BAB I PENDAHULUAN Pada
bagian
menguraikan berkaitan
pendahuluan
mengenai
dengan
latar
konsep
ini,
penulis
belakang
masalah
penyalahgunaan
posisi
dominan dalam hukum persaingan usaha. Selanjutnya penulis memuat mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian
dan
digunakan.
metode
penelitian
Kemudian
yang
yang
terakhir
akan penulis
menguraikan mengenai sistematika penulisan tesis.
A. Latar Belakang Masalah Persaingan pelaku usaha erat kaitannya dengan karakteristik sistem ekonomi pasar yang dianut oleh suatu negara. Suatu sistem dapat diibaratkan seperti lingkaran-lingkaran kecil yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Lingkaran-lingkaran kecil tersebut
merupakan
suatu
subsistem.
Subsistem
tersebut saling berinteraksi dan akhirnya membentuk suatu kesatuan sistem dalam lingkaran besar yang bergerak sesuai aturan yang ada.1 1
http://galihpangestu14.wordpress.com/2011/04/20/sistem-perekonomianindonesia/
1
Pada
pasar
bebas
sekarang
ini,
memiliki
konsekuensi tersendiri bagi para pelaku usaha untuk berlomba-lomba
dalam
memasarkan
produknya,
dalam hal ini produk barang dan/atau jasa agar lebih menarik perhatian konsumen, berinovasi sehingga pada akhirnya penghasilan atau pemasukan para pelaku
usaha
Persaingan
usaha
tersebut ini
semakin
bermanfaat
meningkat. 2 dalam
rangka
mendorong para pelaku usaha untuk bisa berbuat yang terbaik, baik dari segi mutu atau kualitas, pelayanan, harga, dan lain sebagainya. Tentu saja tujuannya untuk dapat memicu atau mendorong suatu perusahaan atau pelaku usaha untuk dapat meningkatkan kinerja yang unggul sehingga tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi antara kualitas dan harga barang atau jasa serta pelayanan konsumen.3
sebagaimana Sebaliknya
yang
dikehendaki
persaingan
usaha
oleh yang
bersifat negatif dapat menyebabkan pelaku usaha lain mengalami
kerugian
sehingga
berdampak
pada
turunnya penghasilan atau pendapatan para pelaku
2
Nurimansjah Hasibuan, Ekonomi Industri Persaingan, Monopoli dan Regulasi, PT.Pustaka, LP3ES Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 81 3 Ibrahim, Johnny, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Impikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 41
2
usaha lainnya.4 Pada dasarnya persaingan usaha hanya terjadi jika ada dua pelaku usaha atau lebih menawarkan produk dan jasa yang sama kepada konsumen dalam sebuah pasar. Dimana dua pelaku usaha
atau
lebih
ini
berusaha
untuk
mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya yang kadangkala hal tersebut bisa merugikan pelaku usaha lain.5 Salah satu solusi untuk mengatasi persoalan ini yaitu dengan dibentuknya Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU ini dimaksudkan untuk menata kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat. Selain itu juga untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu yang pada akhirnya merugikan masyarakat,
yang
bertentangan
dengan
cita-cita
keadilan sosial. Substansi pengaturan
UU
yang
dibahas
Larangan
Praktik
penulis
dalam
Monopoli
dan
Persaingan Usaha Tidak yaitu penyalahgunaan posisi
4
Wihana Kirana Jaya, Pengantar Ekonomi Industri Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar, BPFE, Yogyakarta, 1993, hal. 256 5 Ibid
3
dominan
yang
dalam
tulisan
ini
disingkat
PPD
menurut Pasal 25 UU No.5 tahun 1999 ayat: (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk : a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar teknologi; atau
dan
pengembangan
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. (2) Pelaku usaha memiliki posisi sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
dominan
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berikut penjabaran unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 25, yaitu: Unsur Pelaku Usaha Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 UU No.5 tahun 1999, adalah Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
4
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui
perjanjian,
menyelenggarakan
berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Unsur Posisi Dominan Posisi dominan menurut Pasal 1 angka 4 UU No.5 tahun 1999, adalah Keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan
atau
penjualan,
serta
kemampuan
untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Unsur
Secara
Langsung
Maupun
Tidak
Langsung Pengertian secara langsung dalam Pasal 25 ini yaitu Pelaku
usaha
dominan
melakukan
tindakan
penyalahgunaan posisi dominan. Sementara pengertian tidak
langsung
memanfaatkan
adalah
pelaku
pelaku
usaha
lain
usaha untuk
dominan melakukan
tindakan penyalahgunaan posisi dominan.
Unsur Syarat-Syarat Perdagangan Defenisi syarat-syarat perdagangan pada intinya adalah 5
Peristiwa atau butir perjanjian yang oleh para pihak terkait dijadikan sebagai ukuran bahwa perjanjian dimaksud dapat dilaksanakan, atau tidak terpenuhinya peristiwa atau
butir
tersebut
ditetapkan
sebagai
pembatalan
perjanjian.
Unsur Konsumen Konsumen menurut Pasal 1 angka 15 UU No.5 tahun
1999,
adalah
Setiap
pemakai
dan/atau
pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
Unsur Membatasi Pasar Dan Pengembangan Teknologi Pasar menurut Pasal 1 angka 9 UU No.5 tahun 1999, adalah Lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa. Sementara membatasi pasar dan pengembangan teknologi berarti suatu
bentuk
perdagangan,
perilaku
yang
inovasi
serta
menghambat pengembangan
transaksi barang
dan/atau jasa.
