1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu cara bagi pasangan infertil untuk memperoleh keturunan. Stimulasi ovarium pada program FIV dilakukan untuk mendapatkan sejumlah oosit yang matur dan selanjutnya dilakukan pembuahan in vitro. Oosit matur bisa didapatkan dari siklus alamiah ataupun dengan stimulasi ovarium. Setelah diketahui keberhasilan mendapatkan oosit matur dari siklus alamiah berbeda bermakna dibanding dengan stimulasi ovarium, maka cara ini sudah jarang dilakukan (Eldar-Geva T et al., 2000). Induksi ovulasi bertujuan untuk menciptakan kondisi ovulasi dengan cara memproduksi satu folikel matur yang nantinya akan berovulasi. Induksi ovulasi akan memperbaiki gangguan ovulasi yang berguna mendapatkan ovulasi dan kehamilan. Stimulasi ovarium diberikan baik pada wanita normal dengan ovulasi teratur ataupun pada wanita dengan gangguan ovulasi, bertujuan untuk mendapatkan folikel yang banyak sehingga akan meningkatkan angka kehamilan. Pada fertilisasi in vitro, prosedur stimulasi ovarium akan menghasilkan lebih dari satu komplek oosit cumulus sehingga setelah dilakukan fertilisasi akan menghasilkan lebih banyak embrio untuk ditransfer dan disimpan beku (Macklon et al., 2006). Selama periode kehidupan wanita, terjadi penurunan fungsi reproduksi wanita sehubungan dengan bertambahnya usia. Hal ini disebabkan oleh penurunan cadangan folikel ovarium dan penurunan kualitas oosit. Dibutuhkan suatu marker yang dapat diandalkan untuk menilai cadangan ovarium, sehingga memberikan nilai potensial yang sangat besar sebagai prediktor jangka waktu reproduksi wanita (La Marca et al., 2010). Salah satu hormon yang berperan sebagai marker untuk menilai kuantitas dan kualitas cadangan folikel ovarium adalah Anti Mullerian Hormone (AMH) (Baerwald, 2002). Anti Mullerian Hormone (AMH) merupakan suatu bentuk transformasi glikoprotein dari transforming growth factor-β (TGF- β). Selama ini AMH lebih
2
dikenal karena perannya dalam diferensiasi seksual laki-laki. AMH diproduksi oleh sel Sertoli dalam testis, menyebabkan regresi duktus Mullerian wanita yang merupakan cikal bakal tuba falopii, uterus, dan bagian atas vagina. Pada wanita, AMH menunjukkan keterlibatannya dalam fungsi ovarium pasca lahir. AMH dihasilkan oleh sel granulosa pada folikel preantral serta folikel antral kecil dari folikel ovarium (Tran et al., 2011). Pada wanita, AMH menyebabkan perubahan dari folikel primordial menjadi folikel matur. Seorang wanita normal akan mengeluarkan AMH selama masa reproduksinya dengan level yang bervariasi. Level AMH akan mencapai puncaknya saat fase folikuler akhir (Cook CL et al., 2000). Pelepasan AMH dari sel granulosa ovarium sebanding dengan jumlah folikel yang berkembang di ovarium, sehingga AMH juga diperkirakan dapat menjadi marker untuk proses penuaan ovarium karena jumlah folikel yang berkembang pada manusia akan menurun sesuai dengan usia (Broekmans et al., 2006). Selama AMH diproduksi oleh folikel matur hal ini juga menyiratkan nilai potensial AMH sebagai marker untuk menilai respons ovarium terhadap stimulasi gonadotropin. Konsentrasi serum AMH yang rendah sebelum atau selama terapi FIV berhubungan kuat dengan penurunan jumlah dan kualitas oosit. Hal ini disebabkan karena konsentrasi AMH yang dihasilkan folikel kecil secara tidak langsung menggambarkan cadangan ovarium yang tersisa (Kavenaar et al., 2006). Pada beberapa penelitian, kadar serum AMH berhubungan dengan respons ovarium pada FIV, pada pasien dengan kadar FSH yang normal (Seifer DB et al., 2002). Lebih jauh lagi, kadar serum AMH dapat dilibatkan dalam pemilihan folikel yang sensitif FSH pada early antral stage (Durlinger et al., 2002). Pemeriksaan cadangan ovarium sangatlah penting dilakukan sebelum FIV. Identifikasi responder yang baik maupun yang buruk terhadap stimulasi ovarium memungkinkan klinisi untuk mengoptimalisasi protokol stimulasi untuk menurunkan tingkat pembatalan siklus dan efek samping, seperti ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS). Pembatalan siklus FIV dilakukan bila terdapat poor response yakni terdapat folikel kurang dari empat dengan diameter
3
>15 mm. AMH diperkirakan dapat menjadi alat prediktor untuk keberhasilan terapi FIV dan maturasi oosit (Seifer et al., 2002). Penelitian tentang AMH belum banyak dilakukan, terutama di Indonesia, sehingga belum banyak orang yang mengetahuinya. Mengingat akan hal tersebut, maka penulis mencoba meneliti hubungan kadar AMH dengan prediksi keberhasilan respons stimulasi ovarium pada proses fertilisasi in vitro.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: apakah pemeriksaan kadar Anti Mullerian Hormone (AMH) dapat membantu dalam menentukan keberhasilan stimulasi ovarium metode protokol panjang pada pasien yang mengikuti program fertilisasi in vitro?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan kadar Anti Mullerian Hormone (AMH) terhadap keberhasilan stimulasi ovarium. 2. Tujuan khusus a. Untuk menganalisis hubungan antara AMH tinggi dengan keberhasilan dilakukannya stimulasi ovarium protokol panjang. b. Untuk membandingkan dosis gonadotropin maupun lama stimulasi ovarium yang diperlukan pada pasien dengan AMH tinggi dan rendah.
4
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa kadar AMH memang merupakan marker yang baik untuk cadangan dan fungsi ovarium sehingga dapat digunakan sebagai pemeriksaan awal pada pasien-pasien yang akan menjalani stimulasi ovarium protokol panjang. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan menambah kepustakaan dalam penelitian tentang Anti Mullerian Hormone (AMH) yang masih merupakan hal yang jarang diteliti di Indonesia.
5
E. Keaslian Penelitian TABEL 1. Penelitian terdahulu mengenai AMH dan infertilitas Peneliti
Blazar et al., (2011)
Dharma wijaya (2007)
Riggs RM et al., (2008)
Bhide P et al., (2012)
Sampel dan Lokasi Penelitian
Metode Penelitian
190 wanita, Rhode Island
Penelitian retrospektif (long protocol)
126 wanita, Srilanka
Penelitian retrospektif (long protocol)
123 siklus (93 pasien), Virginia
820 wanita, London
Penelitian retrospektif (long and short protocol) Penelitian kohort retrospektif (long protocol)
22 pasien, Jakarta
Studi potong lintang (long and short protocol)
Gnoth, C et al., (2008)
316 pasien, Jerman
Studi prospektif (long and short protocol)
Fleming R et al., (2013)
Review beberapa penelitian
Studi pustaka
Soegiharto S (2009)
Kesimpulan Penelitian Terdapat hubungan signifikan antara kadar AMH tinggi dengan peningkatan jumlah oosit dan kehamilan AMH rendah mempunyai perbedaan signifikan dalam hal jumlah oosit dan angka fertilisasi yang rendah dibanding AMH tinggi AMH mempunyai hubungan lebih baik terhadap jumlah oosit dibanding dengan usia, FSH, LH, inhibin B dan estradiol AMH merupakan prediktor yang lemah dibanding usia dalam hal kehamilan klinis AMH mempunyai kemampuan memprediksi respons ovarium terhadap stimulasi ovarium pada fertilisasi invitro (FIV). Secara keseluruhan AMH lebih superior dibandingkan prediktor yang lain (FSH, E2, dan FAB) AMH merupakan prediktor yang baik terhadap respons ovarium dan sesuai untuk skrining awal program FIV Kadar AMH merupakan penanda yang baik untuk cadangan ovarium dan respons stimulasi ovarium pada FIV
Perbedaan Klasifikasi AMH : AMH >3 ng/ml AMH 1 – 3 ng/ml AMH <1 ng/ml Klasifikasi AMH : AMH rendah : ≤14 pmol/l AMH tinggi : >14 pmol/l *(1 ng/ml = 7.14 pmol/l AMH) Penggunaan kurva ROC didapatkan batas nilai AMH ≥0.83 ng/ml mempunyai jumlah oosit >4 (97% NPV) Klasifikasi AMH dibagi dalam 4 kuartil : <10.28 pmol/l 10.29 – 20.02 pmol/l 20.03 – 35.38 pmol/l >35.38 pmol/l (1 ng/ml = 7.14 pmol/l AMH)
Nilai titik potong AMH yang didapatkan adalah 3 ng/ml, nilai AMH <3 ng/ml berarti kemungkinan respons ovarium pada FIV buruk dan sebaliknya nilai ≥3 ng/ml, baik
Penggunaan kurva ROC, didapatkan titik potong nilai AMH 1,26 ng/ml. Dikatakan respon buruk jika kadar AMH ≤1,26 ng/ml, dan respon baik jika AMH >1,26 ng/ml Klasifikasi AMH : non response : <1,1 pmol/l poor response : 1-5 pmol/l normal response : 5-15 pmol/l high response : >15 pmol/l *(1 ng/ml = 7.14 pmol/l)