BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) sebagiamana tertuang didalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin hak-hak seluruh warga Negara Indonesia yang mempunyai kedudukan serta kewajiban yang sama di dalam hukum. Artinya bahwa negara di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apa pun harus dilandasi oleh hukum, dalam hal
ini
hukum
dasar
dan
undang-undang
sebagai
rinciannya
dan
harus
dipertanggungjawabkan secara hukum yang telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain dengan adanya sistem prinsip “Pembagian kekuasaan dan cheks and balance” yang mendasarkan pada teori trias politica dari Montesquieu, yang membagi kekuasaan menjadi tiga, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (mengadila bila terjadi pelanggaran terhadap undang-undang), sehingga di Negara Indonesia untuk menegakkan keadilan dibentuklah kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan. Sistem peradilan pidana ini memiliki subsistem untuk menyelesaikan permasalahan hukum sesuai dengan bidangnya dengan menganut prinsip asas legalitas (due process of law). Konsekuensi yang timbul kemudian di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, disatu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur penegak hukum, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat penegak hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan. Disamping sebagai negara hukum, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk daerah sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan
negara serta partisipasi masyarakat yang lemah dalam menjalankan fungsi kontrol sosial merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya korupsi di Indonesia. Faktor lain yang sering dianggap sebagai penyebab merebaknya korupsi adalah korupsi yang sudah “membudaya” dan menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Pendekatan dari aspek hukum memandang bahwa substansi hukum bukan merupakan satu-satunya faktor kelemahan dalam upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Faktor struktur hukum dan budaya hukum yang lemah juga terakumulasi pada lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai kelemahan yang ada pada hukum (pidana) untuk melakukan upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi, menimbulkan berbagai wacana baru untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan cara lain dan bersifat crash program seperti membentuk wadah tersendiri untuk mengadili para tersangka pelaku korupsi seperti dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tindak Pidana Korupsi perkembangannya terus meningkat dari tahun ketahun, baik jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Karena itu Tindak pidana korupsi telah dianggap sebagai suatu perkara “seriousness crime”, “criminal extra ordania”, atau “criminal stellionatus” kejahatan luar biasa yang sangat mengganggu hak ekonomi dan hak sosial masyarakat dan negara dalam skala yang besar serta sangat sulit pembuktiannya, sehingga langkah penanganannya memerlukan pola “extra ordinary”. Korupsi memang merupakan musuh nyata yang dihadapi semua Negara di belahan dunia. Harapan dapat memberantas korupsi secara hukum adalah mengandalkan diperlakukannya secara konsisten undang-undang tentang pemberantasan korupsi disamping ketentuan terkait yang bersifat preventif. Fokus pemberantasan korupsi juga harus menempatkan kerugian negara sebagai suatu bentuk pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi secara luas. Pemikiran dasar mencegah timbulnya kerugian keuangan negara telah dengan sendirinya mendorong agar baik dengan cara hukum pidana atau cara hukum perdata, mengusahakan kembalinya secara maksimal dan cepat seluruh kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh praktek korupsi dikarenakan keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945. Pemikiran dasar tersebut telah memberi isi serta makna pasal– pasal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Menginggat bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi sangat essensial di dalam peraturan perundangundangan terutama berkaitan dengan unsur kerugian keuangan negara sebagai unsur pokok dari delik korupsi untuk dapat atau tidaknya dipidananya pelaku tindak pidana. Kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, memiliki tugas dan wewenangnya yang ditetapkan dalam hukum (peraturan perundang-undangan). Kejaksaan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, adalah sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun dan didalam penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakkan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi. Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyidikan berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP junto Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 junto Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme junto Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 44 ayat (4), ayat (5) dan Pasal 50 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 30 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, ketentuan dalam peraturan tersebut diperkuat oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1148 K/Pid/2003, tanggal 10 Januari 2005, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1205 K/Pid/2003, tanggal 10 Oktober 2005, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1050 K /Pid/2003, tanggal 7 Juni 2006 dan dipertegas dengan Fatwa Mahkamah Agung Nomor KMA1102/I1I/2005 serta diperkuat kembali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007, tanggal 26 Maret 2008. Kejaksaan berdasarkan kewenangan penyidikan tersebut dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi sering mengalami hambatan untuk mencari data, para pihak
kurang proactive, auditor yang memerlukan waktu untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara, sehingga proses penyelidikan dan penyidikan jaksa menjadi lamban. Akan tetapi jaksa dituntut untuk cepat menyelesaikan proses penanganan perkara tindak pidana korupsi, dengan adanya tuntutan tersebut dan adanya Putusan Makhamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, tanggal 23 Oktober 2012, halaman 53 dalam pertimbangan, yaitu : “KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya” memicu jaksa untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara sendiri. Namun dengan tidak adanya tenaga ahli akuntansi dan tidak adanya pelatihan asset tracing, legal audit, audit forensik (forensic accunting) maka jaksa dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dengan cara melakukan penyelidikan dan penyidikan, sebagaimana dalam perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan direksi di Perusahaan Daerah Badan Kredit Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar yang telah dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan cara melakukan mark up dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 71/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Smg, tanggal 5 Oktober 2015. Mengingat keberadaan perkara pidana karena adanya tindak pidana yang ditangani oleh para aparat penegak hukum, sehingga memahami akan pentingnya peraturan perundang-undangan tertulis, maka harmonisasi antara satu produk legislasi dengan produk legislasi lain memegang posisi yang amat sentral dalam penegakan hukum. Ini dikarenakan dalam sebuah negara hukum formal, produk legislasi berupa peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang menjadi acuan terhadap tindakan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Konsekuensi logisnya,
peraturan perundang-undangan yang dibentuk tidak boleh mengandung kontradiksi ide dan substansi maupun menimbulkan multitafsir dalam implementasinya1. Salah satu persoalan krusial yang saat ini menimbulkan problematika dalam penegakan hukum, menyangkut disharmoni antar berbagai produk legislasi baik yang menyangkut disharmoni normatif maupun disharmoni substatif didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUPTPK), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undangundang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Padahal disharmoni normatif dan substantif dapat menimbulkan inkonsistensi dalam pelaksanaannya, sehingga peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien, yang pada gilirannya bermuara pada disfungsi hukum.2 Disharmoni hukum itu telah menyentuh problematika pada tataran implementasi, terlebih lagi bila dikaitkan dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Permasalahannya dalam praktek upaya pembuktian unsur kerugian keuangan negara masih banyak menghadapi hambatanhambatan, baik dari sisi instrumen hukumnya maupun dari teknis proseduralnya khususnya perdebatan mengenai lembaga yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara dan kerugian keuangan negara yang dihitung sendiri oleh jaksa sebagaimana yang diberitakan didalam media cetak maupun media elektronik, seperti : 1. Kasus Indosat yang dilaporkan oleh LSM “Konsumen Telekomunikasi Indonesia” (KTI) ke Kejaksaan dengan dugaan penyalahgunaan jaringan bergerak seluler frekuensi 2.1 GHz/3G yang dilakukan PT Indosat Tbk (Indosat) dan anak usahanya IM2, dimana Kejaksaan Agung telah meminta bantuan dari BPKP untuk menghitung kerugian Negara dan diketahui bahwa nilai kerugian Negara dari hasil auditnya menyatakan kerugian Negara atas penyalahgunaan frekuensi tersebut sebesar Rp1,3 triliun. Atas perhitungan tersebut, pihak Indosat-IM2 mengajukan gugatan ke PTUN. Akhirnya Majelis hakim PTUN yang dipimpin Bambang Heryanto dalam pertimbangannya menyatakan, audit kerugian negara oleh BPKP dalam kasus IndosatIM2 tidak sah. Pertama, audit tidak diawali permintaan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebagai regulator telekomunikasi. Kedua, tidak 1
D. Andhi Nirwanto, Otonomi Daerah Versus Desentralisasi Korupsi, Aneka Ilmu, Semarang, 2013,
2
Ibid, hlm. 18.
hlm. 17.
ditemukan adanya penggunaan frekuensi bersama Indosat-IM2 sesuai fakta persidangan dan keterangan sejumlah ahli. Ketiga, BPKP tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap obyek audit, yakni PT Indosat Tbk dan anak usahanya IM2. Keputusan tersebut mempertegas putusan sela pada 7 Februari 2013 lalu. Saat itu, Majelis Hakim PTUN yang juga diketuai oleh H. Bambang Heryanto SH MH, mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Indar Atmanto.3 2. Kasus terdakwa Direktur PT Mapna Indonesia M Bahalwan, menggugat Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan itu terkait penghitungan kerugian keuangan negara, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pekerjaan life time extension (LTE) Flame Turbin GT 2.1 dan 2.2 PLTGU Belawan. Mantan Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Pengeluaran Pusat dan Daerah Dani Sudarsono saat menjadi saksi ahli dalam sidang kasus tersebut menyebutkan, BPKP tidak memiliki wewenang menghitung kerugian keuangan negara dalam pekerjaan itu. "Sesuai UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPKP tidak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menghitung kerugian keuangan negara”. Dani menjelaskan, sesuai Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2004 disebutkan, yang memiliki kewenangan mengungkap indikasi adanya kerugian negara adalah BPK. Meski BPKP memiliki kewenangan berdasarkan Keppres 31 Tahun 1983 tentang BPKP, yaitu Pasal 3 huruf J, L, N dan O dan khususnya Pasal 22 sampai 24. "Namun peraturan tersebut tidak berlaku lagi sejak 27 Maret 2001 dengan keluarnya Keppres 42 Tahun 2001. Saat ini saya tidak menemukan adanya peraturan perundangan-undangan yang memberikan kewenangan kepada BPKP untuk melakukan pemeriksaan kerugian keuangan negara," ujar dia. Di soal tentang laporan BPKP dalam pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2, Dani menyatakan laporan tersebut hanya bisa dijadikan landasan adanya kerugian negara jika dilakukan sesuai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sebagaimana UU 15 Tahun 2004 dan merupakan pelaksanaan pekerjaan untuk dan atas nama BPK. "Dalam perkara LTE GT 2.1 dan 2.2, perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP tidak bisa dijadikan landasan investigasi karena tidak menjalankan standar audit, dalam hal ini tidak sesuai SPKN," ungkap Dani sembari menegaskan, dalam penghitungan kerugian negara juga harus bersifat pasti dan nyata. Sementara, pakar hukum Administrasi Negara Philipus M Hadjon mengatakan, BPKP hanya dapat memeriksa dalam rangka pengawasan internal pemerintah, dan tidak memiliki wewenang mengaudit BUMN, karena BUMN bukan bagian internal pemerintah. "Ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah," ucap Philipus saat bersaksi di sidang PTUN itu. Philipus mengatakan, pemeriksaan yang dilakukan BPKP atas permintaan penyidik dan hanya berdasarkan dokumen dari penyidik. Karena itu, tidak ada opini dan hasil audit BKPP yang mempunyai kekuatan mengikat, karena tidak didasarkan legalitas kewenangan. "Dalam beberapa kali sidang saya sering melihat tampilnya petugas ahli BPKP di sidang korupsi hanya bertindak 'juru bicara instansi penyidik'," jelas dia. Sebab kata Philipus, pihak BPKP kerap ditampilkan di depan sidang hanya masalah kerugian keuangan negara. Sedangkan pelaksanaan penghitungan dan penyusunan laporan perhitunganya harus mejadi tanggung jawab instansi penyidik sendiri. Gugatan Bahalwan itu, ikut juga para terdakwa lainnya dalam kasus ini, diantaranya Chris Leo Manggala. Chris dkk sebagai pihak penggugat Intervensi dalam perkara itu, 3
Kompasiana, Menguji Penghitungan Kerugian Negara, diposting 18 November 2013 jam 09.41.32 WIB, diakses Senin 1 Februari 2016 jam 12.00 WIB.
