BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Undang-undang penyiaran nomor 32 tahun 2002 yang menggantikan UU nomor 24 tahun 1997 telah meneguhkan keberadaan radio komunitas di Indonesia. Disebutkan dalam pasal 13 ayat 2, jasa lembaga penyiaran di Indonesia diselenggarakan oleh: a) lembaga penyiaran publik; b) lembaga penyiaran swasta; c) lembaga penyiaran komunitas, dan d) lembaga penyiaran berlangganan. Dalam undang-undang tersebut, keberadaan radio komunitas juga diatur pada pasal 21 hingga 24. Pengertian radio komunitas sebagaimana termaktub dalam UU No 32 tahun 2002 pasal 21 ayat (1) disebutkan sebagai berikut: “Lembaga penyiaran komunitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.” Penetapan undang-undang yang terdiri dari 64 pasal dan 12 bab tersebut telah memberikan angin segar terhadap keberadaan radio komunitas di Indonesia. Definisi undang-undang di atas menegaskan posisi radio komunitas sebagai pelayan komunitas yang bersifat independen. Konteks kemunculannya bisa dipahami sebagai bentuk demokratisasi di ranah penyiaran. Menyitir Masduki (2003) dalam bukunya Radio Siaran dan Demokratisasi, demokratisasi penyiaran bertumpu pada dua pilar utama.1 Pertama, tidak adanya intervensi pada isi dan perbincangan di media dalam bentuk apapun. Kedua, keterbukaan
1
Masduki. 2003. Radio Siaran dan Demokratisasi. Yogyakarta: Jendela. hal 3-4.
1
dan partisipasi yang setara dan independen. Pilar kedua ini memberikan pemahaman bahwa ruang siaran menjadi ruang publik yang bisa diakses oleh segala lapisan masyarakat baik dari sisi kepemilikan maupun orientasi siaran. Pasca disahkannya UU Penyiaran tersebut, perkembangan radio komunitas terhitung pesat. Secara kuantitas, memang belum ada angka pasti yang menunjukkan jumlah radio komunitas. Sebagai gambaran saja, pada 2004 jumlah radio komunitas yang tergabung dalam Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) di Jawa Barat berjumlah 80 radio dan Yogyakarta berjumlah 50 radio.2 Angka tersebut belum termasuk dengan keberadaan radio komunitas yang tergabung dalam Jaringan Radio Suara Petani (JRSP) yang jumlahnya menembus angka 467 radio.3 Jumlah tersebut bisa saja lebih, mengingat masih terdapat radio komunitas yang belum terdaftar dalam kelompok jaringan radio komunitas. Jika ditarik ke belakang, pada dekade 1990-an dan awal 2000-an, radio komunitas dilekatkan dengan stigma radio gelap atau ilegal. Keberadaannya dianggap mengganggu frekuensi penyiaran dan kerap dibayangi sweeping aparat.4 Kondisi tersebut terkait erat dengan persoalan legalitas karena beberapa radio komunitas tidak mengantongi izin hukum. Persoalan legalitas ini menjadi pelik karena razia yang dilakukan oleh Balai Monitoring Frekuensi dan didukung oleh Perusahaan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Dalam catatan Sudibyo (2004), selain menyita peralatan siaran, Balai Monitoring yang dibantu aparat kepolisian turut menahan pengelola radio komunitas. Mereka dikenai acaman hukuman penjara karena melakukan siaran tanpa izin. Di Jombang Jawa Timur, tujuh radio yang dikelola oleh perkumpulan karang taruna terkena razia dan polisi menahan salah seorang pengelolanya selama tiga hari.5 Selain bentuk demokratisasi di ranah penyiaran, keberadaan radio komunitas juga punya peran dalam proses demokratisasi di tingkat akar rumput. Hal tersebut dikarenakan keberadaan radio komunitas mampu menjadi media
2
Agus Sudibyo. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta:Lkis. hal 246 Ibid. hal 250. 4 Masduki. Op.Cit. hal.64 5 Sudibyo. Op Cit. Hal 241-242. 3
75
alternatif yang mendorong partisipasi atau peran serta masyarakat.6 Dengan partisipasi masyarakat dapat mendorong proses demokratisasi di tingkat akar rumput. Radio komunitas sebagaimana namanya menyiratkan makna sebagai media yang dikelola dari, oleh, dan untuk komunitas. Dari pengertian tersebut, radio komunitas potensial menjadi media komunikasi untuk melayani kebutuhan komunitas, baik informasi, pendidikan, dan hiburan.7 Beberapa kajian tentang radio komunitas melihat radio komunitas punya peran dalam demokratisasi, pemberdayaan, hingga perubahan sosial. Di Yogyakarta, radio komunitas Angkringan di Timbulharjo dan Panagati di Terban dapat dijadikan gambaran bahwa radio komunitas mampu mendorong proses demokratisasi di masyarakat sekitarnya.8 Radio Angkringan yang terletak di Desa Timbulharjo digerakan oleh para pemuda dan mampu menjadi ruang bertemu dan berekspresi para pemuda. Radio tersebut juga mendorong partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkatan desa. Radio yang diinisasi oleh Ahmad Nasir dkk ini menumbuhkan sikap kritis terhadap kinerja pemerintahan desa, kecamatan, dan kabupaten. Dalam konteks ini, radio dipahami sebagai media komunikasi yang punya peran dalam dinamika masyarakat. Radio telah digunakan secara strategis
sesuai
kepentingan
masyarakat.
