Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan sumber daya pertambangan menjadi aspek penting penyokong pembangunan daerah. Sektorpertambangan diyakini berpotensi unggul dan bernilai ganda dimana kehadirannya dapat memberikan kontribusi positif baik secara finansial, penyerapan tenaga kerja lokal, penanggulangan kemiskinan maupun efek positif lainnya yang dimungkinkan dapat terjadi. Oleh karena itu, sektor pertambangan dijadikan sebagai salah satu sektor prioritas potensi daerah yang dikelola
untuk
mendukungpelaksanaan
pembangunan
dan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat. Paradoks dengan statement diatas kasus-kasus pertambangan di tanah air justru memperlihatkan minimnya perhatian perusahaan terhadap perbaikan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan masyarakat daerah. Fenomena yang terlihat hadirnya sektor pertambangan justru dimanfaatkan oleh negara (pemerintah daerah-desa) dan elit-elit lokal lainnya sebagai instrumen politik dan ekonomi. Sebaliknya negara dimanfaatkan sebagai alat kapital pemberi konsesi-konsesi untuk eksploitasi pertambangan. Oleh karenanya keberadaan sektor pertambangan hampir tidak memberikan manfaat yang signifikan terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penduduk di daerah eksplorasi industri pertambangan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia hidup dalam kemiskinan. Meskipun tidak ada data statistik yang akurat, tapi dari berbagai survei dapat diperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2009 sekitar 17 persen, dan penduduk miskin yang tinggal di wilayah pertambangan mencapai lebih dari 25 persen. Bahkan, misalnya PT. Newmont Nusa Tenggara, sekalipun menempati urutan pertama penyumbang terbesar bagi PDRB NTB, pada kenyataannya jumlah angka kemiskinan termasuk yang ada di daerah eksplorasi industri pertambangan atau lingkar tambang Batu Hijau di Kecamatan Sekongkang, masih sangat tinggi. Di Kecamatan Sekongkang, terdapat sedikitnya 565 kepala keluarga (KK) miskin atau sekitar 29,4 persen dari 1.887 KK. Di Kecamatan Maluk, ada 452 kepala keluarga miskin atau 1
16,83 persen dari 2.743 KK. Di Kecamatan Jereweh, terdapat sedikitnya 552 KK miskin atau 23,04 persen dari 2.206 KK. Sementara total KK miskin di KSB mencapai 5.645 KK atau 19,46 persen dari total jumlah KK yang bermukim di KSB (n.d., Kompasiana.com, 21 Maret 2011). Tingginya angka kemiskinan di wilayah kerja industri pertambangan itu merupakan sebuah ironi. Dikarenakan masyarakat yang berada di sekitar lingkungan tambang berada dalam posisi yang selalu dirugikan atas aktivitas pertambangan. Masyarakat lingkar tambang dihadapkan pada situasi yang ironis. Mereka lahir dan besar di kawasan operasi perusahaan, tapi hanya menjadi budak dan kuli bangunan, mengais rejeki dan bertahan hidup dari limbah-limbah perusahaan. Tidak hanya itu mereka juga harus menanggung dan menikmati kerusakan limbah perusahaan yang mengancam masa depan generasi selanjutnya (Aperiansyani, N 2012, h: 3). Narasi tersebut memberikan gambaran terang bahwa masyarakat lingkar tambang menjadi korban yang dibenarkan atas nama pembangunan. Persoalan kemiskinan dan kelangkaan ekologi bagi banyak pihak menjadi sebuah bencana besar. Tapi dilain pihak persoalan kelangkaan dan kemiskinan justru digadaikan atas nama kepentingan ekonomi. Bagi para penganut paham ekonomi liberal, misalnya kelangkaan adalah aspek penting bagi bekerjanya ekonomi. Dalam konteks ini kerusakan lingkungan dan kemiskinan menjadi komoditi yang harus dimaanfaatkan semaksimal mungkin. Tidak mengherankan jika proses ekspansi pertambangan dapat berjalan dengan mulus dikarenakan adanya keterbukaan sikap dari aktor-aktor negara baik pemerintah pusat hingga pemerintah daerah yang dengan gamblangmemberikan dukungan secara administratif dan politik guna memperlancar proses penjarahan. Di level lokal, kini banyak pemerintah daerah yang membuka diri lebar-lebar terhadap investasi dari luar untuk mendongkrang pendapatan daerah. Dengan berbekal argumentasi otonomi daerah, kini semakin banyak pemerintah daerah yang mengembangkan kebijakan pengelolaan pertambangan yang ramah terhadap pelaku pasar. Proses yang dijalankan memang bervariasi. Ada yang melalui kerjasama, utang bersyarat, ataupuninvestasi bersyarat. Umumnya, pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat menyetujui adanya pengelolaan pertambangan di daerah kepada perusahaan-perusahaan besar dalam hal ini PT. Newmont Nusa Tenggara karena logika praktis dalam mengedepankan sumber ekonomi secara cepat (Nanang dalam Endaryanta 2007, h: xxii). xvii
Realitas di atas mengisahkan terjadinya penjajahan nalar ekonomi terhadap institusi negara, dan juga aktor-aktor dalam negara, telah berdampak serius terhadap pelemahan kuasa negara untuk mengatur public goods. Pengaruh modal menjadi sedemikian kuat terhadap arah kebijakan negara. Dalam literatur ilmu politik, fenomena semacam ini disebut sebagai thecaptured state; dimana aktor-aktor swasta mengkooptasi dan menggerakkan institusi negara. Dengan mengedepankan keuntungan ekonomis jangka pendek semacam inilah yang kemudian menutup mata pelaku-pelaku negara terhadap efek-efek sosial, ekonomis dan juga ekologis yang ditimbulkannnya (Nanang dalam Endaryanta 2007, h: xxiii). Sebagai bentuk keprihatinan dan kepura-puraan kepedulian terhadap fenomena kemiskinan yang kian meluas di daerah eksplorasi industri pertambangan, perusahaan dalam hal ini PT. Newmont Nusa Tenggara melaksanakan program CSR (Corporate Social Responsibility). Dalam menjalankan program CSR tersebut PT. Newmont Nusa Tenggara berelasi dengan aktoraktor lain, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah desa. Relasi yang tercipta antara berbagai aktor dilatar belakangi oleh kepentingan yang beragam. Bagi perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) program CSR harus tetap terlaksana dengan tujuan menjalankan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat di daerah eksplorasi industri pertambangan. Namun senyatanya prioritas yang dikedepankan oleh perusahaan adalah terciptanya image positive perusahaan di masyarakat sebagai bekal untuk melakukan proses penjarahan pertambangan dalam periode yang lama. Sulit dipahami bahwa perusahaan yang notabene berorientasi memaksimalkan keuntungan ekonomis menjalankan program CSR untuk menanggulangi kemiskinan masyarakat lokal dan benar-benar memiliki komitmen moral untuk mendistribusikan keuntungannya untuk mengeliminir persolan tersebut. Seperti yang telah dikemukakan oleh (Aperiansyani, N 2012, h: 4) dalam tesisnya patut dipertanyakan bahwa lembaga-lembaga kapitalistik melakukan kegiatan-kegiatan nirlaba sebagai manifestasi tanggung jawab mereka terhadap masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan. Melihat dari motifnya menunjukkan bahwa CSR yang diimplementasikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara hanyalah “kamuflase” bukanlah sebuah kesungguhan moral yang dilakukan dengan “sepenuh hati”. Mengingat tabiat perusahaan pertambangan yang hanya mengejar keuntungan semata, tidak mungkin kiranya memiliki tujuan dan maksud mulia untuk xvii
memangkas persoalan kemiskinan, menghormati hak-hak masyarakat lokal di areal pertambangan dan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu, sangatlah tidak mungkin untuk menuntut perusahaan bertanggung jawab terhadap persoalan sosial, budaya maupun lingkungan, karena sesungguhnya tanggung jawab perusahaan telah terealisasi melalui penambahan laba (mengejar keuntungan) dan masalah sosial adalah urusan negara, karena perusahaan sudah membayar pajak (Friedman 1962, h: 133). Berbeda dengan perusahaan, pemerintah daerah dan desa kerap menjadikan dana CSR sebagai sumber baru dana pembangunan serta menjadikan program CSR sebagai celah untuk melepaskan tanggungjawabnya sebagai penyedia utama public goods terhadap masyarakat dampak tambang. Menurut Taufik dalam (csrindonesia.com,5 Mei 2013), kepentingan ekonomi pemerintah ini menjadi problematik mengingat bahwa kecenderungan dari kepentingan tersebut adalah pemerintah akan membiarkan perusahaan membangun infrastruktur sendirian. Bahkan lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut justru mengarah pada biaya “entertainment” pejabat pemerintah lebih banyak dibanding biaya pembangunan sosial dan lingkungan di suatu wilayah. Kondisi demikian memperlihatkan betapa mirisnya perilaku elit birokrasi pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat yang apatis terhadap masyarakat dampak tambang dan sangat pragmatis memanfaatkan anggaran dan program-program CSR untuk kebutuhan segelintir pihak. Kendatipun pemerintah dan perusahaan telah menyusun program CSR secara mapan dalam rangka penanggulangan kemiskinan namun pada prakteknya berbagai program yang telah tersusun rapi tersebut belum mampu mengatasi problema kemiskinan di masyarakat yang cenderung fluktuatif. Kondisi demikian memperlihatkanbahwa sampai saat ini berbagai aktor belum serius untuk menanggulangi akar kemiskinan di daerah industri pertambangan dikarenakan adanya tukar-menukar kepentingan antar aktor yang membuat program penanggulangan kemiskinan dikesampingkan. Pada titik problematika inilah penelitian ini hendak diarahkan yaitu untuk menguak relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Pola relasi dapat dilihat melalui keterlibatan berbagai aktor dan kepentingannya dalam rangka penanggulangan kemiskinan tidak hanya dimaknai dari sisi manajemen semata namun harus ditilik pada perspektif sosio-politik,
xvii
