BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Surakarta memiliki penduduk yang multirasial, meskipun demikian penduduk Jawa yang paling dominan. Seiring dengan pembangunan pada masa Keraton Surakarta, salah satu kebijakan yang dilakukan adalah mengembangkan wilayah sekitar keraton dalam kerangka kekuasaan. Pola pemukiman penduduk Surakarta tidak terlepas dari pola konsentris Kerajaan dan peraturan pemerintah kolonial. Semakin jauh pemukiman itu dari pusat Raja, hal itu menunjukkan semakin rendah derajatnya. Dengan demikian pola pemukiman pada masa kerajaan itu masih mengacu pada pembagian kelas sosial sentono dalem, abdi dalem dan kawulo dalem. Orang-orang yang tidak masuk dalam kelas sosial tersebut, maka pemukimannya berada didaerah tertentu dan terpisah dari penduduk pribumi. Pemetaan penduduk berdasarkan etnis di Surakarta dipertajam lagi pada masa pemerintahan Belanda setelah dapat menguasai Jawa. Sebelum tahun 1899 telah ada peraturan dari pemerintah kolonial untuk golongan timur asing berupa penempatan pemukiman orang Arab dan Cina yang hanya dibolehkan di kampung-kampung tertentu dan golongan timur asing tidak boleh mendiami rumah orang Eropa atau bermukim di kampung-kampung orang pribumi. Pemerintah Belanda berusaha memisahkan orang-orang Asing dari pergaulan dan kontak sosial dengan penduduk Jawa. Sebagai kelompok orang asing yaitu orang-orang Arab dan Cina yang berada di luar sistem sosial masyarakat Jawa, maka pemukimannya dikelompokkan di daerah tertentu serta terpisah dengan penduduk pribumi. Disatukannya atau didekatkannya dua perkampungan non-pribumi ini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah kolonial seperti wikjen dan passen stelsel yang digunakan untuk mempermudah pemerintah kolonial dalam mengawasi dan mengendalikan orang-orang pribumi serta juga memisahkan mereka dengan kaum pribumi (Warto, 1985: 105).
1
Pada tahun 1900 populasi penduduk Surakarta terdiri dari orang Eropa, Cina, Arab dan orang asing lainnya. Sebagai dampak kebijakan pemukiman bagi orang–orang Arab maka munculah kampung Arab yang di sebut dengan Pekojan tetapi, di Surakarta tidak terdapat Pekojan. Perkampungan orang-orang Arab di Surakarta berada di daerah Pasar Kliwon, tepatnya di sebelah timur Keraton. Tempat tersebut dinamakan dengan Perkampungan Arab (Sajid, 1984: 64). Kebanyakan dari mereka sebagai pedagang batik. Sedangkan perkampungan orang-orang Cina berada di sekitar pasar Gedhe meliputi Balong dan Warung Pelem yang kemudian dikenal dengan Pecinan. Kepala kampung Pecinan disebut Babah Mayor, sedangkan kepala kampung orang-orang Arab berpangkat Kapten. Orang-orang Banjarmasin yang menekuni pekerjaan jual beli emas di kelompokkan di Jayengan. Daerah ini kemudian dikenal dengan Banjaran. Orangorang Belanda kebanyakan bertempat tinggal disekitar benteng “Vastenberg”. Mereka bertempat tinggal dalam loji-loji di sebelah timur Benteng yang kemudian dikenal dengan Lojiwetan. Sedangkan penduduk pribumi yang sebagian besar terdiri dari orang Jawa berada di berbagai kelompok dan kampung yang tidak teratur di seluruh kota. Mata pencaharian mereka dari industri batik dan berbagai macam kerajinan tangan (Soerakarta of Solo 1921: 33 dalam Sariyatun, 2005: 42). Pengelompokan penduduk dalam satu wilayah ini bertujuan untuk memudahkan pengurusan administrasi dan menjaga ketertiban. Semua bangsa asing dikenakan pajak bangsa asing, serta pembatasan waktu bertempat tinggal paling lama lima tahun. Aturan ini dilakukan agar nantinya tidak merepotkan negara Surakarta (Sajid, 1984: 65). Di Surakarta, orang-orang Arab menempati pemukiman yang dikenal dengan Pasar Kliwon. Pada masa dahulu, Pasar Kliwon merupakan pusat perdagangan hewan oleh penduduk yang ramai pada hari pasaran Kliwon. Kemungkinan besar dipilihnya Pasar Kliwon karena berdekatan dengan Keraton sehingga memiliki fasilitas kehidupan yang jauh lebih baik. Perkampungan itu selanjutnya berkembang mengikuti teori Louis Wirth dalam Warto (1985: 102), dalam proses migrasi individu-individu yang bermigrasi tersebut terdorong untuk mencari teman, saudara, keluarga atau kenalan yang telah terlebih dahulu
bermigrasi dan mampu menyesuaikan dengan suasana urban. Maka pada akhirnya para imigran dapat beu karena ikatan primordial berupa kesamaan fisik, bahasa, agama, tradisi dan budaya. Pada perkembangannya perkampungan tersebut tidak lagi bersifat eksklusif karena bersamaan dengan perubahan ekologi kota dan pertambahan penduduk maka daerah Pasar Kliwon telah dihuni oleh kebanyakan kaum pribumi. Sehingga daerah yang dahulunya tertutup kini terbuka. Sistem sosial yang dahulunya tertutup juga terbuka seperti tingkat pendidikan dan pekerjaan yang memungkinkan masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial. Kemunculan perkampungan etnis Cina maupun Arab ataupun suku lainnya, dilihat dari
aspek perkembangan kota ada perbedaan antara
perkampungan etnis pendatang di tengah kota dengan di perkampungan pesisir. Menurut Kuntowijoyo dalam Warto (1985: 102), perkampungan etnis asing di tengah kota dilihat dari aspek sosial dan budaya adalah kampung yang memiliki sifat eksklusif dan intensitas hubungan orang-orang asing dan keturunannya dengan penduduk setempat sangat terbatas. Sebaliknya di kota-kota pantai interaksi sosial antara orang asing dengan penduduk setempat lebih luas dan intensif dan keberadaan kampung asing tersebut tidak menunjukkan sisi eksklusifnya. Berdasarkan penelitian Van den Berg (1989: 1) masyarakat keturunan Arab yang ada di Indonesia barasal dari Hadramaut. Hanya sedikit orang Arab yang datang ke Indonesia yang berasal dari Maskat, di tepian Teluk Persia dari Yaman, Hijaz, Mesir atau dari Pantai Utara Afrika. Jumlah mereka yang sedikit tersebut jarang ada yang menetap di Indonesia dan jikapun ada, mereka berbaur dengan orang Arab dari Hadramaut. Hadramaut merupakan sebuah lembah di negeri Yaman. Kedatangan orang-orang Arab di nusantara diawali dari Aceh, Palembang dan pada abad XIII (1820) sampai di pulau Jawa. Sejak tahun 1870, pelayaran kapal uap antara Timur jauh dan Arab mengalami perkembangan pesat sehingga kedatangan orang-orang dari Hadramaut tersebut semakin meningkat. Menurut data statistik, saat itu di Pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu di Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya, di Madura hanya ada satu yaitu Sumenep (Berg, 1989: 72).
Sebagian besar dari orang-orang Hadramaut yang datang ke Indonesia merupakan pedagang yang dalam perjalanannya mereka membentuk jalur yang menghubungkan antara bagian timur benua Afrika seperti Sudan, Somalia dan Eritrea dengan bagian Selatan benua Asia seperti India dan Indonesia. Perjalanan mereka dengan mengikuti arah angin barat dan timur. Hal inilah yang memaksa mereka menunggu selama beberapa bulan untuk kembali ke Hadramaut, kampung halamannya. Selama masa penungguan inilah interaksi antara mereka dengan penduduk asli terjadi. Motivasi kedatangan orang-orang Hadramaut tersebut ke Indonesia yang pertama, mereka terlibat dalam proses Islamisasi di Indonesia. Kedua, Motivasi perdagangan. Ada diantara orang-orang Hadramaut yang memegang posisi keagamaan yaitu sebagai Qadi (Qhadli) atau imam, merekapun sekaligus bekerja sebagai pedagang. Selanjutnya para pendatang dari Arab ini langsung berbaur dengan penduduk setempat yang mayoritas penduduk asli. Diantara penduduk asli tersebut, ada yang sudah memeluk agama Islam tetapi dalam kesehariannya masih sangat kental dengan budaya Jawa. Selanjutnya, antara pendatang dari Arab dengan penduduk setempat dapat terjalin hubungan yang harmonis. Sementara itu, orang-orang Arab di Indonesia dengan nyata telah mencapai asimilasi yang sempurna. Mereka berasimilasi dengan penduduk setempat karena memiliki satu faktor yang sangat mendukung. Faktor itu adalah kesamaan agama antara orang Arab dengan orang Pribumi. Satu hal yang membedakan antara penduduk asli dengan orang Arab hanyalah ciri-ciri fisik rasnya (Koentjaraningrat, 1993: 16). Di Pasar Kliwon, orang-orang Arab memiliki tradisi dalam bidang seni budaya yang mereka bawa dari kampung halamannya, yaitu Hadramaut yang sekarang dikenal dengan Yaman Selatan. Menurut orang-orang Jawa, orang-orang keturunan Arab adalah orang-orang yang taat dalam menjalankan syariat Islam karena agama Islam berasal dari tanah Arab. Di dalam masyarakat Arab, tradisi ini mereka kembangkan kepada masyarakat setempat maupun masyarakat Surakarta pada umumnya. Setelah datangnya orang-orang Arab di Indonesia, maka Islamisasi berkembang dengan subur. Tidak terkecuali di Pasar Kliwon. Sebagai kaum muslim, orang-orang Arab mempunyai kewajiban untuk
mendakwahkan agama Islam kepada semua manusia yang ada di dunia, sehingga dalam perkembangannya, tradisi ini merupakan salah satu media dakwah Islam kepada masyarakat di Pasar Kliwon maupun di Surakarta. Tradisi ini sangat kental dengan unsur budaya Arab. Pada perkembangannya, tradisi ini mengalami akulturasi dengan budaya masyarakat setempat. Sebelum munculnya tradisi orang Arab di Pasar Kliwon, penduduk setempat dalam memeluk agama Islam masih kental dengan budaya Jawa ataupun selain Islam. Pada perkembangannya, daerah ini menjadi pemukiman yang kental dengan suasana Islam. Selain itu, untuk menunjang dakwah Islam di daerah setempat maka dibangunlah masjid-masjid baik milik perorangan maupun secara gotong royong oleh masyarakat keturunan Arab tetapi tetap berfungsi sosial terhadap masyarakat sekitar. Masyarakat Arab sangat menghormati tradisi yang berlaku, mereka memandang bahwa tradisi adalah sesuatu yang melekat dan hanya ada pada diri manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan. Sekalipun dalam kehidupan sosial telah membaur dengan masyarakat Jawa dan etnis lainnya yang menjadi bagian masyarakat di Pasar Kliwon. Secara umum, saluran Islamisasi di Indonesia dilakukan dengan melalui lingkungan keluarga atau perkawinan, pendidikan di Pesantren, organisasi, media massa dan seni budaya. Di lihat dari sejarahnya, orang-orang Arab telah menduduki posisi yang strategis di dalam proses Islamisasi di Indonesia. Dalam rangka menyebarkan ajaran Islam, mereka menggunakan cara-cara yang tepat sehingga penduduk setempat mudah menerimanya. Banyak seni budaya yang di gunakan oleh para Wali ataupun orang-orang Arab untuk menyebarkan dakwah Islam antara lain dengan kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Kesenian sebagai produk budaya merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tidak dapat diabaikan sebab manusia mutlak memerlukannya. Kebutuhan pada seni merupakan perimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Salah satu kesenian yang dikembangkan oleh orang-orang Arab di Pasar Kliwon adalah Marawis.
Eksistensi marawis dalam batasan ruang dan waktu akan mengalami perubahan yang merupakan kebudayaan yang dihayati dari masa ke masa, karena tradisi akan tetap ada dalam masyarakat yang berbudaya. Tradisi itu sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat di Pasar Kliwon karena tradisi dan peninggalan yang memiliki corak yang khas kepada kebudayaan bangsa perlu dipelihara dan untuk mengembangkan kesadaran sejarah (Depdikbud, 1978: 11). Munculnya Marawis pada masyarakat Arab di Pasar Kliwon telah ada sejak tahun 1970 an yang telah di bawa oleh seorang ulama dari Hadramaut bernama Habib Muhammad Al Mukhdori. Dalam prakteknya, orang-orang Arab tidak sekaligus memasukkan begitu saja ajaran Islam, tetapi menggunakan media yang dapat menarik masyarakat untuk masuk dan memeluk agama Islam yang disesuaikan dengan penduduk setempat, misalnya dengan menampilkan marawis dalam peringatan hari-hari besar Islam, seperti dalam peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW yang dilaksanakan setiap tahun dalam masyarakat di Pasar Kliwon, memperingati orang yang sudah meninggal (khaul) dan pesta pernikahan. Berpijak pada latar belakang di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara mendalam dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul: ‘‘TRADISI MARAWIS DI PASAR KLIWON” (Studi tentang budaya masyarakat Arab di Surakarta).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan judul skripsi, yakni sebagai berikut: 1. Bagimanakah latar belakang munculnya tradisi marawis di Pasar Kliwon ? 2. Bagaimanakah pementasan tradisi marawis di Pasar Kliwon ? 3. Bagaimanakah dampak tradisi marawis terhadap kehidupan masyarakat setempat ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah tersebutdi atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya tradisi marawis di Pasar Kliwon. 2. Untuk mengetahui pementasan tradisi marawis di Pasar Kliwon. 3. Untuk mengetahui dampak tradisi marawis terhadap kehidupan masyarakat setempat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat: a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah. b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan kepada peneliti khususnya dan para pembaca pada umumnya mengenai budaya masyarakat Arab.
2. Manfaat Praktis Secara praktis atau aplikasinya, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Pendidikan Ilmu Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Melengkapi koleksi penelitian ilmiah di Perpustakaan, khususnya mengenai Tradisi Marawis di Pasar Kliwon yang merupakan Studi tentang budaya masyarakat Arab di Surakarta. c. Menambah bacaan di Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah maupun di Fakukltas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Kebudayaan
a. Pengertian kebudayaan Kebudayaan berasal dari bahasa latin ”Cultura” yang artinya, pengolahan, pemeliharaan, Cultura Animi yaitu pembentukan jiwa sama dengan peradaban. Istilah Cultura tumbuh dikalangan Romawi, untuk menyatakan pengertian sama dengan paideia yaitu pendidikan, perkembangan, peradaban, sampai pada abad ke- 19 pengertian kebudayaan menunjukkan bidang kesusastraaan yaitu kesenian. Dalam pengertian itu selalu terkait apa yag dinamakan peradaban dalam diri, pembentukan cita rasa dan pendapat atau gagasan (Taufik H. Idris, 1983: 11). Sejak abad ke- 9 pengertian kebudayaan merupakan istilah untuk menunjukkan segala hasil karya manusia berkaitan dengan pengungkapan bentuk. Dalam hubungan dengan alam, kebudayaan menunjukkan segala penggarapan manusia dari hasil alam dan dirinya. Kebudayaan meliputi perlengkapan hidup, peralatan, bahasa, negara, hukum, ilmu pengetahuan dan agama (Ensiklopedia Indonesia, 1991: 52). Pengertian tentang kebudayaan juga di kemukakan oleh Gunawan Wiradi (1991: 265), bahwa kebudayaan adalah: Himpunan keseluruhan dari semua cara manusia berfikir, berperasaan dan perbuatan serta segala yang dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat yang dapat dipelajari dan dialihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan merupakan konsep abstrak, artinya hanya ada dalam angan-angan manusia, sedangkan manifestasinya atau perwujudtannya yang merupakan hasil kebudayaan dapat berupa hal-hal yang kongkrit dan nyata, dapat berupa hal-hal yang badani (material) juga mampu bersifat immaterial. R. Soekmono (1983: 17), mengartikan kebudayaan sebagai dimensi manusia dari manusia itu sendiri, artinya kebudayaan manusia terwujud dari perkembangan norma hidup manusia dan lingkungan. Kebudayaan sebagai ciptaan manusia dibedakan menjadi dua segi, yaitu: (1) segi kebudayaan yang 9
meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasilnya dapat diraba oleh tangan manusia, (2) Segi kerohanian yang tidak dapat diraba hanya dapat dipahami dengan melalui keagamaan, kesenian dan kemasyarakatan. Koenjtaraningrat (1974: 12), mengatakan bahwa budaya berasal dari bahasa Sanskerta ” budhaya” kata ini adalah bentuk jamak dari ”budhi” yang berarti ”budi atau akal”. Kata ”budi” sering dirangkaikan dengan ”akal” sehingga menjadi akal budi yang mempunyai arti kepandaian. Dari pengertian diatas maka kebudayaan selalu berkaitan dengan tingkah laku manusia karena manusia makhluk yang berkebudayaan. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna, yang mempunyai akal budi sejak dilahirkan. Akal budi dan jiwa inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya, misalnya manusia mempunyai jiwa dan kebudayaan, sedangkan yang lainnya tidak mempunyai jiwa ataupun kebudayaan. Suatu hal yang membedakan antara manusia dengan mahkluk Tuhan yang lainnnya adalah jiwa dan kebudayaan. Kluckhon dalam Sidi Gazalba (1968: 37), menyatakan bahwa kebudayaan mengandung arti pola-pola kehidupan yang diciptakan dalam perjalanan sejarah, eksplisit dan implisit, rasional, irasional dan non irasional yang terwujud pada setiap waktu sebagai pedoman yang berpotensi pada perilaku manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat E.B. Taylor yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (1990: 188), mendefinisikan kebudayaan sebagai hal yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Berdsarkan pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa kebudayan merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia yang tertuang dalam wujud-wujud tertentu, yang dapat dinikmati oleh semua orang dan dipergunakan bagi kelangsungan hidup manusia.
b. Wujud Kebudayaan Dalam menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan. Menurut Munandar Sulaiman (1987: 25), bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu: (1)
kelompok gagasan, konsep dan pemikiran manusia. Dari ketiganya ini disebut dengan sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat dan berpusat pada kepala-kepala yang berinteraksi, (2) Kelompok aktivitas, berupa manusia yang saling berinteraksi, sifatnya konkrit, dapat diamati. Wujud ini sering disebut dengan sistem sosial, (3) Wujud sebagai benda, aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lupa dari pemakaian alat-alat sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Dalam wujud yang seperti ini disebut dengan kebudayaan fisik, yang berupa benda diam atau benda bergerak.
c. Unsur Kebudayaan Untuk memudahkan pemahaman tentang kebudayaan yang sangat luas, maka secara teoritik kebudayaan di bagi ke dalam beberapa unsur. Koentjaraningrat (1983: 2), membagi unsur kebudayaan menjadi tujuh unsur yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dari organisasi masyarakat, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, (7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur kebudayan masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam sub unsur-unsurnya. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut dapat ditemukan dalam kebudayaan di manapun di dunia, baik yang hidup di masyarakat pedesaan yang kecil maupun masyarakat perkotaan yang besar dan komplek serta memiliki jaringan yang luas. Pada hakekatnya, Islam selalu mengangkat harkat dan martabat manusia dan kemausiaan. Seni budaya yang dilahirkan Islam bersumber pada Al Quran dan Hadist. Menurut Hasjmy (1993) yang di kutip oleh Maryati (1997: 18), bahwa Kebudayaan Islam merupakan penjelmaan akal dan rasa manusia muslim yang bersumber pada Al Quran dan sunah Rosul, sedangkan hasil karya, corak dan ragam budaya yang bertentangan dengan Allah dan Rosul- Nya bukan merupakan kebudayaan Islam. Kebudyaan Islam merupakan cara berfikir (budi dan rasa) dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu.
