BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketoprofen atau asam 2-(3-benzoilfenil) propionat merupakan obat antiinflamasi non steroid yang digunakan secara luas untuk pengobatan rheumatoid arthritis, osteoartrithis, serta mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Terapi secara oral menggunakan ketoprofen sangat efektif dilakukan, tetapi ketoprofen dapat menyebabkan efek samping pada saluran cerna (Shohin dkk., 2012). Para peneliti berusaha untuk mengatasi efek samping ketoprofen pada gastro intestinal dengan penghantaran transdermal. Sifat fisikokimia obat memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem peghantaran transdermal (Potts dan Francoeur, 1991; Kalia dkk, 1998; Prausnitz dan Langer, 2008). Obat yang cocok dihantarkan melalui rute transdermal mempunyai sifat : 1) kelarutan dalam air > 1mg/mL, 2) lipofilik (logP =1-3), 3) bobot molekulnya rendah (< 500 Dalton), 4) memiliki titik leleh yang rendah (< 200°C) (Guy, 2010). Ketoprofen memiliki sifat fisikokimia sebagai berikut : lipofilik (nilai log P=2,81), bobot molekul 254,3, titik leleh 94,5 0C, kelarutan dalam air 150 µg/mL (Hadgraft dkk., 2000). Berdasar sifat fisikokimia tersebut ketoprofen merupakan molekul obat yang bisa dijadikan kandidat untuk penghantaran secara transdermal. Sistem penghantaran secara transdermal memiliki tantangan terbesar dalam permeasi obat melalui kulit yaitu stratum korneum. Stratum korneum adalah lapisan terluar kulit yang merupakan rate limiting step transpor obat ke epidermis bagi sebagian besar obat. Strategi yang paling umum digunakan untuk
1
meningkatkan permeasi melalui stratum korneum yaitu dengan penambahan enhancer. Pendekatan lain untuk meningkatkan permeasi kulit dengan mengembangkan pembawa obat baru. Salah satu contoh sistem pembawa obat yang dapat digunakan adalah mikroemulsi dan nano carrier (Okyar dkk., 2012). Mikroemulsi adalah dispersi cair transparan dengan ukuran tetesan 20-200 nm. Keuntungan mikroemulsi yaitu meningkatkan kelarutan obat, stabil secara termodinamik, mudah dibuat dan biaya murah (Neubert, 2011). Selain itu mikroemulsi juga dapat meningkatkan permeasi obat lipofilik serta obat hidrofilik. Formula mikroemulsi meliputi empat komponen dasar yaitu minyak, surfaktan,
kosurfaktan dan air. Minyak yang digunakan dalam pembuatan
mikroemulsi dapat berupa minyak nabati dan derivatnya maupun minyak mineral. Menurut Flanagan dan Singh (2006), minyak mineral digunakan karena kemudahan dalam pembentukan mikroemulsi serta kemurniannya. Pembentukan mikroemulsi dengan bobot molekul tinggi seperti trigliserida lebih sulit dibandingkan jika menggunakan minyak mineral. Trigliserida yang mengandung asam lemak berantai panjang bersifat semipolar dibandingkan minyak mineral dan lebih sulit terjadi penetrasi pada lapisan antarmuka untuk membentuk kurvatur yang optimal. Untuk mengatasi hal tersebut beberapa peneliti menggunakan minyak dengan bobot molekul yang rendah. Contantinides dan Scalart (1997) menyatakan bahwa mikroemulsi dengan gliserida rantai panjang mempunyai viskositas dan indeks bias yang lebih tinggi tetapi densitas, konduktivitas dan ratarata
diameter
droplet
lebih
rendah
dibandingkan
dengan
mikroemulsi
menggunakan gliserida rantai sedang.
2
Pembentukan mikroemulsi yang stabil memerlukan adanya surfaktan yang bekerja dengan menurunkan tegangan antar muka. Akan tetapi, surfaktan tunggal tidak dapat menurunkan tegangan antarmuka air-minyak secara cukup untuk menghasilkan sebuah mikroemulsi. Dibutuhkan adanya
penambahan sebuah
molekul amfifilik rantai pendek atau kosurfaktan untuk membawa tegangan antarmuka mendekati nol. Secara luas, molekul yang dapat berfungsi sebagai kosurfaktan meliputi surfaktan nonionik, alkohol, asam alkanoat, alkanediol dan alkil amina (Lawrence dan Rees, 2000). Pada penelitian ini, Virgin Coconut Oil (VCO) digunakan sebagai fase minyak. Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan minyak yang dihasilkan dari buah kelapa tua segar, diolah secara mekanis/alami baik dengan cara tradisional, pemanasan bertahap, enzimatis, pengasaman, sentrifugasi, maupun pancingan serta tidak mengakibatkan perubahan pada sifat alami minyak (Villarino dkk., 2007). Pada umumnya minyak kelapa merupakan sumber triasil gliserol rantai sedang (Medium Chain Triglycerides, MCTs), mencapai 60% dari total kandungan minyak (Norulaini dkk., 2009). MCTs dalam minyak kelapa disusun oleh gliserol dengan 3 asam lemak jenuh yang mempunyai panjang rantai karbon 6-12 dikelompokkan sebagai asam lemak rantai sedang (Medium Chain Fatty Acids, MCFA). Diharapkan dengan adanya kandungan asam lemak rantai sedang ini mampu membentuk mikroemulsi yang stabil. Tween 80 dipilih sebagai surfaktan dalam penelitian ini. Tween 80 merupakan surfaktan non ionik yang paling sering digunakan sebagai surfaktan karena memiliki nilai toksisitas yang rendah dibandingkan dengan surfaktan
