BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan tertinggi negara. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Tersirat di dalam amanat Sila ke-empat Pancasila dan juga di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Artinya, berlakunya konstitusi Negara Indonesia bersumber dari rakyat. Kelembagaan dan pengorganisasian negara merupakan cerminan dari kepentingan rakyat sebagai sumber kedaulatan. Negara demokrasi seperti Indonesia selalu mengikutsertakan partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memberikan perlindungan dan jaminan hukum. Perlindungan dan jaminan hukum tersebut merupakan supporting system agar proses berjalannya negara kesatuan dapat berjalan dengan baik dalam menjalankan tata pemerintahan dan bernegara (Sayfudin, 2013: 62). Pelaksanaan kedaulatan rakyat harus diimbangi dengan hukum sebagai aturan main yang disepakati rakyat melalui wakil-wakilnya, terutama melalui konstitusi. Indonesia juga merupakan negara hukum, maka hukum dirumuskan untuk mengatur dan melindungi kepentingan-kepentingan rakyat agar tidak terjadi benturan serta untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Hukum merupakan suatu kaidah sosial, yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur masyarakat. Namun fungsinya tidak hanya untuk mengatur masyarakat saja melainkan mengaturnya dengan patut dan bermanfaat (Dewantara, 1998: 10). Artinya hukum bukan suatu karya seni yang adanya hanya untuk dinikmati oleh orang-orang yang menikmati saja, bukan pula suatu kebudayaan yang hanya ada untuk bahan pengkajian secara sosial-rasional tetapi hukum diciptakan untuk dilaksanakan, sehingga hukum itu sendiri tidak menjadi mati karena mati kefungsiannya.
1
2
Hans Kelsen, seorang pakar ilmu hukum mengungkapkan bahwa hukum adalah sistem norma yang dinamik (Maria Farida. 2007: 23). Oleh karena itu, hukum harus selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuk dan atau menghapusnya. Artinya bahwa hukum itu dikatakan sah apabila dibuat oleh lembaga yang berwenang serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Hukum yang dibuat oleh lembaga negara (penguasa atau wakil-wakil rakyat) sudah jelas memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum yang dibentuk oleh masyarakat (Maria Farida. 2007: 43). Dewan Perwakilan Rakyat atau biasa disebut DPR adalah lembaga legislatif negara yang berwenang membentuk suatu peraturan perundangundangan khususnya undang-undang sesuai Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk merupakan cermin dari kebutuhan masyarakat akan suatu hukum sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bersama. Di dalam pembentukan suatu perundang-undangan yang pada dasarnya merupakan hukum publik, maka pembentukannya harus dilakukan secara hati-hati dan harus dapat memenuhi kehendak serta keinginan masyarakat. Namun, kenyataannya sering menunjukkan bahwa para wakil rakyat setelah terpilih tidak lagi menyuarakan kepentingan konstituennya, tetapi justru membentuk kelompok elit tersendiri atas nama golongan, kepentingan, maupun partai politik yang teralienasi dari rakyat yang diwakilinya (Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2014: 16). Pada hari Jum’at, 26 September 2014, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota melalui mekanisme voting.
