BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Dinamika perkembangan masyarakat yang terjadi di Indonesia selamanya tidak dapat terlepas dari aspek hukum, hal tersebut dikarenakan Indonesia merupakan negara hukum yang secara jelas tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permasalahan hukum di Indonesia yang tengah menjadi sorotan adalah mengenai penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi. Seperti yang kita ketahui bahwa di era globalisasi kejahatan yang paling fenomenal ialah mengenai masalah korupsi. Tindak pidana korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian bagi negara, tetapi juga melanggar hak masyarakat di bidang sosial dan ekonomi. Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian khusus dibandingkan dengan tindak pidana lainnya hal tersebut dikarenakan korupsi merupakan masalah yang serius, di mana tindak pidana ini dapat membahayakan
stabilitas
dan
keamanan
masyarakat,
membahayakan
pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya (Evi Hartanti, 2012: 1). Korupsi pada dasarnya menimbulkan dampak yang sangat kompleks pada sebuah negara. Tidak hanya kacaunya sistem pemerintahan, terkurasnya uang negara dan ketidakadilan, namun dampak terburuknya adalah dampak pada perekonomian negara yang akan berimbas pada kesejahteraan umum, terutama rakyat kecil. Oleh karena itu, perang terhadap korupsi merupakan fokus signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum. Bahkan sebagai tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Hal ini menjadi unsur penting dalam penegakan hukum suatu negara karena korupsi merupakan penyakit yang dapat merusak sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
1
2
Indonesia selama ini telah mengalami berbagai tahapan perkembangan korupsi, hal tersebut ditunjukkan mulai dari terbentuknya negara pasca kolonial (postcolonial state), periode demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, orde baru, hingga setelah berakhirnya rezim Soeharto atau yang dikenal dengan masa reformasi seperti saat ini. Secara singkat, tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut : (http://www.antikorupsi.org/id/content/tahap-perkembangankorupsi diakses pada 03 Desember 2015) Pertama, kekuasaan Negara Republik Indonesia, wewenang dan pelaksanaan kebijakan maupun programnya terselenggara berkat sokongan APBN. Penyimpangan atas pendapatan dan anggaran rutin menjadi sumber korupsi bagi para pejabat dan pegawainya. Kedua, nasionalisasi perusahaan asing pada tahun 1957 menjadi sumber keuangan bagi negara. Pengelolaan perusahaan- perusahaan ini menjadi rebutan para pejabat yang mengelola perusahaan tersebut, terutama dari kalangan perwira Angkatan Darat (AD). Perusahaan negara yang penting pun mereka kuasai. Korupsi besar- besaran terjadi di tubuh Pertamina, Bulog, bankbank pemerintah, Perhutani, serta Telkom dan PLN. Ketiga, para birokrat baik sipil maupun militer telah terlibat kolusi dalam bisnis yang mengandalkan patron politik baik melalui pemberian lisensi, proyek, dan kredit maupun monopoli dan proteksi hingga privatisasi BUMN. Dimulai dari program ekonomi Benteng, ekonomi Terpimpin dan ekonomi orde baru hingga masa pemulihan ekonomi saat ini, patronase bisnis (business patronage) tumbuh, berkembang, mencapai puncaknya dan kini masih terus bertahan. Keempat, berbagai lembaga militer dan kepolisian mengembangkan jaringan bisnisnya melalui operasi sejumlah yayasan kendati sebagian besar ordernya bersumber dari negara. Di samping menjadi mesin uang bagi pemupukan kekayaan pribadi pada sejumlah perwira, kekayaan yayasan juga digunakan bagi berbagai operasi militer dengan alasan minimnya anggaran militer. Kelima, perluasan korupsi telah berkembang melalui praktek pembiaran bagi tumbuhnya Orang Kaya Baru (OKB) dalam tubuh birokrasi seiring meningkatnya jumlah APBN. Lapisan birokrat dan pegawai menjadi OKB adalah konsumen penting bagi barang-barang mewah seperti produk otomotif dan elektronik yang pasarnya dikuasai sejumlah konglomerat agen tunggal pemegang merek (ATPM). Keenam, dunia peradilan dengan pasti telah mengikuti jejak perilaku birokrat dan para pegawainya yang korup. Suap menyuap, jual beli perkara dan pemerasan adalah potret mengenai julukan prestasinya yang disebut sebagai
3
