BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Film dengan tema Islam sebenarnya tidak banyak jika dibandingkan dengan keseluruhan film yang pernah diproduksi di Indonesia. Akan tetapi, jumlah konsumen potensial yang bisa ditarik dari jumlah umat Islam di Indonesia yang mencapai 207 Juta orang1, membuat para produsen film tergiur dengan keuntungan yang dijanjikan. Sebagai budaya populer, film bertema Islam kerap dianggap
tercemar
oleh
komodifikasi,
hanya
memanfaatkan
agama
untuk kepentingan berdagang belaka (Sasono, 2010). Sejak Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008) menjadi film yang meledak di bioskop Indonesia2, film-film bertema Islam kembali terpacu untuk meramaikan pasar. Sebut saja Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2009), Sang Pencerah (Hanung Bramantyo, 2010), Hafalan Shalat Delisa (Soni Gaokasak, 2011), 99 Cahaya di Langit Eropa (Guntur Soeharjanto, 2013), dan Haji Backpacker (Danial Rifki, 2014). Menurut situs filmindonesia.or.id, seluruh film tersebut masuk dalam daftar sepuluh film terlaris pada tahun ketika dirilis. Jauh sebelumnya pada era Orde Baru, tema sejarah kepahlawanan dan nasionalisme menjadi tema menarik bagi sineas, karena akan didanai pemerintah, pihak militer, serta pihak lain yang diuntungkan. Proyek terbesar tentu film Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C. Noer,1984) yang belakangan dipertanyakan kebenarannya. Isu ini memang sensitif karena sudut pandang dan cara penyampaian dalam film kurang sesuai dengan ekspektasi masyarakat yang terlibat dalam kejadian sesungguhnya, maupun pihak keluarga
korban
penumpasan PKI. Kedua tema agama dan sejarah kepahlawanan sebenarnya sudah mulai dikombinasikan sejak film Sunan Kalijaga (Shofyan Sharma, 1983), Wali Songo
1
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia pada 2010, total penduduk Indonesia mencapai 238 juta jiwa. Jumlah penganut agama Islam mencapai 87 persen atau sekitar 207 juta jiwa. 2
Ayat-ayat Cinta mendapatkan tempat ketiga terlaris (2007-2015) dengan jumlah penonton lebih dari 3,5 juta orang.
1
(Djun Saptohadi, 1985), serta Tjoet Nya‘ Dhien (Eros Djarot, 1988). Sineas Indonesia belakangan ini sedang bersemangat menulis ulang sejarahnya dalam bentuk film biopik. Dalam lima tahun terakhir sedikitnya ada tujuh film yang mengangkat tema ini, sebut saja Sang Pencerah (Hanung Bramantyo, 2010), Soegija (Garin Nugroho, 2012), Habibie dan Ainun (Faozan Rizal, 2012), Sang Kiai (Rako Prijanto, 2013), Soekarno (Hanung Bramantyo, 2013), Ketika Bung di Ende (Viva Westi, 2013), hingga yang terakhir Guru Bangsa:Tjokroaminoto (Garin Nugroho, 2015). Dua diantaranya mengisahkan sejarah tokoh besar Islam di Indonesia. Sang Pencerah menceritakan biografi K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri organisasi Muhammadiyah. Sedangkan Sang Kiai menarasikan biografi pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Hasyim Asy‘ari. Film Sang Pencerah dibuat untuk menyambut ulang tahun seabad Muhammadyah yang jatuh pada tahun 2010. Selanjutnya selama masa produksi Hanung Bramatyo sempat berwacana pula untuk membuat versi Nahdatul Ulama, namun terganjal oleh beberapa internal organisasi yang menganggap pengetahuan Hanung tentang NU masih terlalu dangkal (Wadrianto, 2011). Rako Prijanto selanjutnya mengklaim sudah melakukan riset praproduksi Sang Kiai sejak 2009 (Ichsan, 2013). Rapi Film kemudian mengucurkan dana hingga 10 Miliar rupiah untuk produksi film tandingan berjudul Sang Kiai. K.H. Ahmad Dahlan dalam Sang Pencerah (2010) digambarkan sebagai seorang tokoh Indonesia yang memberikan pencerahan dalam berbagai hal, khususnya dalam dunia pendidikan pada zamannya. Pendidikan yang didasarkan pada syariat Islam dikombinasikan dengan sistem modern. Sampai pada puncaknya K.H. Ahmad Dahlan membentuk suatu perkumpulan Islam bernama Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai wadah perjuangan. Sedangkan film Sang Kiai (2013)
menggambarkan sosok K.H. Hasyim
Asy‘ari dalam perannya memperjuangkan kemerdekaan lewat pendekatan agama. Kehadiran film ini menjadi pelengkap historiografi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang selama ini bias sudut pandang elit dalam merekonstruksi peristiwa sejarah, terutama sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini (Afif, 2013).
2
Penokohan dalam kedua film ini menarasikan kiai sebagai tokoh dengan peran yang kompleks. Tidak hanya dalam otoritasnya di pesantren, melainkan juga sebagai pemuka agama, sebagai guru, sebagai pemimpin politik, dan ideologis di lingkungannya. Sosok kiai terkadang tak lepas pula dari pengkultusan yang hiperbolis. Meskipun kedua film ini mengangkat tokoh kiai, penokohan yang terbentuk tidak lantas seragam. Tak bisa dipungkiri kedua organisasi dibelakang kedua film tersebut kerap berselisih pendapat dalam berbagai kebijakan maupun penentuan suatu hukum. Prinsip dan paradigma kedua organisasi ini pun berbeda, sehingga sedikit banyak akan berpengaruh pada bagaimana penggambaran tokoh kiai dalam kedua film tersebut. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy‘ari sebagai tokoh sejarah sekaligus tokoh agama dinarasikan dalam film dengan ‗kontras‘ yang cukup mencolok. Berangkat dari paparan di atas, peneliti hendak mengkaji lebih jauh mengenai struktur naratif yang digunakan untuk menokohkan kiai dalam film Sang Pencerah dan Sang Kiai. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah ‗Bagaimanakah struktur naratif dalam film Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013) menggambarkan tokoh Kiai?‘ C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Memetakan struktur naratif tokoh agama Islam dalam film Indonesia. 2. Menganalisis penokohan Kiai melalui struktur naratif dalam film Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013) D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan kontribusi terhadap kajian film bertemakan agama Islam di Indonesia, terutama yang berkembang pasca Reformasi 1998.
3
2. Memberikan kontribusi terhadap kajian analisis naratif struktural, terutama yang menyajikan tokoh agama sebagai bahasan pokok. E. Kerangka Pemikiran 1.
Kiai sebagai Tokoh Agama dan Politik Kiai merupakan status yang dihormati dengan seperangkat peran yang
dimainkannya dalam masyarakat. Sebagai akibat dari status serta peran yang disandangnya, ketokohan maupun kepemimpinan kiai telah menunjukkan betapa kuatnya kepribadian kiai dalam memimpin pesantren dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seorang kiai membangun peran strategis sebagai pemimpin masyarakat non-formal melalui komunikasi intensif dengan masyarakat. Posisi vitalnya di lingkungan pedesaan sama sekali bukan hal baru. Bahkan, justru sejak masa kolonial -bahkan jauh sebelum ituperan kiai tampak lebih menonjol dibandingkan dengan masa sekarang yang mulai memudar (Ziemek, 1986: 138). Melalui kharisma yang melekat padanya, kiai dijadikan imam dalam bidang ‗ubûdiyyah dan sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan problem yang menimpa masyarakat. Rutinitas ini semakin memperkuat peran kiai dalam masyarakat, sebab kehadirannya diyakini membawa berkah. Misalnya, tidak jarang kiai diminta mengobati orang sakit, memberikan ceramah agama, diminta doa untuk melariskan barang dagangan dan lain sebagainya (Soekamto, 1999:13). Sebagai implikasi dari peran yang dimainkan kiai ini, kedudukan pesantren menjadi multi fungsi. Kiai dan pesantren -khususnya di Jawa dan Madura- menduduki posisi strategis dalam masyarakat (Dirdjosanjoto, 1999: 35). Keperkasaan pesantren dimitoskan karena kharisma kiai dan dukungan besar para santri yang tersebar di masyarakat. Posisi strategis pesantren tidak dapat dilepaskan dari peranan kiai (ulama) pengasuhnya. Posisi ulama dalam Islam sangatlah penting, yakni sebagai penerus risalah nabi. Sejak masa-masa awal kerajaan Islam di Jawa, para ulama memainkan peran penting dalam pemerintahan. Menurut Harry Julian Benda dalam bukunya The Crescent and
4
The Rising Sun–sebagaimana dikutip Pradjarta Dirdjosanjoto—para penguasa yang baru dinobatkan harus banyak bersandar pada para ulama, guru mistik dan ahli kitab atau kiai, karena merekalah yang dapat menobatkan para penguasa tersebut menjadi pangeran-pangeran Islam, mengajar serta memimpin upacara-upacara keagamaan serta menjalankan hukum Islam, terutama dibidang perkawinan, perceraian serta warisan (Wahid, 1991: 5455). Clifford Geertz, menemukan adanya varian tingkat keberagamaan umat Islam di Indonesia dalam tiga kategori yakni priayi, abangan, dan santri (Geertz, 1960: 5). Peneliti dari Amerika yang meneliti di sebuah desa (Mojokuto) Kediri, Jawa Timur ini menemukan tiga varian sikap keberagamaan umat Islam di Jawa (Indonesia), bahwa kelompok abangan adalah kelompok mayoritas yang kehidupannya sangat tergantung pada ekonomi. Kelompok priayi adalah kelompok pegawaipemerintahan yang saat itu hidupnya sudah terjamin karena mendapat gaji daripemerintah Kolonial Belanda. Sementara kelomok santriyakni kelompok yang hidupnya adadi sekitar kiai atau ulama. Selain perbedaan dalam kelas pemahaman agama, perbedaan mencolok dalam Islam Indonesia terdapat dalam golongan yang berjumlah sangat banyak. Garis besarnya terangkum dalam debat mengenai Islam ‗modern‘ dan ‗tradisional‘ yang telah terjadi jauh sebelum tahun 1970-an. Kaum modernis mengakui kebebasan tertentu dalam melakukan interpretasi (ijtihad) dalam membuat keputusan mengenai hukum Islam di mana kaum tradisional bersikeras pada taqlid yang bergantung secara kritis pada akademisi Muslim besar di masa lalu (Fox, 2004: 5). Dua wilayah terbesar atas debat ini beradadalam dua organisasi Muslim terbesar di negara ini: Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Muhammadiyah terkenal dengan posisinya dalam usaha membuat Islam modern, sementara NU lebih tradisional. Meskipun demikian, baik Muhammadiyah maupun NU mendukung pembangunan meskipun memiliki cara pandang yang berbeda mengenai ajaran Islam (Epley, 2004)
5
Emha Ainun Nadjib menyatakan secara garis besar Muhammadiyah bersama Amin Rais merupkan tokoh Islam yang berjuang pada struktur kekuasaan (struktural), dengan demikian berjuang dari atas. Sementara NU bersama Gus Dur, perjuangannya justru berdasarkan pendekatan kultural, yakni berjuang dari bawah (Wahid, 1999: 86). Meskipun tak dapat digeneralisasikan
begitu
saja,
namun
pada
kenyataannya
anggota
Muhammadiyah dominan di kota besar, sementara anggota NU lebih banyak berasal dari pedesaan. Nahdhatul
Ulama
merupakan
organisasi
sosial-keagamaan
yang
berwajah tradisional dengan budaya sentral figur, dan belum memiliki budaya kepemimpinan impersonal (Wahid, 1999: 8). Kepemimpinan sentral ini berlaku pula hingga tatanan terkecil di masyarakat. Sosok kiai menjadi panutan dengan otoritas dan hegemoninya. Sedangkan Muhammadiyah yang berdiri 14 tahun sebelum NU, sudah cukup lama meninggalkan sebutan kiai bagi para pemuka agamanya. Mereka lebih suka menggunakan gelar-gelar akademis, atau sekedar menyebut Ustadz. Hal ini menunjukkan tak ada pengkultusan dalam kepemipinan Muhammadiyah, tak ada tokoh sentral serta ‗pewaris tahta‘, seperti dipraktekkan dalam tradisi kiai NU. 2.