yaitu terlibatnya berbagai aktor dalam pusaran relasi struktur kuasa (power structure relation) yang melingkupinya. Dengan demikian, aktor-aktor yang terlibat dalam pusaran relasi struktur kuasa bukanlah barang yang statis dan suci melainkan dinamis. Setiap aktor memiliki kepentingan dan ideologinya sendiri dalam melakukan pembelaan atas nama kepentingan rakyat, yang sesungguhnya syarat dengan konflik kepentingan atas nama pribadi. Oleh karena itu, masyarakat miskin merupakan masyarakat yang rentan terhadap “perebutan dan monopoli kuasa” berbagai aktor kepentingan. Masyarakat miskin menjadi subjek yang harus dibela dan dipentingkan agar tidak semakin terpinggirkan dan tereksploitasi dari kepentingan antara aktor-aktor yang berelasi dalam upaya penanggulangan kemiskinan tersebut. Dalam upaya melakukan pengobatan terhadap kemiskinan diperlukan pemahaman yang tepat, meskipun bukan pekerjaan yang sederhana dalam memahami fenomena kemiskinan. Langkah mendasar yang perlu diklarifikasi oleh berbagai aktor adalah memahami dengan serius akar dari kemiskinan yang timbul dan semakin parah yang terjadi di daerah eksplorasi industri pertambangan. Yang selama ini terjadi justru berbagai aktor sibuk berelasi untuk saling mengisi kepentingan satu dengan yang lainnya dan abai terhadap kondisi masyarakat. Idealnya tercipta pola relasi yang dapat memberikan ruang dan posisi tawar (bargaining position) terhadap masyarakat miskin untuk dapat memperbaiki kondisi yang tengah menimpa mereka. Masyarakat miskin tidak hanya diposisikan sebagai objek yang kerap dieksploitasi namun harus dihargai keberadaannya dengan cara menjalankan program CSR yang relevan dengan realitas yang dibutuhkan masyarakat miskin sebagai upaya memangkas kemiskinan. Studi tentang relasi penguasa dan pengusaha, kemiskinan dan CSR sesungguhnya telah banyak berserakan dihadapan pembaca. Sebagai upaya untuk menciptakan keberpihakan maka peneliti akan menyuguhkan kajian-kajian terdahulu yang mampu mendukung kedalaman analisis peneliti. Kajian tentang relasi bisnis dan politik pada tataran teoritis telah dilakukan oleh kalangan para akademisi sejak awal tahun 1990an. Misalnya Wiliam Reno (1995) yang telah menulis tentang relasi penguasa dan pengusaha di Sierra Leone, Afrika, yang ia sebut sebagai praktek shadow state dalam bukunya “Corruption and State Politics in Sierra Leone”. Sebuah kajian yang komprehensif dengan menunjukkan interaksi korporasi antara elit di Sierra Leone, Afrika. Singkatnya, ia mengatakan bahwa terjadinya shadow state tidak terlepas dari adanya xvii
praktek informal market dan lemahnya institusi negara (Reno 1995). Demikian juga dengan Barbara Harris White (2003, h: 89) telah menulis hampir sebagian besar dari transaksi ekonomi di India dilakukan melalui mekanisme informal economy dan praktek shadow state, dengan mengacu pada temuan studinya di India. Sementara studi terkini dalam melihat relasi penguasa dan pengusaha dapat ditilik melalui tulisan Muhammad Mahsun (2012) yang mengacu pada temuan studinya di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU). Dengan judul Local Predatory Elit?Potret Relasi PolitisiPengusaha dengan Penguasa Studi Relasi di DPRD dengan elit eksekutif dalam penganggaran Pembangunan infrastruktur di Kabupaten OKU Pasca Pemilu 2009. Secara singkat berdasarkan studi yang telah dilakukan, Muhammad Mahsun kemudian menulis bahwa wajah politik lokal Indonesia masih berada dalam cengkraman dan kekuasaan elit-elit lokal yang sangat predatoris, Hadirnya kelompok borjuasi lokal di DPRD Kabupaten OKU telah membuat mereka sulit untuk melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Karena mereka semakin menjadi elit lokal yang berwatak predatoris yang memiliki kecenderungan untuk menguasai sumber daya ekonomi daerah (local resources). Ini dibuktikan dengan semakin mesranya hubungan mereka dengan pihak elit eksekutif. Hubungan ini terejawantah dalam bentuk hubungan patronase politik dan kronisme (perkoncoan) yang terbangun diantara local-state actors. Kajian seputar CSR, dapat ditilik melalui tulisan (Aperiansyani, N 2012, h: 90) terkait Defisit Akuntabilitas Perusahaan: The Politics of Corporate Social Responsibility yang menjelaskan bahwa adanya kesenjangan antara besarnya akuntabilitas atau pertanggungjawaban PT. Newmont Nusa Tenggara untuk mempertanggungjawabkan segala bentuk aktivitasnya dalam skema Corporate Social Responsibility (CSR). Romantisasi peran strategis perusahaan berhasil mengelabui masyarakat yang menilai bahwa perusahaan tidaklah mungkin melakukan kecerobohan. Kajian ini secara tegas menerangkan bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara belum berhasil mengcover defisit akuntabilitasnya. Skema Corporate Social Responsibility (CSR) yang ditampilkan tidak lebih sekedar program basa-basi yang tidak tepat sasaran. Senafas dengan studi diatas (Mustafa, S 2010, h: 15) melalui kajiannya tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan Tambang antara Pemberdayaan Sosial dan Keamanan Sosial, xvii
menjelaskan bahwa kegiatan penambangan Batu Hijau di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat berimplikasi pada terjadinya perubahan sosial masyarakat lokal yang tidak dibarengi dengan aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR) yang memberdayakan. PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai pelaksana proyek penambangan belum memiliki upaya detail dalam mengantisipasi kerusakan perubahan sosial pada masyarakat lokal. Hal ini terlihat secara lebih eksplisit dari studi (Riadi, R 2009, h: 27) yang menjelaskan bahwa para aktor elit dalam hal ini pemerintah daerah dan pemerintah desa yang berkecimpung dalam pengelolaan CSR sering menyuarakan kepentingan rakyat, namun realitasnya berlainan, yakni membela kepentingan pribadi atau kelompok yang bukan merupakan representasi kepentingan publik secara luas. Sehingga tak jarang bagi pemerintah daerah-desa keberadaan perusahaan dijadikan sebagai sumber automated teller machine (ATM)bagi para birokrat. Belum terlihatnya kesungguhan dari pemerintah daerah ataupun pemerintah desa serta PT. Newmont Nusa Tenggara untuk meminimalisir kemiskinan by design yang mereka ciptakan pada masyarakat lingkar tambang. Dengan tidak berusaha mengamini dan mendeskriditkan studi yang lain, senyatanya belum ada studi yang secara gamblang berhasil menceritakan kontestasi dan kongkalikong antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam rangka melakukan pemiskinan terhadap masyarakat dampak tambang. Kongruen dengan hal tersebut, studi ini berupaya untuk mengintroduksi adanya dialektika kekuasaan sebagai bentuk persekongkolan politik dan ekonomi yang terjadi antara predator politik dengan predator ekonomi dalam melakukan eksploitasi kemiskinan. Oleh karena itu, kekhasan dari studi ini berkeinginan untuk membedah pola relasi dengan cara menyajikan beberapa signifikansi yang dapat membuat penelitian ini menjadi menarik untuk dikaji. Setidaknya dapat dilihat dari dua (2) hal yaitu: Pertama, penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan relasi, kepentingan dari berbagai aktor serta interaksinya dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Hal ini penting karena berkurang dan bertambahnya jumlah masyarakat miskin di daerah eksplorasi industri pertambangan erat kaitannya dengan keberadaan berbagai aktor tersebut. Jika aktor-aktor, kepentingan dan pola relasinya terkuak maka akan memperlihatkan sejauhmana keberpihakan aktor-aktor tersebut terhadap perbaikan kualitas masyarakat atau dimungkinkan aktor-aktor tersebut justru kompak untuk memiskinkan masyarakat. xvii
Kedua, penelitian ini diharapkan mampu menggali mekanisme, metode dan teknis, serta nilai-nilai
yang
dikedepankan
dalam
pengelolaan
program
CSR
(Corporate
Social
Responsibility) sebagai upaya penanggulangan kemiskinan. Skema CSR yang ditawarkan oleh perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) dan diyakini semua pihak akan mampu meminimalisir kemiskinan, dalam prakteknya apakah betul berpihak terhadap masyarakat dampak tambang atau justru membuka celah untuk dipolitisasi oleh semua pihak yang berujung pada pemiskinan masyarakat. Hubungan konflik relasi kekuasaan tentu dapat mencapai titik equilibrium manakala terjadi kesepakatan atas batas nilai tertentu yang dianggap dapat saling menguntungkan, yang dapat diperoleh melalui negosiasi. Dibutuhkan instrumen kebijakan yang dapat memaksa semua pemangku kepentingan untuk dapat keep and touch terhadap pengelolaan CSR terpadu. Sehingga menciptakan mekanisme institusional yang seimbang antar aktor dan terintegrasi tentang bagaimana CSR itu dikelola menuju kepentingan bersama yang bertujuan untuk membangun masyarakat agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Oleh karenanya, berusaha untuk melihat, memahami dan mengerti relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, maka penelitian telah dilakukan dikecamatan eksplorasi industri pertambangan yaitu Kecamatan Sekongkang untuk melihat fakta kemiskinan sebagai produk hasil eksploitasi dan kolaborasi para predator lokal bersama korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) guna memperkaya kocek pribadi dan kelompok tertentu. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus, hal ini dikarenakan metode studi kasus merupakan metode penelitian yang memfasilitasi eksplorasi fenomena dalam konteksnya dengan menggunakan berbagai sumber data. Studi kasus merupakan strategi yang cocok bila pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan how atau why, dan fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 1996, h: 1-18). Terkait beberapa hal yang telah diuraikan sebelumnya akan diperoleh peneliti melalui observasi langsung, wawancara mendalam dan studi pustaka, yang secara detail akan dijelaskan oleh peneliti pada sesi selanjutnya. xvii
B. Rumusan Masalah Berdasarkan alur argumentasi yang telah dielaborasi pada latar belakang di atas penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat?” C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya maka penelitian ini dirancang untuk mengetahui beberapa hal, yaitu: 1. Menganalisa bagaimana relasi yang terjalin antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang. 2. Memetakan aktor yang terlibat dan kepentingannya apa dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang. 3. Menjelaskan praktek Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai agenda kamuflase dan politisasi yang justru memiskinkan masyarakat di Kecamatan Sekongkang. 4. Menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Sekongkang merupakan hasil kompromi dan kolaborasi yang terjadi antara elit-elit lokal dan korporasi. 5. Tujuan yang tidak kalah penting dari penelitian ini adalah menyuarakan keberpihakan dan pembelaan terhadap nasib masyarakat dampak tambang yang sengaja dimiskinkan oleh kelompok tertentu. Melalui penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan kontribusi perbaikan terhadap penderitaan dan pembodohan yang tengah dialami masyarakat dampak tambang di Kecamatan Sekongkang.