mafia peradilan yang berlangsung hingga kini. Aparat penegak hukum dan lembaga peradilan semakin kehilangan kepercayaan masyarakat. Ketujuh, birokrasi tidak hanya menghabiskan anggaran rutin dan membocorkan dana pembangunan, tapi juga mengembangkan dirinya secara komersial dalam melayani kebutuhan administrasi warga negara, terlebih lagi administrasi yang dibutuhkan para pelaku ekonomi setelah tumbuhnya sektor industri manufaktur ringan. Perkembangan ini disebut sebagai tahapan birokrasi pungutan (collect money bureaucracy). Kedelapan, berbagai kelompok yang tumbuh dan menikmati sistem yang korup menemukan jalan untuk mengembangkan dirinya ke dalam kegiatan bisnis illegal seperti penebangan hutan secara liar, pencurian kayu, penambangan pasir laut, perdagangan senjata api dan narkoba, serta proteksi atas sejumlah pengelolaan bisnis hiburan dan perjudian. Kesembilan, setelah berkurangnya pendapatan negara dari sektor migas sejak dasawarsa 1980-an dan Hak Penguasaan Hutan (HPH) dikuasai segelintir orang serta kesenjangan pusat dan daerah telah menimbulkan pergolakan daerah dan terorisme selain masalah Timor Timur, juga terjadi pergolakan bersenjata di Aceh dan Papua. Belakangan dilengkapi dengan konflik komunal di Sambas, Sampit, Poso dan Maluku. Berbagai aksi teror bom juga telah meningkatkan peredaran dan perdagangan bahan peledak dan senjata api. Kesepuluh, pemilihan umum (pemilu) 1999 telah menjadi ajang berebut kursi kekuasaan politik. Partai-partai politik yang bertahan dan mampu meraih hasil secara formal sebagai kekuatan besar telah menikmati hasil tersebut dengan adanya money politic yakni membagi-bagikan uang kepada calon pemilih. Kesebelas, reformasi tidak hanya membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan sipil dan lapisan politisi sipil, tapi juga timbulnya peluang bagi pengelolaan otonomi daerah yang lebih besar.
Pada dasarnya kejahatan korupsi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan Negara dan akses terhadap penguasaan dan pengelolaan kekayaan Negara, termasuk dalam pengertian ini adalah para pengusaha yang berkolusi dengan penguasa dalam penguasaan (monopoli) sumber daya ekonomi (kekayaan Negara), sehingga mereka memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah (Negara). Saat ini sudah ada beberapa bentuk peraturan yang tujuannya untuk mengendalikan prilaku para penguasa dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan Negara, tetapi penerapan Perundang-undangan korupsi tersebut juga terpulang pada
4
sikap penguasa pada masa itu, artinya apa yang merupakan hukum dan apa yang bukan hukum adalah tergantung pada tafsir penguasa pada saat itu (Francis Fukuyama, 2005: 130). “Sesuatu yang baru yang dahulu cukup langka yaitu korupsi selain dilakukan oleh eksekutif dan yudikatif, sekarang sudah merambat ke pihak legislatif dengan parpolnya dan auditif, sehingga menjadi komprehensif dan sempurna kejahatan korupsi di Indonesia” (Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011: 5). Indonesia telah menunjukkan kenaikan yang konsisten dalam pemberantasan korupsi, namun masih terhambat oleh tingginya korupsi di sektor penegakan hukum dan politik. Tanpa kepastian hukum dan pengurangan penyalahgunaan kewenangan politik, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan turun dan memicu memburuknya iklim usaha di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan perbaikan-perbaikan dalam tata kelola pelayanan publik hanya mampu menaikkan skor Indonesia menjadi 36 dan menempati urutan 88 dari 168 negara yang diukur. Skor Indonesia secara pelan naik 2 poin, dan naik cukup tinggi 19 peringkat dari tahun sebelumnya. Namun, kenaikan tersebut belum mampu menandingi skor dan peringkat yang dimiliki oleh Malaysia (50), dan Singapura (85), dan sedikit di bawah Thailand (38). Indonesia lebih baik dari Filipina (35), Vietnam (31), dan jauh di atas Myanmar (22). Skor CPI berada pada rentang 0-100 di mana 0 berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor 100 berarti dipersepsikan sangat bersih. Corruption Perception Index (CPI) merupakan indeks komposit yang mengukur persepsi pelaku usaha dan pakar terhadap korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan politisi. (http://www.ti.or.id/index.php/publication/2016/01/27/corruption-perceptionsindex-2015 diakses pada tanggal 11 Maret 2016 Pukul 17.45 WIB).
