BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kemunculan kafe / restoran di berbagai daerah menghadirkan persoalan menarik seputar identitas. Jika ditelusuri, kafe / restoran merupakan bagian dari budaya yang berkembang di Barat dan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, budaya kafe masuk pada tahun 1990-an dengan perkembangan yang sangat beragam pada masing-masing kota di Indonesia. Seiring perkembangannya, bisnis kafe / restoran tidak hanya dijalankan oleh pelaku bisnis jaringan global (frenchise) namun juga oleh pelaku bisnis lokal. Identitas yang ditampilkan juga tidak melulu menggunakan identitas global (barat) melainkan telah berpadu dengan identitas lokal. Fakta ini nampaknya tidak sejalan dengan pendapat sebagian ahli yang
menyatakan
keseragaman
atau
bahwa
globalisasi
sering
disebut
hanya
dengan
akan
menghasilkan
istilah
homogenisasi.
Homogenisasi digambarkan sebagai dominasi budaya Barat (terutama Amerika) dan hilangnya keaslian budaya lokal yang tersebar di berbagai daerah. Meski demikian, lantas juga tidak bisa dikatakan bahwa lokalitas yang dibawa oleh aktor lokal mampu sepenuhnya menembus arena global seperti yang disebut oleh sebagian ahli dengan istilah heterogenisasi. Heterogenisasi memandang bahwa globalisasi akan menghasilkan keberagaman budaya sembari menampik fakta bahwa percaturan global memiliki aturan main tersendiri yang dikendalikan oleh kekuatan ekonomi dan teknologi yang dikuasai negara-negara maju. Glokalisasi lantas menawarkan jalan tengah dalam memandang persoalan globalisasi. Kalangan yang berdiri pada kubu glokalisasi menyatakan bahwa globalisasi menghasilkan perpaduan yang unik antara yang global dan yang lokal. Istilah glokalisasi pertama kali dipopulerkan
1
oleh Robertson (1995) sebagai suatu konsep yang menekankan bagaimana proses-proses global dipengaruhi atau ditumbangkan oleh penerapan, tafsiran, dan adaptasi lokal. Jadi, ada tarik-tolak atau saling terpengaruh yang dinamis dan kompleks dari kekuatan-kekuatan global dan lokal.1 Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, perkembangan kafe / restoran baik lokal maupun global di kota Solo mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Meski kemunculan kafe / restoran bukanlah hal baru di kota Solo, peningkatan jumlah kafe / restoran baru mencapai persentase paling tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yakni sebesar 25%.2 Kafe / restoran global (frenchise) dan lokal berkonsep anak muda, cepat saji, anak-anak, keluarga, gaya hidup, hingga tempat nongkrong3 semakin mudah kita temukan di penjuru kota. Identitas pun ditampilkan secara lebih beragam. Ada hal yang menarik ketika peneliti membandingkan identitas pada kafe / restoran lokal dan global. Kafe Wedangan Omah Lawas adalah salah satu kafe lokal yang menerapkan konsep kuliner tradisi Jawa yakni Wedangan. Meski secara sekilas kafe ini terkesan dekat dengan budaya Jawa, kafe ini juga menampilkan nama minuman ala Barat pada menu. Kafe lokal lainnya, Mom Milk, tampil agak berbeda. Meski kafe ini menjual produk susu sapi lokal, ia tampil dengan menggunakan nama yang kebarat-baratan lengkap dengan tata penyajian yang serupa dengan restoran cepat saji global. Restoran cepat saji KFC, menyelipkan tampilan gambar nasi pada menu makanan mereka diantara standardisasi global yang mereka jalankan. Sedikit berbeda, restoran cepat saji Mc.Donald's menyematkan ornamen batik pada bagian muka bangunan restoran.
1
Mike, F., Scott, L., & Roland, R. (1995). Global Modernities (Ed). London: Sage Publication. Hal.25-44. 2 Indah, S. (2016). Bisnis Kuliner di Kota Solo Melonjak. Diakses Juni 26, 2016 pukul 03.31 WIB dari http://m.solopos.com/2016/03/21/kuliner-solo-bisnis-kuliner-di-kota-solo-melonjak-703134. 3 Nongkrong merupakan kegiatan yang biasa dilakukan kalangan muda dalam mengisi waktu luang untuk sekedar berkumpul dengan teman atau kolega sembari membicarakan hal dari yang sifatnya pribadi hingga pembicaraan serius seperti bisnis.
2
Membicarakan identitas pada kafe / restoran, tentu tidak bisa dilepaskan dari logika dan perbincangan bisnis. Penggunaan identitas baik lokal maupun global, terkait dengan bagaimana ia digunakan sebagai penarik minat beli masyarakat. Penerapan konsep wedangan pada kafe misalnya, berkaitan dengan upaya menarik minat masyarakat untuk menikmati suasana wedangan dengan cara yang berbeda. Atau penawaran menu nasi pada restoran cepat saji global misalnya, berkaitan dengan upaya perluasan pasar melalui pendekatan terhadap kebiasaan atau budaya kuliner masyarakat. Perkembangan kafe / restoran di kota Solo berjalan seiring dengan perubahan wajah kota Solo yang semakin modern. Sejak kepemimpinan mantan walikota Solo Joko Widodo, pembangunan dilakukan secara masif di beberapa sektor termasuk semakin mudahnya birokrasi seperti perijin usaha baru. Dalam waktu yang relatif singkat, sarana dan prasarana perkotaan terlihat semakin berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas seperti integrasi sistem transportasi (Batik solo Trans, rail bus, dsb), pusat perbelanjaan seperti mall dan pasar tradisional, fasilitas pariwisata seperti hotel dan penginapan, integrasi wisata kuliner kota (Gladag Langen Bogan,), kawasan pedestrian (city walk), ruang terbuka hijau (Taman Sekartaji, Taman Balaikambang, dsb), hingga kawasan pengembangan yang terintegrasi di perbatasan kota. Wisatawan yang berkunjung juga semakin meningkat. Pada tahun 2013, jumlah wisatawan mencapai 1,6 juta orang. Namun pada tahun 2014, jumlah wisatawan 2,1 juta orang.4 Dan pada tahun 2015, kunjungan wisatawan mencapai 4,2 juta orang.5 Tidak bisa dipungkiri, perubahan kota Solo memicu salah satu pemicu berkembangnya kafe / restoran di kota Solo.
4
Joko, W. (2015). Kunjungan Wisatawan ke Solo Terus Meningkat. Diakses Juli 23, 2016 pukul 13.02 WIB dari http://www.antarajateng.com/detail/kunjungan-wisatawan-ke-solo-terusmeningkat.html. 5 Indah, S. (2016). Lebaran, Kunjungan Wisatawan Ditarget Naik 20%". Diakses Juli 23,2016 pukul 13.08 WIB dari http://m.solopos.com/2016/06/14/wisata-solo-lebaran-kunjunganwisatawan-ditarget-naik-20-728748.