D. Kerangka Teori Untuk membaca fenomena kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Peneliti menggunakan teori predatory state dan CSR (Corporate Social Responsibility) sebagai kerangka analisa dalam memahami studi ini. Teori predatory state disini akan mampu mengkerangkai detail perselingkuhan yang terbangun antara aktor formal dan nonformal dengan korporasi (PT.NNT) yang berujung pada terciptanya pemiskinkan terhadap xvii
masyarakat dampak tambang. Sementara teori CSR (Corporate Social Responsibility) yang ditawarkan sebagai skema pengurangan kemiskinan justru bersifat ‘kamuflase’ dan di ‘politisasi’ oleh para predator formal dan informal beserta PT. Newmont Nusa Tenggara dalam rangka akumulasi keuntungan maksimal. D.1. Konsep Predatory state Praktek predatory state disini dilihat sebagai tipe korupsi yang dilakukan oleh para aparatur negara yang dibingkai dan bekerja dalam jaringan informal (informal networks). Dimana praktek predatori yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam menguasai public goods seringkali bekerja dalam ikatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terselubung. Ini dapat dilihat dari pengalaman-pengalaman praktek predatory state yang terjadi pada masa rezim otoriter Orde Baru (Hadiz, 2005; Robinson & Hadiz, 2004). Istilah predatory state biasa digunakan untuk membaca hubungan timbal-balik relasi antara negara, pasar dan masyarakat di negara berkembang (Endaryanta, E 2007, h: 36). Dimana negara secara dominan hadir dalam seluruh struktur ekonomi dan politik. Dalam struktur perekonomian, elit-elit negara berusaha untuk mengintervensi dan mengendalikan berjalannya mekanisme pasar secara dominan untuk kepentingan akumulasi material dalam rangka memperkaya diri. Dalam kaitan ini negara mengambil keuntungan dari sektor bisnis yang berada dalam kondisi lemah dan memburuk, terlebih dapat bersaing secara sehat dengan perusahaan-perusahaan internasional. Biasanya elitelite politik atau birokrat mengambil alih langsung dan mereka juga meminta sumbangan dari sang pengusaha atau uang suap sebagai imbalan jasa, karena dulu pernah dibantu oleh rezim pada saat perusahaan-perusahaan tersebut tergoncang atau mengalami krisis keuangan, dan pemberian kegiatan-kegiatan tanpa melalui proses tender yang fair. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Kang (2004, h: 16). “The predatory state is one in which the state takes advantage of a dispersed and weak business sector. Political elites pursue outright expropriation; they also solicit “donations” from businessmen who in turn are either “shaken down” by the regime or who volunteer brbes in return for favors, and employ other means as well …… potential state influence over economic life is vast, and those businessmen or groups privileged enough to receive low-interest loans or import quotas will benefit at the expense of others”.
xvii
Praktek predatory seperti yang dijelaskan oleh Kang di atas, menggambarkan bagaimana bekerjanya ikatan-ikatan relasi patronase dan kronisme antara pihak state actors dan privat actors yang bekerja membingkai praktek predatoris para aparatur negara tersebut. Relasi patronase politik antara elit politik dan pengusaha ini terjadi ketika bertemu dua kepentingan besar dari kedua pihak. Dimana kepentingan pihak pengusaha untuk mendapatkan perlindungan, kemudahan dan subsidi (bantuan) dari negara atas berjalannya usaha mereka bertemu dengan kepentingan para elite politik yang notabene memiliki kendali langsung atas kuasa negara yang membutuhkan sumberdaya material yang banyak beredar dalam sektor bisnis yang dimiliki oleh para pengusaha. Adanya rasa saling membutuhkan inilah yang kemudian menciptakan hubungan instrumental yang dilandasi suka sama suka tanpa ada ikatan keterpaksaan diantara keduanya. Konsep predatory state kerap digunakan untuk membaca kondisi politik dan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, khususnya terkait dengan hubungan politik timbal balik relasi negara, pasar dan masyarakat. Dengan hadirnya arus liberalisasi ekonomi yang begitu pesat dari barat, tumbuh dan berkembang dengan diikuti oleh proses liberalisasi politik yang pada hakekatnya membawa sistem kapitalistik, telah direspon secara berbeda-beda oleh negara-negara tersebut dengan memunculkan watak pemerintahan yang otoritarian. Dua dimensi tersebut, yakni ekonomi dan politik secara dominan berkembang dalam pembangunan negara (Endaryanta, E 2007, h: 36). Meskipun arus liberalisasi telah mulai berkembang di negara-negara tersebut, perilaku negara tetap mengambil peranan yang cukup penting dalam meletakkan dan menata strategi developmentalisme. Dengan alasan developmentalisme tersebut, beberapa negara berkembang mengambil peran yang cukup maksimalis dan mengambil margin keuntungan untuk memeperkaya diri. Inilah yang kemudian melahirkan sistem rezim pemerintahan yang sangat otoritarian dan korporatis. Indonesia pada masa rezim Orde Baru misalnya, dalam menghadapi dan merespon pasar bebas dengan alasan developmentalisme juga telah menempatkan diri sebagai negara yang bercorak otoritarian dan korporatis, yang pada akhirnya melahirkan karakteristik tipologi negara yang tercermin dari struktur pemerintahan yang bersifat predatory state (Endaryanta, E 2007, h: 39). Dalam konsep predatory state ini, aparat negara dan otoritas publik hadir secara dominan dalam seluruh struktur baik ekonomi maupun politik demi akumulasi kekayaan ekonomi dan xvii
politik mereka sendiri. Dimana kehidupan ekonomi dan politik dikendalikan dengan penggunaan kekuasaan ketimbang ditata dengan aturan-aturan, dan lebih memikirkan alokasi daripada regulasi. Kekuasaan arbiter dan represif digunakan untuk mendisorganisasi civil society (Hadiz, 2005, h: 105). Struktur politik ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru yang oligarkis dan intervensionis yang berhadapan dengan liberalisme modal dapat dikatakan sebagai pendukung lahirnya negara yang memiliki watak predatoris. Kekuasaan negara selain dijadikan alat oleh para predatorpredator kekuasaan juga untuk memfasilitasi diri dalam akumulasi modal politik dan ekonomi, tapi lebih banyak digunakan untuk membantu dan mendukung para kapitalis pemburu rente yang berada dalam jaringan patronase dan kroniisme penguasa. Koalisi antara oligarki privat dan publik tersebut tidak hanya menerapkan kekuasaan terhadap negara dan para pejabatnya melainkan juga menegakkan dominasi politik yang lebih luas sebagai bagian dari suatu koalisi kekuasaan yang dibangun di sekitar keluarga cendana. Hal inilah yang kemudian, menjadikan otoritas negara banyak dan semakin dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan komersial dari koalisi-koalisi bisnis-politik tersebut, dibandingkan oleh kepentingan-kepentingan kelembagaan dari para aparat negara seperti penciptaan suatu “tingkat aturan main”. Penguasaan ini pun dilakukan dengan cara-cara koersif yang pada akhirnya banyak menimbulkan keteganganketegangan politik di dalam masyarakat (Hadiz, 2005, h: 126). Berkaitan dengan ini, Robinson dan Hadiz (2004, h: 42) melihat predatory state merupakan “invisible hand” dari berjalannya mekanisme pasar. “predatory state where the invisible hand of market dominates administrative behavior, where everything is for sale and everything has a price, Soeharto state encompassed a highly organized system of social power not easy explained in terms of universally random and opportunist predatory practices”. Upaya untuk menegakkan bangunan predatory state dalam ranah kebijakan publik, rezim Orde Baru telah melakukan beberapa hal. Pertama, melanggengkan ketidakaturan sosial dan ekonomi dengan perangkat kebijakan yang menyertakan represifitas politik. Kedua, meletakkan sistem pengorganisasian negara dan masyarakat secara mendasar untuk menghancurkan potensi masyarakat (untuk melakukan resistensi baik melalui pemikiran maupun tindakan) melalui instrumen dominasi institusi korporatis negara. Ketiga, penetrasi dari pusat, provinsi dan kabupaten atau kota, dan desa melalui pola patronase yang komplek dan luas. Keempat, xvii
pemusatan oligarki kapitalis dengan menggabungkan kewenangan publik dan kepentingan bisnis ke dalam keluarga cendana (Endaryanta, E 2007, h: 41). Upaya-upaya yang dilakukan oleh rezim Orba di atas semuanya dibungkus dengan alasan developmentalisme. Jargon pembangunan selalu dikedepankan untuk melakukan pembasmian berbagai gerakan politik masyarakat dan bermunculannya ideologi-ideologi baru selain ideologi pembangunan yang dianut oleh rezim Orde Baru. Mengikuti pendapat Mas’oed (1989, h: 132) bahwa dikalangan rezim Orde Baru melekat keyakinan tentang masa depan Indonesia harus bebas dari politik yang didasarkan pada ideologi yang dilihat sebagai dosa masa lalu telah menyebabkan ketidakstabilan politik yang pada akhirnya juga membawa pada kehancuran ekonomi. Oleh karena itu, dalam rezim Orde Baru dengan alasan mengusung pembangunan ekonomi negara, maka pemusnahan ideologi-ideologi lain yang berseberangan dengan ideologi negara menjadi hal yang harus dilakukan. Tetapi sayangnya upaya mempromosikan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tersebut, masih saja tidak dibarengi dengan memberikan perhatian dan pengawasan terhadap politik kelompok status quo. Hal ini yang kemudian membuat struktur negara dan kebijakan-kebijakannya banyak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan keluarga bisnis-politik dan para investor asing yang melingkar dalam jaringan oligarkis keluarga cendana (Mahsun, M 2012, h: 28). Pandangan di atas dibangun dengan mengikuti pendapat James A. Robinson bahwa negaranegara berkembang yang kebijakan-kebijakannya banyak mempromosikan pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan politik status quo, maka memiliki kecenderungan untuk mencipatakan elit-elit kekuasaan menjadi predator: “if policies that promote economic development (such as building infrastructure and promoting free trade) and good institutions (such as secure property rights and encient bureaucracy) are inconsistent with the maintenance of the political status quo, then this give elites an incentive to be “predatory”, though this incentive may be dominated by the costs of being predatory” (Robinson, 2001, h: 2). Negara Orde Baru yang mengusung jargon developmentalisme dan bercorak otoritarian predatoris tersebut, pada akhirnya setelah diterpa krisis moneter tahun 1997-1998 runtuh. Keruntuhan rezim Orde Baru yang dibarengi gelombang reformasi ini, sayangnya tidak membuat xvii
