerian Keuangan) Tertuang dalam tabel diatas dapat dilihat angka anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P) untuk tahun 2014-2015 dari sektor perpajakan telah berkontribusi besar dibandingkan dengan pendapatan negara yang bukan berasal dari pajak, dengan nilai sebesar itu pajak mempunyai kedudukan yang penting dalam posisi keuangan negara, yakni sebagai penopang utama pendapatan negara. Pemerintah satu-satunya lembaga yang diperbolehkan untuk memungut pajak. Ciri ini melekat dalam pengertian pajak, bahwa pajak merupakan pengalihan kekayaan sektor swasta ke sektor publik (negara) atau dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment (Agus Surono, 2013 : 5), dan pemungutannya haruslah melalui undang-undang yang
3
telah tertuang dalam UUD NRI 1945 pada pasal 23A “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Undang-undang sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah. Hal ini berarti bahwa undangundang mengandung hak dan kewajiban bagi tiap orang (Sudikno Mertokusumo, 2005 : 41) dan lebih terkhusus lagi bahwa undang-undang dalam pengaturan perpajakan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Salah satu indikasi keberhasilan pemungutan pajak pada suatu negara adalah adanya kepatuhan masyarakat (wajib pajak) untuk membayar pajak terutang yang menjadi kewajibannya tepat pada waktunya. Hal ini sangat diperlukan untuk menjamin tersedianya
dana bagi negara yang berasal dari
partisipasi masyarakat dalam rangka ikut serta dalam pembiayaan pengeluaran negara, namun kondisi ideal ini tidak selalu terjadi mengingat wajib pajak tidak menjalankan kewajiban memenuhi pajak yang dikenakan kepadanya. Hal tersebut dapat dilihat dari data saat ini per september tahun 2015 realisasi pajak sekitar 686.274,30 (dalam miliar rupiah) sedangkan APBN-P (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan) adalah sekitar 1.294.258,67 (dalam miliar rupiah) itu artinya masih ada tunggakan pajak sebesar kurang lebih 50% (lima puluh persen) dari apa yang telah dianggarkan. Apabila dibandingkan dengan tahun lalu penerimaan pajak kini telah mengalami peningkatan yang cukup sigifikan di berbagai
sektor
namun
juga
terdapat
penurunan
di
sektor
tertentu
(http://www.pajak.go.id diakses pada 10 Oktober 2015 pukul 20.00). Keadaan ini menyebabkan dalam pemungutan pajak sangat diperlukan ketegasan fiskus terhadap wajib pajak dengan menerapkan ketentuan hukum (law enforcement) sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan yang berlaku. Tujuan dari penerapan law enforcement adalah agar wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan Indonesia (Marihot P Siahaan, 2004 : 1).
4
Salah satu penerapan law enforcement agar para wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pajak yang dikenakan kepadanya adalah dengan penagihan pajak. Sebuah sistem perpajakan yang baik adalah yang dapat meminimalkan kesenjangan ketaatan itu sendiri artinya antara beban pajak yang ditanggung dan pajak yang sebenarnya yang harus dibayar para penanggung (Tarjo, 2009 : 1). Pemerintah dalam hal ini pejabat fiskus yang berusaha meningkatkan sumber pendapatan dari sektor pajak tidak saja ditentukan oleh kesadaran dan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya, tetapi juga kemampuan aparat dalam hal pembinaan, penelitian dan pengawasan melalui pemeriksaan kebenaran laporan yang disampaikan oleh wajib pajak guna rasa keadilan dalam penegakan hukum pajak. Upaya membangun penegakan hukum pajak yang konsisten merupakan salah satu cara agar ketentuan hukum perpajakan dapat ditaati dan dipatuhi oleh wajib pajak. Adanya konsistensi diharapkan menjadi pembenaran kepatuhan pajak yang muncul dari wajib pajak bukan atas dasar ancaman dan paksaan, melainkan karena kepatuhan yang bersifat sukarela (voluntarycompliance) penuh dari wajib pajak, tetapi disisi lain pemerintah juga memerlukan alat pemaksa dan sanksi yang bersifat menjerakan dan mendidik yang merupakan konsekuensi dari kewajiban publik terhadap negara. Salah satu upaya paksa adalah berupa lembaga penyanderaan (gijzeling) yang merupakan cerminan dari penegakan hukum, sebagai terobosan untuk menjerat wajib pajak yang membandel (Mulyatsih Wahyumurti, 2005 : 2). Menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (selanjutnya disebut UU PPSP) penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Kep-218/PJ/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera, mengingat hakikat penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkan dirumah tahanan negara, hal ini mirip atau hampir sama dengan penahanan tersangka pelaku tindak
5