3
Menengok sejenak ke belakang, persinggungan antara global dan lokal pada aspek identitas masyarakat Jawa telah mewarnai perjalanan kota Solo sejak zaman penjajahan Belanda atau bahkan lebih lama dari itu. Pada
zaman
kolonial,
dominasi
budaya
barat
(Belanda)
telah
mempengaruhi kehidupan dan perilaku masyarakat Jawa di kota Solo. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana para priyayi Jawa (kalangan keraton) Solo meniru budaya-budaya barat demi menaikkan status sosial mereka.6 Pada irisan kejawaan yang lain, kita juga bisa melihat bagaimana kalangan saudagar Batik Laweyan berusaha diakui sebagai “orang Jawa” melalui kekayaan mereka seperti bangunan omah gedhong (rumah mewah) yang banyak dipengaruhi oleh gaya rumah-rumah Belanda. Kalangan ini adalah kalangan yang menyempal dari lingkungan dan tradisi jawa keraton. Dalam kehidupan masyarakat Jawa di kota Solo, Wong Laweyan kerap berkonflik dengan kalangan keraton.7 Pada era pasca kemerdekaan, terjadi pembatasan terhadap persebaran budaya barat seperti musik barat. Soekarno sebagai pemimpin negara pada saat itu, memiliki pandangan bahwa budaya (asing) berpotensi merusak budaya-budaya daerah yang ada di Indonesia sehingga persebaran budaya ini perlu dibatasi.8 Secara bersamaan, perkembangan budaya Jawa di kota Solo juga mengalami kemunduran pada era pasca kemerdekaan. Campur tangan Belanda, konflik internal, dan krisis kepemimpinan telah melemahkan legitimasi keraton sebagai lembaga adat.9 Yang terjadi kemudian, munculnya pendefinisian ulang terhadap kejawaan yang termodernisasi. Salah satu contohnya, muncul gaya rumah Jengki yang tidak lagi merujuk pada gaya rumah tradisional masyarakat Jawa di Solo (Joglo) maupun gaya rumah Belanda pada zaman kolonial. Contoh yang lain, muncul kelompok 6
Pardi, S. (2013). Masyarakat Jawa dan Budaya Barat : Kajian Sastra Awal Masa Kolonial. Yogyakarta: Adiwacana. 7 Soedarmono. (2006). Mbok Mase : Pengusaha Batik di Laweyan Solo awal Abad 20. Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia. 8 Andrew, W. (2012). Dangdut “Music, Identitas, dan Budaya Indonesia”. Jakarta: Kompas Gramedia Group. 9 George, L. (1990). Masa Menjelang Revolusi : Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912 - 1942.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal.23
4
pengelola (semacam event organizer) yang bersedia mengurus upacara pesta pernikahan seperti yang dilakukan di lingkungan dalam keraton. Setelah Orde Lama jatuh dan digantikan Orde Baru, terjadi perubahan yang cukup signifikan terkait budaya barat. Hampir segala pintu masuk jalur ekonomi dan budaya barat kembali dibuka oleh presiden Soeharto. Serpihan kecilnya bisa kita amati pada membanjirnya produk dan budaya Amerika di Indonesia menggantikan produk dan budaya Eropa sisa masa kolonial. Dalam bidang film misalnya, terjadi pergeseran kiblat dari Eropa ke Amerika yakni munculnya dominasi Hollywood sebagai kiblat bagi selera masyarakat tanah air. Hal serupa terjadi dalam bidang makanan, dimana ekspansi produk makanan Amerika seperti Mc.Donald's ataupun Starbucks10 telah memunculkan budaya makan cepat saji yang merambah hampir seluruh kota besar di Indonesia. Tak lupa, maraknya peminat musik Indonesia yang berkiblat ke Amerika melalui media televisi sejak awal 90-an11 dan kemasan musik pada televisi Indonesia pada saat itu.12 Pada akhir masa kepemimpinan Soeharto, terjadi krisis multidimensi. Krisis ekonomi dan politik pemerintah yang dinilai represif, menimbulkan kekacauan dan kemarahan rakyat. Rakyat mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan menuntut Soeharto mundur. Tumbangnya Orde Baru pada era reformasi, berhasil mendorong keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi komunikasi informasi. Hinga saat ini, arus informasi mengalir ke hampir seluruh daerah di Indonesia termasuk budaya global.13 Seiring gelombang globalisasi yang melanda masyarakat lokal, simbol-simbol global (khususnya barat) kemudian menjadi semacam bentuk refleksi ketakjuban masyarakat pada hal-hal yang berasal dari luar negeri. Pertama, sindroma yang diderita masyarakat-masyarakat bekas
10
George, R. (2013). McDonaldisasi Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dadang, R. (2008). Generasi MTV. Bandung: Jalasutra. 12 Anderson, S. (2000). Global-Lokal. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th.X-2000, 35-49. 13 Krishna, S., & David T. H. (2001). Media, Budaya, dan politik di Indonesia. Jakarta: ISAI. Hal.84. 11
5
jajahan yang cenderung melihat bekas jajahannya sebagai wakil dari keberhasilan dalam segala hal. Kedua, orientasi pembangunan ekonomi yang diberlakukan Orde Baru yang menjadikan negara-negara maju di barat sebagai model yang harus ditiru.14 Terdapat keinginan kuat untuk memberikan penekanan akan pentingnya nilai Barat kepada segala hal dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Melalui proses ini masyarakat berusaha melakukan identifikasi dirinya dengan simbol-simbol yang dianggapnya mewakili sebuah peradaban yang lebih maju dari kondisi kongkret kehidupan mereka sendiri. Mereka mencoba menjadi bagian dari sebuah dunia baru, dunia modern, yang seluruh gambarannya mutlak ditentukan oleh orang lain. Diserapnya ornamen-ornamen gaya hidup masyarakat barat modern merupakan sebuah cara lain yang dipakai oleh kelompok sosial masyarakat di Indonesia untuk membedakan dirinya dari kelompok lain. Pembedaan tersebut bertujuan untuk menyadarkan mereka yang tidak mampu “membarat” bahwa mereka berkekurangan dan “ketinggalan”, serta “terbelakang”.15 Menjadi penting kiranya mengulas gejala glokalisasi pada identitas kafe / restoran global (frenchise) dan lokal di kota Solo. Pertama, kafe dan restoran di kota Solo mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surakarta mencatat sepanjang 2015, jumlah restoran maupun rumah makan mencapai 859 tempat (naik sekitar 25%) dibanding tahun 2014 (320 tempat) dan tahun 2013 (297 tempat).16 Perubahan wajah kota Solo dalam kurun waktu tiga tahun terakhir akibat pembangunan, menjadi salah satu penggerak perkembangan bisnis kuliner baik sebagai pemenuhan kebutuhan biologis, pengisi waktu luang, maupun pariwisata. Kedua, kafe / restoran merupakan bagian dari ruang perkotaan di mana
14
Hikmat, B. (2002). Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 249 Ibid., hal.250. 16 Indah, S. (2016, Maret 21). Bisnis Kuliner di Kota Solo Melonjak. Solopos. Diakses pada tanggal 26 Juni pukul 03.31 WIB dari http://m.solopos.com/2016/03/21/kuliner-solo-bisniskuliner-di-kota-solo-melonjak-703134. 15
6
identitas yang ditampilkan turut berperan dalam membentuk wajah kota Solo. Ketiga, maraknya penggunaan ekspresi-ekspresi identitas yang memadukan antara unsur-unsur global dan lokal pada kafe atau restoran sebagai bagian dari gejala glokalisasi. Di satu sisi, simbol beserta nilainilai budaya Jawa masih dianggap sebagai tradisi dan berakar kuat dalam kehidupan masyarakat kota Solo. Di sisi yang lain, simbol-simbol global juga nampak semakin diminati sebagai imajinasi masyarakat modern. Keempat, kafe / restoran global dan lokal memiliki kecenderungan yang berbeda dalam menampilkan identitas. Kafe / restoran lokal, akan lebih dekat dengan nilai tradisi lokal sedangkan kafe / restoran global akan lebih dekat dengan ide-ide modernitas. Kelima, lokalitas (kejawaan) yang ada di Solo berbeda dengan kota lain. Sejarah kerajaan Jawa di kota Solo dan persinggungannya
dengan
bangsa
Eropa
pada
zaman
kolonial
menghasilkan bentuk yang unik dibandingkan kota lain (misalnya Yogyakarta). Bagimanapun, lokalitas tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya yang melingkupinya. Keenam, penyematan identitas baik lokal dan global pada kafe
restoran terkait dengan kepentingan
ekonomi atau pasar. Ketujuh, sependek penelusuran peneliti, penelitian ilmu komunikasi yang mengulas tentang gejala glokalisasi terkait persoalan identitas pada kafe / restoran global dan lokal terlihat masih minim. Bahkan, untuk kasus yang lebih spesifik di kota Solo, dapat dikatakan bahwa penelitian seperti ini belum ada. B. Rumusan Masalah Bagaimana glokalisasi pada identitas kafe / restoran lokal dan global (Mom Milk, Wedangan Omah Lawas, KFC, dan McDonald's) di kota Solo? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk menyajikan analisis kasus atas gejala glokalisasi pada identitas kafe / restoran lokal dan global (Mom Milk, Wedangan Omah Lawas, KFC, dan McDonald's) di kota Solo.
