1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan di negara-negara tropis termasuk Indonesia. Kejadian demam tifoid di Indonesia tahun 2007 sekitar 358-810/100.000 penduduk, 64% penderitanya berusia 3-19 dengan angka kematian 3,1-10,4% (Hatta dan Ratnawati, 2008). Di RSUD Dr Sutomo, Surabaya kematian akibat demam tifoid dalam periode 1991-1995 adalah sebesar 1,42% (Nasronudin, 2007). Di Indonesia demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Data Surveilans Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 mengalami peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk (Widodo, 2007).Tingkat kejadian demam tifoid di Sulawesi Selatan pada tahun 1991 257/100.000 penduduk dan mengalami peningkatan menjadi 386/100.000 penduduk (Hatta dan Ratnawati, 2008). WHO tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahunnya.Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Kasus ini tersebar secara merata diseluruh propinsi di Indonesia dengan angka kejadian di pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1,5 juta kasus per tahun (WHO, 2003). Antibiotik merupakan obat utama yang digunakan banyak orang untuk mengobati penyakit infeksi termasuk demam tifoid. Pemakaian antibiotik dapat menyebabkan masalah resistensi dan munculnya efek yang tidak diinginkan pada obat (Juwono, 2004). Terdapat laporan adanya resistensi antibiotik kloramfenikol 1
2
terhadap strain S. typhi pada tahun 1950 di Inggris dan tahun 1972 di India. Hasil penelitian di India pada penderita demam tifoid tahun 1999-2001, menyebutkan terdapatnya resistensi antibiotik amoksisilin, kloramfenikol, ampisillin dan kotrimoksazol yang tinggi terhadap Salmonella typhi (Chowta dan Chowta, 2005). Umumnya terapi demam tifoid yang dilakukan meliputi nutrisi yang memadai, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian antibiotik dan mencegah serta mengatasi komplikasi yang terjadi. Obat standar yang digunakan untuk terapi demam tifoid saat ini adalah kloramfenikol, amoksisilin dan kortimoksazol (Soegijanto, 2002). Penelitian sebelumnya di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta tahun 2009 menunjukkan bahwa antibiotik yang paling sering digunakan dari 95 pasien demam tifoid adalah sefotaksim 49,47%. Penggunaan antibiotik yang sudah sesuai dengan standar terapi dari segi ketepatan indikasinya sebanyak 100%, tepat pasien 98,95%, tepat obat 96,84%, dan tepat dosis sebanyak 82,10% (Safitri, 2009). Penelitian lain di Instalasi Rawat Inap RSUD Pambalah Batung Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan tahun 2009, antibiotik yang banyak digunakan seftriakson 95% dan sefotaksim 8% dari 109 peresepan. Kesesuaian dengan standar terapi dari segi tepat indikasi sebanyak 100%, tepat obat 97,25%, tepat pasien 88% dan tepat dosis sebanyak 9,17% (Marhamah, 2009). Pemakaian antibiotik yang tidak tepat akan menyebabkan timbulnya kegagalan terapi dan munculnya berbagai permasalahan seperti adanya resistensi bakteri terhadap antibiotik yang digunakan, terhambatnya penyembuhan penyakit, terjadi peningkatan efek samping obat, dan timbulnya supra infeksi. Penyebab munculnya kegagalan dalam terapi diantaranya pemberian dosis yang tidak sesuai, kurangnya masa terapi yang dilakukan, serta pemilihan antibiotik yang kurang sesuai (Gunawan, 2007). Penelitian akan dilakukan di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten karena rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pendidikan, pada tahun 2010 terdapat 356 kasus demam tifoid. Demam tifoid termasuk 10 besar penyakit yang terjadi di RSUP Dr. Soeradji Klaten tahun 2010. Berdasarkan uraian di atas serta
3
tingginya kasus demam tifoid ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik pada penderita demam tifoid yang menjalani rawat inap di RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2011.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu: 1. Bagaimana gambaran penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2011? 2. Apakah penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2011 yang ditinjau dari aspek tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis sudah sesuai dengan Standar Pelayanan Medik (SPM) RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui gambaran penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2011 2. Mengetahui ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2011 yang ditinjau dari aspek tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis sudah sesuai dengan Standar Pelayanan Medik (SPM) RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten
D. Tinjauan Pustaka 1. Demam Tifoid a. Definisi Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Pada penderita demam tifoid selalu mengalami demam pada awal penyakit. Periode inkubasi demam tifoid pada anak
4
antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis yang ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi faktor gejala ini disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit di rumahnya (Soedarmo, 2002). Gejala demam tifoid adalah suhu tubuh meningkat secara bertingkat sampai 40°C, dengan frekuensi nadi relatif lambat. Sering ada nyeri di perut, konstipasi (kadang-kadang diare). Pada kasus berat pasien mengalami delirium atau stupor. Mungkin terlihat bintik-bintik merah pada kulit dinding perut atau dada dalam minggu pertama sampai kedua (Tambayong, 2001). Demam tifoid ditandai dengan adanya demam yang tinggi disertai dengan myalgia, nyeri perut, hepatosplenomegali dan anoreksia, mual dan nyeri kepala. Pada anak-anak adanya diare juga menjadi penanda awal dan mungkin diikuti dengan konstipasi, pada orang dewasa dapat terjadi bradycardia, manifestasi neurologi, dan perdarahan gastrointestinal yang relative jarang ditemui pada anak-anak (Bhuta, 2006). b. Etiologi Salmonella typhi merupakan basil gram negatif, bersifat aerobic, bergerak dengan rambut getar dan bersifat tidak berspora. Kuman ini sekurang-kurangnya mempunyai 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar, yang mempunyai komponen protein, lipopolisakarida (LPS) dan lipid. Sering disebut endotoksin. Antigen H (flagela), terdapat pada flagela, fimbriae dan pili dari kuman, berstruktur kimia protein. Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein (Nasronudin, 2012). Di alam bebas Salmonella typhi dapt bertahan hidup lama di air, tanah atau bahan makanan. Dalam feses di luar tubuh manusia kuman ini dapat bertahan hidup selama 1-2 bulan. Selain di feses juga dapat hidup di dalam air susu. Dalam air susu kuman ini dapat berkembang biak dan hidup lebih lama sehingga sering menjadi batu loncatan untuk penularan penyakitnya (Entjang, 2003).
5
c. Patogenesis Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman di musnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ endotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organorgan ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik (FKUI, 2005). Di dalam hati, kuman masuk ke kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sam terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan
beberapa
mediator
inflamasi
yang
selanjutnya
akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi (Widodo, 2007). Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus (FKUI, 2005). Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang
6
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi (Widodo, 2007). Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi
seperti
gangguan
neeuropsikiatrik,
kardiovaskuler,
pernapasan dan gangguan organ lainnya (Widodo, 2007). Peran endotoksin dalam patogenesisdemam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulsi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokinin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrsis sel, system vascular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, 2012). d. Manifestasi Klinis Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi bahkan hingga kematian. Pada minggu pertama gejala dan keluhan yang ditemukan serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik menunjukkan peningkatan suhu badan. Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatife (bradikardia relatife yaitu peningkatan suhu 1°C tanpa diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah penderita berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali hingga koma (Widodo, 2007). e. Diagnosis Gambaran klinis demam tifoid begitu luas dan bervariasi dari yang tipkal hingga klasik, dari yang ringan hingga yang complicated, mempunyai kesamaan
7
dengan penyakit demam lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penegakan diagnosis sedini mungkin agar dapat segera diberikan terapi yang tepat dan komplikasi dapat diminimalkan.Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis (Widodo, 2007). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis terhadap demam tifoid (Soedarmo, 2002). Seseorang yang terkena tipus atau tidak dilihat dari gejala-gejala kliniknya, juga harus dilakukan pemeriksaan laboratorium karena penderita dapat mengalami: 1) Penurunan sel darah putih 2) Anemia rendah karena pendarahan pada usus 3) Jumlah trombosit menurun dari keadaan normal 4) Menemukan bakteri Salmonella typhi pada kotoran, darah, dan urin (Zulkoni, 2010). Diagnosis kasus tifoid ditegakkan dengan 2 cara yaitu secara klinis dan pemeriksaan melalui laboratorium. Secara klinis adanya demam tifoid pada anak biasanya ditemukan tanda-tanda : 1) Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Pada minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, demam mengalami penurunan pada pagi hari dan kembali meningkat pada sore hari dan malam hari. Memasuki minggu kedua penderita masih mengalami demam dan di minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan kembali normal pada akhir minggu ketiga (FKUI, 2005). 2) Ganguan pada saluran cerna Pada mulut terdapat bau nafas yang tidak sedap, bibir kering dan pecahpecah (ragaden), lidah ditutupi selaput lendir kotor, ujung dan tepinya kemerahan,
8