pidana, maka penyanderaan penanggung pajak dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya terakhir penagihan pajak (Anang Mury Kurniawan, 2011 : 149). Pada tahun 1964, tindakan penyanderaan sempat dihapus dengan alasan tidak manusiawi oleh Ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro yang mengeluarkan Surat Edaran No.2/1964 tanggal 24 Januari 1964 tentang edaran untuk tidak menggunakan lembaga sandera. Hal serupa juga dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Oemar Seno Adji yang mengeluarkan instruksi serupa kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri untuk tidak lagi menggunakan lembaga sandera melalui SE No.4/ 1975. Sejak 25 Juni 2003 dengan
mempertimbangkan
banyak
hal
terkait
lembaga
sandera
atau
penyanderaan, Menteri Keuangan bekerja sama dengan Menteri Kehakiman dan HAM
Republik
Indonesia
membuat
keputusan
bersama
Nomor
294/KMK.03/2003, M-02.UM.09.01 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak Yang Disandera Dirumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang otomatis memberlakukan kembali tindakan penyanderaan sebagai salah satu upaya dalam penagihan pajak (Eko Purnomo, 2006 : 6). Lembaga sandera badan atau gijzeling dipergunakan oleh pemerintah sebagai salah satu upaya setelah tahapan sebelumnya dijalankan sebagaimana termaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU PPSP tidak terpenuhi. Tahapan tersebut adalah tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa, berupa serangkaian tindakan agar wajib pajak atau penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur atau memperingatkan,
melaksanakan
penagihan
seketika
dan
sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan. Lembaga ini ditujukan terhadap wajib pajak atau penanggung pajak yang memenuhi syarat-syarat kuantitatif dan kualitatif yang ditentukan oleh undangundang serta penyanderaan harus dilakukan secara selektif dan sangat hatihati.Lembaga sandera badan (gijzeling) ini, meskipun wajib pajak atau penanggung pajak tersebut terkena sanksi penyanderaan, bukan berarti mereka
6
terbebas dari kewajiban membayar pajak. Upaya paksa seperti penyitaan dan pelelangan harta benda wajib pajak atau penanggung pajak tetap dilakukan sebagaimana mestinya. Hingga 26 Juni 2015 Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut DJP) telah menyampaikan usulan penyanderaan penanggung pajak kepada Menteri Keuangan terhadap 29 (dua puluh sembilan) penanggung pajak yang merupakan wakil dari 18 (delapan belas) Wajib Pajak Badan dan 3 (tiga) Wajib Pajak Orang Pribadi. Sesuai usulan tersebut, DJP memperoleh surat izin untuk melakukan penyanderaan dari Menteri Keuangan terhadap 23 (dua puluh tiga) orang yang merupakan penanggung pajak atas utang 14 (empat belas) Wajib Pajak Badan dan 3 (tiga) Wajib Pajak Orang Pribadi dengan total nilai utang pajak sebesar Rp 44,23 miliar (empat puluh empat koma dua pulih tiga miliar). Para penanggung pajak yang disandera itu, terdaftar di wilayah kantor wilayah (selanjutnya disebut Kanwil) DJP Jawa Timur I, Kanwil DJP Sumatera Selatan dan Bangka Belitung, Kanwil DJP Jakarta Khusus, Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau, Kanwil DJP Daerah Istimewa Yogyakarta, Kanwil DJP Jakarta Selatan, Kanwil DJP Kalimantan Barat, Kanwil DJP Jawa Timur III, Kanwil DJP Banten, Kanwil DJP Jawa Barat I, Kanwil DJP Jawa Tengah I, Kanwil DJP Jawa Tengah II dan Kanwil DJP Sulawesi Utara Tenggara dan Maluku Utara (http//www.pajak.go.id diakses pada 10 Oktober 2015 pukul 20.00). Dari kasus penunggakan yang terjadi di beberapa wilayah tersebut dalam rangka upaya penegakan hukum (law enforcement) di bidang penyanderaan memberi makna bahwa DJP harus melakukan kesesuaian hukum antara law in book atau de jure (hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan perpajakan mengenai penyanderaan) dengan law in action atau de facto (hukum yang di implementasikan dalam masyarakat) dengan baik. Maka dengan kata lain, DJP dituntut dapat melaksanakan ketentuan hukum secara murni dan konsisten. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai penyanderaan harus dilaksanakan tanpa ada perbedaan antara law in book dengan law in action (Ade Yullia Putri, 2008 : 21). Maka dari itu, untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan hambatan apa saja yang terdapat dalam upaya penagihan pajak melalui
7
penyanderaan (gijzeling) serta apakah dalam pelaksanaannya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan
mengajukan
(GIJZELING)
judul
TERHADAP
“PELAKSANAAN WAJIB
PAJAK
PENYANDERAAN DALAM
UPAYA
PENAGIHAN PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA (Studi di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II)” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan penyanderaan (gijzeling) yang dilakukan kepada wajib pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II? 2. Apakah hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penyanderaan (gijzeling) terhadap wajib pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif a. Mengetahui pelaksanaan penyanderaan (gijzeling) yang dilakukan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai fiskus; b. Mengetahui
hambatan-hambatan
yang
terjadi
dalam
pelaksanaan
penyanderaan (gijzeling) serta solusi yang dapat diambil.