7
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ranah akademis dan ranah praktis. 1. Manfaat Akademis Memberikan kontribusi pada kajian akademis tentang gejala glokalisasi pada identitas di kafe / restoran lokal dan global (Mom Milk, Wedangan Omah Lawas, KFC, dan McDonald's) di kota Solo. 2. Manfaat Praktis Memberikan gambaran dan pemetaan pada masyarakat, pemerhati sosial dan budaya, maupun jajaran pemerintahan dalam memandang gejala glokalisasi pada identitas kafe / restoran lokal dan global (Mom Milk, Wedangan Omah Lawas, KFC, dan McDonald's) di kota Solo. Pemetaan
ini
diharapkan
membantu
pihak-pihak
yang
telah
disebutkan di atas untuk menentukan langkah sesuai kebutuhan masing-masing. E. Kerangka Pemikiran 1. Glokalisasi Glokalisasi
tidak
bisa
dilepaskan
dari
perdebatan
dalam
pembicaraan globalisasi. Menurut Robertson (1992), konsep tentang globalisasi sendiri berkembang sejak tahun 1980-an yang dipengaruhi konsep Marshall McLuhan tentang global village. Konsep ini memunculkan gagasan tentang komunitas global.17 Tester (1994) melihat bahwa konsep global village bertumpu pada gagasan bahwa media telah memperbesar kemampuan kita untuk memahami dan mengetahui tatanan sosial dan budaya yang beragam di berbagai tempat.18 Revolusi di bidang teknologi informasi menyebabkan robohnya batasan ruang dan waktu konvensional. Globalisasi kemudian merestrukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris 17
Roland, R. (1992). Globalization : Social Theory and Global Culture. London: Sage Publications. Hal.8. 18 Keith, T. (1994). Media, Culture and Morality. London: Routledge. Hal.86.
8
pada setiap aspek kehidupan termasuk salah satunya adalah identitas. Berhembus pertama kali dari pusat-pusat adidaya, globalisasi pada akhirnya menyapu semua bagian dunia tak terkecuali negara adikuasa sendiri meski dengan kadar dan konsekuensi yang tidak merata.19 Kalangan yang pesimis berpendapat bahwa globalisasi hanya menghasilkan homogenisasi yakni sebuah dominasi budaya Barat (terutama Amerika) yang menghancurkan keaslian budaya dan identitas lokal. Kritik terkuat dari aliran pemikiran ini berpendapat bahwa globalisasi adalah imperialisme budaya di mana masyarakat tertentu dibawa ke dalam dominan sistem dunia modern hubungan yang tidak setara, dan ditekan untuk menyesuaikan dan mengubah lembaga-lembaga dan nilai-nilai mereka agar sesuai dengan atau mengadopsi mereka dari sistem yang dominan.20 Di sisi yang lain, kalangan yang berada pada kubu heterogenisasi menyatakan bahwa globalisasi tidak menyebabkan homogenisasi melainkan keragaman yang lebih besar dan diferensiasi budaya, sesuatu yang pada akhirnya mengarah pada pemahaman budaya yang lebih besar berbeda.21 Globalisasi mendorong terjadinya penguatan posisi-posisi lokalitas, misalnya dalam bentuk kebudayaan lokal yang menentang
kekuatan
homogenisasi
dari
globalisasi
kapitalis.
Heterogenisasi kemudian adalah bentuk usaha-usaha lokal untuk masuk dalam ranah global.22 Munculnya dikotomi besar homogenisasi yang diwakiliki oleh aktor global dan heterogenisasi yang diwakili oleh aktor lokal memunculkan kritikan dari Robertson melalui konsep Glokalisasi. Menurut Robertson, global terbentuk karena lokal, dan lokal eksis
19
Idi, S. I., & Bachruddin, A. A. (2014). Komunikasi dan Komodifikasi : Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hal.37. 20 Abdul, R. E. (2011). The Question of Culture, Identity, and Globalisation : An Unending Debate. Kajian Malaysia, Vol. 29, Supp. 1, 2011, 11–22. Penerbit Universiti Sains Malaysia. 21 Ibid. 22 David, H. (2003). Globalization and Cultural Identity. The Global Transformations Reader (2nd Edition) ISBN-13: 978-0745631356. Hal. 272.
9
karena adanya global sehingga perdebatan tersebut sebaiknya diminimalisir.23 Appadurai berpendapat bahwa global flow secara otomatis menghilangkan pusat, karena satu sama lain kini terhubung dan bisa saling bernegosiasi. Appadurai menyatakan bahwa globalisasi tidak bisa dipahami lagi dalam teminologi pusat dan periperi namun harus dipahami
melalui
keterkaitan
ekonomi,
budaya,
dan
politik.