Hasil voting menunjukkan sebanyak 226 anggota dewan
memilih Pilkada dengan sistem perwakilan melalui DPRD, diantaranya berasal dari Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi Gerindra, dan sebagian besar Fraksi Golkar. Sedangkan 135 orang anggota DPR yang terdiri dari Fraksi PDIP, sebagian kecil Fraksi Golkar, dan Fraksi PKB, Fraksi Demokrat, dan Fraksi Hanura memilih Pilkada langsung oleh rakyat. Jadi, total seluruh anggota DPR yang mengikuti voting sebanyak 361 orang dan memutuskan suara terbanyak yaitu Pilkada
3
melalui DPRD. (Herudin. 2014. “Hasil Voting: DPR Putuskan Pilkada Lewat DPRD”: http://www.tribunnews.com) Penyelenggaraan Pilkada di Indonesia telah memasuki fase baru dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pemilihan Kepala Daerah tidak lagi dipilih rakyat seperti yang sudah berjalan selama satu dasawarsa terakhir, melainkan dipilih melalui proses pemilihan di DPRD oleh anggota-anggota Dewan di daerah. Tidak hanya mengubah sistem pemilihan Kepala Daerah namun Undang-Undang tersebut juga mengubah cara berdemokrasi bangsa Indonesia, terutama dalam menentukan pemimpin daerah. Keputusan untuk mengubah sistem Pilkada ini pada akhirnya mendapat kritik keras dari masyarakat. Pilkada secara tidak langsung dianggap menciderai hak konstitusional masyarakat, khususnya hak pilih, hak berpartisipasi dalam pemerintahan, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum serta pemerintahan. Sehingga tidak lama setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Pemerintah dalam hal ini Presidenmengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang pada pokoknya membatalkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota karena dianggap telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan dan kegentingan yang memaksa. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota pada tanggal 2 Februari 2015 telah ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diperbaharui dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 telah mengembalikan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah dari sistem perwakilan melalui anggota DPRD menjadi langsung oleh rakyat. Hal tersebut tentunya membawa angin segar bagi masyarakat yang sudah menantikan
4
kembalinya hak konstitusional mereka untuk dapat memilih, berpartisipasi dalam pemerintahan, dan memperoleh kedudukan yang sama di depan hukum serta pemerintahan. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung atau yang biasa disebut dengan Pilkada merupakan salah satu bentuk demokrasi yang tampil di hadapan masyarakat Indonesia sejak tahun 2005 yang lalu. Pilkada merupakan barometer penyelenggaraan demokrasi di tingkat daerah, yaitu dengan keterlibatan warganya. Keterlibatan warga dalam proses pemilihan kepala daerah sangat memberi efek kebermanfaatan bagi daerah. Hal tersebut berarti bahwa mereka yang dipilih merupakan representasi dari mereka yang memilih, sehingga daerah benar-benar memiliki pemimpin yang sesuai kehendak warga dan tentunya hal ini dapat menjamin kesejahteraan warga serta daerah. Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
merupakan dasar penyelenggaraan pemerintahan secara nasional, dalam hal ini juga termasuk pemerintahan daerah. Di dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Sebagai pelaksanaan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebelumnya telah terbit Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pemilihan kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau kota. Di dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 dinyatakan bahwa, ”Kepala daerah dipilih secara berpasangan dengan wakil kepala daerah yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasisa, jujur, dan adil”. Hal tersebut kemudian kembali dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
5
Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, yaitu pada Pasal 1 angka 1 yang berbunyi, “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.” Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015juncto UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015, Pilkada dikembalikan kepada masyarakat melalui mekanisme pemilihan langsung, bukan melalui DPRD seperti dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2014. Namun pengembalian mekanisme pemilihan langsung ini tidak serta merta menghapus polemik Pilkada begitu saja. Polemik baru kembali muncul pasca Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 disahkan. Pasalnya, di dalam Undang-Undang yang menjadi lex spesialis penyelenggaraan Pilkada ini tidak mengatur secara tegas mengenai sanksi pidana bagi para pelanggar Undang-Undang, khususnya mengenai suap politik dan/ atau money politic. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 hanya mengatur larangan mengenai money politic tanpa ada sanksi pidana yang tegas didalamnya. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, pelaku praktik money politic dalam Pilkada nantinya akan sulit untuk dipidanakan. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 hanya menyantumkan Pasal 73 dan Pasal 47 mengenai larangan praktik money politic. Sementara pasal mengenai sanksi pidana tidak dijelaskan secara tegas di dalamnya. Hanya saja di dalam Pasal 73 ayat (3) sanksi pidana yang berkaitan dengan money politic seperti dalam Pasal 73 ayat (1) dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya bahwa pelanggaran Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 akan dimasukkan ke dalam ranah tindak pidana umum dengan menjerat pelakunya ke dalam Pasal 149 KUHP dengan ancaman pidana penjara 9 (Sembilan) bulan. Ancaman pidana penjara maksimal 9 (Sembilan) bulan ini tidak hanya berlaku untuk sang pemberi, namun juga untuk sang penerima money politic.
