BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Medication safety bukan masalah baru.
Banyak organisasi kesehatan
memfokuskan perhatian pada medication safety. The Institute of Medicine (IOM) melaporkan bahwa dari medication error yang diidentifikasi, 32-69% adalah kejadian yang semestinya atau mungkin dapat dicegah (Kohn et al., 2000). Laporan dari beberapa negara menunjukkan bahwa medication error memberikan dampak yang besar terhadap angka kematian, angka kesakitan dan meningkatnya biaya perawatan (Eslami et al., 2007). Suatu penelitian mengidentifikasi 3,4% dari kejadian adverse drug events dianggap menjadi penyebab pasien dirawat inap. (Onder et al., 2002). Banyak intervensi dikembangkan untuk menurunkan angka medication errors, yang telah dilakukan oleh setiap rumah sakit dan organisasi pelayanan kesehatan yang lain. Beberapa strategi yang dipilih IOM untuk meningkatkan medication safety antara lain: mengadopsi suatu sistem yang berorientasi pada penurunan medication error; mengimplementasikan standar
untuk dosis
pengobatan, waktu pemberian, dan skala dosis yang diberikan di unit perawatan; membatasi jumlah jenis obat; standarisasi aturan dan cara penulisan resep; implementasi
computerized
physician
order
entry
(resep
elektronik);
menggunakan software farmasi; dan lain-lain (Kohn et al., 2000). Computerized Phisician Order Entry (CPOE) atau resep elektronik sangat potensial untuk menurunkan medication error. Hasil penelitian dari 10.070 resep yang ditulis, 530 diidentifikasi sebagai medication error. Lebih dari setengah medication error yang teridentifikasi terdapat setidaknya satu dosis obat yang hilang. CPOE dapat mencegah 84% dosis yang hilang (Kohn et al., 2000). Dari penelitian terhadap resep pasien rawat inap, sebuah review atas 13 hasil penelitian, 7 diantaranya adalah penelitian yang membandingkan prescribing errors sebelum dan sesudah implementasi resep elektronik. Hasilnya adalah 39,1% prescribing errors sebelum implementasi dan 1,6% prescribing errors
2
setelah implementasi resep elektronik. Hal ini menunjukkan peran resep elektronik yang cukup besar dalam menurunkan prescribing errors (Reckmann et al., 2009). Penelitian mengenai prescribing error pada pasien rawat jalan dilakukan dengan membandingkan prescribing error pada resep elektronik dan resep yang ditulis tangan. Kesalahan yang terjadi pada resep elektronik 4,3% sedangkan kesalahan pada resep yang ditulis dengan tangan 11% (Gandhi et al., 2005). Walaupun kesalahan tetap ada pada resep elektronik, angkanya lebih kecil dibandingkan dengan resep yang ditulis tangan. Resep elektronik adalah metode yang kuat untuk mencegah medication error yang disebabkan oleh kesalahan interpertasi seperti pada resep yang ditulis tangan. Resep elektronik dapat memastikan bahwa dosis, bentuk sediaan, waktu pemberian yang tertulis adalah benar dan dapat juga mengetahui adanya interaksi obat, adanya alergi terhadap obat tertentu dan kesesuaiannya dengan kondisi pasien misal pada pasien gangguan fungsi ginjal (Kohn et al., 2000). Suatu penelitian membandingkan sebelum dan sesudah implementasi resep elektronik, medication error turun lebih dari setengahnya (Kaushal and Bates, 2002) Penelitian terhadap dokter di Swedia oleh Hellstrom et al., 2009: mayoritas responden menganggap sistem resep elektronik mudah digunakan (88%), mereka percaya bahwa resep elektronik akan membuat pelayanan menjadi lebih baik (92%) dan menghemat waktu pelayanan (83%) dibandingkan dengan resep yang ditulis dengan tangan (Hellstrom et al., 2009). Di Rumah Sakit Daun (bukan nama sebenarnya) sebagai tempat penelitian, merupakan rumah sakit swasta tipe B, berlokasi di Jakarta Pusat dengan kapasitas 170 tempat tidur, dengan rata-rata tingkat hunian 70% telah mengimplementasikan
sistem
resep
elektronik
sejak
th
2007.
Tujuan
implementasi sistem ini adalah untuk menghindari kesalahan pembacaan dan interpertasi atas penulisan resep baik nama obat, dosis, sediaan dan waktu pemberian yang diharapkan oleh dokter yang menuliskan resep. Selain itu juga bertujuan untuk mempercepat proses pelayanan karena dengan komputerisasi pembacaan terhadap resep menjadi lebih cepat.