Globalisasi harus dieksplorasi melalui keterhubungan lima dimensi dari aliran budaya global yang menciptakan percampuran yakni ethnoscape, mediascape, technoscape, financescapes, dan ideoscapes. Menurutnya, globalisasi budaya berbeda dengan homogenisasi. Meski demikian, glokalisasi menggunakan instrumen homogenisasi (seperti periklanan, gaya busana, ataupun hegemoni bahasa) yang diserapkan pada ekonomi, politik, dan budaya lokal untuk dikembalikan sebagai dialog yang beragam pada aras lokal.24 Istilah glokalisasi pertama kali dipopulerkan oleh Robertson dalam Global Modernity sebagai suatu konsep yang menekankan bagaimana proses-proses global dipengaruhi atau ditumbangkan oleh penerapan, tafsiran, dan adaptasi lokal. Jadi, ada tarik-tolak atau saling terpengaruh yang dinamis dan kompleks dari kekuatan-kekuatan global dan lokal. Ia menambahkan, globalisasi juga diserap oleh ekonomi politik dan budaya lokal dan kemudian ditampilkan kembali sebagai dialog yang heterogen, sehingga yang global serta yang lokal, selalu mendapati dirinya di medan ketegangan yang permanen dan dinamis.25 Menurut Chaubet (2015), perpaduan global dan lokal bukan sebagai polaritas-polaritas budaya namun sebagai prinsip yang satu
23
Wasisto R. J. (2013). Pengantar Kajian Globalisasi : Analisa Teori dan Dampaknya di dunia Ketiga. Jakarta: Mitra Wacana Media. Hal.122. 24 Arjun, A. (2005). Modernity at Large : Cultural Dimensions of Globalization. London : University of Minnesota Press. 25 Idi, Op. Cit., hal.28-29.
10
sama lainnya saling terjalin secara mendalam, dengan yang lokal hanya sebagai dimensi yang dimasukkan ke dalam yang global. Dalam glokalisasi, situasi-situasi yang berbeda muncul baik yang global datang menolong yang lokal maupun yang global menyisip ke dalam yang lokal, atau yang lokal menjadi global, atau yang lokal membentur ke yang global namun tetap dipengaruhi oleh yang global itu. Contoh pertama, yang global menolong yang lokal. Fenomena pariwisata global Museum Guggenhim di Bilbao adalah salah satu contohnya. Pariwisata global membantu menghidupkan kembali secara ajaib kota industri tua yang mengalami kesulitan melakukan transisi ekonomi. Setiap tahun, 1 juta pengunjung datang ke ibukota negeri Basque Spanyol demi mengagumi sebuah gedung dan koleksinya. Ini adalah bentuk penyelamatan sejumlah tempat dan tradisi. Contoh kedua, saat yang global menyisip ke dalam yang lokal. Penggunaan Coca-cola oleh suku Indian dari Chamula Meksiko untuk memudahkan sendawa dalam mengusir roh-roh jahat. Selain itu, McDonald’s, menyesuaikan menu dan desain interiornya dengan situasi lokal. Contoh ketiga, yang lokal dapat juga mengglobal seperti beberapa tradisi kuliner berkespansi ke seluruh dunia (anggur Beaujolais, sushi, pizza, cognac, dan lainnya). Atau contoh tentang bahasa Inggris yang mampu mendunia dan menjadi bahasa internasional. Contoh keempat, yang global dapat membentur yang lokal seperti dominasi bahasa Inggris pada kehidupan masyarakat di berbagai dunia.26 Definisi glokalisasi sendiri menurut Ritzer adalah interpenetrasi global dan lokal, yang memberikan hasil unik dalam wilayah geografis yang berbeda. Yakni, kekuatan-kekuatan global (sering dikaitkan dengan kecenderungan menuju homogenisasi) yang bergerak cepat ke pemukiman
di
wilayah
geografis
tertentu.
Bukannya
saling
mengalahkan, global dan lokal saling merasuk, memberikan hasil yang unik di setiap lokasi. 26
Francois, C. (2015). Globalisasi Budaya. Yogyakarta: Jalasutra. Hal.101-106.
11
Penekanan pada glokalisasi memiliki berbagai implikasi untuk memikirkan globalisasi secara umum. Glokalisasi mengarah pada pandangan bahwa dunia sangat bervariasi dan berkembang semakin pluralistik dan unik di wilayah tertentu. Pandangan ini menyebabkan berkurangnya kekhawatiran terkait isu-isu homogenitas. Dalam konteks glokalisasi, individu dan kelompok-kelompok lokal memiliki
kekuatan
bermanuver
dalam
besar
untuk
beradaptasi,
dunia
yang
terglokalisasi.
berinovasi, Meski
dan
mereka
terpengaruh oleh proses globalisasi, individu-individu dan kelompokkelompok yang kuat ini tidak akan kewalahan dan ditundukkan oleh globalisasi karena mereka mampu mengglokalisasikan diri mereka. Menurut Ritzer, glokalisasi bergantung pada hubungan khusus antara kekuatan dan perlawanan di tempat-tempat tertentu terhadap ancaman-ancaman homogenitas. Ketika perlawanan lemah, kekuatan globalisasi dapat berhasil memaksakan diri. Namun bila mereka kuat, bentuk glokal secara unik akan muncul mengintegrasikan global dan lokal. 2. Glokalisasi dan Identitas Komponen utama struktur kekuasaan di dunia saat ini dapat dihubungkan dengan dua proses yakni globalisasi dan era informasi. Interaksi antara kedua fenomena ini telah mengubah kualitas komunikasi yang pada gilirannya, menciptakan identitas pribadi dan sosial yang baru.27 Identitas merupakan sebuah kualitas khas yang membedakan satu individu atau kelompok dengan yang lain yang seringkali ditampilkan melalui produk dan ekspresi budaya.28 Dalam konteks globalisasi, lokal dan global mengusung kecenderungan budaya yang sangat berlawanan arah dan kontradiktif. Di satu sisi, budaya lokal 27
Sedigheh, B. (2008). Media, Globalization of Culture, and Identity Crisis in Developing Countries. Intercultural Communication Studies XVII: 2 . Iran Islamic Azad University. 28 Abdul, R. E. (2011). The Question of Culture, Identity, and Globalisation : An Unending Debate. Kajian Malaysia, Vol. 29, Supp. 1, 2011, 11–22. Universiti Sains Malaysia.