Film Islam Indonesia Eric Sasono menyampaikan film bertemakan Islam memiliki dua pilihan
tujuan, sekedar komodifikasi agama atau Islamisasi (2011: 58). Komodifikasi agama yang dimaksud disini adalah pengalihan fungsi agama sebagai bahan dagang, sebagai komoditas yang bisa dibeli dan dijual demi keutungan (Fealy, 2007: 17). Salah satu film Indonesia yang menggunakan agama sebagai komoditas menurut Sasono adalah Ayat-ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2007). Di sisi lain komodifikasi bisa dianggap sebagai ―kebutuhan‖ bagi agama , jika pasar dilihat sebagai alat yang penting bagi agama dalam rangka bertahan dalam budaya konsumsi global kontemporer (Sasono: 2011: 58) Konsumsi ―berperan sebagai sebuah penanda identitas yang penting, sebagai penanda
6
status sosial dan afiliasi politik‖, terutama di antara ―Muslim kelas menengah baru‖ perkotaan (Hasan, 2009: 231). Ini merupakan wujud bagaimana Muslim Indonesia mencari visibilitas dan legitimasi di ruang publik nasional‖. Islam, dalam kasus ini, ditampilkan dengan cara yang menarik, segar, dan hybrid dalam rangka membuatnya sebagai sebuah alternatif yang menarik bagi budaya kapitalis perkotaan (Hasan, 2009: 238) Istilah ‗Islamisasi‘ dimaksudkan sebagai usaha untuk mengajak orang mengikuti ajaran Islam sebagai prinsip-prinsip yang mengatur individu dan kehidupan sosial politik. Bagi sebagianmuslim, Islam tidak hanya dipahamisebagai agama ritual, tetapi juga filsafat ataupun jalan hidup. Islam menyaratkan pengikutnya untuk memeluk Islam secara menyeluruh (Islam Kaafah). Definisi Islamisasi ini termasuk re-Islamisasi yang merupakan sebuah proses untuk membuat sejumlah muslim taat (Mahmudi, 2005: 76). Sasono membagi film Islam Indonesia dalam dua bagian yakni pada masa Orde Baru (1966-1998) dan pasca Orde Baru (1999-2010). Film bertemakan Islam pada masa Orde Baru dianggap sebagai salahsatu penyumbang terbesar sentimen anti-kolonial, pembangunan negara dan melawan kemiskinan. Tak tampak adanya komodifikasi pada masa ini, karena tujuan pembuatan film lebih berkonsentrasi pada penanaman ideologi dan pembangunan negara. Sedangkan pada masa pasca Soehartomuslim kelas menengah di perkotaan secara perlahan berpartisipasi dalam budaya konsumsi (Gerke, 2000). Mereka menjadi kurang melawan dan lebih bersahabat dengan budaya konsumsi. Alih-alih berfokus pada kontribusi muslim pada isu-isu politik dan sosial tertentu seperti pada masa Orde Baru, film bertemakan Islam pasca Soeharto kebanyakan berurusan dengan gaya hidup individu, seperti pencarian pasangan hidup, identifikasi diri, dan pencapaian pribadi (Sasono, 2011: 64-65). 3.
Kiai dalam Film Indonesia Kiai memiliki berbagai peran dalam penokohannya dalam berbagai film
di Indonesia. Peran posiitif
maupun peran negatif, keduanya sempat
7
disematkan dalam tokoh kiai. Peran positif pada kiai diantaranya sebagai pemuka agama, ahli magi, pemimpin politik, pimpinan perang, tabib, hingga penasihat masyarakat.
Sedangkan peran negatif yang disematkan dalam
tokoh kiai diantaranya sebagai pemimpin ideologi ekstrim yang melawan negara, sebagai pemimpin yang kolot dan menolak modernisasi, hingga peran sebagai sosok ayah yang memingit anak perempuannya atas nama agama. Kiai merupakan simbol akademisi dalam agama Islam yang sering kali digambarkan dengan penggunaan pakaian gamis panjang dan sorban. Gamis dan sorban merupakan budaya serapan dari daerah timur tengah, tempat agama Islam bermula. Pakaian ini juga merupakan simbol kewibawaan dan kehormatan sehingga meningkatkan starta sosial. Warna yang kerap digunakan adalah warna putih sebagai simbol kesucian dan kebersihan hati. Sedangkan warna hitam atau warna coklat digunakan oleh kiai yang dianggap memiliki pandangan yang berbeda atau bersebrangan dari Islam yang murni seperti Sunan Kalijaga dan Syekh Sitijenar dalam Wali Sembilan (Djun Saptohadi, 1985) Lilik Sudijo dalam Pahlawan Goa Selarong (1972), menggambarkan Pangeran Diponegoro, seorang pemuka agama Islam
yang taat,
mempromosikan pengajaran moral untuk melawan, kolonialisme maupun westernisasi yang disimbolisasi melaui adegan meminum alkohol. Alkohol yang diizinkan bagi non-muslim, digambarkan sebagai pengaruh setan bagi Muslim dalam film ini (Sasono, 2011: 61) Kiai dalam Tjoet Nja‘ Dhien (Eros Djarot, 1988) digambarkan sebagai seorang pemimpin agama sekaligus politik. Tokoh yang muncul dalam peran tersebut pada fase awal adalah Teuku Umar. Kiai atau yang dalam budaya Aceh disebut Teuku, digambarkan sebgai jenderal perang dengan pengikut yang taat mengikuti arahannya. Masyarakat juga begitu bergantung pada Teuku Umar, sehinggga saat meninggalnya, perjuangan melawan Belanda sempat surut. Sampai perjuangan akhirnya diteruskan oleh istrinya Tjoet Nja‘ Dhien yang diceritakan sepanjang film.
8
Selain itu, film horor pada masa orde baru juga menggunakan simbol keagamaan sebagai sosok pahlawan dalam bentuk pemuka agama—termasuk kiai-untuk mengatasi segala kejahatan di akhir film (Suyono & Arjanto dalam Van Heeren, 2007: 214). Peran utama dari figur keagamaan dalam film horor merupakan pengaruh dari Kode Etik Produksi Film yang dibentuk oleh Dewan Film Nasional yang tercantum di dalamnya etika tentang'film dan moral bangsa' serta 'film dalam hubungannya dengan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa‘ (Van Heeren, 2007: 214). Pasca Orde Baru penokohan kiai semakin berkembang. Penggambaran kiai yang tradisionil dan menjunjung tinggi budaya konservatif digambarkan dalam Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2008). Tokoh utamanya Annisa yang berjiwa bebas tertekan oleh ayah dan suaminya yang merupakan pemimpin pesantren salafi yang ortodoks. Dimana budaya yang mereka tanamkan pada perempuan berupa aturan kaku bahwa perempuan harus terus tinggal di rumah untuk memasak dan melayani suami. Dalam SangPencerah (2010) dan Sang Kiai (2013) penokohan kiai lebih kompleks dari sebelumnya. Menurut Eric Sasono Sang Pencerah merupakan reaksi terhadap kekosongan sosok universal dalam tokoh agama Islam Indonesia.
Serta pemuasan terhadap sekelompok kaum fanatik untuk
memaksakan model mereka (Sasono, 2010). Sang Kiai dapat dikatakan sebagai anti-tesis dari Sang Pencerah. Sang Kiai
menggambarkan sosok
muslim sosial yang mengkolaborasikan model kewarganegaraan yang mampu menggabungkan kesalehan dan ke-Indonesiaan dalam situasi yang dinamis. Namun, hal ini tidak lantas menghapus kepentingan golongan digambarkan dalam film ini. F. Kerangka Konsep Pada bagian ini akan dijabarkan proses membongkar penokohan kiai dalam film biopik yang berfokus pada dua film yaitu Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013). Pembedahan itu melibatkan aspek utama konsep struktur naratif yang telah dirumuskan Vladimir Propp yakni aksi atau perbuatan (fungsi) dan karakter
9
atau peran cerita (dramatis personae). Yaitu apa yang diperbuat (fungsi) oleh kiai (karakter pahlawan/hero) – dramatis personae). Setapak demi setapak pijakan dasar sebelum melakukan pembedahan penokohan kiai dalam film biopik Indonesia hingga proses pembongkaran akan penulis paparkan pada sub bab demi sub bab berikut ini. 1.
Mitos: Dari Sosok Mistis Hingga Media Propaganda Pada umumnya mitos dipahami sebagai cerita yang digunakan oleh
kebudayaan tertentu untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Mitos menjadi bagian dari mitologi, yang juga merupakan badan-badan atau organisasi ataukumpulan dari mitos-mitos dari budaya atau agama tertentu, misalnya mitologi Yunani dan mitologi Mesir. Definisi mitos tersebut sangat dekat dengan cerminan relasi antar mitos dan agama atau sistem kepercayaan yang erat, sebagaimana relasi mitosdengan nilai-nilai kebudayaan tertentu. Dengan demikian, mitos dapat pula didefinisikan sebagai cerita yang disucikan, yang memusatkan perhatiannya pada awal dunia serta bagaimana dunia dan makhluk-makhluk di atasnya bermunculan dan berwujud hingga saat ini. Makhluk atau esensi aktif dalam mitos-mitos pada umumnya adalah dewa-dewa dan para hero. Mitos sering kita pergunakan pula untuk melukiskan cerita yang kebenaran historisnya dipertanyakan. Karena terhadap pertanyaan bahwa mitos terjadi saat sejarah belum berawal, atau penulisan historis belum terjadi. Meskipun demikian, beberapa pemikiran sejarah menyatakan bahwa mitos-mitos dapat pula berhubungan dengan kejadian-kejadian aktual yang terinspirasi oleh makna-makna simbolis dan nilai-nilai yang tertransformasi. Hal tersebut diperkuat dengan afirmasi Roland Barthes bahwa mitos adalah kata yang dipilih oleh realitas sejarah. Mitos bagi Barthes tidak berasal dari sifat dasar dari suatu benda atau materi (Mache, 1992:20). Proses ini terjadi secara terpisah karena kejadian-kejadian yang dijelaskan oleh mitos terlepas dari konteks asli dan tersubtitusi dalam konteks yang baru melalui analogi dengan suatu kejadian yang sedang berlangsung atau baru saja terjadi.
10
Contohnya
mitos-mitos Yunani
hadir dalam
era
klasik untuk
menerangkan atau menyediakan informasi bagi hal-hal yang susah dijelaskan dalam kegiatan-kegiatan pemujaan dalam sistem kepercayaan pagannya. Mitos tentang Zeus atau Hercules adalah salah satu cara untuk memahami sistem kepercayaan mereka. Contoh lain adalah bagaimana Jepang bersama Jerman dapat memperkuat diri menjadi salah satu poros kejahatan dunia saat Perang Dunia II dengan menyatakan diri sebagai keturunan dewi Matahari dalam kepercayaan Shinto, Amaterasu. Sementara itu, Jerman melakukakan genosida, baik melalui holocaust maupun politik xenophobia pada Perang Dunia I-II karena mereka percaya kepada mitos; mereka adalah ras tertinggi dan terpilih, ras Aria. Seturut perkembangannya, mitos yang hidup dalam masyarakat kesukuan atau didistribrusikan kepada yang tradisional, bukan berarti tidak dihidupi oleh masyarakat industri modern. Dalam masyarakat industri, media massa sering dipandang memiliki fungsi yang sepadan dengan fungsi mitos (Fiske, 2005:172). Mitos memiliki tujuan untuk menyediakan model logis yang dapat mengatasi kontradikisi, menjadikan dunia lebih mudah dipahami dan dapat ditinggali, yang akhirnya membuat kita merasa damai dan nyaman (Storey, 1993:73). Media menyediakan model logis tersebut, baik melalui teks maupun informasi yangtermuat di dalamnya. Salah satu contoh mitos modern dalam media adalah presentasi mitos ―Langsing itu Sehat‖ sedangkan ―Gemuk Berpotensi Penyakit‖ melalui corong media kesehatan atau iklan obat pelangsing. Meskipun mitos memuat cerita atau kepercayaan yang susahdibuktikan kebenaran dankesalahannya, mitos tetap dibutuhkan masyarakat agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya. a. Mitos sebagai pertandaan konotatif Bagi Roland Barthes, mitos merupakan hasil tautan pertandaan (order of signification) yang kedua. Tatanan pertandaan pertama merupakan landasan kerja Saussure tentang hubungan penanda dan pertanda, yang menghasilkan makna denotatif dan atau tanda konotatif. Sedangkan, tatanan yang kedua melahirkan tanda bermakana konotatif. Konotasi
11
menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu perasaan
atau
emosi
penggunanya
dan
nilai-nilai
kulturalnya
(Fiske,2005:118). Bagan 1.1 Analisis Mitos (kombinasi dari Barthes, 2004 dan Sunardi, 2004: 316) 1. signifier
2. signified
3. SIGN (meaning) bahasa
I. Signifier
II. Signified
(FORM)
(CONCEPT)
MITOS III. Sign (SIGNIFICATION)
Bagan tersebut pernah digunakan Barthes untuk menyelidiki sebuah foto serdadu negro (signifier atau penanda) yang terpampang pada majalah Paris Match (1955). Dalam foto tersebut tampak makna denotasi atas
rekaman
momen
sesungguhnya,
serdadu
berkulit
hitam
menghormatibendera tricolor Prancis (signified atau petanda), dan menghasilkan tanda ―seorang tentara negro menghormati lambang negara Prancis‖ (sign atau tanda). Tanda pertama –tentara negro yang menghormati lambang negara Prancis– kemudian bisa diperlakukan petanda pada tahap kedua atau form. Dengan perlakuan tersebut, akan tampak petanda yang kedua berupa ―semua anak negeri di Prancis tanpa peduli ras – apakah ia dulu orang Aljazair yang pernah dijajah Prancis atau bukan mencintai ibu pertiwinya‖, yang merupakan concept. Tanda yang kemudian muncul adalah ―Kebesaran Imerialisme Prancis‖ – sehingga siapapun yang pernah dijajahnya merasa perlu mencintainya tanpa syarat– yang merupakan hasil akhir dari signification. Skema lain yang memberikan pengertian tambahan adalah bagaimana tatanan signifikansi (order of signification) merupakan hubungan antara realitas, tanda, dan budaya yang menghasilkan tanda konotatif (sebagai bentuk) dan memiliki isi berupa mitos adalah skema pemikiran Barthes.
12
Bagan 1.2 Dua pertandaan Roland Barthes (Fiskke, 2005: 122) tatanan pertama tatanan kedua realitas
tanda
kultur KONOTASI
DENOTASI
penanda petanda MITOS
b. Tokoh kiai dan kategori anomalus dalam Oposisi Biner LeviStrauss Peneliti ingin meminjam pemikiran Levi-Strauss tentang dimensi paradigmatik bahasa, yaitu sistem kategori. Pembuatan kategori-kategori konseptual dalam sebuah sistem yang merupakan hakikat pemahaman dan inti dari proses tersebut adalah penciptaan oposisi biner (binary opposition) (Fiske, 2004:161). Oposisi biner merupakan sistem dari dua kategori yang berelasi, yang dalam bentuknya yang paling murni, membentuk ke-universal-an. Oleh karenanya, konstruksi oposisi biner adalah proses memahami secara universal dan fundamental. Sebagai contoh, pemaksaan kategori-kategori berlawanan (A>
13
pula oleh peran-peran lain, maka tidak bisa memukul rata memasukkan kiai dalam ketegori manusia beragama>
<simbolik yang mengiringi pengisahan kiai dari masa ke masa. Levi-Strauss mengenalkan sebuah kategori yang disebutnya kategori anomalus. Kategori anomalus tercipta karena alam atau relaitas tidak dapat begitu saja dibagi dalam kategori mutlak yang berlawanan dan rapi, namun merupakan sebuah kontinua analogis. Di alam, tidak ada garis yang memisahkan cahaya dan kegelapan, namun yang ada adalah proses kontinyu pencahayaan dan kegelapan. Bahkan, di alam tidak ada garis jelas antara tanah dan air –lihatlah pantai, pasir apung, lumpur, dan semua kategori tersebut yang menolak oposisi biner yang teratur. Kategorikategori tersebut yang salah satunya mengambil bagian karakteristik keduanya dari oposisi biner oleh Levi Strauss dinamakan kategori-kategori anomalus (Fiske, 2004:162-163). Kategori ini tidak cocok dengan kategori-kategori oposisi biner, namun berada di antara kedua ketegori dalam oposisi biner tersebut sehingga mengaburkan kejelasan batasan keduanya. Kategori-kategori anomalus memiliki multi-makna, dan secara konseptual kuat karena meminjam karakteristik di antara dua oposisi biner. Eksesnya terjadi terhadap makna yang diambil dari dua kategori dan kemampuannya untuk menentang struktur pemahaman dasar atas sebuah kultur yang dikontrolnya –secara tipikal dapat disebut ―sakral‖ atau malah ―tabu.‖ Hal ini terjadi pada homoseksualitas sebagai kategori anomalus bagi oposisi gender yang mutlak. Homoseksualitas ditabukan karena mengancam kejelasan kategori gender bagi masyarakat kita yang memaknai identitas gender sebagai sesuatu yang penting karena dikelilingi ketabuan, baik moral maupun legal (Fiske, 2004:163). Kiai juga dapat dimasukkan dalam kategori anomalus, namun bukan karena pelanggaran oposisi alam>
14
anomalus yang dikontruksi oleh kultur atau budaya itu sendiri untuk memediasi antara dua kategori-kategori yang berlawanan. Dalam Islam, nabi terakir adalah nabi Muhammad yang telah meninggal pada tahun 632 M. Sejak saat itu Khulafaur Rasyidin, Sahabat, Tabi‘in, Tabiut Tabi‘in, Imam Madzhab, Syaikh, Habaib, Kiai dan Ulama dianggap sebagai penerus para
nabi3. Secara kultural kiai adalah
intelektual agama yang mengajarkan ilmunya kepada santri dan masyarakat. Kiai sebagai pemuka agama, bisa dikategorikan sebagai Imam dalam klasifikasi Weber. Dalam tatanan sosiologi yang dituliskan dalam Sosiologi Agama (1920) Weber menyebutkan istilah imam dapat diaplikasikan pada fungsionaris-fungsionaris dari kerja peramanen yang diorganisasikan dengan teratur untuk menyoroti cara mempengaruhi tuhan, terbalik dari upaya-upaya individu, sesekali dari ahli magi. Jabatan imam tersebut dapat diperoleh berupa hasil pewarisan atau pencapaian pribadi (Weber, 2012:147) Kiai merupakan intelektual yang menjadi panutan. Dalam budaya pesantren, ikatan antara kiai dan santri adalah ikatan serupa antara guru dan murid. Namun kiai disini berada dalam bidang yang lebih spesifik, khususnya guru etika sosial (Weber, 2012: 194). Guru seperti ini, yang penuh pemahaman baru atau penginterpretasian ulang hikmah/kearifan kuno, mengumpulkan murid-murid di sekitar dirinya, mengkonseling individu terkait masalah pribadi mereka, dan melayani bangsawan yang menanyakan solusi-solusi publik, dan memberikan usulan untuk membentuk cara-cara etis di dalam kehidupan, yang tujuan tertingginya, mempengaruhi pengkristalan regulasi-regulasi etis. Ikatan antara guru berkhidmat religius atau filosofis ini tidak lazim kuatnya, diregulasi dengan cara-cara yang otoritatif, khususnya di hukumhukum sakral Asia (Weber, 2012: 194). Di mana-mana, hubungan gurumurid diklasifikasikan di antara dua individu yang melibatkan rasa 3
―Ulama adalah pewaris nabi.‖ (HR Abu Dawud dalam Sunan no. 3641)
15
penghormatan yang tinggi. Pada umumnya, doktrin magi, yang mirip heroisme, begitu teregulasi sampai-sampai murid baru, ‗cantrik‘ atau ‗santri‘ ditugaskan mengikuti seorang guru, atau diminta mencari seorang guru berpengalaman. Imam dalam agama etik melaksanakan asistensi berupa khotbah dan penggembalaan (pastoral care)4. Khotbah merupakan kumpulan instruksi tentang isu-isu religius dan etika dimana doktrin-doktrin sakral ditanamkan. Penggembalaan dalam bentuk umumnya adalah instrumen riil imam atas kuasa, seperti yang beroperasi di seluruh dunia saat ini, dan mempengaruhi perilaku hidup dengan sangat kuat ketika agama meraih karakter etisnya (Weber, 2012: 239-241). Dengan demikian mitos kiai adalah cara suatu struktur kepercayaan religi sebagai penerus untuk menjembatani antara relasi manusia dan Tuhan, relasi antara sejarah dengan simbolik-sakral, relasi antara kenyataan dengan harapan ideal norma-norma, dan menyediakan jawaban atas pertanyaan melalui pengisahan teks naratif yang spesifik memuat relasi oposisi biner tersebut. Sebagaimana Claude Levi-Strauss meyakini terdapat struktur dalam (deep structure) peradaban dunia, yaitu antara alam (nature) dan budaya (culture) sebagai bentuk oposisi biner. Ia meminjam konsep dari Saussure tentang langue dan parole untuk menjelaskan narasi yang terkandung dalam mitos. Mitos sendiri dapat dimaknai secara konseptual sebagai sebuah teks naratif yang spesifik (konsep paroleI –narasi spesifik) dan merupakan transformasi lokal atas struktur dalam (deep structure) dari konsep oposisi biner yang penting bagi kebudayaan tempat beredarnya mitos itu (konsep langue –narasi kebudayaan universal).
4
Istilah penggembalaan dipinjam dari Kristen oleh penerjemah untuk menyingkat terjemahan. Secara umum ‗penggembalaan‘ adalah perhatian, pengayoman dan kepemimpinan yang diberikan pemimpin komunitas keagamaan ke jemaahnya seperti memberi nasihat/dukungan, menghibur, membantu dalam doa, menegur, menguatkan dan lain-lain: bak hubungan orang tua ke anak, atau gembala ke kawanan yang dipercayakan untuk dijaga dan dirawat (Catatan kaki penerjemah dalam Weber, 2012: 239)
16
Pengisahan-penulisan ulang dalam teks naratif yang spesifik (mitos) tersebut di atas berpusat pada penokohan Kiai sebagai figur utama, yakni sebagai figur religius, melalui pelbagai medium teks naratif yang disediakan kebudayaan. Secara jelas teks naratif tersebut tersaji dalam media massa yang disediakan ruang kebudayaan. Media dapat memuat teks naratif atau teks yang bercerita sesuai urutan kejadian. Media yang memungkinkan terisi oleh sekuen adalah kata-kata yang diucapkan dalam percakapan, radio, barang cetak – buku, komik, televisi, internet, dan berbagai kemungkinan media yang ada (Berger, 1997:4,14) yang tentunya film termasuk di dalamnya. Mitos yang telah disampaikan sebagai sebuah teks naratif spesifik, mewujud dalam masing-masing film objek telaah penelitian ini, yakni Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013). 2. Narasi dan Struktur Naratif a. Narasi Fisher menyatakan bahwa esensi dari sifat dasar manusia adalah menceritakan
kisah.