karena pihak-pihak tersebut dinilai mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk masuk sebagai pihak dalam perkara tersebut. Sementara, kuasa hukum Bahalwan, Ari Juliano Gema memaparkan alasan gugatan terhadap BPKP, yaitu laporan BPKP tentang kerugian negara pada pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2 bertentangan dengan UUD 1945 dan UI Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.4 3. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Andhi Nirwanto, bersikeras bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan atau BPKP bisa melakukan penghitungan kerugian negara atas sebuah kasus dugaan korupsi. Pernyataan tersebut dilontarkan Andhi, menyusul gugatan yang dilayangkan mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto, yang juga tersangka kasus dugaan korupsi pengalihan frekuensi 3G PT Indosat Tbk ke IM2 terhadap BPKP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Indar menggugat BPKP ke PTUN karena dia menilai BPKP tak berwenang melakukan perhitungan dan menyatakan adanya kerugian negara senilai Rp1,3 triliun dalam kerjasama antara PT Indosat dengan IM2. Gugatan dilayangkan Indra berdasarkan PP Nomor: 7 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Di mana kedua aturan itu menegaskan, yang berhak untuk melakukan penghitungan kerugian negara adalah BPK. Tapi gugatan Indar itu dibantah Andhi. Lantaran menurutnya, Undang-undang Pidana Korupsi tak spesifik menyebutkan bahwa yang harus dan berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan tak boleh lembaga lain. "UU pidana korupsi tak ada yang mengatur itu. Kita kan penanganan tipikor, itu unsur aja kerugian keuangan negara, siapa yang mengitung kalau jaksa bisa mengitung sendiri ya kita itung sendiri," jelasnya.5 4. Penunjukan Kantor Akuntan Publik Nursehan dan Sinarharja dalam penghitungan kerugian negara kasus korupsi fasilitas kredit PT Bank Bukopin Tbk dianggap sah-sah saja oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Andhi Nirwanto. Hal ini dilakukan karena BPK dan BPKP tidak mau menghitung kerugian negara. BPK dan BPKP beralasan Bank Bukopin bukan merupakan BUMN. Saham pemerintah di Bukopin juga hanya 14 persen. Apabila Bukopin tidak masuk kategori BUMN sebagaimana diamanatkan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, BPK dan BPKP tidak bisa mendefinisikan lingkup keuangan negara sesuai UU Tipikor.6 5. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak lepas dari adu argumen dan pendapat dari beberapa ahli hukum atau yang menganggap dirinya pakar tergantung pada sisi pandangan, persepsi bahkan kepentingannya. Satu hal yang sering diperdebatkan adalah berkaitan dengan kewenangan instansi yang dapat menghitung dan menetapkan kerugian keuangan negara. Sebagaimana diketahui bahwa dalam proses hukum tindak pidana korupsi, pembuktiannya wajib memenuhi salah satu unsur yaitu adanya kerugian keuangan negara dalam kegiatan yang diperkarakan sesuai dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam sebuah seminar yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tanggal 13 April 2015 yang lalu dengan tajuk Pencegahan Tindak Pidana 4
Edward Panggabean, Saksi Korupsi Turbi : BPKP Tak Berwenang Hitung Kerugian Negara, diposting 15 Oktober 2013 jam 03.16 WIB, dalam Liputan6.com, diakses Sabtu 13 Februari 2016 jam 14.33 WIB. Dan Fiddy Anggriawan, BPKP Tak Berwenang Hitung Kerugian Keuangan Negara, diposting 15 Oktober 2014 jam 19.43 WIB, dalam Okezone.com, diakses Senin 1 Februari 2016 jam 10.00 WIB. 5 Frida Astuti, Jampidsus Ngotot BPKP Bisa Hitung Kerugian Akibat Korupsi, diposting Jumat 11 Januari 2013 jam 15.09 WIB, dalam Skalanews.com, diakses Sabtu 13 Februari 2016 jam 12.49 WIB. 6 Internet, Hukum online, Kontroversi Akuntan Publik Menghitung Kerugian Negara, Jumat, 28 Desember 2012, diakses Senin 1 Februari 2016 jam 11.00 WIB.