12
mengandalkan diri pada nilai-nilai tradisi (yang tidak berubah, asli, abadi, langgeng, dan ahistoris). Sedangkan budaya kapitalisme global mengandalkan diri pada kemajuan (perubahan, diferensiasi, perbedaan, tren, kebaruan, penjelajahan, eksplorasi, hasrat).29 Di banyak negara berkembang, sering kita temukan ikon-ikon modernitas seperti pencakar langit, bahasa internasional, dan lainnya. Ikon ini merupakan sebuah ekspresi baru budaya identitas yang tidak tergantung pada batas tradisi budaya negara yang bersangkutan namun sebuah identitas baru untuk menyimbolkan bahwa negara tersebut telah sampai di negara pembangunan modern, untuk menandai kesuksesan mereka dalam kemakmuran material dan modenitas.30 Meski demikian, tidak berarti bahwa telah terjadi dominasi negaranegara maju dan kaya seperti Amerika (Amerikanisasi). Agen lokal juga memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan dominasi global, ataupun bernegosiasi. Mereka mengakomodasi, menegosisikan diri, dan beradaptasi dengan yang global sehingga menghasilkan budaya yang hybrid.31 Stuart Hall (1990) menjelaskan bahwa masalah identifikasi pada identitas budaya bersifat tidak tetap. Identitas adalah sesuatu yang tidak pernah berhenti pembentukannya, bukan hanya sesuatu yang “ada”, namun sesuatu yang terus “menjadi”. Hall menegaskan bahwa identitas bukan sesuatu yang kaku dengan karakteristik tetap yang tidak berubah dari zaman ke zaman. Identitas adalah sesuatu yang terus-menerus dibentuk dalam kerangka sejarah dan budaya, sesuatu yang diposisikan pada suatu tempat dan waktu, sesuai dengan konteks. Ia menyatakan : Cultural identity is not a fixed essence at all, lying unchanged outsidehistory and culture. It is not some universal and 29
Yasraf, A. P. (1998). Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Mizan. Abdul, R. E. (2011). The Question of Culture, Identity, and Globalisation : An Unending Debate. Kajian Malaysia, Vol. 29, Supp. 1, 2011, 11–22. Universiti Sains Malaysia. 31 Abdul, R. E. (2011). The Question of Culture, Identity, and Globalisation : An Unending Debate. Kajian Malaysia, Vol. 29, Supp. 1, 2011, 11–22. Universiti Sains Malaysia. 30
13
transcendental spirit inside us on which history has made no fundamental mark..it has histories – and histories have their real, material and symbolic effects (p. 53).32 Pada suatu ketika seseorang bisa saja menggunakan suatu identitas tertentu, tetapi di saat yang lain ia akan menunjukkan identitas yang berbeda pula. Identitas adalah sesuatu yang hybrid, ia sangat licin dan rentan manipulasi. Identitas sangatlah pelik dan tidak konsisten, ketika lingkungan sosial politik mengalami perubahan, maka identitas turut pula mengalami perubahan.33 Pada dasarnya setiap individu berusaha menyandang identitas yang positif. Hal tersebut diciptakan dalam rangka memperoleh persamaan identitas soisal (social equality) dan pengakuan (recognition) dari pihak lain. Bahkan menurut Laker, dalam keadaan tertentu, individu atau kelompok yang merasa identitasnya kurang berharga akan melakukan misidentification yakni upaya mengidentifikasi diri berdasarkan identitas kelompok lain yang dipandang lebih baik.34 3. Glokalisasi, Identitas, dan Kepentingan Ekonomi Glokalisasi dan identitas tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi atau pasar. Kapitalisme global memoles dunia sebagai panggung dan tempat segala yang ada menjadi tak lebih dari komoditas. Terjadi eksploitasi dan komodifikasi segala sumber daya dan konsumsi produk-produknya. Produser budaya dan gaya hidup berhasil menjadi penentu selera bagi gaya hidup anak muda, pencipta mitos, dan menjadi "pabrik mimpi" (meminjam istilah Ibrahim). Globalisasi untuk saat ini berhasil diserap oleh ekonomi politik dan budaya lokal untuk kemudian ditampilkan kembali sebagai dialog yang heterogen.35
32
Stuart, H. (1990). Cultural Identity and Diaspora. London: Harvester Wheatsheaf. Hal.53. Kinasih. (2006). Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Hal.5. 34 Ibid., Hal.8. 35 Idi, Op. Cit., hal. 44-45. 33
14
4. Kafe / Restoran sebagai Medium Identitas Kafe / restoran merupakan medium identitas. Dengan mengatakan medium adalah pesan, McLuhan (2001) menggaris bawahi bahwa kita cenderung memberikan perhatian pada konten dan mengacuhkan medium yang memainkan peran yang signifikan dan memainkan peran yang besar. Pemikiran McLuhan adalah kritik bagi model komunikasi Shanon Weafer mengasumsikan bahwa pesan terbebas dari media, dan tidak terpengaruhi media. Medium sebagai pesan berarti bahwa jika kita benar-benar ingin memahami apa yang terjadi, dan jika kita benarbenar ingin mendapatkan pesan, kita perlu untuk mempelajari medium dan bukan mendalami konten. Sebab, konten seringkali menimbulkan kebingungan atau kekaburan. Pesan dalam logika ini, merujuk pada signifikansi daripada informasi. Medium sebagai pesan juga berarti bahwa medium adalah sebuah konten itu sendiri. Ia mencontohkan, medium dari tulisan cetak, manuskrip adalah konten atau isi itu sendiri. Tulisan sebagai medium berarti representasi kata-kata wicara dalam bentuk visual dan kemudian berbicara sebagai konten atau isi itu sendiri. Contohnya bahasa, dan menyusun pesan melalui pemilihan dan mengkombinasikan elemen dari medium, mengikuti aturan aturan dan grammar. "The medium is the message. This is merely to say that the personal and social consequences of any medium – that is, of any extension of ourselves – result from the new scale that is introduced into our affairs by each extension of ourselves, or by any new technology" (p. 7).36 Melalui cara pandang kafe sebagai medium identitas, menjadi penting untuk menentukan komponen identitas kafe / restoran. Dalam menentukan komponen identitas pada kafe / restoran, peneliti meminjam konsep identitas perusahaan. Menurut Van Reil (1995), identitas perusahaan atau yang sering disebut sebagai corporate identity sendiri merupakan keseluruhan arti visual dan non visual yang 36
Marshall, M. (2001). Understanding Media. London : Routledge. Hal.7.