Islam adalah fitrah manusia, kebudayaan yang didalamnya terdapat unsur kesenian bagi manusia termasuk fitrahnya pula. Kesanggupan berbudaya pula yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Kegiatan berkresai seni dianggap sebagai manifestasi dan refleksi dari kehidupan manusia terhadap panggilan Tuhan. Dari pendapat diatas jelas bahwa seni budaya Islam adalah hasil ciptaan manusia yang didasarkan pada ajaran Islam dan mencerminkan ajaran-ajaran Islam. Allah SWT mempunyai segala sifat yang baik, sedangkan manusia sebagai khalifah di bumi mengemban amanat dari Tuhan untuk mengembangkan kemampuannya dengan menciptakan karya-karya yang beraneka ragam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Manusia dalam menciptakan karyakaryanya, harus diusahakan selalu untuk menghindari adanya niat mengingkari ketauhidan, menghalalkan segala cara yang dilarang oleh Allah karena semua itu dilarang dalam ajaran Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa budaya Arab identik dengan budaya Islam, karena mereka mendasarkan pada agama Islam yang pertama kali datang dari tanah Arab, dan juga Al Quran sebagai pedoman umat Islam bertuliskan dan berbahasa Arab. Anggapan yang demikian itu tidak benar sepenuhnya karena budaya Islam bukanlah merupakan hak monopoli orang Arab saja, tetapi untuk seluruh umat manusia di muka bumi. Sifat universal yang dimiliki oleh seni budaya Islam bukan hanya untuk golongan tertentu tetapi untuk seluruh umat manusia di seluruh dunia ini sebagai anugerah dan barokah dari Allah. Begitu eratnya hubungan manusia dengan kebudayaan sehingga sering disebut makhluk berbudaya. Bila dikaitkan dengan pelaksanan tradisi marawis di Pasar Kliwon, tradisi merupakan perwujudan tingkah laku dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Perwujudan tingkah laku tersebut berupa pelestarian dan penghormatan kepada tradisi-tradisi leluhur yang dilakukan sejak dulu dan diwariskan secara turun temurun kepada masyarakat pendukungnya sampai saat ini. Pelaksanaan tradisi marawis, pada perkembangannya mengalami percampuran antara kebudayaan Arab dan kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam tampak pada
sumbernya yaitu Al Quran dan sunah Rosul. Syairnya berisi puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, mengajak, menyeru manusia agar melaksanakan ajaran agama Islam. Sehingga tradisi marawis dapat dikatakan mencakup kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan Arab terlihat pada bahasa, alat-alat musik yang digunakan berasal dari Jazirah Arab. Dalam pengertian secara umum kebudayaan diidentikkan dengan kesenian terutama seni sastra, seni tari, seni suara, seni pahat dan lain sebagainya. Masalah kesenian bukanlah masalah yang dapat dipandang satu aspek saja, melainkan merupakan bagian dari kebudayaan manusia atau kebudayaan masyarakat. Jika pengertian kesenian ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan kemasyarakatan, seni merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Kesenian merupakan aspek kebudayaan yang universal yang dapat ditemukan dalam kebudayaan dahulu, sekarang dan dimanapun juga (Sidi Gazalba, 1988: 39). Soedarsono (1976: 30), kesenian adalah segala sesuatu bentuk yang menyenangkan, dan dapat memenuhi keinginan yang terakhir. Menurut John Martin yang dikutip oleh Soedarsono (1976: 30), bahwa setiap keindahan yang terdapat dalam seni merupakan sesuatu yang dapat memberikan kepuasan pada batin manusia, dan tadak hanya melalui gerak–gerik yang keras, kasar, penuh keanehan–keanehan saja yang dapat menimbulkan keindahan, tetapi juga gerak– gerik yang halus. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manusia di dalam mengahasilkan karya seni bertujuan untuk menumbuhkan rasa keindahan, dan keindahan tersebut menyebabkan seseorang merasa terpenuhi segala keinginannya sehingga merasakan kepuasaan. Kesenian akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang ada. Pendapat tersebut diperjelas oleh Umar Khayam (1981: 15), bahwa sebagai salah satu unsur kebudayaan, Kesenian akan mengalami kehidupan statis apabila kebudayaan juga statis, sebaliknya kesenian akan bergerak dan berkembang apabila kebudayaan juga selalu bersikap terbuka terhadap perubahan baik itu cepat atau lambat. Berpedoman dengan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa sebagai salah satu dari unsur kebudayaan universal, kesenian dalam gerak dan langkahnya tidak dapat dipisahkan dari
pengaruh budaya yang ada, sehingga perkembangan kesenian itu akan selalu mengikuti proses perubahan budaya yang terjadi dalam masyarakatnya. Pernyataan tersebut di atas di perkuat oleh Umar Khayam (1981: 38 ), sebagai berikut: Kesenian tidak pernah berdiri sendiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, maka masyarakat sebagai penyanggga kebudayaan dan kesenian berusaha mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru. Menurut Edi Sedyawati dan Joko Damono (!981: 54), bahwa kesenian memiiki bermacam- macam peranan dalam hidupnya dan peranan itu ditentukan oleh keadaan masyarakatnya. Seperti halnya bentuk kesenian yang hidup di lingkungan pedesaan, maka tradisi marawis yang ada dalam masyarakat Arab di Pasar Kliwon memiliki beberapa fungsi, yakni sebagai berikut: Fungsi yang paling umum darai kesenian rakyat adalah sebagai fungsi alat pendidikan masyarakat terutama para pemuda–pemudanya. Sebagai alat penmebal rasa solidaritas kolektif, sebagai alat untuk memberi kesempatan bagi seseorang untuk melarikan diri sementara dari kehidupan nyata ke dunia khayal yang indah. Sebagai alat pengehibur penontonnya dan lain sebagainya (Edi Sedyawati dan Joko Damono (1981: 81). Berpedoman pada pendapat kedua tokoh tersebut, maka marawis dalam masyarakat Arab di Pasar Kliwon berfungsi sebagai alat penebal solidaritas dan alat pendidikan bagi masyarakat di Pasar Kliwon khususnya dan Surakarta pada umumnya untuk mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah SWT dan mengajak manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar (menuju kebaikan dan mencegah kemunkaran).
2. Tradisi Menurut Nyoman Bharata (1982: 22), pengertian tradisi berasal dari bahasa latin “traditio’’ yang berarti penyerahan. Penyerahan tersebut berupa pengetahuan tentang prinsi-prinsip yang tertinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, Hardjono (1975: 23) berpendapat:
Tradisi adalah suatu pengetahuan atau ajaran yang diturunkan dari masa ke masa, yang memuat tentang prinsip universal yang digambarkan menjadi kenyataan dan kebenaran relatif, dengan demikian segala kebenaran dan kenyataan dalam alam yang lebih rendah adalah peruntukan (aplication) dari pada prinsip universal. Van Peursen (1976: 11), berpendapat bahwa tradisi merupakan pewarisan secara penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah dan pewarisan harta kekayaan. Pengertian tentang tradisi yang lain adalah sesuatu budaya yang di dalam melaksanakan hak seseorang berdasarkan aturan yang pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Pada perkembangannya menjadi tradisional yang berarti mencakup segala sesuatu yaitu adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan dan ajaran yang turun temurun. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1984: 23) tradisi adalah hal atau isi sesuatu yang diserahkan dari sejarah masa lampau dalam bidang adat, bahasa, tata kemasyarakatan dan keyakinan maupun proses penyerahan atau penerusan kepada generasi berikutnya. Sidi Gazalba (1974: 47), berpendapat tentang tradisi bahwa kehidupan kebudayaan berlaku dalam waktu kebudayaan mempertahankan diri dengan jalan tradisi yaitu pewarisan unsur-unsur kebudayaan diri dari suatu angkatan menuju angkatan berikutnya, karena sesuatu tidak datang secara tiba-tiba untuk menjadi suatu kebudayaan. Tanpa kehidupan, suatu kebudayaan akan diakhiri dengan kemusnahan. Tradisi merupakan syarat kesinambungan seluruh kehidupan, syarat bagi kesinambungan seluruh kehidupan berbentuk waktu yang meliputi masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian tradisi adalah segala sesuatu seperti adat yang bersifat memaksa dan berlangsung terus menerus dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1993: 23). Tradisi akan berlangsung sejalan dengan dengan bergantinya generasi penerus yang masih mempertahankan segala sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Setiap arga negara suatu masyarakat yang mempunyai berbagi tradisi mempunyai kewajiban untuk tetap mempertahankannya agar tetap sesuai dengan kepribadian aslinya. Perubahan yang terjadi karena pengaruh dari luar akan dipergunakan sebagai masukan yang bernilai positif namun tidak memudarkan nilai asli dari tradisi masyarakat tersebut.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah suatu adat kebiasaan yang diperoleh secara turun temurun dari para pendahulunya atau nenek moyangnya. Tradisi juga diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan sosial dengan melibatkan warga masyarakat dalam usahanya untuk mencapai tujuan bersama dan merupakan bagian yang integral dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Berkaitan dengan definisi tradisi seperti tersebut di atas, maka marawis adalah tradisi dalam hal kesenian yang merupakan budaya masyarakat Arab di Pasar Kliwon yang di bawa oleh para pendahulu mereka dari Hadramaut, Yaman Selatan. Tradisi ini akan tetap dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya sampai saat ini. Masyarakat Arab menggunakan tradisi tersebut sebagai salah satu usaha untuk mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Pada perkembangnnya tradisi ini dikembangkan kepada masyarakat umum di Surakarta dengan mengajak masyarakat untuk mengarah pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (Amar Ma’ruf Nahi Munkar), seperti yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Tradisi marawis dalam masyarakat Arab di Pasar Kliwon biasanya dimainkan di dalam Masjid pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan setiap tahun, halalbihalal dan (khaul) memperingati kematian orang Islam yang dianggap berjasa dalam masyarakat dan pesta pernikahan.
3. Dakwah Islam Allah SWT dalam Al Quran surat Yusuf ayat 108, telah mengajarkan kepada Nabi Muhammad agar menyeru, mengajak, memanggil umat manusia ke jalan– Nya (Departemen Agama Republik Indonesia, 2005: 249 ). Makna dakwah dalam ayat ini ialah ad-dakwah ila Allah (ad’u ila Allah) yakni seruan, ajakan, panggilan dan imbauan kepada Allah. Seruan, ajakan, panggilan dan imbauan kembali kepada Allah disebut dengan istilah dakwah (Amien Rais, 1987: 24). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer mengidentifikasikan istilah ‘‘Islamisasi” dengan kata Dakwah. Istilah Islamisasi berasal dari kata ‘‘Islam” dan mendapat sufiks ‘‘isasi”, hal ini mengandung maksud bahwa Islam
adalah ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW yang berpedoman pada Al Qur’an dan Al Hadits. Sufiks ‘‘isasi” mengandung keadaan menjadi proses. Jadi secara keseluruhan Islamisasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh Nabi Muhammad maupun para pengikutnya untuk menjadikan seseorang atau banyak orang untuk memeluk agama Islam (Peter Salim dan Yenny Salim, 1991: 4 ). Pendapat kedua tokoh tersebut didukung oleh Effendy Zarkasi (1977: 14), bahwa dakwah berarti menghasung (mengajak) kepada kebaikan dan petunjuk agar mengerjakan yang baik (ma’ruf) dan menjauhi kejahatan (munkar), agar mereka mancapai keutuhan dunia dan akherat. Maksud dari jalan baik dan petunjuk yang baik tidak lain adalah Islam. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat ditarik simpulan bahwa Islamisasi atau dakwah merupakan suatu ajakan, seruan atau panggilan kepada seseorang atau banyak orang untuk berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Dalam penelitian ini, untuk menyebut kedua istilah ‘‘Islamisasi dan Dakwah” penulis menggunakan istilah Dakwah Islam. Toto Tasmoro (1987: 35), mengidentifikasikan Islamisasi dengan istilah Dakwah. Kata dakwah berasal dari bahasa Arab da’a dari kata da’a yad’u du’aaan/da’watan, lalu menjadi kata du’a atau da’wah yang berarti do’a yang keduanya mempunyai arti yang sama yaitu ajakan atau panggilan. Asal kata da’a ini bisa diartikan bermacam-macam tergantung pada pemakaian dalam kalimat. Mislanya: ”da’ahu artinya memanggil atau menyeru, da’alahu artinya mendoakan kepadanya”. Dakwah berarti seruan seseorang kepada orang lain agar masuk dan mengikuti ajaran Islamn. Pendapat ini juga didukung oleh Chadijah Nasution, yang menyatakan bahwa dakwah dalam Islam adalah mengajak masyarakat untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan menyuruh berbuat baik itu adalah tugas dalam agama Islam. Lebih luas Amien Rais mengartikan dakwah secara makro, yaitu dakwah dalam Islam merupakan suatu rekonstruksi masyarakat yang mengandung unsur-unsur Jahiliyyah menjadi masyarakat yang Islami. Dakwah juga merupakan proses Islamisasi pada seluruh kehidupan manusia, jadi kegiatan dakwah dalam Islam meliputi segenap dimensi kehidupan manusia (Ridin Sofwan, 2000: 34).
Dakwah Islam merupakan suatu kewajiban bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Seperti pendapat Hamka (1993: 71), bahwa: Setiap muslim harus menyiarkan agamanya, baik yang pengetahuannya sedikit apalagi yang banyak, kepada orang lain yang belum mengetahuinya. Hal itu disebabkan karena kebenaran yang terkandung di dada setiap Muslim tidak akan diam, kecuali kebenaran itu terwujud dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Dan ia tidak akan puas hingga ia menyampaikan kebenaran itu pada setiap orang, sehingga apa yang ia percayai itu juga sebagai kebenaran oleh anggota masyarakat dan umat manusia pada umumnya. Pendapat Hamka itu sesuai dengan Hadits nabi ‘‘Sampaikanlah walau hanya satu ayat”. Berdasarkan Al Quran surat Al imron ayat 104 (Departemen Agama Islam Republik Indinesia, 2005: 64 ), bahwa hukum dakwah Islam adalah Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif) dan fardhu ’ain (kewajiban individu). Ada sebagian orang menganggap ayat ini mengandung pengertian tab’id (bagian), sehingga hukum dakwah menjadi fardhu kifayah. Ada pula yang menganggap sebagai zaidah (tambahan), sehingga hukumnya menjadi fardhu a’in. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap muslim bahwa agama Islam merupakan agama motivasi dan sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk menyerukan, mendakwahkan Islam dengan kemampuan masingmasing. Sesungguhnya seorang Da’i atau pengajak bertugas untuk mengajak seluruh manusia, baik yang muslim maupun nonmuslim untuk memahami Islam dan mengamalkannya serta menegakkan syariat Islam di muka bumi, agar manusia meraih kebahagiaan di dunia dan mendapat kenikmatan di akhirat. Seorang Da’i dituntut untuk menjelaskan, menguraikan dan merinci ajaran Islam dengan mengambil keteladanan dari Rosulullah SAW (Jum’ah Amin Abdul Aziz, 1997: 46). Seorang Da’i dalam berdakwah harus selalu memperhatikan esensi dari dakwah itu sendiri yaitu ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran Islam dengan penuh kesadaran. Pendapat tersebut sejalan dengan definisi dakwah menurut Arifin (1977: 17), sebagai berikut: Dakwah merupakan suatu kegiatan atau ajakan yang baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana secara individual maupun secara kelompok agar supaya
timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengalaman terhadap ajaran agama yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya suatu paksaan. Berpedoman pendapat tersebut di atas, maka dalam mengembangkan dan menyiarkan ajaran agama dan haruslah berpegang teguh pada tata cara dan aturan permainan yang ditentukan. Misalnya, harus menghormati dan menghargai hakhak asasi manusia, tidak boleh melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama lain apalagi sampai memaksa dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan lahirnya Islam ke dunia yang tidak mengenal paksaan ataupun kekerasan. Dakwah juga diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan atau suatu proses dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan untuk memberikan arahan dan pedoman bagi gerak dan langkah kegiatan dakwah tersebut. Din Syamsudin (2002: 127), dalam rangka mancapai tujuan dakwah seorang Da’i atau pengajak harus mendasarkan pada dua konsep dasar dalam dakwah yaitu: 1) Dakwah bi lisanil hal yaitu penyampaian ajaran Islam dengan budi pekerti yang luhur, sehingga Da’i dianggap sebagai panutan dalam bertindak dan bertingkah laku. 2) Dakwah bi lisalil maqal yaitu dakwah dengan menggunakan pernyataanpernyataan lisan (ceramah, seminar, nasehat). Dengan berpedoman pada dua konsep tersebut, maka tujuan dakwah akan tercapai apabila pada diri manusia sudah terjadi proses sosialisasi yang di wujudkan ke dalam kehidupan beragama. Tujuan dakwah Islam dapat dibedakan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum adalah untuk mengajak manusia ke jalan yang benar yang di ridhoi oleh Allah SWT, sedangkan tujuan khususnya dapat dibedakan menjadi: (1) Mengajak umat manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk selalu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. (2) Membina mental agama Islam bagi kaum yang masih mualaf (orang yang baru beriman).
(3) Mengajak umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah (memeluk agama Islam). (4) Mendidik dan mengajarkan kepada anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya. Dalam rangka mencapai tujuan dakwah secara efisien dan efektif maka, komponen yang dianggap tepat adalah dengan menggunakan media dakwah. Media dakwah adalah segala alat bantu yang di gunakan oleh Da’i dalam menyampaikan pesan dakwahnya kepada orang yang di dakwahi untuk mencapai tujuan dakwah yang diinginkannya. Ruang lingkup yang bisa dijadikan sebagai media dakwah adalah (1) keluarga, (2) lingkungan pendidikan, (3) organisasi (4) seni budaya dan (5) media massa. Dalam menyebarkan cita-cita atau tujuan, maka media merupakan alat yang penting dan sekaligus sebagai urat nadi dalam menyebarkan dakwah Islam. Datuk Tombak Alam, 1990 dalam Maryati (1997: 26) membagi dakwah ke dalam empat sifat, yaitu: (1) Media lisan, yaitu melalui kata-kata yang terucap untuk menyalurkan cita-cita antar manusia. (2) Media tulisan, berwujud buku-buku bacaan, surat kabar, majalah dan sebagainya yang berfungsi sebagai penyebar cita-cita. (3) Media radio, merupakan media yang dapat di dengar sebagai penyalur citacita. (4) Media film atau pertunjukan, berfungsi sebagai penyebar cita-cita dan membentuk pendapat umum. Kaitan anatara pendapat-pendapat di atas dengan penelitian ini adalah masyarakat ataupun orang-orang Arab di Pasar Kliwon, Surakarta memiliki peran atau posisi yang strategis dalam proses dakwah Islam. Dalam menyebarkan ajaran Islam, para ulama Arab menggunakan cara-cara yang tepat sehingga dapat diterima dengan baik oleh penduduk setempat. Misalnya: dengan menggunakan media kesenian. Melalui kesenian marawis yang dipentaskan oleh para ulama di setiap majelis ilmu dapat menciptakan keramaian, sehingga masyarakat yang mendengar muncul keinginan untuk datang ke majelis dan menyaksikannya.
Melalui syair-syair yang terwujud daam alunan qosidah atau ceramah-cermah yang disampaikan oleh ulama dalam majelis sehingga masyaarakat secara langsung atau tidak langsung telah menyerap ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu, para ulama Arab di Pasar Kliwon Surakarta dalam berdakwah tidak terlepas dari kebudayaan yang dimiliki penduduk setempat yaitu marawis. Selain melalui kebudayaan, cara lain yang digunakan oleh masyarakat Arab di Pasar Kliwon Surakarta dalam mendakwahkan ajaran Islan yaitu melalui bidang pendidikan dengan mendirikan lembaga pendidikan atau sekolah yang berlandaskan ajaran Islam. Melalui seni budaya yang bernafaskan Islam atau dengajn pendidikan semuanya bertujuan untuk mengajak masyarakat di sekitarnya manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat (amar ma’ruf nahi munkar).
B. Penelitian yang relevan Untuk mempertajam dan memperkuat hasil penelitian ini, maka penulis menggunakan hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang sedang penulis teliti yaitu: Penelitian Hana Farkhana (2007) dengan judul “Musik Gambus dalam Komunitas Arab di Pasar Kliwon, Surakarta’’. Karya ini dutujukan untuk mendapat gelar Sarjana Karawitan pada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta; yang terdiri dari lima bab dengan tebal 89 halaman. Menurut Hana Farkhana (2007), penelitiannya lebih menitikberatkan pada melodi, syair dan lagu serta instrumen yang digunakan dalam gambus sesuai dengan pendidikan tempat menuntut ilmu yaitu di ISI Surakarta. Musik gambus muncul di Pasar Kliwon diduga bersamaan dengan penyebaran Islam yaitu kirakira tahun 1730-an yang dibawa oleh para pedagang Arab di Pasar Kliwon. Apabila dilihat dari pendekatan sejarah musik gambus dalam komunitas Arab di Pasar Kliwon, merupakan hasil pewarisan dari orang-orang Arab dari Hadramaut. Dalam usaha menyebarkan ajaran Islam, kedudukan kesenian mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai sarana untuk mendakwahkan agama Islam. Kehadiran musik gambus di Pasar Kliwon, pada mulanya merupakan sarana untuk
mendakwahkan ajaran agama Islam. Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa munculnya musik gambus pada masyarakat Arab di Pasar Kliwon sebagai dampak dari kegiatan mendakwahkan ajaran Islam. Pada tahun 1730-an penduduk di Surakarta hanya sedikit yang mengenal atau sudah memeluk Islam. Dalam kehidupannya, penduduk yang sudah mengenal atau memeluk Islam juga belum taat dan tertib dalam melaksanakan dan mengamalkan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga orang-orang Arab di Pasar Kliwon dalam menyebarkan ajaran Islam menggunakan musik gambus sebagai medianya. Relevansi antara karya Hana Farkhana dengan penelitian ini terletak pada fungsi pementasannya yaitu sebagai sarana untuk mendakwahkan ajaran Islam. Hal itu dapat dilihat dari syair-syair dan lagu yang dilantunkan dalam kesenian musik gambus. Tulisan Hana Farkhana ini dapat dikatakan sebagai ikhtisar saja, karena di dalamnya hanya berisikan uraian secara singkat mengenai fungsi musik gambus dalam komunitas Arab di Pasar Kliwon yang meliputi fungsi hiburan dan fungsi komunikasi serta fungsi simbolik.
