1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah merupakan hak yang unik dan terbatas, oleh karena itu ia berharga. Barang siapa menguasai tanah tersebut, juga menguasai potensi modal yang menguntungkan.1Tanah adalah sesuatu yang unik dan bersifat tetap dan hampir tidak dapat dihancurkan serta memiliki nilai pendapatan dan penghasilan. Tanah bukanlah merupakan sekedar tanah belaka atau kebutuhan yang turun temurun tetapi lebih dari sekedar gumpalan tanah, tambang, mineral
dibawahnya,
dan
bangunan-bangunan
yang
berdiri
di
permukaannya.2Tanah memiliki nilai yang sangat strategis bagi kehidupan manusia.3Oleh karena tanah memiliki nilai yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka diperlukan tata kelola mengenai pemanfaatan, penggunaan, pengelolaan tanah untuk kepentingan kesejahteraan manusia. Arti penting tanah dalam kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia sama sekali tidak bisa dipisahkan dari tanah.4Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah5. Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan di sisi lain harus dijaga kelestariannya.6 Untuk mendapatkan tanah manusia melakukanya dengan segala cara yang akhirnya menimbulkan masalah. Masalah-masalah tersebut dilatar belakangi oleh antara lain:7 1
Samun Ismaya, Hukum Administrasi Pertanahan, Graha Ilmu, Edisi Pertama, Yogyakarta, 2013, hlm. 1 2 Ibid, hlm 2 3 Syarifudin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Atas Tanah Di Indonesia: Suatu Pemikiran, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Hukum Agraria, Fakultas Hukum USU, Medan, 2013, hlm 3 4 Samun Ismaya, Op. Cit, hlm. 2 5 G. Kartasapoetra, dkk, HukumTanah, Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Bina Aksara, Jakarta, 1999, hlm.2 6 Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang,2007, hlm. 1 7 Ali Achmad Chomas, Hukum Pertanahan dan Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah, Prestasi Pustaka Publishier, Jakarta, 2003, hlm.9
1
2
a. Kurang tertibnya administrasi pertanahan di masa lampau. b. Harga tanah yang meningkat dengan cepat. c. Kondisi masyarakat yang semakin menyadari dan mengerti akan kepentingan dan haknya. d. Iklim keterbukaan sebagai salah satu kebijaksanaan yang digariskan pemerintah. e. Masih adanya oknum-oknum pemerintah yang belum dapat menangkap aspirasi masyarakat. f. Adanya pihak-pihak yang menggunakan kesempatan untuk mencari keuntungan materiil yang tidak wajar/menggunakan untuk kepentingan politik. Selanjutnya Thomas Malithus (pada abad 18) mengatakan:8 “Bahwa pada akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi kemampuan tanah dalam menjamin kepentingan hidup manusia yang akan jauh berada dibawah kemampuan berkembangnya jumlah penduduk dimana dalam keadaan demikian timbul banyak masalah, antara lain: kelaparan, kepadatan penduduk dan peperangan.” Siapapun membutuhkan dan memerlukan tanah untuk mewujudkan segala keinginan dan kepentingannya. Manusia membutuhkan tanah untuk mendirikan tempat tinggalnya, badan-badan usaha membutuhkan tanah untuk mendirikan pabrik dan kantor-kantor tempat usahanya serta Pemerintah membutuhkan tanah untuk mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, jalan raya dan lain sebagainya.Semua itu dikenal sebagai suatu Konflik Kebutuhan yaitu dalam suatu areal yang sama bertumpu sekian banyak kepentingan dan keinginan.9 Kemampuan tanah untuk menjamin segala kebutuhan dan kepentingan manusia lama-kelamaan akan berkurang karena perbuatan manusia itu sendiri.
Hutan-hutan
digunduli,
kekayaan
alam
dieksploitasi
tanpa
diremajakan kembali, menyebabkan alam menjadi rusak, tandus dan tidak berfungsi lagi. Mengenai hal ini hukum alam telah menentukan bahwa: 10
8
G. Kertasapoetra, Op. Cit, hlm.2 Jhon Salindeho, Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 38 10 G. Kartasapoetra, OP. Cit, hlm 2-3 9
2
3
a.
Keadaan tanah yang statis itu akan menjadi tumpukan manusia yang tahun demi tahun akan berkembang dengan pesat.
b.
Pendayagunaan
tanah
ditambah
pengaruh-pengaruh
alam
akan
menjadikan instabilitas kemampuan tanah tersebut. Tanah merupakan barang yang bernilai ekonomis/ mudah diperjualbelikan. Untuk tanah –tanah bekas hak milik adat walaupun dari segi kekuatan hukum kepemilikan hak atas tanah masih kurang kuat dibandingkan tanah-tanah yang sudah bersertipikat akan tetapi tidak mengurangi orang/pihak lain untuk membeli tanah bekas hak milik adat. Berdasarkan gambaran di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia.Oleh karena itu, tanah sebagai tumpuan masa depan wajib dipelihara agar mendatangkan kesejahteraan bagi manusia. Agar tanah benar-benar bisa mendatangkan manfaat dan kesejahteraan bagi manusia (masyarakat Indonesia), maka perlu dikuasai oleh Negara. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1994 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang merupakan hukum dasar pendayagunaan tanah di sebutkan: Bumi dan Air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menguasai oleh Negara bukan berarti melenyapkan/menghilangkan hak-hak kepemilikan atas tanah, akan tetapi mengatur dan mengawasi pemilik tanah agar tidak melakukan hal-hal sebagai berikut:11 a. Mengeksploitasi tanah secara berlebihan. b. Menelantarkan tanah dalam jangka waktu yang lama. c. Melakukan penyerobotan tanah terhadap tanah yang bukan miliknya. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang berbunyi sebagai berikut :
11
Arnis Bermawi, Catatan Kuliah Hukum Agraria Universitas Borobudur, tidak dipublikasikan, Jakarta, 2002, hlm 72
3
4
Hak menguasai dari Negara yang di maksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a.
mengatur dan menyelenggarkan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa. Saturnino M Borras menyebutkan dalam journal of agrarian bahwa
The meaning of land and policies is diverse and contested across and within local and (inter)national settings. The phrase ‘land policy’, used to refer to all policies that have anything to do with land.12(Maksud dari kebijakan pemerintah itu sangat beragam dan terdapat di dalam hukum nasional dan juga internasional, kata “Land Policy” biasanya mengacu kepada kebijakan pemerintah.) Pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengatur pemanfaatan tanah serta menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas bidang tanah yang dimilikinya, sehingga tanah bisa berfungsi secara optimal untuk meningkatkan kemakmuran bagi rakyat sesuai amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pemberian kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan:13 a.
Perangkat hukum tertulis, yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten;
b.
Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif; Demi mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
warga masyarakat, maka diperlukan pengaturan yang tertulis, lengkap dan dilaksanakan secara konsisten sehingga mencegah terjadinya sengketa tanah.
12
Saturnino M. Borras JR and Jennifer C. Franco, Contemporary Discourses and Contestations around Pro-Poor Land Policies and Land Governance, dalam Journal of Agraria Change,Vol No 1 January 2010, PP 1-32, diakses tanggal 08 Juni 2015, Pukul 15.00 WIB. 13 Justisia Pradnya Paramita, Politik Hukum di Bidang Pendaftaran Tanah, Abstrak
4
5
Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum berlakunya UUPA, hukum agraria bersifat dualisme,14 yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan hukum agraria yang berdasarkan atas hukum barat disamping berlaku ketentuan yang bersumber dari hukum adat. Perbuatan hukum pendaftaran tanah maupun pendaftaran hak atas tanah adalah suatu peristiwa penting karena menyangkut segi hak keperdataan seseorang dan bukan hanya sekedar kegiatan administratif.15Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA, merupakan sebagian dari tugas dan wewenangPemerintah di bidang pendaftaran tanah. Pendaftaran Hak dan pendaftaran peralihan hak dapat dibedakan tugas, yaitu: 1.
Pendaftaran Hak atas Tanah, adalah pendaftaran hak untuk pertama kalinya atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah.
2.
Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah.16 Pasal 19 ayat (3)UUPA, menentukan bahwa Pendaftaran tanah
diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelengaraanya, Menurut pertimbangan menteri agraria, peraturan tentang pendaftaran tanah selain diatur dalam UUPA juga diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah (LN 1961-288) dan telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (LN1997-57)yang sampai saat ini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah.17 Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dimaksud pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur meliputi pengumpulan,
14
Ahmad Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat-Multi Diiplin Pembudayaan Pancasila. Dewa Ruci Press. Jakarta. 1982. hlm 12 15 Samun Ismaya,Loc Cit, hlm 81 16 Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksaannya, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 80 17 Ananta Rizal Wibisono, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pertamakali Secara Sporadik Menjadi Sertipikat Hak Milik Berdasarkan Surat Segel (Studi di Desa Sumberkradenan Kecamatan Pakis Kabupaten Malang), “Jurnal Hukum”. 2012. hlm. 3-4
5
6