2. Tujuan Subjektif a. Bertambahnya wawasan pengetahuan dan pemahaman di bidang hukum perpajakan terutama dalam hal pelaksanaan penyanderaan (gijzeling); b. Memberikan sumbangan pemikiran terkait penelitian dalam bidang hukum administrasi negara;
8
c. Berkembangnya penalaran dan terbentuknya pola pikir serta sebagai alat ukur kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan di bidang ilmu hukum adminstrasi negara khususnya terkait dengan hukum perpajakan; b. Hasil penulisan diharapkan dapat menjadi suatu tambahan referensi, masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum selanjutnya; c. Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan terkait hukum perpajakan. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan pengetahuan pemikiran bagi para pihak yang memiliki kepentingan dalam penelitian ini; b. Untuk
melatih
penulis
dalam
mengungkapkan
adanya
semacam
permasalahan tertentu secara sistematis dan berusaha memecahkan permasalahan yang ada tersebut dengan metode ilmiah yang baik; c. Hasil penelitian dapat memberikan pengetahuan tentang pelaksanaan penyanderaan (gijzeling) yang dilakukan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II pada umumnya dan penulis sendiri khususnya. E. Metode Penelitian Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesis, dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu (Winarno Surakhmad, 1994 : 131).
9
1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum empiris (yuridis sosiologis), penelitian ini berbasis pada ilmu normatif (peraturan perundangan), tetapi bukan mengakaji mengenai sistem norma dalam aturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat. Penelitian ini juga sering disebut sebagai penelitian bekerjanya hukum (law in action) (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010: 47). Penelitian ini mengkaji dalam hal pelaksanaan penagihan pajak terkhusus pelaksanaan penyanderaan (gijzeling) yang mana dapat dikatakan sebagai (law in action) yang akan dikaji dengan berlakunya pengaturan mengenai perpajakan (law in book) di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II dengan mengambil sample dari kasus penyanderaan (gijzeling). Yang kemudian dari penelitian ini dapat diketahui kendala pelaksanaan proses penyanderaan (gijzeling) di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II dan diharapkan adanya solusi penyelesaian sebagai hasil penelitian ini. 2. Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup penelitian agar lebih jelas dan terarah. Penelitian ini mengambil lokasi di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II. Penulis memilih lokasi penelitian yang dilakukan di Kantor Wilayah Jenderal Pajak Jawa Tengah II dikarenakan oleh beberapa hal yakni pertama perlu diketahui bahwa pada tahun 2015 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II pertama kalinya melakukan penagihan pajak berupa penyanderaan (gijzeling) terhadap salah satu penanggung pajak di salah satu KPP (Kantor Pelayanan Pajak) yang merupakan lingkup dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II. Alasan kedua yakni adanya perbandingan yang terpaut cukup banyak terkait realisasi penerimaan pajak antara tahun 2014 dengan realisasi penerimaan pajak pada tahun 2015 dimana posisi
10
Kantor Wilayah Jenderal Pajak Jawa Tengah II pada tahun 2014 menempati predikat pertama nasional realisasi penerimaan pajak bahkan melebihi target penerimaan pajak yang telah ditetapkan setiap tahunnya, namun sebaliknya pada tahun 2015 Kantor Wilayah Jenderal Pajak Jawa Tengah II tidak dapat mencapai realisasi penerimaan pajak sesuai target yang telah ditetapkan setiap tahunnya padahal upaya penagihan pajak telah dilakukan kepada salah satu penanggung pajak yakni dilakukannya penyanderaan yang merupakan upaya penagihan pajak terakhir. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan dalam penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, yakni suatu metode penulisan hukum yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2010 : 250). 4. Jenis dan Sumber DataPenelitian Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum empiris adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh terutama dari penelitian empiris, yaitu penelitian yang dilakukan langsung di masyarakat (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010: 156). Dalam hal ini data primer penulis peroleh dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II yang diperoleh langsung melalui wawancara dengan kepala seksi bimbingan penagihan yakni Bapak Jaya Kusuma S.H, M.H dan salah satu pegawai seksi bimbingan penagihan yakni Bapak Nindi Darifki, S.H, M.H. Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian (Soerjono Soekanto, 2010 : 12) yang meliputi: a.
Bahan hukum primer yang terdiri dari: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
11
2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009; 3) Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa; 4) Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa; 5) Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
184/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan; 6) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM Nomor M-02.UM.09.01 Tahun 2003 tanggal 25 Juni 2003 serta Nomor 294/KMK.03/2003 tentang Tata Cara Penitipan Penaggung Pajak Yang Di Sandera Di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa; 7) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-218/ PJ/ 2003 tanggal 30 Juli 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang disandera; 8) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 85/PMK.03/2010 tentang Perubahan
Atas
Peraturan
Menteri
Keuangan
RI
Nomor
24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus (PMK 24/2008 stdd 85/2010); 9) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (KMK-563/2000).
12
b.
Bahan hukum sekunder yang meliputi hasil karya ilmiah dan penelitian penelitian yang relevan terkait penelitian ini, termasuk diantaranya: 1) Skripsi yang meliputi: a) Ade Yullia Putri dalam skripsi yang berjudul “Penyanderaan (Gijzeling) Sebagai Upaya Pencairan Pajak”. b) Eko Purnomo dalam skripsi yang berjudul “Pengaruh Paksa Badan (Gijzeling) Terhadap Penagihan Pajak dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Negara di Indonesia”. 2) Tesis yang meliputi: a) Mulyatsih Wahyumurti dalam tesis yang berjudul “Pengaruh Lembaga Sandera (Gijzeling) Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak/Penunggak Pajak”. 3) Jurnal-jurnal hukum: a) Sri Rustiyaningsih dalam jurnal Widya Warta yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak”. b) Wida Astuti dalam jurnal Yustisia yang berjudul “Kendala Pelaksanaan “Gijzeling” Sebagai Salah Satu Sanksi Dalam Hukum Pajak”. c) Tarjo dalam jurnal The International Journal of Accounting and Business Society yang berjudul “Complexity And Socialization Of Taxation Rule In Affecting The Taxpayer Accounting Behaviour In Indonesia”. 4) Buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang meliputi: a) Adrian Sutedi dalam buku yang berjudul “Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah”. b) Agus Surono dalam buku yang berjudul “Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara”. c) Anang Mury Kurniawan dalam
buku yang berjudul “Upaya
Hukum Terkait dengan Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak”. d) Bohari dalam buku yang berjudul “Pengantar Hukum Pajak”.