Pemanfaatan
radio
komunitas,
meminjam istilah Nugroho (2011) dalam memandang gerakan sipil di Indonesia, “..harus melampaui dimensi teknologi dan digunakan untuk memperluas interaksi antar komunitas....”.9 Dari sisi ini, penulis melihat relevansi pentingnya kajian tentang radio komunitas. Daya jangkau siaran radio memang tidak seluas televisi atau internet. Namun demikian, radio menjadi salah satu media yang populer di Indonesia. 6
Dalam Masduki. Op. Cit. hal 86-87 Iwan Awaludin Yusuf. Revitalisasi Manajemen Radio Komunitas. Terarsip dalam http://bincangmedia.wordpress.com/2010/05/23/revitalisasi-manajamen-radio-komunitas/ diakses pada 21/3/2013 8 Lihat Eni Maryani. 2011. Media dan Perubahan Sosial Suara Perlawanan Melalui Radio Komunitas. Bandung: Rosdakarya. Lihat juga, Sudibyo. Op.Cit. hal 228-234 9 Yanuar Nugroho, 2011. @ksi Warga: Kolaborasi, Demokrasi Partisipatoris dan Kebebasan Informasi – Memetakan Aktivisme Sipil Kontemporer dan Penggunaan Media Sosial di Indonesia. Laporan kolaborasi penelitian antara Manchester Institute of Innovation Research University of Manchester dan HIVOS Regional Office Southeast Asia. Manchester dan Jakarta: MIOIR dan Hivos. hal 3. dalam penelitiannya, Yanuar Nugroho melihat peran aktivisme sipil dalam penggunaan media sosial. 7
76
Pertama, dilihat dari teknologinya yang cukup murah sehingga mudah diakses oleh siapapun. Kedua, radio, saya kira, sebagai media yang paling mampu menjalin relasi dua arah dengan khalayaknya. Mengutip Sen dan Hill (2001), “radio beroperasi sebagai salah satu media massa yang paling lokal dilihat dari berbagai cara”.10 Melihat radio komunitas memerlukan cara pandang yang kontekstual. Artinya, penting untuk melihat keberadaan sebuah radio komunitas sesuai dengan konteks ekonomi, sosial, dan budaya di mana radio tersebut berada. Salah satunya Radio Komunitas Lintas Merapi di Deles, Sidorejo, Kemalang, Klaten. Radio komunitas Lintas Merapi sudah berdiri sejak 2001. Radio tersebut hadir dari kebutuhan masyarakat Deles, Sidorejo yang berjarak 4,5 kilometer dari puncak Merapi terhadap kecepatan dan ketepatan informasi soal kondisi gunung Merapi. Cikal bakal radio komunitas Lintas Merapi tidak terlepas dari peran Kappala Indonesia, sebuah lembaga sosial masyarakat yang melakukan kegiatan bersama masyarakat lereng Merapi tentang isu lingkungan dan penguatan kapasitas penaggulangan bencana erupsi Merapi. Salah satu bagian dari kegiatan Kappala Indonesia ialah pengembangan radio komunitas di tiga kabupaten, yakni Magelang (Kawasan Merapi FM dan Pesona Merapi FM), Yogyakarta (Kawastu FM), dan Klaten (Lintas Merapi FM). Dari cerita Sukiman Muchtar Pratomo, salah seorang inisiator Lintas Merapi, radio komunitas ini dikelola bersama-sama oleh kelompok pemuda desa Sidorejo yang tergabung dalam komunitas Paguyuban Sabuk Gunung (Pasag) Merapi. Para pegiat radio komunitas atau yang biasa disebut kru berjumlah 22 orang yang berusia antara 17-40 tahun.11 Sebagian besar pengelolannya bekerja sebagai buruh tani dan penambang pasir. Dari situlah, radio ini disematkan gelar sebagai “radione wong ngarit”. Hal tersebut terjadi karena siaran dimulai setelah para pengelolannya selesai mencari rumput. Siaran dimulai pada pukul 17.00 WIB sampai dengan pukul 22.00 WIB. Pada hari minggu, siaran dimulai lebih awal yakni pukul 13.00WIB. 10
Krishna Sen dan David T Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. ISAI: Jakarta. hal 117. 11 Wawancara dengan Sukiman, salah satu inisiator Radio Komunitas Lintas Merapi, pada 23/3/2013.
77
Dalam perkembangannya, radio komunitas Lintas Merapi punya peran dalam menumbuhkan geliat aktivisme di kalangan pemuda Deles. Radio Lintas Merapi menjadi semacam ruang bertemu, belajar, berkegiatan, serta hiburan para pemuda di Deles. Kegiatan on air maupun off air selalu melibatkan masyarakat di sekitar radio berada. “Dalam penyusunan program acara pun kami mengundang masyarakat untuk memberikan masukan,” ujar Sukiman.
Usia radio yang
menginjak usia 11 tahun, terlebih untuk ukuran sebuah radio komunitas bukanlah usia yang sebentar. Diperlukan usaha keras untuk menjaga keberadaan radio komunitas. Mengingat, dari empat radio yang didirikan pada awal 2001 di tiga kabupaten, hanya Lintas Merapi yang masih ada. Dari sini, saya kira menarik untuk melihat dinamika pemuda desa dalam radio komunitas Lintas Merapi. Pemuda, dalam konteks Deles menjadi motor penggerak keberlangsungan radio komunitas Lintas Merapi. Keberadaan radio komunitas tidak bisa dilihat otomatis membawa perubahan. Perlu juga melihat geliat aktifitas dan peran serta pemuda dalam proses perubahan itu. Relasi yang terjadi antara pemuda dan radio komunitas merupakan proses me- dan dipengaruhi. Selain itu, penting juga untuk melihat keterlibatan pihak luar, dalam hal ini NGO atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang turut serta dalam pengembangan radio Lintas Merapi. Beberapa NGO yang bersentuhan langsung dengan Lintas Merapi antara lain Kappala Indonesia dan Combine Resource Institute (CRI).
B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang permasalahan tersebut menarik untuk memancing pencarian lebih lanjut dengan mengajukan pertanyaan, bagaimana dinamika pemuda desa dalam radio komunitas Lintas Merapi di Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten?
78
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengidentifikasi keterlibatan pemuda bagi keberlangsungan radio komunitas Lintas Merapi. 2. Mengelaborasi struktur dan peran sosial pemuda di desa tersebut.