jaringan oligarkis bisnis-politik yang dulu banyak bernaung dibawah kekuasaan para jenderal yang berpusat pada lingkaran cendana juga mengalami pemusnahan dan kehancuran berbarengan dengan runtuhnya rezim Orba. Meskipun negara sudah berada dalam proses transformasi ke dalam bentuk negara demokrasi liberal prosedural, tetap saja aliansi bisnis-politik dan oligarki kekuasaan hadir di Indonesia. Ini terjadi dikarenakan aliansi-aliansi bisnis politik yang oligarkis yang dulu beroperasi dalam satu arena dimana tarik-menarik politik dimediasi oleh para jenderal dan elit-elit birokrat yang berpusat pada Soeharto, kini telah membentuk aliasi-aliansi baru yang lebih luas. Gagasan di atas dibangun berdasarkan temuan Hadiz (2005) atas penelitiannya tentang politik Indonesia pasca reformasi. Dimana sistem hubungan predatoris antara para pejabat, kalangan pebisnis dan pialang politik yang terjalin dalam ikatan patronase dan kronisme masih terus mewarnai perpolitikan Indonesia, mulai dari Jakarta hingga ke daerah. Gambaran ini menunjukkan bahwa reformasi dan gelombang demokrasi liberal yang hadir di Indonesia gagal meruntuhkan struktur kekuasaan lama. Dalam bidang ekonomi, konglomerat-konglomerat lama tetap menjadi satu-satunya pemain di kota-kota maupun di daerah-daerah (Mahsun, M 2012, h: 60). D.1.1.Realitas Predatory State di Aras Lokal Prasangka akan berakhirnya praktek predatory state di level nasional pasca tumbangnya Rezim Orde Baru merupakan suatu kekeliruan. Terbukti masih banyak aktor nasional yang melestarikan diri sebagai predator untuk menguatkan kekayaan pribadi dan kelompok. Gejala predatory state ini mengalami pendalaman hingga di level lokal melalui gerbang otonomi daerah. Pemekaran wilayah di Kabupaten Sumbawa Barat ternyata menciptakan peluang baru bagi para predator baru untuk menciptakan imperium baru dalam melakukan korupsi. Para predator lokaldi Kabupaten Sumbawa Barat tersebut semakin menguat dan mengganas ketika berhadapan dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Artinya, mereka menjalin hubungan mesra untuk menukarkan dan melancarkan kepentingan berbagai pihak melalui berbagai dalih dan alasan. Para pengelola negara secara sadar atau tidak, kemudian menjadi penghamba kepentingan asing dan melakukan korupsi yang paling besar dan berbahaya karena mempertaruhkan kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, kedaulatan ekologi bahkan xvii
merusak tatanan sosial budaya masyarakat dampak tambang yang menjerumuskan mereka pada lembah kemiskinan. Para predator tersebut adalah kepala-kepala desa, tokoh-tokoh lokal, pengusahapengusaha lokal serta pemerintah daerah yang tunduk dan berkolaborasi dengan PT. Newmont Nusa Tenggara untuk memiskinkan masyarakat dampak tambang atas nama pembangunan. PT. Newmont Nusa Tenggara bahkan mampu membeli pemerintahan lokal dengan cara menggelontorkan uang pelumas sebagai dana kampanye kepada seluruh calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Sumbawa Barat pada pilkada 2005 saat itu. Berkat uang suap tersebut PT. Newmont Nusa Tenggara berhasil menempatkan representasinya di pos-pos penting di parlemen daerah Kabupaten Sumbawa Barat. Uang pelicin itu juga memudahkan perusahaan PT. Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan pemesanan kebijakan agar bersesuaian dengan kepentingan korporasi. Pilkada 2005 sebagai pilkada perdana di Kabupaten Sumbawa Barat justru dicederai oleh perselingkuhan para predator politik dan predator ekonomi dengan menjadikan Pilkada sebagai arena ‘transaksi’ transfer kepentingan antar aktor. Praktek predatory state semakin menggurita di level desa, yang mengundang hadirnya new predatory tidak hanya aktor-aktor formal, namun aktor-aktor informal yang kepentingannya terintegrasi dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) untuk memenuhi ambisi profit sepanjang masa. Seluruh predator lokal tersebut berperan sebagai instrument pembela kepentingan kapitalisme internasional, mereka mengupayakan keuntungan maksimal dan melestarikan dominasi penjarahan bagi korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Menurut Erwin Endaryanta (2007, h: 42) kasus diatas melukiskan predatory state menjadi variabel penjelas bagi lemahnya kemudian, legal dan political barier di level lokal. Gejala di atas secara gamblang menjadi faktor penjelas hilangnya institusi publik, entah negara, masyarakat atau organisasi apapun yang berorientasi publik menjadi instrumentasi yang bergerak menuju arena pasar. Berarti pula bahwa telah terjadi proses individualisasi di semua level; ekonomi, politik maupun budaya ataupun level pelembagaan politik negara. Perilaku negara yang mengamini perkembangan arus liberalisasi serta ramahnya negara terhadap pemodal asing mencitrakan diri sebagai instrument kapital yang memicu pengebirian masyarakat. Atas nama kepentingan ekonomi negara rela dimandulkan oleh kapital mulai dari xvii
pengkooptasian kewenangan dan pelemahan terhadap kebijakan pertambangan yang kemudian membebaskan tanggung jawab perusahaan terhadap perbaikan ekologi dan sosial masyarakat lokal. Kehadiran kebijakan yang berorientasi pada penciptaan agenda enterpreneurship dan peningkiran kelompok sosial yang persis menjadi sasaran pembangunan adalah akibat dari fenomena state capture. Kemandulan kebijakan publik dalam sebagai fenomena “State Capture” ini mengikuti penjelasan Harry Priyono sebagai berikut; “Kemandulan kebijakan publik sebagai fenomena state capture, yakni cara-cara pelaku bisnis untuk menentukan aturan main (legislasi, hukum, peraturan, dekrit) dengan menyuap pemerintah. Gejala ini menunjuk pula dalam praktek munculnya ambiguitas yang berupa simbiosis, koalisi ataupun kolusi antara sektor privat dan sektor publik. Tahun 1960-1980 sejarah ekonomi politik menunjukkan ambiguitas koalisi dengan kecenderungan “membusukkan” “sektor privat” menjadi kebalikan di tahun 1980-2000 yang ditandai dengan sektor privat “membusukkan” sektor publik”.
Problem ini menjadi titik refleksi penting terhadap lemahnya kapasitas negara (problem state capacity), akibat maraknya gejala efek predatory state di level nasional-lokal.Berimplikasi pada terjadinya ambiguitas karakter kerja institusi publik yang mengikuti agenda neoliberalisme adalah hilangnya tanggung jawab dari setiap lembaga terhadap anggotanya atau publik dan pengalihannya ke sektor lain yaitu sektor individu (Endaryanta, E 2007, h: 44). D.2. Konsep CSR (Corporate Social Responsibility)dalam Praktek Kamuflase CSR bukan sebuah komitmen yang muncul secara tiba-tiba, yang keberadaannya telah menjadi komitmen universal dan disetujui bersama sampai ditingkat global. Perdebatan ideologis dalam tubuh kapitalisme dan kritik terhadap ekonomi politik kapitalisme liberal yang gagal menjamin pemerataan kemakmuran, akibat pertumbuhan ekonomi serta kerusakan lingkungan yang mendorong lahirnya komitmen moral melalui CSR. Konsep CSR pada mulanya diperkenalkan dan bahkan dipostulasikan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 melalui bukunya yang berjudul “Social Responsibility of the Businessman”.
xvii
Secara substantif memang isu tentang CSR bukanlah merupakan hal yang baru, namun konsep tentang tanggung jawab sosial perusahaan diakui dan mulai dikembangkan pada tahun tersebut. Ide dasar CSR yang dikemukakan Bowen mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaannya beroperasi. Bowen menggunakan istilah sejalan dalam konteks itu untuk meyakinkandunia usaha tentang perlunya mereka memiliki visi yang melampaui kinerja finansial perusahaan. Wacana CSR seolah sebagai obat mujarab yang mampu menyelesaikan segala jenis persoalan sosial terkesan sangat moralis. Praktek CSR yang dijalankan oleh perusahaan sejagat (Multi atau Transnational Corporation) dalam konteks ini PT. Newmont Nusa Tenggara menunjukkan realitas yang berkebalikan dan gagal membuktikan kemajuan penampilan CSR. Sentimen terhadap pandangan moralis juga dilontarkan oleh (Fombrun dan Shanley dalam Idowu 2011, h: xvii) CSR lebih menekankan kewajiban moral dan bukan merupakan strategi bisnis. Tidak ada korelasi secara langsung antara CSR dengan mencari keuntungan perusahaan. CSR memang ditujukan untuk menunjukkan reputasi perusahaan di mata masyarakat dunia bahwa perusahaan atau bisnis benar-benar memiliki tanggungjawab moral terhadap lingkungan dan masyarakat untuk mendorong terwujudnya pembangunan sosial. Up to date, there is no consensus on the direct relationship between CSR and profitability; there may never be one, but scholars have made progress improving that there is correlation between engaging in CSR activities and improved public image, in other words for a firm to generate good reputation for it self. Sejak berlakunya Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2011 tentang Program Penilaian Peringkat Kerja (PROPER) yang mensyaratkan konsep CSR dideklarasikan dan implementasinya diatur di dalam undang-undang, yang menyertakan sanksi bagi perusahaan yang mengabaikan regulasi tersebut. Logika ini sama, semua perusahaan melakukan pemetaan sosial (social maping) bukan atas kesadaran bahwa pemetaan sosial itu penting, akan tetapi didorong oleh kepentingan bahwa pemetaan sosial merupakan salah satu komponen penting dalam penilaian PROPER. Kongruen dengan pemahaman diatas Susetiawan (2012, h: 3-4) menjelaskan bisa dipastikan hampir dari semua perusahaan yang menjalankan ritual CSR tidak tergolong untuk xvii
mewujudkan moral obligation melainkan sebagai strategi bisnis untuk mengatasi gangguan usahanya dari masyarakat. Konteks ini terlihat sangat jelas bahwa banyak birokrat manajemen perusahaan yang mengatakan bahwa perusahaan telah melakukan banyak hal yang berhubungan dengan masyarakat sebelum tuntutan komitmen moral itu dideklarasikan. Sebelum perusahaan itu beroperasi, pada masa eksplorasi, konstruksi dan operasi umumnya dilakukan oleh perusahaan seperti membayar pajak, membangun jalan, memberikan kontribusi dalam membangun perumahan masyarakat bagi yang tempat tinggalnya tergusur, memberikan sumbangan-sumbangan lain yang menjadi tuntutan masyarakat dan banyak bentuk-bentuk lainnya. Pendapat ini justru mengesankan bahwa pemahaman perusahaan terhadap CSR terbatas pada tanggung jawab sosial berbisnis (socially responsibile of bussiness) yang sesungguhnya berbeda dengan konsep CSR (Peter Utting and Jose Carlos Marques 2010, h: 7). CSR merupakan sebuah komitmen moral tidak hanya perusahaan harus menyisihkan dan bahkan menyisahkan sebagian keuntungannya melainkan juga rasa peduli untuk memfasilitasi perkembangan masyarakat sekitar agar mereka tumbuh dan berkembang sejalan dengan kemajuan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dengan demikian masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan yang beroperasi tidak lagi menjadi masyarakat yang tertinggal dan miskin di tengah hadirnya perusahaan sejagat MNC dan TNC. Disini letaknya dimana perusahaan harus secara sungguh-sungguh peduli dan bertanggungjawab atas rusaknya nilai-nilai sosial, ekonomi, dan budayaserta hilangnya natural resources yang dimiliki oleh masyarakat lokal, yang hasilnya dipindahkan ke perusahaan menjadi emas ataupun tembaga yang keuntungannya dinikmati oleh perusahaan dan aktor-aktor yang pro dengan korporasi (Susestiawan, 2012, h: 4). Perdebatan tentang konsep CSR memang agak rumit untuk dipahami, namun melalui tulisan (Matten dalam Hennigfeld (eds), dapat dipetakan terdapat dua (2) orientasi kepentingan yang paling sering muncul ketika membaca relasi antara negara dan korporasi dalam pengelolaan CSR yaitu kepentingan politik dan ekonomi. Kedua kepentingan tersebut akan dibahas dalam bangunan teorisasi mengenai CSR.