Unsur Pelaku Usaha Lain Pelaku usaha lain menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No.5 tahun 1999, adalah Pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan.
6
Unsur Pasar Bersangkutan Pasar Bersangkutan menurut Pasal 1 angka 10 UU No.5 tahun 1999, adalah Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu atau daerah tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut
Unsur Pangsa Pasar Pangsa pasar menurut Pasal 1 angka 13 UU No.5 tahun 1999, adalah Persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
Posisi dominan adalah salah satu kunci pusat/pokok dalam hukum persaingan usaha.6 Oleh karena setiap ada
kasus
persaingan
usaha,
yang
selalu
dipertanyakan pertama adalah apakah ada (siapa) pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan, atau bisa juga ditanyakan apakah pelaku usaha (terlapor) mempunyai posisi dominan?. Kalau memang ada yang memiliki posisi dominan maka selanjutnya ditanyakan bagaimana pelaku usaha mencapai posisi dominannya tersebut?, apakah
pelaku
usaha
tersebut
6
menyalahgunakan
http://www.docstoc.com/docs/46739084/Kondisi-Pranata-Hukum-PersainganUsaha-di-Indonesia-danWacana, diakses tanggal 9 April 2011
7
posisi dominannya?, Apakah pasar yang bersangkutan terdistorsi?, apakah pelaku usaha lain sulit masuk ke pasar yang bersangkutan?. Pada
dasarnya
sebuah
perusahaan
tidak
dilarang menguasai pangsa pasar 50 persen atau lebih.
Beberapa
perusahaan
juga
tidak
dilarang
menguasai pangsa pasar 75 persen atau lebih, yang berarti memegang posisi dominan. Yang dilarang ialah jika
posisi
dominan
itu
disalahgunakan
untuk
mengeksploitasi konsumen atau pelaku usaha lain atau berusaha untuk menyingkirkan dan menghalangi pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam pasar.7 Penulis bentuk
menfokuskan
konsep
pembahasan
penyalahgunaan
posisi
dalam
dominan.
Konsep menurut bahasa Inggris concept dan dalam bahasa Latin conceptus, berasal dari kata concipere, con (bersama) dan capere (menangkap, menjinakkan) berarti memahami, menerima, menangkap. Selain itu konsep menurut Abdulkadir Muhammad (Guru Besar Hukum
Dagang
Fakultas
Hukum
Unila),
yakni
diabstraksikan dari peristiwa konkret atau gambaran tentang objek, proses, atau sesuatu melalui bahasa. Lebih lanjut beliau menjelaskan konsep itu dapat berupa definisi, batasan, unsur-unsur, ciri-ciri dan 7
Margono, Suyud, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal. 125
8
kriteria. Jadi konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam tinjauan ini mencakup uraian definisi, batasan, unsur-unsur,
ciri-ciri
dan
kriteria
yang
mengabstraksikan penyalahgunaan posisi dominan.8 Kemudian dalam rangka untuk mencari arti sekaligus memperjelas konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam persaingan usaha ini, maka penulis membahas semua putusan-putusan KPPU mulai dari tahun 2000 sampai pada tahun 2010. Putusanputusan KPPU yang akan dibahas dalam penulisan ini yaitu yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan yang diatur dalam Pasal 25 UU No.5 tahun 1999
tentang
Persaingan
Larangan
Usaha
Tidak
Praktik Sehat.
Monopoli
dan
Putusan-putusan
KPPU ini pada akhirnya diharapkan bisa membuat atau disimpulkan suatu konsep. Dalam membahas kasus dengan
ini,
penulis
membagi
menyajikan atas
3
putusan
(tiga)
tersebut
varian,
yaitu
pertama,Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan memenuhi Pasal 25 ayat (2), Kedua Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi Terbukti memenuhi Pasal 25 ayat (2), ketiga Tidak Terbukti Melanggar
8
http://budiyana.wordpress.com/2008/01/21/konsepsi-penyalahgunaan-posisidominan/
9
Pasal 25 ayat (1) dan Tidak memenuhi Pasal 25 ayat (2). Adapun putusan-putusan KPPU yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi dominan yang dibagi atas 3 (tiga) varian tersebut, yaitu: 1. Terbukti
melanggar
Pasal
25
ayat
(1)
dan
Memenuhi Pasal 25 ayat (2) a. Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003 Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dilakukan oleh PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL (PT. JICT) yang beralamat kantor di Jalan Sulawesi Ujung Nomor 1 Tanjung Priok, Jakarta Utara 14310.9 PT. JICT telah melakukan kegiatan yang dapat menghambat
konsumen
kerjasama
usaha
pesaingnya,
dalam
untuk
dengan bentuk
melakukan
pelaku
usaha
pengiriman
surat
penegasan yang ditandatangani oleh PT. JICT kepada salah satu pengguna jasanya pada tanggal 5 April 2001, yang pada pokoknya menyatakan bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar
9
Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003, hal. 1
10
muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok harus
mengikatkan
diri
pada
kontrak
yang
bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang mengikat tersebut, maka tidak akan dilayani PT. JICT. Bentuk hambatan itu semakin nyata, ketika PT. JICT
menggunakan
klausul
32.4
di
dalam
authorization agreement tersebut untuk meminta klarifikasi dan memprotes kebijakan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara yang memberikan ijin operasi kepada PT. Segoro Fajar Satryo, untuk menggunakan
Dermaga
300
yang
kemudian
melayani jasa bongkar muat petikemas.10 Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara adalah pemegang hak pengelolaan pelabuhan umum sebagaimana Pemerintah memberikan
diatur Nomor
di 57
konsesi
dalam Tahun
Peraturan 1991,
pengelolaan
telah
terminal
petikemas kepada PT. JICT dengan jaminan bahwa tidak akan ada pembangunan terminal petikemas sebagai tambahan dari Unit Terminal Petikemas I, Unit Terminal Petikemas II, dan Unit Terminal
Petikemas
III
sebelum
tercapainya
throughput sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) 10
Ibid., hal. 8
11
dari kapasitas rancang bangunnya sebesar 3,8 juta Teus sebagaimana dinyatakan klausul 32.4 di dalam authorization agreement. Klausul 32.4 di dalam
authorization
merupakan
bentuk
agreement
hambatan
tersebut
strategis
yang
nyata bagi para pelaku usaha baru yang akan memasuki
pasar
bersangkutan
pelayanan
bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. JICT secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999.11
b. Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004 Pelanggaran ini dilakukan oleh PT.Arta Boga Cemerlang, beralamat kantor di Jalan Palmerah Barat No. 82, Jakarta Barat 11480. Kasus ini berawal pada pertengahan bulan Februari 2004, PT
Panasonic
Gobel
Indonesia
(selanjutnya
disebut PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang mendisplay baterai single pack (baterai manganese 11
tipe
AA)
Ibid., hal. 27
12
dengan
menggunakan
standing display akan diberikan 1 (satu) buah senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulan mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah senter yang sama, sedangkan untuk material promosi (standing display) diberikan gratis oleh PT PGI. Selanjutnya pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa PT.Arta Boga Cemerlang sedang melaksanakan
Program
Geser
Kompetitor
(selanjutnya disebut PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi: 1) Program
Pajang
dengan
mendapatkan
potongan tambahan 2%, dengan ketentuan Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1 meter; Toko bersedia memajang baterai ABC, Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC. 2) Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic
dengan
mendapatkan
potongan
tambahan 2%, dengan ketentuan Toko yang sebelumnya menjual baterai Panasonic, maka 13
mulai bulan Maret sudah tidak menjualnya lagi, sehingga Toko hanya menjual baterai ABC. 3) Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai Panasonic sehingga patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh PT.Arta
Boga
Cemerlang;
PT.Arta
Boga
Cemerlang diduga melaksanakan PGK dengan cara membuat perjanjian dengan toko untuk tidak
menjual
baterai
Panasonic.
Bahwa
berdasarkan informasi yang diperoleh Pelapor dari
toko-toko,
PT.Arta
Boga
Cemerlang
diduga melaksanakan PGK tersebut dengan tujuan untuk menghambat penjualan produk baterai
merek
Panasonic.
Sejak
PT
PGI
mengeluarkan produk single pack untuk jenis baterai
AA
dan
melaksanakan
program
promosi Single pack Display telah menambah peningkatan
penjualan
baterai
Panasonic.
Dengan adanya PGK banyak diantara tokotoko
yang
berusaha
potongan
tambahan
dijanjikan
oleh
untuk
mendapatkan
sebagaimana
PT.Arta
Boga
yang
Cemerlang.
Bahkan terdapat toko-toko yang jelas-jelas mempunyai komitmen untuk tidak memajang 14
dan/atau menjual baterai Panasonic, padahal sebelumnya
yang
bersangkutan
adalah
peserta program single pack display dari PT PGI. Perilaku PT.Arta Boga Cemerlang sebagai pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan usahanya
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan maupun etika bisnis yang ada, yaitu dengan membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas
produk
persyaratan
baterainya bahwa
dengan
pemilik
memuat
toko
yang
menerima barang-barang dari PT.Arta Boga Cemerlang tidak akan membeli barang-barang yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
PT.Arta
Boga
Cemerlang
telah
menyalahgunakan posisi dominannya untuk menghambat berpotensi memasuki
pelaku
usaha
menjadi pasar
lain
pesaingnya
yang
yang untuk
bersangkutan
dan
menetapkan syarat-syarat perdagangan yang menghambat atau menghalangi konsumen memperoleh
barang
bersaing.
15
dan/atau
jasa
yang
Pada akhirnya Majelis Komisi berpendapat bahwa PT.Arta
Boga
Cemerlang
pangsa
pasar
baterai
menguasai
manganese
AA
88,73% secara
nasional, sehingga unsur posisi dominan telah terpenuhi.