5
Indonesia semakin dekat dengan rerata ASEAN, namun masih jauh dari rerata G20. Meskipun secara relatif skor Indonesia masih kalah dengan Thailand, Malaysia, dan Singapura, kenaikan skor CPI Indonesia semakin mendekati rerata regional ASEAN sebesar (40), Asia Pasifik sebesar (43), dan G20 sebesar (54). Tahun ini Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang mengalami kenaikan kembar, yaitu naik skor dan naik peringkat. Hal di atas mengindikasikan adanya progres pemberantasan korupsi di Indonesia, meskipun secara perlahan (http://www.ti.or.id/index.php/publication/2016/01/27/corruption-perceptionsindex-2015 diakses pada tanggal 11 Maret 2016 Pukul 17.45 WIB). Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah berkembang dengan baik di masa sekarang ini. Misalnya, Indonesia telah membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari sisi hukum rumusan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara dan rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-undang di atas sudah memiliki cakupan yang luas dan memadai jika digunakan untuk menjerat berbagai tindak pidana korupsi di Indonesia.
6
Perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bukan semakin surut dan berkurang, tetapi semakin marak dan canggih serta menyebar ke segala lapisan penyelenggara Negara mulai dari kalangan elite sampai dengan pegawai terendah. Sesuatu yang baru yang dahulu cukup langka yaitu korupsi selain dilakukan oleh eksekutif dan yudikatif, sekarang sudah merambat ke pihak legislatif dengan parpolnya dan auditif, sehingga menjadi komprehensif dan sempurna kejahatan korupsi di Indonesia (Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011: 5). Untuk menunjang tercapainya efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, maka berdasarkan undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuklah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia lebih di kenal dengan KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Suburnya tindak pidana korupsi di Indonesia diperlukan adanya usaha ekstra yang dilakukan oleh para penegak hukum termasuk KPK untuk mencegah dan membasmi praktek-praktek korupsi hingga ke pelosok daerah. Akhir-akhir ini kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia tampak memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Namun demikian, tantangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan semakin besar karena adanya kecenderungan semakin meningkatnya persekongkokolan kejahatan korupsi di antara oknum pemerintahan dan penegak hukum tidak akan mudah ditengarai sebagai akibat dari model pemilihan umum dan atau pemilihan pimpinan yang tidak terbebas dari praktek politik uang. Tanpa dilakukan sinkronisasi dan penataan ulang, baik terkait dengan instrumen hukum maupun konsolidasi dengan institusi penegakan hukumnya terkait kejahatan korupsi, tampaknya harapan atas peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan tercapai secara optimal (Maryanto,2012: 1). Berdasarkan kasus korupsi yang terjadi di setiap Negara dan di berbagai wilayah di Indonesia tersebut dalam rangka upaya penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi memberi makna bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus melakukan tindakan hukum sesuai dengan undang-undang yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Ketentuan-ketentuan yang mengatur
7
mengenai tindak pidana korupsi harus ditegakkan tanpa adanya perbedaan perlakuan antara pejabat dan masyarakat biasa. Untuk mengetahui kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia, maka penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengambil
beberapa
permasalahan
yang
dirumuskan
untuk
mempermudah penulis dalam mengkaji masalah yang diangkat pada penulisan hukum (skripsi) ini. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kinerja KPK dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia di tahun 2011-2015? 2. Apakah yang menjadi hambatan bagi KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Penelitian pada dasarnya bertujuan untuk memecahkan suatu masalah dan menemukan suatu penyelesaian atau jawaban atas permasalahan tersebut. Dalam penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai penulis adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a.
Untuk mengetahui kinerja KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia.
8
b.
Untuk mengetahui hambatan yang menjadi kendala bagi KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.
2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pemikiran bagi penulis dalam bidang Hukum Pidana, khususnya mengenai implementasi kinerja KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia. b. Untuk memperoleh kelengkapan data guna menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) untuk memenuhi persyaratan akademis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan turut memberikan manfaat dan kegunaan baik untuk penulis sendiri maupun pihak lain. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya mengenai implementasi kinerja KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi, literatur, dan bahan informasi ilmiah yang digunakan untuk penelitian dan penulisan hukum sejenis di masa yang akan datang.
9
c. Penelitian ini merupakan suatu pembelajaran dalam menerapkan ilmu yang diperoleh sehingga
diharapkan mampu
memberikan serta
menambah wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan dokumentasi ilmiah. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran bagi penulis dan pihak lain yang berkepentingan dalam penelitian ini. b. Untuk melatih penulis dalam mengungkapkan adanya permasalahan tertentu secara sistematis dan berusaha untuk memecahkan permasalahan tersebut dengan menggunakan metode ilmiah. c. Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan wawasan berkaitan dengan bagaimana kajian kritis mengenai .