6
Namun untuk dapat menjerat pelaku dengan Pasal 149 KUHP tentunya Bawaslu tidak bisa melakukannya dikarenakan hal tersebut merupakan ranah tindak pidana umum yang hanya bisa ditangani langsung oleh Polri. Begitupun penyidik Polri tidak dapat langsung begitu saja melakukan penyidikan terhadap pelaku meskipun hal tersebut merupakan tindak pidana umum. Meskipun jerat pidana yang diberlakukan untuk pelaku money politic mengacu pada Pasal 149 KUHP namun hukum acara pidana yang berlaku bukanlah yang tertulis pada KUHAP melainkan tetap menggunakan hukum acara pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 sebagai lex specialis. Penyidik Polri yang tergabung di dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) tidak dapat langsung menyidik tindak pidana pemilihan sebelum Bawaslu membuat dan meneruskan laporan ke penyidik Sentra Gakkumdu(2015. “Polri : Penyidikan Kasus
Pilkada
Tidak
Gunakan
KUHAP”.
Diakses
online
pada
http://waspada.co.id/pilkada/polri-penyidikan-kasus-pilkada-tidak-gunakankuhap/). Hal ini tentu saja akan memakan waktu yang lama untuk memprosesnya, baik dari proses pengkajian laporan dan temuan oleh Bawaslu terkait dugaan pelanggaran pemilihan yang termasuk ke dalam tindak pidana hingga pada proses membuat dan meneruskan laporan ke penyidik Polri serta proses penyidikan hingga putusan pengadilannya. Polemik mengenai money politic atau suap politik semakin terlihat jelas pasca Komisi II DPR bersama KPU menggelar rapat konsultasi pada Selasa, 21 April 2015 yang menyepakati calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah diperbolehkan memberi apapun kepada pemilih dengan syarat nilainya tidak melebihi Rp 50.000,- (2015. “Calon Kepala Daerah Dilegalkan Beri Uang Rp 50 Ribu ke Pemilih”. Diakses online pada http://m.jpnn.com/news.php?id=299527). Hal tersebut kemudian diatur di dalam Pasal 26 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota. Hal-hal yang dilegalkan KPU untuk diberikan tim kampanye kepada pemilih antara lain kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, dan/ atau stiker paling besar ukuran 10cm x 5cm yang mana
7
barang-barang tersebut jika dikonversikan dalam bentuk uang nilainya tidak boleh lebih dari Rp 25.000,00. Pasal 26 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 dengan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 sesungguhnya merupakan satu kesatuan sistematikal yang sempurna dan yang saling terkait satu sama lain. Namun kedua peraturan perundang-undangan tersebut justru menimbulkan kontradiksi baik di dalam pengaturan maupun di dalam pelaksanaannya. Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menyebutkan secara tegas bahwa: “Calon dan/ atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih”. Sedangkan pada Pasal 26 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 justru mengatur sebaliknya, meskipun memang sudah memperketat batasan pemberian materi lain berupa bahan kampanye kepada pemilih dalam standar konversi nilai mata uang Rp 25.000,00. Di satu sisi Undang-Undang secara tegas melarang money politic, namun disisi lain peraturan di bawahnya memberikan celah untuk memberi dalam bentuk “materi lain” kepada pemilih. Artinya bahwa, jika ada Pasangan Calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah dan/ atau tim Kampanye menciptakan dan/ atau membuat bahan kampanye yang selanjutnya diberikan kepada pemilih melewati standar konversi tersebut maka sudah menjadi perbuatan berkualifikasi money politic yang telah memenuhi unsur tindak pidana sebagai pemberian “materi lainnya” untuk mempengaruhi pemilih yang pada dasarnya telah dilarang dengan jeratan pidana dan sekaligus administratif. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 juga semakin menguatkan celah terjadinya tindak pidana pemilihan dengan lemahnya pengaturan pada Pasal 47. Di dalam Pasal 47 yang mengatur mengenai larangan bagi partai politik ataupun gabungan partai politik untuk menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota justru tidak mengatur mengenai subyek pemberi imbalan. Hal tersebut tentu
8
akanmenimbulkan masalah manakala pasangan calon yang justru memberikan imbalan kepada partai politik atau gabungan partai politik sebagai suatu bentuk mahar politik. Sementara di sisi lain Pasal 47 ayat (5) mengatur tentang sanksi “diskualifikasi” bagi pasangan calon yang diusung partai politik atau gabungan partai jika terbukti memberikan imbalan, meskipun tidak ada satupun ayat di dalam Pasal 47 yang mengatur mengenai subyek pemberi imbalan yang spesifik. Dengan banyaknya aturan-aturan yang kabur atau bersifat semu dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 khususnya terkait tindak pidana pemilihan maka dapat membuka celah bagi berbagai pihak untuk melakukan praktik-praktik curang pelaksanaan pilkada. Meskipun memang sulit dibuktikan, namun praktik politik uang atau money politic tidak pernah terlepas dari penyelenggaraan pemilu di Indonesia, baik itu Pemilihan Umum Presiden maupun Pilkada. Hal ini dipengaruhi juga dengan buruknya kualitas produk perundang-undangan terkait Pilkada sebagai payung hukumnya. Berbagai aturan hukum yang melarang praktik politik uang biasanya sangat umum, normatif, dan kabur sehingga memunculkan berbagai bentuk penafsiran (Leo Agustino. 2009: 132). Berbagai celah hukum yang ada juga memberikan peluang bagi pelaku untuk melncarkan praktik politik uang dan juga untuk menghindari jeratan hukumnya. Pilkada yang di dalam pelaksanaannya tidak mengutamakan prinsip demokrasi yang berkeadilan inilah yang akan menciderai makna demokrasi itu sendiri, karena hasil Pilkada yang demikian akan menyimpang dari tujuan awal penyelenggaraan pesta demokrasi di tingkat daerah. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan kajian mendalam terhadap tindak pidana pemilihan dan modus operandinya di dalam Pemilihan Kepala Daerah di waktu mendatang melalui penulisan hukum dengan judul :“FAKTORKRIMINOGEN TERJADINYA TINDAK PIDANA SUAP POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH”.
9
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah substansi hukum pengaturan tindak pidana suap politik di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015? 2. Bagaimanakah faktor kriminogen tindak pidana suap politik dalam Pemilihan Kepala Daerah? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan hal-hal yang hendak dicapai dalam sebuah penelitian. Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan perumusan masalah sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui aturan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang menjadi faktor kriminogen tindak pidana pemilihan pada Pilkada di waktu mendatang. b. Untuk mengetahui modus operandi tindak pidana pemilihan di dalam penggunaan aturan hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan penyusunan skripsi penulisan hukum, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Strata 1 (satu) dalam bidang ilmu hukum (Sarjana Hukum) di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, dan pemahaman peneliti di bidang Hukum Pidana dan Hukum Tata Negara khususnya terkait Tindak Pidana Pemilihan pada Pemilihan Kepala Daerah.
10
c. Untuk mengembangkan penalaran dan pola pikir yang kritis dan analitis dalam menerapkan
teori yang telah penulis dapatkan
selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Suatu
penelitian
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan ide-ide dan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya, dan pada bidang hukum pidana dan hukum tata negara pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, pedoman, atau landasan teori hukum terutama yang menyangkut masalah tindak pidana pemilihan dalam Pilkada. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian hukum yang sejenis berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum Pidana dan Hukum Tata Negara bagi setiap pihak yang terkait seperti civitas akademika Universitas Sebelas Maret Surakarta, pihak pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif, serta para praktisi hukum. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir kritis dan dinamis bagi peneliti dan setiap pembaca maupun pihak yang menggunakannya dalam penerapan ilmu hukum.