Dengan posisi dominan tersebut
PT.Arta Boga Cemerlang menyalahgunakannya yaitu
dengan
menetapkan
syarat-syarat
perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. Dimana PT.Arta Boga Cemerlang telah menetapkan syarat-syarat perdagangan yang terkandung di dalam surat perjanjian
PGK
dimana
salah
satu
syarat
pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual baterai mencegah
Panasonic, atau
dengan
tujuan
menghalangi
untuk
konsumen
memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan baterai ABC baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti PGK PT.Arta Boga Cemerlang. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT.Arta Boga Cemerlang terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a 16
jo. ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. c. Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009 Pelanggaran UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini berawal dari PT. Carrefour
Indonesia
mengakuisisi
PT.Alfa
Retailindo,Tbk. dimana PT.Carrefour menguasai pangsa pasar yang sebelumnya hanya sebesar 46,30 persen setelah itu meningkat menjadi sebesar 57,99 persen di tahun 2008. Peningkatan pangsa
ini
pasar12
disalahgunakan
oleh
PT.Carrefour Indonesia dengan cara menetapkan berbagai
syarat
kepada
pemasok
persaingan
perdagangan sehingga
tidak
sehat
dan
(trading
terms)
menimbulkan menghambat
konsumen memperoleh barang dan jasa yang bersaing. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan ketua
Gabungan
mengatakan
Elektronik
bahwa
(GABEL)
PT.Carrefour
yang
Indonesia
merupakan suatu kekuatan yang cukup besar di Indonesai, sehingga apabila produk Gabel tidak ada di PT.Carrefour Indonesia maka nilai brand 12
Pasal 1 angka (13) UU No.5 tahun 1999. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai olehpelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu
17
GABEL tersebut berkurang. Sehingga sekalipun GABEL mengalami kerugian akibat persyaratan yang ditetapkan oleh PT.Carrefour Indonesia salah satunya
harus
Retailindo
memasok
yang
juga
diakuisisi
pada
oleh
PT.Alfa
PT.Carrefour
Indonesia, yang mana dalam persyaratan yang diberlakukan PT.Alfa Retailindo harus sama pada PT.Carrefour Indonesia.13 Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT.
Carrefour
Indonesia
terbukti
sah
dan
meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang
No.5
tahun
1999
tentang
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
d. Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010 Pelanggaran
ini
dilakukan
oleh
PT
Pfizer
Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama. Kasus ini berawal dari Kelompok Usaha Pfizer diduga melakukan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) Undang-undang
nomor
menyalahgunakan 13
posisi
Putusan KPPU Nomor : 09/KPPU-L/2009
18
5
tahun
1999
dominannya
yaitu untuk
mempengaruhi
dokter
dan/atau
apotek
agar
hanya meresepkan obat dengan merek Norvask. Dimana pangsa pasar Norvask sepanjang periode 2000-2007 tersebut
mencapai
memenuhi
di
atas
kriteria
50%. posisi
Kondisi dominan
sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2). Posisi
dominan Pfizer untuk produk Norvask
menjadi lebih kuat karena adanya hak paten yang baru habis pertengahan 2007. Hak paten tersebut mengakibatkan tidak ada pelaku usaha pesaing yang dapat menawarkan produk sejenis (selain PT Dexa Medica) dalam periode yang bersangkutan. Pasca paten Norvask habis pertengahan 2007, pangsa pasar Norvask mengalami penurunan seperti tercatat di tahun 2008 menjadi 45.52% dan
2009
mencapai
tingkat
39.50.
Pfizer
Indonesia mencanangkan program HCCP pada tahun 2005 yang melibatkan rekanan dokter dan apotik.
Berdasarkan
BAP
dari
apotik
serta
kesaksian para ahli farmakolog, peran dokter dalam peresepan obat sangat penting. Pihak apotik tidak dapat merubah resep yang sudah dituliskan dokter. Selain itu, pihak dokter lah yang memberikan kartu anggota HCCP kepada pasien, dimana pihak apotik hanya melaksanakan 19
fungsi input data pasien melalui mesin EDC yang disediakan Pfizer Indonesia; Kesaksian dari para farmakolog menyebutkan bahwa terdapat interaksi antar dokter dengan perusahaan
farmasi
yang
diduga
berakibat
kepada keputusan dokter dalam peresepan obat. Berdasarkan dokumen, diperoleh data rekanan dokter dan apotik yang masuk dalam program HCCP Pfizer Indonesia. Tim pemeriksa menilai bahwa program HCCP yang menjalin kemitraan dengan para dokter akan mempengaruhi
preferensi
para
dokter
untuk
meresepkan obat kepada pasien nya, terutama untuk produk-produk Pfizer, termasuk Norvask. Tim berpendapat bahwa keputusan peresepan tersebut
mempengaruhi
obyektifitas
dokter
sehingga akan tetap meresepkan produk produk Pfizer Indonesia khususnya Norvask untuk pasien penderita hipertensi. Kondisi ini diperkuat dengan fakta
bahwa
sejak
tahun
2007-awal
2010,
indicator most sold generic tetap dipegang oleh produk Norvask, sementara walau sudah tersedia branded generic (termasuk generic) lain dengan harga relatif lebih murah di pasar, merk alternatif
20
tersebut belum banyak terjual atau diresepkan oleh dokter. Putusan Majelis Komisi KPPU berpendapat bahwa PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas LLC,
Pfizer
Global
Trading
dan
PT
Pfizer
Corporation Panama terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun 1999.
2. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi Terbukti Memenuhi Pasal 25 ayat (2). a. Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005 Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf c ini dilakukan oleh PT BURSA EFEK JAKARTA atau disingkat PT BEJ (Terlapor I) dan PT LIMAS STOKHOMINDO, TBK, atau disingkat PT LS (Terlapor
II).