13
e) Erly Suandy dalam buku yang berjudul “Hukum Pajak”. f) Galang Asmara dalam buku yang berjudul “Peradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak Di Indonesia”. g) Marihot P. Siahaan dalam buku yang berjudul “Utang Pajak, Pemenuhan Kewajiban, dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”. h) Sudikno Merkusumo dalam buku yang berjudul “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”. i) Santoso Brotodiharjo dalam buku yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum Pajak”. j) Tunggul Anshari Setia Negara dalam buku yang berjudul “Pengantar Hukum Pajak”. 5) Publikasi elektronik yang meliputi: a) Adinur Prasetyo dalam majalah berita pajak yang berjudul “Kepatuhan Pajak dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya”. b) Ganda C. Tobing dalam Inside Tax Headline yang berjudul “Gijzeling: Akankah Memberi Efek Jera dan Mendorong Kepatuhan?. 5. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik yang digunakan antara lain: a. Data primer yakni merupakan teknik pengumpulan dengan melakukan pengamatan dan penelitian secara langsung pada objek yang diteliti, yakni dilakukan dengan cara: Wawancara yang merupakan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut (Lexy J. Moleong, 2001 : 135). Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan kepala seksi bimbingan penagihan yakni Bapak Jaya Kusuma
14
S.H, M.H dan salah satu pegawai seksi bimbingan penagihan yakni Bapak Nindi Darifki, S.H, M.H. b. Data
sekunder,
teknik
pengumpulan
data
sekunder
dengan
menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil penulisan hukum terdahulu, dan bahan kepustakaan lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2010 : 12). 6. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah mempergunakan model analisis kualitatif dengan menggunakan, mengelompokkan, dan menyeleksi data yang diperoleh dari lapangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan. Menurut Sutopo, analisis dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan dengan verifikasinya (Sutopo, 2006 :113). Ketiga komponen tersebut yakni: a. Reduksi Data (Data Reduction) Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari semua jenis informasi yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan (fieldnote). Bisa dinyatakan bahwa reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat focus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga narasi sajian data dan simpulan-simpulan unit-unit permasalahan yang telah dikaji dalam penelitian dapat dilakukan. b. Sajian Data (Data Display) Sajian data merupakan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis, serta mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai
15
pertanyaan penelitian. Sajian data dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja, kaitan kegiatan, dan tabel sebagai pendukung narasinya. c. Penarikan
Simpulan
dan
Verifikasi
(Conclution
Drawing
and
Verification) Simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan bisa dipertanggung jawabkan. Verifikasi yang merupakan aktivitas pengulangan untuk tujuan pemantapan, penelusuran data kembali dengan cepat, yang mungkin sebagai akibat pikiran kedua yang timbul melintas pada peneliti ketika waktu menulis sajian data dengan melihat kembali sebentar pada catatan lapangan. Ketiga komponen analisis data di atas membentuk prosesnya berlangsung dalam model analisis interaktif yakni disajikan dalam bentuk siklus sebagai berikut:
(1)
pengumpulan data
(2) sajian data
Reduksi data
(3) Penarikan simpulan/verifikasi
Gambar 1. Model Analisis Interaktif Berdasarkan gambar di atas, reduksi data dan sajian data di susun pada waktu peneliti sudah menempatkan unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya. Pilihan model analisis yang menggunakan model analisis interaktif harus tetap disadari
bahwa
semuanya
dilaksanakan
bersamaan
dengan
proses
16
pengumpulan data. Dalam model tersebut ketiga komponen analisis berjalan bersama pada waktu kegiatan pengumpulan data. Begitu peneliti menyusun catatan lapangan lengkap, reduksi data segera dibuat, dan diteruskan dengan pengembangan bentuk susunan sajian data yang bersifat sementara (Sutopo, 2006 : 121). F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dan mempermudah pemahaman terkait seluruh isi penulisan hukum, maka penulis membagi sistematika penulisan hukum dalam empat bab yang saling berkaitan dan berhubungan yang dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman terhadap hasil penulisan hukum ini. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan menyajikan gambaran penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta metode penelitian yang mengkaji jenis penelitian, lokasi penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori berisi tinjauan tinjauan tentang hukum pajak atau penjelasan secara teoritik berdasarkan lieratur-literatur terkait penelitian yang meliputi tinjauan hukum, tinjauan umum tentang pajak, tinjauan umum tentang utang pajak, tinjauan umum tentang penagihan pajak, tinjauan tentang penyanderaan (gijzeling). Dan kerangka pemikiran yang merupakan penggambaran ringkas mengenai alur pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini.
17
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan inti dari penulisan hukum yang penulis susun. Pada bab ini sumber data yang telah dikumpulkan akan dianlisa dan kemudian diuraikan berdasarkan jenis dan sifat dari penulisan ini guna menjawab rumusan masalah yang telah penulis rumuskan. Dalam penulisan hukum ini akan berusaha menjawab mengenai pelaksanaan penyanderaan (gijzeling) yang dilakukan kepada wajib pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II. Selanjutnya menganalisis hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penyanderaan (gijzeling) terhadap penunggak pajak di Direktorat Jenderal Pajak Surakarta-Kanwil DJP Jawa Tengah II dan dari pelaksanaan dan ditemukannya hambatan pada penelitian tersebut penulis diharapkan
akan
mendapatkan solusi dari permsalahan tersebut. BAB IV PENUTUP Bab ini akan menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dengan berdasarkan pada rumusan yang telah ditentukan, dalam bab ini akan diberikan pula saran dari permasalahan yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN