BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Di dalam mengelola negara, pemerintah memiliki kewajiban mengelola komunikasi dengan publiknya. Hal ini menjadi sangat penting di pemerintahan yang modern sebab pengelolaan komunikasi dengan publik adalah salah satu indikator kesuksesan pengelolaan pemerintahan. Komunikasi yang dilakukan dengan publik merupakan bagian dari komunikasi politik pemerintah. Komunikasi tersebut dikatakan sebagai komunikasi politik pemerintah sebab di pemerintahan yang modern kini, otoritas politik tidak lagi hanya terkait dengan hubungan subordinasi kontrol satu arah saja. Otoritas politik berkaitan juga dengan satu set jaringan komunikasi politik, dimana lembaga dan individu saling bertautan dalam beberapa hubungan timbal balik dan saling ketergantungan (Bang, 2003). Di dalam otoritas politik modern perlu adanya koordinasi menyeluruh antara pemerintah dengan publik yang kini semakin kritis pula dan tidak lagi hanya pasif menerima keadaan. Berdasarkan data dari Ombudsman, terjadi peningkatan jumlah laporan pengaduan masyarakat terkait pelayanan publik sebesar 350 persen selama kurun waktu 2012 hingga 2014 (Syukro, 2014). Masyarakat kini tak lagi pasif dan lebih memiliki hasrat berpartisipasi dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan ini menunjukan sebuah indikasi positif mengenai cita-cita pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih baik atau dikenal sebagai good governance. Good governance merupakan kondisi pemerintahan yang menekankan pada peran semua elemen negara untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik (Dwiyanto, 2005). Guna mencapai kondisi tersebut, pemerintah kini berusaha memfasilitasi partisipasi masyarakat dengan membuat jembatan komunikasi antara pemerintah dengan publik.
Media sosial dipilih pemerintah sebagai jembatan komunikasi tersebut sebab kondisi masyarakat Indonesia saat ini sudah tidak asing lagi dengan media sosial. Menurut Global Digital Statistic “Digital, Social & Mobile in 2015” dari We are Social (2015), dari total populasi sebanyak 255,5 juta jiwa di Indonesia, sebesar 72 juta orang pengguna internet di Indonesia aktif mengakses media sosial. Sebanyak 62 juta jiwa aktif mengakses media sosial melalui mobile. Angka ini merupakan angka yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Sejak januari 2014, pertumbuhan angka pengguna aktif akun media sosial di Indonesia meningkat sebesar 16% sedangkan, pengakses aktif media sosial melalui mobile meningkat sebesar 19%. Kondisi ini merupakan peluang yang apabila dimanfaatkan dengan benar, mampu membuat media sosial menjadi salah satu jawaban efektif komunikasi
politik pemerintah dengan
masyarakatguna
membangun pemerintahan yang lebih baik (good governance). Menanggapi kondisi tersebut, pada akhir tahun 2012 pemerintah membuat sebuah layanan aduan dan aspirasi online berbasis media sosial bernama LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat). LAPOR! merupakan layanan pengaduan dan aspirasi berbasis media sosial pertama yang terpadu secara nasional di Indonesia. LAPOR! adalah inisiasi yang dibuat oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pembangunan (kini berubah menjadi Deputi I Kantor Staf Presiden). LAPOR! kini terhubung dengan 80 kementrian dan lembaga serta 5 pemerintah daerah dan BUMN.1 Melalui media sosial LAPOR! masyarakat Indonesia kini bisa melakukan melakukan pengaduan, menyampaikan aspirasi dan berkomunikasi langsung dengan pemerintah di bidang pembangunan. Melalui 3 kanalnya yaitu website www.lapor.go.id , aplikasi pada smartphone dan layanan sms 1708, LAPOR! menampung aspirasi dan pengaduan rakyat untuk kemudian didisposisikan ke lembaga terkait. LAPOR! mengusung prinsip mudah, terpadu dan tuntas dalam menyalurkan aspirasi dan aduan rakyat. Seluruhnya dimaksimalkan untuk dapat membangun komunikasi dua arah antara
1
Hingga oktober 2014 dan terus bertambah.
pemerintah dan juga rakyat melalui sarana media baru yaitu lebih spesifik, yaitu media sosial. Pemanfaatan media sosial untuk sarana partisipasi masyarakat ini merupakan hal yang menarik. Namun sayangnya, bagaimana pengelolaan yang dilakukan Deputi I Kantor Staf Presiden dalam memanfaatkan media sosial (LAPOR!) ini belum banyak pihak yang mengetahuinya. Fenomena pengelolaan media sosial sebagai sarana aspirasi dan aduan masyarakat, terlebih terintegrasi nasional, oleh pemerintah merupakan sebuah fenomena yang baru. Oleh karena itu, penelitian untuk melihat pengelolaan media sosial LAPOR! perlu dilakukan. Melihat sejauh apa media sosial dimanfaatkan untuk sarana aspirasi dan pengaduan rakyat serta kontribusinya dalam mewujudkan good governance di Indonesia menjadi menarik untuk ditelaah. B. Rumusan Masalah “Bagaimana Deputi I Kantor Staf Presiden mengelola media sosial LAPOR! sebagai sarana aspirasi dan pengaduan rakyat secara online?” C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pemanfaatan media sosial sebagai layanan aspirasi dan aduan terintegrasi nasional guna mendukung terwujudnya good governance. 2. Untuk mengetahui perencanaan dan implementasi pengelolaan media sosial LAPOR! D. Manfaat Penelitian 1. Akademis : a. Memberikan informasi konsep tentang pengelolaan media sosial sebagai sarana aspirasi dan pengaduan masyarakat. b. Menambah dan memberikan gambaran model baru pemanfaatan teknologi komunikasi terutama media sosial dalam pengelolaan pemerintahan.
2. Praktis
:
a. Penelitian ini dapat digunakan untuk melihat sejauh mana pengelolaan media sosial yang dilakukan Deputi I Kantor Staf Presiden dapat membantu mewujudkan good governance. b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu evaluasi pengelolaan media sosial oleh Deputi I Kantor Staf Presiden. E. Kerangka Pemikiran E.1 Media Sosial Berbicara mengenai media sosial berarti kembali menengok fenomena perubahan media yang dikenal dengan media baru. McQuail (2005:136) meyampaikan pemikirannya mengenai media baru sebagai berikut: “Mass media have changed, certainly from the early-twentieth-century days of one-way, one directional, and undifferentiated flow to an undifferentiated mass. There are social and economics as well as technological reason for this shift, but it is real enough.” Beberapa poin kunci dari media baru diungkapkan McLuhan (1990:7) Pertama ialah digitality, yaitu perubahan seluruh proses media ke dalam bentuk digital. Kedua, interactivity yang dapat berarti dua pengertian yaitu adanya teknologi yang mampu memberi respon terhadap pengguna dan interaktivitas antar masing-masing pengguna. Ketiga, dispersal yang mengacu pada adanya desentralisasi proses produksi dan distribusi pesan serta menumbuhkan keaktifan dari individu. Kehadiran media baru inilah yang kemudian memunculkan satu dampak cukup besar yaitu kemunculan media sosial. Belakangan ini, media sosial banyak menjadi perbicangan di dunia komunikasi. Selain karena fakta jumlah penggunanya yang banyak, keunikan dari karakteristik sosial media dirasa sangat mendukung komunikasi di era perpindahan informasi yang sangat cepat ini.
Media sosial tidak seperti media pada umumnya. Terdapat 7 (tujuh) karakteristik dan keunikan utama yang membedakannya dari media konvensional (Saxena, 2013). Pertama, media sosial terbangun dari web space yang bisa diakses bebas oleh pengguna internet. Kedua, ada alamat web khusus atau alamat spesifik untuk dapat mengakses media sosial. Ketiga, media sosial memungkinkan pengguna membuat profil sebagai identitas penggunanya. Keempat, media sosial membuka konektivitas antar penggunanya. Kelima, media sosial memungkinkan setiap pengguna mengunggah informasi atau konten tanpa terikat ruang dan waktu. Jika pada media konvensional terdapat editor atau pengelola pesan, pada media sosial semua orang dapat menjadi sumber informasi. Keenam, media sosial memiliki potensi membangun percakapan, bahkan lebih dari dua orang, dibanding media konvensional. Terakhir, konten pada media sosial dapat ditelusur ulang dan diikuti oleh pengguna lain. Karakteristik dan keunikan inilah yang kemudian membuat media sosial menjadi marak digunakan dan dibicarakan saat ini. Bicara media sosial sebenarnya tidak hanya beberapa jejaring sosial yang sedang tren seperti Facebook, Twitter ataupun Instagram saja. Di dalam istilah non-teknologi, media sosial dapat didefinisikan sebagai cara orang berbagi ide, konten, pemikiran dan hubungan secara online (Scott, 2007). Media sosial merupakan representasi teknologi atau aplikasi yang digunakan orang untuk menciptakan ataupun menjaga jaringan sosial sites mereka (Albarran, 2013:2). Beberapa definisi media sosial dari ahli mengarah pada teknologi internet web 2.0. Media sosial dapat didefinisikan sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun berdasarkan ideologi dan pondasi teknologi dari Web 2.0 dan memungkinkan untuk menciptakan pertukaran konten antara penggunanya (Montalvo, 2011:91). Gould (1951) mendefinisikan media sosial sebagai berikut: “Social mediaare web based tools for interaction that, in addition to conversation, allow users to share content as photos, video, link to resources.”
Media sosial banyak didefinisikan merujuk kepada baik alat dan teknologi maupun konten yang dihasilkan. Media sosial tidak terbatas pada blogs, wikis, social networking sites, micro-blogging services dan multimedia sharing services. Media sosial sering diasosiasikan dengan konsep “konten yang dihasilkan pengguna” (user-generated content), crowd sourcing, dan Web 2.0. Definisi lain mengenai media sosial diungkapkan Boyd (2009) yaitu: “Social media is the lastest buzzword in a long time of buzzword. It is often used to describe the collection of software that enables individuals and communities to gather, communicate, share, and in some cases collaborate or play. In tech circles, social media has replaced the earlier fave „social software‟. Academics still tend to prefer terms like „computemediated communication‟ or „compute-supported co-operative work‟ to describe the practices that emerge from these tools and the old skool academics might even categorize these tools as „groupwork‟ tools. Social media is driven by another buzzword:‟user-generated content‟ or content that is contributed by participants rather than editor. “ Eisenberg (dalam Olmsted, 2013) menyimpulkan media sosial dalam definisi yang lebih efektif dan mudah dipahami sebagai platform online untuk berinteraksi, berkolaborasi dan menciptakan atau membagi berbagai macam konten digital. Ada dua poin penting yang akan digaris bawahi dalam media sosial yaitu kolaborasi dan partisipasi. Kolaborasi dan partisipasi dalam media sosial ditentukan oleh interaksi lingkungan penggunanya. Media sosial menyediakan kemampuan bagi pengguna untuk saling terkoneksi dan membentuk kelompok (community) untuk bersosialisasi, berbagi informasi dan mencapai tujuan tertentu. Media sosial juga dapat digunakan oleh penggunanya untuk membentuk ruang bicara dan memfasilitasi siapapun yang memiliki akses internet untuk mempublikasi informasi. Media sosial juga membentuk komunitas-komunitas online yang memungkinkan pengguna untuk membagikan sebanyak-banyaknya (dan juga seminimal mungkin) informasi personal yang dia inginkan. Hasilnya adalah
jumlah informasi yang sangat besar untuk dibagikan, dicari, dipromosikan atuapun diciptakan. Beberapa kesamaan dari berbagai definisi yang menjelaskan mengenai media sosial ialah adanya interaksi dan kemampuan share atau berbagi yang difasilitasi
oleh
internet
melalui
platform-platform
baru.
Keseluruhan
menggambarkan bahwa media sosial merupakan sebuah patform yang mampu membentuk interaksi dan mampu memfasilitasi information sharing. Ada beberapa jenis dan tipe media sosial yang dikenal yaitu social network, bookmarking sites, social news, media sharing, micro blogging dan blog comments and forums. a. Social Network merupakan layanan yang dapat memfasilitasi orang berhubungan atau terkoneksi dengan mereka yang memiliki ketertarikan yang sama. Biasanya berisikan profil, beragam cara untuk saling berinteraksi satu sama lain (missal dengan fitur chat atau pesan), kemampuan membentuk grup dan sebagainya. Beberapa social network yang popular ialah facebook, twitter dan path. b. Bookmarking sites merupakan media sosial dengan layanan yang memungkinkan orang untuk menyimpan, mengatur dan mengorganisir link dari beragam web dan sumber lain dari internet. Biasanya media sosial ini memungkinkan kita untuk “menandai” link untuk memudahkan dalam mencari dan membagikannya. c. Social news merupakan media sosial yang memungkinkan pengguna membuat dan membagikan artikel ataupun tulisan yang dapat diakses oleh pengguna lain (ataupun non pengguna). Pengguna lain dapat melakukan “vote” terhadap tulisan yang telah dibagikan pengguna lainnya. d. Media sharing adalah media sosial yang dapat memungkinakan pengguna membagikan berbagai macam konten media (suara, gambar, audio-visual). Fitur lain dalam media sosial ini biasanya adalah fitur comment dan profil. Salah satu yang paling terkenal dari media sosial jenis ini adalah youtube.
e. Microblogging merupakan media sosial yang berfokus pada short update pengguna yang dapat diakses oleh pengguna lain yang telah melakukan subscribe atau dengan sengaja mengikuti akun milik pengguna lain. Salah satu bentuk media sosial ini yang paling popular ialah twitter. f. Blog comment and forum merupakan fitur yang biasanya merupakan bawaan dari sebuah forum online dan blog di internet. Fitur ini memungkinkan seseorang untuk berkomentar dan juga memungkinkan adanya sebuah percakapan dalam sebuah topik tertentu yang kemudian membuat setiap orang dapat saling berinteraksi satu dengan yang lain melalui pesan dalam kolom komentar. Kehadiran media sosial telah mengubah cara berkomunikasi masyarakat. Perubahan cara berkomunikasi dari konvensional ke media baru berupa media sosial ini tidak hanya terjadi pada level komunikasi antar individu. Ketika antar individu saling berinteraksi satu sama lain, maka sebenarnya bukan hanya level interaksi antar individu saja yang terkena dampaknya, melainkan juga interaksi antar kelompok. Kemunculan media sosial membuat interaksi antar individu yang tidak lagi terbatas membuka ruang publik yang lebih luas yang kemudian memungkinkan adanya interaksi kelompok di dalamnya. Fenomena pada Pemilu Presiden 2014 menjadi contoh bahwa media sosial membawa dampak perubahan interaksi tidak hanya di level individu melainkan juga di level yang lebih besar. Ketika Pemilu Presiden 2014 hanya membawa 2 calon pasangan presiden dan wakil presiden, maka sebagian besar masyarakat Indonesia kala itu pada masa kampanye seolah terbelah menjadi 2 kudu: Kudu Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Dua massa masing-masing kubu tidak hanya melakukan interaksi secara langsung melainkan secara virtual di dalam dunia maya melalui media sosial. Ramainya aksi saling berbalas melalui media sosial menunjukan aktivitas interaksi antara kelompok yang telah berubah semenjak kehadiran media sosial. Pesan dan informasi lebih cepat muncul sehingga aksi “berbalas” antar pendukung masing-masing calon berjalan begitu cepat dan padat di media soial.
Visi misi hingga sejarah perjalanan karir masing-masing calon tidak lagi dipaparkan
secara
konvensional.
Para
pendukung masing-masing
calon
membangun kekuatan massanya melalui media sosial dan saling mempromosikan calonnya, yang pada akhirnya berujung pada aksi saling berbalas dengan kubu lawan. Interaksi kelompok pendukung Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta melalui media sosial ini menunjukan adanya perubahan interaksi kelompok di aspek politik yang diakibatkan oleh kehadiran dan pengaruh media sosial. Selain itu salah satu fenomena lain yang dapat menggambarkan bagaimana media sosial mengubah interaksi bukan hanya pada level individu tetapi pada level yang lebih besar ialah fenomena I Stand on the Right Side pada Pemilu 2014. Fenomena ini merupakan sebuah fenomena gerakan massif pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Mereka menunjukan dukungannya melalui media sosial dengan cara mengganti profile picture akun media sosial dengan gambar angka 2 di sisi sebelah kiri (nomor pencalonan Jokowi) dan wajah mereka di sebelah kanan. Maksud dari gerakan ini ialah untuk menunjukan bahwa mereka berdiri di sisi yang benar (right side) sekaligus berdiri di posisi pasangan Jokowi-JK saat pemilihan di kartu suara. Pada kala itu, mendadak akun media sosial Twitter dan Facebook dibanjiri dengan banyak foto I Stand on The Right Side. Kelompok pendukung pasangan Jokowi-JK menunjukan besarnya dukungan melalui media sosial yang kemudian membuat sebuah interaksi antar pendukung yang massif. Kali ini, media sosial tidak hanya mengubah interaksi antar dua kelompok tetapi di dalam sebuah kelompok. Dukungan yang dahulu dikoar-koarkan melalui gerakan di jalan kini beralih ke media sosial. Kehadiran media sosial pun jika dilihat sejalan dengan konsep demokrasi yang berkembang saat ini dimana keterbukaan dan partisipasi menjadi salah satu poin penting. Meskipun rasanya masih jauh untuk mengatakan media sosial dapat membentuk atmosfer demokrasi yang utuh, tetapi media sosial menjadi salah satu jembatan atau fasilitas demokrasi saat ini.
Apabila media sosial sudah mampu mengubah cara komunikasi masyarakat dan sejalan dengan konsep demokrasi maka bidang pemerintahan pun tak ketinggalan ikut memanfaatkan media sosial. Pemerintah kini mulai membuka diri dan lebih jeli memanfaatkan kehadiran media sosial untuk membangun relasi antara pemerintah dengan masyarakat. Guna mewujudkan pemerintahan yang lebih terbuka, dan memfasilitasi masyarakat yang kini semakin kritis dan lebih terbuka semenjak kehadiran media sosial. E.2 Pengelolaan Media Sosial dalam Pemerintahan Di dalam pengelolaan media sosial, secara teknis pada dasarnya yang terpenting adalah mengatur perencanaan, aktivasi dan optimalisasi. Paramitha (dalam Ermaya, 2012) menjelaskan proses pengelolaan media sosial umumnya meliputi: 1. Perencanaan Perencanaan merupakan proses paling awal dari pengelolaan. Proses ini merupakan cara ataupun perbuatan untuk merancang konsep serta fondasi dari pengelolaan yang akan dilakukan. Ada dua pertanyaan yang harus dijawab yaitu Mengapa (Why) dan Siapa (Who). Pertanyaan Mengapa merupakan pertanyaan untuk merancang alasan perusahaan/lembaga membutuhkan strategi komunikasi melalui media sosial. Hal ini berkaitan dengan tujuan lembaga atau perusahaan dan juga pola interaksi masyarakat saat ini. Sedangkan pertanyaan Siapa digunakan untuk merancang target dari perusahaan/ lembaga yang akan dijadikan sasaran komunikasi melalui media sosial. Dua hal ini penting karena nantinya akan memengaruhi bentuk media sosial yang akan digunakan, konten yang akan dibangun dan jenis informasi apa yang akan dibagikan. Pada proses ini juga perlu dilakukan identifikasi tingkah laku masyarakat, ketertarikan dan kebutuhan masyarakat guna merancang sebuah bentuk pemanfaatan media sosial yang tepat. 2. Aktivasi dan Pengawasan
Aktivasi dan pengawasan merupakan proses yang terjadi setelah dilakukan perencanaan atau perancangan yang sesuai dengan tujuan dan target audience. Proses ini merupakan praktik pelaksanaan dari pemanfaatan media sosial. Pada proses ini muncul dua pertanyaan yang perlu dijawab yaitu Apa (What) dan Bagaimana (How). Apa (What), merupakan pertanyaan untuk menjawab informasi apa yang akan disampaikan serta konten pembeda apa yang akan dibangun yang membedakannya dari penggunaan media sosial yang lain. Dengan kata lain, pada tahap ini perlu disiapkan konten yang siap untuk diluncurkan melalui media yang telah dipilih kepada target yang telah ditentukan. Selain itu, Bagaimana (How) cara tim mengelola dan menempatkan pesan-pesan kedalam media sosial juga perlu disiapkan pada proses ini. Maksudnya adalah melalui media apa pesan akan disampaikan kepada target audience. Seluruhnya disesuaikan dengan kebutuhan dari tujuan yang telah disusun diawal. 3. Optimalisasi Optimalisasi merupakan proses yang membantu kontinuitas jalannya pengelolaan. Pada proses ini dilakukan evaluasi konten dan identifikasi dari hasil pelaksanaan: apakah sudah mencapai tujuan. Biasanya pada proses untuk evaluasi agar dapat terukur digunakan Search Engine Optimization (SEO). SEO merupakan sebuah proses mendapatkan traffic atau memengaruhi visibilitas web/media sosial dalam mesin pencari gratis (biasa disebut free atau organic). SEO dapat digunakan untuk mengontrol dan mengevaluasi agar aktivasi media sosial dapat terus berjalan. Pada proses ini dilihat pula bagaimana traffic atau frekuensi aktivitas dan visbilitas agar dapat terus ditingkatkan sehingga pengelolaan dapat terus dilakukan. Namun, pada pengelolaan di pemerintahan, ada sedikit perbedaan dalam pengelolaannya. Diperlukan pendekatan yang berbeda untuk mengetahui trial and error dari media sosial pada pemerintahan. Selain karena tujuan penggunaannya yang berbeda, aspek-aspek kelebihan dan juga efektifitas penggunaan media sosial pada bidang pemerintahan sedikit berbeda dengan bidang lain.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2012 Mengenai Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi Pemerintah. Di dalamnya dijelaskan terdapat beberapa langkah pengelolaan media sosial, yaitu: 1. Perencanaan Proses perencanaan ini secara sederhana dapat dilakukan dengan menerapkan
metode
POST
(People-Objective-Strategy-Technology)
yang
merupakan empat elemen penting dalam merancang pengelolaan media sosial. KHALAYAK (PEOPLE) SASARAN (OBJECTIVE) STRATEGI (STRATEGY) TEKNOLOGI (TECHNOLOGY) Gambar 1.1: Metode POST dalam Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi Pemerintah (2012) Khalayak (people) adalah proses penetapan target komunikasi instansi dan juga perilaku online dari khalayak yang didasarkan pada segmentasi teknografis sosial. Sedangkan sasaran (objective) adalah penentujuan tujuan yang akan dicapai instansi misalnya mendengarkan aspirasi, memperoleh masukan, menyosialisasikan
informasi
ataupun
membangun
kesadaran
khalayak.
Selanjutnya strategi yaitu cara menentukan hubungan dengan khalayak. Strategi ini dapat disusun dari identifikasi identifikasi yang dilakukan terhadap khalayak dan kapabilitas IT yang dimiliki instansi. Terakhir, teknologi yang berarti penentuan aplikasi yang dibutuhkan. Pada pengelolaan media sosial oleh pemerintah, yang membedakannya dengan pengelolaan media sosial lainnya ialah pada tahap perencanaan.
Dadashzadeh (2010) membantu memberikan gambaran perencanaan pengelolaan meda sosial melalui Input/Output Model of IT Planning for Social Media in Governemnt. Proses perencanaan strategis penggunaan dan pengelolaan media sosial oleh pemerintah mencakup empat (4) proses yaitu perencanaan nilai-nilai pelayanan publik, penentuan fokus yang akan dibuat pengelola (agency), inventarisasi kemampuan IT dan peramalan perkembangan teknologi yang akan datang. Langkah paling awal dari proses perencanaan pengelolaan media sosial menurut Dadashzadeh ialah membuat perencanaan nilai-nilai pelayanan publik. Perencanaan nilai-nilai pelayanan publik menggambarkan tujuan yang akan dicapai serta latar belakang pembuatan. Perlu diingat bahwa pengelolaan media sosial pada pemerintahan semata-mata dibuat untuk kesejahteraan rakyat, sehingga harus menganut prinsip-prinsip pelayanan publik. Menurut Accenture‟s Public Service Value Governance Framework (dalam Dadashzadeh, 2010) nilainilai pelayanan publik dan peran media sosial dalam mewujudkannya harus memiliki empat prinsip yaitu: 1. Outcomes-Based Focus, pemanfaatan dan pengelolaan ini nantinya harus menghasilkan perbaikan nyata untuk kondisi sosial dan ekonomi warga. 2. Seimbang dalam mengedepankan keadilan, pemanfaatan dan pengelolaan ini semata guna melayani kepentingan umum dan menyediakan akses bagi semua warga negara. 3. Engagement to Co-Produce Public Value, dapat melibatkan, mendidik dan membantu
warga
untuk
meningkatkan
kualitas
hidup
dengan
memanfaatkan pengalaman mereka sendiri (tanpa membuat warga bergantung pada pemerintah). 4. Meningkatkan akuntabilitas pemerintah, pemanfaatan dan pengelolaan ini harus dapat meningkatkan transparansi dan membuka kesempatan warga negara memberikan feedback ketika pemerintah gagal memenuhi pelayanan publik yang sesuai.
Langkah selanjutnya dari perencanaan adalah menentukan fokus yang akan dibuat oleh pengelola. Maksudnya adalah fokus masalah apa yang akan diselesaikan dengan pengelolaan media sosial. Fokus
misalnya, memilih
menggunakan IT atau media sosial sebagai kanal informasi, menggunakannya sebagai kanal aduan atau yang lainnya. Fokus yang dimaksud disini serupa dengan sasaran (objective) dalam metode POST. Setelah itu, langkah perencanaan lain adalah inventarisasi kemampuan IT. Inventarisasi kemampuan IT ini maksudnya adalah melihat kemampuan (strength) dan potensi yang dimiliki negara, di dalamnya termasuk dengan melihat sejauh mana pengelolaan IT yang telah dilakukan negara, kemampuan pengelola (sumber daya manusia), kesiapan infrastruktur IT yang dimiliki dan kemampuan warga negara menggunakan teknologi. Kemampuan untuk menggunakan teknologi media sosial oleh masyarakat dapat didasarkan pada data berikut (Bertot, Jaeger, Munson, & Glaisyer, 2010): 1) Akses ke teknologi (yang setidaknya memerlukan sebuah perangkat dan akses internet dengan kecepatan yang cukup untuk mendukung sosial konten media). 2) Perkembangan teknologi, program, dan ketersediaan akses layanan internet yang sama ke semua pengguna. 3) Informasi dan literasi untuk membuat masyarakat memahami jasa, sumber daya, dan program yang dibuat pemerintah. Inventarisasi ini perlu dilakukan agar apa yang dibuat nantinya tidak melampaui kemampuan dari negara sendiri dan dapat menjangkau masyarakat. Inventarisasi ini dapat dilakukan dengan membaca data di lapangan melalui penelitian ataupun survei-survei yang dapat menyuguhkan data terukur sebagai bahan pertimbangan. Inventarisasi kemampuan IT ini juga berarti membaca karakteristik penggunaan IT serta media sosial di masyarakat. Pengelola dapat melakukannya berdasar pada analisis lapangan dan pembacaan data-data penelitian. Misalnya saja membaca data penggunaan telepon genggam, smartphone dan PC pada masyarakat. Data-data seperti tren media sosial yang paling banyak diakses dan
kebiasaan konsumsi media juga bisa membantu dalam membaca karakteristik pengguna IT di masyarakat. Hal ini perlu dilakukan agar pengelola dapat menemukan dan melakukan pendekatan dengan cara yang tepat. Pendekatan yang tepat merupakan pendekatan yang sesuai dengan kemampuan, kesiapan dan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya adalah melakukan peramalan atau perkiraan teknologi dan tren yang akan muncul. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat perkembangan teknologi sekarang melalui perspektif komunikasi dan IT. Perkembangan teknologi tersebut bisa didapatkan dari data-data di lapangan melalui penelitian dan analisa langsung. Misalnya saja dengan cara melihat perkembangan penggunaan media sosial, melihat jenis-jenis media sosial yang menjadi pilihan masyarakat ataupun membaca perkembangan dan kebutuhan teknologi global. Penting untuk membaca tren teknologi pada masyarakat agar dapat menyesuaikan diri serta memetakan peluang yang bisa dimanfaatkan. Apabila pengelola tidak membaca tren teknologi bisa saja terjadi kesalahan pemilihan media yang akan digunakan (ketinggalan jaman). 2. Kegiatan Media Sosial Kegiatan media sosial maksudnya ialah menentukan kegiatan yang terpadu dengan kegiatan instansi pemerintah secara menyeluruh. Kegiatan media sosial harus diselaraskan dengan kebijakan umum pemerintah yang tercermin dalam aktivitas media sosial tersebut. Untuk menjalankan kegiatan ini dibutuhkan penanggung jawab (administrator) pimpinan dari instansi yang bersangkutan atas nama pemimpin instansi. Penanggung jawab sepenuhnya bertanggungjawab atas segala aktivitas dalam media sosial ini. Namun, pelaksanaan pengelolaan seharihari dijalankan oleh tim dan petugas yang secara khusus dibentuk. 3. Strategi Media Sosial Proses selanjutnya adalah perancangan dan penyusunan pesan yang tepat untuk khalayak sasaran dan menyebarluaskanya pada media yang tepat. Pesan
yang dimaksud disini adalah pesan dalam aktivitas media sosial dan juga pesanpesan pendukung yang akan bersifat sebagai sosialisasi media sosial. Strategi dibutuhkan untuk membuat jalannya aktivasi atau pelaksanaan media sosial menjadi lebih teratur dan dapat dikontrol. Penyusunan pesan disesuaikan dengan target yang telah disepakati di perencanaan sebelumnya. Penting untuk menyusun strategi atau pesan ini karena sangat berpengaruh terhadap ketertarikan warga dan jalannya aktivitas nanti. 4. Pelaksanaan Langkah-langkah pelaksanaan media sosial terdiri dari delapan elemen. Pertama ialah menetapkan khalayak sesuai segmentasi teknografis dan perencaaan yang telah dilakukan. Kedua, memilih dan membuat media sosial ataupun akun media sosial yang sesuai dengan khalayak. Ketiga, membuat dan mengunggah pesan. Pesan yang telah direncanakan dibuat dan diunggah, dimasukan kedalam media sosial. Keempat, Memantau percakapan yang terjadi. Melihat percakapan yang terjadi dan mengamatinya, langkah ini diperlukan untuk menjawab langkah kelima yaitu berinteraksi dengan khalayak. Menjawab komentar,masukan dan atau pertanyaan dari khalayak. Keenam, menganalisa dan menyarikan seluruh masukan khalayak sebagai umpan balik pembuat kebijakan. Pada tahap menganalisa dan menyarikan ini, saran, masukan dan partisipasi lain dari khalayak perlu dikategorikan dengan rapi dan jelas, tanpa mengurangi, menambah atau mengubah makna pesan sesungguhnya. Saran, komentar dan pertanyaan ini kemudian diteruskan untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan pengambil keputusan. Setelah itu, langkah ketujuh adalah memberikan rekomendasi tindak lanjut kegiatan, program atau solusi atas masukan dan atau keluhan masyarakat yang telah masuk dan diproses tadi. Langkah terakhir atau kedelapan ialah menyebarluaskan kebijakan atau tindak lanjut yang telah dilakukan pemerintah kepada masyarakat luas.
5. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan media sosia juga dikenal dengan istilah penyimakan sosial (social listening). Kegiatan ini merupakan proses identifikasi dan penilaian mengenai persepsi khalayak terhadap isntansi dengan menyimak semua percakapan dan aktivitas yang ada di media sosial. Pemantauan ini digunakan untuk mengukur kecenderungan persepsi, opini dan sikap khalayak terhadap instansi. Misalnya saja media sosial dikelola oleh pemerintah pusat untuk menerima aduan dan aspirasi masyarakat. Melalui pemantauan media dapat dilihat isu-isu apa yang menjadi laporan atau aduan terfavorit. Kebutuhan apa yang dibutuhkan masyarakat dan bidang mana yang perlu mendapat perhatian lebih juga bisa dilihat dari aktivitas perbincangan di media sosial ini. Pemantauan ini dilakukan terus-menerus dan secara real time sehingga instansi pemerintah dapat memantau pergerakan naik atau turunnya kecenderungan persepsi, opini dan sikap khalayak terhadap instansi. Untuk mengukur tingkat feedback dan return of investment di media sosial, digunakan lima kategori pengukuran seperti dalam tabel berikut.
Tabel 1.1: Kategori Return on Investmen Pedoman Pengelolaan Media Sosial Instansi Pemerintah (2012)
Jangkauan Jumlah tautan yang merujuk ke pesan yang disampaikan Jumlah feedback tentang pesan yang disampaikan Jumlah orang yang membicarakan pesan Jumlah partisipan yang baru
Frekuensi dan Lalu Lintas Percakapan
Pengaruh
Percakapan dan Keberhasilan
Jumlah kunjungan
Pembahasan mengenai pesan/isi
Jumlah pesan yang diklik pengguna
Jumlah pengunjung
Komentar tentang pesan
Jumlah pesan yang diunduh khalayak
Jumlah pengunjung yang kembali
Jumlah share dan pesan yang dikirimkan pengguna
Jumlah pesan yang diadopsi
Dilihat dari segi non teknis, pengelolaan media sosial oleh pemerintah berusaha unutk mengelola informasi guna meningkatkan partisipasi warga negaranya. Kerja pemerintah di media sosial menawarkan beberapa peluang utama untuk teknologi (Bertot, Jaeger, Munson, & Glaisyer, 2010). Pengelolaan media sosial pemerintah menawarkan peluang-peluang sekaligus juga bermakna mengelola beberapa aspek sebagai berikut: a.
Partisipasi demokratis dan keterlibatan: menggunakan teknologi media sosial untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan, membina dialog partisipatif dan memberikan suara dalam diskusi pengembangan kebijakan dan implementasi.
b.
Co-produksi, di mana pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengembangkan desain, dan memberikan layanan pemerintah untuk meningkatkan kualitas layanan, pengiriman, dan responsif.
c.
Kumpul daya solusi dan inovasi, mencari inovasi melalui pengetahuan umum dan bakat untuk mengembangkan solusi inovatif untuk masalah sosial skala besar. Untuk memudahkan crowdsourcing, data saham
pemerintah dan masukan lainnya sehingga masyarakat memiliki basis dasar yang untuk berinovasi. Ada beberapa contoh dari pemanfaatan media sosial untuk pemerintahan di Amerika Serikat. Salah satunya ialah U.S Customs and Immigration Service (USCIS). USCIS merupakan salah satu pemanfaatan media sosial dan teknologi dengan fokus pendekatan penanganan anti korupsi dan transparansi. Melalui USCIS, warga Amerika Serikat dapat memantau perkembangan proses aplikasi urusan imigrasi milik mereka secara online (Bertot, Jaeger, Munson, & Glaisyer, 2010). Selain itu, NASA tidak kalah dalam memanfaatkan IT dan media sosial. NASA menggunakan media sosial berbasis video sharing yaitu Youtube untuk mengkomunikasikan proyek-proyeknya dan menjelaskan pada warga negara pentingnya penjelajahan antariksa yang dilakukan Amerika (Dadashzadeh,2010). Sedangkan di Indonesia, beberapa kepala daerah dengan inisiatifnya memanfaatkan media sosial yang populer untuk lebih dekat dengan masyarakat. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (2013) menyampaikan penguatan peran publik melalui media sosial salah satunya adalah melalui aduan masyarakat di media sosial. Pemerintah DKI Jakarta mengoptimalkan media sosial untuk menjaring masukan, kritik dan saran yang dihadapi dan dilaksanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dibanding dengan Tokyo, London dan New York, warga Jakarta merupakan warga paling aktif melakukan perbincangan lewat jejaraing sosial (Purnama, 2013). Beragam kegiatan percakapan virtual dilakukan warga Jakarta, salah satunya adalah melakukan aduan dan keluhan. Aduan warga kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari bulan Januari 2013 hingga 27 November 2013 tercatatat sebanyak 12780 pengaduan. Pengaduan tersebut disalurkan melalui kanal kliping media, berita online, kanal media sosial LAPOR! 1708, akun Twitter @jakartagoid, akun Facebook Jakarta Goid, Email
[email protected], SMS 32881818, Balai Warga dan juga aksi unjuk rasa langsung.
Dalam kanal LAPOR! 1708, nomor HP Wakil Gubernur 08119447282 terintegrasi dalam sistem LAPOR 1708. Melalui kanal aduan tersebut beragam aspirasi warga seperti usulan, ide, hingga pengaduan warga masuk. Jenis aduan yang disampaikan pun beragam, antara lain mengenai pelayanan administrasi kependudukan, jalanan macet, banjir, pedagang kaki lima bahkan hingga sandal yang hilang di RSUD dilaporkan melalui kanal tersebut. Selain kepala daerah, di Indonesia beberapa lembaga pemerintahan pun memanfaatkan media sosial. Berbagai akun milik lembaga pemerintahan (banyak memanfaatkan Twitter dan Facebook) bermunculan mulai dari PLN, Pertamina, Sekretaris Kabinet dan lain-lainnya. Akun media sosial ini digunakan utamanya untuk sosialisasi atau menyampaikan informasi dan program serta kebijakan serta mendengar keluhan dan aspirasi dari masyarakat. E.3 Konsep Good Governance Menjelang berlangsungnya reformasi politik di Indonesia sekitar tahun 1996, beberapa lembaga seperti UNDP dan World Bank memperkenalkan konsep dan istilah baru yang disebut good governance. Good governance atau good public governance menjadi kata yang banyak dibahas dalam diskusi selayaknya kata demokrasi. Kata governance banyak dibiarkan dalam bentuk aslinya karena sulit mencari padanan atau pengganti yang tepat pada konsep ini. Namun, banyak yang mengartikannya menjadi tata pemerintahan, penyelenggara negara ataupun penyelenggara saja (Dwiyanto, 2005). Dwiyanto (2005) mengungkapkan bahwa good governance merujuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance disini menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi-institusi lain yaitu LSM, perusahaan swasta dan juga warga negara, termasuk pula institusi non pemerintah di dalamnya. Pemerintah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berperan
2
Saat itu Basuki Tjahja Purnama menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
untuk mengikis krisis kepercayaan masyarakat dan meningkatkan legitimasi agar kebijakan dan tindakan cenderung lebih dipatuhi maysarakat. Pada good governance, pemerintah tidak sekedar dimaknai sebagai sebuah lembaga pemerintah tetapi lebih kepada proses governing yang dilakukan secara kolaboratif antara lembaga pemerintah, lembaga semi pemerintah dan lembaga non pemerintah serta swasta yang berlangsung secara setara dan partisipasif. Meskipun begitu, peran pemerintah sebagai institusi tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Pemerintah tetap memiliki peran dalam mengelola negara dan publik. Yudhoyono (dalam Dwiyanto, 2005) menyatakan bahwa terdapat enam prinsip yang menjadi acuan pemerintah secara institusi menempatkan diri dalam melakukan kelola negara dan publik yaitu: a. Dalam kolaborasi yang dibangun, negara (pemerintah) tetap bermain sebagai figur
kunci namun tidak boleh mendominasi. Kapasitas
pemerintah pun hanya adalah mengkoordinasi bukan memobilisasi aktor-aktor pada institusi semi dan non-pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan publik. b. Kekuasaan negara bertransformasi dari “kekuasaan atas” menjadi “kekuasaan
untuk”
menyelenggarakan
kepentingan,
memenuhi
kebutuhan dan menyelesaikan masalah publik. c. Peran aktor-aktor negara, NGO, swasta dan masyarakat lokal ialah saling menyeimbangkan-untuk tidak menyebut setara. d. Negara harus mendesain ulang struktur dan kultur organisasi agar siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya guna menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom dan dinamis. e. Negara harus melibatkan seluruh pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan serta penyelenggaraan layanan publik.
f. Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi, dan
akuntabilitas
publik
dalam
penyelenggaraan
kepentingan,
pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah publik. Selain enam prinsip acuan pemerintah dalam menempatkan diri pada kelolala good governance tersebut,terdapat sepuluh prinsip good governance yaitu sebagai berikut: a. Partisipasi, warga memiliki hak
dan mempergunakannya untuk
menyampaikan pendapat, bersuara serta kontribusi lain dalam prses perumusan kebijakan publik baik secara langsung maupun tidak langsung. b. Penegakan hukum diberlakukan bagi siapapun tanpa pengecualian, perlindungan hak asasi manusia dilindungi dan penegakan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. c. Transparansi
berupa
penyediaan
informasi
tentang
aktivitas
pemerintahan bagi publik, dijaminnya kemudahan dalam memeroleh informasi yang akurat dan memadai yang dapat diakses secara komprehensif setiap waktu. d. Kesetaraan peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi, berkativitas dan berusaha. e. Daya tanggap, berupa responsifitas pengelola instansi publik terhadap aspirasi masyarakat. f. Wawasan ke depan, adanya visi misi dan strategi yang jelas dalam pengelolaan masyarakat. g. Akuntabilitas, adanya pertanggungjawaban pengelola negara, penentu kebijakan dan pengelola layana publik kepada warga. h. Pengawasan publik, warga dilibatkan dalam mengontrol seluruh kegiatan pemerintah, termasuk di dalamnya kegitaan pelayanan publik dan parlemen. i. Efektivitas dan efisiensi, terselenggaranya kegiatan instansi publik dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan
bertanggung jawab. Indikatornya ialah terwujudnya pelayanan yang mudah, cepat, tepat dan murah. j. Profesionalisme: tingginya kemampuan dan moral para pegawai pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan dan pelayanan publik. Good governance dapat disimpulkan sebagai sebuah sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku, jaringan dan institusi di luar pemerintah untuk mengelola masalah dan kebutuhan publik. Setiap aktivitas melibatkan seluruh aktor (multi-stakeholders) dan membuka partisipasi aktif bagi seluruh aktor. Kini good governance menghadapi tantangan sekaligus peluang baru yaitu hadirnya teknologi, terutama media baru. Kehadiran media baru ini dapat membantu pemerintah dalam mewujudkan good governance sebab media baru memberikan kemudahan-kemudahan untuk melibatkan partisipasi masyarakat. Media baru membuka jalan komunikasi langsung antara pemerintah dan masyarakat yang akan meningkatkan partisipasi sekaligus transparansi. Dilain sisi, keterbukaan ini akan meningkatkan pengawasan publik, yang berarti akan “memaksa” pengelolaan pemerintah yang lebih baik lagi. Secara tidak langsung, kehadiran media baru saat ini memberi pengaruh positif bagi terwujudnya good governance. E.4 Pengelolaan Media Sosial sebagai Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online untuk Mendukung Good Governance Layanan aspirasi dan pengaduan hadir sebagai sarana membuka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan negara. Salah satu alasan yang mendorong dibuatnya layanan aspirasi dan pengaduan adalah langkah transparansi yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan dan pelayanan publik. Transparansi menjadi salah satu poin penting dalam menyelenggarakan negara. Di dalam sebuah pengelolaan negara, transparansi dapat memberikan dua hal: mendorong pengambilan keputusan yang lebih baik dan melakukan pengecekan pengambilan keputusan yang buruk.
Kehadiran layanan aspirasi dan pengaduan kini semakin didukung dengan kemajuan teknologi terutama new media. Di era kemajuan teknologi seperti saat ini, pemerintah ditutut untuk lebih cepat dan efektif mewadahi keluhan dan aspirasi masyarakat. Beruntung, new media hadir sebagai jawaban atas tuntutan tersebut. Melalui system pengaduan berbasis teknologi digital, akses menuju ke media pelayanan pengaduan aspirasi dapat dilakukan dengan lebih mudah. Kemajuan teknologi menghilangkan batasan ruang dan waktu di dalam interaksi masyarakat dan pemerintah melalui layanan aduan dan aspirasi. Setidaknya masyarakat dapat mengakses dan melakukan pengaduan kapanpun dan dimanapun. Salah satu kemajuan teknologi di era new media yang membuat layanan aduan dan aspirasi semakin mudah dilakukan adalah kehadiran media sosial. Media sosial membuat interaksi antara masyarakat dan pemerintah menjadi lebih mudah. Partisipasi masyarakat pun lebih terbuka dengan kehadiran media sosial. Pengawasan dan keterbukaan dapat lebih tampak dengan kemampuan dan fitur media sosial. Beberapa negara dan lembaga telah memanfaatkan media sosial sebagai media untuk layanan aduan dan aspirasi. Beberapa menggunakan media sosial yang telah ada dan popular seperti Facebook dan Twitter. Pemerintah menggunakannya untuk berinteraksi dan menerima keluhan maupun aspirasi masyarakat juga memantau opini public yang berkembang. Namun, kini pun telah hadir media sosial khusus untuk aduan dan aspirasi yang diberi nama LAPOR!. Kehadiran layanan aduan dan aspirasi berbasis media sosial ini adalah sebuah fenomena baru. Namun, layanan aduan dan aspirasi berbasis media sosial tetap harus memenuhi prinsip Complaint Handling Mecanism. World Bank (2010) menyatakan terdapat enam prinsip layanan pengaduan yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) Keadilan penanganan keluhan, tanpa memihak pihak tertentu dan dilakukan secara transparan.
2) Obyektifitas dan kemandirian: Complaint Handling Mechanism beroperasi secara independen dari semua pihak yang berkepentingan untuk menjamin adil, obyektif dan perlakuan tidak memihak kepada masing-masing kasus dugaan. Pejabat pengelola keluhan juga diberikan sarana dan kekuatan yang memadai untuk menyelidiki keluhan (misalnya saksi wawancara, catatan akses, dll). 3) Kesederhanaan dan aksesibilitas: Prosedur untuk mengajukan keluhan dan mencari tindakan haruslah sederhana sehingga masyarakat dapat dengan mudah memahami dan memanfaatkan. Selain itu dari sisi aksesibilitas, masyarakat diberikan berbagai pilihan kontak (tidak satu kanal saja) seperti minimal, nomor telepon (sebaiknya bebas pulsa), alamat email dan alamat pos. Complaint Handling Mechanism harus dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan, tanpa terikat jarak, waktu dan batasan komunikasi lain secara mudah. 4) Responsivitas dan efisiensi: Complaint Handling Mechanism perlu dirancang agar responsif terhadap kebutuhan semua pengadu. Para pejabat penanganan pengaduan juga harus dilatih untuk mengambil tindakan efektif dalam merespon dengan cepat keluhan dan saran. 5) Kecepatan dan proporsionalitas: Semua keluhan, sederhana atau kompleks, perlu mendapat perhatian yang berkelanjutan dan diselesaikan secepat mungkin. Tindakan yang diambil pada keluhan atau saran harus cepat, tegas dan konstruktif. 6) Partisipatif dan inklusi sosial: Berbagai macam pengguna Complaint Handling Mechanism termasuk anggota masyarakat, anggota kelompok rentan, masyarakat sipil dan media didorong untuk membawa keluhan dan komentar untuk menjadi perhatian otoritas pemberi layanan. Seluruh prinsip sistem aduan dan aspirasi tersebut sejalan dengan prinsip good governance. Apabila disinergikan maka sebuah layanan aduan dan aspirasi yang berbasis media sosial guna mewujudkan good governance sebaiknya mampu memenuhi prinsip-prinsip good governance. Beberapa cara untuk melihatnya
dapat dilakukan dengan melihat sistem dan fitur yang ada di sistem pengaduan dan aspirasi berbasis media sosial dengan prinsip good governance yaitu partisipasi,
penegakan
hukum,
transparansi,
kesetaraan,
daya
tanggap,
akuntabilitas, pengawasan public, efektivitas dan efisiensi serta profesionalisme. Pada prinsip partisipasi di good governance sebuah layanan aduan dan aspirasi berbasis media sosial dapat diukur dari penyediaan akses terbuka bagi masyarakat untuk berdialog dan memberi masukan. Secara fitur, langkah pemerintah memberikan ruang partisipasi kepada publik guna mendukung good governance dapat tercermin dari keterbukaan kanal bagi siapapun, termasuk kebebasan membuat aku atau user id. Selain itu, ketersediaan forum dialog dan kesempatan bagi public untuk memberi suara, termasuk memberi masukan untuk peningkatan kualitas kerja juga mencerminkan sebuah usaha membuka partisipasi. Selanjutnya, untuk melihat prinsip penegakan hukum sebuah media komunikasi milik pemerintah, dapat tercermin dari perlindungan hukum bagi warga yang melapor. Menjamin keamanan dan kerahasiaan aduan juga dibutuhkan. Salah satu caranya adalah menyediakan kolom message yang tertutup atau memberikan fitur anonym untuk melindungi identitias pelapor. Sebab, percuma apabila membuka sebuah kanal aduan tanpa perlindungan hukum. Apabila tidak ada maka kanal aduan itu bukanlah kanal efektif untuk menegakkan hukum pula. Prinsip ketiga yaitu transparansi dapat tercermin dari ketersediaan aktivitas yang terbuka. Jika dilihat dari sisi fitur pada media sosial, kanal aduan harus dapat menunjukan aktivitas baik pemerintah ataupun warga secara terbuka. Selain itu diwajibkan ada kontak dari pengelola yang bisa dihubungi oleh warga terlepas dari media sosial itu sendiri. Guna mengukur transparansi pun dapat dilihat dari sistem pengelolaannya misalnya dari frekuensi pengelola (admin) membalas pesan dari maysrakat. Seharusnya, setiap aduan atau aspirasi diberi tanggapan oleh pengelola untuk menjamin transparansi.
Kesetaraan peluang yang sama dalam prinsip good governance dapat tercermin dari bagaimana pengelola memberi ruang berpendapat masyarakat. Peluang disini maksudnya adalah setiap orang dan juga setiap laporan aduan. Bukan hanya pengguna yang tidak boleh dibatasi namun juga peluang setiap aduan untuk disampaikan. Tidak boleh ada batasan-batasan aduan yang boleh disampaikan biarpun sekecil apapun. Ketersediaan berbagai kanal untuk menampung aduan juga mencerminkan adanya kesetaraan peluang, sebab semakin beragam kanal akan memungkinkan semakin banyak lapisan masyarakat yang bisa mengajukan aduan dan aspirasi. Sedangkan untuk prinsip daya tanggap dapat dilihat dari bagaimana pengelola memberikan feedback. Setiap aduan harus diberikan tanggapan. Kedisiplinan dalam pemberiaan tanggapan juga dibutuhkan untuk mencerminkan keseriusan pemerintah dalam mengusung pemerintahan yang efektif. Lebih baik jika ada tenggat waktu yang pasti (deadline) untuk memberikan tanggapan. Sebab pemerintah harus bertindak cepat dalam mengelola aduan dan aspirasi, tidak boleh dibiarkan berlama-lama dan menggantungkan masyarakat. Prinsip wawansan ke depan berkaitan dengan visi misi dan prinsip yang diusung pengelola. Ada atau tidaknya acuan dalam menjalankan media sosial atau yang melandasi menjadi penting. Perlu diingat bahwa yang melandasi media sosial sebagai layanan aspirasi dan pengeduan haruslah sesuai dengan implementasinya. Tentunya, visi misi atau acuan dalam mengelola ini perlu diselaraskan dengan kepentingan masyarakat dan berorientasi untuk kemajuan pembangunan. Selanjutnya, prinsip akuntabilitas dan pengawasan publik dapat dilihat dari ketersediaan fitur kontak pengelola dan laporan berkala yang disampaikan pada publik. Laporan berkala dapat berupa laporan statistik ataupun laporan lain yang berkaitan dengan pengelolaan aduan yang telah dan akan dilakukan. Sedangkan prinsip efektivitas dan efisiensi serta profesionalitas dapat dilihat dari bagaimana pengelola berinteraksi dengan warga: cepat atau lambat, menjawab permasalahan
(sesuai konteks) atau tidak, melalui media apa (membalas melalui komentar atau e-mail) serta bagaimana mengkomunikasikan masalah dan solusi antara lembaga dan masyarakat. F. Kerangka Konsep Pengelolaan media sosial LAPOR! dan seberapa besar kontribusi media sosial LAPOR! yang dibuat pemerintah berperan dalam membantu mewujudkan good governance pada penelitian ini akan dilihat dari kerangka konsep berikut: Penelitian ini akan menggunakan 10 (sepuluh) prinsip good governance yang dikemukakan Dwiyanto (2005) sebagai cermin dalam melihat tolak ukur kondisi ideal dari good governance. Prinsip ini akan dilihat kesesuaiannya dengan pengelolaan media sosial LAPOR! sebagai sebuah compalint handling system. Pengelolaan media sosial LAPOR! sendiri akan dikupas berdasarkan Pedoman Pemanfaatan Media Sosial Instansi Pemerintah yang dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2012. Pada pengelolaan ini terdapat 5 (lima) poin yang akan dilihat: a. Perencanaan Tahap perencanaan LAPOR! akan dilihat melalui metode POST yang diperkaya dengan Input/Output Model of IT Planning for Social Media in Government (Dadashzadeh, 2010). Pada metode POST, elemen People (khalayak) dan Objective (sasaran) akan diperkaya dengan dua dari empat proses perencanaan milik Dadashzadeh yaitu perencanaan nilai-nilai pelayanan publik dan penentuan fokus yang akan dibuat. Sedangkan elemen Strategy
dan Technology akan diperkaya dengan proses
inventarisasi IT dan peramalan perkembangan teknologi yang akan datang.
b. Kegiatan Media Sosial Pada tahap kegiatan media sosial LAPOR! akan dilihat bagaimana pengelola menyusun rancangan kegiatan yang akan dilakukan. Akan disinggung mengenai apa saja yang dilakukan setiap bagian dalam pengelola dan bagaimana implementasi di lapangan. c. Strategi Pada tahap ini akan dilihat bagaimana LAPOR! membangun pesan-pesan yang disampaikan. Dalam kata lain, tahap ini akan melihat big idea di dalam pesan komunikasi yang dibawa LAPOR! d. Pelaksanaan Di dalam melihat pelaksanaan media sosial LAPOR! akan digunakan delapan elemen dalam langkah pelaksanaan seperti yang tertulis dalam kerangka pemikiran. Pada tahap ini secara deskriptif akan dijelaskan implementasi dari perencanaan yang dilakukan, termasuk di dalamnya tahapan / alur pesan dan interaksi yang ada di dalam LAPOR!. e. Pemantauan dan Evaluasi Tahapan ini akan melihat bagaimana LAPOR! menanggapi aduan-aduan yang masuk dan bentuk evaluasi internal. Selain itu juga akan dilihat hubungan LAPOR! dengan lembaga yang terhubung. Proses perencanaan hingga implementasi dari LAPOR! akan dicocokan dengan prinsip-prinsip good governance untuk melihat sejauh apa kontribusi LAPOR! sebagai dalam mewujudkan pemerintahan yang lebih baik. Berikut adalah bagan dari pisau analisis penelitian ini:
Bagan 1.1: Kerangka Konsep Media sosial LAPOR!
Prinsip good governance: 1. Partisipasi 2. Penegakan hukum 3. Transparansi 4. Kesetaraan peluang 5. Daya tanggap 6. Wawasan ke depan 7. Akuntabilitas 8. Pengawasan public 9. Efektivitas dan efisiensi 10. Profesionalisme
Complain handling system: 1. Keadilan 2. Objektivitas dan kemandirian 3. Kesederhanaan dan aksesibilitas 4. Responsivitas dan efisiensi 5. Kecepatan dan proporsionalitas 6. Partisipasi dan inklusi sosial
Pengelolaan media sosial oleh pemerintah Pedoman pemanfaatan media sosial instansi pemerintah: 1. Perencanaan 2. Kegiatan media sosial 3. Strategi media sosial 4. Pelaksanaan 5. Pemantaan dan evaluasi
Input/output model of IT planning for social media in government: 1. Perencanaan nilainilai pelayanan publik 2. Penetuan focus yang akan dibuat 3. Inventarisasi IT 4. Peramalan perkembangan teknologi
G. Metodologi Penelitian Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan suatu pendekatan dalam penelitian sosial yang biasanya digunakan untuk mengemukakan gambaran dan atau
pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi. Menurut Guba dan Lincoln (1985:108) pendekatan kualitatif merupakan sebuah pendekatan yang dilakukan dengan latar alamiah dari suatu keutuhan (entity). Sejalan dengan hal itu, Poerwandari (1998) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang akan mengolah dan menghasilkan data bersifat deskriptif seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain-lain. Moleong (2004:131) pun mengungkapkan pernyataan yang tidak jauh berbeda yaitu pendekatan kualitatif tidak mengumpulkan
data
berupa
angka,
sehingga
tujuan
penelitian
adalah
penggambaran dalam, rinci dan tuntas mengenai realita empirik dibalik sebuah fenomena. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang langsung diarahkan pada setting serta individu-individu dan kelompok masyarakat dimana mereka berada, secara holistik; meliputi subjek penelitian (yang mungkin organisasi, kelompok, individu, teks atau artefak) dan tidak melakukan reduksi variabel dengan mengisolasi variabel-variabel tertentu (Pawito, 2007). Maksudnya, pendekatan kualitatif menganalisa tanpa mengurangi ataupun menambahkan (memberi eksperimen) pada objek dan hanya menampilkan kenyataan realitas. Di dalam kasus ini, pendekatan kualitatif dipakai untuk melihat bagaimana realitas pemanfaatan sosial media sebagai sarana pengaduan dan aspirasi oleh pemerintah melalui LAPOR! yang dikelola oleh Deputi I Kantor Staf Presiden sekaligus memberikan gambaran dan pemahaman mengenai manajemen pengelolan dan proses pengolahan pesan. Sedangkan metode yang akan digunakan untuk membedah penelitian ini ialah studi kasus. Secara umum studi kasus dapat diartikan sebagai metode penelitian untuk menyelidiki atau menganalisa suatu peristiwa, aktivitas ataupun program dalam jangka waktu tertentu. Yin (dalam Salim, 2006:119) lebih teknis mengartikan studi kasus sebagai berikut:
“…empirical inquiry that invertigates a contemporary phenomenon within its real-life content when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident, and in which multiple sources of evidence are used.” Patton (2002) menambahkan bahwa studi kasus adalah studi tentang suatu kekhususan dan kompleksitas sebuah kasus tunggal dan berusaha untuk mengerti kasus tersebut dalam konteks situasi dan waktu tertentu. Sedangkan Therese L.Baker (1999:321) memberikan definisi studi kasus sebagai berikut: “A case study is a research strategy which focus on a single organization, institution, event, decision, polling, or group (or possibly a multiple set).” Definisi lain dikemukakan Creswell (1998:36-37) mengenai studi kasus. Menurut Creswell, studi kasus ialah suatu eksplorasi dari sistem-sistem yang terkait (bounded system) atau kasus. Lebih lanjut Creswell mengemukakan karakteristik studi kasus yaitu pertama mengidentifikasi kasus untuk suatu studi. Kedua, kasus tersebut merupakan system yang terikat oleh waktu dan tempat. Ketiga, studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan data untuk memberikan gambaran detil dan mendalam mengenai respon dari suatu peristiwa. Terakhir, studi kasus akan “menghabiskan waktu” waktu peneliti dalam menggambarkan konteks atau setting suatu kasus. Studi kasus dipilih untuk penelitian ini karena objek penelitian yang unik, spesifik dan kontemporer. LAPOR! Sebagai objek penelitian dinilai unik karena inisiatif untuk membangun partisipasi publik dan komunikasi dua arah dengan memanfaatkan sosial media yang terintegrasi secara nasional baru pertama kali dilakukan. LAPOR! Juga merupakan cikal bakal terwujudnya satu portal pengaduan terpadu nasional di Indonesia. Selain itu objek penelitian juga merupakan objek yang kontemporer karena baru dan sedang terjadi serta menjadi kajian yang tengah hangat dibicarakan karena berkaitan dengan good governance yang mulai digalakkan pemerintah.
G.1 Sumber Data Di dalam penelitian ini akan diambil dua sumber data yaitu sumber data primer dan data sekunder yang akan menentukan ketepatan data, kekayaan informasi serta kedalaman analisa dalam penelitian. a. Data Primer Data primer diambil dari wawancara yang dilakukan peneliti dengan responden yang berkaitan dengan pengelolaan LAPOR!. Responden yang berkaitan maksudnya adalah posisi-posisi yang mengelola LAPOR! mulai dari perencanaan, aktivasi hingga optimalisasi. Wawancara dilakukan melalui dua cara yaitu melalui wawancara tatap muka dan online mengingat lokasi penelitian yang berjauhan dengan peneliti. b. Data Sekunder Data sekunder diambil dari dokumentasi studi pustaka, terbitan artikel pada web, majalah ataupun media lain. Selain itu data sekunder juga berasal dari output media-media pendukung LAPOR! seperti media promosi twitter dan booklet yang dikeluarkan rutin oleh pengelola. G.2 Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan kepada responden berkaitan dengan data yang ingin dikumpulkan peneliti. Patton dalam Poerwandari (1998) mengemukakan bahwa dalam sebuah proses wawancara diberlakukan sebuah pedoman wawancara yang digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus check list mengenai apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau dipertanyakan.
Pertanyaan yang akan diajukan merupakan pertanyaan terbuka dan bersifat mendalam. Maksudnya peneliti akan diperbolehkan mengeksplorasi pertanyaan untuk bisa menghasilkan data yang lebih dalam dan rinci dalam menggambarkan realitas yang akan disuguhkan. b. Dokumentasi Teknik pengumpulan data berupa dokumentasi ini mencakup data-data tertulis yang dengan ijin terlebih dahulu dapat diakses dan digunakan untuk melengkapi hasil wawancara. Menurut Yin (2005:104), data tertulis yang mungkin
dikumpulkan dalam penelitian adalah surat-surat,memorandum,
pengumuman resmi, agenda kegiatan, kesimpulan rapat, berbagai laporan peristiwa, dokumen administratif organisasi, hasil penelitian dan evaluasi komunitas, serta kliping artikel yang muncul di media massa. Beberapa booklet dan laporan bulanan dari LAPOR! melalui blog resminya akan digunakan sebagai dokumentasi untuk data-data yang akan menguatkan hasil penelitian ini nantinya. Selain itu dokumentasi lain di media massa yang memungkinkan menjadi data pendukung juga akan disuguhkan. G.3 Objek Penelitian Media sosial LAPOR! Yang dikelola Deputi I Kantor Staf Presiden. Media sosial LAPOR! yang diaktifkan di tiga (3) kanal yaitu website, layanan SMS dan aplikasi pada smartphone akan dijadikan objek dari penelitian ini. G.4 Limitasi Penelitian Penelitian ini menghadapi keterbatasan atau limitasi penelitian berupa durasi
waktu
penelitian
yang
terbatas,
sehingga
belum
cukup
bisa
menggambarkan keseluruhan dinamika pengelolaan yang terjadi. LAPOR! telah mengalami dua periode pemerintahan dan berubah induk pengelolaan, pada penelitian dengan waktu terbatas ini tidak bisa dijelaskan detil proses pengelolaan sejak awal terbentuk hingga sekarang. Keterbatasan waktu penelitian juga tidak memungkinkan penggambaran anatar dua periode yang dialami oleh LAPOR!.
Penelitian hanya dapat memberikan gambaran pengelolaan secara keseluruhan dan dinamika pengelolaan pada periode tertentu saja. G.5 Teknik Analisis Data Data yang telah diperoleh baik berupa transkrip wawancara dan dokumentasi lainnya akan dikumpulkan, diedit dan dikategorikan serta dicari kesesuaian polanya untuk dianalisa. Hasil analisis berupa intepretasi data akan dikaitkan dengan pemikiran yang sebelumnya dirumuskan. Yin (2005:140), apabila terdapat kesamaan pada kedua pola tersebut, hasilnya dapat menguatkan validitas internal studi kasus yang bersangkutan. Lebih lanjut Yin (2005:140-158) mengemukakan tiga strategi dan teknik analisis dominan dalam menganalisa bukti (data) studi kasus, antara lain: 1. Penjodohan Pola Merupakan salah satu strategi yang palng diminati oleh peneliti studi kasus. Logika ini membandingkan pola yang didasarkan pada temuan empiris dengan pola yang diprediksi atau pola yang dipercaya sebagai keadaan ideal berdasar teori-teori. Apabila kedua pola ini semakin memiliki kesamaan berarti semakin menguatkan validitas internal studi kasus yang bersangkutan. 2. Pembuatan eksplanasi Merupakan tipe khusus penjodohan pola namun prosedurnya lebih sulit dan membutuhkan perhatian khusus. Pada strategi ini dibuat eksplanasi tentang kasus yang bersangkutan untuk menganalisa sebuah studi kasus. Cara ini cocok dan relevan digunakan untuk kasus eksplanatori. Sedangkan untuk studi kasus eksploratori hanya bertujuan sebagai pengembang hipotesa.
3. Analisa deret waktu Strategi ini dilakukan secara langsung analog dengan analisa deret waktu pada eksperimen dan kuasi eksperimen. Biasanya digunakan oleh peneliti untuk mendapat hasil penelitian yang rinci sehingga menjadi landasan yang kuat bagi penarikan kesimpulan dari studi kasus. Hasil dari penelitian ialah berupa pembahasan menyeluruh mengenai pengelolaan media sosial LAPOR! untuk layanan aspirasi dan aduan online terintegrasi nasional.