Kasus
pengembangan
sistem
perusahaan tercatat di
ini
berkaitan
pelaporan Bursa
dengan
elektronik
Efek
Jakarta.
Dimana pelanggaran ini disebabkan oleh karena adanya Terlapor
perjanjian II
yang
antara tertuang
Terlapor dalam
I
dengan
Perjanjian
Kerjasama Dalam Rangka Pengembangan Sistem 21
Pelaporan Elektronik Perusahaan Tercatat Nomor SP-036/BEJ-HKM/06-2003 yang diduga dapat menimbulkan penguasaan produksi
dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa oleh Terlapor I dan Terlapor II. Penunjukan Terlapor II oleh Terlapor
I
untuk
mengembangkan
sistem
pelaporan elektronik perusahaan tercatat diduga dilakukan dengan cara diskriminasi terhadap pesaing Terlapor II. PT BEJ memiliki posisi dominan terhadap pasar jasa e-reporting & monitoring di Bursa Efek Jakarta yang diduga dapat menghambat pelaku usaha lain untuk memasuki pasar bersangkutan. Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, oleh karena PT BEJ (Terlapor I) tidak menghambat pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan sehingga unsur menghambat pelaku usaha lain yang
berpotensi
menjadi
pesaing
memasuki pasar bersangkutan.
b. Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005 22
untuk
Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1999
ini
dilakukan oleh PT. Pertamina (Terlapor I), PT. Banten Inti Gasindo, yang selanjutnya disebut PT BIG (Terlapor II) dan PT. Isma Asia Indotama, yang selanjutnya disebut sebagai PT IAI (Terlapor III). Kasus
ini
berkaitan
dengan
diskriminasi
distribusi gas yang dilakukan oleh PT Pertamina, yaitu
dengan
menetapkan
syarat-syarat
perdagangan kepada para trader (JPMT, SBLC, gas make up, harga gas, sistem pembayaran dan sebagainya ) yang akan melakukan hubungan dagang dengan PT. Pertamina. Berdasarkan laporan PT. Igas Utama menyatakan PT.
Pertamina
telah
melakukan
diskriminasi
terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo mendapatkan
lebih
besar
pasokan
gas
dan
dipermudah persyaratan PJBGnya. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a Undangundang
Nomor
5
Tahun
1999.
Dengan
pertimbangan bahwa meskipun PT. Pertamina 23
terbukti
memiliki
posisi
dominan
dan
juga
terbukti menetapkan syarat-syarat perdagangan akan tetapi tidak terbukti mencegah dan/atau menghalangi
konsumen
memperoleh
barang
dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
c. Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006 Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor
dilakukan
Terlapor
oleh
5
Tahun dalam
1999
hal
ini
ini PT
Pertamina (Persero). Kasus ini berkaitan dengan pendistribusian
Elpiji
di
Sumatera
Selatan.
Penerbitan surat No. 057/E22000/2006-S3 yang pada pokoknya melarang agen Elpiji di Pulau Bangka untuk membeli dan mengisi Elpiji di DSP Pulau Layang dan harus mengisi di APPEL Muntok terhitung mulai tanggal 3 Maret 2006. Setelah terbitnya Surat No. 057/E22000/2006-S3 harga ex agen yang ditetapkan oleh Terlapor turun menjadi Rp 63.747,- (enam puluh tiga ribu tujuh ratus empat puluh tujuh rupiah) per tabung 12 Kg. Hal ini disebabkan karena agen tidak lagi menanggung biaya tambahan sebesar 24
Rp 17.500,- (tujuh belas ribu lima ratus rupiah) namun turun menjadi Rp 11.639,40,- (sebelas ribu enam ratus tiga puluh sembilan koma empat puluh rupiah). Bahwa
berdasarkan
surat
GM
No.
058/E22000/2006-S3 agen di Pulau Bangka akan
mendapatkan
keuntungan
sebesar
Rp
5.560,44,- (lima ribu lima ratus enam puluh koma empat puluh empat rupiah) per tabung 12 Kg tetapi kenyataan di lapangan, keuntungan yang diperoleh agen lebih rendah dari yang ditetapkan oleh Terlapor. Hal ini terjadi karena pertama APPEL melakukan penjualan langsung melalui toko-toko dengan harga berkisar antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 61.000,- (enam puluh satu ribu rupiah). Kedua Salah satu pemegang saham PT. Niaga Utama Pura Prima membeli elpiji secara langsung
dari
agen
di
Palembang
dan
memasarkannya ke Pulau Bangka dengan harga antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 63.000,- (enam puluh tiga ribu rupiah) per tabung 12 kg. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa Terlapor tidak terbukti melanggar ketentuan Pasal 25
25 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999,
dengan
pertimbangan
karena
Terlapor telah mencabut surat larangan pengisian Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk memilih tempat pengisian Elpiji, sehingga unsur menetapkan
syarat-syarat
perdagangan
tidak
terpenuhi.
d. Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1999
ini
dilakukan oleh Terlapor I (Temasek Holdings Pte. Ltd) Terlapor
II
(Singapore
Technologies
Telemedia Pte. Ltd) Terlapor III (STT Communications Ltd) Terlapor IV (Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd) Terlapor V (Asia Mobile Holdings Pte. Ltd) Terlapor VI (Indonesia Communications Limited Terlapor VII (Indonesia Communications Pte. Ltd)
26
Terlapor
VIII:
Singapore
Telecommunications Ltd) Terlapor IX (Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd) Terlapor X (PT. Telekomunikasi Selular) Kasus ini berkaitan dengan menyalahgunakan
posisi
Telkomsel yang
dominannya
untuk
membatasi pasar dan pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999. Berdasarkan
Laporan
Hasil
Pemeriksaan
Lanjutan (LHPL) Tim Pemeriksa pada pokoknya menyatakan telah terjadi hambatan interkoneksi yang dilakukan oleh Telkomsel sesuai dengan bukti: Pertama kesaksian Mastel (vide Bukti B52), yang menyatakan bahwa degree of competition industri
seluler
selama
ini
kurang
diakibatkan oleh operator incumbent pada kondisi yang dapat mengancam hubungan interkoneksi pada operator yang menurunkan tingkat tarif. Selain itu, meskipun sejak tahun 2007, rezim interkoneksi sudah berbasis pada biaya namun hingga saat ini belum terdapat 27
adanya
PKS
antar
operator
yang
memuat perjanjian tersebut. Pada
praktiknya,
operator
pencari
interkoneksi tidak memiliki posisi tawar yang
seimbang
dengan
operator
incumbent, sehingga masih mengikuti kehendak incumbent dengan ancaman hubungan interkoneksi diputus (BAP Saksi
Mastel
tanggal
25
September
2007. Kedua
kesaksian Hutchinson (vide Bukti B14) yang
menyatakan
bahwa
Sempat
terdapat hambatan interkoneksi yang dialami
oleh
operator
dilakukan
Telkomsel
mempersyarakatkan traffic
baru
sebesar
yang dengan
terpenuhinya
48
erl,
yang
sulit
dipenuhi oleh operator-operatror baru. Dalam
salah
satu
perjanjian
interkoneksi Telkomsel dengan salah satu
operator,
diatur
Pembebanan
Biaya,
Pembayaran.
Lebih
mengenai
Penagihan lanjut,
dan dalam
ayatnya disebutkan bahwa “Tarif yang dikenakan kepada Pengguna untuk jasa 28
layanan SMS merupakan kewenangan masing-masing pihak, sehingga para pihak berhak untuk menetapkan sendiri tarif
yang
Penggunanya
dikenakan
kepada
masing-masing
dengan
batasan bahwa tarif yang dikenakan oleh operator X kepada Penggunanya tidak boleh lebih rendah dari tarif yang dikenakan
oleh
Penggunanya.
Telkomsel Operator
melakukan
penyesuai
dikenakan
kepada
kepada
X
akan
tarif
yang
Penggunanya
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan, sejak pemberitahuan perubahan tarif yang disampaikan
oleh
Telkomsel
kepada
Operator X sebagai waktu sosialisasi bila Telkomsel melakukan perubahan tarif
yang
Pengguannya.” dalam
Perjanjian
dicabut
dikenakan Namun,
ketentuan
tersebut
berdasarkan
kepada kemudian
amandemen
Perjanjian. Bentuk
hambatan
lain,
adalah
persyaratan untuk pembangunan link interkoneksi diharuskan menggunakan 29
pihak
ketiga
yang
ditunjuk
oleh
Telkomsel. Hal tersebut menaikan biaya secara
signifikan
interkoneksi. pengoperasian menjadi
bagi
pencari
Kepemilikan link
milik
dan
tersebut
pun
ketiga
dan
pihak
telkomsel bukan menjadi milik pencari interkoneksi.(BAP
Saksi
Hutchinson
tanggal 21 Juni 2007). Ketiga
Dokumen perjanjian kerja sama antara Telkomsel dengan salah satu operator.
Selanjutnya dalam pendapat atau pembelaan Telkomsel
pada
pokoknya
menyatakan
tidak
pernah menghambat pengembangan teknologi, Telkomsel merupakan operator telekomunikasi seluler pertama yang mengenalkan: Bisnis
pre-paid
di
Indonesia
yang
menggunakan teknologi IN; Layanan berbasis teknologi GPRS dan EDGE; Layanan value added services tertentu seperti ring back tone; Electronic voucher; 30
Layanan-layanan 3G yang menyediakan layanan video call, video streaming. Pengembangan-pengembangan
teknologi
yang
digunakan oleh Telkomsel yang kemudian juga diaplikasikan
oleh
kompetitor-
kompetitor
Telkomsel lainnya dan yang dapat memberikan kontribusi
positif
bagi
perkembangan
pasar
telekomunikasi selular. Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Pertamina
(persero)
tidak terbukti melanggar
ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Undangundang
Nomor
pertimbangan
5
Tahun
bahwa
1999.
meskipun
Dengan
telah
terjadi
pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi namun tidak terjadi pembatasan pengembangan teknologi, sehingga dengan tidak terpenuhinya unsur
pembatasan
pengembangan
teknologi
maka Majelis Komisi tidak perlu menilai dampak yang terjadi akibat terjadinya pembatasan pasar dan pengembangan teknologi tersebut.
3. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan Tidak Memenuhi Pasal 25 ayat (2) a. Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000 31
Dugaan pelanggaran UU persaingan usaha ini dilakukan oleh PT. Indomarco Prismatama, yang beralamat di Jl. Ancol I No.9 10, Ancol Barat Jakarta 14430, sebagai pemilik dan pemegang hak merek dagang "Indomaret" untuk usaha ecerannya dalam bentuk baik toko swalayan milik sendiri maupun toko swalayan dengan sistem waralaba. Kasus ini berawal dari laporan tertulis pada tanggal 12 April 2000 yang diterima oleh Komisi pada tanggal 9 Agustus 2000 oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat yang selanjutnya disebut
sebagai
wawancara
Saksi
langsung
Pelapor.
Berdasarkan
kepada
429
orang
pengusaha kecil/pemilik warung yang dianggap mewakili seluruh pemilik warung di wilayah Jakarta,
Bogor,
Tangerang
dan
Bekasi
(Jabotabek). Sebanyak 129 pengusaha kecil yang diwawancarai tersebut menyatakan bahwa sejak berdirinya
Swalayan
Indomaret
mempunyai
dampak negatif terhadap usaha usahanya, karena keberadaan
Indomaret
tersebut
mempunyai
dampak merugikan pengusaha kecil yang ada disekitarnya,
di
setiap
satu
Toko
Swalayan
Indomaret. Padahal di sekitarnya diperkirakan ada 10 usaha kecil, maka apabila ada 290 Toko 32
Swalayan Indomaret akibatnya 2900 usaha kecil terancam mati, karena kalah bersaing dengan harga dan kenyamanan yang disediakan oleh Indomaret. Apabila dibiarkan rencana berdirinya sampai 2000 Toko Swalayan Indomaret, maka diperkirakan 20.000 usaha kecil yang berada di Jabotabek akan mati atau minimal 80.000 orang masyarakat
miskin
tambah
melarat,
resah
kehilangan mata pencaharian. Selain itu juga sistem yang diterapkan oleh PT. Indomarco adalah pemegang hak merek Swalayan Indomaret
dan
jaminan
pemasokan
barang
dagangan dengan harga distributor. Sedangkan pewaralaba dan
berkewajiban
investasi
+
300
menyiapkan
juta
(termasuk
gedung untuk
Franchise Fee Rp.82,5 juta yang diberikan kepada PT. Indomarco). Majelis
Komisi
KPPU
dalam
pertimbangan
menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti-bukti Terlapor mempunyai posisi dominan karena tidak menguasai pangsa pasar 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Selain itu juga tidak ditemukan bukti-bukti Terlapor melakukan secara bersamasama dengan satu atau dua pelaku usaha lain 33
yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Atas dasar fakta ini Terlapor tidak dapat dinyatakan dan dikategorikan mempunyai posisi dominan secara mutlak. Karena itu tuduhan pelanggaran yang dilakukan Terlapor terhadap Pasal 1 adalah tidak relevan, sehingga dalam putusan KPPU, Majelis Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa Terlapor
tidak
terbukti
secara
sah
dan
meyakinkan melanggar Pasal 25 UU No.5 tahun 1999.
b. Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004 Dugaan pelanggaran Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (Terlapor). Kasus ini
berkaitan
dengan
tindakan
pemblokiran
terhadap SLI kode akses 001 dan 008 milik PT. Indosat oleh Terlapor, dengan cara menutup layanan SLI kode akses 001 dan 008 di beberapa warung telekomunikasi (wartel), dan menyediakan layanan internasional dengan kode akses 017. Serta mengubah perjanjian kerjasama dengan pemilik wartel, bahwa wartel hanya diperbolehkan menjual produk Terlapor dan Terlapor berhak 34
melakukan
blocking/menutup
akses
layanan
milik operator lain dari wartel. Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Indonesia tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25 UndangUndang
Nomor
5
Tahun
1999.
Dengan
pertimbangan bahwa pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah jasa telepon internasional melalui
akses
jaringan
tetap
lokal
nasional
sehingga posisi dominan pelaku usaha ditentukan dari pangsa pasar jasa telepon internasional yang dijual
atau
disediakannya.
Posisi
Terlapor
meskipun menguasai 90-95% jaringan tetap tidak dapat
disimpulkan
sebagai
pemegang
posisi
dominan karena pelaku usaha dalam jasa telepon internasional melalui akses jaringan tetap lokal nasional dalam perkara ini adalah PT Indosat. Sehingga unsur pelaku usaha memiliki posisi dominan dalam pasar bersangkutan sebagaimana dimaksud pasal 25 ayat (2) tidak terpenuhi. Dari pertimbangan tersebut menegaskan bahwa unsur ayat (2) pasal 25 sebagai persyaratan untuk mempertimbangkan
ayat
(1)
pasal
25
tidak
terpenuhi, Majelis berpendapat tidak perlu lagi
35
mempertimbangkan
unsur-unsur
penyalahgunaan posisi dominan ayat (1) pasal 25. Mengingat karakteristik, dampak dan beberapa putusan
KPPU
mengenai
penyalahgunaan
posisi
dominan ini, maka analisis yang mendalam terhadap maksud dan tujuan serta akibat yang ditimbulkan oleh
penyalahgunaan
posisi
dominan ini
mutlak
diperlukan dengan menggunakan teori yang relevan dan juga mengaitkannya dengan beberapa pasal lain yang terdapat dalam UU Persaingan Usaha, sehingga penulis topik tesis ini menarik untuk diteliti.
B. Rumusan Masalah Dari
latar
belakang
masalah
yang
telah
diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang menjadi topik pembahasan dalam penulisan tesis ini adalah: Bagaimana
konsep
penyalahgunaan
posisi
dominan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah 36
untuk mengetahui seperti apa konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya penelitian ini maka peneliti sekaligus penulis dapat memberikan setidaknya
sumbangan
pemikiran
terhadap
penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia dan juga bahan refensi bagi yang mau mempelajari atau mendalami mengenai hukum persaingan usaha.
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan penelitian Pendekatan
penelitian
yang
digunakan
oleh
penulis dalam tesis ini, yaitu: a. Pendekatan
Konseptual
(Conceptual
Approach) Pendekatan
konspeptual
pandangan
dan
berkembang
dalam
menemukan
beranjak
doktrin-doktrin
ide-ide
pengertian-pengertian
ilmu
hukum
yang
dari yang untuk
melahirkan
hukum,
konsep-
konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
37
b. Pendekatan
Perundang-undangan
(Statute
Approach). Oleh karena tipe penelitian yang bersifat normatif,
maka
Undangan
seperti
pendekatan ini
Perundang-
merupakan
suatu
pendekatan yang penting dalam meneliti aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.14 Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah UndangUndang dan regulasi yang bersangkutpaut dengan
isu
hukum
yang
ditangani.
Peraturan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan larangan praktik
monopoli
dan
persaingan
tidak
sehat. c. Pendekatan Analitis (Analytical Appoach). Pendekatan analisis terhadap bahan hukum seperti ini, dimaksudkan untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang
digunakan
dalam
Perundang-
Undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam
14
praktik
Ibrahim, Johnny Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 302
38
dan putusan-putusan KPPU.15 Hal ini dapat dilakukan melalui dua pemeriksaan yaitu (a) Sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan (b) Menguji istilah-istilah hukum
tersebut
dalam
praktik
melalui
analisis terhadap putusan-putusan hukum.
2. Bahan Hukum Yang menjadi bahan dasar penelitian hukum normatif ini yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier.16 a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang
terdiri
Undangan hierarki
atas
yang
peraturan diurutkan
Peraturan
Perundangberdasarkan
Perundang-Undangan
yang relevan dengan penelitian yaitu Undang Undang nomor 5 tahun 1999. b. Bahan
hukum
sekunder
adalah
bahan
hukum yang terdiri atas buku-buku teks (text books) yang ditulis para ahli hukum yang
berpengaruh,
15
jurnal-jurnal
hukum,
Ibid., hal. 310 Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1985, hal. 33 16
39
putusan-putusan KPPU dan lain sebagainya. Putusan-putusan KPPU yang menjadi bahan penelitian tesis ini yaitu: (1) Perkara
Nomor:
tentang
04/KPPU-I/2003
Jakarta
International
Container Terminal (JICT) (2) Perkara
Nomor:
06/KPPU-L/2004
tentang Arta Boga Cemerlang (ABC) (3) Perkara
Nomor:
09/KPPU-L/2009
tentang Akuisisi Alfa Supermarket oleh Carrefour (4) Perkara
Nomor:
17/KPPU-I/2010
tentang Farmasi (5) Perkara
Nomor:
05/KPPU-I/2005
tentang Bursa Efek Jakarta (BEJ) (6) Perkara
Nomor:
21/KPPU-L/2005
tentang Igas (7) Perkara
Nomor:
15/KPPU-L/2006
tentang Liquified Petroleum Gas (LPG) (8) Perkara
Nomor:
07/KPPU-L/2007
tentang Temasek (9) Perkara
Nomor:
tentang Indomaret
40
03/KPPU-L-I/2000
(10) Perkara
Nomor:
02/KPPU-I/2004
tentang
Telkom
-
Sambungan
Langsung Internasional (SLI). Bahan
hukum
sekunder
ini
berkaitan
dengan konsep-konsep hukum persaingan usaha sehingga menjadi salah satu panduan berpikir, berisikan informasi tentang bahan primer
yang
digunakan
penulis
dalam
menganalisis konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha di indonesia.17 c. Bahan hukum tersier sering juga disebut sebgai bahan hukum penunjang, 18 bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan
ensiklopedia
hukum hukum,
sekunder majalah
seperti hukum,
kamus hukum, dan lain lain.19
17
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.155 18 Op.Cit., hal. 32 19 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 392
41
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis
ini dibagi atas 3
(tiga) bagian yaitu: 1.
Bagian Pendahuluan Tesis Bagian pendahuluan tesis ini terdiri terdiri dari Lembar Judul, Lembar Persetujuan, Lembar Pengujian, Motto, Abstrak (Abstact), Kata Pengantar, Daftar Isi danDaftar Tabel.
2.
Bagian Isi Tesis a)
Bab I (satu) pendahuluan terdiri dari beberapa hal yang terkait, yaitu dimulai dengan alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
b)
Bab II (dua) membahas tentang tinjauan pustaka.
c)
Bab III (tiga) memuat mengenai hasil penelitian dan analisis.
d)
Bab IV (empat) penutup ini berisikan tentang kesimpulan dari keseluruhan bab
dan
saran
masalah. 42
dalam
pemecahan
3.
Bagian Akhir Tesis Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka.
43