Korupsi dalam Pelaksanaan Tugas Kedinasan, panitia mengundang seorang pakar hukum sebagai narasumber di kegiatan tersebut, nyatanya substansi pembahasannya hanya mempertentangkan kewenangan lembaga BPKP dengan BPK dalam menetapkan kerugian keuangan negara berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian dalam materi seminar yang disampaikan tersebut, narasumber menyatakan bahwa selain lembaga BPK maka instansi yang menentukan kerugian keuangan negara adalah tidak sah. Walau masalah ini sudah jelas dan bahkan sudah diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi namun persoalan ini selalu berulang dipermasalahkan dan bahkan seolah pembahasannya melupakan substansi hakiki mengenai perlunya pemerintah menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.7 6. Kendala yang sering dialami penyidik dalam menangani perkara korupsi adalah kepastian nilai kerugian negara. Karena harus menunggu hasil penghitungan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), proses pengusutan perkara korupsi kerap molor dan tak kunjung tuntas. Untuk mengansipasi hal itu, penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim membuat trobosan dengan cara melakukan perhitungan sendiri. Yakni mengkalkulasi sendiri berdasar data-data dan alat bukti yang ditemukan untuk mengetahui nilai kerugian negara dalam perkara korupsi yang ditanganinya.8 7. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura (Unpatti) non aktif Latif Kharie mengaku opitimis, dapat bebas dari segala tuntutan jaksa penyidik terkait dugaan penyalahgunaan dana belanja operasional pada fakultas tersebut, tahun 2011. Jaksa dinilai tidak memiliki bukti yang kuat untuk menjeratnya. Hendrik Lisikoy, penasehat hukum Latif Kharie itu juga mengungkap sejumlah kekeliruan jaksa. Namun, itu semua dikembalikan kepada majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut. Rasa optismisnya didasarkan atas beberapa pertimbangan. Diantaranya tentang kerugian negara. Jaksa penyidik pada Kejaksaan Negeri Ambon, kata Kharie seharusnya meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung kerugian negara. Bukan malah menghitungnya sendiri. Tidak adanya alat bukti berupa hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam perkara dugaan penyalahgunaan dana belanja operasional pada Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura, yang oleh jaksa disamakan dengan dana PNBP, telah berakibat sulitnya JPU membuktikan adanya indikasi kerugian negara dalam perkara tersebut. Kharie yang kini berstatus terdakwa dalam kasus tersebut menyatakan, sejak awal persidangan dirinya sudah memprediksi bahwa JPU akan sangat sulit membuktikan dakwaannya baik dakwaan primer maupun subsider, karena tidak adanya alat bukti primer berupa hasil audit BPK RI perihal ada tidaknya indikasi kerugian negara dalam perkara tersebut. “Padahal sesuai ketentuan Perundangan-undangan, indikasi adanya kerugian negara untuk suatu perkara dugaan Tipikor harus didasarkan pada hasil audit BPK RI, karena lembaga negara ini merupakan auditor eksternal resmi pemerintah yang diberikan tugas untuk itu. Karena hasil audit tersebut tidak ada, maka saya optimis menangkan perkara ini,” tegasnya. Perlunya hasil audit BPK RI ini tidak hanya terkait dengan pemenuhan 7
Staf BPKP Perwakilan Sumut, Kewenangan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara, diposting Rabu 6 Mei 2015 jam 18.06.22 WIB, dalam SinarIndonesiaBaru.com, diakses Sabtu 12 Februari 2016 jam 14.41 WIB. 8 M. Taufik, Kelamaan Tunggu Audit BPKP, Jaksa Hitung Sendiri Nilai Kerugian, diposting Jumat 10 April 2015 jam 18.08 WIB, dalam SuryaOnline.co.id, diakses Sabtu 13 Februari 2016 jam 14.47 WIB. Dan KP2KKNJateng, Kasus Korupsi Kecil dan Tak Rumit, Tak perlu Auditor Luar, 20 Januari 2013 diposting 21 Januari 2013, dalam KabarSemarang.com, diakses Sabtu 13 Februari 2016 jam 12.51 WIB.
tuntutan perundangan, tetapi juga berkaitan dengan tingkat kerumitan dan kompleksitas kondisi obyektif serta mekanisme pengelolaan keuangan yang berlaku di instansi pemerintah, seperti Universitas Negeri. Tidak gampang untuk menghitung adanya indikasi kerugian negara dan membuktikannya terkait pengelolaan keuangan di sebuah universitas, termasuk fakultas. Apalagi pengelolaan keuangan itu berhubungan dengan pengelolaan uang persediaan yang bersumber dari dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Universitas, yang telah digunakan dalam pelaksanaan program Pendidikan Tinggi dengan banyak kegiatan. Dia menduga, perhitungan kerugian negara oleh jaksa hanya didasarkan pada asumsi dan cara jaksa sendiri pada saat penyelidikan dan penyidikan perkara, tanpa merujuk pada suatu metode perhitungan yang standard dan layak diberlakukan. Hal ini tampak pada cara jaksa menentukan kwitansi yang dianggap fiktif, yakni hanya dengan cara memisahkan secara langsung kwitansi yang dianggap fiktif dari yang tidak fiktif atau benar menurut jaksa. Padahal kedua kelompok kwitansi pertanggungjawaban tersebut bercirikan sama, alias semuanya benar dan legal atau tidak fiktif. “Pada perhitungan awal, saat dakwaan jaksa sebut kerugian negara sebesar Rp. 1.2 milyar. Dasarnya kwintansi fiktif, Rp. 700 juta, penyerahan uang dari bendahara Rp. 400 juta. Tapi saat tuntutan, jumlah kerugaian negara berdasarkan kwitansi yang menurut jaksa fiktif itu, naik menjadi Rp. 900 juta hanya hasil hitungan jaksa. Ini indikasi bahwa jaksa menghitung tidak tepat,” tegasnya. Jaksa setelah itu menyebut bahwa dari jumlah Rp. 900 juta, Rp. 600 juta dibelanjakan dalam bentuk barang yang dipertanggung jawabkan, sisanya Rp. 300 juta lebih tidak dipertanggung jawabkan. “Padahal, dalam tuntutannya, jaksa menyebutkan ada belanja-belanja yang dibijaki, yaitu belanja yang dapat dibiayai oleh dana yang ada, diantaranya bantuan studi, tunjungan hari raya, pembelian computer, dan belanja pegawai honorer dengan total nilai di atas Rp. 300 juta. Itu berarti tidak ada kerugian, ada belanja-belanja tersebut,” jelasnya. Dia menyebut, bila nilai belanja lanjutan ATK dan nilai belanja barang dan jasa yang dibijaki pimpinan Fakultas Ekonomi Unpatti pada tahun 2011 dan 2012 mencapai lebih dari Rp. 1,6 Milyar. Jauh melebihi nilai kwitansi yang menurut jaksa, fitif tersebut. Yang lebih parah lagi, lanjut Kharie jaksa telah melakukan kesalahan fatal pada tahap penyidikan perkara ini dan berlanjut sampai tahap persidangan, yakni menyamakan dana belanja operasional dengan dana belanja PNBP. “Padahal jelas bahwa PNBP bukanlah dana operasional,” tandasnya. Karena itu, dirinya optimis, majelis hakim akan bersikap objektif dan independen dalam memutuskan perkara ini, dan membebaskan dirinya dari segala tuntutan pidana yang terkesan sangat sentimental tersebut. Hendrik Lusikoy, penasehat hukum Latif Kharie juga mengungkap kekeliruan jaksa dalam menangapi perkara tersebut. Pertama, Lusikoy sepakat bahwa perhitungan kerugian negara harus diserahkan ke BPK atau BPKP, karena lembaga tersebut punya kewenangan dan sumber daya manusia yang handal dibidang audit.9 Disinilah menurut penulis pentingnya pembahasan mengenai pelaksanaan kewenangan jaksa untuk menghitung kerugian keuangan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, bukan hanya semata-mata untuk menyamakan penafsiran akan tetapi juga untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pelaksanaan 9
Admin, Kerugian Negara Dihitung Sendiri Jaksa, diposting Ambonekspresonline.com, diakses Sabtu 13 Februari 2016 jam 14.54 WIB.
6
Juli
2015,
dalam
kewenangan jaksa untuk menghitung kerugian keuangan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi atau setidaknya bagi penulis sendiri. Oleh karena tidak ada batasan terhadap objek studi ilmu hukum yang bisa dikatakan hampir tidak bertepi sehingga tidak menutup mungkin setiap ahli hukum atau sarjana hukum dalam menafsirkan norma hukum hampir dapat dipastikan akan selalu berbeda termasuk dalam menafsirkan pemahaman tentang kerugian kerugian negara yang dihitung sendiri oleh jaksa. Akan tetapi bukan juga sebaliknya untuk memperbanyak pemahaman hukum agar lebih kompleks karena bagaimanapun dalam pemahaman atau penafsiran hukum harus berdasarkan logika-logika hukum dan metode-metode penafsiran hukum yang ketat sesuai dengan ilmu pengetahuan hukum. Atas dasar peradigma yang demikianlah penulis menganggap penting mengangkat judul “Pelaksanaan Kewenangan Jaksa Untuk Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi”. B. Rumusan Permasalahan 1. Lembaga apa yang berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi ? 2. Apa dasar legitimasi jaksa berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui lembaga yang berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. 2. Untuk mengetahui dasar legitimasi jaksa berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. D. Manfaat Penelitian Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain : 1. Secara Teoritis Diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pelaksanaan kewenangan jaksa untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi berkaitan dengan pembaharuan hukum tindak pidana korupsi sebagai ius constituendum atau sebagai hukum yang seharusnya berlaku atau yang seharusnya diterapkan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan praktis Negara Indonesia. 2. Secara Praktis
a. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi proses pemberantasan tindak pidana korupsi, terutama bagi aparat penegak hukum sehingga terjadi kesamaan persepsi mengenai lembaga yang berwenang dan dasar legitimasi jaksa berwenang melakukan penghitungan kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembaca untuk mengetahui tentang pelaksanaan kewenangan jaksa untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.