C. Kerangka Berfikir Kerangka pemikiran adalah suatu alur berfikir yang digunakan oleh peneliti dengan menggambarkan secara menyeluruh dan sitematis. Kerangka pemikiran yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Budaya Arab
Agama Islam
Masy. Arab di Pasar Kliwon
Tradisi marawis
Budaya Jawa
Bagan I. Alur Kerangka Pemikiran
Dakwah Islam
Keterangan: Agama Islam merupakan agama yang diturunkan di tanah arab yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW Agama Islam mengalami perkembangan pesat di seluruh dunia. Kegemilangan dan kebesaran
agama Islam itu dapat
dirasakan dimana-mana. Agama Islam di Indonesia disebarkan dengan cara-cara damai misalnya melalui kontak antar pedagang di daerah pesisir, perkawinan, pendidikan di pondok pesantren, kesenian dan lain sebagainya. Agama Islam turun di tanah Arab dan Al Quran sebagai pedoman umat Islam bertuliskan dan berbahasa Arab, walaupun demikian agama Islam dan budaya Islam tidak hanya diperuntukkan kepada orang-orang Arab tetapi untuk seluruh umat manusia yang ada di bumi. Para ulama Arab di Pasar Kliwon melakukan berbagai cara dalam rangka memasukkan ajaran Islam ke dalam kehidupan masyarakat setempat. Para ulama Arab berusaha mempergunakan cara yang tepat untuk memudahkan masyarakat agar dapat menerima ajaran Islam. Cara yang ditempuh yaitu dengan melalui seni budaya Islam yang bernama marawis. Melalui seni budaya, banyak diantara para ulama yang mengalami keberhasilan dalam mendakwahkan Islam. Tradisi ini berkembang di daerah tersebut karena kondisi dan situasi masyarakat setempat memungkinkan sekali untuk menggunakan tradisi ini sebagai sarana untuk mendakwahkan Islam baik kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat dapat menerima pesan-pesan, ajaran Islam yang disampaikan di dalam syair dan lagu-lagu marawis, karena didorong oleh kebutuhan lahiriyah dan kebutuhan batiniyah. Di dalam pelaksanaannya, terdapat kesamaan pandangan dan tujuan antara budaya Jawa (masyarakat Surakarta adalah orang Jawa) dengan masyarakat Arab di Pasar Kliwon yang tersimbolkan oleh tradisi marawis.yaitu keduanya berfungsi untuk mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat sekitar maupun di Surakarta pada umumnya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pasar Kliwon, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul “Tradisi Marawis Di Pasar Kliwon” (Studi Tentang Budaya Masyarakat Arab di Surakarta). Lokasi ini dipilih karena tempat tersebut merupakan tempat berkembangnya tradisi marawis yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Surakarta.
2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan, yaitu terhitung dari pengajuan judul, penyusunan proposal, mengurus perijinan sampai pengumpulan data dan penulisan akhir, yang dimulai sejak pengajuan judul pada bulan Januari 2009 sampai Agustus 2009.
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian Di dalam suatu penelitian ilmiah, diperlukan suatu metode tertentu yang sesuai dengan obyek penelitian. Metode penelitian merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan teknik tertentu. Dengan kata lain, metode adalah cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah yang menyangkut masalah kerja, yaitu cara untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 7). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian kualitatif yang peneliti lakukan ini bersifat deskriptif yang berupa katakata tertulis atau lisan, perilaku yang diamati. (Moleong, 2002: 3).
24
Penelitian kualitatif adalah suatu kegiatan untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa. Menurut Lexy J. Moloeng (1991: 30), yang dimaksud dengan penelitan kualitatif adalah suatu bentuk penelitian yang menghasilkan karya ilmiah dengan menggunakan deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan atas perilaku yang dapat diamati terhadap kelompok manusia, obyek, dan kebudayaan. Pendekatan etnografi sebagai suatu cara untuk mempelajari masyarakat yang kemudian dibuat gambaran mengenai semua segi kehidupan seperti cara berfikir, sistem mata pencaharian, sistem kerjasama, pandangan-pandangan serta aturan-aturan yang berlaku mengenai sistem keluarga. Penelitian kualitatif pada hakekatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, dan berusaha memahami tafsiran tentang dunia sekitar (Nasution, 1988: 5). Etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografis dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi suatu pemahaman yang sistematis mengenai kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan. Etnografi didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan dari semua kebudayaan sangatlah tinggi nilainya. Etnografi selalu menggunakan hal yang dikatakan oleh orang dalam upaya untuk mendeskripsikan kebudayaan (James P. Spradly, 1997: 13). Pada Perkembangannya, etnografi tidak hanya merupakan paparan tanpa interprestasi.
Roger
M.
Keesing
dalam
Burhan
Bungin
(2007:
220),
mendifinisikan etnografi sebagai pembuatan dokumentasi dan analisis budaya tertentu dengan mengadakan penelitian lapangan. Artinya dalam mendeskripsikan suatu kebudayaan seorang etnografer (peneliti etnografi) juga menganalisis. Berpedoman pada pendapat di atas dapat diketahui bahwa entografi adalah pelukisan sistematis dan analisis kebudayaan kelompok masyarakat atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama.
2. Strategi Penelitian Ditinjau dari obyek yang diteliti, penelitian mengenai Tradisi marawis di Pasar Kiwon termasuk dalam penelitian kasus atau studi kasus. Penelitian ini menggunakan strategi studi kasus terpancang tunggal. Strategi studi kasus terpancang tunggal karena masalah yang akan diteliti mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan interaksi lingkungan satu unit sosial, individu, lembaga atau masyarakat. Winarno Surakhmad (1990: 143), menyatakan bahwa “studi kasus memusatkan perhatian pada kasus secara intensif dan mendetail’’. Definisi lain, “studi kasus merupakan proses inkuiri yang menyelidiki fenomena didalam konteks kehidupan nyata, batas-batas antara fenomena dan konteks tidak tampak dengan tegas dan di mana multi sumber bukti dimanfaatkan” (Robert K. Yin, 1997: 12). Kasus adalah suatu permasalahan yang harus diselesaikan. Disebut terpancang karena sasaran dan tujuan serta masalah yang disebut sudah ditetapkan sebelum terjun ke lapangan atau tempat penelitian. Tunggal karena hanya memiliki karakteristik tunggal yang menyangkut berbagai unit dan merupakan satu kesatuan di suatu tempat yaitu berlangsungnya tradisi marawis di Pasar Kliwon Surakarta. Moch. Nasir (1985: 68), menyatakan bahwa subyek penelitian dalam studi kasus tunggal adalah individu, kelompok, lembaga dan masyarakat. Kasus ini mempelajari secara intensif dengan memberikan gambaran yang mendalam tentang latar belakang, sifat, dan karakter-karakter yang khas dari kasus selanjutnya dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Studi kasus bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memberikan ciri khas pada tingkah laku sosial, memahami hubungan dengan lingkungan sekitarnya, sejarah, unit sosial yang diselidiki serta faktor-faktor sosial yang mempengaruhi. Penelitian ini merupakan gambaran peristiwa secara sistematis tentang tradisi marawis yang dimiliki masyarakat di Pasar Kliwon Surakarta.
C. Sumber Data Sumber data merupakan suatu sumber di mana data diperoleh. Data tidak akan bisa diperoleh tanpa adanya suatu sumner data. Dalam memilih sumber data peneliti harus berfikir mengenai kemungkinan kelengkapan informasi yang akan dikumpulkan dan juga validitasnya. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitan ini adalah sebagai berikut:
1. Informan Informan adalah orang yang diwawancarai, dan diminta informasi oleh pewawancara. Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu obyek penelitian (Burhan Bungin, 2007: 108). Menurut Lexy J. Moloeng (1991: 12), informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang
situasi dan kondisi latar
belakang penelitian. Informan dipandang menguasai permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti serta dapat merekonstruksi mengenai organisasi, kejadian, motivasi, dan bersedia memberikan informasi kepada peneliti. Di dalam penelitian kualitatif posisi sumber data manusia sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasi, oleh karena itu untuk memilih siapa yag akan menjadi informan, peneliti harus memahami posisi dengan beragam peran dan keterlibatannya dengan informasi yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dalam penelitian, kesalahan dalam memilih informan akan berakibat kurang mantapnya data yang diperoleh dalam penelitiannya (Sutopo, 2006: 58). Dalam penelitian ini, wawancara akan dilakukan kepada beberapa informan. Informan dipilih dari orang-orang yang lebih mengetahui secara mendalam tentang Tradisi Marawis di Pasar Kliwon. Wawancara
dengan
informan dilaksanakan kepada : (1) Pemain Marawis, (2) Tokoh masyarakat keturunan Arab, (3) Tokoh masyarakat dari keturunan Jawa, (4) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surakarta, (5) Perangkat pemerintah, (6) Orang-orang yang mengetahui permasalahan yang sedang diteliti.
2. Tempat dan Peristiwa Tempat dan penelitan dapat dijadikan sebagai sumber informasi karena dalam pengamatan harus ada kesesuaian dengan konteks dan situasi sosial yang selalu melibatkan pelaku, tempat dan aktivitas. Tempat dan peristiwa dimaksudkan untuk memperkuat penelitian. Pengumpulan data dilaksanakan di Kelurahan Pasar Kliwon, Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta karena pemain marawis berasal dari daerah yang berada dalam Kelurahan Pasar Kliwon. Dalam penelitian ini, juga dilaksanakan pengamatan secara langsung dengan hal–hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pementasan marawis di Pasar Kliwon. Dari tempat ini akan didapatkan berbagai fenomena dan data yang sangat diperlukan dalam penelitian, sehingga dapat memperkuat keterangan yang diberikan oleh informan dan sebagai bukti yang nyata.
3. Dokumen dan Arsip Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 66), arsip adalah “dokumen tertulis (surat, akta, dan sebagainya), lisan (pidato, ceramah, dan sebagainya), atau bergambar (foto, film, dan sebagainya), dari waktu yang lampau, disimpan dalam media tulis (kertas), elektronik (pita kaset, pita video, disket komputer, dan sebagainya), biasanya dikeluarkan oleh instansi resmi, di simpan dan di pelihara di tempat khusus untuk referensi”. Sedangkan pengertian dokumen di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 272), adalah “surat yang tertulis atau tercetak yang dapat di pakai sebagai bukti keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian), barang cetakan atau naskah yang di kirim melalui pos, rekaman suara, gambar di film, dan sebagainya yang dapat di jadikan bukti keterangan”. Penggunaan dokumen dan arsip sebagai sumber data atau informasi, maka peneliti dapat mengatasi ruang dan waktu sehingga terbuka peluang untuk mendapatkan data mengenai gejala sosial yang hilang.
Dalam penelitian ini, data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian berupa laporan monografi kelurahan Pasar Kliwon, artikel-artikel dari media massa, buku kumpulan lagu-lagu marawis, kaset rekaman lagu marawis, dan dokumentasi berupa foto-foto yang berkaitan dengan tradisi marawis.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara Kartini Kartono (1983: 171) menyatakan “wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik”. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Materi wawancara adalah tema yang ditanyakan kepada informan, berkisar antara masalah atau tujuan penelitian (Burhan Bungin, 2007: 108). Wawancara merupakan suatu interaksi dan komunikasi. Interaksi yaitu antara peneliti dengan informan. Wawancara ini dilakukan secara mendalam bersifat terarah dan tidak terarah. Wawancara terarah dilakukan secara sistematis dan berencana dalam bentuk pertanyaan tercatat kepada informan. Wawancara tidak terarah dilakukan secara bebas kepada informan dalam memberikan keterangan umum dan tidak terduga yang tidak diketahui bila ditanyakan dengan wawancara tidak terarah, wawancara seperti ini disebut wawancara mendalam atau in- depth interviewing (Sutopo, 2006: 68). Wawancara di dalam penelitian kualitatif dilakukan secara terstruktur ketat, wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat terbuka (open-ended), dan mengarah pada kedalaman informasi, serta wawancara yang dilakukan secara formal tidak terstruktur (Sutopo, 2006: 69). Hal-hal yang dipersiapkan sebelum wawancara adalah sebagai berikut: 1) Penentuan siapa yang akan diwawancarai.
Informasi atau data yang lengkap dan dalam sangat penting karena akan menentukan kualitas penelitian. Oleh karena itu, dalam pengumpulan informasi melalui wawancara, peneliti harus bisa mendapatkan informan yang tepat. 2) Persiapan wawancara Peneliti harus mempersiapkan diri untuk memahami pribadi dan peran informan dalam konteksnya, sehingga paneliti harus berusaha menyesuaikan diri dengan karakter dan posisi informan agar tidak terjadi kesan yang mungkin kurang tepat sehingga bisa berakibat mendapatkan informasi yang kurang sesuai dengan yang diharapkan. 3) Langkah awal Peneliti perlu menjalin keakraban berbagai informan yang dihadapinya, dan memberikan kesempatan pada informan untuk mengorganisasikan apa yang ada dalam pikirannya, sehingga benar-benar terjadi suasana yang santai. 4) Pengusahaan agar wawancara bersifat produktif Wawancara perlu dijaga agar tetap santai dan lancar. Peneliti jangan banyak memotong pembicaraan, dan berusaha menjadi pendengar yang baik tetapi kritis. Keberhasilan peneliti dalam menjaga kelancaran wawancara dengan alur yang semakin mendalam pada fokusnya akan membuat wawancara semakin produktif. 5) Penghentian wawancara dan mendapatkan simpulan Bila peneliti menangkap gejala kejenuhan baik pada informan maupun pada peneliti sendiri, maka peneliti wajib bisa menghentikan wawancara tersebut, dan sudah dapat ditarik simpulan dari semua informasi yang diberikan oleh informan (Sutopo, 2006: 72). Dalam penelitian ini, peneliti sebagai wawancara menggunakan teknik terstruktur, yaitu teknik wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dibuat kerangka dan garis besarnya sebelum berada di lapangan penelitian, sehingga pertanyaan yang diberikan akan lebih terarah. Pertanyaan yang diberikan dapat berkembang sesuai
kebutuhan data meskipun pertanyaan tersebut tidak ada dalam pedoman wawancara.
2. Observasi Sutrisno Hadi (1977: 7) berpendapat bahwa “observasi adalah suatu pengamatan-pengamatan, pencatatan-pencatatan secara sistematis fenomenafenomena yang diselidiki”. Observasi adalah cara mengumpulkan data dengan pengamatan oleh seorang peneliti (Kartini Kartono, 1983: 142). Dari observasi akan diperoleh data lisan dan tertulis atau dokumenter dari objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti tidak hanya menonton dan mendengarkan apa yang menarik saja tetapi juga mencatat dan mengumpulkan keterangan-keterangan dari apa yang dilihat dalam objek pengamatan di lokasi penelitian. Kegiatan observasi ditinjau dari cara pelaksanaan dan tujuannya. Kartini Kartono (1983: 147-152) dapat dibedakan dalam tiga teknik obeservasi, yaitu : a. Teknik oberservasi yang partisipatif Peneliti ikut berpartisifasi dalam berbagai kegiatan yang dilakukan para obyek yang dioberservasi, dengan mempertimbangkan akses yang bisa diperolehnya dan dimanfaatkan bagi pengumpulan data. b. Teknik oberservasi non-partisipatif, Peneliti hanya mendatangi lokasi, tetapi sama sekali tidak terlibat langsung dalam kegiatan. c. Teknik oberservasi sistematis Teknik observasi yang
dilakukan
untuk menemukan dan merumuskan
permasalahan, sekaligus menyusun kategori permasalahan, teknik observasi sistematis sering dilengkapi alat-alat pencatat mekanis, seperti kamera, foto, pita rekam, tape recorder, dan lain sebagainya. d. Teknik oberservasi eksperimental Merupakan teknik oberservasi yang dilakukan secara non-partisipatif namun terstruktur dan sistematis dalam pelaksanaanya. Sehubungan dengan penelitian ini, maka dipergunakan teknik obrservasi non-partisipatif. Observasi non-partisipasif dilakukan dengan mendatangi
langsung ke lokasi observasi yang memungkinkan peneliti untuk melihat, mengamati dan memepelajari secara langsung keadaan tempat yang diteliti, serta jalannya atau pelaksanaan pementasan marawis di Pasar Kliwon. Observasi ini memudahkan peneliti untuk mendapatkan data secara mendalam, sebab peneliti dapat menangkap fenomena-fenomena yang muncul pada saat itu.
3. Analisis Dokumen Analisis dokumen merupakan teknik pengumpulan data dengan mencari dan mengumpulkan data melalui membaca buku yang relevan dengan topik yang menjadi bahan penelitian. Dokumen yang diperoleh secara langsung sebagai sumber data, kemudian dianalisis dan diteliti serta disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan. Dokumen yang dianalisis adalah dokumen yang berhubungan dengan penelitian. Dokumen sangat berharga untuk memahami aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok populasi tertentu yang faktanya tersimpan dalam dokumen. Oleh karena itu, dokumen berfungsi apabila sudah dianalisis, kemudian setelah dianalisis dokumen berfungsi pula sebagai bukti pengujian. Dokumen merupakan sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif, memanfaatkan suatu dokumen yang padat isinya biasanya menggunakan teknik tertentu, teknik yang paling umum digunakan yaitu Content Analysis atau kajian isi. Kajian isi menurut Burhan Bungin (2007: 155) yaitu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru, dan sah dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Teknik ini dilakukan paling awal untuk melihat dan menghimpun pengetahuan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan tradisi marawis. Studi ini merupakan langkah untuk mendapatkan pengetahuan terutama sebagai bekal untuk melaksanakan penelitian di lapangan. Sebagai tindakan dalam studi ini adalah dengan menganalisis sumber berupa kumpulan lagu-lagu marawis. Dari sumber tersebut dapat diketahui bahwa isi dari syair dan lagu marawis merupakan permohonan doa kepada Allah SWT, puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW, harapan–harapan berupa surga, rahmat dan kasih Allah ta’ala.
E. Teknik Sampling (Cuplikan) Teknik sampling adalah suatu bentuk khusus atau suatu proses yang umum dalam memusatkan atau pemilihan riset dalam penelitian yang mengarah pada pendekatan seleksi (Sutopo, 2006: 63). Sedangkan Lexy J. Moleong (1990: 178 - 179), berpendapat bahwa teknik sampling adalah untuk mengiring sebanyak informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan yang muncul. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling atau dapat juga disebut criterion based selection atau sampling bertujuan. Teknik sampling bertujuan memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui permasalahan secara mendalam, dengan demikian informasi yang diterbitkan bersifat tetap, jelas dan tidak diragukan (Lexy J. Moloeng, 1990: 30). Cara yang dilakukan untuk mendapatkan jumlah dan kualitas data yang diharapkan, maka peneliti menggunakan teknik cuplikan bola salju atau “snawball sampling”, yaitu peneliti pertama-tama datang kepada seseorang menurut pengetahuannya sebagai “key informan”, setelah dipandang cukup, orang tersebut mencari subyek lain yang dianggap tahu permasalahannya sebagai informan baru. Demikian seterusnya, berganti informan berikutnya sehingga data yang diperoleh semakin lengkap dan mendalam. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik snawball sampling atau teknik bola salju. Snawball sampling merupakan cara pemilihan informan pada saat di lokasi penelitian kemudian berdasarkan petunjuk informasi lainnya yang tidak terencana sebelumnya sehingga data lengkap dan mendalam.
F. Validitas Data Validitas data adalah kebenaran dari kancah penelitian, dimana kebenaran data dalam penelitian sangat diperlukan agar hasil penelitian tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian, untuk menentukan valid tidaknya suatu data, digunakan suatu teknik yang disebut dengan teknik trianggulasi data. Yang dimaksud ”Teknik Trianggulasi Data” adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
dimanfaatkan sesuatu yang ada di luar data itu dan untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Lexy J. Moleong, 1991: 178). Validitas ini merupakan jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian. Untuk mendapatkan data yang valid dalam suatu penelitian kualitatif. Menurut H.B. Sutopo (2006: 93 – 98), trianggulasi terdiri dari empat, yaitu sebagai berikut: 1. Trianggulasi Data (Trianggulasi Sumber) Cara ini mengarahkan peneliti agar dalam mengumpulkan data, wajib menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda. Trianggulasi sumber bisa menggunakan satu jenis sumber data seperti informan. Trianggulasi data memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk menggali data yang sejenis. Cara menggali data dari sumber yang berbeda-beda dan juga teknik pengumpulan data sejenis bisa teruji kemantapan dan kebenarannya. 2. Trianggulasi Metode Peneliti dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data. Penggunaan dari dua metode yang ditekankan tersebut adalah penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda bahkan lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya. 3. Trianggulasi Peneliti Pengumpulan data semacam atau sejenis tetapi dilakukan oleh beberapa peneliti. 4.
Trianggulasi Teori Peneliti mengadakan penelitian dengan teknik yang sama dan datanya dianalisis menggunakan perspektif teori yang berbeda. Penelitian ini menggunakan dua teknik trianggulasi yaitu. trianggulasi data
dan trianggulasi metode. Trianggulasi data adalah dalam mengumpulkan data menggunakan informan dan sumber lapangan yaitu tempat dan peristiwa, serta
menggunakan sumber arsip dan dokumen. Sedangkan trianggulasi metode digunakan untuk pengumpulan data yang berbeda yaitu melalui wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Penggunaan trianggulasai data dan trianggulasi metode diharapkan data yang disajikan nantinya dapat dipertanggungjawabkan. Keabsahan data dalam penelitian ini didapat dengan cara membandingkan data dari sumber yang satu dengan sumber yang lain sehingga mendapatkan kebenaran data.
G. Teknis Analisis Data Analisis data kualitatif ialah sebuah strategi analisis yang melekat pada setiap tahapan langkah penelitian kualitatif (Burhan Bungin, 2007: 144). Dalam penelitian ini proses analisis data menggunakan model analisis interaktif (interactive model analysis). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan data yang bersifat kualitatif. Data kualitatif merupakan sumber dari penelitian deskriptif yang berlandaskan kokoh serta memberikan penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Analisis kualitatif merupakan analisis data yang didasarkan pada hubungan antara fakta yang satu dengan yang lain secara sebab akibat untuk menerangkan peristiwa. Data kualitatif dapat berupa kata-kata ataupun data yang berupa kalimat, yang masingmasing data diperoleh dari beberapa sumber data seperti hasil wawancara, observasi serta analisis dokumen merupakan variabel yang berdiri sendiri tetapi keberadaanya saling melengkapi dan saling berhubungan (Miles, B. Mathew & Huberman, A. Michael, 1992: 1).
Pengumpulan data
Reduksi Data
Sajian data
Penarikan kesimpulan (verifikasi)
Bagan I. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif Sumber: Miles, B. Mathew & Huberman, A. Michael, 1992: 20. Analisis interaktif meliputi empat elemen pokok, yaitu : 1. Pengumpulan data Dalam pengumpulan data akan dihasilkan catatan mengenai beragam informasi yang selanjutnya dikembangkan dan dilengkapi dengan beragam cara refleksi yang mengarah pada usaha pemantapan simpulan – simpulan awal dan perluasan serta pendalaman data pada waktu dilakukan pengumpulan data berikutnya. Data yang disajikan dalam laporan bukan merupakan data yang mentah, tetapi sudah merupakan hasil analisis berkelanjutan dalam proses perjalanan pengumpulan data. 2.
Data Reduction (reduksi data) Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan - kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
3. Data Display (penyajian data) Alur terpenting kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data. Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan tindakan. 4. Conclution Drawing (simpulan) Penarikan simpulan sebagian dari kegiatan konfigurasi yang utuh. Kesimpulan itu diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi mungkin sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran selama menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, atau menjadi begitu seksama dan membutuhkan tenaga dengan peninjauan kembali serta tukar pikiran untuk mengembangkan kesepakatan inter subyektif, atau upaya untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data lain. Makna - makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya. Analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang terus menerus. Proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul-menyusul (Miles, B. Mathew & Huberman, A. Michael, 1992: 20). Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi dapat segera ditarik simpulan yang bersifat sementara. Agar simpulan dapat lebih mantap maka peneliti memperpanjang waktu observasi tersebut sampai ditemukan data baru yang dapat mengubah simpulan sementaraa sehingga diperoleh suatu simpulan yang baik.
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah tata urutan langkah - langkah rinci yang harus ditempuh untuk melaksanakan penelitian. Hal ini dimaksudkan agar penelitian dapat berjalan teratur sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Untuk lebih jelas digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Penarikan Kesimpulan
Pemilihan Masalah Penelitian
Pengumpulan Data
Analisis Data
Penulisan Hasil Penelitian
Penulisan Proposal Penelitian
Perbanyakan Hasil Penelitian
Bagan 2. Prosedur Penelitian Keterangan: 1. Pemilihan masalah 2. Penulisan proposal 3. Pengumpulan data 4. Analisis data 5. Penarikan simpulan 6. Penulisan hasil penelitian
Dalam penelitian ini, dimulai dari pemilihan masalah penelitian, kemudian dilanjutkan dengan penulisan proposal penelitian yang berisi pendahuluan, kajian teori dan metodologi penelitian. Langkah berikutnya yaitu pengumpulan data
dengan metode yang telah ditetapkan yaitu : metode wawancara, metode observasi dan analisis dokumen. Tahap selanjutnya adalah menganalisis data yang telah dikumpulkan. Analisis data yang dimaksud adalah mengorganisasikan data yang telah diperoleh. Analisis data dalam hal ini ialah mengatur data, mengurut data, mengelompokkan data agar dapat menjelaskan tentang apa yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Pada tahap analisis ini bila dirasa perlu untuk memantapkan data pendukung yang lebih kuat yang belum terdapat dalam data yang sudah terkumpul maka dapat kembali pada proses pengumpulan data untuk mencari data yang diperlukan. Tahap selanjutnya merupakan tahap penarikan simpulan yang dilanjutkan dengan tahap penulisan laporan penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi 1. Keadaan Geografis Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Kelurahan Pasar Kliwon merupakan salah satu dari 9 kelurahan yang berada dalam wilayah Kecamatan pasar Kliwon Kota Surakarta yang memiliki luas wilayah 3,6 Hm. Kelurahan Pasar Kliwon terdiri dari 8 kampung yang terbagi menjadi 36 RT dan 12 RW. Secara administratif, Kelurahan Pasar Kliwon mempunyai batas wilayah, yaitu: sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Baluwarti, sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Joyosuran, sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Gajahan, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Semanggi. Ditinjau dari sudut pemerintahan, Kelurahan Pasar Kliwon dipimpin oleh seorang Kepala Kelurahan seperti layaknya Kelurahan lainnya yang ada di wilayah Indonesia. Kepala Kelurahan Pasar Kliwon dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh perangkat Kelurahan yang meliputi: Sekretaris Kelurahan dan empat orang Kepala Urusan, yaitu meliputi Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Bangunan, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat, Kepala Urusan Umum.
2. Keadaan Demografis Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Berdasarkan data monografis Kelurahan Pasar Kliwon
bulan Januari
2009, tercatat jumlah penduduk ada 7.200 jiwa, dengan perincian jumlah laki–laki 3.474 dan jumlah perempuan 3.726 jiwa. Jumlah kepala keluarga dari keseluruhan jumlah penduduk adalah sebanyak 1.333 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk di atas jika di klasifikasikan berdasarkan usia adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Penduduk Dalam Klasifikasi Umur dan Kelamin Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Tahun 2009 Kelompok Umur
Laki – laki
Perempuan
Jumlah Orang % 0–4 153 151 304 4,2 5–9 281 242 523 7,3 10 – 14 298 280 578 8 15 – 19 278 313 591 8,2 20 – 24 302 328 630 8,8 25 – 29 303 365 668 9,3 30 – 34 291 270 561 7,8 35 – 39 286 264 550 7,6 40 – 44 371 360 731 10,1 45 – 49 363 358 721 10 50 – 54 174 262 436 6 55 – 59 176 246 422 5,9 60 ke atas 198 287 485 6,8 Jumlah 3.474 3.726 7.200 100 Sumber: Laporan Monografis Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Bulan Januari Tahun 2009 Dari jumlah penduduk di atas jika diklasifikasikan berdasarkan latar belakang golongan etnis atau suku bangsanya menunjukkan ciri heterogen. Di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta terdapat sekurang–kurangnya 3 golongan penduduk yaitu penduduk Jawa, keturunan Arab dan keturunan Cina. Adapun kondisi penduduk berdasarkan kriteria golongan penduduk Jawa dan keturunan asing adalah sebagai berikut: Tabel 2. Pengelompokan Penduduk Berdasarkan Kriteria Golongan Penduduk Jawa dan Keturunan Asing di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Menurut Jenis Kelamin Tahun 2009 Kebangsaan
Jenis Kelamin Jumlah L P Orang % Jawa 2.543 2.543 5.290 73,5 Arab 827 948 1.775 24,6 Cina 104 31 135 1,9 Jumlah 7.200 100 Sumber: Laporan Monografi Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Bulan Januari Tahun 2009
Dalam bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penduduk Pasar Kliwon mayoritas memeluk agama Islam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 5. Agama–Agama yang Dipeluk Penduduk Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Bulan Januari Tahun 2009 No
Agama
Jumlah orang % 1 Islam 6.901 95,8 2 Kristen Katholik 24 0,3 3 Kristen Prootestan 256 3,6 4 Budha 19 0,3 5 Hindu Jumlah 7.200 100 Sumber: Laporan Monografis Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Bulan Januari Tahun 2009 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa agama Islam merupakan agama mayoritas yang dipeluk oleh penduduk di Kelurahan Pasar Kliwon. Hal ini tidak lepas dari silsilah para pendahulunya terutama masyarakat keturunan Arab yang sebagian besar tinggal di wilayah ini. kedatangan bangsa Arab ke Indonesia mengakibatkan timbulnya Islamisasi, maka agama Islam berkembang dengan subur, tidak terkecuali di Kelurahan Pasar Kliwon. Pemeluk agama lain tetap memiliki kebebasan untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Semua itu tidak lepas pula dari rasa toleransi yang tinggi di antara mereka sehingga dapat mencegah timbulnya pertikaian yang dilatar belakangi oleh perbedaan agama, untuk menunjang kegiatan peribadatan umat Islam dibangunlah 6 buah Masjid dan 5 buah Mushola. Masjid-Masjid tersebut ada yang dimiliki perorangan (orang–orang Arab) dan ada pula yang didirikan secara gotong royong oleh masyarakat kampung, misalnya Masjid Riyadh, Masjid Jami’ Assagaf dan Masjid Al Khoir. Masjid tersebut didirikan oleh masyarakat keturunan Arab, walaupun demikian Masjid itu tetap berfungsi sosial terhadap masyarakat sekitar. Berdasarkan monografis bulan Januari 2009, penduduk Kelurahan Pasar Kliwon jika dilihat dari tingkat pendidikannya urutan yang terbesar adalah lulusan SLTP sebanyak 2.793 orang, sedangkan lulusan yang paling sedikit adalah lulusan
sarjana sebanyak 199 orang. Lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk menurut tingkat pendidikannya, dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan pasar Kliwon Surakarta (Untuk Usia 5 th Ke Atas) Tahun 2009 No
Jenjang pendidikan
Jumlah
Orang % 1 Tamat Akademi/PT 199 2,9 2 Tamat SMU 1.592 23,1 3 Tamat SLTP 2.793 40,5 4 Tamat SD 680 9,9 5 Tidak Tamat SD 796 11,5 6 Belum Tamat SD 655 9,5 7 Tidak Sekolah 181 2,6 Jumlah 6.896 100 Sumber: Laporan Monografis Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Bulan Januari Tahun 2009 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Penduduk di Kelurahan Pasar Kliwon sebagian besar telah mendapat pendidikan dasar, meskipun ada pula diantara anggota masyarakat yang tidak bisa menikmati pendidikan, karena telah memasuki usia lanjut dan masalah ekonomi. Jika dilihat dari segi etnis, orangorang keturunan Arab pada umumnya berpendidikan setingkat SMU, tetapi ada juga yang lulusan dari Perguruan Tinggi atau Akademi tetapi jumlahnya sedikit. Masyarakat Arab di Kelurahan Pasar Kliwon kebanyakan lulusan SLTP dan banyak juga yang berpendidikan di Pondok Pesantren, karena bagi masyarakat keturunan Arab pendidikan agama lebih diutamakan (wawancara dengan Sekretaris Kelurahan Pasar Kliwon: Bp. Sihono, 24 Februari 2009). Sebelum pemerintah mendirikan lembaga pendidikan milik Pemerintah di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta, masyarakat Arab telah mendirikan lembaga pendidikan untuk anak-anak keturunan Arab dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai tingkat SMU. Lembaga pendidikan itu adalah (1) Al-Irsyad, memiliki tingkat pendidikan dari Taman Kanak-kanak sampai tingkat SLTP. (2) AlRobithah Al-Alawiyah (sekarang lebih dikenal dengan nama Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro).
Sifat pluralistik penduduk di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta tidak hanya tampak pada sukubangsa, melainkan juga terlihat dari segi pekerjaannya. Jenis-jenis pekerjaan penduduk di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta dapat dilihat dari tabel sebagai berikut: Tabel 4. Jenis-Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta (Untuk Usia 10 th Ke Atas) Tahun 2009 No
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah orang
%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Petani sendiri Buruh tani Nelayan Pengusaha 74 1,2 Buruh Industri 1.357 21,3 Buruh Bangunan 1.180 18,5 Pedagang 204 3,2 Pengangkutan 113 1,8 Pegawai Negeri Sipil/TNI 161 2,5 Pensiunan 271 4,2 Lain-lain 3.013 47,3 Jumlah 6.373 100 Sumber:Laporan Monografis Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta Bulan Januari Tahun 2009 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta sebagian besar bermata pencaharian di bidang informal. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai pengusaha sebanyak 74 orang, buruh industri 1.357 orang, buruh bangunan 1.180 orang, pedagang 204 orang, penduduk yang bermatapencaharian dalam bidang pengangkutan sebanyak 113 orang, PNS atau TNI sebanyak 161, Pensiunan sebanyak 271 orang dan profesi yang lainnya sebanyak 3.013 orang. Berdasarkan data di atas bahwa penduduk yang memiliki pekerjaan tetap sebanyak 6.373 orang. Dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa jumlah pengangguran di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta cukup besar, yaitu berjumlah 827 orang. Dari jumlah tersebut, sebagian adalah pengangguran (tidak mempunyai pekerjaan) dan sebagian lagi adalah usia non kerja (9 tahun ke bawah). Adanya pengelompokan usia produktif 10 tahun ke atas, secara otomatis akan menuntut adanya penyediaan ruang yang memadai baik
mengenai lapangan pekerjaan, perumahan, maupun beberapa fasilitas lainnya yang dibutuhkan. Masyarakat Arab sebagian besar dari bergerak dalam bidang swasta, ada yang menjadi pengusaha (sebagian besar pengusaha batik), membuka pertokoan, warung makan, bengkel, percetakan dan sebagian lagi ada yang bekerja di instansi pemerintah (sebagian Pegawai Negeri Sipil) tetapi jumlahnya sangat kecil. Demikian pula orang-orang Cina yang tinggal di Kelurahan Pasar Kliwon semuanya bekerja di bidang swasta (Wawancara dengan Sekretaris Kelurahan pasar Kliwon: Bp. Sihono, 23 Februari 2009).
3. Keadaan Sosial dan Budaya
a.Asal Usul Nama Pasar Kliwon Dalam masyarakat Surakarta terdapat tradisi pemberian nama suatu tempat tertentu, seperti yang masih di kenal sampai sekarang. Pemberian nama Pasar Kliwon juga berkaitan dengan tradisi tersebut. Pemberian nama “Pasar Kliwon” adalah tempat tersebut dijadikan pusat aktivitas jual-beli oleh penduduk kota dan dilakukan pada hari-hari tertentu. Penentuan hari pasaran itu ditentukan oleh barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari daerah di sekitarnya. Berbeda dengan penyelenggaran pasar di kota-kota besar yang mempunyai jaringan luas dimana pasar diselenggarakan setiap hari, maka penyelenggaran hari-hari pasar di desa atau kota-kota kecil di daerah pedalaman seperti halnya di Surakarta, memiliki tradisi hari-hari tertentu. Hari besar itu ditentukan bergiliran antara satu tempat dengan tempat lainnya. Giliran hari-hari pasar tersebut dihubungkan dengan hari pasaran yang terdiri atas lima hari yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi. Asal nama “Pasar Kliwon” disesuaikan dengan keadaan tempatnya. Daerah ini sejak lama telah dijadikan pasar dan aktifitas perdagangan yang dilakukan setiap hari Kliwon sebagai salah satu hari pasaran. Di Surakarta, selain terdapat Pasar Kliwon juga terdapat pasar lainnya, yaitu Pasar Pon, Pasar Legi dan lain sebagainya. Menurut Sajid (1980: 55), Pasar Kliwon pada zaman dahulu
merupakan pasar hewan, terutama untuk jual beli kambing. Pasar tersebut ramai didatangi orang setiap hari pasaran Kliwon. Tempatnya di “Kampung Arab”. Kampung Arab tersebut kemudian di kenal dengan nama “Pasar Kliwon”. Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa pemberian nama Pasar Kliwon disesuaikan dengan aktifitas perdagangan yang terjadi pada hari pasaran Kliwon, di tempat inil sejak awal dijadikan tempat pemukiman orangorang Arab, sedangkan perkampungan orang-orang Cina di Surakarta dikenal dengan nama Pasar Gede. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa hubungan antara pasar dengan orang-orang asing itu selalu berkaitan.
b. Sistem Sosial Komunitas Arab di Surakarta menyebut kelompoknya dengan jamaah, yang berasal dari kata ”jamak” yaitu kumpulan orang banyak. Orang-orang pribumi menyebut orang-orang Arab dengan encik, yang diambil dari bahasa melayu yang artinya tuan (Hanna Farkhana, 2007:22). Orang-orang Arab yang di Indonesia dari sejak dahulu sampai sekarang dibagi menjadi dua golongan, yaitu (1) golongan yang berorientasi pada negeri leluhurnya dengan tetap memegang teguh bahasa Arab dan mempertahankan nasionalisme Arab (fanatik). (2) golongan Arab peranakan. Dilihat dari jumlahnya, golongan Arab peranakan merupakan yang terbesar dibandingkan golongan yang fanatik. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Indonesia, namum terkadang juga memasukkan bahasa Arab dalam meskipun bahasa Arab yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tidak sesuai dengan di negara asalnya, tetapi masih ada pula orang Arab yang menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Arab di Pasar Kliwon hidup secara berkelompok dalam satu wilayah kecil di kota maupun di desa. Hubungan antar individu anggota komunitas sangat kental, tetapi masyarakat Arab tetap berinteraksi, bersosialisasi dan melakukan aktivitas dengan individu-individu di luar komunitasnya meskipun hanya dalam tingkat yang kecil. Secara umum masyarakat Arab di Pasar Kliwon terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Sayid (bentuk jamaknya sadah)
dengan gelar Habib (bentuk jamaknya Habaib atau ulama) dan golongan Masayeh. Golongan Sayid dalam struktur komunitas Arab merupakan kelas atas dan tidak mau disebut sebagai orang Arab, tetapi menyebut diri sebagai ”Dzuriah Rosu”l atau keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Golongan Sayid memiliki markas di Al-Robithoh di kampung Gurawan, Pasar Kliwon berupa Masjid (Masjid Riyadh) sebagai tempat diadakannya tahlil dan khaul para Habib yang terdahulu. Orang-orang yang datang ketempat tersebut 90% merupakan orang Arab Habaib dan yang 10% menyebut dirinya Muhibin, yaitu orang yang cinta dengan keturunan Rosulullah. Pada golongan Sayid, kaum wanitanya disebut Syarifah. Perempuan dari golongan Sayid tidak diperbolehkan untuk menikah dengan laki-laki di luar golongannya. Golongan Sayid
memiliki keyakinan apabila itu terjadi, dapat
memutuskan hubungan silaturrokhim, bahkan mengharamkan dan menganggap pernikahan tersebut tidak sah. Laki-laki dari golongan Sayid diperbolehkan menikah dengan perempuan di luar golongannya. Golongan Sayid memiliki sekolah, yaitu Al-Robithah Al-Alawiyah (Diponegoro) yang anggotanya terdiri dari guru dan murid. Sekolah Diponegoro memiliki tingkat pendidikan dari SD putra, SD putri, SMP putra, SMP putri dan SMA putri. Pada tingkat SMA, sekolah tersebut dikhususkan untuk anak perempuan, karena bertujuan untuk menyelamatkan para Syarifah agar tidak terpengaruh dan tetap mempertahankan ajaran komunitas Sayid. Sekolah Diponegoro tidak tertutup untuk golongan lain, namun pada kenyataannya 90% orang-orang yang bersekolah di sini berasal dari golongan Sayid. Golongan Sayid memiliki aktivitas keagamaan yang disebut dengan Maulud (dalam bahasa Indonesia Maulud), yaitu memperingati wafatnya Nabi Muhammad SAW dan para Habib maupun para wali Allah. Acara utama dalam kegiatan Maulud antara lain dipanjatkan doa khusus dan sholawat Nabi, setelah selesai membaca doa dan sholawat, orang-orang yang hadir dalam acara Maulud berdiri sejenak sambil menadahkan kedua tangan (seperti orang berdoa) sambil membaca ” Marhaban ya Rosulullah”. Pada saat berdiri, orang-orang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW hadir di tengah-tengah acara Maulid. Pelaksanaan
Maulud tidak hanya dalam memperingati kematian para Habib, tetapi juga untuk upacara pernikahan, pindah rumah, unduh mantu, pergi haji, pulang haji dan acara syukuran lainnya. Di setiap acara maulid masyarakat Arab selalu menghidangkan nasi kebuli, kopi jahe, bahkan juga ”nasi minyak". Golongan Habaib memiliki tradisi khas Arab, yakni ”makan berjemaah” dengan duduk mengelilingi nampan berisi nasi kebuli dengan menggunakan tangan. Makan berjamaah ini sebagai tanda keakraban di antara anggota komunitas Arab. Pada saat acara resmi misalnya pernikahan dan khaul selalu terdapat aroma asap gaharu atau luban (dupa) yang dibakar di tempat diadakannya acara tersebut (observasi di Masjid Jami’ Assegaf, 9 Maret 2009). Golongan Masayeh (orang Arab bukan keturunan langsung dari Nabi Muhammad) tidak jauh berbeda dengan masyarakat pribumi (Jawa). Pernikahan yang berlangsung dalam golongan Masayeh tidak dibatasi dari golongan tertentu, kecuali mengenai agama yang dianut harus Islam atau masuk Islam. Secara fisik, antara Sayid dan Masayeh tidak ada perbedaan. Secara umum, orang-orang Arab lebih mudah dikenali dibandingkan komunitas lainnya. Ciri-ciri fisik yang mudah dikenali, yaitu hidung yang panjang (mancung), bermata tajam, rambut ikal (mayoritas), warna kulit ada yang hitam dan ada yang putih. c. Kebudayaan 1) Adat istiadat Masyarakat Arab di Kelurahan Pasar Kliwon, mempunyai adat istiadat sebelum acara pernikahan, yaitu Pacar atau Gadisan. Acara ini berlangsung di tempat calon pengantin perempuan dan dihadiri oleh tamu undangan perempuan. Isi dari acara Gadisan adalah pemakaian mahendi atau pacar untuk calon pengantin yang dilakukan oleh para tamu yang hadir dalam acara tersebut (hampir sama dengan budaya India yaitu pemakain rajah). Pemakaian pacar merupakan simbul bahwa perempuan itu (calon pengantin) akan segera melepas masa lajangnya. Para undangan yang menghadiri acara itu saling berebut untuk memakaikan pacar kepada calon pengantin, karena mereka meyakini bahwa anak gadis atau tamu undangan yang dapat memakaikan pacar akan segera mendapatkan jodoh di kemudian hari. Pada perkembangannya, acara pemakaian
pacar sudah jarang dilakukan, acara yang pada mulanya merupakan ritual yang harus dilakukan sekarang beralih fungsi menjadi acara kumpul-kumpul. Pada saat kumpul-kumpul ini juga dilakukan pemutaran musik gambus dengan keras, dan para tamu undangan berjoged dengan calon pengantin wanita. Para undangan yang hadir hanya teman-teman sebaya dari calon pengantin wanita. Pada acara ini keluarga calon pengantin wanita juga mendatangkan Pemandu acara yang juga berasal dari komunitas Arab. Kehadiran Pemandu acara ikut menjadikan suasana lebih hidup dan menarik. 2) Pakaian Dilihat dari penampilan, pakain yang digunakan oleh komunitas Arab tidak menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan lainnya. Pakaian yang biasa dipakai oleh laki-laki, pada umumnya tidak berbeda dengan anggota masyarakat Jawa. Pada saat acara halahbihalah, khaul sebagian besar orang laki-laki mengunakan tsub, yaitu baju putih panjang berlengan panjang yang digunakan untuk laki-laki dan menggunkan igal dan kutroh di kepala. Perempuan yang sudah memasuki usia 15 tahun mulai menggunakan jilbab yang pemakainnya bergaya Timur Tengah. Sebagian kaum wanita mengggunakan Abaya, yaitu baju panjang terusan dengan bentuk longgar dan berwarna gelap. Golongan Habaib di dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya memakai jubah, sarung tetapi ada juga yang memakai celana panjang dan sorban serba putih serta memakai minyak wangi yang sangat harum. Diantara mereka, ada yang memelihara cambang (jenggot) yang subur dan membawa tasbih kecil untuk berzikir. Setiap kali bertemu dengan sesama Habib, anggota komunitas ini saling bersalaman dan saling berpelukan bahkan mencium kedua belah pipi. 3) Kesenian Masyarakat Arab di Pasar Kliwon memiliki kesenian khas bernama musik gambus. Musik gambus merupakan musik yang berasal dari Timur Tengah. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab. Musik gambus dibedakan menjadi tiga yaitu gambus hajir marawis, gambus sammer dan gambus moderen. Gambus hajir marawis merupakan gambus asli yang merupakan cikal bakal dari gambus sammer dan gambus moderen. Walaupun menggunakan bahasa Arab, tidak semua
isi syair atau lagu yang dilantunkan mengandung ajaran Islam, bahkan ada juga yang menceritakan tentang percintaan antara laki-laki dengan wanita, dengan demikian tidak semua yang berkaitan dengan bahasa dan budaya Arab adalah Islam. Musik gambus sulit digantikan oleh jenis musik lainnya. Pada saat ini, keberadaan musik gambus di komunitas Arab di Pasar Kliwon Surakarta juga mengalami perkembangan, yakni dengan memasukkan lagu-lagu lain sejenis dangdut, pop dan spanyol dalam pementasannya. Di antara anggota komunitas Arab masih ada yang mempertahankan. 4) Sistem Kepercayaan Berdasarkan laporan monografi Kelurahan Pasar Kliwon tahun 2009, masyarakat Arab di Pasar Kliwon 100% menganut ajaran Islam. Hal itu dapat dilihat dari pelaksanaan ajaran Islam, diantaranya tampak di Musholla dan Masjid sebagai tempat beribadah. Keberdaaan tempat-tempat ibadah itu merupakan tanda tingginya aktivitas ibadah maupun berbagai kegiatan yang berkaitan dengan ibadah. Hampir setiap waktu sholat, tempat ibadah itu dipenuhi oleh jamaah yang sebagian besar adalah anggota komunitas Arab. Masyarakat Arab di Kelurahan Pasar Kliwon kuat dan taat dalam menjalankan agama Islam, hal itu dapat dilihat dari aktivitas masyarakatnya dalam menjalankan ibadah. Masyarakat Arab dari golongan Sayid jumlah anggotanya sangat besar, sehingga golongan Sayid membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati. Keberadaan golongan Sayid secara moral sangat berpengaruh terhadap bidang keagamaan. Orang-orang Arab dari golongan Sayid secara rutin melaksanakan majelis ilmu yang disebut dengan rokhah, dengan membaca kitab-kitab ulama salafus sholeh termasuk kitab hadits seperti “Jami’ush Shohih” karya Imam Al-Bukhari yang dijadikan sebagai wiridan. Setiap tahun pada bulan Rajab diadakan Khatmil Bukhari, yaitu khatam pengajian kitab “Jami`ash-Shohih”. Setiap malam Jum’at diadakan majelis Maulid dengan pembacaan “Simthuth Durar” (sejarah hidup Nabi Muhammad SAW) karangan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi. Setiap malam Jum’at Legi juga diadakan majelis ilmu dan Maulid yang dihadiri oleh masyarakat luas yang dikenal dengan Pengajian Legian. Pada saat Pengajian Legian, dilakukan pembacaan kisah Nabi
Muhammad dan penyampaian tausyiah atau ceramah oleh seorang ulama kepada seluruh umat yang datang ke majelis ilmu tersebut (wawancara dengan Badriyah, 7 Maret 2009). Golongan Sayid, setiap tahunnya yakni pada bulan Rabi`ul Tsani (April) mengadakan khaul untuk para Habib yang sudah meninggal, diantaranya Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi (pendiri Masjidh Riyadh) Al-Imam Ali bin Muhammad Al-Habsyi (ayah dari Habib Alwi) dan Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi (anak dari Habib Alwi). Acara tersebut dihadiri oleh puluhan ribu umat dan dipenuhi berbagai acara ilmu dan amal takwa. Majelis-majelis ilmu ini yang mengadakan komunitas Arab, tetapi dibuka untuk masyarakat umum sehingga yang datang tidak hanya dari komunitas Arab di Surakarta atau luar kota, melainkan juga dari penduduk pribumi serta etnis lainnya (observasi, 16 April 2009).
B. Tradisi Marawis di Pasar Kliwon Surakarta 1. Keberadaan Orang-Orang Arab di Pasar Kliwon Pada awal abad 20, orang-orang Arab di Indonesia khususnya di Jawa tergabung dalam organisasi Jamiatul Khoir yang didirikan pada tanggal 17 Juli 1905. Jamiatul khoir merupakan organisasi pertama di Indonesia, khususnya di Jawa sebagai gerakan pemurnian Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan. Selain itu, Jami’atul khoir memiliki kegiatan tolong menolong dalam kematian, pengajian, dakwah dan kebudayaan. Dalam hal pendidikan,Jami’atul Khoir banyak mendirikan sekolah yang menekankan pada ajaran Islam. Orang-orang Arab di Indonesia merasakan adanya kebutuhan pendidikan bagi masyarakat muslim khususnya masyarakat Arab sehingga mendirikan lembaga pendidikan yang didasarkan ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan pada masa kolonial Belanda sekolah-sekolah banyak didasarkan atas ajaran Nasrani yang dibawa oleh Misionaris. Hal lain yang mendorong berdirinya Jami’at Khoir adanya keinginan para pemimpin Jami’at Khoir untuk mendidik anak-anaknya menjadi generasi penerus pemimpin Islam yang memiliki budi pekerti dan pengetahuan Islam yang tinggi. Atas dasar itu, maka Jami’at Khoir menekankan pada bidang pendidikan.
khususnya pendidikan Islam dengan menyelenggarakan bermacam mata pelajaranseperti berhitung, ilmu bumi dan sejarah Islam. Tujuannya agar anakanak tidak hanya mengetahui ilmu agama, tetapi juga pengetahuan umum untuk menambah wawasan. Pada perkembangannya, Jamiatul Khoir mengalami perpecahan akibat perbedaan pendapat dan pandangan antara golongan Sayid dengan golongan Masayeh. Perpecahan ini disebabkan golongan Sayid menginginkan kedudukan lebih tinggi di kalangan umat Islam, karena merasa keturunan langsung Nabi Muhammad. Perpecahan ini semakin jelas setelah adanya fatwa dari Syaih Rasyid Ridho dalam majalah Al Mannar yang disampikan oleh Syaih Ahmad Assorkaty Al-Anshory di Solo. Di dalam fatwa tersebut dikemukakan bahwa perkawinan antara golongan Sayid dengan bukan Sayid hukumnya sah, asalkan memenuhi ketentuan Islam, akibatnya Assorkaty dianggap menyalahi ajaran agama Sayid. (Deliar Noer, 1973: 72-73). Dari kejadian ini, lahirlah perhimpunan Al-Irsyad yang didirikan oleh orang-orang keturunan Arab dari golongan bukan Sayid. Alirsyad merupakan organisasi Islam yang banyak terpengaruh oleh pemikiran gerakan modernis Islam yang dipelopori oleh Muhammad Abduh dari Mesir. Alirsyad bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan Jami’at al-Islam wal Ersyad al-Arabia disingkat Al-irsyad pada tahun 1913 (Deliar Noer, 1973: 73). Setelah mengalami perpecahan , Jami’at khoir tetap menjadi perhimpunan dari golongan Sayid yang berorientasi pada tradisi najaran Sayid. Jami’at Khoir tidak dapat menyaingi kegiatan Al-irsyad, sehingga pada tahun 1920-an golongan Sayid mendirikan Al-Robithoh al-Alawiyah dan semua sekolah Jami’at Khoir berada di bawah naungan Al-Robithoh . Di Surakarta, golongan Sayid mendirikan Al-Robithoh al-Alawiyah yang dikenal dengan sekolah Diponegoro, perbedaan status sosial dan pandfangan antara golongan Sayid dan Masayeh sudah berlangsung dari tanah orang Arab di Hadramaut. Di Negara Yaman, berdasarkan garis keturunan penduduknya dibedakan menjadi dua yaitu pertama Sayyid atau Sadah yaitu keturunan langsung dari Nabi Muhammad dan yang kedua golongan Mashayikh. Golongan masayikh sebagian besar adalah Qobail, yaitu pemegang senjata. Golongan Sadah dan Mashayikh membentuk stratifikasi sosial dalam mendapatkan pengaruh dalam bidang agama maupun dalam persoalan
jumlah penduduk dan masalah ekonomi. Posisi golongan Sadah sangat penting karena mempunyai peran dan pengaruh yang kuat dalam masalah agama. Kesucian dan ilmu pengetahuan yang dimiliki Sadah merupakan modal utama sehingga dapat menempati kedudukan yang tinggi. (lihat Journal of Indonesia Islam, 2007: Volume 01, Number 02 pada lampiran halaman 123). Masyarakat Arab di Pasar Kliwon merupakan Arab peranakan yang berasal dari kota di Hadramaut seperti kota Seiwun, Huraidhah, ’Inat, Ghufrah dan Syibam (barat daya Jazirah Arab). Hal ini dapat dilihat dari nama-nama yang ada dalam Masyarakat Arab, seperti Al-jufri, Al-atas, Assegaf, Al-Habsyi, Mulachela, Al-Kaff, Alaydrus dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut merupakan orang yang berasal dari golongan Sayid, sedangkan golongan Masayeh seperti Sungkar, Abdat, Haidaroh, Al-katiri, Al-khalifi, Bazemul dan lain sebagainya (http://id.wikipedia.org, 3 Februari 2009). Istilah ”Habib” atau ”Habaib” adalah sebutan untuk laki-laki cucu dan cicit Rasulullah SAW. Habaib merupakan jamak dari habib, yang berarti ulama. Sebagian keturunan langsung Rosulullah, kedudukan Sayid lebih tinggi dan suci sehingga berkewajiban yang lebih besar untuk melanjutkan misi dakwah Rosulullah SAW ke seluruh penjuru bumi (Novel bin Muhammad Alaydrus, 2006: 20). Para ulama Arab seperti Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, Hbaib Anis bin Alwi Al-Habsyi dikenal sebagai sufi. Sebagai seorang sufi, para ulama Arab memiliki ciri atau jalan khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dikenal dengan thariqoh (Novel bin Muhammad Alaydrus, 2006: 76). Dalam mengajarkan ajaran Islam , para ulama mendidik murid-muridnya dengan mengajarkan ilmu dan memberikan ceramah keagamaan yang banayk dihadiri oleh murid-muridnya dan masyarakat sekitar.
2. Latar Belakang Munculnya Marawis di Pasar Kliwon a. Munculnya Alat Musik dan Perkembangannya Pada Zaman Nabi Muhammad SAW. Marawis adalah kesenian tradisional dalam bidang seni musik. Nama marawis diambil dari nama salah satu alat musik yang digunakan dalam kesenian ini. Marawis merupakan sekumpulan gendang kecil, yang oleh masyarakat Indonesia di kenal dengan nama rebana. Marawis di Pasar Kliwon memiliki sejarah yang panjang, yakni diawali dari munculnya alat-alat musik pada zaman Nabi Muhammad SAW ketika melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Pada waktu itu, ada seorang sahabat Nabi yang bersorak membanggakan dan menyanjung Nabi. Mengetahui akan hal itu, sahabat Nabi yang lain merasa takut apabila tindakan menyanjung Nabi itu dapat membuat Nabi Muhammad marah, tetapi pada kenyataannya Nabi tidak marah dan tidak melarang kebiasaan membanggakan dan menyanjungnya di setiap dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW (wawancara dengan ulama Pasar Kliwon: Ustadz Alwi bin Ali Al Habsyi, 21 Mei 2009). Pada saat Rasullullah memasuki kota Madinah, ada seorang wanita yang bernadzar akan memukul genderang atau drum di atas kepala Rasul. Rasulullah SAW pernah pergi dalam salah satu peperangan, ketika beliau kembali, ada seorang wanita berkulit hitam yang menyambut beliau itu sambil mengatakan, ” Ya Rasulullah, sungguh aku telah bernadzar, jika Allah mengembalikan engkau dengan selamat, aku akan menabauh rebana sambil bernyanyi di hadapanmu. Maka jawab beliau, ”kalau benar kamu telah bernadzar, maka tabuhlah, tetapi kalau tidak bernadzar, jangan kamu tabuh”, lalu wanita itu menabuhnya.(HR. Tirmidzi juz 5, hal. 285, no. 3773 dalam Majelis tafsir Al Quran, 2008: no. 1415/1455/IF). Alat musik yang muncul pada zaman Rosululah berkembang sampai pada periode tabi’in (sahabat) dan periode tabi’ut tabi’in (orang-orang yang hidup di zaman para sahabat), tetapi pada periode ini mengalami perkembangan karena para ulama banyak yang merantau sampai ke Eropa, Asia dan Afrika. Para ulama yang merantau membawa perkembangan pemikiran, sehingga berpengaruh pada alat-alat musik yang dimainkannya.
Pada tahun 9 Hijriyah, sejumlah kaum solikhin dari Mekah melakukan hijrah ke Yaman tepatnya ke kota Hadramaut untuk mendakwahkan agama Islam. Orang yang pertamakali melakukan hijrah dari Mekah ke Yaman adalah Mu’adz bin Jabal dan 70 orang sahabat lainnya yang tergabung dalam satu rombongan dengan membawa alat musik dumbuk (Syaikh Shafiyyur-Rahman ALMubarakfury, 2003: 592). Penduduk Yaman yang menyaksikan alat musik ini, kemudian muncul keinginan untuk memainkannya. Mengetahui hal ini, para sahabat yang ikut dalam rombongan hijrah mengajari penduduk Yaman yang tertarik untuk memainkan dumbuk. Alat musik yang ada dibunyikan masih secara tradisional, karena belum ada aturan atau tata cara dalam memainkannya. Seiring dengan berjalannya waktu, di dalam penduduk Yaman mengalami perkembangan dalam memainkan alat musik dumbuk, sehingga pada akhirnya penduduk Yaman dikenal mahir dalam memainkannya. Kemampuan memainkan dumbuk oleh penduduk Yaman didapat dengan cara belajar. Selain itu, orang Arab dari Yaman dibandingkan dengan orang Arab dari negara lainnya, memiliki kelebihan dalam bidang kesenian. Penduduk Yaman pada umumnya memiliki jiwa seni yang tinggi, diantaranya meliputi: 1) Ghaub ard (memiliki keahlian dalam membuat seni pahat) 2) Ghaub zamud (memiliki keahlian dalam membunyikan alat musik) Munculnya alat musik dan perkembangannya pada masa Rosulullah SAW tetap berlajut sampai periode Tabi’ut Tabi’in. Hasil dari perkembangan alat-alat musik ini kemudian dikenal alat musik Hajir Zarbadi oleh penduduk Yaman. Di Indonesia, hajir zarbadi lebih dikenal dengan nama hajir marawis. Di Hadramaut, kebanyakan orang–orang yang membunyikan hajir zarbadi berasal dari kaum Abd (budak), karena pada waktu itu di Hadramaut masih terdapat sistem perbudakan. Di antara budak-budak yang membunyikannya berasal dari golongan Alba Sholeh (Ustadz Alwi, 21 Mei 2009: Wawancara). Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa munculnya alat-alat musik dalam Islam berawal dari jaman Nabi Muhammad SAW, kemudian mengalami perkembangan setelah para ulama banyak yang merantau ke luar dari
tanah Arab sehingga berpengaruh pada pemikiran dan alat musik yang dimainkan. Hasil perkembangan alat musik ini kemudian muncul alat–alat musik hajir zarbadi yang di Indonesia dikenal dengan hajir marawis. b. Munculnya Marawis di Pasar Kliwon Surakarta Pada tahun 1930-an, ketika Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda, ada seorang ulama dari Yaman bernama Muhammad Al-Mukhdori datang ke Indonesia. Tujuan utama kedatangannya dalam rangka mendakwahkan agama Islam. Selain berdakwah, Habib Al-Mukhdori juga mengenalkan kesenian marawis kepada masyarakat Indonesia. Habib Al-Mukhdori menggunakan kesenian ini sebagai media dakwah. Hal ini dilakukaannya karena pada waktu itu orang-orang atau pejabat Belanda yang ada di Indonesia, sedang gencargencarnya mengembangkan kebudayaan barat kepada masyarakat Indonesia (wawancara dengan Ustadz Alwi, 21 Mei 2009). Sejak abad ke-19 Masehi orang-orang dari Hadramaut memerankan peran yang penting dalam penyebaran agama Islam. Kedatangan orang-orang Arab untuk menyebarkan agama dan budaya-budaya Arab, hukum-hukum Islam dan filosofi Arab. Tujuan utama kedatangan orang Hadramaut ialah membawa misi Islam. Orang-orang Arab dari Yaman juga membawa kekayaan budaya yang mereka miliki (untuk lebih jelas lihat lampiran halaman 130). Pada perkembangannya, kesenangan memainkan alat musik yang dilakukan Habib Al-Mukhdori di bawa ke pulau Jawa. Pada saat yang sama, Pulau Jawa masih dikuasai oleh Kolonial Belanda sebagai daerah pusat pemerintahan di Indonesia. Kolonialisasi Belanda di Indonesia dikenal dengan nama 3 G yaitu Gold (mencarai emas dan rempah-rempah) Glory (mencari kejayaan dengan mengsuasai daerah jajahan) dan Gospel (misi agama kristen). Sebelum berlakunya politik etis di Indonesia tahun 1870-an, pemerintah kolonial Belanda telah mengeluarkan kebijakan politik liberal dengan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Di Belanda sendiri, banyak yang mengecam politik liberal berkaitan dengan masalah untuk memelihara hubungan antara Belanda dengan negeri jajahan melalui unifikasi, asimilasi dan asosiai. Tujuan dari asosiasi adalah kolonial Belanda mengikat negeri jajahan dengan negeri penjajah melalui
kebudayaan, karena kebudayaan dianggap sebagai sarana yang efektif bagi negeri penjajah dan negara jajahan (Deliar Noer, 1973: 182). Cara yang digunakan kolonial Belanda untuk menyebarkan agama kristen (Gospel) dengan mempromosikan kebudayaan yang kental dengan missi kristenisasi. Di antara budaya barat yang dikembangkan adalah kesenian dengan mengenalkan alat–alat musik seperti gitar, orgen dan lain sebagainya. Mengetahui akan hal ini, Habib Al-Mukhdori juga mengenalkan dan mengajarkan kepada orang–orang Indonesia alat musik dari Arab yang dikenal kental dengan budaya Islam. Alat musik yang dimainkan dalam marawis dianggap sebagai ciri musik Islam. Pada masa kehidupan Nabi Muhammad, alat musik terbang (rebana) sering dimainkan oleh para sahabat untuk menyambut kedatangan Nabi di kawasan jazirah Arab. Pada perkembangannya, muncul anggapan yang menyatakan bahwa musik yang terdapat terbang (rebana) dianggap sebagai musik padang pasir. Alat musik terbang ini dipandang sebagai musiknya orang Islam (Al Faruqi, 1986: 466 dalam Hana Farkhana, 2007: 36). Orang–orang yang tertarik untuk memainkan dumbuk, kemudian oleh Habib Al-Mukhdori di bawa ke Bondowoso, Jawa Timur. Di tempat ini dengan satu
persatu
Al-Mukhdori
mengajarkan
kepada
murid–muridnya
untuk
memainkan dumbuk, kemudian dari tempat ini pula untuk pertamakali dikenal alat musik hajir marawis oleh penduduk Bondowoso. Bondowoso pada waktu itu merupakan daerah yang banyak dihuni oleh orang keturunan Arab. Mmelalui seni musik yang di dalamnya terkandung syair-syair tentang ajaran Islam. Habib AlMukhdori berharap orang-orang Indonesia yang diajarinya dapat terhindar dari pengaruh kristenisasi dan budaya barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam Belanda (wawancara dengan ustadz Alwi, 21 Mei 2009). Seiring dengan berjalannya waktu, kesenian marawis mengalami perkembangan yang pesat sehingga sampai ke seluruh pulau Jawa termasuk di antaranya Surakarta. Marawis masuk ke Surakarta sekitar tahun 1970-an yang di bawa oleh sejumlah ulama dari komunitas Arab, tetapi pada saat itu marawis tidak dapat berkembang dengan baik. Marawis mulai berkembang dan mulai ramai di mainkan di Surakarta sejak tahun 1998 oleh pemuda-pemuda Surakarta dari
komunitas Arab di Pasar Kliwon pada saat khaul. Sejak awal kemunculannya, marawis hanya dimainkan oleh laki-laki. Bagi sebagian orang pementasan marawis yang dimainkan oleh sejumlah laki-laki itu dianggap kuno, namun marawis akan terus dilestarikan oleh para generasinya. Keberadaan marawis di Pasar Kliwon merupakan identitas budaya Arab yang masih dipertahankan sampai saat ini maupun generasi selanjutnya. Eksistensi marawis semakin terlihat setelah ada beberapa pemuda dari komunitas Arab yang tergabung dalam Ahbabul Mukhtar. c. Latar Belakang Terbentuknya Ahbabul Mukhtar Secara bahasa, Ahbabul Mukhtar berasal dari kata ”Ahbabul” yang berarti pecinta, sedangkan ”Mukhtar” berarti Rasulullah (nama lain dari Nabi Muhammad), sehingga Ahbabul Mukhtar berarti pecinta Rasulullah (wawancara dengan
pelopor Ahbabul Mukhtar: Ahmad Fadil, 17 Mei 2009). Ahbabul
Mukhtar berdiri pada tahun 1998. Pada saat itu, Ahbabul Mukhtar pentas untuk pertamakali pada acara khaul Al Imam Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang diselenggarakan setiap tanggal 20 Robiul Tsani 1419 Hijriyah diMasjid Riyadh, Gurawan, Pasar Kliwon. Terbentuknya Ahbabul Mukhtar diawali dengan pertemuan beberapa pemuda dari komunitas Arab di Pasar Kliwon dengan Habib Umar Mukhdor dari Pasuruan, Jawa Timur pada saat acara khaul. Sebelum terbentuknya Ahbabul Mukhtar, salah satu acara yang ditampilkan pada saat khaul adalah pementasan marawis pada malam pertama dan malam kedua yang dimainkan grup marawis dari Pasuruan. Setelah direnungkan lebih mendalam, muncul pemikiran dari pemuda–pemuda keturunan Arab dari Surakarta untuk memainkan marawis, karena acara khaul sendiri dilaksanakan di Solo. Satu bulan kemudian yaitu Mei 1997, maka berangkatlah Ahmad Fadil, Muhamad Syafik dan Abdul Kadir ke Pasuruan. Ketiga orang ini belajar kepada Habib Umar Mukhdor selama 4 hari. Di Pasuruan, ketiga orang tersebut mempelajari hal–hal yang berkaitan dengan teknik dasar yaitu cara memainkan alat musik marawis. Setelah pulang dari Pasuruan, para pemuda tersebut kemudian mengembangkan kemampuan dalam memainkan marawis sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Setelah sepuluh tahun lebih,
Ahbabul Mukhtar memiliki empat generasi. Setiap generasi memiliki kemampuan dan usia yang berbeda (wawancara dengan pelopor Ahbabul Mukhtar: Ahmad Fadil, 17 Mei 2009). Berdasarkan keterangan di atas bahwa pada awal kemunculannya, marawis di Surakarta tidak dapat berkembang dengan baik, tetapi setelah terbentuknya Ahbabul Mukhtar pada tahun 1998 keberadaan marawis di Pasar Kliwon merupakan identitas budaya bagi orang-orang keturunan Arab di Surakarta. Masyarakat Arab menganggap akan menjadi suatu aib apabila tradisi yang telah di bawa oleh generasi sebelumnya tidak dikembangkan dan dilestarikan kepada generasi
selanjutnya,
sehingga
dengan
terbentuknya
Ahbabul
Mukhtar
menunjukkan bahwa kesenian marawis yang kental dengan unsur dakwah Islam masih tetap dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat Arab di Surakarta. d. Kehidupan Keagamaan yang Berkembang di Dalam Masyarakat Islam datang untuk mengubah dam sebagai cahaya (Nur) terhadap kegelapan yang diwujudkan dalam bentuk ”Amar Ma’ruf Nahi Munkar”. Agama Islam yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad dapat mengalami perkembangan yang cukup pesat di penjuru dunia. Sebelum Islam datang, masyarakat di tanah Jawa telah memiliki agama da yaitu Hindu, Budha dan kepercayaan asli. Dalam menghadapi situasi yang demikian itu, para ulama tidak langsung menerapkan ajaran Islam, akan tetapi menyampaikan ajaran Islam di sesuaikan dengan kemampuan masyarakat yang dihadapinya dan juga diperhitungkan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu. Para ulama keturunan Arab dalam menjalankan tugas dakwahnya terlebih dahulu mengenal medan yang hendak di garapnya, kemudian setelah memahami perasaan dan aspirasi yang hidup di lingkungan masyarakat baru menerapkan cara yang tepat sesuai kondisi yang ada dalam masyarakat. Pandangan tentang Pesantren sebagai pusat keselamatan digambarkan sebagai cahaya lampu, semakin dekat kita dengan bola lampu tersebut maka semakin terang, semakin jauh kita dengan lampu tersebut maka semakin lemah cahayanya sehingga tidak dapat dirasakan lagi sinarnya. Seorang ulama memiliki sifat-sifat utama, berakhlak mulia dan menjadi panutan dan tuntutan bagi murid
dan masyarakat di sekitarnya. Orang-orang Islam percaya bahwa melakukan apa yang menajdi tuntunan atas semua hal yang dilakukan ulama akan dapat membawa dirinya pada keselamat6an, ketentraman, keadilan, kebahagiaaan dan lain-lain di dalam hidupnya. Petuah dan nasehat-nasehat serta ajaran yang berasal dari ulama dihayati dan dilaksanakan oleh murid-muridnya sebagai bentuk kepatuhan seorang manusia yang ingin selamat dalam hidupnya. Dalam pandangan masyarakat Jawa seperti halnya dengan ulama, seorang raja adalah perwujudan dunia sehingga di dalam dirinya terdapat keseimbnagn berbagai kekuatan alam. Raja merupakan pusat komunitas di duania seperti halnya raja menjadi mikrokosmosdari Tuhan dengan Kraton sebagai kediaman Raja. Kraton merupakan pusat kemat Kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber-sumber kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah-daerah yang membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan. Islam merasuk begitu cepat dan mendalam ke dalam struktur kebudayaan Jawa, sebab Islam dipeluk Kraton sebagai basis untuk negara teokratik. Sufisme (Islam mistik) membentuk inti kepercayaan negara (state cult) dan teori kerajawian. Islam merupakan kekuatan dminan di dalam ritus-ritus kepercayaankepercayaan orang Jawa Tengah, dan turut membentuk karakter interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari seluruh lapisan masyarakat Jawa (Mark R. Woodward, 1996: 4). Agama Islam yang dijalankan oleh masyarakat sekitar Pesantren banyak terpengaruh oleh tindakan yang dilakukan para ulama, Pasar Kliwon. Surakarta merupakan daerah di Jawa Tengah sebagai pusat orang-orang Arab, karena sejak dari awal tempat ini menjadi perkempungan yang dikhususkan kepada orangorang Arab. Kondisi umat Islam di waktu itu dianggap sudah bercampur dengan unsur-unsur mustik Hindu Jawa. Islam yang murni telah mengalami percampuran dengan kebiasaan di luar Islam yang berasal dari keercayaan dan agama sebelum Islam. Banyak umat Islam yang ada di Jawa termasuk di Surakarta masih menghiasi diri dengan ajimat, dan menjiarahi kubur yang dianggap adanya kekuatan magis dan sakti. Kebanyakan dari mereka masih menjalankan berbagai
upacara dan ritus yang tidak ada tuntutannya dalam ajaran Islam yaitu Al Quran dan Hadist. Kondisi masyarakat yang seperti itu, maka para ulama Arab yang melakukan kegiatan dakwah melalui pengajian atau majelis ilmu yang bertujuan untuk mengembalikan masyarakat ke dalam ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran syariat Islam. Sebagai upaya untuk mengajarkankan ajaran Islam kepada masyarakat, para ulana Arab kemudian menggunbakan marawis sebagai media dakwah Islam. Selain melalui kesenian, maka para ulama juga mendirikan sekolah dengan dasar pendidikan Islam. Di bidang pendidikan, orang-orang keturunan Arab masih merasakan adanya kebutuhan pendidikan bagi masyarakat muslim, sehingga mereka mendirikan madrasah atau sekolah-sekolah yang didasarkan ajaran agama Islam. Salah satu sekolah yang masih berlangsung sampai sekarang adalah Sekolah Diponegoro. Hal lain yang mendorong para ulama Arab dalam mendirikan madrasah atau sekolah adalah adanya keinginan untuk mendidik anakanaknya atau generasi Islam menjadi generasi penerus dan pemimpin Islam yang memiliki budi pekerti dan pengetahuan Islam yang tinggi. 1) Marawis Sebagai Media Dakwah Islam Latar belakang para ulama menggunakan marawis untuk berdakwah karena, melalui cara inilah dapat menimbulkan keramaian, sehingga secara masyarakat berbondong–bondong menyaksikannya. Melalui cara-cara seperti itu, maka secara sedikit demi sedikit masyarakat akan tertarik untuk menjalankan ajaran Islam. Menurut ustadz Alwi (wawancara pada tanggal, 21 Mei 2009), marawis pada mulanya digunakan sebagai media untuk menarik perhatian masyarakat sekitar agar berkumpul dan kemudian para ulama memberikan pengertian tentang ajaran Islam. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung masyarakat telah menyerap ajaran Islam. Pada perkembangannya, syair– syair atau qosidah yang disampaikan dengan bahasa Arab dan ada yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia agar masyarakat dengan mudah dapat menerima dan memahami ajaran agama Islam yang telah disampaikan (wawancara dengan pemain: Hasan Al Amin, 29 Maret 2009).
Munculnya kesenian wayang, bedug dan gamelan di Jawa merupakan dampak dari kegiatan penyebaran agama Islam yang di lakukan oleh Walisongo. Pada waktu itu, Sunan Kalijogo menggunakan media seni wayang dan gamelan untuk menarik simpati masyarakat yang didalamnya sekaligus diselipkan ajaran– ajaran Islam. Selain jalan yang ditempuh oleh Sunan Kalijogo, para Wali lainnya seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus dan yang lainnya menciptakan syair– syair yang sederhana dan praktis sebagai alat untuk mempermudah dalam mengajarkan ajaran Islam. Syair–syair tersebut pada perkembangannya diiringi dengan alat musik genderang atau lainnya serta ada juga yang diiringi dengan tari–tarian. Dengan demikian, di dalam mengajarkan ajaran Islam kesenian mempunyai peranan yang sangat penting sebagai media untuk berdakwah. Berdasarkan pernyataan di atas, maka Melalui cabang–cabang seni dan kebudayaan yang diselenggarakan oleh para ulama memiliki peran yang besar di dalam menyebarkan ajaran Islam. Marawis yang banyak di pentaskan di Masjid atau majelis ilmu lainnya juga telah ikut berperan aktif di dalam usaha mendakwahkan ajaran Islam di sela-sela kuatnya pengaruh budaya Jawa. Syair–syair yang dilantunkan dalam marawis yaitu yang bertemakan untuk mengagungkan Asma Allah SWT dan
Nabi Muhammad, perbaikan akhlak,
keimanan dan kesusilaan, harapan akan kebahagiaan hidup di Surga, cinta kasih Allah kepada umat manusia dan Rahmat Allah Ta’ala; sehingga dalam setiap pementasan marawis juga selalu mengajak masyarakat untuk beramar ma’ruf nahi munkar yaitu mengajak kepada perbuatan baik dan mencegah perbuatan buruk. Hal itu dapat terlihat bahwa setelah mendengarkan syair-syair marawis akan terjadi perubahan sikap dan tingkah laku; misalnya dari semula masih mempercayai hal–hal yang mistik dan syirik maka setelah mendengarkan syair– syair marawis yang ditampilkan dalam mejelis ilmu selanjutnya akan menjauhi perbuatan itu atau yang pada awalnya belum menjalankan sembahyang lima waktu maka akan menjadi lebih aktif. Melalui syair dan lagu yang di lantunkan diharapkan dapat mengingatkan atau mengembalikan perbuatan masyarakat yang semula telah mengalami kerusakan akhlak dan menyimpang dari ajaran Islam untuk kembali ke jalan yang benar.
Pernyataan tersebut di atas juga diperkuat oleh pemerhati marawis, bahwa lagu-lagu yang di lantunkan dalam marawis bernuansa cinta Allah dan cinta Rosul, sehingga menjadi suatu sarana dakwah yang efektif karena orang diajak untuk sadar akan besarnya cinta kepada Allah dan Rosulullah dengan cara tidak harus dinasehati secara langsung tetapi melalui iringan musik karena dakwah yang seperti itu lebih cepat diterima oleh masyarakat (ustadz Novel bin Muhammad Aliydrus, 21 Mei 2009 ). Secara keseluruhan struktur bentuk syairnya adalah bentuk cerita yang berkaitan dengan jaran Islam yang isi ceritanya banyak menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW yang disusun dalam bentuk syair sebagai berikut. Contoh syair lagu marawis yang berjudul: Man mistlu ahmad? Man mistlu ahmad fil kaunaini nahwah Badrun jami’ ul wara fi husnihitah Man mistlu wa ilahul arsyisyarrafahu Bil khalai wal khulai inna allah a’thal Wasysyamsu takhjalu min anwari thal’atih Ha’rat ’uqulul wara fi washti ma’ nahu Tabarakallahma ahla syamaillah Hazal jamala fama abha muhayyahu Ya urta wadinnaqa ya ahla kadhimah Fi hayyikun qomarun fil qolbi mawah
Yang artinya (Siapakah yang bisa seperti Nabi Muhammad SAW) Siapakah yang bisa seperti nabi Muhammad di dalam semesta ini? Bagaikan bulan purnama hingga terheran semua makhluk. Saipakah yang sepertibeliau dan Tuhannya Arsyi yang memuliakannya. Dengan penciptaan dan akhlak yang telah diberikan-Nya. Sampai–sampai mataharipun malu dan dari sinar cahayanya, sampai bingung akal para makhluk. Maha suci Allah begitu indah kelengakapan sifat- sifatnya, beliaulah yang mengungguli keindahan, maka seperti apa ketampanan wajahnya. Waha bani ”urba” yang bertempat di ”wadi ngara”, wahai ahli ”kandzimah” di kampung halaman kalian terdapat bulan yang selalu ada ditiap hati.
Allah tuhan yang arsyi bersholawat atasnya (Nabi Muhammad) selalu, tidak hanya selama matahari bersinar dan tidak sebnatas cahayanya. Di dalam syair tersebut diungkapkan bahwa, tidak ada makhluk di dunia ini yang dapat menyamai Nabi Muhammad SAW, bahkan diumpamakan pula mataharipun malu dari sinar cahayanya, dalam syair tersebut juga dinyatakan bahwa Allah pun bersholawat atas Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemain marawis, bahwa motivasi menjadi pemain marawis karena ingin menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat melalui iringan musik. Sebagai pemain dan orang yang memiliki kewajiban lebih besar untuk melanjutkan misi dakwah Rasulullah SAW. Para pemain di dalam pementasan marawis dengan sungguh–sungguh, karena apa yang dilakukannya berkaitan dengan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai panutannya (wawancara dengan Syarif Mulachela, 23 Maret 2009). Marawis sebagai media dakwah Islam membutuhkan kelancaran berkomunikasi antara lain: a) Kepercayaan masyarakat kepada pemain kesenian marawis b) Seringnya diadakan pementasan marawis c) Kegemaran masyarakat terhadap kesenian marawis d) Kemudahan diterimanya pesan–pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Kepercayaan masyarakat sebagai komunikan terhadap para pemain yang memainkan marawis sebagai komunikator sangat mendukung kelancaran dalam berkomunikasi. Sesuai dengan perannya sebagai orang yang menyampaikan dakwah, maka para pemain marawis harus bisa menjaga nama baiknya, baik itu dalam lingkungan sehari–hari maupun dalam kehidupan agamanya sehingga bisa menjadi tauladan sekaligus dapat dipercaya oleh masyarakat. Frekuensi pementasan juga mempengaruhi keberhasilan penggunaan marawis sebagai media dakwah. Keberhasilan misi dakwah juga sangat dipengaruhi oleh kegemaran masyarakat terhadap kesenian marawis, begitu juga dengan sikap dan perilaku para anggota akan mempengaruhi keberhasilan dakwah Islam. Orang–orang yang
berdakwah harus bisa menjadi contoh dan panutan, apabila pendakwah tidak bisa menerapkan apa yang di dakwahkan dalam kehidupannya, bagaimana mungkin orang lain yang didakwahi akan mengikuti apa yang di dakwahkan pendakwah tersebut. Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah seringnya diadakan pementasan, sebab dengan demikian kesempatan untuk berdakwahpun akan bertambah. Kegemaran masyarakat menyaksikan marawis dan pesan–pesan dan ajaran agama Islam yang disampaikan lewat syairnya juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan misi dakwah, dengan demikian tujuan pertama untuk mengumpulkan massa dan tujuan kedua untuk menyampaikan pesan–pesan dan ajaran Islam telah terpenuhi. Tujuan ketiga yang menuju ke arah pelaksanaan tergantung dari niat dan kesadaran masing–masing manusia. 2) Marawis Sebagai Hiburan Menurut Soedarsono (!976: 30), kesenian adalah segala sesuatu bentuk yang menyenangkan, dan dapat memenuhi keinginan yang terakhir. Setiap keindahan yang terdapat dalam seni merupakan sesuatu yang dapat memberikan kepuasan pada batin manusia, dan tadak hanya melalui gerak–gerik yang keras, kasar, penuh keanehan–keanehan saja yang dapat menimbulkan keindahan, tetapi juga gerak–gerik yang halus. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manusia di dalam menghasilkan karya seni bertujuan untuk menumbuhkan rasa keindahan, dan keindahan tersebut menyebabkan seseorang merasa terpenuhi segala keinginannya sehingga merasakan kepuasaan. Kesenian sebagai hiburan bagi manusia tidak memandang status, pangkat, kekayaan dan lain sebagainya, walaupun orang itu miskin dan sangat terbelakang tetapi pada dasarnya sama–sama membutuhkan hiburan sebagi pelepas lelah dan penyegar jasmani dan rohani. Melalui hiburan, seseorang akan menjadi senang dan kesenangan akan membantu manusia untuk melupakan hal-hal yang menyediihakan atau melelahkan. Pada perkembangannya, marawis di Pasar Kliwon menjadi kesenian yang dapat dinikmati oleh masyarakat umum. Meskipun sebagai hiburan, nilai-nilai yang terkandung dalam marawis tetap di pegang teguh dan dipertahankan yaitu dalam hal penentuan ketukan, irama dan lagu-lagu tetap bertujuan untuk dakwah.
Kesenian marawis bukan merupakan substansi, melainkan hanya sebagai pengiring upacara yaitu hiburan. Bagi pemain, dengan bermain marawis dapat menumbuhkan rasa keindahan, sehingga menimbulkan kepuasaan batin (wawancara dengan pemain: Hasan Al Amin, 29 Maret 2009). Marawis sebagai hiburan mampu memberikan kepuasaan batin bagi masyarakat pendukungnya. Sebagai hiburan, karena komunitas Arab dapat memperoleh kesenangan, karena dapat melepaskan rutinitas hidup serta melupakan masalah yang di hadapi. Keterhiburan mereka oleh pementasan marawis antara lain tercermin dari keceriaan dalam melakukan aktivitas masingmasing bahkan diantara mereka ada pula yang menyenandungkan syair-syair yang sedang ditampilkan. Marawis diyakini tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena isi syairnya merupakan suatu ajakan untuk berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk. Menurut Hendropuspito (1984: 38-39), bahwa fungsi agama pada manusia meliputi (1) fungsi edukatif, (2) fungsi penyelamatan, (3) fungsi penyelamat sosial,( 4) fungsi persaudaraan, (5) fungsi transformatif. Keberadaan marawis sebagai dakwah Islam tidak bertentangan dengan hukum Islam, selama syair-syair atau lagu yang dilantunkan berisi tentang doadoa kepada Allah SWT dan tidak terpengaruh oleh syair-syair yang berisikan cinta terhadap lawan jenis (wawancara dengan MUI Surakarta: Ustadz Ali Muhammad Shobri Bazemul, 29 Mei 2009). Pendapat di atas, diperkuat lagi oleh seorang ulama dari kalangan Jawa, bahwa selama syair-syair yang dilantunkan tidak berisi tentang hal-hal yang syirik dan tidak melanggar aturan Islam maka kesenian tersebut diperbolehkan, selain itu pementasan kesenian marawis dinilai positif dan dipandang sangat menghormati ajaran Islam, karena dalam pementasannya terdapat pemisahan antara kaum laki–laki dengan kaum perempuan (wawancara dengan ustadz Muqorrobin, 29 Mei 2009). Pada dasarnya keberadaan nyanyian diperbolehkan dalam Islam asalkan memenuhi syarat: (1) Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. (2) Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan.(3) Tidak berlebihlebihan dalam permainan (Yusuf Qardhawi dalam http://media.isnet.org).
Berdasarkan pendapat diatas dapat diketahui bahwa keberadaan marawis yang dipertunjukkan mendapat tanggapan yang baik. Di samping itu, para pemain dan penikmat marawis menganggap bahwa marawis merupakan media yang sesuai dengan misi menyampaikan pesan–pesan yang berhubungan dengan ajaran agama Islam. Dengan demikaian, keberadaan tradisi marawis sampai sekarang masih tetap bertahan dan mendapat perhatian yang baik dari ulama maupun anggota masyarakat dari komunitas Arab di Pasar Kliwon.
C. Pementasan Tradisi Marawis di Pasar Kliwon 1. Pemain dan perlengkapan Marawis Marawis di Pasar Kliwon yang masih bertahan pada saat ini dipentaskan pada acara Maulid Nabi, Khaul atau peringatan orang Islam yang sudah meninggal dan pesta pernikahan (wawancara dengan Syarif Mulachela, 23 Maret 2009). a. Pemain Semua pemain marawis adalah laki–laki yang terdiri dari sepuluh orang. Dari sepuluh orang itu sebanyak dua orang sebagai vokalis, enam orang memegang alat musik dan dua orang sebagai penari. Diantara enam orang yang memainkan alat musik, setiap orang memainkan satu buah alat musik yang terdiri atas satu orang memainkan seruling, satu orang memainkan hajir dan empat orang lagi memainkan marawis. Terkadang untuk membangkitkan semangat, para pemain marawis bergerak sesuai dengan irama lagu yang dilantunkan. Dari kesepuluh orang itu memiliki usia yang berbeda berbeda tetapi semuanya di bawah tigapuluh tahun (Syarif Mulachela, 23 Maret 2009: Wawancara). Para pemain marawis terkadang juga ikut melantunkan syair atau lagu yang di bawakan, artinya disamping bertugas sebagai penabuh instrumen musik mereka juga bertugas untuk menyanyikan bait–bait syair dalam marawis. Sedangkan para penari tetap bertugas hanya sebagai penari zapin, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa setiap pemain marawis bisa memainkan alat musik dan menarikan tarian zapin. Para penuh menari sambil mengikuti irama musik yang dilantunkan oleh para pemain musik dan vokalis.
b. Perlengkapan Seperti halnya kesenian pada umumnya, dalam memainkan marawis juga memerlukan perlengkapan. Kesederhanaan alat musik marawis tidak mengurangi daya yang dapat melahirkan citra seni yang indah. Alunan iringan marawis dapat membangkitkan semangat dan jiwa bagi para pendengarnya. Para pemain marawis membudayakan suara musiknya agar bisa dinikmati, diresapi dan dirasakan oleh penikmat dan pemerhati marawis. 1) Pakaian Pakaian yang dipakai antara vokalis, para pemain alat musik dan penari bersifat sama. Dalam setiap pementasannya, para pemain marawis memakai pakaian yang terdiri dari: a) Bagian kepala: memakai peci b) Bagian badan: baju gamis atau tsub, yaitu pakaian adat berupa baju terusan dengan lengan panjang berwarna putih seperti jubah. pakaian adat atau tsub tersebut bersifat tidak wajib dikenakan, karena dalam pementasan pada acara yang lebih kecil mereka biasa memakai baju berlengan panjang (baju koko) dan tetap menutup aurat serta rapi. c) Bagian bawah: memakai sarung Para pemain marawis cukup dengan berpakain rapi. Apabila diperhatikan, pakaian yang dipakai oleh pemain marawis mempunyai makna filosopi. Pakaian pemain marawis harus menutup aurat, pada saat latihan pemain marawis juga dilarang memakai celana pendek dan badan harus bersih, sehingga dengan menerapkan adab-adab yang benar dan baik sesuai dengan ajaran Islam akan berdampak dalam kehidupan sehari–hari bagi pemain marawis. 2) Alat musik Instrumen musik yang dimainkan dalam marawis dapat dikatakan sederhana, tetapi kesederhanaan itu tidak mengurangi daya yang melahirkan citra seni yang indah. Alat–alat musik dalam marawis melahirkan citra seni Islam yang tinggi dan suci. Alat musik yang dimainkan terdiri dari:
a) Satu buah Hajir (gendang besar) yang berdiameter 45 cm dengan tinggi 60 70 cm. b) Lima buah marawis (kumpulan gendang kecil) yang memiliki diameter 20 cm dengan tinggi 19 cm. Secara bahasa kata ”mirwas” berasal dari kata ”rawas” yang artinya kepala atau mengepalai. Setiap gendang terdapat sentak yang terbuat dari bambu yang diraut dan dilingkarkan sesuai dengan besar lingkaran atau diameter dari marawis dan hajir yang befungsi untuk mengatur suara gendang. Marawis digunakan sebagai pengatur tempo, terutama dalam seni gambus untuk mengiri tarian zapin. Marawis termasuk dalam klasifikasi alat musik membranopon dua sisi. Marawis dimainan dengan cara dipukul secara interlocking dengan jumlah pemain empat sampai enam orang. Orang pertama yang bertindak sebagai pembawa ketukan dasar, secara sepintas tugasnya tampak amat ringan, tetapi peda kenyataan tidak demikian karena selain sebagai pembawa ketukan dasar, tugas orang pertama adalah menjaga tempo jangan sampai lari apalagi pada saat improvisasi dilakukan. Orang pertama harus konsisten dengan pukulannya, karena jika tidak konsisten pukulannya maka akan berakibat merusak irama dan dapat membingungkan pemain marawis kedua dan seterusnya. Teknik memainkan marawis ini orang pertama bertindak sebagai dasar, orang kedua berperan menghayuti pukulan orang pertama, orang ketiga menghayuti orang kedua, orang keempat menghayuti orang ketiga dan orang kelima menghayuti orang keempat dan begitupun seterusnya sehingga menimbulkan interlocking yang demikian rapat, yang dalam istilah melayu disebut ”Rampak Marwas”. Pada saat tertentu intensitas gendang dilemahkan untuk memberi kesan dinamika, sedang di saat yang lain pula dikuatkan. Ketika intensitas gendang dilemahkan, digunakan teknik memukul marawis dengan satu jari, dan pada saat intensitas gendang marawis dikuatkan dilakukan dengan teknik memukul marawis dengan seluruh jari dan telapak tangan. c) Suling
Alat musik lain yang dibutuhkan dalam kesenian marawis adalah suling, tetapi suling disini berfungsi sebagai pelengkap. Cara memainkannya juga sama dengan suling pada umumnya
2. Teknik Pementasan Marawis
a. Tempat pementasan Tempat yang digunakan untuk mementaskan marawis di Masjid pada bagian zawiyah (pesantren). Di setiap pementasan marawis juga ditampilkan tari zapin. Para pemain marawis hanya duduk di atas karpet atau permadani dengan membentuk setengah lingkaran menghadap penonton (Syarif Mulachela, 23 Maret 2009: Wawancara). Tempat yang digunakan untuk pementasan marawis bharus cukup luas dan terbuka agar semua gerakan dapat ditampilkan dengan baik. Tempat untuk menyaksikan marawis antara laki-laki dan perempuan terpisah, hal itu sesuai dengan ajaran Islam yang tidak menghendaki bercampurnya antara laki-laki dengan perempaun yang bukan makhromnya dalam satu ruangan agar terhindar dari fitnah dan dosa.
2
1
2
1
2
3
52 5
Gambar 1. Skema Tempat Pementasan Marawis
4
Keterangan: 1) Vokalis 2) Marawis 3) Hajir 4) Suling 5) Tempat untuk menari zapin
: tempat penonton b.Waktu pementasan Marawis dipentaskan pada malam hari yaitu sekitar jam 21.00 sampai jam 23.00, sedangkan pada saat pesta pernikahan dari salah satu pemain, apabila dikehendaki pementasan marawis bisa sampai semalaman (wawancara dengan Syarif Mulachela, 23 Maret 2009). c. Alur Alur adalah urut–urutan jalannya pementasan, yang meliputi pembukaan, permainan dan penutup. 1. Pembukaan, pada waktu ini vokalis mewakili pemain marawis mengucap salam kepada orang-orang yang menghadiri majelis. 2. Inti Setelah mengucapkan salam, pemain suling mulai meniupkan sulingnya sebagai tanda dimulainya kesenian marawis, setelah marawis dipukul oleh pemain, maka tarian zapin mulai ditarikan oleh dua orang penari laki-laki. Tari zapin yang ditampilkan pada saat pementasan marawis memiliki gerakangerakan sebagai berikut: 1) Taksim Penari melakukan jalan biasa dengan posisi badan menunduk, keadaan tangan kiri di belakang pinggang sambil jari digenggam sementara tangan kanan digenggam menunjuk ke bawah. Gerakan pada taksim dilakukan secara bebas. Penari mengambil posisi untuk memulakan tarian dalam posisi duduk bertinggul sementara berat badan tertumpu di kaki kiri, kaki kanan sedikit ke depan. Posisi
tangan kiri di belakang pinggang dengan posisi jari digenggam dan tangan kanan digantung di paras dada dengan posisi jari digenggam dan keadaan posisi ibu jari menghhadap ke depan. 2) Wainab atau Tahto Gerakan ke 1
: Rehat atau bersedia.
Gerakan ke 2
: Kaki kiri digantung.
Gerakan ke 3
: Kaki kiri diletakkan di hadapan.
Gerakan ke 4
: Kaki kanan digantung.
Gerakan ke 5
: Kaki kanan diletakkan di hadapan.
Gerakan ke 6 dan 7: Posisi tidak berubah dari gerakan yang ke 5, sambil bertinggung, tangan menyauk sementara posisi badan menghala 180 derajat ke arah kiri. Gerakan ke 8
: Berdiri. Semua gerakan diulang sekali lagi, dan pada akhir tarian zapin penari akan duduk bertinggung.
3. Penutup Pada bagian ini, vokalis mewakili semua pemain mengucapkan salam (observasi pada saat khaul di Masjid Riyadh, 16 April 2009). d.Bentuk Irama Marawis Marawis yang diajarkan oleh Muhammad Al Mukhdori kepada masyarakat Arab di Indonesia memiliki dua bentuk irama, yaitu meliputi: 1) Madkhol, yaitu memainkan alat–alat musik marawis dan tari zapin dengan lembut. 2) Makhroj, yaitu memainkan alat–alat musik marawis dan tari zapin dengan lebih cepat dibandingkan dengan irama madkhol (Syarif Mulachela, 23 Maret 2009: Wawancara). Syair-syair marawis dalam bentuk madkhol berisi tentang permohonan doa kepada Allah SWT atau istighosah. Dalam Islam, ketika seorang hamba berdoa kepada Allah, maka adab yang harus di perhatikan diantaranya berdoa dengan cara lemah lembut, karena posisi manusia merupakan seorang hamba yang meminta pertolongan kepada Tuhannya, sehingga dalam memainkan marawis juga demikian.
Contoh syair lagu dalam irama makhroj : Qodkafaanii Qodkafaanii’ilmurobbi Minsualiiwakhtiyaarii Fadu’aaiiwabtihaalii Syaahiduli ibiftiqoorii Yaailahii wamalikii Anta ta’lamu kaifakhaalii Wabimaaqod khallaqolbii Minhumuu miwashtighoolii Khajataan fiinafsi yaa robbi Faaq dhi ha yaa khoiroqoodhi Wa arrikh sirri waqolbii Minladzoo haa waasyuwadzi
artinya: Sesunggahnya Telah Mencukupi Diriku Sesungguhnya telah mencukupi diriku pengetahuan Tuhan-ku Dari selain kepunyaanku dan daya upayaku Maka, Dia (Allah) memanggilku dan permohonanku Dia (Allah) melihat kepunyaanku dengan kemiskinanku Ya Tuhan- ku dan yang memilikiku Engkau maha mengetahui bagaimana keadaanku, dan dengan apa sesungguhnya untuk membuka hatiku dari duka citaa dan kesibukanku Keinginan dalam jiwa ya Tuhan-ku Maka putuskanlah hajat itu Wahai sebaik-baik hakim Dan lembutkanlah rahasiaku dan hatiku dari neraka Syair-syair yang dilantunkan dalam bentuk makhroj berisi tentang pujipujian atau harapan–harapan berupa surga, rahmat dan kasih Allah ta’ala, sehingga bentuk irama makhroj dimainkan untuk syair-syair atau lagu yang berisi tentang hal-hal menggembirakan sehingga tariannya dilakukan dengan penuh kegembiraan pula.
Contoh syair dalam irama makhroj: Yaa khaadii sir ruuwaidaa Yaa khaadii sirruuwaidaa Mansyad a maa marrokbii Fiirrokbi lii ’aroibun Akh dzuu ma’ahum qolbii Manlii idzaa akhdzuu lii qolbii Syatatuunii filbawaadii Akhduminnii fuwaadii Manlii idzaa akhdzuu li qolbi Wa ta adab fii khimaahum Laa walaa ta’syaq siwaahum Fahum ni’masyifaa liqolbii Yaa ilahii yaa makhjuub Fa bithoibata lii khabiib Ar juu yashfa’ lanaa min dzunubii
artinya: Wahai orang yang menggiring unta sambil berdendang, berjalanlah perlahan-lahan Wahai orang yang mengiring unta sambil berdendang, berjalanlah dan bernyanyilah di depan pedal Di dalam pedal-pedal aku tidak seorangpun di dalam rumah Mereka mengambilnya bersama hatiku Siapa yang ku miliki, apabila mereka mengambil kepunyaan hatiku Mereka menceraikan ku di padang pasir Mereka mengambil dariku katiku Siapa yang ku miliki, apabila mereka mengambil kepunyaan hatiku
3. Nilai Filosofis Marawis Istilah filosofi berasal dari kata Yunani Philopsophia yang berarti cinta kearifan. Kata lain dari filosofi adalah filsafat (filsafat, falsafah, falsafat) yang berarti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Kata filosofi di definisikan dengan pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab, asal hukum dan
tentang segala sesuatu yang ada di dalam semesta ataupun mengenai kebenaran arti adanya sesuatu (Poerwadarminta, 1976: 216). Terdapat banyak falsafah dan nilai–nilai yang terkandung dalam marawis. Nilai–nilai dan falsafah itu masih di pegang teguh oleh para pemain dan pelestari marawis. Nilai-nilai yang terkandung diantaranya yaitu (1) Dalam hal penentuan ketukan dan irama musik marawis mengandalkan cita rasa dan perasaan. Apabila dibandingkan dengan musik lainnya, marawis mempunyai irama yang berbeda karena musik lainnya memiliki rumus dalam musiknya. (2) Lagu dan syair yang dilantunkan dalam kesenian marawis bertujuan untuk dakwah Islam. a. Nilai filosofis Alat-Alat Musik Marawis 1) Hajir Pada saat Habib Al Mukhdori menyaksikan acara bedug di Masjid, sehingga memunculkan ide untuk membunyikan dan memainkan hajir kepada masyarakat Indonesia. Habib Al Mukhdori menganggap bahwa alat musik hajir hampir sama dengan alat musik bedug, sehingga Habib Al-Mukhdori memiliki pemikiran ketika hajir dimainkan tidak ada bedanya dengan bedug yang sudah dikenalkan oleh Wali Songo. Hal yang membedakan antara bedug dengan hajir adalah kalau hajir dimainkan dengan telapak tangan dan tempatnya di bawah, sedangkan bedug di pukul dengan pentung dan memiliki satu suara. Pada masa menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, Walisongo membawa dan mengenalkan bedug kepada masyarakat Indonesia. Latar belakang dimainkannya alat musik hajir karena bentuknya hampir sma dengan ”bedug Msjid” yang telah dikenalkan oleh Walisongo (Ustadz Alwi, 21 Mei 2009: Wawancara). Bunyi yang ditimbulkan apabila hajir dipukul adalah pung...pung...pung’. Suara yang dikeluarkan ini mempunyai makna bahwa tempat yang digunakan para ulama untuk mengajarkan ilmu agama masih kosong, sehingga masih muat untuk di isi lagi oleh orang-orang yang mau mengikuti majelis ilmu yang akan di sampaikan oleh tokoh ulama yang ada di daerah itu. jangan malu-malu untuk mendatangi ke majelis ilmu ini, karena majelis ilmu adalah tempatnya orangorang baik yang selalu mengajak, menyeru berbuat baik dan menjauhi kemungkaran.
Bunyi
hajir
tersebut
berfungsi
untuk
memanggil
dan
mempersilahkan masyarakat sekitar untuk datang mengikuti majelis ilmu karena tempat yang digunakan untuk majelis ilmu masih kosong untuk menerima orangorang untuk diajak di jalan Allah SWT. Filosofi yang terkandung dalam hajir ini memiliki kesamaan pada filosofi yang terkandung dalam suara bedug yang muncul pada masa Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Apabila bedug dipukul maka bunyi yang dikeluarkan adalah deg...deg...deg’, filosopi yang terkandung adalah ”masih sedeng” (masih muat), artinya tempat atau majelis ilmu yang akan digunakan Walisongo masih cukup untuk menampung orang-orang yang ingin mengikuti dan mendengarkan ceramah-ceramah yang akan disampaikan oleh Wali Songo. 2) Marawis Seperti halnya dengan hajir, marawis juga memiliki nilai filosopi. Bunyi yang di timbulkan apabila marawis di pukul adalah prak...prak...prak’, hal ini bermakna ”ayo cepat, ayo cepat”, cepatlah kalian datang jangan sampai terlambat, jangan sampai tempat ini didahului oleh orang lain, kalau bisa kalian yang menempati sof atau barisan yang terdepan supaya bisa mendengarkan dakwah yang akan disampaikan dalam lantunan qosidah atau dakwah yang akan disampaikan oleh tokoh yang ada di situ sehingga jangan sampai ketinggalan (Ustadz Alwi, 21 Mei 2009: Wawancara). b. Nilai Filosofis zapin Zapin merupakan salah satu tarian yang banyak berkembang di daerah Melayu. Kata zapin berasal dari dari bahasa Arab ”Al-Zafn” yang berarti ”gerak kaki”. Tarian zapin dibawa oleh keturunan Arab yang berasal dari Yaman. ...tarian khas Yaman yang disebut zapin” (http://majlismajlas.blogspot.com, 3 Mei 2009). Zapin pada mulanya merupakan tarian hiburan dikalangan raja-raja di Istana. Setelah dibawa oleh para pedagang pada awal abad ke-16.Di Indonesia terdapat 2 jenis zapin yaitu zapin Arab dan zapin Melayu. Zapin Arab pada perkembangannya mengalami perubahan secara lambat dan gerakan-gerakannya masih dipertahankan oleh masyarakat keturunan Arab sehingga hanya memiliki satu gaya, sedangkan zapin Melayu dikembnagkan oleh orang-orang Melayu dan disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya sehingga jenis zapin ini memiliki
berbagai bentuk gaya. Pemberian nama tarian zapin, sangat tergantung pada tempat dan berkembangnya tarian tersebut. Pemberian nama untuk tarian tersebut tergantung dari bahasa atau dialek tempat tarian itu tumbuh dan berkembang. Nama zapin pada umumnya dikenal di Sumatera Utara dan Riau, sedangkan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu menyebutnya dana sarah. Di lampung, tarian zapin dikenal dengan nama bedana, sedangkan di Jawa di sebut dengan zafin. Masyarakat Kalimantan cenderung memberi nama jepin, di Sulawesi disebut jippeng, dan di Maluku lebih akrab mengenal dengan nama jepen. Di Nusatenggara, zapin dikenal dengan nama dana-dana (untuk lebih jelasnya lihat lampiran pada halaman 10). Syair yang dilantunkan dalam makhroj berisi tentang harapan–harapan kegembiraan berupa surga, rahmat dan kasih Allah ta’ala, sehingga zafin ditarikan dengan penuh kegembiraan. Syair yang dilantunkan dalam irama madkhol berisi tentang permohonan doa kepada Allah SWT, sehingga zapin juga ditarikan dengan lembut. Keberadaan dua penari dalam zapin mempunyai makna bahwa di dunia ini dalam setiap aspek ehidupan Tuhan menciptakan dua sisi yang berbeda, sehingga manusia dapat memilih pilihannya, misalnya baik dan buruk, hitam dan putih. Bentuk langkah dalam tarian zapin menggambarkan manusia di dalam setiap kehidupannya selalu berdoa kepada Allah, karena doa merupakan harapan, namun harus diimbangi dengan usaha atau bekerja untuk mewujudkannya serta menyerahkannya kepada Allah SWT sebagai pemilik semua alam semesta dan isinya (Ustadz Alwi, 21 Mei 2009: Wawancara).
D. Dampak Tradisi Marawis Terhadap Masyarakat di Sekitarnya Keberadaan marawis akan terus dikembangkan oleh masyarakat Arab Arab di Pasar Kliwon. Marawis selain berfungsi dakwah juga untuk melestarikan kebudayaan Arab khususnya di bidang seni musik. Keberadaan marawis, memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat setempat bahkan masyarakat di Surakarta baik pada bidang budaya, agama maupun bidang sosial. Tujuan dimainkannya marawis untuk melakukan dakwah Islam, sehingga syair–syairnya berisi puju-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad
sebagai Rosul- Nya serta mengajak untuk berbuat baik pada diri sendiri dan orang lain, untuk berbuat baik sesuai dengan ketentuan–ketentuan yang digariskan oleh Allah dan Rosul-Nya serta meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tercela (Abda, 1994: 29-30). Ada pula syair yang berisi tentang ajakan menanamkan kaidah persamaan derajat, persatuan, perdamaian, kebenaran, kebaikan dan kaidah inti perkembangan masyarakat, membebaskan masyarakat dan individu dari sistem kehidupan yang dholim (tirani, totaliter) menuju kehidupan yang adil. 1. Kebudayaan Tradisi marawis di Pasar Kliwon Surakarta merupakan salah satu wujud pelestarian nilai–nilai budaya Arab yang telah di bawa oleh para ulama Arab di Pasar Kliwon yang sampai saat ini masih dilaksanakan dan akan terus dipertahankan serta diwariskan kepada generasi berikutnya. Pada kenyataannya tidak semua masyarakat Arab ikut terlibat dalam pementasan marawis, tetapi mereka mempunyai tujuan dan maksud yang sama yaitu menyampaikan ajaranajaran Islam yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar. Tradisi marawis di dalamnya terjadi relevansi antara budaya Arab dengan budaya Islam yang diterima serta ditata sebagai landasan ideal untuk membentuk pribadinya, sedangkan nilai–nilai budaya itu merupakan suatu aturan dalam upaya menuju kebaikan dalam kehidupannya. Sehingga tercapai keadaan yang tenang, damai, tentram, serta harmonis dengan sesama serta lingkungannya (Budiono Herusatoto, 2000: 87). Kreativitas di dalam menata unsur–unsur budaya itu menghasilkan perpaduan yang harmonis serta menjadi identitas daerahnya masing–masing. Marawis sebagai kebudayaan merupakan identitas budaya (simbolik) bagi komunitas Arab di Surakarta. Hal itu seperti yang dimaksud Soerjono Soekanto (1984: 8), bahwa dalam lingkungan budaya tertentu manusia mampu berinteraksi antar sesamanya melalui perantaraan lambang-lambang (tanda) yang dimiliki bersama. Berdasarkan pengertian kebudayaan sebagai hasil cipta da karsa manusia, maka tradisi marawis mengandung unsur-unsur kebudayaan antara lain: a. Seni Musik Melalui pementasan marawis, masyarakat dapat menyaksikan penampilan seni musik yang enak di dengar. Bunyi-bunyian khas dari alat-alat musik
marawis. Pemain marawis merupakan orang yang sudah terampil, sehingga akan terdengar suara yang irama yang menarik. b. Seni Tari Tarian yang ditampilkan dalam marawis adalah tari zapin. Kombinasi gerakan dalam tari zapin menunjukkan keunikan tersendiri, tetapi gerakan tersebut tetap memiliki nilai dan makna yang tinggi. Dari hal-hal di atas maka jelaslah bahwa tradisi marawis merupakan kesenian yang memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi. Di dalamnya terdapat cabang seni, sehingga dapat memotivasi masyarakat untuk memupuk dan melestarikan berbagai ketrampilan seni.
2. Agama Pelaksanaan tradisi marawis di Pasar Kliwon didasarkan atas keyakinan dan keimanan yang kuat terhadap ajaran Islam. Syair-syair yang dilantunkan dalam marawis dapat memberi arahan, dorongan, keyakinan ataupun ajakan agar tingkah laku pemain maupun penikmat marawis dalam kehidupan sehai-hari sesuai dengan ajaran Islam, dengan tujuan akhir mampu mewujudkan dan melaksanakan prinsip ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam semua kehidupannya. a. Dampak untuk Kehidupan Keagamaan Pemain Adanya marawis yang berkembang dalam masyarakat Arab di Surakarta akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan para pemainnya. Sesuai dengan perannya sebagai orang yang menyampaikan dakwah, maka para pemain marawis terbiasa menjaga nama baiknya, baik dalam lingkungan sehari–hari maupun dalam kehidupan bermasyarakat sehingga bisa menjadi tauladan sekaligus menjadi orang yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Selain itu, pakaian pemain marawis yang harus menutup aurat dan bersih pada saat latihan atau pementasannya, sehingga para pemain terbiasa menerapkan adab-adab yang baik sesuai ajaran Islam. Pelaksanaan dan penerapan yang sesuai dengan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk kesalehan normative seseorang terhadap Islam.
b. Dampak untuk Kehidupan Keagamaan Masyarakat Kesediaan masyarakat untuk menyaksikan marawis dalam majelis ilmu yang disampaikan oleh para ulama ssecara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pemikiran dan tingkah laku kehidupan Masyarakat, karena di dalam majelis ini juga disampaikan pesan–pesan dan ajaran Islam. Setelah mendengar dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dengan sendirinya akan melaksanakan perintah dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang dalam ajaran Islam, sehingga hal ini mewujudkan kesalehan social (Masyarakat). Misalnya dari semula masih mempercayai hal-hal yang syirik, setelah mendengarkan syair-syair marawis selanjutnya akan menjauhinya atau yang pada awalnya belum menajalankan sembahyang lima waktu maka akan menjadi lebih aktif.
3. Kehidupan Sosial Tradisi marawis akan terus dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat Arab di Surakarta, hal ini merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Apabila marawis dipentaskan, masyarakat beramai–ramai menyaksikan kesenian tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan marawis di Pasar Kliwon Surakarta merupakan salah satu media sosial yang berarti sarana dan wadah bagi saudara–saudara dan kerabat serta masyarakat untuk saling bertemu dan saling mengenal. Hal tersebut mengakibatkan semakin menguatkan identitas komunitas Arab. Berkaitan dengan keterangan diatas, maka melalui pementasan marawis sehingga hubungan komunikasi antar masyarakat tidak akan terputus. Hubungan kekrabatan ini akan tetap terbina dan dijaga keutuhannya. Hal inilah yang merupakan salah satu fungsi dari pelestarian dan pelaksanaan tradisi bagi masyarakat. Kebersamaan dalam tradisi marawis secara
langsung atau tidak
langsung akan sangat berpengaruh besar bagi masyarakat, sebab melalui pementasan marawis akan menimbulkan suatu interaksi dan juga komunikasi serta merupakan undangan bagi masyarakat sekitar. Pada akhirnya kesenian marawis menjadi ajang komunikasi kelompok tertentu yaitu komunitas Arab, selain itu
pementasan marawis tersebut merupakan undangan yang dibebaskan untuk semua warga sekitar untuk menghadiri. Saat marawis dimainkan dalam suatu acara, hal itu merupakan suatu kesempatan yang baik bagi anggota komunitas untuk bertemu, bersilaturrokhin dan berkumpul. Pada kesempatan ini pula diantara anggota komunitas akan saling membina hubungan bai serta memahami keberadaan mereka sebagai komunitas yang hidup saling tolong menolong serta berintegrasi antara individu, serta antara komunitas satu dengan yang lainnya. Tradisi marawis juga berfungsi sebagai pengintegrasi masyarakat. Menurut Merriam dalam Hanna Farkhana (2007: 78), bahwa pertunjukanpertunjukan tradisional dapat menimbulkan rasa kebersamaan dalam suatu masyarakat yang mempunyai satu sistem nilai, gaya hidup dan kesenian. Oleh karena itu, musik akan membangkitkan rasa solidaritas berkelompok. Di sinilah akhirnya tercipta suatu sikap kekeluargaan dan persaudaraan. Pada intinya, ada beberapa tujuan masih dikebangkan dan dilestarkannya marawis oleh masyarakat Arab di Pasar Kliwon, yaitu sebagai berikut: a. Menyampaikan
dakwah
kepada
masyarakat
sesuai
dengan
keadaan
masyarakat di sekitarnya. b. Mengembangkan kesenian Arab yang telah dibawa oleh generasi orang Arab terdahulu yang di bawa dari Hadramaut. c. Mengenalkan budaya orang–orang solikhin yang dibawa oleh Syekh Muhammad Al Mukhdori ke Indonesia. d. Mengenalkan lantunan syair–syair, qosidah dengan bentuk puisi atau prosa yang berisikan cinta kepada Allah dan cinta kepada Rosul dan bukan cinta– cinta kepada lawan jenis atau sesama manusia. e. Mengundang orang-orang untuk datang ke Masjid atau majelis orang baik. f.
Sebagai alat silaturrakhim. Keberadaan marawis yang di tampilkan mejelis–majelis ilmu antara oang satu dengan lainnya yang tadinya tidak saling mengenal menjadi saling mengenal (wawancara dengan ustadz Alwi, 21 Mei 2009).
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Munculnya tradisi marawis di Pasar Kliwon Surakarta sudah sejak tahun 1970-an yang dibawa oleh para ulama dari komunitas Arab, tetapi pada waktu itu marawis tidak dapat berkembang dengan baik. Kesenian tradisional ini berasal dari Yaman yang dibawa oleh Habib Al Mukhdori ke Indonesia pada tahun 1930an. Marawis mulai berkembang dan mulai ramai di mainkan oleh pemuda-pemuda dari komunitas Arab di Surakarta sejak tahun 1998 pada saat khoul yang diselenggarakan setiap tanggal 20 Rabiul Tsani (16 April) di Masjid Riyadh, Gurawan Pasar Kliwon. Keberadaan marawis semakin terlihat setelah ada beberapa pemuda dari komunitas Arab yang tergabung dalam Ahbabul Mukhtar yang berdiri sejak tahun 1998. Sebelum Ahbabul Mukhtar terbentuk, marawis yang ditampilkan pada saat khaul dimainkan oleh grup dari Pasuruan. Setelah direnungkan lebih mendalam, muncul pemikiran dari pemuda-pemuda keturunan Arab dari Surakarta untuk memainkan marawis, karena acara khoul dilaksanakan di Surakarta. Setelah sepuluh tahun lebih Ahbabul Mukhtar sudah memiliki empat generasi dan setiap generasi memiliki kemampuan dan usia yang berbeda. Tradisi marawis di Pasar Kliwon merupakan perwujudan pelestarian kepada tradisi leluhur yang diwariskan secara turun temurun kepada masyarakat pendukungnya. Dalam mendakwahkan ajaran agama Islam, para ulama di Pasar Kliwon tidak terlepad kebudayaan yang dimiliki oleh penduduk setempat. Kondisi masyarakat di sekitar Pasar Kliwon pada waktu itu lebih cepat menerima ajaran islam yang disampaikan dengan iringan musik daripada dinasehati secara langsung. Syair dan lagu yang dilantunkan dalam marawis mengajak orang untuk menyadari akan besarnya cint akepada Alaah dan Rosulullah. 2. Pementasan tradisi marawis dilakukan di majelis-majelis ilmu (Masjid) yang terdiri dari tiga tahap yaitu (1) pembukaan diawali dengan ucapan salam yang disampaikan oleh vokalis, (2) inti yaitu pemain suling mulai meniupkan
82
sulingnya sebagai tanda dimulainya marawis dan setelah mirwas (marawis) dipukul maka tarian zapin mulai ditarikan, (3) penutup yaitu dengan mengucap salam. Marawis ditampilkan pada saat Maulud Nabi Muhammad SAW, khaul dan pesta pernikahan. Marawis dipentaskan pada malam hari pukul 21-00 WIB - selesai. Lagu dan syair yang dilantunkan dalam marawis berisi tentang doa-doa kepada Allah SWT, harapan tentang Surga, cinta kasih dan Rahmat Allah Ta’ala dan bukan cinta-cinta kepada lawan jenis. Marawis memiliki dua bentuk irama, yaitu meliputi: Madkhol, yaitu alat-alat musik marawis dan tarian zapin dimainkan dengan lembut. Makhroj, yaitu alat musik marawis dan tarian zapin dimainkan dengan cepat. Syair dalam madkhol berisi tentang permohonan doa kepada Allah SWT, sehingga dalam memainkan alat musik marawis dan zafin dimainkan dengan cara yang lembut. Syair dalam makhroj berisi tentang hal-hal yang menggembirakan sehingga alat musik marawis dan zapin dimainkan juga dengan kegembiraan. Nilai-nilai dan falsafah dalam marawis akan terus di pegang teguh oleh pemain dan pemerhati marawis yaitu dalam penentuan ketukan dan irama musik marawis mengandalkan cita rasa dan perasaan dan lagu yang dilantunkan dalam marawis bertujuan untuk dakwah Islam. Marawis di Pasar Kliwon akan terus dilaksanakan dan dipertahankan kepada generasi penerusnya, karena kebudayaan akan berkembang apabila memiliki daya dukung dari sebagian besar masyarakatnya. 3. Keberadaan tradisi marawis di Pasar Kliwon membawa dampak bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dampak yang dibedakan dibedakan menjadi tiga hal yaitu (1) bidang kebudayaan, tradisi marawis merupakan wujud pelestarian nilai-nilai budaya, karena di dalamnya terkandung nilai budaya Arab, budaya Jawa dan budaya Islam yang diterima dan ditaati sebagai landasan ideal, sedangkan nilai-nilai budaya itu merupakan aturan dalam upaya menuju kebaikan dalam kehidupannya. Di dalamnya terdapat cabang seni,
sehingga
dapat
memotivasi
masyarakat
untuk
memupuk
dan
melestarikan berbagai ketrampilan seni. (2) kehidupan beragama, meliputi bagi pemain akan terbiasa untuk menjaga nama baik, menutup aurat dan
menerapkan adab-adab yang benar dan sesuai ajaran syariat Islam. Sebagai orang yang menyampaikan dakwah pemain marawis menjadi tauladan yang akan ditiru oleh masyarakat yang menyaksikan dan menikmati marawis. Kesediaan masyarakat untuk menyaksikan marawis dalam majelis ilmu akan berpengaruh terhadap pemikiran dan tingkah laku masyarakat karena di dalam majelis itu disampaikan pesan–pesan dan ajaran Islam. Setelah mendengar dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dengan sendirinya akan melaksanakan perintah dari Allah dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang. (3) kehidupan sosial yaitu dengan pementasan marawis, masyarakat akan beramai-ramai menyaksikan kesenian ini, sehingga tradisi marawis merupakan salah satu media sosial yang berarti sarana atau wadah silaturokhim bagi saudara dan kerabat serta masyarakat untuk saling bertemu, berkumpul dan saling mengenal. Pada akhirnya, pementasan marawis menjadi ajang komunikasi masyarakat komunitas Arab, selain itu juga merupakan undangan yang dibebaskan untuk semua warga sekitar untuk menghadiri ke tempat pementasan marawis (majelis ilmu). Pada kesempatan ini pula diantara anggota komunitas saling membina hubungan baik serta memahami keberadaan mereka sebagai komunitas yang hidup saling tolong menolong dan berintegrasi antara individu, serta antara komunitas satu dengan yang lainnya. Di sinilah akhirnya tercipta suatu sikap kekeluargaan dan persaudaraan. Dari sikap kekeluargaan itulah kemudian tercipta sikap saling menghormati, sopan santun, tenggang rasa, rukun dan damai, sehingga hubungan kekerabatan akan tetap terbina dan terjaga keutuhannya.
B. Implikasi
1. Teoritis Marawis merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional yang mempunyai tempat tersendiri dalam masyarakat keturunan Arab di Pasar Kliwon Surakarta, karena marawis tidak terdapat di daerah lain di Surakarta. Bila dicermati lebih mendalam,marawis yang semula berfungsi sebagai seni dakwah
Islam, kini juga berfungsi sebagai hiburan. Di sebut sebagai kesenian dakwah Islam, apabila selama lagu atau syair-syair yang ditampilkan tidak bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, dan para pemainnya tetap pada perannya sebagai orang yang menyampikan dakwah sehingga bisa menjadi contoh yang baik, sedangkan orang yang menyaksikan atau mendengarkan marawis tetap menjadi orang yang
didakwahi. Disebut kesenian karena dapat menumbuhkan rasa
keindahan, sehingga keindahan tersebut menyebabkan seseorang merasa terpenuhi segala keinginannya sehingga merasakan kepuasaan. Marawis menampilkan dua wajah budaya yang bermuka dua, yaitu seni dakwah Islam dan seni sebagai tontonan (hiburan). Dengan wajah budaya yang bermuka dua, Marawis justru telah menajdi sebuah identitas kebudayaan yang mampu bertahan terhadap setiap benturan budaya yang dihadapinya sampai sekarang. Keberadaan marawis di Pasar Kliwon merupakan identitas budaya bagi orang-orang keturunan Arab di Surakarta, karena sebagian orang–orang Arab menganggap akan menjadi suatu aib apabila tradisi yang telah dibawa oleh generasi sebelumnya tidak dikembangkan dan dilestarikan kepada generasi selanjutnya. Meskipun demikian, agar tetap dapat mempertahankan posisinya sebagai identitas kebudayaan, marawis juga harus mampu menjadikan dirinya sebagai maskot budaya yang membumi dalam kehidupan kebudayaan masyarakat pendukungnya, sebab sebuah budaya hanya akan berkembang bila memiliki daya dukung dari sebagian besar masyarakatnya.
2. Praktis Keberadaan marawis dalam masyarakat keturunan Arab di Pasar Kliwon Surakarta akan mendorong semangat para pemain dan pemerhati marawis dalam mengahadapi masalah yang akan timbul, karena seperti yang kita ketahui untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian marawis banyak hal–hal yang muncul, misalnya minimnya pengetahuan dan pemahaman dari komunitas Arab tentang marawis, alat–alat musik yang digunakan, isi syair-syair yang dilantunkan dimana semua itu tidak terlepas dari tujuan awal digunakannya marawis sebagai media dakwah Islam. Dengan memahami dan melestarikan kesenian marawis
akan memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan marawis sebagai kebudayaan masyarakat keturunan Arab di Surakarta. Kontribusi penelitian ini dalam dunia pendidikan adalah keberadaan tradisi marawis dapat dijadikan sebagai wawasan bagi kita selaku mahasiswa untuk menambah pengetahuan dalam hal pendidikan mengenai bagaimana menjadi generasi yang tetap menjaga, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan yang tidak bertentangan dengan aturan ajaran agama yang ada dalam masyarakat.
3. Metodologis Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Kualitatif dengan
pendekatan
etnografi.
Pemilihan
metode
ini
didasarkan
atas
permasalahan–permasalahan yang dikaji yaitu mendiskripsikan berupa kata-kata tertulis atau lisan atas perilaku kelompok masyarakat, obyek, dan kebudayaannya dengan menggunakan teknik-teknik tertentu, yaitu dengan wawancara, observasi dan dokumen, arsip yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti . Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah dalam pengumpulan data berupa dokumen tentang kumpulan syair-syair marawis. Hal ini dikarenakan arsip dan dokumen yang memuat tentang syair marawis menggunakan Bahasa Arab, sehingga peneliti tidak mampu memahami secara menyeluruh isi yang terkandung dari syair-syair marawis.
C. Saran 1. Masyarakat keturunan Arab di Surakarta Kepada masyarakat keturuanan Arab di Surakarta diharapkan benar-benar mengerti bahwa marawis adalah budaya milik orang-orang keturunan Arab yang ada di wilayah Pasar Kliwon, tetapi marawis menjadi identitas budaya bagi masyarakat keturunan Arab yang ada di Surakarta. Sikap seperti ini sangat perlu dikembangkan agar masyarakat keturunan Arab di Surakarta dapat melindungi, membina dan mengembangkan marawis ini secara terpadu. Kepada generasi muda keturunan Arab hendaknya dapat mempelajari hal–hal yang berkaitan dengan marawis. Generasi tua sebagai pemain marawis tidak
tahu lagi kepada siapa akan mewariskan kebudayaan bangsa tersebut. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan membangkitkan minat generasi muda agar senang dengan kesenian tradisional mereka yaitu marawis. Upaya yang dapat dilakukan dengan menyampaikan hal-hal dan nilai-nilai falsafah yang terkandung
dalam
marawis,
sehingga
setelah
minat
tersebut
dapat
ditumbuhkan maka generasi muda akan belajar dengan sendirinya tentang kesenian marawis. Sebagai generasi penerus sudah selayaknya untuk belajar memahami dan mengetahui seluk beluk kesenian marawis dalam rangka untuk pelestarian dan pengembangan budaya orang Arab di Surakarta. 2. Pemerintah Kota Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Surakarta Pemerintah Kota Surakarta dan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya diharapkan dapat memberikan perhatian dalam mengembangkan dan meningkatkan promosi atau sosialisasi budaya yang ada dalam masyarakat Surakarta misalnya dengan mengadakan wisata budaya dalam rangka menarik minat wisatawan, festival-festival budaya dan memberikan bantuan moral, material dalam pemeliharaan dan perawatan serta pengembangan budaya. 3. Instansi Pendidikan Kepada instansi pendidikan yaitu sekolah menengah maupun Perguruan Tinggi, khususnya pada program studi pendidikan sejarah hendaknya dapat memasukkan bahasa Arab sebagai pelajaran atau matakuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa. Dengan mempelajari dan menguasai bahasa Arab dengan baik maka mahasiswa atau peneliti-peneliti lainnya yang akan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan bangsa Arab dan kebudayaannya dapat lebih memahami isi dari sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitiannya.