1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Matematika berasal dari bahasa Yunani “mathein” atau “manthenein”, yang berarti “mempelajari”. Kebanyakan orang mengatakan bahwa matematika merupakan suatu pelajaran yang pasti atau sering disebut dengan ilmu pasti. Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari pada setiap jenjang pendidikan. Mata pelajaran ini diberikan dengan tujuan membantu siswa untuk berpikir logis, kritis, sistematis, analitis, dan kreatif. Matematika pada tingkat SD berguna untuk kepentingan hidup dan lingkungannya, untuk mengembangkan pola pikirnya, dan untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Dengan adanya mata pelajaran matematika diharapkan siswa dapat memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan matematis. Tujuan pembelajaran matematika menurut Aisyah, dkk (2007: 1.4), adalah: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3) Memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami
masalah, merancang pendekatan
matematika, menyelesaikan pendekatan, dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan tujuan pembelajaran di atas, pemecahan masalah memegang peranan penting dalam aspek kognitif dan menata nalar siswa. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hamalik (1995: 152), yang mengungkapkan bahwa proses pemecahan masalah memberikan kesempatan siswa berperan aktif dalam 1
2 mempelajari, mencari, dan menemukan sendiri informasi/data untuk diolah menjadi konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Pemecahan masalah melatih kemampuan siswa untuk berpikir logis, sistematis, dan kritis. Siswa akan mengorganisasikan kemampuannya dalam menyusun strategi yang sesuai untuk memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalah membutuhkan pemahaman dan penalaran siswa. Kemampuan pemecahan masalah dapat berkembang sejalan dengan latihan yang dikerjakan. Semakin sering siswa berlatih memecahkan masalah maka kemampuan pemecahan masalah yang dimilikinya juga akan meningkat. Inti dari pembelajaran matematika adalah pemecahan masalah, sehingga kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa adalah standar minimal tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang terefleksi pada pembelajaran matematika dengan kebiasaan berpikir dan bertindak memecahkan masalah. Salah satu materi Matematika yang ada di Sekolah Dasar (SD) kelas IV mengenai pemecahan masalah adalah materi soal cerita pecahan. Soal cerita yang menyajikan suatu masalah umumnya sulit untuk dipecahkan oleh siswa (Dyndal, 2009: 28). Pendapat tersebut diperkuat dengan pendapat Nafi’an (2011) yang menyatakan bahwa masalah yang sering
dirasakan sulit oleh siswa dalam
pembelajaran Matematika adalah menyelesaikan soal cerita. Maka untuk dapat memahami materi ini diperlukan banyak media, sarana dan model pembelajaran yang inovatif serta efektif dalam penggunaannya. Media, sarana, dan model pembelajaran ini dapat digunakan untuk menarik perhatian siswa agar dapat memahami materi dan pembelajaran dapat lebih bermakna. Selain itu, untuk dapat menyelesaikan soal cerita siswa harus menguasai hal-hal yang dipelajari sebelumnya (Raharjo, Ekawati, Rudianto, 2009: 2). Pemahaman terhadap hal-hal yang dipelajari sebelumnya akan membantu siswa memahami maksud yang terkandung dalam soal cerita. Jadi, siswa harus menguasai materi pecahan terlebih dahulu. Materi pecahan harus disampaikan dengan cara bertahap, dengan memanfaatkan benda-benda yang ada di lingkungan siswa sebagai pemberian contoh. Hal ini sejalan dengan pendapat Karso (2011: 7.4) yang mengungkapkan bahwa menerangkan konsep pecahan pada siswa SD
3 hendaknya diawali dengan menggunakan benda konkret, semi konkret, kemudian abstrak. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik siswa sekolah dasar (SD) yang belum bisa berpikir abstrak, sehingga masih membutuhkan bantuan dalam pemahamannya. Namun perlu diketahui bahwa proses pembelajaran saat ini masih menemui beberapa kendala, sehingga menghambat pemahaman dan kemampuan pemecahan masalah materi soal cerita pecahan. Berdasarkan hasil observasi awal pada tanggal 19 Februari 2016 mengenai kemampuan pemecahan masalah materi pecahan ditemukan beberapa fakta. Fakta yang ditemukan antara lain: 1) pembelajaran yang berlangsung selama ini kurang menarik karena guru tidak menggunakan model pembelajaran yang inovatif sehingga menyebabkan siswa tidak antusias dalam pembelajaran; 2) pembelajaran cenderung berpusat pada guru (Teacher Centered Learning) berupa ceramah, mencatat, dan penugasan sehingga membuat siswa bosan karena tidak terlibat utuh dalam pembelajaran; 3) siswa menyatakan bahwa mata pelajaran Matematika merupakan mata pelajaran yang cukup sulit dan membosankan, khususnya dalam materi pecahan; 4) kualitas pembelajaran dan hasil belajar materi pecahan yang dicapai oleh siswa kurang optimal. Hasil observasi tersebut didukung dengan adanya wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 22 Februari 2016 mengenai pelaksanaan pembelajaran matematika pada kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta. Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika masih jarang menggunakan model pembelajaran yang inovatif, sehingga siswa merasa jenuh dan bosan. Materi soal cerita pecahan disampaikan dengan metode ceramah, pemberian contoh soal, dan latihan soal kemudian pada akhir pembelajaran dikoreksi bersama. Banyak siswa yang terlihat kesulitan ketika mengerjakan soal yang sedikit berbeda dengan contoh soal yang diberikan. Media pembelajaran juga masih jarang digunakan dalam menjelaskan materi soal cerita pecahan karena tidak tersedianya media pembelajaran yang mendukung. Selain itu, partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dengan adanya beberapa siswa yang tidak mau mengerjakan, hanya menunggu jawaban temannya
4 untuk disalin. Kejadian seperti ini tentunya akan memberikan dampak pada kemampuan pemecahan masalah siswa, terutama pada materi soal cerita pecahan. Hal tersebut diperkuat dengan data yang diperoleh dari hasil pratindakan di kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta tahun ajaran 2015/2016 yang dilaksanakan tanggal 22 Februari 2016 mengenai pemecahan masalah soal cerita pecahan, yaitu dengan nilai rata-rata siswa sebesar 51 dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 65. Dari 31 siswa, sebanyak 21 siswa atau 67,74% masih memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sedangkan jumlah siswa yang lulus atau nilainya melebihi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 10 siswa atau 32,26%. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan pemecahan masalah materi soal cerita pecahan kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta tahun 2015/2016 masih rendah. Mengingat pentingnya kemampuan pemecahan masalah bagi siswa, maka dicarikan alternatif untuk meningkatkan pemecahan masalah. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta tahun ajaran 2015/2016, dipilihlah sebuah model pembelajaran, model pembelajaran tersebut adalah model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger. Model Treffinger merupakan salah satu model pembelajaran yang menangani masalah kreativitas secara langsung dan memberikan saran-saran praktis
bagaimana
mengimplementasikan
mencapai model
keterpaduan.
pembelajaran
Pembelajaran
Kooperatif
Tipe
dengan Treffinger
memberikan keleluasaan kepada siswa untuk memecahkan masalahnya dengan cara yang mereka kehendaki. Hal tersebut merujuk pada pendapat Sarson (2005: 23) yang mengungkapkan bahwa karakteristik yang paling dominan dari model pembelajaran
Kooperatif
Tipe
Treffinger
ini
adalah
upayanya
dalam
mengintegrasikan dimensi kognitif dan afektif siswa untuk mencari arah-arah penyelesaian yang akan ditempuhnya untuk memecahkan permasalahan secara bertahap. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Shoimin (2014: 219) yang mengutip simpulan Munandar bahwa tahapan dalam model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger meliputi: 1) basic tools; 2) practise with process; dan
5 3) working with real problems. Ketiga tahapan tersebut akan mendorong siswa untuk belajar kreatif mulai dari unsur-unsur dasar dan menanjak ke fungsi-fungsi berpikir yang lebih majemuk. Model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger dalam pembelajaran mengajak siswa untuk belajar dengan melihat permasalahan yang berada di dunia nyata siswa. Dengan begitu, siswa dapat mengembangkan pengetahuan yang mereka miliki untuk dapat menyelesaikan masalah yang mungkin ada di sekitar mereka yang berhubungan dengan matematis. Model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger ini sangat mendukung dalam meningkatkan kretivitas siswa. Dengan adanya kreativitas siswa yang tinggi maka kemampuan pemecahan masalah siswa akan meningkat, karena siswa akan dengan leluasa memilih cara alternatif untuk memecahkan masalah dengan menggunakan ide-ide kreatifnya sendiri. Hal ini didukung oleh kesimpulan Rohaeti,dkk (2013) dalam jurnalnya yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Treffinger lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Selanjutnya ilmu yang mereka peroleh dengan hasil kreatifitas mereka sendiri akan mendorong minat siswa untuk terus mencoba menyelesaikan masalah tanpa terpacu pada satu cara penyelesaian yang diberikan. Sehingga diharapkan kemampuan pemecahan masalah materi pecahan dapat meningkat. Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Soal Cerita Pecahan Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger Siswa Kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016)”.
6 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Apakah penerapan model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah soal cerita pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta tahun ajaran 2015/2016?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah di atas, yaitu sebagai berikut: 1.
Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah soal cerita pecahan melalui model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger pada siswa kelas IV SD Negeri Bumi I No. 67 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.
D. Manfaat Penelitian Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat bermanfaat untuk pembaca maupun peneliti sendiri. Manfaat penelitian ini adalah : 1.
Manfaat Teoretis a.
Hasil penelitian dapat menambah wawasan dan pengetahuan baru mengenai kemampuan pemecahan masalah melalui model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi penelitian sejenis.
2.
Manfaat Praktis a.
Bagi Siswa 1) Penerapan model pembelajaran Kooperatif Tipe Traffinger dapat membuat siswa termotivasi mengikuti pembelajaran dengan baik. 2) Model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah.
7 3) Penerapan model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger pada pembelajaran dapat meningkatkan keberanian kreatifitas siswa dalam pemecahan masalah materi pecahan. b.
Bagi Guru 1) Sebagai pengalaman dan keterampilan baru bagi guru mengenai model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger. 2) Sebagai sarana guru untuk mengembangkan model pembelajaran Kooperatif
Tipe
Treffinger,
terutama
dalam
pembelajaran
matematika materi pecahan. c.
Bagi Sekolah 1) Memberikan masukan positif bagi peningkatan mutu kegiatan pembelajaran
melalui
model
pembelajaran
Kooperatif
Tipe
Treffinger. 2) Hasil penelitian dapat mewujudkan pembelajaran yang efektif, inovatif, dan kreatif di sekolah melalui model pembelajaran Kooperatif Tipe Treffinger. 3) Hasil penelitian dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sekolah dengan
menggunakan
Treffinger.
model
pembelajaran
Kooperatif
Tipe