xvii
a. Kepentingan Politik Sektor privat yang memiliki banyak motivasi dalam melakukan CSR, mencantumkan ‘untuk menjadi warga negara yang baik’ sebagai salah satu nature of driver politis mereka (Matten dalam Hennigfeld (eds) 2006, h: 40). Moon, Crane, dan Matten berhasil mengidentifikasi peranan perusahaan dalam menjalankan tugas mereka untuk menjadi warga negara yang baik dengan berkontribusi dalam pembangunan sosial dalam hal ini CSR. Konsep ini lebih dikenal sebagai corporate citizenship. Sebagaimana yang dituliskan kembali oleh Matten dalam Henningfeld (eds) (2006, h: 36) bahwa; “.... there is grow claim on citizens to initiate social progress and development in civil society by becoming involved in a dense network of links to fellow citizens, rather than simply waiting for the welfare state to intervene. Many CSR programs of corporations can be understood in exactly this fashion...” Mulyadi Sumarto (2008, h: 20) pun mempertegas dengan statementbahwa sektor privat dalam melakukan CSR bukanlah semata-mata berdasarkan moralitas. Baginya, perilaku sektor swasta yang “anomali” dengan melakukan pelayanan sosial melalui CSR tidak lebih sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi bisnis sebagai political resources untuk beroperasi, karena bagaimanapun pelayanan sosial termasuk dalam penyediaan public goods bukanlah fokus dari perusahaan. Sebagaimana yang ia tuliskan: “Corporate citizenship, yet, does not only depict the moral initiative but also political scheme. From political point of view, the corporation is perceived using the concept of corporate citizenship to assert its moral commitment to get political resources i.e. business legitimacy. Therefore, if the corporation provides social services for people, it is not because their concern but due to the legitimacy” (Sumarto, M 2007, h: 8). Dari narasi diatas, kita bisa melihat CSR merupakan peran publik yang dimiliki lembaga privat, atau dalam tataran yang lebih teknis, CSR merupakan instrumen yang dimiliki swasta sebagai aktor non-negara untuk turut menyediakan public goods bagi masyarakat. Sektor swasta yang telah memiliki blueprint untuk memproduksi private goods dengan keuntungan sebagai orientasinya.
xvii
b. Kepentingan Ekonomi Dari sisi perusahaan, sebagai sebuah entitas bisnis setulus-tulusnya sektor privat melaksanakan CSR, selalu ada kepentingan ekonomi yang melatarbelakanginya. Matten dalam Henningfeld (2006, h: 40). mengungkapkan bahwa secara ekonomis CSR dapat meningkatkan keuntungan perusahaan. Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “Why Do Companies Engage in CSR?” bahwa: “CSR is enhacing the long term profitability of the company”. Pemahaman diatas berangkat pada dua ide. Pertama adalah shareholders value maximization atau maksimalisasi nilai pemegang saham. Secara signifikan Matten mengatakan bahwa CSR akan meningkatkan nilai perusahaan yang berdampak pada meningkatnya nilai saham perusahaan. Pandangan ini hanya melihat pada kepentingan jangka pendek perusahaan (dalam Henningfeld 2006, h: 11-13). Kedua, competitive advantage atau keunggulan kompetitif. Perusahaan yang memiliki program CSR ditengarai lebih unggul dalam kompetisi pasar dibandingkan tidak memiliki program CSR. Pandangan ini lebih berorientasi jangka panjang karena keunggulan kompetitif tidak dapat dinikmati secara instan (dalam Henningfeld 2006, h: 11-13). Namun, menurut ahli pemasaran Kotler dan Lee (2005), terdapat satu ide lagi yang menjadi kepentingan ekonomis perusahaan dalam melaksanaan CSR. Ide tersebut sebenarnya mirip dengan keunggulan kompetitif dari sisi capaian kurun waktu. Tetapi ide ini lebih bersifat caused related-marketing. Artinya perusahaan melakukan CSR untuk membangun brand dan citra terhadap masalah-masalah sosial untuk meningkatkan keuntungan perusahaan demi kepentingan marketing ke konsumen. Mulyadi Sumarto (2008, h: 19) melalui tulisannya juga turut mengkritik pelaksanaan programcommunity
developmentMultinationalCorporationyang
ditujukan
untuk
menjaga
keamanan fasilitas produksi dan menciptakan kepercayaan publik (public trust). Motif menjaga keamanan terlihat dari perilaku perusahaan dalam realisasi program community development yang dilakukan oleh perusahaan karena diawali dari konflik antara perusahaan dengan masyarakat. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa perusahaan merealisasi program tersebut pasca desentralisasi dimana pada saat itu keterbukaan dan kebebasan menyampaikan aspirasi xvii
masyarakat semakin besar. Pada sisi yang lain, secara normatif ketika proses produksi dilakukan maka kegiatan community development sebagai wujud kompensasi eksternalitas seharusnya segera dilakukan karena problem ini muncul ketika proses produksi telah dilakukan. Sementara itu motif membangun kepercayaan publik terlihat dari berbagai kegiatan propaganda mengenai CSR. Kepercayaan publik merupakan aset yang cukup berharga bagi sektor privat karena dengan aset ini perusahaan bisa menjalankan proses produksinya. Banyak kasus menunjukkan bahwa perusahaan dianggap tidak layak operasi karena ditolak keberadaannya oleh masyarakat. Dengan demikian, program CSR diposisikan sebagai media untuk mendapatkan legitimasi proses produksi yang dilakukan sektor privat. Karena program-program CSR dilatarbelakangi oleh motif tersebut maka sebagian besar program tidak mampu memberdayakan masyarakat. Skema CSR PT. Newmont Nusa Tenggara bahkan cenderung bersifat pragmatis dan insidentil dengan seluruh penyusunan program bersifat elitis, masyarakat lokal tidak pernah diberi kesempatan untuk terlibat dalam penyusunan program. Pihak korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) percaya terhadap pelaku representasi masyarakat yaitu kepala desa seluruh masyarakat lingkar tambang yang diyakini mampu menyuarakan kepentingan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan bahwa pilihan program lebih banyak ditentukan oleh perusahaan dan para representasi tersebut. Dalam konsep pemberdayaan, aspek partisipasi merupakan unsur penting dalam memberdayakan masyarakat, termasuk dalam memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam penyusunan dan pengelolaan program. Karakter dari program CSR yang dilaksanakan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara realisasinya bersifat tidak sistematis dan tidak direncanakan secara integral. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan program ditujukan pada usaha untuk meredam konflik dengan masyarakat. Dengan demikian pelaksanaan program bersifat insidentil karena menunggu tuntutan masyarakat dan bukan berdasarkan pada perencaaan yang sistematis. Yang lebih problematik lagi adalah bahwa implementasi program tidak diorientasikan untuk mempersiapkan masyarakat pasca ekstraksi (Sumarto, M 2008, h: 22). Tidak mengherankan ritual CSR semacam itu terus terlembaga karena keterbukaan sikap pemerintah daerah-desa di Kabupaten Sumbawa Barat yang bersekongkol dengan PT. Newmont xvii
Nusa Tenggara untuk menzalimi masyarakat atas nama kepentingan ekonomi. Keterlibatan pemerintah pun dalam pengelolaan CSR turut menambah derita panjang masyarakat karena abai dan rendahnya keberpihakan negara dan perusahaan dalam memajukan masyarakat lokal. Kendatipun keterlibatan dan campur tangan pemerintah dalam program CSR sampai saat ini masih menuai perdebatan. Terdapat beberapa literatur yang menjelaskan bahwa ada dua aliran pemikiran yang terkait dengan campur tangan pemerintah dalam program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Aliran pertama, merupakan kelompok ahli yang menolak campur tangan pemerintah dalam program CSR. Aliran ini beranggapan bahwa campur tangan pemerintah tidak dibutuhkan dalam pengembangan CSR karena adanya campur tangan pemerintah dianggap akan mengganggu kepentingan bisnis perusahaan. Sementara aliran yang kedua adalah merupakan kelompok yang mendorong campur tangan pemerintah dalam program CSR. Aliran kedua ini beranggapan bahwa campur tangan pemerintah mutlak dibutuhkan bagi perkembangan CSR. Pandangan
ini
didasarkan
pada
realitas
bahwa
operasionalisasi
perusahaan
banyak
mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah harus ikut campur tangan agar kepentingan masyarakat dan perusahaan dapat berjalan lancar (Susetiawan 2012, h: 38). Terlepas dari perdebatan pro dan kontra tentang campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan program CSR perusahaan tersebut, secara nyata praktek CSR yang dipahami oleh pemerintah dalam hal ini pemerintah desa dan pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat justru sebagai sumber rezeki bagi para birokratnya sehingga tak jarang perusahaan menjadi automaed teller machine (ATM). Kondisi ini diperkuat dengan tulisan Taufik Rahman, seorang pengkaji CSR dari Lingkar Studi CSR Indonesia, yang menuliskan bahwa pemerintah memiliki kepentingan ekonomis yang jelas disini, yaitu sebagai sumber baru dana pembangunan. Atau dalam istilah yang lebih teknis, sumbangan dana pihak ketiga. Bagi Taufik, kepentingan ekonomi pemerintah ini menjadi problematik mengingat bahwa kecenderungan dari kepentingan tersebut adalah pemerintah akan membiarkan perusahaan membangun infrastruktur sendirian. Bahkan lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut justru mengarah pada biaya “entertainment” pejabat pemerintah lebih banyak dibanding biaya pembangunan sosial dan lingkungan di suatu wilayah. Praktik suap dan korupsi demikian melekat kuat dalam xvii
hubungan antara perusahaan dengan pemerintah. Selain itu, lanjut Taufik ada kecenderungan pula dana community development yang menjadi bagian dari pelaksanaan CSR perusahaan didesak pemerintah sebagai bagian dari anggaran pemasukan dan belanja pemerintah. (Rahman, T csrindonesia.com,5 Mei 2013). Perdebatan teoritis terkait CSR justru memperlihatkan implementasi miris atas ketidakmampuan CSR dalam mensejahterakan masyarakat lokal, kondisi ini semakin diperkuat dengan hadirnya bukti meluasnya angka kemiskinan di Kecamatan Sekongkang yang notabene sebagai kecamatan tempat berlangsungnya operasi Industri PT. Newmont Nusa Tenggara. Realitas demikian semakin menguatkan tuduhan bahwa perusahaan memang tidak berkeinginan untuk memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakat sekitar. Hal ini tentu saja memperlihatkan bahwa terdapat diskriminasi terhadap nilai kemanusiaan yang tidak hadir sebagai nilai universal sebagai guide line of action dari semua pemangku kepentingan dalam hal ini negara dan perusahaan dalam melaksanakan CSR, akan tetapi nilai universal tersebut masih sebatas retorika yang tidak melahirkan etos. Kemiskinan, kelangkaan ekologi, dan kesengsaraan akan terus dinikmati oleh masyarakat lokal manakala relasi yang tercipta antara elit politik dengan elit ekonomi dalam pengelolaan CSR bersifat predatoris. Teori ini penting untuk disuguhkan untuk menggambarkan dinamika relasi yang terbangun antara negara (pemerintah daerah-desa) dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Menurut Susetiawan (2012, h: 9) kalau di negara-negara maju, hubungan antara negara, organisasi para pengusaha dan organisasi sosial non-profit terjadi dengan seimbang. Artinya, negara sebagai organisasi yang mengatur kehidupan masyarakat bisa dikritik dan dituntut oleh organisasi ekonomi dan sosial jika tidak melakukan tugasnya dalam memberikan pelayanan. Sebaliknya negara bisa menuntut dan menghukum organisasi masyarakat, baik ekonomi dan sosial, jika melakukan pelanggaran atas aturan yang telah ditetapkan. Situasi demikian tidak banyak terjadi di Indonesia. Ketika negara dan CSO itu kritis terhadap bisnis, mereka tidak pernah melihat dirinya sediri, apakah perlakuan pemerintah daerah terhadap perusahaan tentang pelaksanaan CSR hendak mengatur sebaik-baiknya dana CSR untuk masyarakat atau untuk kepentingan para birokratnya yang syarat dengan perilaku korupsi. Kalau demikian tesisnya, maka penyamaan stock of knowledge masih membutuhkan perjalanan waktu panjang. Perubahan
xvii
sosial itu sebuah proses, ini tergantung upaya bagaimana agar nilai universal tentang kemanusiaan menjadi perilaku keseharian dalam etos kehidupan. D.2.1.Relasi Aktor dalamPusaran CSR(Corporate Social Responsibility) Menguatnya kemauan politik dan ekonomi dari masing-masing aktor menjadikan program CSR sebagai arena “perselingkuhan” antara negara (pemerintah daerah-desa) dengan PT. Newmont Nusa Tenggara yang meminggirkan masyarakat. Seperti bahasan sebelumnya bahwa keberadaan program CSR (Corporate Social Responsibility) bukanlah sebagai obat mujarab yang mampu menyelesaikan sederet persoalan sosial, melainkan sebagai alat dari negara (pemerintah daerah-desa) dan PT. Newmont Nusa Tenggara untuk saling memenuhi kepentingan masing-masing. CSR justru menjadi alat baru guna memiskinkan masyarakat lokal. Kondisi diatas menjadikan masyarakat sebagai realisasi dari kezaliman hubungan atara negara dengan perusahaan. Berbagai kepentingan yang disuarakan dengan lantang atas nama masyarakat justru menunjukkan realitas yang berkebalikan. Fenomena ini terlihat dari data yang mengatakan bahwa jumlah angka kemiskinan di daerah eksplorasi pertambangan justru mengalami fluktuatif, kondisi ini jauh berbeda sebelum hadirnya perusahaan sejagat MNC (PT. Newmont Nusa Tenggara) dimana jumlah masyarakat miskin cenderung stabil. Pendek kata CSR tidak lagi sebagai ideologi yang berisi komitmen moral melainkan sebagai komoditi baru bagi perusahaan dan negara untuk memiskinkan masyarakat. Pergerakan dan pelaksanaan CSR (Corporate Social Responsibility) yang dijalankan oleh perusahaan hanya sekedar program basa-basi untuk meningkatkan reputasi positif perusahaan di mata masyarakat dunia. Anehnya kondisi ini didukung oleh pemerintah yang tidak pernah menuntut perusahaan untuk memperbaiki kualitas performance CSR (Corporate Social Responsibility)karena ketidakberdayaan pemerintah daerah dalam hal ekonomi. Terdapat pemahaman di elit birokrasi untuk tidak menegur bahkan melawan para elit ekonomi meskipun perlaksanaan CSR PT. Newmont Nusa Tenggara berlangsung buruk dan tidak tepat sasarankarena terkendala masalah uang. Adanya ancaman pengurangan kontribusi perusahaan terhadap kucuran dana APBD maupun untuk kocek pribadi dari para elit daerah menjadikan pasif sebagai pilihan terbaik.
xvii
Dalam konteks relasi antara pemerintah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam pengelolaan CSR, pemerintah lebih cenderung bersifat pasif dan penurut hal ini tentu mengindikasikan bahwa pemerintah daerah dan desa hadir sebagai kepanjangan tangan dari pasar, aktor-aktor negara melalui dana CSR disuap untuk melanggengkan kuasa eksplorasi. Kondisi ini justru diamini oleh negara yang menjadikan dana CSR sebagai dana baru yang mensupport aktivitas pribadi para birokrat. Pilihan pasif dari para pengelola negara tersebut bukan tidak memiliki motif, elit daerah-desa justru melakukan politisasi terhadap skema CSR PT. Newmont Nusa Tenggara untuk tidak melaksanakan kewajiban dalam melakukan penyediaan pelayanan publik terhadap masyarakat dampak tambang, dengan asumsi telah ada program dan dana CSR yang akan mampu mengcover peran dari pemerintah daerah-desa. Keterlibatan pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam pengelolaan program CSR justru menjadi peluang bagi perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) untuk berkoalisi atas nama kepentingan rakyat. Namun pada tataran empiris pemerintah daerah dan pemerintah desa justru menjadi penikmat utama atas kucuran dana CSR yang seharusnya ditujukan untuk perbaikan kualitas masyarakat lokal, namun hanya dinikmati oleh oknum tertentu. Fenomena ini bagi perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) justru dibiarkan sebagai bentuk ucapan terimakasih perusahaan atas kebaikan negara yang telah melindungi keamanan eksplorasi perusahaan dari gangguan masyarakat. Ceritera semacam ini menguatkan tuduhan bahwa negara dan perusahaan bersepakat meninggalkan masyarakat demi akumulasi kapital. Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa pelaku politisasi sekaligus penikmat kucuran dana CSR PT. Newmont Nusa Tenggara tidak terbatas pada pengelola negara namun muncul keterlibatan dari para aktor-aktor non negara yang dilibatkan sebagai kepanjangan tangan korporasi di daerah dampak tambang, mereka berperan untuk mendistribusikan program dan anggaran CSR. Sehingga menjadi mustahil masyarakat dampak tambang akan mengalami perbaikan kualitas hidup karena pelaksanaan program CSR bersifat spontan dan berdurasi pendek. Disamping itu masyarakat miskin di Kecamatan Sekongkang kerap tidak merasakan dana corporate social responsibility kalau tidak melakukan demo terlebih dahulu, dana itu akan berputar-putar di tangan para pelayan kepentingan korporasi itu terlebih dahulu bahkan mungkin hingga habis sehingga masyarakat lokal miskin kerap gigit jari atas perlakuan dari para penguasa dan pengusaha yang tergerus rasa pedulinya tersebut. xvii
E. Definisi Konseptual Definisi konseptual merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu. Memperjelas pemaknaan teori yang telah disampaikan agar tercipta kesamaan pemahaman sebagai acuan bagi penulis untuk melakukan penelitian di lapangan. Disamping itu definisi konseptual dapat menjadi acuan bagi pembaca lainnya agar memiliki konsepsi yang sama terhadap istilah-istilah kunci yang digunakan dalam penelitian ini. Ada beberapa definisi konseptual yang akan digunakan sebagai variabel-variabel yang harus dipahami agar pemahaman dapat fokus, tidak bias, salah persepsi dan melebar. Adapun variabel-variabel tersebut adalah: 1. Relasi adalah bentuk hubungan antara dua aktor atau lebih yang berbeda dalam dunia politik maupun lainnya, dimana terjadi hubungan saling mengisi kepentingan satu sama lain. 2. Predatory State dalam studi ini dilihat sebagai tipe korupsi yang dilakukan oleh para aktor formal dan informal bersama korporasi yang melakukan transaksi kepentingan dalam rangka akumulasi kepentingan pribadi dan kelompok. Para aktor formal dan informal tersebut tampil sebagai fasilitator dan protektor bagi korporasi. Artinya seluruh aktor tersebut berperan sebagai invisible hand dari berjalannya mekanisme pasar. 3. CSR dalam studi ini dimaknai sebagai sebuah komitmen moral tidak hanya perusahaan harus menyisihkan dan bahkan menyisahkan sebagian keuntungannya melainkan juga rasa peduli untuk memfasilitasi perkembangan masyarakat sekitar agar mereka tumbuh dan berkembang sejalan dengan kemajuan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dengan demikian masyarakat lokal yang hidup di sekitar perusahaan yang beroperasi tidak lagi menjadi masyarakat yang tertinggal dan miskin di tengah hadirnya perusahaan sejagat MNC dan TNC. Disini letaknya dimana perusahaan harus secara sungguh-sungguh peduli dan bertanggungjawab atas rusaknya nilai-nilai sosial, ekonomi, dan budayaserta hilangnya natural resources yang dimiliki oleh masyarakat lokal, yang hasilnya dipindahkan ke perusahaan menjadi emas ataupun tembaga yang keuntungannya dinikmati oleh perusahaan dan aktor-aktor yang pro dengan korporasi (Susestiawan, 2012, h: 4).
xvii
F. Definisi Operasional Definisi operasional sebagai acuan dasar atas objek yang akan diteliti, oleh karena itu sifatnya penting dalam penelitian lapangan. Definisi operasional juga mengajak pembaca lain untuk memiliki persepsi yang sama dengan penulis dalam memahami istilah-istilah kunci secara operasional yang digunakan dalam penelitian ini. Hal demikian, dikarenakan pengarahan yang tepat atas prosedur penelitian, membutuhkan adanya ketegasan tentang adanya gugus realitas yang memang sesuai dengan yang akan diteliti atau keberadaannya memang betul-betul ada (Wirawan, 2008 h: 50-51). Selain itu, definisi operasional juga diperlukan untuk menunjukkan bahwa konsep yang dibangun memiliki rujukan yang empiris (Mahsun, M 2012, h: 43). Adapun beberapa definisi operasional, yang dianggap penting untuk diketahui akan menjadi objek dalam penelitian ini. 1. Relasi adalah hubungan yang tercipta dan terjalin antara dua aktor atau lebih. Dalam konteks penelitian ini aktor-aktor yang terlibat meliputi aktor formal (elit daerah, elit kecamatan dan elit desa). Aktor nonformal (tokoh-tokoh lokal, pengusaha-pengusaha lokal dan LSM) serta elit ekonomi (PT. Newmont Nusa Tenggara) yang membangun relasi untuk saling mengisi kepentingan satu sama lain. 2. Predatory state dalam konteks penelitian ini dipahami sebagai prakteksimbiosis, koalisi dan korupsi yang terjalin antara berbagai aktor (formal dan non-formal)bersama PT. Newmont Nusa Tenggara untuk memiskinkanmasyarakat dampak tambang. Para predator politik dan ekonomi itu menangguk keuntungan yang besar dibandingkan dengan masyarakat dampak tambang yang menikmati keuntungan jangka pendek dan terbatas. Para predator lokal tersebut akan bergerak secara massif untuk melawan pihak yang berseberangan dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara), hal ini dilakukan karena mereka telah memperoleh sejumlah bayaran sehingga menutup mata atas penderitaan rakyat lokal. 3. CSR dalam penelitian ini dipahami sebagai skema ‘kamuflase’ dan ‘politisasi’ yang memiskinkan masyarakat dampak tambang. Bagi elit politik CSR (Corporate Social Responsibility)dijadikan alat bagi mereka untuk mangkir dalam penyediakan pelayanan publik bagi masyarakat dampak tambang dengan dalih telah ada PT. Newmont Nusa Tenggara di kawasan tersebut. Bagi korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) skema xvii
CSR ditujukan untuk mengelabui semua pihak untuk memperoleh lisensi operasi sekaligus untuk memperoleh citra positif dimata dunia.Realitas di atas menerangkan bahwa skema Corporate Social Responsibility (CSR) yang didukung secara berjama’ah ini sekedar program basa-basi yang tidak tepat sasaran dan memiskinkan, bahkan program dan kucuran dananya dinikmati oleh penikmat yang tidak semestinya. G. Metodologi Penelitian G.1. Jenis Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dipilih, maka penelitian ini akan mengadopsi jenis penelitian kualitatif. Dimana metode ini digunakan untuk menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti atau objek yang diteliti (Hendarso, 2008: 166).Melalui pendekatan studi kasus (case study), khususnya instrinsic case study. Instrinsic case study berupaya untuk memahami secara lebih instrinsic mengenai fenomena, keteraturan, dan kekhususan dari suatu kasus yang akan diteliti. Metode studi kasus menjadi relevan manakala pertanyaan penelitian yang disuguhkan berkenaan dengan “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why), serta fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 1996, h: 1-18). Secara detail definisi yang lebih teknis dari studi kasus diungkap oleh (Yin 1981, h: 23). A case study is an empirical inquiry that:(a) Investigates contemporary phenomenon within its real-life context, when; (b) The boundaries between phenomenon and context are not clearly evident, and in which; and (c) Multiple sources of evidence are used. Dengan demikian, penelitian studi kasus digunakan untuk menjawab rumusan masalah “Bagaimana relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa Barat?”. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi peneliti untuk mengadopsi metode studi kasus sebagai metode yang mampu membedah objek penelitian. Pertama, metode studi kasus dianggap peneliti komprehensif dalam menjawab pertanyaan penelitian yang berkenaan dengan “bagaimana” dan “mengapa”. Hal ini relevan dengan rumusan masalah yang diajukan oleh peneliti yaitu “Bagaimana relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalamupaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang Kabupaten Sumbawa xvii
Barat?. Kedua, studi kasus merupakan metode yang relevan untuk mengungkapkan isu yang kontemporer. Persoalan relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggaradalam upaya penanggulangan kemiskinan sesungguhnya telah terjalin sejak lama, namun menjadi menarik untuk diteliti kembali karena relasi yang terbangun mengalami harmonisasi yang semakin meminggirkan masyarakat. Ketiga, objek penelitian yang dipilih memiliki boundaries (batasan) aktor, lokus, dan konteks yang jelas. Adapun yang menjadi batasan aktor dalam penelitian ini yaitu negara (pemerintah daerah, pihak kecamatan dan pemerintah desa), perusahaan (PT. Newmont Nusa Tenggara) dan masyarakat lokal di Kecamatan Sekongkang. Sedangkan lokusnya berada di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat dan konteksnya saat ini. Berbekal argumen diatas, peneliti meyakini bahwa metode studi kasus cocok untuk mengeksplorasi relasi antara pemerintah dan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Pada dasarnya pendekatan studi kasus cocok digunakan apabila peneliti ingin menyelidiki masalah secara mendalam dan memberikan penjelasan yang dapat mengatasi kompleksitas dan kehalusan situasi kehidupan nyata. Oleh karenya secara khusus, studi kasus cocok untuk mempelajari proses dan hubungan dalam lingkungan tertentu. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa studi kasus mempunyai kelemahan sebagai metode dalam penelitian, kelemahan tersebut meliputi isu, validitas, realibilitas, dan generalisasi temuan (Salim 2006, h: 125). Isu validitas berkaitan dengan tingkat keabsahan objek studi dalam mewakili kelompok kasus-kasus yang lain. Objek yang hadir dalam studi kasus biasanya bersifat tunggal dan sedikit jumlahnya, maka dari itu tingkat keabsahan dari suatu penelitian studi kadang diragukan. Namun untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan penggunaan multi sumber, membangun serangkaian teori yang berguna sebagai bukti, dan meminta informan kunci untuk meninjau ulang hasil penelitian dari peneliti. Kedua, isu reliabilitas, hal ini berkaitan dengan tingkat kesahihan hasil yang diperoleh apabila penelitian yang sama diulang atau diprediksi pada kasus lain di tempat dan waktu lain (Salim 2006, h: 125). Untuk mengatasi permasalahan ini, peneliti dapat melakukan beberapa tindakan yang meliputi membuat sebanyak mungkin dan seoperasional mungkin langkahlangkah, serta dalam melakukan penelitian seolah-olah ada yang mengawasi sehingga reabilitas xvii
dalam suatu penelitian terjaga (Yin 1996, h: 45). Ketiga, isu generalisasi, hal ini berkaitan dengan tingkat teorisasi hasil penelitian dan penerapannya dalam populasi yang serupa di tempat lain (Salim 2006, h: 125). Untuk mengatasi permasalahan ini dapat dilakukan dengan upaya pengujian penelitian melalui replika pada lingkungan kedua, ketiga dan seterusnya, apabila penelitian baik maka hasil yang diperolehpun akan sama. Secara umum untuk meminimalisir berbagai kekurangan dari studi kasus tersebut akan digunakan metode triangulasi yang akan dilakukan dalam hal teknik pengumpulan data dan juga dalam hal sumber data. G.2. Unit Analisa Data Unit analisis dalam penelitian ini berkeinginan untuk mengetahui relasi yang tercipta antara pemerintah dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang. Oleh karenanya keberadaan dan kepentingan dari berbagai aktor perlu disuguhkan untuk melacak relasi yang tercipta. Adapun aktor yang akan dimintai keterangan terkait objek penelitian ini adalah: masyarakat lokal yang kehidupannya dekat dengan praktek eksplorasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Selain itu juga yang perlu diperhatikan adalah para pelaku eksploitir yaitu negara (pemerintah daerah-desa, pihak Kecamatan Sekongkang) dan PT. Newmont Nusa Tenggara. G.3. Sumber Data a. Sumber Primer Sumber primer adalah sumber utama yang dijadikan sebagai pusat informasi data terpenting. Sumber primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil wawancara dan informasi dari para key informan dalam hal ini para tokoh masyarakat, pejabat birokrasi baik yang berada di level daerah, camat dan desa, dan aktor korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Dengan kata lain data primer adalah data yang diperoleh dengan teknik pengamatan langsung terhadap objek maupun wawancara kepada para responden yang relevan dengan fokus penelitian. b. Sumber Sekunder Sumber data sekunder adalah sumber data yang dijadikan pelengkap atau pendukung informasi bagi data sumber primer. Data sekunder ini didapatkan dari teks-teks, dokumendokumen, baik berupa kebijakan-kebijakan yang berhubungan yang berhasil diperoleh oleh peneliti melalui situs internet, artikel-artikel, koran nasional maupun lokal, dan jurnal yang memiliki keteraikatan dengan objek penelitian. xvii
G.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data penelitian. Data-data yang diperoleh baik primer maupun sekunder akan didapatkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview), analisis dokumen (document analisys) dan observasi partisipan (participant observationt) dengan penjelasan sebagai berikut: a. Wawancara Mendalam (in-depth interview) Wawancara mendalam (indepth interview) akan dilakukan dengan informan dan key informan, baik secara formal maupun informal. Wawancara sebisa mungkin akan dikondisikan secara informal untuk meminimalisir kekakuan sekaligus mempermudah penggalian informasi secara mendalam. Oleh karena itu, wawancara secara mendalam dan intensif menjadi salah satu metode yang penting untuk mendapatkan data. Karena wawancara intensif, selain terwawancara dapat berbicara bebas dan memberikan tafsiran terhadap suatu peristiwa dan sudut pandang merekalah yang paling penting untuk menangkap makna yang tersembunyi dibalik realitas yang ada dari sebuah peristiwa (Marsh dan Stoker, 2010: 242). Penggunaan teknik wawancara terbuka, dimana subjek wawancara mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai dan mereka mengetahui maksud dari wawancara yang dilakukan, diterapkan dalam penelitian ini. Bentuk wawancara yang dilakukan meliputi wawancara terstruktur dan tak terstruktur, masing-masing penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan (Rahayu 2008, h: 23). Dengan wawancara ini setidaknya peneliti bisa menjaring
dan
kemudian
menyaring
data
informasiyangkevalidannya
dapat
dipertanggungjawabkan. Wawancara ini dilakukan langsung dengan tatap muka kepada informan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu: Wawancara bersama perwakilan PT. Newmont Nusa Tenggara, sejumlah lima (5) orang.Wawancara dengan perwakilan elit daerah, elit kecamatan dan elit desa sejumlah enam (6) orang.Wawancara juga dilakukan bersama tokoh lokal, pengusaha lokal, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat yang ada di Kecamatan Sekongkang sejumlah delapan (8) orang.Penting pula untuk melakukan wawancara dengan representasi Lembaga Bantuan Hukum untuk melihat sejauhmana perselingkuhan yang terjadi antara predator lokal dengan predator ekonomi dapat memiskinkan kondisi ekologi Kecamatan Sekongkang.
xvii
Dalam penyajian keseluruhan substansi penelitian ini akan ditemukan beberapa kutipan langsung yang menggunakan inisial, hal ini dikarenakan permintaan dari narasumber yang keberatan namanya untuk ditampilkan dengan alasan keamanan dan kenyamanan narasumber. Berikut adalah beberapa narasumber yang berhasil peneliti wawancarai dan bersedia namanya untuk dipublikasikan: Tabel 1.1: Daftar Informan/ Narasumber No. Nama 1 Bapak H. Amry Hasan 2 Bapak Abidin Nassar 3 Pak Syarifuddin 4 Pak Rahmat Hidayat 6 Ibu Nia 7 Bapak H. Syarafuddin Jarot 8 Bapak H. Basuki 9 Bapak Akhdiat Amril 10 Bapak Syamsul Bahri 11 Bapak Ismul 12 Bapak H. Muhammad Arsyad 13 Syahrul Mustofa 14 Toni Hardiansyah 15 Sahena 16 Bapak Maslukang b. Analisis Dokumen (Document analisys)
Aktivitas/Pekeraan Kepala Bappeda Wakil DPRD KSB Kepala Desa Sekongkang Atas Kepala Desa Sekongkang Bawah Kesra Kantor Camat Manajer PT. NNT PT. NNT PT. NNT PT. NNT PT. NNT Ketua Yayasan Olat Parigi (YOP) Lembaga Bantuan Hukum Tokoh Pemuda Masyarakat Tokoh Agama
Analisis dokumen pada penelitian ini yaitu dengan memanfaatkan data-data sekunder yang telah tersedia di berbagai instansi. Data yang bersumberdariKecamatan Sekongkang, Kantor Desa dampak tambang, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat maupun dari PT. Newmont Nusa Tenggara. Data-data ini kemudian dianalisis secara mendalam. c. Observasi Langsung Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencacatan dengan sistematik terhadap fenomena-fenomena yang relevan dan penting untuk diselidiki. Dalam penelitian ini observasi langsungdi lapangan ditujukan untuk menggali kemungkinan adanya informasi yang terlewatkan dari pedoman wawancara yang dilakukan sekaligus untuk memperkaya dimensi pengamatan dari fenomena penelitian yang ada (Anshori 2011, h: 37-38).
xvii
G.5. Instrumen Pengumpulan Data Untuk mempermudah dalam pengumpulan data diperlukan menggunakan instrumen pengumpulan data. Adapun instrumen dalam pengumpulan data di lapangan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa alat (tools) yaitu alat perekam suara, alat pemotret gambar dan alat-alat catat. G.6. Lokus Penelitian Lokus atau lokasi dari penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat yang notabene menjadi area beroperasinya PT. Newmont Nusa Tenggara, sehingga akan mampu memetakan relasi antara pemerintah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dalam melakukan upaya penanggulangan kemiskinan. G.7. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dalam beberapa tahapan yaitu data yang telah dikumpulkan baik berupa data primer atau data sekunder mula-mula disusun, dijelaskan kemudian dianalisa, selanjutnya data yang telah dinilai, ditafsirkan dan kemudian disimpulkan. Penilaian data didasarkan pada empat kriteria yaitu: derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Langkah selanjutnya yaitu penafsiran data yang memberi makna pada analisis, menjelaskan pola dan mencari hubungan berbagai konsep meskipun lebih bersifat subjektif dari peneliti. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan sebagai rangkaian laporan hasil penelitian yang merupakan inti dari sebuah penelitian.
H. Sistematika Penulisan Guna memperoleh temuan yang komprehensif dan menghasilkan alur pemikiran yang jelas sehingga dapat ditarik suatu keterikatan hubungan dari keseluruhan isi penelitian, maka penelitian ini akan disuguhkan ke dalam lima (5) bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Pada sesi ini akan menjelaskan latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, definisi konseptual, definisi operasional, metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan. Bab dua,mengetengahkan terkait keberpihakan negara pada hadirnya PT. Newmont Nusa Tenggara yang memunculkan polemik dan realitas multi degradasi. Bab ini akan diawali dengan menjelaskan potret geografis Kecamatan Sekongkang sebagai lokasi penelitian. Menampilkan xvii
sejarah mining corporation serta menceritakan sekilas sejarah dari PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai objek penelitian. Menggamblangkan polemik yang terjadi pada periode awal kemunculan PT. NNT yang berimplikasi pada lahirnya realitas multi-degradasi. Pembelaan negara terhadap PT. Newmont Nusa Tenggara menciptakan kemiskinan dan kesenjangan yang paradoks di Kecamatan Sekongkang ditengah beroperasinya perusahaan multinasional tersebut. Yang tidak kalah menyedihkan adalah populernya politik pragmatis dan merebaknya money politic yang menjadi indikasi merosotnya moral politik masyarakat di Kecamatan Sekongkang. Persoalan yang tidak terlupakan adalah lunturnya nilai-nilai sosial-budaya masyarakat Sekongkang akibat kehadiran PT.NNT yang mulai menerjemahkan segala bentuk pertolongan dengan materi. Selain itu kehancuran ekologi menjadi pemandangan yang tidak kalah menakutkan dan mengancam kelestarian lingkungan akibat dampak tailing dan penggalian sumur tambang yang berdampak pada tercemarnya laut, sungai sehingga mengurangi jumlah kualitas air bersih di Kecamatan Sekongkang. Bab tiga, mencermati perselingkuhan yang terjadi antara predator lokal yang menjalin relasi mutualisme dengan PT. Newmont Nusa Tenggara yang berujung pada tercabiknya kondisi masyarakat dampak tambang. Pilkada 2005 menjadi gerbang penajaman perselingkuhan yang terjalin mesra antara elit daerah dengan korporasi. Momen pilkada menjadi penuh dengan kuasa uang karena seluruh kandidat bupati memperoleh dukungan dana kampanye dari perusahaan. Uang sogokan itu menjadi alat bagi perusahaan untuk dapat membeli dan memesan kebijakan yang bersesuaian dengan kepentingan korporasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Disamping itu dana hibah yang diperuntukkan untuk pemberdayaan difungsikan untuk memenuhi kepentingan predator lokal. Kolaborasi yang tidak kalah menyakitkan terbangun antara elit desa dengan pihak kecamatan yang mendapat dukungan dari oknum PT. Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan praktek jual beli kursi karyawan Newmont tujuannya pun meminggirkan masyarakat karena mereka lebih memprioritaskan
kerabat dan sanak familinya. Upaya untuk
mendeskriditkan masyarakat lokal ini tidak hanya datang dari aktor formal namun turut melibatkan aktor-aktor informal. Aktor-aktor informal dalam hal ini (tokoh-tokoh lokal, pengusaha lokal dan LSM lokal)turut melakukan pengkhianatan dengan melakukan keberpihakan terhadap pemerintah daerah-desa serta PT. Newmont Nusa Tenggara dengan dalih kemakmuran personal dan golongan. Mereka bersama menyudutkan dan membatasi akses
xvii
masyarakat lokal sehingga kemiskinan menjadi pilihan yang harus diterima oleh masyarakat lokal. Bab empat, menguak kongkalikong seluruh predator lokal bersama predator ekonomi yang melakukan ‘politisasi’ terhadap skema Corporate Social Responsibility (CSR). Skema CSR menjadi celah bagi pemerintah daerah-desa untuk absen memberikan pelayanan terhadap masyarakat dampak tambang, dengan dalih hadirnya perusahaan raksasa tersebut. Sesi ini akan diawali dengan pemetaan pemanfaatan skema CSR oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa Barat. CSR yang ditawarkan sebagai penawar kemiskinan berubah menjadi racun yang memiskinkan kaena kehadirannya bersifat “kamuflase”. CSR dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memperoleh citra positif di mata dunia, sekaligus sebagai alat untuk memperoleh lisensi sosial. Wajah CSR menjadi semakin buram karena aktor yang terlibat didalamnya memanfaatkan anggaran CSR untuk kepentingan personal dan golongan. Potret skema CSR PT. Newmont Nusa Tenggara berujung pada pemberdayaan jangka pendek untuk membungkam kekritisan masyarakat dampak tambang. Bab lima, berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang ditemukan di lapangan. Kesimpulan merupakan manifestasi dari pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Selanjutnya, pembahasan dalam bab ini akan menyajikan refleksi teoritik atas temuan penelitian di lapangan.
xvii