pengolahan, pembukuan, penyajian, serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pentingnya tindakan pemerintah dalam melakukan pengurusan hak atas tanah karena memang pemerintah diberi amanat oleh konstitusi, disamping itu banyaknya penyimpangan-penyimpangan atau ketimpangan dalam penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah oleh orang atau badan hukum ataupun oleh pemerintah sendiri.18 Karena dewasa ini terlebih di Negara kita penggunan tanah, pengawasan tanah dan pemilikan tanah masih belum tertib dalam arti bahwa masih banyak penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan rencana guna tanah.19 Pendaftaran atas tanah bekas milik adat karena jual beli yang kurang efektif atau tidak dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri. Masyarakat masih berpikiran awam dan konsevatif, mereka masih menggunakan jasa Camat dalam pelaksanaan jual beli tanah. Padahal pelaksanaan jual beli tanah melalui camat seringkali kurang efektif. Hal ini disebabkan camat mengeluarkan Akta jual beli tidak disertai dengan kelengkapan syarat-syarat untuk peralihan hak atas tanah menjadi status hak milik itu sendiri. 20 Tanah-tanah yang masih berstatus bekas milik adat yang belum memiliki sertipikat tanah, maka jaminan kepastian hukum atas tanahnya belum kuat terutama pada luas tanah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena pengukuran dilakukan bukan bertujuan untuk kepastian hukum melainkan untuk dasar penarikan pajak sehingga tentunya pengukurannya kurang teliti dibandingkan dengan pengukuran untuk pembuatan sertipikat tanah. Demikian pula di Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor, masih banyak warga masyarakat yang belum atau kurang mengerti arti dan fungsi
18
Samun Ismaya, Loc. Cit, hlm 143 Palmery, Hukum Agraria, http://palmery.blogspot.co.id/2015/07/, 9Juli 2015, 23.00
19
20
Elfachri Budiman,”Peradialan agrarian”, artikel pada Jurnal Hukum, edisi no 1 Vol. 1, 2005, hlm. 74
6
7
sertipikat tanah maupun prosedur untuk memperoleh sertipikat tanah tersebut. Oleh karena itu, status tanah maupun alat buktinya masih banyak yang berpegang pada ketentuan lama di kantor kelurahan/desa. Selain itu masyarakat juga sering beranggapan bahwa : Pendaftaran tanah/pendaftaran peralihan hak atas tanah adalah mempersulit mereka saja, biaya mahal, prosedurnya berbelit-belit dan mereka takut jika tanahnya diukur/dipetakan oleh petugas agraria karena nantinya tanah tersebut akan diambil oleh pemerintah untuk kepentingan umum.21 Anggapan seperti itu pemilik atau pemegang hak mengabaikan atau melalaikan apa yang menjadi kewajiban hukumnya, yaitu mandaftarkan tanahnya. Apalagi kelalaiannya itu memang tidak ada sanksi yang tegas bagi pemilik/pemegang hak, baik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah maupun dalam PMNA 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga persoalan yang timbul berkenaan dengan Pendaftaran Tanah. Tujuan pendaftaran tanah meliputi pendaftaran untuk pertama kali, maupun untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali diatur dalam Bab III Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sedangkan yang berlaku pada saat sekarang ini, diatur dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah yang merupakan kepunyaan bersama menurut hukum adat tidak dapat didaftarkan begitu saja tanpa ada musyawarah dari kaum dan pemilik tanah, oleh sebab itu petugas Kantor Pertanahan harus menanyakan terlebih dahulu pada pemilik tanah hak milik adat tersebut, apakah sudah merupakan kesepakatan bersama dari anggota kaum untuk
21
Bachtiar Effendie, Op. Cit, hlm. 55
7
8
mendaftarkan tanah adat tersebut.22 Untuk mendaftarkan tanah adat haruslah ada kesepakatan atau persetujuan dari anggota kaum yang gunanya untuk menjaga jangan timbulnya sengketa nantinya. Pembuatan dan penerbitan sertifikat hak atas tanah merupakan salah satu rangkaian kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah.23 Disamping itu dengan dilakukannya pendaftaran tanh secara tertib dan teratur akan merupakan salah satu perwujudan dari pada pelaksanaan Catur Tertib Pertanahan.24 Faktor yang mempengaruhi sangat kurangnya minat dari masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya, disebabkan karena tidak adanya sanksi sama sekali yang diberikan dan dikenakan terhadap tanah yang tidak didaftarkan, atau juga masih belum cukup dipahaminya arti pentingnya tanda bukti hak atas tanah (sertifikat) bukti yang kuat, disamping itu tidak tertutup kemungkinan karena tinggi biaya dan lamanya proses penyelesaiannya.25 Sejak berlakunya ketentuan UUPA, maka perbuatan hukum jual beli tanah tidak lagi dibuat di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa secara di Bawah tangan, melainkan dihadapan pejabat yang berwenang, yaitu seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) apabila suatu daerah Kecamatan belum diangkat seorang PPAT. Selanjutnya masih dalam PP yang sama yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa keharusan
22
Yuli Siti Rosidiah, Agraria, http://ysrodiyah.com/, 9Juli 2016, 23.30 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 112. 24 Henny Saida Flora, Prona Sebagai Usaha mempercepat Pensertipikatan dan Menciptakan Tata Tertib Pertanahan, Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2007, Volume 25 No. 232-234 25 Hermanses, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Karyadarma, Institut Ilmu Politik, Jakarta. 1984. hlm 78 23
8
9