3
Sistem komputerisaasi yang disediakan selain sebagai resep elektronik, juga untuk melakukan permintaan pemeriksaan penunjang baik radiologi dan laboratorium. Sistem juga dapat dimanfaatkan sebagai rekam medis elektronik yang memuat riwayat pasien termasuk riwayat alergi. Obat yang pernah diresepkan dan obat yang pernah diambil oleh pasien, hasil pemeriksaan radiologi dan hasil pemeriksaan laboratorium yang pernah dilakukan secara online dapat dibuka di komputer yang tersedia di ruangan praktek dokter. Namun tidak dapat secara otomatis memberikan tanda, atau alert adanya ketidaksesuaian obat dengan kondisi klinis pasien, misal pada pasien gangguan fungsi ginjal yang diresepkan obat-obat nefrotoxic. Alert adanya alergi demikian juga tidak secara otomatis muncul apabila dokter menuliskan obat untuk pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap obat tersebut. Data alergi dapat diinput oleh dokter dan dapat dilihat oleh dokter pembuat resep sebagai bahan masukan. Di dalam fasilitas resep elektronik tersedia daftar obat yang ada di instalasi farmasi dengan dosis sediaannya masing-masing, sehingga untuk memanggil obat yang akan dituliskan dokter dapat mengetik beberapa huruf depannya dan akan muncul nama-nama obat yang diawali dengan huruf yang diketik berikut kemasan dan dosis sediaannya. Untuk menuliskan dosis berapa kali dan cara pemberiannya demikian juga dokter dapat mengetik angka 1, 2, atau 3 akan muncul beberapa aturan pemberian yang diawali angka yang telah diketikkan. Namun dokter dapat juga mengetik free text untuk obat, dosis dan cara pemberian yang tidak tersedia di dalam daftar pilihan. Resep elektronik yang diterapkan belum didukung dengan sistem seperti pada idealnya CPOE sehingga dapat menilai interaksi obat, alergi dan kesesuaian dengan kondisi pasien. Bukan merupakan resep elektronik yang ideal, resep ini merupakan pengganti resep yang ditulis dengan kertas secara manual. Resep elektronik diketik dokter dari ruang praktek di polikllinik dengan komputer yang tersedia di ruangan, online dengan komputer di farmasi sehingga pasien tidak membawa resepnya sendiri tetapi langsung menuju farmasi untuk menebus resep. Sebagai legalitas pengguna, pengganti tanda tangan yang biasa dibubuhkan pada rekam medis dan resep non elektronik, digantikan dengan
4
adanya password untuk setiap dokter dan petugas. Resep yang dilayani di farmasi rumah sakit sehari rata-rata 350 resep, namun belum semua menggunakan resep elektronik karena tidak semua dokter mau menulis resep secara elektronik. Persepsi dan penerimaan dokter serta dampak dari implementasi sistem resep elektronik selama ini belum pernah dilakukan kajian secara khusus.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana peran resep elektronik dalam meminimalkan prescribing error? 2. Bagaimana faktor-faktor lain turut berpengaruh terhadap kejadian prescribing error? 3. Bagaimana penerimaan dokter terhadap implementasisistem resep elektronik?
C. Tujuan Penelitian 1. Melakukan kajian terhadap peran resep elektronik dalam medication safety practice. 2. Melakukan analisis faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap prescribing error. 3. Mengevaluasi persepsi dan pemanfaatan resep elektronik oleh dokter.
D. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk perbaikan sistem peresepan di rumah sakit. Sistem peresepan diharapkan lebih aman untuk pasien dan lebih mudah untuk para penulis resep. Penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan peran resep elektronik dalam meminimalkan kesalahan peresepan, sehingga dapat memotivasi dokterdokter penulis resep untuk lebih tertarik menggunakan resep elektronik. Serta menunjukkan perlunya sebuah tehnologi informasi dikembangkan dalam pelayanan kesehatan kepada para praktisi managemen rumah sakit.
5
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh resep elektronik terhadap prescribing errors pernah dilakukan oleh Gandhi et al., (2005). Penelitian dilakukan di Boston terhadap resep dari 4 tempat pelayanan kesehatan dengan pusat pendidikan. Sistem komputerisasi yang disediakan tidak secara otomatis mengetahui kebenaran dosis, frekwensi, alergi dan adanya interaksi obat. Resep dibatasi yang ditujukan untuk pasien usia 18 tahun ke atas. Salinan resep dari resep yang ditulis tangan dan resep elektronik dikumpulkan dengan sistem karbon. Resep sebanyak 1879 yang berasal dari 1202 pasien, prescribing errors dibandingkan yang terjadi pada resep elektronik dan resep yang ditulis tangan. Kesalahan yang ditemukan yang terdiri dari dosis, frekwensi dan cara pemberian, dibedakan lagi atas prescribing error dan potential advers drug event (Gandhi et al., 2005). Penelitian tentang penerimaan dokter dan waktu tunggu resep elektronik dilakukan Putu Kusumarini (2009) di RS Betesda yang baru memulai resep elektronik selama 3 bulan. Pada penelitian ini menggunakan Technology Acceptance Model (TAM) untuk menilai penerimaan dokter terhadap system resep elektronik dan mengevaluasi perbedaan waktu tunggu antara resep elektronik dan resep konvensional atas resep obat jadi. Penelitian tentang sikap dokter terhadap resep elektronik dilakukan oleh Hellstrom et al., (2009) dalam Physicians' attitudes towards eprescribing – evaluation of a Swedish full-scale implementation. Sejumlah 180 dokter yang menjadi responden, 113 dokter pria dan 67 dokter wanita. Responden juga dikategorikan berdasarkan spesialisasinya dan berdasarkan banyaknya resep yang dibuat perhari. Responden mendapatkan beberapa pertanyaan tentang sikapnya terhadap resep elektronik yang dikirim melalui alamat email masing-masing dan jawaban dikirim melalui weblink. Jawaban diberikan atas pernyataan sikap dokter dibuat dalam 6 skala penilaian, dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju untuk menghindari jawaban jatuh pada nilai yang di tengah. Selain itu juga ditanyakan pendapatnya tentang kelebihan dan kekurangan resep elektronik, ditanyakan saran yang diajukan untuk upaya peningkatan sistem resep elektronik dan ditanyakan
6
apa saja yang dilakukan apabila dalam proses peresepan terjadi pembatalan dan terjadi kegagalan dalam proses transfer menuju farmasi.(Hellstrom et al., 2009).