11
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan yang dapat digunakan dan memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terkait. E. Metode Penelitian Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran hipotesa atau ilmu pengetahuan yang dilakukan dengan metode ilmiah. Penelitian hukum pada dasarnya adalah suatu proses menemukan kebenaran koherensi, yaitu apakah aturan hukum sesuai norma hukum dan apakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 47). Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan memberikan pemecahan atas masalah tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 60). Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Jenis penelitian hukum normatif
atau dikenal sebagai penelitian hukum
doktrinal, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pada penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal ini penekanannya yaitu pada teori-teori hukum, bahan-bahan hukum library based, dan memiliki fokus pada kegiatan membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer
maupun sekunder
yang selanjutnya akan dikaji untuk
merumuskan hasil penelitian dalam hubungannya dengan masalah yang
12
diteliti. Penelitian hukum normatif berusaha memberikan penjelasan sistematis mengenai aturan yang mengatur kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara aturan yang mengatur kategori hukum tertentu, serta menganalisis hubungan-hubungan hukum, hambatanhambatan hukum dan memprediksi pembangunan masa depan (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 32). 2.
Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hkum mempelajari tentang tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, dan norma-norma hukum. Sedangkan sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuanketentuan, serta rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 41). Sifat penelitian ini pada dasarnya sejalan dengan sifat ilmu hukum, yaitu perspektif dan terapan. Penulis menyebut penelitian ini sebagai penelitian preskriptif karena penulis berusaha menjawab isu hukum yang ada berupa tidak terakomodasinya pengaturan mengenai tindak pidana pemilihan pada Pilkada di masa datang serta berusaha mengusulkan formulasi yang ideal mengenai das sollen terkait Pemilihan Kepala Daerah. Penelitian preskriptif sendiri berusaha menjawab isu-isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 35).
3.
Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan penelitian. Dengan pendekatan tersebut penulis akan mendapatkan informasi dan berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. Pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan
13
undang-undang (statute approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 133). Pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini antara lain: a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan
menelaah
berbagai peraturan perundang-
undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani atau dengan kata lain bahwa pendekatan perundang-undangan
adalah
pendekatan
yang
menggunakan
legislasi dan regulasi (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 137). Dalam penddekatan perundang-undangan ini peneliti tidak hanya melihat bentuk peraturan perundang-undangannya saja melainkan juga menelaah materi muatannya.
Pendekatan perundang-undangan
dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang mampu menampung permasalahan hukum yang ada. Pendekatan perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undangundang dengan Undang-Undang Dasar atau regulasi dan undangundang. b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah suatu isu hukum yang belum atau tidak ada aturanya dengan membangun suatu konsep untuk dijadikan acuan dalam penelitianya (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 177). Dalam pendekatan ini, penulis perlu merujuk pada prinsip-prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 178). Pendekatan konseptual
14
(conseptual approach) dipilih penulis sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam penelitian hukum ini karena belum adanya pengaturan yang jelas mengenai pelanggaran atau tindak pidana pemilihan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tenatang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sehingga penulis berusaha mengajukan formulasi yang ideal dengan bertumpu pada prinsipprinsip hukum. 4.
Sumber Penelitian Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181). Sumber bahan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini antara lain : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari : a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b) Peraturan dasar, dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c) Peraturan Perundang-undangan, yaitu : (a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. (d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor
Pemerintahan Daerah.