hati dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, bahkan dapat terjadi diare (Zulkarnain, 2002). 3) Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita demam tifoid menurun walaupun tidak seberapa dalam yaitu apatis sampai somnolen. Keadaan spoor, koma atau gelisah jarang terjadi pada penderita (FKUI, 2005). Selain gejala-gejala yang biasa ditemukan tersebut, dapat pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit. Pada minggu pertama biasanya ditemukan demam, kadang-kadang juga ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula ditemukan adanya epitaksi (FKUI, 2005). Pemeriksaan laboratorium meliputi : 1) Pemeriksaan Rutin Meskipun pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan sering ditemukan leukopenia, namun kejadian leukosit normal atau leukositosis dapat terjadi. Anemia ringan dan trombositopenia kadang-kadang juga dapat ditemukan. Pemeriksaan
hitung
jenis
leukosit
dapat
terjadi
aneosinofilia
maupun
limfonia.Pada demam tifoid laju endap darah dapat mengalami peningkatan. SGOT dan SGPT sering meningkat, namun akan normal kembali setelah penderita sembuh. Hal ini tidak diperlukan penanganan khusus, sehingga tidak terlalu menjadikan kekhawatiran (Widodo, 2007). 2) Reaksi Widal Reaksi Widal adalah suatu reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya antibodi terhadap Salmonella typhi, dengan jalan mereaksikan serum seseorang dengan antigen O, H dan Vi dari laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, dikatakan reaksi Widal positif yang berarti serum orang tersebut mempunyai antibody terhada Salmonella typhi, baik setelah vaksinasi, setelah sembuh dari penyakit thypus ataupun sedang menderita typhus. Reaksi Widal negatif artinya tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella typhi (Entjang, 2003). Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
9
menentukan aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: aglutinin O (dari tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman), aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar terinfeksi kuman ini (Widodo, 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, waktu pengambilan darah, daerah endemik atau non-endemik, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium akibat akibat aglutinasi silang dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen (Widodo, 2007). 3) Kultur Darah Diagnosis demam tifoid diperoleh dengan identifikasi Salmonella typhi melalui kultur darah. Sampel untuk kultur dapat diambil dari: a) Tinja dan urin Kultur sampel tinja dan urin dimulai pada minggu ke-2 demam dan dilaksanakan setiap minggu. Bila pada minggu ke-4 biakan tinja masih positif maka pasien sudah tergolong carrier. Kultur memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Sampel ditanam dalam biakan empedu (gaal culture). b) Darah Sampel darah diambil saat demam tinggi pada minggu ke-1. c) Sumsum tulang Kultur sumsum tulang belakang merupakan tes yang paling sensitif untuk Salmonella typhi (Pudiastuti, 2011). 2.Pengobatan Demam Tifoid Pengobatan untuk demam tifoid sampai saat ini masih menganut trilogi penatalaksaan demam tifoid, yaitu: 1) Istirahat dan Perawatan Istirahat dan perawatan bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.Pengobatan pasien demam tifoid dapat diobati di
10
rumah dengan tirah baring, tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan air besar yang dapat membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Bila gejala klinis berat penderita harus diistirahatkan total (Pudiastuti, 2011). Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu dijaga untuk mencegah dekubitus serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga (Widodo, 2007). 2) Diet dan Terapi Penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama (Widodo, 2007). Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Pemberian susu 2 kali satu gelas sehari perlu dilakukan. Penderita dengan kesadaran menurun diberikan makanan cair melalui pipa lambung. Bila anak sadar dan nafsu makan baik, dapat diberikan makanan lunak (FKUI, 2005). Penderita demam tifoid diberi diet bubur saring yang kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.Penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara makanan yang berserat) dapat diberikan dengan aman pasien demam tifoid. Pasien diberi diet bubur saring ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan karena ada pendapat bahwa usus harus diistirahakan (Widodo, 2007). 3) Pemberian Antimikroba Antibiotika terhadap kuman Salmonella segera diberikan disertai obatobatan lainnya untuk mengurangi keluhan penderita, misalnya antikejang (Soedarto, 2007). Antibiotik yang digunakan pada penderita demam tifoid adalah:
11
a) Kloramfenikol Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat dibrikan secara peroral atau intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas panas. Dari pengalaman obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari (Widodo, 2007). Mekanisme kerja obat ini dengan cara menghambat sintesis protein kuman dengan berikatan pada ribosom 50S sehingga menghambat pembentukan rantai peptida. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang peka seperti riketsia, klamidia, mikoplasma dan beberapa strain kuman gram positif dan gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007). b) Tiamfenikol Tiamfenikol digunakan untuk indikasi yang sama dengan kloramfenikol. Secara farmakologis, tiamfenikol lebih menguntungkan dalam darah lebih tinggi serta waktu paruh yang lebih panjang yang berarti obat ini berada lebih lama dalam cairan tubuh, termasuk dalam cairan empedu (Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis dan efektifitasnya sama dengan kloramfenikol tetapi kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibanding kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6 (Widodo, 2007). c) Kotrimoksazol Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametaksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) yang diberikan selama 2 minggu (Widodo, 2007). Mekanisme kerja sulfametoksazol dengan cara mengganggu sintesa asam folat bakteri dan pertumbuhan melalui penghambatan pembentukan asam dihidrofolat dari asam para-aminobenzoat. Dan mekanisme kerja trimetoprim adalah dengan cara menghambat reduksi asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat (Tjay dan Rahardja, 2007). d) Ampisillin dan Amoksisilin Obat ini memiliki kemampuan menurunkan demam lebih rendah dibanding kloramfenikol (Widodo, 2007). Dosis yang dianjurkan berkisar antara
12
1000-2000 mg (50-100 mg/Kg) sehari dibagi dalam 4 dosis, yang dapat diberikan secara oral, IV atau IM (Khan et al, 2004). Ampisilin merupakan derivat penisilin berspektrum luas yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama pada kasus resistensi terhadap kloramfenikol. Amoksisilin merupakan turunan ampisilin dan memiliki spektrum antibakteri yang sama namun diabsorpsi lebih baik bila diberikan per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma dan jaringan. Dalam hal ini kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol.Indikasi mutlak penggunaannya adalah 13 pasien demam tifoid dengan leukopenia (Juwono, 2004). Pada demam tifoid ampisilin dipakai bila kloramfenikol dikontraindikasikan (Tambayong, 2002). e) Sefalosporin Sefalosporin mempunyai cincin beta-laktam yang mirip dengan penisilin. Kerja sefalosporin mempengaruhi dinding sel bakteri sehingga dindingnya mudah rusak. Umumnya, bakteri gram negatif kurang sensitif terhadap sefalosporin karena dindingnya berbeda (Tjay dan Rahardja, 2007). Golongan sefalosporin yang saat ini masih terbukti efektif untuk mengobati demam tifoid adalah seftriakson, sefotaksim, setoperazone, sefiksime. Dosis seftriakson 1-2 gram (5075 mg/kg) diberikan 1-2 kali sehari selama 7-10 hari. Dosis sefotaksim 1-2 gram (40-80 mg/kg) sehari dibagi dalam 2-3 dosis yang diberikan selama 14 hari.Ketoperazone 1-2 gram (50-100 mg/kg) sehari, dibagi dalam 2 dosis dan diberikan selama 14 hari. Ketiga antibiotik tersebut diberikan secara IM atau IV. Dosis sefiksim 200-400 mg (10 mg/kg) sehari, dibagi dalam 1-2 dosis dan diberikan selama 14 hari secara oral (Khan et al, 2004). f) Golongan Fluorokuinolon Golongan Fluorokuinolon ini ada beberapa jenis bahan sediaan yaitu norfloksasin dengan dosis 2 x 400 mg/hari diberikan selama 10 hari secara oral, siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 10 hari secara oral/IV, ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari, pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 10 hari secara oral (Kalra et al, 2003). Demam mengalami penurunan sedikit lebih lambat bila menggunakan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang
13
bioavailabilitasnya tidak sebaik fluorokuinolon yang di kembangkan selanjutnya (Widodo, 2007). g) Trimetropim-Sulfametoksazol (kotrimoksazol) Sulfametoksazol dan trimetoprim digunakan dalam bentuk kombinasi karena sifat sinergisnya. Hasil kombinasi keduanya yaitu inhibisi enzim berurutan pada jalur asam folat (BPOM, 2008). Pemberian dosis kotrimoksazol sebanyak 160 mg trimethoprim dan 800 mg sulfametoksazol 2 kali perhari selama 14 hari secara oral, intravena, intramuskular (WHO, 2003). Mekanisme kerja sulfametoksazol dengan mengganggu sintesa asam folat bakteri dan pertumbuhan lewat penghambat pembentukan asam dihidrofolat dari asam para-aminobenzoat. Dan mekanisme kerja trimetoprim adalah menghambat reduksi asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat (Tjay dan Rahardja, 2007). h) Azitromisin Azitromisin
aktivitasnya terhadap bakteri Gram negatif lebih aktif
dibanding terhadap bakteri Gram positif (BPOM, 2008). Dosis yang diberikan sebanyak 500 mg (10 mg/kg) setiap hari selama 7 hari terbukti efektif untuk mengobati demam tifoid untuk pasien dewasa dan anak-anak, efektifitas azitromisin mirip dengan kloramfenikol (WHO, 2003). Azitromisin mempunyai mekanisme aksi obat melalui pengikatan reversible pada ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya dirintangi (Tjay dan Rahardja, 2007). 3.
Penatalaksanaan Demam Tifoid Menurut Standar Pedoman Terapi di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten tahun 2007, antibiotik yang dipakai yaitu: Pada pasien anak : - Kloramfenikol (drug of choice) 50-100mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari - Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, selama 10 hari - Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari - Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, selama 5 hari - Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari
14
Pada pasien dewasa : - Kloramfenikol 4 x 500 mg/24 jam - Amoksisilin 3 x 500 mg/ 24 jam - Siprofloksasin - Levofloksasin - Pefloxasin Diberikan selama 7-14 hari