peralihan hak atas tanah termasuk jual beli tanah oleh para pihak dihadapan PPAT diuraikan dalam Pasal 37 ayat (1) yang berbunyi:26 Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat pentingnya fungsi PPAT maka perlu kiranya diadakan peraturan tersendiri yang mengatur tentang PPAT. Barulah pada tanggal 5 Maret 1998, pemerintah menerbitkan peraturan khusus mengenai PPAT yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP No. 37 Tahun 1998), (Lembaran Negara Nomor 52 Tahun 1998; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746). PP Nomor 37 Tahun 1998 ini merupakan landasan hukum terhadap eksistensi atau keberadaan PPAT yang berlaku saat ini. Peraturan pelaksana dari PP Nomor 37 Tahun 1998 yaitu Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 (selanjutnya disebut Perkaban No. 1 Tahun 2006) tentang
Peraturan Jabatan PPAT yang
kemudian dirubah dengan Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 (selanjutnya disebut Perkaban Nomor 23 Tahun 2009). Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Tugas pokok PPAT dalam hal ini adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (1)
26
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
9
10
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006. Perbuatan hukum itu disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian hak Tanggungan, dan pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai.27 Fungsi akta PPAT dalam jual beli, sesuai pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya No.1363/K/Sip/1997 bahwa Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah. Akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli tersebut. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain.28Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor10 Tahun 1961 (yang sekarang sudah disempurnakan dengan PeraturanPemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah), pendaftaran jual beli hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum,29 Oleh karena itu, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta tersebut, PPAT wajib mendaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk memperkuat pembuktian terhadap pihak ketiga. Peralihan hak-hak atas tanah sangat erat kaitannya dengan PPAT, karena dalam pemindahan hak atas tanah melalui jual beli, maupun melalui pewarisan, pemisahan hak bersama, dan yang lainya untuk memperoleh kepastian hukum atas sebidang tanah memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, jelas, dan dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan 27
Irma Devita Purnamasari, Hukum Pertanahan, Bandung , Pt Mizan Pustaka, 2010, hlm 16. 28 Boedi Harsono Loc Cit. hlm. 65 29 Henny Saida Flora, Loc Cit.
10
11
jiwa dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal tersebut dapat tercapai melalui pendaftaran tanah.30 Diuraikan diatas maka dapat diketahui bahwa berdasarkan hukum tanah nasional, praktek perbuatan hukum yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah (dalam hal ini jual beli), hanya dapat dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh PPAT. Pendaftaran jual beli yang dilakukan seseorang tanpa suatu akta yang dibuat oleh PPAT maka mengakibatkan seseorang tersebut tidak akan memperoleh sertifikat balik nama, meskipun jual belinya sah menurut hukum. Peralihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang yang akan membuat peralihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik adat) tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.31 Peranan PPAT menjadi semakin penting karena PPAT memiliki tugas membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam rangka melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu dalam hal ini jual beli mengenai hak milik atas tanah. B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah:
1.
Bagaimanakah Pelaksanaan Pendaftaran Hak atas Tanah Bekas Milik Adat karena jual beli di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor?
30
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997. Samun Ismaya, Op. Cit, hlm 177
31
11
12
2.
Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penghambat dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak atas Tanah Bekas Milik Adatkarena jual beli di Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor?
3.
Bagaimanakah penyelesaian terhadap hambatan tersebut di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengatasi Pelaksanaan Pendaftaran Hak atas Tanah Bekas Milik Adat di Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor.
2.
Untuk mengatasi faktor penghambat dalam Pelaksanaan Pendaftaran Hak atas Tanah Bekas Milik AdatKarena Jual Beli dan penyelesaian terhadap hambatan tersebut di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
3.
Untuk mengetahui penyelesaian atas hambatan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
D.
Manfaat Penelitian Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan, sebab besar kecilnya manfaat penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Secara Teoritis Penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu bidang hukum pertanahan khususnya yang berkenaan pelaksanaan pendaftaran Hak atas Tanah Bekas Milik Adat.
2.
Secara Praktis a. Sebagai upaya meningkatkan pengetahuan penulis dalam bidang hukum pertanahan khususnya pelaksanaan pendaftaran Hak atas tanah bekas milik adat karena jual beli di desa tajurhalang, kecamatan tajurhalang kabupaten bogor.;
b. Sumbangan pemikiran, bahan bacaan dan sumber informasi serta bahan kajian tentang pelaksanaan pendaftaran Hak atas tanah bekas milik adat karena jual beli; 12
13
c. Sebagai bahan literatur bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian mengenai hukum pertanahan; d. Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret;
13