3
lainnya (Kreilgaard, 2002). Tween 80 telah digunakan sebagai surfaktan yang menghasilkan mikroemulsi VCO yang stabil pada konsentrasi 45% (Yati dan Nursal, 2011). Propilen glikol digunakan sebagai kosurfaktan karena selain dapat membantu menurunkan tegangan antarmuka propilen glikol juga dapat meningkatkan absorpsi obat secara transdermal seperti teofilin (Nugroho dkk., 1999). Permeabilitas fentanil menembus kulit tikus meningkat dengan penambahan propilen glikol dalam formula adhesive patch (Mehdiyadheh dkk., 2006). Penentuan jumlah proporsi bahan dalam sediaan mikroemulsi sangat menentukan terbentukya mikroemulsi. Salager dkk. (2009) menyatakan bahwa formulasi dalam pembuatan mikroemulsi sangat penting, karena pembentukan mikroemulsi sangat sensitif terhadap formulasi. Sedikit penyimpangan dari formulasi yang sesuai untuk pembentukan mikroemulsi dapat menyebabkan perubahan drastis sifat-sifatnya. Proporsi formula untuk masing-masing komponen dalam penelitian ini ditentukan menggunakan pendekatan Simplex Latice Design. Pada penelitian ini akan dibuat formula mikroemulsi transdermal ketoprofen menggunakan VCO sebagai fase minyak, dan selanjutnya akan dilakukan uji transpor menggunakan sel difusi tipe vertikal serta dilakukan pula prediksi in vivo kadar obat dalam plasma menggunakan bantuan software WinSAAM (University of Pennsylvania, USA).
4
1.
Rumusan masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat disampaikan rumusan masalah sebagai
berikut: 1.
Apakah kombinasi VCO, Tween 80/propilen glikol, dan akuades dapat menghasilkan mikroemulsi transdermal ketoprofen yang stabil secara fisik, jernih, serta memiliki difusi obat yang optimal?
2.
Apakah sediaan mikroemulsi transdermal dapat membantu melampaui konsentrasi efektif minimum ketoprofen?
2.
Keaslian Penelitian Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memformulasi ketoprofen
dalam bentuk mikroemulsi. Namun sejauh pengetahuan penulis penelitian yang menggunakan VCO sebagai fase minyak dalam formulasi mikroemulsi ketoprofen belum pernah dilakukan. Berikut penelitian yang terkait dengan penelitian formulasi mikroemulsi ketoprofen dan penggunaan VCO pada sediaan mikroemulsi: 1.
Desain formulasi mikroemulsi O/W menggunakan isopropil miristat, isopropil palmitat, etil oleat, dan asam oleat sebagai fase minyak, polisorbat 80 dan span sebagai surfaktan, caprilic acid sebagai trigliserida, propilen glikol, isopropil alkohol sebagai kosurfaktan. Penelitian ini juga mengkaji pengaruh mentol sebagai enhancer (Dhamankar dkk., 2009).
2.
Penghantaran transdermal ketoprofen menggunakan mikroemulsi. Diagram pseudo ternary digunakan untuk menentukan komposisi fase minyak, surfaktan, kosurfaktan dan air. Asam oleat digunakan sebagai fase minyak
5
karena memiliki kapasitas pelarutan dan permeasi yang baik. Formula optimum yang diperoleh adalah: 3% ketoprofen, 6% asam oleat, 30% labrasol/Cremophor RH 40 (1:1), dan air. Terpen digunakan sebagai enhancer dengan konsentrasi 5% (Rhee dkk., 2001). 3.
Pengaruh struktur internal pada pelepasan ketoprofen dengan menggunakan isopropil miristat 20%, surfaktan dan kosurfaktan 80% menggunankan tween 40 dan imwitor dengan perbandingan 1:1 (Podlogar dkk., 2005).
4.
Formulasi mikroemulsi topikal menggunakan fase minyak Virgin Coconut Oil dan isopropil laurat dengan natrium diklofenak sebagai model obat (Widiastuti, N., 2010).
5.
Formulasi mikroemulsi minyak kelapa murni (VCO) dengan tween 80 sebagai surfaktan (Yati dan Nursal, 2011).
6.
Formulasi mikroemulsi minyak kelapa murni untuk sediaan nutrisi lengkap parenteral (Kholik, 2007). Dalam penelitian ini akan dilakukan formulasi mikroemulsi ketoprofen
menggunakan VCO sebagai fase minyak yang menurut pengetahuan penulis belum ada penelitian mikroemulsi ketoprofen yang menggunakan VCO sebagai fase minyak. Tween 80 digunakan sebagai surfaktan dan propilen glikol sebagai kosurfaktan.
B. Tujuan Penelitian 1.
Membuat sediaan mikroemulsi transdermal ketoprofen dengan menggunakan kombinasi VCO, Tween 80/propilen glikol, dan akuades dengan karakteristik stabil secara fisik, jernih, dan memiliki difusi obat yang optimal.
6
2.
Mengetahui pengaruh sediaan mikroemulsi terhadap pencapaian konsentrasi efektif minimum ketoprofen.
C. Manfaat Penelitian 1.
Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama untuk peneliti di bidang teknologi farmasi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam hal formulasi sediaan mikroemulsi transdermal.
2.
Bagi industri farmasi di Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan produk baru berupa mikroemulsi transdermal dengan bahan aktif ketoprofen.
7