D. MANFAAT PENELITIAN Menjadi catatan sekaligus rujukan bagi para peminat kajian media komunitas, pemuda, dan dinamika pedesaan.
E. KERANGKA PEMIKIRAN E.1. Pemuda dalam Perspektif Pertama, penting untuk melihat apa, siapa dan bagaimana pemuda itu. Indonesia, bahkan telah membuat satu undang-undang khusus tentang pemuda, yakni Undang-undang No 40 tahun 2009. Pada pasal 1 (satu) ayat 1 (satu), pemuda didefinisikan sebagai, “..warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun”. Kategorisasi pemuda yang berdasarkan umur
pada UU
tersebut bisa menjadi patokan awal untuk menentukan pemuda dalam penelitian ini. Apakah umur menjadi satu-satunya patokan untuk mendefinisikan pemuda? Dalam kajiannya tentang pemuda di Indonesia, Naafs dan White (2012) berpendapat bahwa kategorisasi menurut usia hanya salah satu cara untuk memahami pemuda itu sendiri.12 Selain itu beberapa perspektif tentang pemuda melihat pemuda dalam pengertian generasi, pemuda dalam masa transisi, serta pemuda sebagai pembentuk dan konsumen budaya. Lewat tulisannya dengan judul Intermediate Generations: Reflections on Indonesian Youth Studies, Naafs dan White memberikan argumen tentang pentingnya pendekatan relasional. Pendekatan ini melihat pemuda dalam hubungan yang dinamis di sebuah struktur
12
Naaf. S and Ben White. 2012. Intermediate Generations: Reflections on Indonesian Youth Studies dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology hal 3-20
79
sosial yang luas, seperti pola hubungan pemuda dengan orang dewasa atau orang tua.13 Di masyarakat kita, pemuda kerap disampiri beragam istilah yang sarat nilai, misalnya “pemuda harapan bangsa”, “pemuda sebagai agen perubahan”, “pemuda harus dibina,” dan sebagainya.14 Nilai-nilai yang dikonstruksikan untuk memahami pemuda seringkali menempatkannya dalam pengertian yang paradoks. Pemuda di satu sisi lekat dengan nilai positif dan harapan yang besar. Di sisi lain, pemuda juga kerap dikonstruksikan melalui pandangan negatif sebagai entitas yang belum matang, belum cukup umur, gampang naik darah, tidak disiplin, suka berbuat
aneh-aneh,
dinamis
tetapi
sering
hantam
kromo,
dan
belum
diperhitungkan dalam pengambilan keputusan di masyarakat.15 Untuk itulah, Taufik Abdullah mendorong pendefinisian pemuda tidak hanya dilihat dari kategori usia melainkan “persepsi masyarakat dan konteks historis” tentang pemuda.16 Hal tersebut senada dengan Naffs dan White (2012) bahwa “generasi” menjadi kata kunci untuk melihat pemuda dalam konteks hubungan dalam struktur sosial tertentu. Melalui pendekatan ini, pemahaman tentang “pemuda” tidak melulu terpaku pada kategorisasi usia. Menurut Margono (2011), pemuda dapat dilihat dari dua perspektif, yakni patologi dan transisi. Perspektif patologi memandang pemuda dari kaca mata orang tua, masyarakat atau lembaga Negara. Dari kacamata ini, terlihat pengaruh juga dari beberapa disiplin keilmuan. Disiplin psikologi memperlihatkan bahwa pubertas turut memengaruhi kondisi psikologis seseorang. Dari kacamata Sosiologi, fenomena ketidakpastian yang dihadapi pemuda, dalam hal ini tentang akses ekonomi berupa lapangan kerja dan kebebasan dari orang tua menjadi fokus perhatian. Dan, perspektif Antroppologi yang melihat pemuda sebagai salah satu bagian dalam proses transisi. Kendati demikian, cara pandang transisi cenderung 13
Ibid. Taufik Abdullah. 1974. Pemuda dan Perubahan Sosial. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan. hal. 1 15 Erlina. Karang Taruna Pasca Orde Baru dalam Najib Asca,dkk (ed.). 2011. Pemuda Pasca Orba: Potret Kontemporer Pemuda Indonesia. Yogyakarta:Yousure. Hal. 269; lihat juga, Saya Shasaki Siraishi. 2001. Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Politik Indonesia. Jakarta:KPG. Hal. 237; Abdullah. Op.Cit,. hal. 22-23; Hildret Geertz. 1986. Keluarga Jawa. Jakarta: GrafitiPress 16 Ibid. 14
80
melihat pemuda sebagai bentuk patologi17 Perspektif patologis memandang pemuda sebagai biang masalah. Konstruksi nilai pun diatur oleh Negara melalui pendidikan di ruang-ruang kelas. Selama Orde baru, konstruksi tentang pemuda yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sementara itu, pemuda sebagai suatu masa transisi. Kecenderungan ini pula yang lekat dengan cara pandang masyarakat kebanyakan tentang pemuda. sebagai contoh, pemuda menjadi suatu masa transisi dari anak-anak menuju dewasa; dari sekolah kemudian bekerja; dari hidup bersama orang tua kemudian berkeluarga. Implikasi dari cara pandang transisi ialah menganggap pemuda dalam posisi yang masih bergantung atau dependence. Kesamaan dua perpesktif di atas ialah bagaimana konsep gagasan tentang pemuda dilihat dari kaca mata orang tua, masyarakat, atau lembaga Negara. Cara pandang demikian mempunyai dua konsekuensi, pertama, pemuda berada dalam posisi yang rentan. Pemuda mendapat atribusi “menyimpang” dari norma dan nilai-nilai kemasyarakatan. Kedua, social exclusion atau marginalisasi terhadap pemuda berupa pemiskinan dan ketidaberdayaan.18 Pada posisi ini, kontribusi pemuda dalam pembangunan masyarakat atau partisipasinya tidak diperhitungkan. Satu lagi perspektif melihat pemuda ialah menempatkannya sebagai aktor itu sendiri. Dalam cara pandang ini, pemuda diposisikan sebagai agen yang aktif. Berbeda dengan dua perspektif di atas yang cenderung menempatkan pemuda dalam posisi yang pasif. Dalam konteks ini, pemuda melibatkan diri dalam proses perubahan, salah satunya melalui sebuah ruang partisipasi. Dalam bahasa Margono (2011), “pemuda itu sendiri yang memiliki posisi untuk menentukan siapa dia/mereka sesungguhnya dalam suatu seting sosial tertentu.”19 Setidaknya ada tiga bentuk keterlibatan pemuda, yakni keterlibatan dalam institusi politik,
17
Subando Agus Margono. 2011. Pemuda dan Transformasi Pasca Orde Baru dalam Asca. Op.Cit,. hal. 4-5 18 Erlina. Op. Cit 19 Subando Agus Margono. Op.Cit
81
keterlibatan dalam menyuarakan protes, dan keterlibatan dalam kegiatan kemasyarakatan.20 Partisipasi pemuda desa dalam radio komunitas dapat dimaknai bentuk keterlibatan pada poin ketiga. Melalui partisipasi ini pemuda dapat menunjukkan daya dan kekuatannya sebagai bagian dalam struktur sosial tertentu. Dengan demikian, pemuda dapat memberdayakan dirinya sendiri, mengembangkan kemampuan, dan mandiri. Kemudian, bagaimana memandang radio komunitas sebagai sebuah wadah partisipasi bagi pemuda desa? Atau, sebelumnya, bagaimana relasi pemuda dengan media?