15
digunakan oleh suatu perusahaan untuk menunjukkan dirinya kepada seluruh kelompok sasaran. Menurutnya, terdapat empat elemen penting yang dapat digunakan sebagai ukuran dalam upaya untuk memperkenalkan diri yaitu behavior (perilaku), communication (komunikasi),
symbolism
(simbolisme),
dan
personality
(kepribadian).37 Dalam pembicaraan tentang identitas perusahaan, identitas visual seringkali memainkan peran yang cukup penting. Van den Bosch, De Jong dan Elving (2005) menyatakankan bahwa identitas visual perusahaan (corporate visual identity) memainkan peran yang cukup penting dalam pembentukan identitas dan reputasi perusahaan.38 Lebih rinci, Rustan (2009)39 dan Argenti (2010)40 menyatakan bahwa identitas sebuah perusahaan seringkali termanifestasikan melalui visualisasi nama perusahaan, logo, motto (tagline), produk, layanan, bangunan, alat-alat tulis, seragam, signage, dan barang-barang bukti nyata yang diciptakan oleh organisasi atau perusahaan tersebut dan dikomunikasikan kepada beragam konstituen atau sasaran. Merujuk pada konsep identitas visual perusahaan di atas, setidaknya terdapat lima komponen identitas visual pada kafe / restoran yang dapat digunakan sebagai pintu masuk dalam memahami identitas suatu kafe / restoran yakni nama kafe, tampilan menu, cara pelayanan, arsitektur bangunan, dan media promosi. a. Nama Kafe / Restoran Dalam lingkup bisnis kafe / restoran, nama digunakan sebagai atribut identitas perusahaan yang digunakan untuk membentuk image atau kesan di mata publik. Biasanya, nama
37
Van, R. (1995). Principles of Corporate Communication. London: Prentice Hall. Hal.30-33. Annette L. M. V. D. B., Menno D. T. D. J., Wim J.L. E. How Corporate Visual Identity Supports Reputation. Corporate Communications: An International Journal Vol. 10 No. 2, 2005 pp. 108-116. Emerald Group Publishing Limited. 39 Surianto, R. (2009). Mendesain Logo. Jakarta: PT. Gramedia. Hal.54. 40 Paul, A. A. (2010). Komunikasi Korporat (Corporate Communication). Jakarta: Salemba Humanika. Hal.78. 38
16
disertai dengan atribut identitas lain. Atribut identitas tersebut meliputi pertama, logo. Logo berfungsi sebagai elemen utama identitas visual. Logo memvisualkan konsep ataupun kesan yang ingin dikomunikasikan, termasuk konstruksi bentuk dan hubungan dengan elemen lainnya. Logo merupakan atribut utama secara fisik yang biasanya digunakan untuk memperlihatkan citra dari perusahaan seperti visi & misi, corporate value, corporate culture, dan lain-lain. Kedua, warna. Warna biasanya digunakan untuk menampilkan identitas visual. Terdapat dua macam warna pada identitas visual, yaitu warna pada logo dan warna untuk corporate color. Ada kalanya corporate color yang digunakan dalam aplikasiaplikasi desain warnanya sama dengan yang terdapat pada logo, namun ada pula yang memperluas area pemilihan warnanya. Ketiga, tipografi. Jenis huruf yang digunakan, serta alternatif huruf dalam berbagai media. Sama halnya dengan warna, tipografi memiliki dua macam jenis dalam penerapannya, yaitu tipografi yang digunakan dalam logo (letter marks) serta tipografi yang digunakan dalam media-media aplikasi logo (corporate typeface). Masing-masing jenis huruf mewakilkan citra suatu perusahaan. Keempat, elemen gambar. Dapat berupa fotografi, ilustrasi maupun elemen-elemen visual lainnya yang dapat mendukung terciptanya satu kesatuan brand. Elemen gambar merupakan bagian dari identitas visual yang berfungsi memberikan informasi tambahan.41 Kelima, bahan material yang digunakan juga menjadi aspek penting dalam menampilkan identitas kafe / restoran. b. Tampilan Menu Merujuk pada pengertian identitas perusahaan menurut Van Reil (1995) bahwa identitas perusahaan meliputi keseluruhan arti visual dan non visual yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk 41
Laura C. L., & Monica. (2013). Peranan Komunikasi Visual Bagi Identitas Perusahaan. Jurnal Humaniora Vol.4 No.1 April 2013: 528-538
17
menunjukkan dirinya kepada seluruh kelompok sasaran42, maka tampilan menu pada kafe / restoran menjadi bagian di dalamnya. Menu pada bisnis kuliner khusunya kafe / restoran menampilkan arti visual kepada pelanggan mereka melalui tulisan, elemen gambar, dan bahan material penyusun tampilan menu. Menu biasanya berisi nama, deskripsi, gambar, serta harga makanan dan minuman yang ditawarkan pada pelanggan. c. Cara Pelayanan Van Riel (1995) menyatakan bahwa karakteristik dari sebuah perusahaan dapat dilihat salah satunya dari kemampuan perusahaan dalam berkomunikasi dan bertingkah laku. Setidaknya terdapat dua hal penting terkait kemampuan kafe / restoran dalam berkomunikasi dan bertingkah laku yakni melalui komunikasi verbal dan non verbal yang digunakan oleh pelayan kafe /restoran. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan melalui tutur kata dan gaya bahasa. Sedangkan komunikasi non verbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata sehingga dapat memberikan arti pada komunikasi verbal. Komunikasi non verbal dapat berupa komunikasi bahasa tubuh yang melibatkan bagianbagian dari tubuh berupa isyarat tangan, gerakan kepala, postur tubuh dan posisi kaki, ekspresi wajah dan tatapan muka. Selain aspek komunikasi verbal dan non verbal, pakaian juga menjadi salah satu elemen penting terkait identitas perusahaan yang digunakan sebagai upaya memperkenalkan diri melalui symbolism. Symbolism melambangkan sifat-sifat implisit dari hal-hal yang diwakili oleh perusahaan, salah satunya melalui pakaian seragam perusahaan.43 Pakaian mampu memberikan komunikasi yang lebih terselubung dari benda dan komoditas lain, lebih dikarenakan hubungan yang sangat intim dengan tubuh. Pakaian selalu 42 43
Van, R., Loc. Cit. Van, R., Loc. Cit.
18
memiliki makna yang tak perlu selalu diungkapkan dengan bahasa verbal.44 d. Arsitektur Bangunan Van Riel (1995) menyatakan bahwa karakteristik dari sebuah perusahaan dapat dilihat salah satunya dari gedung / arsitektur
bangunan.
Arsitektur
merupakan
medium
yang
digunakan sebagai aktualisasi identitas melalui bentuk dan ukuran atap, pintu, jendela, dinding, warna cat, dan bahan yang digunakan sebagai bangunan.45 Cara ruang digunakan dalam interaksi berkaitan erat dengan masalah budaya. Ini menguatkan asumsi bahwa bentuk arsitektur diciptakan oleh pikiran manusia dengan media ruang dan budaya. Perancang menciptakan imaji-imaji dan model bagi pemikiran dan komunikasi sebaik-baiknya agar dapat ditangkap dan dipancarkan sehingga pada akhirnya konsep arsitektur bisa dimengerti dan diterima sebagai realitas.46 e. Media Promosi Van Riel (1995) menyatakan bahwa identitas perusahaan merupakan keseluruhan arti visual dan non visual yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk menunjukkan dirinya kepada seluruh kelompok sasaran.47 Media promosi merupakan salah satu medium komunikasi promosi melalui tanda dan simbol dalam rangka menarik minat beli masyarakat. Media promosi bisa berwujud visualisasi gambar (leaflet / brosur, sticker), suara (iklan audio di radio), audio visual (televisi, media internet), atau strategi promosi kreatif lainnya.
44
Trisna A. A. (2012). Thesis. Perempuan dan Nasionalisme dalam kontestasi global/lokal media cetak populer Indonesia : Studi Kasus Majalah CLARA. Universitas Indonesia. Hal.17-18. 45 Van, R., Loc Cit. 46 Ibnu, H. (2005). Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi. Thesis. Vol IV/no.1 Januari-April 2005. Universitas Indonesia. 47 Van, R., Loc Cit.
19
F. Kerangka Konsep 1. Glokalisasi Menurut Chaubet (2015), dalam glokalisasi, situasi-situasi yang berbeda muncul baik yang global datang menolong yang lokal maupun yang global menyisip ke dalam yang lokal, atau yang lokal menjadi global, atau yang lokal membentur ke yang global namun tetap dipengaruhi oleh yang global itu.48 2. Identitas Kafe / Restoran Kafe / restoran memiliki beberapa elemen visual yang digunakan sebagai medium ekspresi identitas antara lain. a. Nama Kafe / Restoran Nama kafe / restoran adalah ciri atau karakter yang diaplikasikan melalui bentuk penggunaan istilah atau konsep tertentu dalam tulisan, visualisasi gambar, visualisasi grafis, warna, ataupun jenis bahan material pembentuknya. b. Menu yang Ditampilkan Tampilan menu adalah tampilan daftar makanan dan minuman berupa tulisan, gambar, ikon, grafis, warna tertentu yang ditampilkan menggunakan bahan kertas, papan material, buku, atau bahan lainnya yang berisi informasi pada tentang makanan dan minuman yang dapat dipesan pembeli untuk dinikmati. c. Cara pelayanan Cara pelayanan adalah cara kafe / restoran melayani pembeli seperti cara berkomunikasi (baik verbal / wicara dan non-verbal / gestur tubuh) hingga tata cara dan pakaian yang dikenakan. d. Arsitektur Arsitektur adalah bagian bangunan yang berupa atap, pintu, jendela, dinding, warna cat, dan bahan yang digunakan sebagai bangunan.
48
Francois, C., Loc. Cit.
20
e. Media promosi Media promosi adalah saluran yang digunakan untuk menawarkan barang atau jasa kepada calon konsumen melalui visualisasi gambar (leaflet atau brosur), suara (iklan radio), audio visual (televisi), dan media kreatif lain. 3. Kafe / Restoran Lokal Kafe / restoran adalah usaha bisnis yang menyediakan tempat untuk menyantap sajian makanan dan minuman. Biasanya, kafe / restoran menawarkan tempat yang didesain mengunakan konsep tertentu. Pangsa pasar mereka adalah masyarakat kalangan menengah atas. Kafe / restoran lokal diartikan sebagai kafe yang dimiliki oleh masyarakat lokal (Solo). 4. Kafe / Restoran Global (franchise) Kafe / restoran adalah usaha bisnis yang menyediakan tempat untuk menyantap sajian makanan dan minuman. Biasanya, kafe / restoran menawarkan tempat yang didesain mengunakan konsep tertentu. Pangsa pasar mereka adalah masyarakat kalangan menengah atas. Kafe / restoran global diartikan sebagai kafe yang dimiliki oleh perusahaan jaringan transnasional (frenchise). G. Metodologi Penelitian Guna menjawab pertanyaan penelitian, tentu dibutuhkan rancangan penelitian. Adapun rincian metodologi penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah, dan dengan memanfaatkan berbagai metode
21
ilmiah.49 Kepekaan peneliti dibutuhkan agar mampu mengungkap gejala sosial dengan mengerahkan segenap fungsi inderanya. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Studi kasus merupakan sebuah strategi penelitian di mana peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau kelompok individu yang bersifat unik. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.50 Menurut Robert K.Yin (2014), “studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang: menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana; batasbatas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tagas; dan di mana: multi sumber bukti dimanfaatkan. Ia menambahkan, studi kasus itu lebih banyak berkutat pada atau berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan “how’ (bagaimana) dan “why” (mengapa), serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan “what” (apa/apakah), dalam kegiatan penelitian" (p. 18). 51 Stake (1994) mengemukakan bahwa studi kasus bersifat spesifik. Oleh karenanya, penelitian kasus memiliki keunggulan, yakni kedalaman analisis.52 Studi kasus dalam ranah metodologi, dikenal sebagai suatu studi yang diarahkan untuk menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer atau kekinian.53 Dalam penelitian ini, metode studi kasus dapat mengantarkan peneliti untuk melakukan pengamatan langsung terkait gejala glokalisasi pada identitas kafe / restoran lokal dan global dalam kurung 49
Lexy J. M. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal. 6. 50 John, W. C. (2010). Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 20. 51 Robert, K. Y. (2014). Studi Kasus : Desain & Metode. Jakarta: Rajawali Pers. 52 Robert, E. S. (1994). Case Studies dalam Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. (1994). Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publication. 53 Burhan, B. (2010). Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 20.
22
waktu tiga tahun terakhir di kota Solo. Amatan langsung yang dapat peneliti lakukan meliputi nama kafe, tampilan menu, cara pelayanan, arsitektur bangunan, dan media promosi kafe / restoran. Selain melalui amatan langsung, studi kasus juga dapat mengantarkan peneliti untuk menggali informasi pada aktor-aktor sosial yang terlibat dalam pengekspresian identitas pada kafe / restoran (global atau franchise dan lokal). Tipe studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah multiple-case. Multiple- case adalah penelitian yang dilakukan pada beberapa kasus untuk mengetahui pertentangan diantara kasus-kasus tersebut
berdasarkan
teori
yang
ada.
Studi
multiple-case
memungkinkan peneliti untuk menjelajahi perbedaan diantara kasuskasus guna memprediksi hasil yang serupa diantara kasus-kasus, atau memprediksi hasil yang bertentangan berdasarkan teori.54 Penelitian ini ingin membandingkan gejala glokalisasi pada identitas dua jenis kafe / restoran yakni kafe / restoran lokal dan global. 3. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini dibagi dalam dua kategori yakni kafe / restoran global (franchise) dan lokal di kota Solo. Tujuannya adalah untuk menggali perbedaan tentang gejala glokalisasi yang terjadi pada ranah identitas antara kafe / restoran yang dimiliki oleh jaringan global dengan kafe / restoran yang dimiliki oleh pengusaha lokal. Peneliti memilih dua kafe lokal yakni kafe Mom Milk dan kafe Wedangan Omah Lawas. Kafe Mom Milk dipilih karena ekspresi identitas yang ditampilkan lebih dominan menggunakan identitas global daripada lokal. Sedangkan kafe Wedangan Omah Lawas dipilih karena kafe ini lebih dominan menggunakan identitas lokal daripada global. Pemilihan dua karakter kafe lokal yang berbeda bertujuan untuk menghasilkan temuan penelitian yang lebih beragam. Kedua 54
Robert., Loc. Cit.
23
kafe lokal ini termasuk kafe yang cukup sukses dan berhasil menarik minat kunjungan masyarakat. Peneliti memilih dua restoran global (franchise) yakni McDonald's, dan KFC. McDonald's dipilih karena menjadi restoran cepat saji terbesar di dunia dengan burger sebagai menu utamanya. Restoran KFC dipilih karena karakteristiknya yang berbeda dengan McDonald's. Meski tidak sebesar McDonald's, KFC berhasil mengungguli pesaing mereka yang menjual ayam goreng sebagai menu utamanya. Pemilihan karakter restoran yang berbeda bertujuan untuk memberikan hasil temuan yang lebih beragam. 4. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di empat lokasi berbeda yakni : a. Kafe Mom Milk di Jalan Adi Sucipto No.4 Manahan Surakarta. b. Kafe Wedangan Omah Lawas di Jalan Dokter Soepomo No.55 Surakarta. c. Restoran cepat saji KFC (Kentucky Fried Chicken) yang beralamat di Jalan Brigjen Slamet Riyadi nomer 273 Surakarta. d. Restoran cepat saji McDonald’s Jalan Brigjen Slamet Riyadi nomer 114 Surakarta. 5. Teknik Pengumpulan Data Thesis ini sebagian besar mengamati identitas kafe hanya pada aspek visual. Alasannya pertama, identitas visual merupakan salah satu daya tarik utama kafe / restoran dalam menarik minat beli konsumen mereka. Ekspresi visual adalah aspek yang pertama kali ditangkap oleh khalayak dalam menafsirkan identitas suatu kafe / restoran. Kedua, aspek visual seringkali menjadi sasaran kreatif pemilik kafe / restoran dalam bersaing dengan kompetitor lainnya. Hal inilah yang banyak peneliti temukan pada kafe / restoran dalam kurun waktu tiga tahun terakhir di kota Solo. Ketiga, penelitian Van den Bosch, De Jong dan Elving (2005) menyimpulkan bahwa identitas
24
visual perusahaan (corporate visual identity) memainkan peran pendukung yang cukup penting dalam reputasi perusahaan.55 Merujuk pada pendapat Yin, bukti atau data untuk keperluan studi kasus berasal dari enam sumber yakni dokumen, rekaman arsip, wawancara,
pengamatan
langsung,
observasi
partisipan,
dan
perangkat-perangkat fisik. Dari keenam sumber data tersebut, peneliti akan menggunakan sumber bukti observasi langsung dan wawancara. Sedangkan untuk teknik pengumpulan data melalui dokumen, rekaman arsip, observasi partisipan, dan perangkat-perangkat fisik tidak terlalu relevan dalam penelitian ini. Pertama, observasi langsung. Dengan membuat kunjungan langsung di lapangan terhadap situs studi kasus, peneliti menciptakan kesempatan untuk mengobservasi secara langsung terkait gejala glokalisasi pada identitas kafe / restoran. Dalam proses pengumpulan data terkait identitas kafe / restoran, peneliti meminjam konsep identitas visual perusahaan yakni melalui lima aspek : nama, menu, cara pelayanan, arsitektur bangunan, dan media promosi kafe / restoran. Berikut adalah penjabaran dari teknis pengumpulan data melalui observasi. a. Data terkait nama kafe. Observasi terkait nama kafe akan dilakukan dengan melihat secara langsung tampilan visual pada papan nama kafe / restoran yang meliputi teks atau tulisan nama kafe, bahasa yang digunakan, font atau gaya huruf, warna yang digunakan, gambar yang menyertai, logo, dan bahan material yang digunakan sebagai medium tampilan nama kafe / restoran. b. Data terkait menu yang ditampilkan. Observasi pada tampilan menu dilakukan dengan mengamati secara langsung tampilan visual menu makanan dan minuman meliputi nama makanan 55
Annette L. M. V. D. B., Menno D. T. D. J., Wim J.L. E. How Corporate Visual Identity Supports Reputation. Corporate Communications: An International Journal Vol. 10 No. 2, 2005 pp. 108-116. Emerald Group Publishing Limited.
25
dan minuman, tulisan keterangan harga, bahasa yang digunakan, font yang digunakan, foto makanan dan minuman, desain grafis yang menyertai, warna yang digunakan, dan bahan material yang digunakan sebagai medium tampilan menu. c. Data terkait cara pelayanan. Observasi pada cara pelayanan kafe / restoran dilakukan dengan mengamati secara langsung cara berkomunikasi pelayan dengan pelanggan, gaya bahasa yang digunakan, pakaian yang dikenakan, dan gestur tubuh yang ditunjukkan pada pelanggan. d. Data terkait arsitektur bangunan. Observasi pada arsitektur bangunan kafe dilakukan dengan mengamati secara langsung tampilan bentuk dan material pembentuk pintu, jendela, atap, tiang, ornamen yang digunakan, dan warna cat yang digunakan. e. Data terkait media promosi. Observasi pada media promosi kafe / restoran dilakukan dengan cara mengamati secara langsung tulisan, bahasa yang digunakan, gambar, desain grafis, warna, yang digunakan dalam media promosi kafe / restoran. Kedua, wawancara. Wawancara dilakukan dengan mengajukan tanya jawab dengan pemilik atau pihak-pihak yang terkait dengan persoalan glokalisasi pada identitas kafe / restoran di kota Solo. Pertanyaan yang diajukan, seputar ekspresi visual identitas kafe / restoran yakni meliputi lima point yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian observasi. Merujuk pada pendapat Yin, wawancara yang digunakan dalam studi kasus ini adalah wawancara studi kasus bertipe open-ended dimana peneliti dapat bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa di samping opini mereka tentang peristiwa yang ada. Pada beberapa situasi, peneliti juga akan meminta responden untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai
26
dasar penelitian selanjutnya. Peneliti juga akan menggunakan wawancara terfokus dimana responden akan diwawancarai dalam waktu yang pendek. Tujuannya, agar responden memberikan komentar yang segar. Namun wawancara ini hanya digunakan untuk sekedar mendukung fakta-fakta tertentu yang menurut peneliti diperlukan. Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data studi kasus. Pertama, penggunaan berbagai sumber bukti yakni bukti dari dua atau lebih sumber, tetapi menyatu dengan serangkaian fakta atau temuan yang sama. Kedua, penggunaan data dasar yakni kumpulan formal bukti yang berlainan dari laporan akhir studi kasus yang bersangkutan. Ketiga, penggunaan serangkaian bukti yakni keterkaitan yang eksplisit antara pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, data yang terkumpul, dan konklusi-konklusi yang ditarik. Untuk itu, penelitian ini akan menggunakan tiga prinsip pengumpulan data. Harapan peneliti, ketiga prinsip ini akan membantu menghadapi penyusunan validitas konstruk dan reliabilitas studi kasus. a. Penggunaan multisumber bukti Penggunaan
multisumber
bukti
ditujukan
untuk
pengembangan kesatuan ikuiri, suatu proses triangulasi karena temuan atau konklusi apapun dalam studi kasus akan lebih meyakinkan jika didasarkan pada beberapa sumber informasi yang
berlainan,
mengikuti
bentuk
pendukungnya.
Multisumberbukti secara esensial memberikan multi ukuran dari fenomena yang sama. b. Menciptakan data dasar Studi Kasus Tujuan dari penyajian data dasar supaya peneliti lain dapat meninjau kembali bukti tersebut secara langsung, tidak terbatas pada laporan-laporan tertulis yang ada. Data dasar ini diharapkan akan meningkatkan reliabilitas keseluruhan studi kasus. Data dasar dapat berupa catatan jawaban responden atas pertanyaan penelitian.
27
c. Memelihara rangkaian bukti Prinsip ini dimaksudkan untuk memungkinkan pengamat atau pembaca studi kasus mengikuti asal muasal bukti sejak dari pertanyaan awal penelitian hingga konklusi akhir studi kasus yang bersangkutan. 6. Teknik Analisis Data Analisis data dalam studi kasus jarang didefinisikan secara tegas dan kongkret. Namun, merujuk pada gagasan Creswell tentang teknik menganalisis dalam penelitian kualitatif maka teknik analisis data dalam penulisan penelitian ini akan melalui tiga tahap yakni 1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Langkah ini melibatkan transkip wawancara, men-scanning materi, mengetik data lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenis yang berbeda tergantung pada sumber informasinya. 2. Membaca
keseluruhan
data.
Langkah
pertama
adalah
membangun general sense atas informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya secara keseluruhan. Gagasan umum apa yang terkandung dalam gagasan partisipan? Bagaimana nada gagasan-gagasan tersebut? Pada tahap ini, para peneliti kualitatif terkadang menulis catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum tentang data yang diperoleh. 3. Menganalisis lebih detail dengan meng-coding data. Coding merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya.56
56
John, Op. Cit., hal. 274-276.
28