32
Tahun
2004
Tentang
15
(e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (f) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, (h) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. (i) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Dana Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota (j) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72-73/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (k) Putusan VI/2008
Mahkamah tentang
Konstitusi
Permohonan
Nomor
41/PHPU.D-
Keberatan
Terhadap
Penghitungan Suara Hasil Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur. (l) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
16
(m) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang
Kewenangan
Mahkamah
Konstitusi
Dalam
Penyelesaian Sengketa Pemilukada. (n) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang pedoman beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (o) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Pedoman Beracara Dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota (p) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PHP.BUPXIV/2016 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Wonosobo (q) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PHP.BUPXIV/2016 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pemalang (r) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PHP.BUPXIV/2016 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Situbondo (s) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PHP.BUPXIV/2016 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Manokwari Selatan (t) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PHP.BUPXIV/2016 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Minahasa Selatan (u) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 113/PHP.BUPXIV/2016 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Musi Rawas
17
(v) Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
5/PHP.BUP-
XIV/2016 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Tanah Bumbu (w) Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
7/PHP.BUP-
XIV/2016 dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lima Puluh Kota (x) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota (y) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari : (a) Buku-buku literatur terkait tindak pidana pemilu, pemilihan kepala daerah, demokrasi, dan pemerintahan daerah. (b) Pendapat ahli yang berkompeten dalam bidang tindak pidana pemilihan, Pilkada, dan pemerintahan daerah. (c) Tulisan yang berkaitan dengan tindak pidana pemilihan, Pilkada, dan pemerintahan daerah. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia. 5.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian hukum ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah studi dokumen atau studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah suatu proses pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum yang memuat teori-teori hukum dan
18
materi terkait obyek penelitian, dalam hal ini adalah Pilkada, tindak pidana
pemilihan,
dan
pemerintahan
daerah
dengan
cara
menganalisisnya. Proses ini dilakukan dengan mempelajari, membaca, mencatat materi peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan lain-lain, serta artikel-artikel dari internet yang membahas mengenai Pilkada, tindak pidana pemilihan, dan pemerintahan daerah. 6.
Tenik Analisis dan Pengolahan Bahan Hukum Tahap analisis dalam suatu penelitian hukum merupakan tahapan yang sangat penting, di mana dalam tahapan ini penulis melakukan pemilahan bahan-bahan hukum yang telah diperoleh. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah inventarisasi bahan-bahan hukum, baik primer, sekunder, maupun tersier terlebih dahulu, untuk kemudian dikelola secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum untuk menuju solusi konkret sebagai jawaban atas permasalahan yang sedang dihadapi. Selain itu penelitian ini juga menggunakan teknik analisis silogisme deduktif untuk menguraikan dan memecahkan permasalahan yang diteliti berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan. Tahapan analisisi ini berawal dari pengajuan premis mayor, penarikan premis minor dan kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 47).
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai isi penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum serta dapat mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini. Peneliti menjabarkan sistematika penulisan penelitian ini ke dalam empat bab yang saling berkaitan dan berhubungan, dimana setiap bab terbagi dalam sub bab yang bertujuan agar mempermudah integrasi dan klasifikasi materi penelitian. Adapun sistematika laporan penulisan hukum yang disusun penulis adalah sebagai berikut :
19
BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini dibahas landasan teori atau memberikan penjelasan secara terperinci dan teoritik berdasarkan leteraturliteratur yang berkaitan dengan Pilkada, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tindak pidana pemilihan, dan pemerintahan daerah. Tinjauan tersebut antara lain mengenai demokrasi pada umumnya, jenis dan model-model demokrasi, demokrasi di Indonesia, Pilkada pada umumnya, Pilkada di Indonesia, bentukbentuk pelanggaran pemilu, ilmu perundang-undangan, hukum pidana, kriminologi, faktor kriminogen, tindak pidana, dan tindak pidana pemilihan.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan Tinjauan Kriminologi Terjadinya Tindak Pidana Suap Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah, dalam pokok permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: 1. Substansi hukum pengaturan tindak pidana suap politik di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. 2. Modus operandi tindak pidana suap politik dalam pemilihan kepala daerah.
20
BAB IV
: PENUTUP Bagian ini merupakan akhir dari penulisan hukum yang berisi beberapa simpulan dan saran berdasarkan analisis dari data yang diperoleh
selama
penelitian
sebagai
jawaban
terhadap
permasalahan yang diteliti. Simpulan dan saran ini dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan dan bermanfaat bagi semua pihak.