E.2. Pemuda dan Akses Media Dalam sebuah teori dasar, McQuail (2005) menerangkan salah satu fungsi dari media adalah mediasi hubungan sosial. Basis asumsi yang melatarbelakangi teori tersebut ialah pertama, menurut McQuail, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam arti seragkaian simbol yang mengandung acuan makna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Kedua, media massa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang obyektif dengan pengalaman pribadi.21 Mediasi berlangsung dalam berbagai bentuk tergantung pada tingkat dan bentuk kegiatan, tujuan, interaktifitas, dan efektifitas. Mediasi mengandung banyak manifestasi kegiatan mulai dari hubungan langsung antara satu manusia dengan yang lain. Dalam konteks memediasi, media massa berperan sebagai jendela, juru bahasa, pembawa dan penyaring informasi. Dalam peran yang terakhir ini, media massa seringkali berada dalam dualitas posisi, di satu sisi, media membawa informasi yang obyektif, namun di sisi lain, media massa juga melakukan penyaringan atau menyembunyikan sebagian informasi lainnya. Kondisi ini dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
20
Erlina. Op. Cit. Dennis McQuail. 2005. Mass Communication Theories (Fifth Edition). London: Sage Publications. hal. 82-88 21
82
Secara umum, McQuail menyebutkan, media mempunyai fungsi sebagai sarana penyedia informasi, hiburan, pendidikan (sosialisasi dan kesepakatan tentang nilai dan norma sosial), dan mobilisasi.
22
Di tingkatan paling individual,
media mampu menjadi sarana pemuas rasa ingin tahu, mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai (identitas), membantu menjalankan peran sosial (interaksi sosial), dan penyaluran hasrat (hiburan).23 Cara pandang fungsionalisme tersebut biasanya digunakan untuk mengekplorasi pertanyaan mengapa, kapan dan bagaimana media, saluran dan isinya digunakan? Kepuasan seperti apa yang diharapkan? Apabila kita cermati, kajian uses and gratifications,24 melihat bahwa media massa diharapkan memberikan efek tertentu kepada audiens-nya. Dalam satu kondisi, kendati seseorang aktif memilih saluran yang dikehendaki, pola konsumsi media, yang menjadi inti kajian ini, menempatkan audiens dalam posisi pasif. Nah, salah satu kritik dilontarkan oleh Swanson (1992), kajian uses and gratifications menafikkan fakta tentang konteks besar konsumsi media, seperti ekonomi politik, struktur relasi, dan produksi.25 Dari situlah tampak relasi yang timpang aantara pemuda dengan media. Menukil Osgerby (2004) dalam bukunya Youth Media, menunjukkan bahwa pemuda diposisikan sebagai konsumen dan pangsa pasar yang potensial. Dibandingkan dengan orang tua, pemuda dianggap lebih dekat dengan media. Segala macam atribusi yang melekat pada diri pemuda menjadi pemantik menaikkan rating yang berujung pada keuntungan media. Beragam acara, mulai dari sinetron, film, ajang pencariang bakat, menampilkan pemuda dalam satu bingkai yang menarik pemujaan terhadap simbol yang bersifat konsumtif. Di sinilah, relasi pemuda dan media kadang tidak terjadi secara ideal dan seimbang.
22
Ibid. Hal 96-98 Ibid. Hal 74 24 Miller.Katherine.2001. Communication Theories: Perspectives, Procesess, and Contexts. New York:McGraw Hill. Hal.242-246 dan Griffin. Em. 2011. A First Look at Communication Theory 8th Edition. New York :McGraw Hill. hal 358 25 Ibid. 23
83
E.3. Media Komunitas Media komunitas sebagaimana diungkapkan oleh Howley (2005), merupakan bentuk langkah strategis yang mempunyai kehendak kuat dalam mengupayakan demokratisasi struktur, bentuk dan praktik media arus utama. Media komunitas diinisiasi oleh komunitas untuk membuat sistem media yang sesuai dengan keseharian mereka. Penting untuk menguatkan identitas di tengah konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan media arus utama.26 Dalam praktiknya, media komunitas dapat mewujud dalam bentuk teknologi apapun, yakni radio, televisi, surat kabar yang sesuai dengan kebutuhan komunitas. Kata “komunitas” berasal dari istilah “community” yang berarti “semua orang yang hidup di suatu tempat” dan “sekelompok orang dengan kepentingan dan ketertarikan yang sama”.27 Berangkat dari dua pengertian ini, pertama, komunitas dapat dipahami dalam sebuah skala atau lingkup geografis, seperti dusun, desa, kecamatan, atau kabupaten dimana sekelompok masyarakat hidup, mempunyai ikatan sosial. Kondisi ini terjadi dalam proses sejarah yang panjang.28 Kedua, ada juga komunitas yang ditandai karena persamaan identitas.29 Misalnya merujuk pada identitas keagamaan, suku, atau bangsa. Pengertian yang ketiga, komunitas dapat dipahami sebagai sekelompok orang yang mempunyai minat dan kepentingan yang sama. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa proses komunikasi tidak hanya terjadi dalam lingkup geografis tertentu saja. Manusia dalam perkembangannya dapat berinteraksi dengan siapapun yang tinggal di tempat yang berbeda. Terlebih dengan kemudahan akses transportasi dan komunikasi. Dari interaksi yang terus menerus menumbuhkan kesamaan ide, kepentingan, dan ketertarikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan yang lain.
26
Kevin Howley. 2005. Community Media; People, Places, and Communication Technologies. New York: Cambridge University Press hal. 2 27 Sudibyo. Op. Cit. hal 234-235 28 Mario Antonius Birowo. 2010. Community Radio and Grassroots Democracy: A Case Study of Three Villages in Yogyakarta Region Indonesia. Disertasi hal. 32-34 29 Sudibyo. Op. Cit
84
Dari ketiga definisi di atas media komunitas dapat dipahami. Tidak ada definisi tunggal untuk media komunitas. Media komunitas menitikberatkan pemenuhan kebutuhan komunitas terhadap informasi, hiburan, dan pendidikan. Beberapa aktivis media komunitas bersepakat bahwa perdebatan definisi tentang media komunitas bukan menjadi hal yang mendesak. Di sinilah, akses yang terbuka dan meningkatkan partisipasi masyarakat jauh lebih penting dalam kajian media komunitas.30 Menurut Jankowsksi (2002) sebagaimana dikutip Maryani (2011), perbedaan antara media arus utama dengan media komunitas dapat dilihat dari beberapa hal yakni hubungan antara pengirim, pesan, dan khalayak.31 Karasteristik komunitas terdiri dari: 1.) kuantitas atau volume, homogenitas atau heterogenitas, 2.) history atau age, serta kota atau desa. 3.) Karakteristika individu dapat dilihat dari latar belakang dan ikatan komunitas baik ikatan tempat (ties place), 4.) ikatan struktur (ties structure) maupun ikatan terhadap proses, sementara penggunaan media komunitas dilihat dari terpaan isi dan fungsinya.32 Selain itu, menurut Jankowski & Prehn (2002), perbedaan antara media komunitas dengan media arus utama juga dapat dilihat dari relasi yang tercipta antara media dengan khalayaknya. Berkaitan dengan media komunitas terdapat lima hubungan yang dapat dilihat berkaitan dengan media komunitas dengan khalayaknya yakni pertama, hubungan antara karakteristik komunitas dengan karaktersitik individu di dalamnya; kedua, hubungan antara karakteristik komunitas dengan landscape media komunitas; ketiga, hubungan antara landscape media komunitas dengan penggunaan media komunitas; keempat, hubungan antara karakteristik media komunitas dengan penggunaa media komunitas; kelima, hubungan antara karakteristik individu dalam komuntias dengan penggunaan media komunitas.33
30
Birowo Op. Cit Maryani. Op. Cit. hal 63 32 Ibid. 33 Ibid. 31
85
Perbedaan antar karakteristik di atas menimbulkan perbedaan pula dalam ruang penelitian yang berbeda. Arena penelitian media komunitas dapat dilihat dari paparan berikut:34 Tabel I.1: Kerangka penelitian media komunitas Organization 1. Objectives, Structure, and Ownership: - Acces, and participation - Community involvement -
Product 1. preparation
Users 1. traditional audience measure
2. Disemination
2. Etnographic reception studies
3. Activities: 3. Analysis of 3. Attention to Promotion, product engaged audience publicity - codification of Media convergance meaning Publication, - modes of programming, representasi Action (Jankowski, 2002 dalam Maryani, Op. Cit: 63)
Environment 1. Objectives Regulatory framework support mechanism media & development programs of emerging nations Media landscape: Media competition, subtitution Media convergance 3. Technological innovation Digital production & transmission Modes of representaion Internet aplication
Merujuk pada bagan di atas, penulis berusaha untuk mencari tahu poin yang pertama yaitu akses dan partisipasi. Khususnya, untuk mengetahui bagaimana pemuda dapat mengakses dan berpartisipasi langsung dalam radio komunitas. Untuk itulah, pemahaman tentang media komunitas dan gagasan partisipatif menjadi petunjuk utama untuk memahami penelitian ini. Menurut Downing (2010) sebagaimana dikutip oleh Listiorini (2012), partisipasi dalam media komunitas mencakup di dalamnya segala proses produksi hingga distribusi, baik on air maupun off air. Partisipasi di sini merujuk pada pengertian peran anggota komunitas dalam penyelenggaraan media komunitas. Pada proses inilah,
34
Ibid. hal. 64
86
setiap anggota komunitas mempunyai peran dalam menentukan bentuk, orientasi, format, dan program siaran.35
E.4. Radio sebagai Media Penyiaran Komunitas Pertama-tama saya ingin mendudukkan kenapa radio dan apa radio komunitas. Sebagai salah satu media penyiaran dan atau komunikasi massa, radio mempunyai beberapa keunggulan. Dalam wujudnya yang paling instrumental, pesawat atau transistor radio dimiliki hampir seluruh rumah tangga. Menurut Amri Jahi (1988), kepemilikan pesawat radio di negara-negara dunia ketiga, pada medio 1980-an mulai meningkat hingga tiga kali lipat dibandingkan tahun 1965. Satu hal yang mendasari peningkatan tersebut setelah ditemukannya transistor yang mendorong industri komunikasi dalam skala besar.36 Selain itu, radio juga menjadi salah satu medium komunikasi massa yang efektif menghubungkan wilayah-wilayah terpencil.37 Dari materi siarannya, radio paling dapat diterima karena menggunakan bahasa keseharian. Dalam konteks masyarakat pedesaan di jawa, yang lebih menggunakan cara komunikasi bertutur, materi siaran radio lebih mudah diterima dalam semua lapisan masyarakat. Untuk itulah mengutip David T Hill dan Krishna Sen, “radio beroperasi sebagai salah satu media massa yang paling lokal dilihat dari berbagai cara.” Brecht dalam tulisannya, “Radiotheorie” sebagaimana dikutip oleh Dede Lilis Ch dan Nova Yuliati.38 “Radio harus diubah dari alat distribusi menjadi sistem komunikasi. Radio menjadi alat komunikasi kehidupan masyarakat yang paling besar yang dapat dipikirkan, sistem saluran yang besar. Artinya, radio bertugas tak hanya mengirim/menyiarkan tetapi juga menerima. Ini mengandung 35
Dina Listyorini. 2012. Radio Komunitas Merapi Sebagai Media Gerakan Sosial Kebencaaan. Dalam Suryo Adi Pramono dan Mario Antonius Birowo (ed.). 2012. Hidup Nyaman Bersama Ancaman: Pengalaman Radio Komunitas Lintas Merapi, Klaten, Jawa Tengah. LPPM Universitas Atma Jaya: Yogyakarta 36 Lihat, Amri Jahi. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga. hal 127 37 Ibid. 38 Dede Lilis Ch & Nova Yuliati. Mengusung Radio Komunitas Sebagai Basis Kearifa Lokal. Terarsip dalam http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/files/14.Dede%20lilis%20%26%20Nova_unisba.pdf diakses pada 26 Oktober 2013
87
implikasi bahwa radio akan membuat pendengar tak hanya mendengar tetapi juga berbicara, dan tidak membuat pendengar terisolasi tetapi menghubungkannya dengan proses perubahan negara dan masyarakat” Menurut Ardianto (2005), sebagaimana yang dikutip oleh Prakoso (2009), kekuatan radio dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: Pertama, radio mempunyai kemampuan penyampaian pesan relatif lebih cepat. Kedua, melalui teknologi kecil, materi siaran radio dapat didengarkan dari berbagai belahan. Dan, ketiga, materi siaran radio lebih menarik dan hidup karena didukung oleh tiga hal yaitu musik, kata-kata, dan efek suara.39 Di atas juga sudah dipaparkan bahwa akses tidak semata-mata dipahami sebagai cara berhubungan dengan teknologi komunikasi dan informasi. Di dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, teknologi informasi tidak begitu sulit diperoleh. Hampir setiap rumah di Dusun Deles sudah memiliki televisi. Sementara, untuk telepon genggam pun bukan barang yang susah diperoleh. Dengan begitu, bisa dikatakan akses terhadap teknologi komunikasi dan informasi tidak begitu sukar diperoleh. Akan tetapi, membicangkan akses tidak cukup dipahami dengan kepemilikan perangkat teknologi. Pelajaran penting bagi masyarakat lereng Merapi ketika terjadi erupsi pada 1994 dan 2006. Pada 1994, masyarakat lereng Merapi dikejutkan oleh peristiwa Turgo yang menyebabkan puluhan orang meninggal dunia. Begitu pula pada 2006, dimana erupsi menyebabkan ratusan masyarakat harus mengungsi lebih dari dua bulan. Dua kondisi tersebut menunjukkan bahwa akses terhadap informasi tidak cukup dengan kepemilikan perangkat teknologi seperti televisi ataupun telepon genggam. Akses informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat jauh lebih penting daripada informasi yang bersifat sensasional karena urusan rating.
39
Prakoso, Rangga Hedi Seno. 2009. Fungsi Pengawasan (Surveillance) Radio Komunitas di Telinga Pendengar (Analisis Resepsi Audiens Radio Komunitas Primba FM 95 MHz Terhadap Pesan Pelestarian Lingkungan Hutan dalam Program Acara Kripik Canthir Radio Komunitas Primba FM). Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM
88
Radio komunitas menjadi relevan karena mampu menyediakan ruang bagi setiap anggota masyarakat untuk mengakses dan mengabarkan informasi. Kepedulian terhadap kondisi sosial dan ekonomi kian meningkat ketika masyarakat mampu mengakses informasi. Hal ini berbanding lurus ketika masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah dapat berpartisipasi dalam proses komunikasi dan pengambilan keputusan terhadap berbagai hal yang menyangkut hajat hidupnya. Radio komunitas memberikan stimulus masyarakat untuk mengorganisir diri.40 Tujuan pendirian radio komunitas, menurut Jankowski (2002) beragam: menyebarluaskan sumber teknologi informasi kepada masyarakat, mendukung proyek pembangunan komunitas, penyediaan informasi, atau untuk merangsang keterlibatan masyarakat di dalam aktivitas sosial serta politik setempat. Secara lebih rinci Yusuf (2013) menunjukkan karakteristik media komunitas dalam paparan sebagai berikut:41 a. Tujuan: menyajikan berita dan informasi yang relevan dan dibutuhkan oleh anggota komunitas, serta mengajak anggota masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan media komunitas. b. Kontrol dan kepemilikan dimiliki oleh komunitas c. Isi program siaran berorientasi lokal d. Produksi media dikerjakan oleh sukarelawan dan anggota komunitas e. Distribusi f. Audiens/ khalayak: lingkup audiens bersifat lokal yang jumlahnya relatif kecil, lokasinya jelas secara geografis. g. Keuangan bersifat non-komersial.
40
Fraser, Collin dan Restrepo Estrada. 2001. Community Radio Handbook. Unesco Dalam Iwan Awalludin Yusuf. Memahami Konsep Media Berbasis Komunitas terarsip dalam http://bincangmedia.wordpress.com/2013/03/31/memahami-konsep-media-berbasis-komunitas/ diakses pada 26 Oktober 2013 41
89
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Fraser & Estrada (2001), ciri-ciri dan fungsi radio komunitas meliputi42: a) Audiens sebagai pelaku utama; b) Mempunyai cara pandang khusus dalam programa siaran seperti berita, hiburan, dan pendidikan; c) prinsip utamanya terhadap akses publik dan partisipasi; d) kepemilikan bersama; e) manajemen dikelola komunitas; f) pembiayaan dikelola secara mandiri; g) inklusif; h) independen atau tidak partisan; i) merepresentasikan perbedaan di dalam komunitas. Konkritnya, radio komunitas bertujuan untuk melayani seluruh anggota komunitas. Dalam radio komunitas seorang audiens tidak sekedar dimaknai sebagai pendengar saja, tetapi juga pelaku dan penyedia informasi. Hal tersebut berkaitan erat dengan poin ketiga, dimana partisipasi dan akses publik menjadi prinsip utama radio komunitas. Kondisi tersebut dapat dimaknai sebagai kerja aktif setiap anggota komunitas dalam proses perencanaan, pengelolaan, sekaligus menjadi produser serta pengisi acara. Para anggota komunitas mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam keberlanjutan radio komunitas, termasuk dalam penyusunan jadual siaran, penyiapan materi program siaran, administrasi dan keuangan. Begitu pula, setiap anggota komunitas bebas untuk berpendapat, melontarkan kritik dan sarannya.43 Tabel I.2: Perbedaan radio komunitas dengan radio komersial Karakter Daerah
42 43
Radio Komunitas Kawasan khusus. Ruang lingkup terbatas
Radio Komersial Kota utama, jumlah populasi besar
Fraser, Collin dan Restrepo Estrada. Op.,Cit Ibid.
90
Tujuan Kepemilikan Manajemen Durasi Penyiaran Staf Penyiar Transmitter Fasilitas Sumber Dana Partisipasi Bentuk
Pengembangan komunitas Komunitas Badan komunitas media Pendek/terbatas Sukarelawan Kekuatan rendah (20-100 Watt) Sederhana Bantuan komunitas, swadaya Tinggi Demokratis, terbuka
Keuntungan Pengusaha, Politisi Direktur Utama Ekstensif/penuh Profesional/ dibayar 1 Kw- 5 Kw Canggih Iklan komersial Rendah Perusahaan
Sumber: (Pandjaitan, 1990 dalam Masduki, 2003: 88) Dalam program siaran yang meliputi berita, pendidikan, dan hiburan, radio komunitas mempunyai kekhasan. Berbeda dengan media massa arus utama, radio komunitas lebih menekankan informasi yang bertujuan untuk menjadi bagian dalam mendukung proses pembangunan komunitas. Begitu pula dalam bidang pendidikan, radio komunitas memfasilitasi proses belajar antar anggota masyarakat. Kondisi ini tentu berbeda dengan media arus utama yang lebih sering mendatangkan seorang pakar atau ahli. Sementara, dari sisi hiburan menyuguhkan berbagai hiburan ataupun kesenian yang mencerminkan ekspresi lokal.
E.5. Radio Komunitas dan Gagasan Partisipatif Satu hal yang membedakan media komunitas dengan media arus utama ialah sifatnya yang partisipatif. Birowo (2010) menunjukkan, prinsip partisipatif dalam media komunitas sebagaimana gagasan Berrigan dalam “Community Communication: the Role of Community Media in Development” adalah pola komunikasi dua arah. Menurut Berrigan sebagaimana dikutip Birowo, partisipasi memungkinkan anggota komunitas untuk turut serta dalam menentukan informasi dan agenda media dalam posisi yang setara atau sama.44 Dalam konteks radio komunitas partisipasi tidak hanya bersifat on air tetapi juga dalam kegiatankegiatan off air. Di sinilah partisipasi disandarkan pada tujuan untuk 44
Mario Antonius Birowo. Op. Cit hal 40
91
meningkatkan kapasitas komunitas. “Manajemen partisipatoris sederhananya melibatkan sebanyak mungkin warga dalam menjaga eksistensi radio agar dapat bertahan hidup dalam komunitasnya.”45 Nico Carpentier (2013) membedakan istilah partisipasi media menjadi dua: partisipasi trough dan in the media. Dalam pengertian through the media, partisipasi dalam media komunitas berupa kesempatan turut dalam perbincangan dan mengeluarkan pendapat dalam interaksi sosial. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh struktur, kultur, orientasi, dan lingkungan media komunitas itu sendiri. Sementara, partisipasi in the media berkaitan dengan proses produksi program siaran serta penentuan kebijakan organisasi.46 “participation through the media deals with the opportunities for mediated participation in public debate and for self-representation in the variety of public spaces that characterize the social [...]Participation in the media then deals with participation in the production of output (content-related participation) and in media organizational decision-making (struktural participation).” Menurut Carpentier, pengertian partisipasi in media merujuk pada pengertian partisipasi non-profesional dalam dua hal yakni produksi konten media dan pengambilan keputusan atau partispasi struktural.47 Sementara, partisipasi trough media berada dalam tataran yang lebih makro. Partisipasi through media berarti kesempatan bagi anggota komunitas untuk berpartisipasi dalam debat publik yang lebih luas serta untuk representsi diri dalam konteks publik. Dalam penelitian ini, penulis hanya akan melihat partisipasi pemuda dalam konteks mikro, yakni dalam produksi dan struktural.
45
Ibid. hal. 292 Nico Carpentier .et.al.. 2013. Waves of Media Democratization: A Brief History of Contemporary Participation Practices in the Media Sphere. Hal. 4 dan 7. Terarsip dalam http://con.sagepub.com/content/19/3/287 diakses pada 16 Mei 2013 47 Carpentier, Nico. etc. 2008. Understanding Alternatives Media. New York: McGraw Hill. Hal 11 46
92
F. METODOLOGI PENELITIAN F.1. Metode dan Jenis Penelitian Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bungin (2011: 57), pendekatan kualitatif merupakan upaya untuk memahami fenomena dan dinamika sosial hingga pada tataran ide dan gagasan.48 Menurut Taylor dan Bogdan (1984), sebagaimana dikutip oleh Hendrarso (2005: 166) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif “...menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.”49 Lebih lanjut, pendekatan kualitatif mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:50 a.) bersifat induktif, artinya mendasarkan pada logika khusus-umum, temuan-kesimpulan; b.) kontekstual, melihat manusia dalam konteks dan situasi di mana mereka berada; c.) memahami perilaku manusia dari sudut dan cara pandang mereka; d.) lebih mementingkan proses penelitian daripada hasil penelitian. Dan, sebuah penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian. Lebih lanjut, penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Kajian yang menggunakan studi kasus menurut Miller sebagaimana dikutip oleh Pawito (2007), ialah penelitian terhadap mendalam tentang satu atau beberapa komunitas, organisasi, kehidupan masyarakat, atau gejala tertentu. Pada dasarnya, studi kasus dilakukan untuk mendapatkan sesuatu dengan lebih mendalam. Itulah yang dikatakan Miller bahwa studi kasus merupakan pendekatan yang dilakukan secara intensif dan bekerja dengan detail. ”...in-depth analyses of single or few communitites, organizations, or person’s lives. They involve detailed and often subtle understanding of the social organization of everyday life and person’s live experience”.51
48
Burhan Bungin (ed.). 2011. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. Hal. 57 49 Hendrarso, Susanti Emy. Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar. dalam Suyanto, Bagong dan Sutinah (Ed.). 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana. 50 Ibid. 51 Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS
93
Menurut Robert K Yin (2003), metode studi kasus cocok untuk digunakan dalam beberapa kondisi. Pertama, apabila sebuah kasus atau fenomena sosial memunculkan suatu uji penting tentang suatu teori. Kedua, manakala suatu kasus atau fenomena merupakan hal yang langka, unik dan
menarik. Dan, ketiga,
bertujuan untuk usaha penyingkapan.52 Dalam konteks penelitian ini, studi kasus digunakan untuk memberi gambaran latar belakang dan relasi yang tercipta dalam konteks Radio Komunitas Lintas Merapi. Spesifiknya, melihat dinamika pemuda yang turut berpartisipasi sekaligus mengelaborasi peran, agensi, dan aktivisme pemuda di Deles dalam Radio Komunitas Lintas Merapi. Peneliti ingin memelajari bagaimana awal mula persentuhan pemuda dalam kegiatan di Lintas Merapi. Begitu pula dengan proses pengelolaan Lintas Merapi. Penulis percaya bahwa, proses tersebut berjalan dinamis. Dengan demikian, proses pengelolaan dan dinamika pemuda dan radio komunitas dapat dilihat sebagai bagian yang saling terkait.
F.2. Subyek Penelitian Dalam studi kasus, subyek penelitian bisa saja individu, kelompok, komunitas, lembaga, maupun masyarakat. Peneliti ingin memelajari latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang menjadi subyek. Memelajari konteks atau latar belakang penting untuk melihat sifat dan karakter pada subyek penelitian, dalam hal ini pemuda yang menjadi pegiat radio komunitas Lintas Merapi. Selain pengelolaan Lintas Merapi oleh pemuda di Deles, penelitian ini juga ingin melihat peran faktor pendukung lain yang mendorong keterlibatan pemuda dalam pengelolaan Lintas Merapi.
F.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menyesuaikan dengan kebutuhan data. Selanjutnya, data dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Untuk kebutuhan data sekunder, peneliti melakukan penelusuran dokumen berupa naskah akademik, buku, artikel surat kabar, internet, audio-visual yang berhubungan dengan pemuda dan radio komunitas. 52
Robert K Yin. 2003. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Rajawali Pers. hal 46-54
94
Sementara itu, untuk kebutuhan data primer penulis akan melakukan pengumpulan data melalui: 1. Observasi Observasi merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan data melalui pengamatan hasil kerja panca indra.53 Dalam proses observasi, kedekatan dan keakraban dengan subyek penelitian perlu dibentuk. Penulis sendiri menggunakan observasi non-partisipatif. Artinya, penulis tidak ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan subyek penelitian. Observasi bisa dilakukan sembari peneliti melakukan kegiatan wawancara. 2. Wawancara Mendalam Wawancara dapat disebut interaksi berupa tanya jawab antara peneliti dengan subyek penelitian dengan maksud mendapatkan informasi. Sementara itu, penelitian ini akan menggunakan teknik wawancara bebas terpimpin. Artinya, pertanyaan yang diajukan tidak tepatok pada pedoman wawancara. Persoalanpersoalan pokok dalam penelitian dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi di lapangan. Untuk itu, peneliti membutuhkan pedoman wawancara yang berisi garis besar pertanyaan yang akan diajukan. Dalam melakukan wawancara perlu diperhatikan pemilihan narasumber. Pemilihan narasumber menentukan relevansi dan keakuratan data yang diperoleh. Untuk pemilihan informan, subyek penelitian adalah pemuda yang menjadi penyiar di radio komunitas Lintas Merapi. Sementara, untuk sejarah radio komunitas Lintas Merapi sendiri, perlu juga wawancara dengan narasumber di luar penyiar Lintas Merapi, yakni yayasan Kappala Indonesia dan Combine Resourche Institute (CRI). 3. Dokumentasi 53
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
95
Selain Observasi dan wawancara, data penelitian atau informasi dapat diperoleh melalui bentuk-bentuk pendokumentasian. Bentuknya pun beragam, yakni catatan, arsip foto, tulisan di jurnal, dan surat kabar. Data berupa dokumen bisa digunakan untuk menggali informasi yang telah terjadi.
96