Sehingga
paradigma
naratif mengemukakan
keyakinan bahwa manusia adalah seorang pencerita dan bahwa pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku manusia. Manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang bagus daripada argumen yang baik. Paradigma naratif mengkonsepkan bahwa manusia adalah pencerita dan manusia mengalami kehidupan dalam suatu bentuk narasi (West, 2008). Narasi pada umumnya dikenal sebagai kisah dan cerita-cerita yang mengatakan sesuatu yang terjadi pada manusia, hewan, dan segala hal. Cerita tersebut terdiri dari sebuah sekuen atau urut-urutan kejadian dan mengandung periode waktu (Berger, 1997:4). Berger menegaskan bahwa narasi terdapat pada setiap teks yang memuat sekuen atau urut-urutan kejadian. Media dapat memuat teks naratif atau teks yang bercerita yang memuat urut-urutan kejadian. Media yang memungkinkan terisi oleh sekuen adalah kata-kata yang diucapkan dalam percakapan, radio, barang cetak--buku, komik, televisi, internet dan berbagai kemunkinan media
17
yang ada (Berger, 1997:4,14). Dalam hal ini Barthes menambahkan beberapa hal lain sebagai teks naratif. Narasi melalui ekspresi bahasa, memuat pengucapan atau penulisan, gambar diam atau bergerak, gestur dan kombinasi diantara mereka. Narasi dapat termuat dalam mitos, legenda, fabel, kisah, novel, epik, sejarah, tagedi, drama, komedi, meme dan lukisan (Barthes, 1977:79) b. Struktur naratif Groys Keraf (1982: 45), pemikir linguistik Indonesia menyatakan bahwa struktur narasi adalah sebuah hubungan fungsional satu sama lain dengan melihat unsur-unsur naratif yang terkandung di dalamnya. Struktur narasi dapat dilihat sebagai gabungan dari komponen-komponen yang membentuknya: perbuatan (aksi), penokohan, latar, dan sudut pandang. Keraf juga menempatkan plot atau alur menjadi konsep yang penting dalam struktur narasi. Menurut Keraf narasi memiliki sebuah plot atau alur yang didasarkan pada kesinambungkan peristiwa-peristiwa dalam narasi itu dalam sebuah sebab akibat. Narasi sendiri adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Keraf memberi alternatif lain, narasi adalah suatu bentuk wacana yang menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Keraf yang menyinggung adanya jalinan dan rangkaian peristiwa, menyatakan bahwa narasi juga memiliki struktur, yaitu struktur narasi yang telah disebutkan diatas (1982:136) Term struktur narasi dalam pandangan Keraf lebih tertuju pada kandungan kebendaan atau noun atas narasi. Sedangkan konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah struktur naratif sebagai sebuah kesifatan (adjective) dari narasi (naratif). Penelitian ini menggunakan konsep
struktur
naratif
yang
disepakati
oleh
pemikir
yang
menyumbangkan pikiran pada analisis naratif, seperti Arthur Asa Berger, Roland Barthes, Algirdas Greimas, dan Claude Levi-Strauss. Beberapa ahli menjelaskan bahwa sebuah struktur naratif berhubungan dengan
18
elemen struktural seperti tahap perkenalan --dimana sebuah cerita dimulai dengan pengenalan karakter dan situasi pada cerita, chorus sebagai respon terhadap kejadian atau sebuah situasi, dan coda yang mengakhiri sebuah naratif dan menghasilkan kesimpulan. Bagi Barthes struktur naratif dapat ditemukan dalam sebuah narasi yang mengandung sistem implisit yang terdiri dari unit-unit dan aturanaturan tertentu (Barthes, 1977:81). Menambahkan, Berger (1997) berpendapat bahwa struktur naratif adalah dimensi horizontal dan vertikal dari sebuah narasi. Dimensi horizontal yang dimaksudkan Berger adalah berhubungan dengan mode pembuatan alasan melalui rangkaian yang runtut, yaitu level sintagma. Sedangkan dimensi vertikal sebagai mode representasi dimana bahasa-bahasa figuratif seperti metafora dan metonimi digunakan, yaitu level paradigma (Richardson, 1990 dalam Berger, 1997:10). Dimensi horizontal adalah sumbu bahasa sintagmatik, dimana plot atau alur memegang peranan penting. Sedangkan dimensi vertikal dari naratif adalah sumbu bahasa paradigmatik, dimana bahasa figuratif mempresentasikan mitos, keberadaan antara A dan non-A dalam oposisi biner dan pilihan-pilihan unsur naratif sebagai representasi realitas sosial ideologi. c. Fungsi dan peran cerita: struktur naratif model Proppian Analisis Proppian memiliki fokus yang berbeda dengan apa yng dilakukan oleh Levi-Strauss. Analisis Proppian mencoba membongkar sintaks struktural dari sebuah karya naratif daripada mencari oposisi dan kontradiksi yang berada di bawahnya. Analisis ini lebih menaruh perhatian pada rantai kejadian yang berada dalam narasi, bukan pada paradigma akronik dalam tradisi Levi-Strauss. Dalam sebuah polemik yang memanas antara Propp dan Levi-Strauss, pemikir Rusia ini menulis ―plot has no interest fo Levi-Strauss‖ pada tahun 1966 (Stam et.al, 1998:80) Vladimir Propp menciptakan rumusan naratif yang berasal dari analogi struktur naratif yang ditemukannya dalam cerita rakyat Rusia.
19
Propp ingin menjelaskan bagaimana alur pergerakan narasi, dimana logika sebab dan akibat menghubungkan satu kejadian naratif (plot) dengan kejadian naratif yang lain. Bagi Vladimir Propp sebuah struktur naratif terdiri dari dua elemen yaitu fungsi (function) dan peran cerita (dramatis personae). Fungsi adalah perbuatan dari karakter atau peran cerita, yang ditetapkan dari sudut pandang keterkaitannya dengan rangkaian aksi. Propp membagi fungsi menjadi tiga puluh satu fungsi dimana satu fungsi memiliki peran mandiri (Stam et.al, 1998: 80-81). Salah satu contohnya adalah alpha (α) untuk situasi inisial (inisiation status) yang menjelaskan bagaimana anggota keluarga diperkenalkan atau pahlawan diperkenalkan (members of family introduced or hero introduced). Sebagai contoh yang lain adalah fungsi H (H) untuk perjuangan (struggle) dimana pahlawan dan penjahat bertarung (hero and villain join in direct combat) (Berger, 2000:46). Fungsi H dapat kita terapkan pada pertarungan (struggle) antara Batman (hero) dengan Bane (villain) dalam film The Dark Knight Rises (2012). Peran cerita dalam sebuah narasi dirumuskan Propp dalam tujuh dramatis personae yaitu sebagai pemeran cerita dalam naratif (Berger, 2000:47). Ketujuh peran ini adalah, 1. Villain (bertarung dengan hero) 2. Hero (mencari sesuatu dan bertarung dengan villain) 3. Donor (mendukung hero dengan agen atau kekuatan magis) 4. Penolong (membantu hero menyelesaikan tugas yang sulit) 5. Putri (tokoh yang dicari) Bapak dari putri (memberikan tugas yang sulit) 6. Dispatcher (mengirim hero pada misinya) 7. False hero (mengklaim sebagai hero tapi akhirnya terungkap kepalsuanya) Berger menjelaskan bahwa Propp tidak berhenti dalam pembagian tujuh dramatis personae, ia juga membagi hero dalam dua macam. Tipe pertama adalah hero yang mengorbankan dirinya pada aksi para penjahat
20
atau victim hero. Tipe kedua adalah hero yang menolong orang lain yang dicelakai, atau berkorban pada penjahat, Propp menyebutnya seeker hero (Berger, 1997:26-27) . Selain fungsi dan peran cerita, Propp menjelaskan adanya sebuah bidang aksi (spheres of action) dan pergerakan (moves) dalam konsep plot naratifnya. Ketigapuluh satu macam fungsi dan peran cerita (karakter) dapat membentuk bidang aksi. Masing-masing karakter akan memegang kendali pada bidang cerita atau bidang aksi tertentu. Bidang aksi ini terbentuk karena ada perbedaan antara peran cerita dengan karakter aktual dalam cerita. Seorang karakter mungkin saja memerankan berbagai peran cerita, misal princess bisa pula berperan sebagai helper. Atau beberapa karakter dapar mengisi satu peran cerita, misal munculnya beberapa penjahat dalam satu cerita (Stam et.al, 1998:81). Sedangkan pergerakan atau moves adalah pembagian komposisi cerita dalam sebuah set, di mana di dalamnya terdapat beberapa fungsi yang terangkai bersama yang merepresentasikan garis aksi atau cerita (plot) yang berbeda. Dengan demikian moves merupakan sebuah sekuen (sequence) bagi fungsi. Terdapat empat prinsip penting Vladimir Propp-yang merupakan hasil dari penyelidikannya atas cerita rakyat--dalam model struktur naratif yang ia kembangkan dan dapat diaplikasikan pada teks naratif (Hawkes,1977:68) yang antara lain adalah, 1. Fungsi yang dijalankan karakter-karakter adalah stabil, merupakan elemen konstan dalam sebuah cerita, mereka terisi secara independen--bagaimana dan oleh siapa mereka terisi. Mereka menyusun komponen yang fundamental dalam cerita. 2. Jumlah fungsi-fungsi yang diketahui dalam cerita rakyat adalah terbatas (Propp membuat daftar dan menganalisis satu per satu, dengan total tiga puluh satu fungsi). 3. Sekuen atau urut-urutan fungsi-fungsi selalu identik. 4. Semua cerita rakyat adalah satu tipe yang memperhatikan strukturnya.
21
G. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif yang bersifat deskriptif. Pemilihan metode kualitatif dalam penelitian ini berkaitan dengan alasan peneliti untuk menemukan jawaban dalam penelitian, apa dan bagaimana sebagaimana adanya digambarkan dalam objek (Abrar, 2005: 40). Objek dalam penelitian ini adalah teks media yang dapat dianalisis dengan mengikuti konsep Mazhab Kedua dalam studi komunikasi yang dikemukakan Fiske. John Fiske menyatakan bahwa Mazhab Kedua dalam studi komunikasi adalah memandang komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Mazhab ini disebutnya Mazhab Semiotika (Fiske, 2005: 9). Penelitian ini menitikberatkan pada pemahaman makna atas fenomena dengan objek teks media. Praktik perlakuan objek menggunakan pendekatan kualitatif yang mencoba menyepakati pemikiran Arthur Asa Berger tentang kutub Data-Free Man (kualitatif) yang vis a vis dengan Data Man (kuantitatif) dalam oposisi biner. Dalam kutub ini terdapat konsep interpretasi, makna, data kualitatif, dan memfokuskan diri pada art work (teks), teoritis dan berada pada ranah tradisi filosofis Eropa (Berger, 2000: xvii). 1.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
naratif struktural. Metode ini penulis anggap relevan untuk penelitian komunikasi karena Stam (Stam et.al, 1988:53) menempatkan analisis naratif film sebagai bagian dari studi semiotika. Ia mengemukakan bahwa analisis naratif film sebagai bagian dari studi semiotika yang berkembang pada era 70-an, sehingga ia menggolongkannya sebagai sebuah bagian integral dari semiotik. Peneliti mencoba memisahkan analisis naratif struktural dengan analisis semiotik struktural. Karena penelitian ini memusatkan pada bentukbentuk naratif, aktivitas dan struktur naratif tentunya, bukan pada hubungan petanda-penanda-tanda.
Kalaupun
terdapat
pemikiran
semiotika
atau
semiologi yang terdapat dalam penelitian ini, peneliti meminjamnya sebagai sebuah mazhab atau pemikiran yang telah disebutkan Fiske sebagai Mazhab Semiotika yang membantu peneliti untuk menelaah lebih dalam agar pisau
22
analisa semakin terasah. Penelitian ini meminjam pemikiran semiotika bukannya menggunakan metode semiotika. Analisis naratif struktural dalam penelitian ini mempergunakan dua disiplin yang dipengaruhi dua pemikir, Claude Levi-Strauss dan Vladimir Propp, sebagai sebuah kombinasi. Levi Strauss mempengaruhi penyelidikan struktur dalam (deep structure), paradigmatik dalam penelitian ini. Sedangkan penyelidikan dengan model Propp adalah cara mendasar untuk melakukan pembongkaran untuk unsur-unsur naratif dalam objek penelitian. Pembongkaran ini menyangkut tata urutan kejadian-kejadian dalam plot atau alur sebagai bentuk dasar dari progres naratif dan pembentukannya (Stam et.al, 1998: 76) dalam pembingkaian relasi sintagmantik. Sebagai alat pemaknaan mitos, peneliti memanfaatkan aplikasi mitos—sebagai orde pertandaan kedua (second order signification)—Barthes untuk menganalisis kecendrungan film tertentu dalam menggunakan fungsi Propp. 2.
Objek Penelitian Objek penelitian terdiri dari dua film biopik bertemakan agama Islam
yakni Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013). Penulis memilih kedua film tersebut mengingat beberapa alasan, di antaranya film dan konteks historis sosial politiknya yang cukup menarik sebagai teks media, tingkat kemudahan untuk mencari bahan penelitian –baik itu bahan tayangan serta data-data pendukung yang melimpah. Sedangkan perbedaan gaya pembuatan oleh sutradara dari masing-masing film yang cukup signifikan baik dari segi isi maupun estetisnya adalah referensi yang melengkapi studi. Ashadi Siregar menyatakan bahwa objek material adalah kenyataan masyarakat
yang
berkaitan
dengan
penyampaian,
penerimaan,
dan
pemanfaatan informasi berbarengan dengan itu ia juga sebagai fenomena komunikasi (Abrar, 2005: 12). Teks sebagai media adalah salah satu kenyataan yang berhubungan dengan penerimaan informasi. Dan penerimaan informasi adalah salah satu bahan studi ilmu komunikasi. Abrar (2005:40) menyebut terdapat empat jenis studi dalam ilmu komunikasi yaitu studi khalayak, studi desain dan isi pesan, studi efek dan studi media. Studi teks
23
media menempati matriks kedua, studi desain dan isi pesan. Secara khusus teks media yang akan diteliti adalah struktur naratif film Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013) Sang Pencerah disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan diproduseri oleh Raam Punjabi. Film berdurasi total 123 menit ini menceritakan tentang biografi K.H. Ahmad Dahlan dan sejarah berdirinya Muhammadiyah. Sedangkan Sang Kiai mengangkat biografi pejuang kemerdekaan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama dari Jombang, Jawa Timur yakni KH Hasyim Asy‘ari. Film berdurasi 136 menit ini disutradarai oleh Rako Prijanto dan diproduseri oleh Gope T. Samtani. 3.
Teknik Pengumpulan Data Data primer dalam penelitian ini berupa teks naratif yang diambil dari
film Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013). Data ini peneliti dapat dari dua sumber. Sumber yang pertama, didapatkan dari naskah skenario yang peneliti dapat dari produsen film. Terdapat beberapa hambatan dalam mendapatkan data dari produsen film, terutama dalam permohonan data pada produsen film Sang Kiai. Birokrasi yang rumit membuat peneliti memutuskan untuk melakukan penerjemahan penuh atas film tersebut. Kondisi sebaliknya terjadi ketika peneliti memohon data berupa skenario pada produsen film Sang Pencerah. Hanya dengan kontak melalui media sosial pada sutradara Hanung Bramantyo, peneliti bisa mendapatkan data penelitian berupa skenario film Sang Pencerah. Meskipun skenario yang didapatkan merupakan skenario draft ke-4 yang masih melalui sekian revisi sebelum menjadi skenario final5. Sementara sumber kedua didapat dari teks berupa film yang diterjemahkan langsung ke dalam susunan teks naratif. Film dibongkar 5
Draft ke-4 ini juga membuat peneliti mengetahui beberapa hal yang di hapus dari skenario film Sang Pencerah. Diantaranya yang menarik adalah adegan tentang perlawanan Dahlan terhadap tradisi kraton seperti Upacara Gunungan yang kemudian dihapuskan. Terdapat pula beberapa kalimat yang secara frontal menyudutkan kaum Islam tradisional. Salah satunya kalimat yang diucapkan seorang perempuan Belanda ketika melihat rombongan pribumi mengantarkan saudaranya berangkat haji. Perempuan itu berkata, ‖tradisi, karena tradisi ... orang Islam tidak akan pernah maju dan menjadi modern ...‖
24
hingga satuan terkecilnya yaitu scene atau adegan, kemudian diterjemahkan menjadi teks naratif. Teks naratif inilah yang kemudian dianalisis dengan metode yang sudah disebutkan di atas. Menurut Metz scene atau adegan terdiri dari lebih dari satu shot dan sifatnya lebih kronologis, kontinu, dan linier. Penandanya terbagi dalam beberapa shot berbeda, sedangkan petandanya adalah konsep mental yang berlangsung terus menerus. Adegan menawarkan ruang sementara sebagai suatu pengalaman yang terus berlangsung tanpa putus (Stam et.al, 1998: 44). Adegan yang telah diurutkan akan diberi deskripsi yang membantu analisis fungsi dan karakter, terutama aksi atau perbuatan dari karakter. Data sekunder untuk melengkapi penelitian didapatkan dengan studi pustaka. Dalam penelitian ini, studi pustaka difokuskan pada buku-buku yang membahas tentang film, kiai, organisasi agama, analisis naratif struktural dan semiotika. 4.
Teknik Analisis Data Analisis data adalah penyusunan data yang telah dikumpulkan untuk
diklasifikasikan ke dalam pola, satuan dasar dan kategori-kategori tertentu agar dapat ditafsirkan dengan memadukan konsep dan teori yang sesuai. Penafsiran yakni memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi uraian (Moleong, 2009: 280). Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap, yaitu: Analisis sintagmantik, analisis paradigmatik, serta interpretasi dan penyajian data. a. Analisis sintagmantik berdasarkan fungsi Propp Adegan-adegan yang telah tersaji dengan urutan dan aplikasi fungsinya, akan dikelompokkan dalam kelompok sekuen yang berurutan dan akan disimpulkan konklusi atau solusi naratif yang terjadi dalam urut-urutan fungsinya. Peneliti akan mencoba mendeskripsikan, apa dan mengapa struktur naratif dalam film objek memilih sebuah solusi tertentu, sementara satu atau dua fungsi bisa saja hilang dari urutan scene-nya. Sampai pada tahap ini analisis yang dipergunakan
25
adalah menggunakan pendekatan sintagmantik dengan fungsi Vladimir Propp untuk melihat lapisan atas struktur naratif yang berupa tata urutan kejadian. Tabel 1.1 Fungsi Propp (Berger, 1997: 26) Fungsi No.
Simbol
Deskripsi
Nama Fungsi
α
Initial Situation
Anggota keluarga diperkenalkan
1.
β
Absentation
Salah satu anggota keluarga tidak hadir
2.
γ
Interdiction
3.
δ
Violation
4.
ε
Reconnaissance
5.
ξ
Delivery
6.
η
Trickery
Penjahat mencoba untuk menipu korban
7.
θ
Complicity
Korban tertipu
A
Villainy
a
Lack
B
Mediation
Kesialan diketahui; pahlawan dikirim
10.
C
Counter-action
Pahlawan (pencari) setuju untuk penentangan
11.
↑
Deprature
Pahlawan meninggalkan rumah
12.
D
1st donor function
13.
E
Hero‘s reaction
14.
F
15.
G
Guidance
16.
H
Struggle
17.
I
Branding
Pahlawan diberi gelar
18.
J
Victory
Penjahat dikalahkan
8. 9.
Larangan ditujukan kepada pahlawan (bisa sebaliknya) Larangan dilanggar Penjahat berupaya untuk mendapatkan informasi Penjahat mendapatkan informasi tentang korban
penjahat menyebabkan kerugian bagi anggota keluarga; atau Anggota keluarga tidak memiliki sesuatu, menginginkan sesuatu
Pahlawan diuji, menerima agen magis atau pembantu Pahlawan bereaksi terhadap agen atau donor
Receipt of a
Pahlawan menerima fungsi agen magis
magical agent
Pahlawan memimpin pada objek pencarian Pahlawan dan penjahat terlibat pertarungan langsung
26
19.
K
Liquidation
kemalangan awal atau kelemahan dihancurkan
20.
↓
Return
Pahlawan kembali
21.
Pr
Pursuit, Chase
Pahlawan dikejar
22.
Rs
Rescue
Pahlawan selamat dari kejaran
23.
O
Unrecognized
Pahlawan, tanpa diketahui/diakui, pulang ke
arrival
rumah, atau tempat lain.
24.
L
Unfounded claims
False hero menyajikan klaim tanpa dasar
25.
M
Difficult task
Tugas sulit dibebankan pada pahlawan
26.
N
Solution
Tugas diselesaikan
27.
R
Recognition
Pahlawan diakui/dihormati
28.
Ex
Exposure
False hero atau penjahat terekspos
29
T
Transfiguration
Pahlawan diberikan penampilan baru
30
U
Punishment
Penjahat dihukum
31
W
Wedding
Pahlawan menikah, naik takhta.
b. Analisis paradigmatik dengan analisis mitos Roland Barthes Setelah menentukan fungsi-fungsi yang dipergunakan secara dominan dalam sebuah struktur naratif kedua film objek. Peneliti akan menganalisis per kategori fungsi sehingga diketahui alasan-alasan penggunaan fungsi tertentu dan kaitannya dengan sebuah mitos. Relasi itu dapat berbentuk representasi atau ekspresi figuratif (mimetik, metafora) atas konteks pembuatan kultural dari objek. Termasuk di antaranya, menampilkan shot dari sebuah scene, di mana pilihan-pilihan pengambilan gambar dan tata visual dapat mempengaruhi pemaknaan narasi. Pada tahap ini, analisis mengarah pada analisis mitos Barthes, yaitu dengan pendekatan paradigmatik. Tahap ini memungkinkan peneliti untuk mengetahui struktur naratif yang lebih dalam dari sekedar urutan fungsi. c. Interpretasi dengan oposisi biner Levi-Strauss Tahap
terakhir
adalah
melakukan
pemerasan
karakter
yang
dimasukkan dalam bagan oposisi biner Levi-Strauss yang telah disintesiskan dengan Propp untuk mendapatkan telaah yang lebih dalam
27
pada tiap karakter. Di mana kemudian diketahui mitos karakter kiai seperti yang dideskripsikan oleh penempatan kiai dalam kotak karakter tertentu. Penempatan karakter lain juga dalam kotaknya masing-masing juga diperlukan untuk menemukan relasi karakter kiai dengan karakter lain.
Bagan
ini
selanjutnya
akan
membantu
peneliti
untuk
mendeskripsikan penggambaran karakter (dramatis personae) kiai pada masing-masing film. Berikut adalah contoh skema oposisi biner hasil sintesa Propp dan Levi-Strauss, yang pernah dipraktikkan di film Star Wars: Episode IV (Aryanto, 2009:79). Bagan 1.3 Skema Oposisi Biner Propp dan Levi Strauss GOOD POWER
EVIL POWER The force
Obi Wan Kenobi
The Dark Side INTERMEDIARY/MESSENGER R2-D2 (with disc form princess)
HERO
RIVAL
VILLAIN
Han Solo
Luke Skywalker
Darth Vader
SIDEKICK
COMIC BUTT(S)
Chewbacca
R2-D2/C-3PO
HELPERS
HENCHMEN
Rebel Alliance
Imperial Strom Troopers
HEROINE
TEMPTRESS
Pricess Leia SOCIETY Inhabitans of oppressed planet like Alderan
28
BAB II PENOKOHAN DAN KEPEMIMPINAN DALAM FILM BIOGRAFI INDONESIA A. Film Sejarah sebagai Sublimasi Narasi, Sejarah, dan Biografi 1. Narasi, Sejarah, dan Biografi ―Narasi hadir pada setiap zaman, di setiap tempat, di dalam semua masyarakat‖ (Barthes, 1972) Sajian naratif menurut Elliot (2005) merupakan sebuah penataan sekuen dari suatu kejadian. Segala sekuen kejadian diolah dan diatur kembali. Ketika ditata, tiap keping kejadian luruh dalam pengisahan tertentu. Pengisahan tersebut kemudian membawa pemaknaan yang baru, utuh dan terang. Elliot menyajikan tiga perangkat kunci yang sering kali diukur dari sajian naratif, yaitu sifat kronologis, pemaknaan, dan tatanan sosial yang melingkupi, sekaligus menegaskan adanya ruang sosial di dalam sajian naratif. Kronologi ialah upaya menyusun ulang pelbagai kejadian yang diamati narator terhadap ―subjek‖ telaahannya. Subjek amatannya memiliki dimensi kehidupan yang luas. Oleh narator, kehidupan ini kemudian dipilah dalam bagian dan topik tertentu, dibekukan dalam satu fase hidupnya, dicomot sepotong kehidupannya. Potongan-potongan ini kemudian disusun secara kronologis, layaknya menyusun puzzle, agar sesuai dengan topik yang dikehendaki narator. Di sinilah subjek amatan narator menjadi sesuatu yang hidup. Bukan sekedar objek yang dicacah-cacah lalu dibentuk kembali tanpa daya dari ―objek‖ yang diamati. Subjek ialah sesuatu yang berada di dalam ruang yang dinamis, intens, dan bergerak tanpa bisa dikendalikan sepenuhnya. Pemaknaan ialah langkah penting bagi narator. Tanpa pemaknaan, narator kehilangan daya naratifnya. Semua yang dilakukan narator berfokus pada apa arti si subjek mana kala diformat ulang, mengapa harus bersusun di dalam sekuensekuen kejadian tertentu. Di sisi lain, hal ini menunjukkan temporer kehidupan subjek, yang memiliki perangkat kemanusiaan yang tak terhingga.
29
Ketakterhinggaan itu punya dasar. Tatanan sosial yang dipotret narator berada di topik tertentu. Subjek memiliki tatanan sosial dari kehidupan kemanusiaan kita. ―Kita‖ bukanlah makhluk tunggal, yang hidup dalam satu dimensi. Kemanusiaan kita bergerak ke banyak ragam kehidupan. Hal itu, dalam dunia akademis, terkait dengan ruang sosial. Tatanan sosial yang dikelola, ditafsirkan, dinarasikan narator hanyalah sebuah fragmen kehidupan objek. Ketiga hal itu menunjukkan adanya dimensi temporal dalam memahami interelasi antara kehidupan individu dan konteks sosial. Tiap produk naratif tidak bersifat mutlak, tapi berdaya sentuh sekadar momen yang dikenali (dan dikreasikan) si narator. Dan, tiap produk narator selalu menyentuh kehidupan manusia secara persona dalam ruang konteks sosial tertentu (Elliot, 2005). Narasi dan sejarah terkawinkan dalam tiga perangkat kunci yang disampaikan Elliot. Sejarah adalah sebentuk kronologi yang disusun oleh narator. Bagaimana sejarawan membentuk makna dari suatu tokoh atau sebuah peristiwa. Tatanan sosial di masa lampau yang begitu luas dipotong, dirangkai kembali, diberi sudut pandang menjadi sebentuk sejarah naratif. Istilah sejarah mempunyai bermacam-macam arti. Menurut artinya yang paling luas sejarah adalah keseluruhan masa silam umat manusia. Dalam arti yang lebih sempit, sejarah ialah masa silam umat manusia yang terekam, yaitu masa silam kehidupan umat manusia yang mewariskan peninggalan-peninggalan seperti hikayat rakyat, benda-benda kuno ataupun dokumen. Pada batasan yang sempit sejarah diterjemahkan sebagai apa yang ditulis para sejarawan mengenai masa silam (Sobur, 2014: 266). Masa lalu pada dasarnya saling berkaitan satu sama lain melintasi batasbatas kronologis dan geografis. Namun setiap narasi, sebagaimana umumnya, harus memiliki awal dan akhir. Memutuskan kapan memulai dan mengakhiri narasi adalah tugas seorang narator yang menantang. Tentu seorang sejarawan tidak menentukan pilihan awal, akhir maupun potongan cerita secara sembarangan. Sejarawan bekerja sesistematis mungkin. Mereka bahkan menggunakan pelbagai aturan yang sama dalam memilah-milah fakta seperti halnya penulis dari disiplin ilmu yang berbeda. Sebagian aturan tersebut bahkan
30
sudah dirintis sejak zaman Yunani Kuno. Nasihat Hippocrates kepada para dokter Yunani tampaknya juga berlaku untuk sejarawan masa kini: ―Dalam dunia kedokteran seseorang harus memperhatikan bukan kepada teori yang masuk akal, tetapi kepada pengalaman dan rasio secara seimbang... Saya sependapat bahwa teori mesti dibuktikan, ditetapkan bahwa ia berlandaskan pada fakta dan secara sistematis memperoleh deduksinya dari apa yang bisa diamati. Namun kesimpulan yang ditarik oleh akal semata-mata hampir tidak berguna; yang berguna hanya kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta yang bisa diamati.‖ (Starr, 1983: 331)
Penulis sejarah naratif tidak bisa tidak, akan setuju dengan pernyataan Marcel Danesi (2004) bahwa salah satu penggunaan narasi yang paling menarik adalah narasi dalam penceritaan kehidupan. Hingga paruh abad ke tujuh belas penceritaan kehidupan dalam bentuk biografi tertulis, biasanya merupakan peringatan dalam masyarakat Barat. Peringatan tersebut, menurut Danesi, dimaksudkan untuk menghukum para penjahat dan tiran, serta untuk memuliakan para pahlawan. Hal ini baru berubah pada masa Renaisans ketika Lives of the Artists karya Giorgio Vasari diterbitkan pada tahun 1560. Sejak saat itu, dimulai dari seniman, semua orang—tidak hanya para pahlawan saja—kemudian dihargai sebagai individu yang memiliki nilai intrinsiknya masing-masing (Sobur, 2014: 306). Biografi menurut Sobur (2014) meskipun sangat mikro, menjadi bagian dalam mosaik sejarah yang lebih besar. Malah, ada pendapat bahwa sejarah adalah penjumlahan dari biografi. Memang, dengan biografi dapat dipahami para pelaku sejarah, zaman yang menjadi latar belakang biografi, serta lingkungan sosial politiknya. Namun, sebenarnya sebuah biografi tidak perlu selalu menulis tentang hero yang menentukan jalan sejarah, cukup partisipan, bahkan the unknown. Permasalahan yang muncul kemudian juga tidak jauh berbeda dengan penulisan sejarah naratif dalam bentuk yang lain. Subjektivitas penulis atau tokoh yang ditulis berbaur dalam rangkaian fakta yang diungkapkan selalu menjadi cela dalam setiap bentuk susunan sejarah naratif. Sulit memang menghindari hal seperti itu. Ini pula yang cenderung dominan terlihat dalam beberapa biografi yang bermunculan belakangan ini. Umumnya dari setiap buku biografi yang
31
diterbitkan, nyaris tanpa cacat dari sosok yang dipaparkan. Begitu pula dalam bentuk mutakhirnya yaitu film sejarah dan biografi. 2. Film Sejarah dan Film Biopic Film sejarah menurut Laila S. Chudori (2015:2) adalah film yang menceritakan salah satu atau beberapa bagian terpenting dalam hidup seorang tokoh. Kalaupun ada sekilas masa kecil atau masa remaja yang disajikan, lazimnya hanya sebagai acuan yang dikaitkan dengan trauma atau obsesi tokoh untuk berbuat sesuatu yang besar ketika sudah dewasa. Film sejarah yang mengangkat tokoh hanya pada masa penting dalam hidupnya, biasanya berupaya memperlihatkan peristiwa penting tersebut melalui mata atau sudut pandang sang tokoh. Sedangkan film biopic (biographical motion picture) diartikan sebagai film layar lebar yang mendramatisasi kehidupan nyata seorang tokoh. Lazimnya film ini menyajikan kehidupan seorang tokoh—yang sering menjadi judul film—sejak lahir atau sejak kecil hingga masa tua. Chudori (2015) dalam tulisannya mengutip pengertian Dennis Bimmingham atas film biopic. Film biopic diterjemahkan sebagai sebuah film yang mengisahkan, merayakan kehidupan seorang tokoh, menginvestigasi, mempertanyakan mengapa kehidupannya penting diangkat menjadi sebuah film. Film biopic, sesuai namanya, lazimnya akan menceritakan tokoh sejak dia lahir, atau sejak masih kecil, hingga akhir hayatnya. Meskipun demikian, terdapat pula film biopic yang hanya mengisahkan episode terpenting dari seorang tokoh historis (Irawanto, 2015). Film sejarah sedikitnya terbagi menjadi dua macam bila dilihat berdasarkan narasi yang dibangun. Pertama, adalah film sejarah berdasarkan kejadian nyata. Cerita dari film ini disusun berdasarkan tokoh-tokoh serta narasi berdasarkan fakta. Kedua, film sejarah fiksional, jenis film ini sering kali menggambarkan suasana berdasarkan periode waktu yang nyata. Perbedaannya, film sejarah fiksional diisi dengan cerita tokoh-tokoh fiktif guna menambah dramatisasi. Sering kali, film yang berembel-embel ‗berdasarkan kisah nyata‘ pun tak lepas dari bumbu-bumbu fiksi sebagai pemanis cerita. Pemanis ini sering menjadi tambalan cerita karena adanya kekurangan sumber data ataupun penggabungan
32
beberapa karakter menjadi satu sosok guna meringkas penokohan. Film sejarah fiksional kebanyakan mengambil latar waktu yang sesuai dengan sejarah. Namun sesungguhnya ia tidak bertautan dengan standar akurasi sejarah. Seperti komentar Jeremy Allen terhadap film Doea Tanda Mata (Teguh Karya, 1985) , film tersebut disebut sebagai ―film yang bagus, sejarah yang buruk‖ (Irawanto, 2001: 4). Dalam penyusunan teks narasi struktural pembandingan atas validitas sejarah dalam bentuk buku dan film sering kali diperdebatkan. sering kali sejarah dalam bentuk buku dianggap lebih ‗benar‘ dibandingkan teks dalam bentuk film. Sebagian sejarawan menyangsikan akurasi film, terlalu banyak distorsi dalam sajiannya. Seperti penyajian adegan remeh-temeh yang terlalu dibuat-buat atau bahkan akurasi detail peristiwa maupun gerakan politik yang terjadi di masa lalu. Padahal, sejarah tertulis menurut Irawanto (2015) sejatinya hanyalah salah satu sudut pandang dalam merepresentasikan masa lalu dan menyusunnya dalam konteks kekinian Selain itu, pada kenyataannya film dapat menciptakan dunia sejarah tersendiri dengan unsur kepopuleran yang tak bisa ditandingi oleh buku sejarah (Irawanto, 2015: 2). Irawanto (2015: 3) kemudian juga mencoba memerdekakan film sejarah dari kekangan sejarawan dengan dalih sejarah tertulis pun sebenarnya menyimpan persoalan. Irawanto (2015) mengutip dua argumen Rosenstone berkaitan dengan film sejarah. Pertama, film bukanlah buku sejarah. Film tidak bisa melakukan apa yang dilakukan oleh buku, begitu pula sebaliknya. Karenanya, film sejarah tidak bisa diukur menggunakan standar sejarah tertulis, melainkan semestinya menggunakan ukuran medium itu sendiri. Kedua, film adalah sejarah sebagai sebuah vision. Film mengubah skala pengukuran dengan menyingkapkan ‗kebenaran‘ yang berasal dari dunia visual dan aural yang tidak dapat ditangkap oleh kata-kata. Perbedaan ini semakin mencolok ketika tema film sejarah dikerucutkan menjadi film biopic. Menurut Custen film menciptakan retorika keterkenalan (rhetoric of fame) yang tidak kita temui dalam buku sejarah (Irawanto, 2015). Kehidupan ganda (double life) kemudian, menurut Irawanto menjadi sebuah konsep yang tumbuh seiring menjamurnya film biografi. Kehidupan ganda ini
33
menjadi sebuah artikulasi ganda keterkenalan yang akan sulit ditemui dalam buku biografi tokoh sejarah. Pada tingkatan pertama, penonton terhanyut dalam narasi yang mengisahkan episode terpenting dari tokoh historis yang dikisahkan. Sedangkan pada tingkatan kedua, penonton teralihkan pada figur aktor terkenal yang tengah memerankan tokoh historis itu. Persona pemeran dalam konteks film lainnya dapat mendistorsi peran yang dimainkan. Kombinasi dari dua tingkatan penciptaan image di atas dapat membentuk sebuah image polisemik dari figur aktor pemeran film biopic. Selain itu, penelaahan film sejarah menurut Irawanto lebih tepat jika digolongkan ke dalam sejarah sebagai drama. Rosenstone dalam Irawanto (2015: 3) menyampaikan bahwa sejarah sebagai drama sesungguhnya jauh lebih lama ketimbang sebagai dokumen. Pandangan ini kemudian menyempit pada tawaran untuk melakukan penekanan pada aspek naratif ketimbang analitis dalam film sejarah. Dengan kata lain, berbeda dengan sejarawan profesional yang terus menerus melakukan refleksi terhadap penulisan histografi, pembuat film lebih menekankan kemampuan film mengimbau penonton secara emosional ketimbang mendedahkan analisa yang ketat tentang masa lalu. 3. Film Sejarah dan Biopic di Indonesia Film sejarah dan film biografi di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan dari masa ke masa. Perubahan itu selain berdasarkan teknologi yang terus berkembang, juga dari latar belakang kondisi sosial, politik, dan ekonomi pada masa pembuatan film. Selama masa Orde Lama film sejarah dibuat pada periode tatkala Republik Indonesia masih dalam taraf konsolidasi. Eros Djarot menyampaikan bahwa pada saat itu kita memang baru mencari bentuk nasionalisme Indonesia. Saat itu kita mempunyai satu pola saja—yaitu terbebas dari belenggu Belanda. Kita disatukan oleh musuh yang sama dan nasib yang sama. Sekedar dengan adanya teritori dan rakyat, maka terbentuklah nasionalisme itu. Dalam kondisi seperti itu, memang wajar kalau ha-hal yang bersifat heroik menjadi dominan. Salah satu alasannya adalah untuk membangkitkan semangat (Irawanto, 2001). Film pada masa Orde Lama juga dibuat sangat berdekatan dengan kejadian nyata yang terjadi. Bisa
34
dilihat dari film Enam Djam di Jogja (Usmar Ismail, 1951) yang dibuat setahun setelah terjadinya perkara. Pada masa Orde Baru film sejarah secara nyata dijadikan alat propaganda yang nyatanya sangat efektif membangun dan mempertahankan rezim. Seperti penjabaran Sen yang dikutip Irawanto (2001): Karena itu, film sejarah, lalu berarti film-film tentang perlawanan terhadap pemerintahan Belanda atau penjajah Jepang atau keduanya. Film-film ini juga menekankan pada perjuangan senjata ketimbang unsur-unsur lain dari perjuangan kemerdekaan. Film Sejarah dalam menggambarkan siapa yang melawan Belanda [dan siapa yang tidak melawan] bagaimana dan mengapa, menjadi pusat perhatian dalam mendefinisikan Bangsa Indonesia, nasionalisme dan kaum nasionalis.
Mengingat praktik wacana ini, pahlawan (hero) di film Indonesia digambarkan dalam cerita yang pola babaknya terdiri dari struktur tiga babak order-chaos-order (Sen, 1994). Cerita film ini dimulai dengan masyarakat yang damai dan tertib (urutan pertama), maka harmoni adalah terganggu ketika unsurunsur asing masuk ke dalam film (chaos), dan kemudian berakhir dengan pembentukan kembali order (ketertiban dipulihkan), yang biasanya melibatkan figur dari penguasa formal, seperti kepala desa (kepala desa) atau guru Islam (ulama atau kiai) atau dinas keamanan. Penting untuk dicatat bahwa dalam kode sensor Orde Baru, pemerintah dan profesi tertentu yang dianggap sebagai "mulia" (seperti guru, polisi, dan dokter) tidak boleh digambarkan sebagai karakter yang korup. Penggambaran tersebut dianggap berpotensi menurunkan citra mereka di masyarakat, dan juga ini bisa berpotensi membuat masyarakat Indonesia tidak percaya pada figur pemerintah. Keterbatasan ini memaksa pembuat film Indonesia untuk menghindari penggambaran setiap tokoh yang korup dalam otoritas formal secara umum (Sasono, 2014: 28). Perhatian khusus pada film sejarah masa Orde Baru tertuju pada film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C. Noer, 1982). Film ini merupakan wujud propaganda sejarah yang sangat kuat tertanam dalam benak masyarakat pada masa Orde baru. Selain karena kewajiban menonton pada awal rilisnya, film ini juga kemudian diputar setiap tahun di layar televisi Indonesia. Sementara pada masa pasca reformasi sendiri film biografi di Indonesia bisa dilihat sebagai wujud pencarian pemimpin yang rasanya tak kunjung memuaskan
35
berbagai golongan. Maka dibuatlah berbagai film yang menggambarkan pemimpin dalam ekspektasi masing-masing golongan, mulai dari pemimpin yang agamis (Sang Pencerah, Soegija, dan Sang Kiai), pemimpin yang menyayangi istri (Habibie & Ainun, Soekarno), para pemimpin politik dari masa kemerdekaan (Soekarno dan Guru Bangsa H.O.S Tjokroaminoto), hingga pahlawan perang (Jendral Soedirman). Tidak seperti masa sebelumnya, menurut Chudori (2015:7) film sejarah belakangan ini tidak lagi disemangati oleh dorongan pada didaktisme. Keleluasaan bagi pembuat film untuk membuat tafsir baru terhadap sejarah, bukan berarti membuat film-film sejarah belakangan menawarkan versi yang paling ―benar.‖ Lewat gambar-gambar yang memikat, skor musik yang pas, cerita yang menggugah dan seni peran yang kuat sebagian film sejarah itu mampu menyugesti para pemuda—sebagai penonton bioskop terbanyak—untuk melongok kembali ke masa lalu (Irawanto, 2015). B. Penokohan dalam Film Biografi Indonesia Penokohan dan perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh naratif, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya. Menurut Jones dalam Nurgiyantoro (1995:165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Sementara itu, menurut Sudjiman (1988:22) watak adalah kualitas nalar dan jiwa tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan. Penokohan dan perwatakan sangat erat kaitannya. Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh tersebut, sedangkan perwatakan berhubungan dengan bagaimana watak tokoh-tokoh tersebut. Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa penokohan adalah penggambaran atau pelukisan mengenai tokoh cerita baik identitas secara fisik maupun identitas secara batin oleh seorang pengarang.
36
Menurut Parker (2005) narasi adalah penampilan diri sebagai suatu kisah identitas. Riset naratif bisa membantu kita dibentuk
mengeksplorasi bagaimana diri
lewat sumber-sumber daya kultural dan bagaimana seandainya
kehidupan kita memiliki suatu bentuk yang jelas dengan identitas personal sebagai intinya. Secara sosiologis, identitas adalah ―kesadaran akan diri, kedirian, tentang sosok seperti apa dirinya itu. Identitas
selalu melibatkan persamaan dan
perbedaan‖ (Abercrombie, Hill, Turner, 2006). Ada kecenderungan untuk melihat identitas sebagai suatu yang tetap atau terberi. Sosiolog, bagaimanapun berpendapat bahwa identitas itu cair dan berubah-ubah, sehingga kita bisa mendapatkan yang baru. Konsep ini telah digunakan oleh para sosiolog dalam sejumlah konteks yang berbeda tapi saling berkaitan. Terlepas dari berbagai makna identitas tersebut, dari perkembangan psikologi naratif, kita memiliki kesempatan untuk melakukan dua hal sekaligus, yang sama-sama penting untuk menangkap relasi dialektis antara apa yang kita lakukan di dunia, dengan bahan-bahan yang kita gunakan (Parker, 2005). Pertama, riset naratif menghormati setiap kisah individual dan bentuk kehidupan apa pun yang muncul dari kisah seseorang, tentang ketidakpastian maupun kepastian. Kedua,
kita memperlihatkan bagaimana makna identitas personal
muncul sebagai ‗figur‘ yang berlawanan dengan ‗latar belakang‘ citra diri yang terberi secara kultural, dan bagaimana identitas bekerja sebagai pemuas dan penghibur alienasi. 1. Penokohan Heroes sebagai Bentuk Identitas Diri Eric Sasono dalam kajiannya telah menggambarkan identifikasi penokohan heroes dalam film aksi kelas B pada masa orde baru (2014: 44-46). Para pahlawan dalam film aksi kolonial selalu mewakili sisi lain dari stereotip sehingga wacana dapat mencerminkan hubungan kekuasaan antara penjajah dan terjajah. Dalam hal ini, praktik wacana tertuju pada "terjajah" dengan penggambaran mereka sebagai protagonis untuk membangun identitas diri. Beberapa wujud identitas untuk membangun penokohan pahlawan menurut Sasono terdiri dari empat sifat, yakni sopan santun, religius, memiliki kekuatan super, dan menjadi pahlawan rakyat.
37
Sopan dan santun di wujudkan dalam perilaku sehari-hari terhadap orang lain. Mereka digambarkan sebagai pemuda yang sopan atau perempuan yang mencium tangan orang tua, sikap khas yang melambangkan rasa hormat yang mendalam rakyat Indonesia terhadap orang tua. Pahlawan ini selalu digambarkan tanpa rambut wajah dan berpakaian dengan benar, berbeda dengan Belanda yang memiliki rambut wajah tak terurus dan pakaian yang berlebihan. Bentuk religius yang digambarkan dalam film adalah Muslim yang saleh, dan ini dapat dilihat pada atribut agama mereka, baik dalam atribut fisik mereka dan sikap mereka. Atribut-atribut Islam meliputi: membaca Al-Quran atau Hadist dalam percakapan, melakukan salat, memakai peci, dan atribut fisik lain yang berkonotasi setia kepada Islam. Atribut ini penting karena dua alasan: pertama, untuk menekankan kebajikan diri guna membenarkan tindakan pahlawan dalam melawan Belanda. Kedua, juga untuk memungkinkan penggambaran pahlawan sebagai pemimpin yang menerima popularitas secara politik, dan dukungan militer untuk perlawanan mereka. Kemampuan manusia super pada dasarnya merupakan perpanjangan dari keterampilan seni bela diri yang diperoleh oleh para pahlawan dari pelatihan yang lama. Namun, dalam beberapa film kolonial, kemampuan seni bela diri jauh melebihi kapasitas normal manusia dan di luar penjelasan teknis, seperti memiliki tubuh anti peluru atau bahkan bisa berubah bentuk. Di Jaka Sembung (Samtani & Putra, 1981), musuh lokal, tentara bayaran yang disewa oleh Belanda, juga memiliki kemampuan khusus, seperti kekuatan untuk melemparkan mantra sihir atau pukulan begitu kuat sehingga dapat membunuh banteng mengamuk dalam satu pukulan. Kekejaman dan keserakahan para penguasa kolonial (dan kolaborator mereka) menyebabkan penderitaan rakyat. Di situlah pahlawan selalu ada untuk membela mereka dari kekejaman dan kekasaran kolonial. Pahlawan ini merampok orang kaya, terutama tuan tanah yang memiliki banyak properti dan lahan pertanian, dan mendistribusikan barang jarahan kepada masyarakat. Mereka membela yang lemah dari pelecehan dan intimidasi. Mereka adalah pahlawan rakyat. Ini membuat orang mencintai mereka dan rela mengorbankan diri mereka
38
setiap kali mereka dibutuhkan. Orang-orang ini benar-benar percaya bahwa perlawanan pahlawan adalah untuk kepentingan mereka terlepas dari proses pelecehan menyakitkan dari pasukan kolonial yang kadang-kadang harus mereka derita. 2. Kiai dalam Film Indonesia Kiai memiliki berbagai peran dalam penokohannya dalam berbagai film di Indonesia. Peran positif maupun peran negatif, keduanya sempat disematkan dalam tokoh kiai. Peran positif pada kiai di antaranya sebagai pemuka agama, ahli magi, pemimpin politik, pimpinan perang, tabib, hingga penasihat masyarakat. Sedangkan peran negatif yang disematkan dalam tokoh kiai di antaranya sebagai pemimpin ideologi ekstrem yang melawan negara, sebagai pemimpin yang kolot dan menolak modernisasi, hingga peran sebagai sosok ayah yang memingit anak perempuannya atas nama agama. Kiai merupakan simbol tokoh terpelajar dalam agama Islam yang sering kali digambarkan dengan penggunaan pakaian gamis panjang dan sorban. Gamis dan sorban merupakan budaya serapan dari daerah Timur Tengah, tempat agama Islam bermula. Pakaian ini juga merupakan simbol kewibawaan dan kehormatan sehingga meningkatkan strata sosial. Warna yang kerap digunakan adalah warna putih sebagai simbol kesucian dan kebersihan hati. Sedangkan warna hitam atau warna coklat digunakan oleh kiai yang dianggap memiliki pandangan yang berbeda atau berseberangan dari Islam yang murni seperti Sunan Kalijaga dan Syekh Sitijenar dalam Wali Sembilan (Djun Saptohadi, 1985) Lilik Sudijo dalam Pahlawan Goa Selarong (1972), menggambarkan Pangeran Diponegoro, seorang pemuka agama Islam yang taat, mempromosikan pengajaran moral untuk melawan, kolonialisme maupun westernisasi yang disimbolisasi melalui adegan meminum alkohol. Alkohol yang diizinkan bagi non-muslim, digambarkan sebagai pengaruh setan bagi Muslim dalam film ini (Sasono, 2011: 61). Kiai dalam Tjoet Nja‘ Dhien (Eros Djarot, 1988) digambarkan sebagai seorang pemimpin agama sekaligus politik. Tokoh yang muncul dalam peran tersebut pada fase awal adalah Teuku Umar. Kiai atau yang dalam budaya Aceh
39
disebut Teuku, digambarkan sebagai jenderal perang dengan pengikut yang taat mengikuti arahannya. Masyarakat juga begitu bergantung pada Teuku Umar, sehingga saat meninggalnya, perjuangan melawan Belanda sempat surut. Sampai perjuangan akhirnya diteruskan oleh istrinya Tjoet Nja‘ Dhien yang diceritakan sepanjang film. Film horor pada masa orde baru menggunakan simbol keagamaan sebagai sosok pahlawan dalam bentuk pemuka agama untuk mengatasi segala kejahatan di akhir film (Suyono & Arjanto dalam Van Heeren, 2007: 214).Peran utama dari figur keagamaan dalam film horor merupakan pengaruh dari Kode Etik Produksi Film yang dibentuk oleh Dewan Film Nasional yang tercantum di dalamnya etika tentang ‗film dan moral bangsa‘ serta film dalam hubungannya dengan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Van Heeren, 2007: 214). Pasca Orde Baru penokohan kiai semakin berkembang. Penggambaran kiai yang tradisionil dan menjunjung tinggi budaya konservatif digambarkan dalam Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2008). Tokoh utamanya Annisa yang berjiwa bebas tertekan oleh ayah dan suaminya yang merupakan pemimpin pesantren salafi yang ortodoks. Di mana budaya yang mereka tanamkan pada perempuan berupa aturan kaku bahwa perempuan harus terus tinggal di rumah untuk memasak dan melayani suami. Dalam Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013) penokohan kiai lebih kompleks dari sebelumnya. Menurut Eric Sasono (2010) Sang Pencerah merupakan reaksi terhadap kekosongan sosok universal dalam tokoh agama Islam Indonesia. Sang Kiai dapat dikatakan sebagai anti-tesis dari Sang Pencerah. Meskipun dalam hal kepentingan golongan kedua film ini memiliki intrik yang sama, Sang Kiai menggambarkan sosok muslim sosial yang mengolaborasikan model
kewarganegaraan
yang
mampu
menggabungkan
kesalehan
dan
keindonesiaan dalam situasi yang dinamis. Penokohan Kiai dalam kedua film ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab IV dari penelitian ini.
40
C. Kepemimpinan Kiai 1. Definisi Kepemimpinan dan Kiai Ada dua unsur kata yang akan didefinisikan secara terpisah, yaitu kepemimpinan dan kiai. Definisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya (Rivai, 2003). Berbagai definisi kepemimpinan sudah dipaparkan oleh para ahli dari Barat seperti Koonts dan O‘Donnel (1958: 429) bahwa kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan pengaruh interpersonal, melalui komunikasi, kearah pencapaian tujuan. Sedangkan
GR
Terry
(1972:
458)
memberikan
batasan
bahwa
kepemimpinan adalah hubungan di mana satu orang pemimpin mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama dengan rela pada tugas-tugas terkait untuk mencapai apa yang diinginkan. Batasan-batasan di atas mencerminkan bahwa menyangkut sebuah proses pengaruh sosial yaitu pengaruh yang disengaja dijalankan seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan dalam sebuah kelompok atau organisasi. Dengan demikian, kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pimpinan dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari komunikasi interaktif antara pemimpin dan yang dipimpin (Kartini Kartono,1990: 5) Istilah kiai dalam bahasa Jawa mempunyai pengertian yang luas. Ia berarti mencirikan benda maupun manusia yang diukur dalam sifat-sifatnya yang istimewa, sehingga karenanya, sangat dihormati. Misalnya, empu dikatakan sakti bila sanggup memasukkan kesaktian pada keris buatannya. Keris-keris semacam itu dijuluki atau diberi predikat kiai (Ziemek, 1986: 131). Senjata dan bendabenda keramat yang berkekuatan gaib ini selalu dipuja dan diwarisi sebagai sumber kekuatan gaib (pusaka). Bahkan, turun dan lenyapnya kekuasaan sosial politik selalu diterangkan dengan hilangnya pusaka atau karena mengabaikan upacara-upacara
yang
diperlukan
untuk
memelihara
kesaktian
tersebut
(Moebirman, 1970: 34). Dalam konteks kebudayaan Jawa, menurut Susanto
41
(2007: 33) gelar kiai juga diberikan kepada laki-laki yang berusia lanjut, arif dan dihormati. Tidak hanya dalam agama Islam, bahkan dalam penyebaran agama Kristen, sebutan kiai juga dipakai untuk beberapa pengabar Injil pribumi, guna membedakannya dengan pengabar Injil Barat (Guillot, 1985). Kadar semantik dari istilah kiai di sini mencakup komponen tradisional Jawa secara mutlak, termasuk pemimpin pesantren. Gelar tersebut berada dalam kesinambungan tradisional dan mencakup arti dimensi kerohanian masyarakat yang memiliki kesaktian, misalnya sebagai dukun atau ahli kebatinan dan guru maupun pemimpin di daerah yang berwibawa dan memiliki legitimasi atas wewenangnya berdasarkan kepercayaan penduduk. Meskipun demikian, pengertian kiai dalam konteks Indonesia modern telah mengalami transformasi makna, yakni diberikan kepada pendiri dan pemimpin sebuah pondok pesantren yang membaktikan hidupnya demi agama serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan. Oleh karenanya, predikat kiai senantiasa berhubungan dengan suatu gelar yang menekankan kemuliaan dan pengakuan yang diberikan secara sukarela kepada ulama dan pemimpin masyarakat setempat sebagai sebuah tanda kehormatan bagi kehidupan sosial dan bukan merupakan suatu gelar akademik yang diperoleh melalui pendidikan formal (Ziemek, 1986: 131). Predikat kiai dapat disematkan oleh masyarakat maupun di wariskan. Menurut Turmudi (2004: 30-32) di wilayah Madura, kiai merupakan gelar yang diwariskan secara genealogis. Sulit bagi seorang santri terpelajar untuk mendapatkan predikat kiai jika tidak berasal dari keluarga kiai. Berbeda dengan Madura, di Jawa predikat kiai bisa didapatkan tanpa garis keturunan. Pengangkatan kiai di daerah-daerah ini lebih didasarkan pada pengakuan sosial. Sehingga di lingkungan pesantren sistem pewarisan gelar pun dikombinasikan dengan orientasi pada prestasi. Seorang kiai yang sudah tua bisa saja menikahkan anak perempuannya dengan santrinya yang terpilih jika memang dianggap tidak ada penerus yang lebih pantas. Santri ini akan mendapatkan predikat kiai, meskipun ia tidak memiliki keturunan kiai.
42
Dalam konteks ini, perlu dikemukakan bahwa kiai dan ulama adalah gelar ahli agama Islam, yang dalam kepustakaan Barat, perbedaan antara dua jenis keahlian ini menjadi kabur dan sering tertukar penggunaannya. Padahal, keduanya sungguh berbeda pada titik status dan pengaruhnya. Dalam pandangan masyarakat Jawa, posisi kiai lebih tinggi daripada ulama. Seorang ulama dengan seluruh persyaratan yang diperlukan pada suatu waktu mungkin berhasil meningkat ke posisi kiai (Horikoshi, 1987:1-3). Sementara ustaz biasanya memiliki pengaruh lokal yang terbatas (Turmudi, 2004:31) lebih rendah dari ulama dalam hal keilmuan dan jam terbang. Juga lebih rendah dari kiai karena tidak memiliki pesantren. Dengan pengertian tersebut, perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud kiai dalam kajian ini adalah pemimpin Islam yang dipandang masyarakat mempunyai kharisma, baik sebagai pemimpin pesantren atau bukan. Memang, tidak semua kiai memiliki pondok pesantren. Ada pula kiai yang mengajarkan agama dengan cara berceramah dari desa ke desa untuk berfatwa kepada masyarakat luas. Kiai jenis ini, dijuluki sebagai kiai teko. Para kiai penceramah ini diibaratkan seperti teko berisi air dan senantiasa menuangkannya kepada setiap orang yang membutuhkan. Sedangkan julukan kepada kiai yang memiliki pesantren disebut dengan kiai sumur (Sukamto, 1999: 85-86). Kepemimpinan kiai, sering diidentikkan dengan atribut kepemimpinan kharismatik. Dalam konteks tersebut, Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa kiaikiai pondok pesantren, merupakan sosok penting yang dapat membentuk kehidupan sosial, kultural dan keagamaan warga muslim di Indonesia (1970: 114). Pengaruh kiai terhadap kehidupan santri tidak terbatas pada saat santri masih berada di pondok pesantren, akan tetapi berlaku dalam kurun waktu panjang, bahkan sepanjang hidupnya, ketika sudah terjun di tengah masyarakat. 2. Kepemimpinan sebagai Kharisma dan Jabatan Mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mengarahkan perilaku orang lain untuk mencapai tujuan (Haiman, 1971: 228)
bermakna bahwa
pemimpin memerankan fungsi penting sebagai pelopor dalam menetapkan struktur, keadaan, ideologi dan kegiatan kelompoknya. Sehubungan dengan ini,
43
terdapat dua perspektif dikutip dari Susanto (2007: 33) dalam memahami fenomena kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang ada dalam diri individu. Hal ini berarti aspek tertentu dari seseorang telah memberikan suatu penampilan berkuasa dan menyebabkan orang lain menerima perintahnya sebagai sesuatu yang mesti diikuti. Ia diyakini memperoleh bimbingan ―wahyu‖, memiliki kualitas yang dipandang sakral dan menghimpun massa dari masyarakat kebanyakan. Dalam perspektif Max Weber, kepemimpinan yang bersumber dari kekuasaan luar biasa disebut charismatic authority (Weber, 1966: 358) yang didasarkan pada identifikasi psikologis seseorang dengan orang lain. Identifikasi di sini dimaknai sebagai keterlibatan emosional seorang individu dengan individu lainnya. Bagi para pengikut, pemimpin adalah harapan untuk suatu kehidupan yang lebih baik dan dia dipandang sebagai pelindung dan penyelamat. Pemimpin kharismatik biasanya lahir dalam suasana masyarakat yang kacau. Suasana seperti ini memerlukan pemecahan tuntas agar keadaan masyarakat kembali normal. Untuk itu, memang diperlukan kehadiran figur yang dipandang sanggup menyelesaikan krisis tersebut. Dalam konteks demikian, tidak heran, bila proses kepemimpinan kharismatik hampir mendekati otoriter, kurang mengandalkan unsur musyawarah, rasional dan legal formal, meskipun bisa saja, ia berjiwa demokratis. Kepemimpinan jenis ini banyak terdapat pada masyarakat tradisional, suatu tipe masyarakat yang cenderung memiliki homogenitas tinggi, kepercayaan sama, pandangan hidup dan nilai budaya serta gaya hidup yang hampir sama pula. Homogenitas tersebut dapat menciptakan kesadaran kolektif, persamaan gaya hidup, hubungan langsung antar anggota masyarakat dan tidak adanya distribusi kerja impersonal (Johnson, 1986: 81-82). Masyarakat dengan tipe demikian mudah disatukan oleh pengaruh yang bercorak kharismatis. Kedua, bentuk kepemimpinan terletak bukan pada diri kekuasaan individu, melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang oleh individu. Dalam perspektif Weber, kekuasaan yang bersandar pada tata aturan disebut sebagai
44
legal authority. Pola aturan normatif dan hak memerintah dari pemimpin yang terpilih berdasarkan pola aturan yang sah. Sehubungan dengan ini, Richard N. Osborn (1984: 245) menyatakan landasan hukum akan mendominasi karena terkonsentrasi pada efisiensi dan rasionalitas ilmiah. Dalam legal authority, sosok otoritas dapat mendominasi pengikutnya hanya dengan prosedur hukum pada umumnya. Otoritas legal diwujudkan dalam birokrasi organisasi. Tanggung jawab pemimpin dalam mengendalikan organisasi tidak ditentukan oleh penampilan kepribadian individu melainkan dari prosedur aturan yang telah disepakati. Unsur-unsur emosional dikesampingkan dan digantikan dengan unsur yang rasional. 3. Kiai dan Relasi Patron-Klien Di Indonesia peran kiai cukup berpengaruh dalam kehidupan baik di bidang sosial, ekonomi maupun politik. Kiai adalah tokoh yang mempunyai posisi yang strategis dan sentral dalam masyarakat. Posisi mereka itu terkait dengan kedudukannya sebagai orang terdidik dan kaya dalam masyarakat. Sebagai orang terdidik kiai memberikan pengetahuan Islam kepada para santri. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional adalah sarana penting untuk melakukan transfer pengetahuan terhadap para santri. Dengan kekayaan yang dimilikinya kiai menjadi patron kepada siapa santri bergantung. Posisi sentral kiai dapat dilihat dalam pola patronase ini, terutama kalau pola ini menghubungkan dan mengikat kiai dengan para santri atau siswanya. Hubungan Patron-Klien adalah sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan dyadic (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan instrumental di mana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk menyediakan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Pada gilirannya, klien membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi, kepada patron (Scott,1993:7). Hubungan Patron-Klien ini sangat terlihat di lingkungan pesantren. Keberadaan kiai dengan posisinya sebagai elite agama, memiliki peran khas di pondok pesantren maupun di tengah-tengah
45
masyarakat, yaitu sebagai pemimpin spiritual. Hubungan antara kiai dengan santrinya bersifat emosional, dalam jarak yang dekat, membentuk hubungan bapak-anak, di mana pemberi dan penerima nasehat mampu membentuk ikatan yang kukuh. Pola hubungan seperti ini akan melahirkan sikap-sikap loyal dan kepatuhan yang tinggi kepada sang kiai. Para jamaahnya melihat kiai sebagai sosok manusia yang berilmu, pewaris nabi, contoh teladan dalam kehidupan, tempat bertanya, penolong lewat bantuan doanya yang dianggap sebagai berkah. Terdapat dua pola hubungan antara kiai dan santri. Pertama, pola hubungan Otoriter-Paternalistik, yang berupa pola hubungan antara pimpinan dan bawahan (Patron-Client Relationship). Kedua, pola hubungan laissez faire, yaitu pola hubungan kiai-santri yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas, semuanya didasarkan pada restu kiai. Selama memperoleh restu dari sang kiai, sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan. Santri ikhlas menjalankannya dan berharap mendapatkan barakah dari kiai (Haedari, 2004:61).
46