E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 35). Penelitian hukum merupakan suatu penelitian dalam kerangka know-how di dalam hukum. Sebagai kegiatan know-how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 60). Metode penelitian hukum yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum yang dilakukan penulis merupakan jenis penelitian normatif atau doctrinal research. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka
10
atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, kemudian dikaji dan ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan permasalahan yang di teliti oleh penulis yaitu mengenai implementasi kinerja KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia. 2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai, keadilan, validitas auran hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sedangkan sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menerapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010; 22). Penulis dalam penelitian hukum ini ingin mengkaji mengenai implementasi kinerja KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia dan hal-hal yang menjadi faktor penghambat bagi KPK dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena kajian penelitian hukum bersifat yuridis-normatif, di mana penulis berusaha mengkaji peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi. Penulis
juga
memilih
menggunakan
pendekatan
konseptual
(conceptual approach), karena pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada dan untuk menyusun abstraksi dari pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep hukum universal ke dalam batasan teritorial dan historis kenegaraan Indonesia.
11
Pendekatan terakhir yang dipilih oleh penulis adalah pendekatan historis (historical approach), karena pendekatan historis dilakukan dalam rangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini membantu penulis untuk lebih memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. 4. Jenis dan Sumber Data Penelitian a. Jenis Data Penelitian Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan oleh penulis adalah data sekunder. Data sekunder merupakan jenis data yang menunjang dan mendukung data primer yang diperoleh dari studi kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, arsip-arsip, buku-buku, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian dalam penelitian ini. b. Sumber Bahan Hukum Sumber data merupakan tempat di mana data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua bahan hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Petter Mahmud Marzuki, 2010: 141). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan data yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan antara lain. a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
12
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum (Soerjono Soekanto, 2008:52). Bahan hukum sekunder terdiri dari : a) Laporan tahunan (annual report) KPK tahun 2011-2015; b) Buku-buku ilmiah di bidang hukum; c) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan; d) Jurnal-jurnal hukum (termasuk yang online); 3) Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya (Soerjono Soekanto, 2008:52). 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan penulis dalam pengumpulan data adalah menggunakan studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan merupakan teknik untuk mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari serta menelaah berbagai sumber bacaan ilmiah terkait permasalahan yang diteliti untuk menilai fakta-fakta hukum yang akan dipecahkan sebagai masalah hukum. 6. Teknik Analisis Data Analisis data adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam mengklasifikasi, menguraikan data yang diperoleh kemudian melalui proses pengolahan
nantinya
data
permasalahan yang diteliti.
yang
ada
digunakan
untuk
menjawab
13
Teknik analisis data yang dipergunakan penulis adalah analisis data yang bersifat deduktif dengan metode silogisme. Artinya bahwa penulis dalam melakukan analisis data ini mengedepankan pemikiran secara logika sehingga akan menemukan sebab dan akibat yang terjadi. Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduktif ini berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 47). Dalam penulisan hukum ini yang dimaksud sebagai premis mayor yang sifatnya umum ialah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang terkait. Sedangkan yang dimaksud sebagai premis minor yang bersifat khusus ialah kinerja KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia. Sehingga dari kedua premis tersebut, penulis dapat menarik suatu kesimpulan yang dapat digunakan untuk menjawab isu hukum yang diteliti.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hukum dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dan diharapkan mampu untuk mempermudah pemahaman yang berkaitan dengan keseluruhan isi dari penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini terdiri dari empat bab, di mana masingmasing bab terbagi menjadi beberapa sub bab untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi dari penelitian ini. Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi gambaran mengenai penelitian, di mana bab ini terbagi menjadi beberapa sub bab yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta
14
metode penelitian yang berupa jenis penelitian, lokasi penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber hukum penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi uraian mengenai kerangka teori dan kerangka pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian ini. Kerangka teori memaparkan mengenai beberapa hal. Pertama adalah tinjauan umum tindak pidana yang di dalamnya memuat pengertian tindak pidana dan unsur-unsur tindak pidana. Kedua adalah tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi yang di dalamnya memaparkan mengenai pengertian tindak pidana korupsi dan macam-macam delik tindak pidana korupsi. Yang ketiga adalah tinjauan umum mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang di dalamnya memaparkan mengenai pengertian KPK, Tugas, wewenang, dan kewajiban KPK, serta struktur organisasi KPK.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dan pembahasannya. Hal ini merupakan bagian inti dari keseluruhan penulisan hukum. Di mana dalam bab ini pula penulis menguraikan dan menganalisa rumusan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Rumusan masalah yang ingin diteliti oleh penulis, yaitu Implementasi Kinerja KPK dalam Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan hambatan KPK dalam menanggulangi tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.
15
BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi uraian dari kesimpulan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan berdasarkan pada rumusan yang telah ditentukan sebelumnya, dalam hal ini diuraikan pula saran dari permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN