BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia memiliki kewajiban pada warga negaranya untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada warga negara lainnya tanpa
terkecuali
termasuk
Anak
Berkebutuhan
Khusus
(ABK).
Anak
berkebutuhan khusus yang dimaksud adalah anak yang membutuhkan pelayanan khusus dalam mengikuti pendidikan. Seperti yang terkandung dalam UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal. 5 dinyatakan sebagai berikut: Ayat (1): Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ayat (2): Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3): Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Ayat (4): Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Berdasarkan pasal yang telah dijelaskan
tersebut, pendidikan tidak
membedakan jenis kelamin, suku atau ras, tingkat ekonomi dan tidak terkecuali untuk anak berkebutuhan khusus. Setiap warga negara termasuk anak berkebutuhan khusus berhak mendapatkan pendidikan agar potensi dalam setiap individu ini dapat dikembangkan sesuai dengan kemampuan dan minat yang dimiliki, sehingga mampu turut serta berperan dalam masyarakat. Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang membutuhkan pelayanan khusus dalam pendidikan karena memiliki hambatan. Hal ini sejalan dengan pendapat Yusuf dan Choiri (2009) yang berpendapat “Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan. Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak” (hlm.7). 1
2 Anak berkebutuhan khusus memiliki beberapa klasifikasi, yaitu anak dengan gangguan pengelihatan (tunanetra), anak dengan gangguan pendengaran dan/ wicara (unarungu), anak dengan kelainan kecerdasan dibawah rata-rata (tunagrahita), anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa (gifted and talented), anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa), anak dengan gangguan prilaku dan emosi (tunalaras), anak dengan gangguan belajar spesifik (specific learning disability), anak lamban belajar (slow learner), anak autis ( Abdul Salim & Munawir Yusuf, 2009: 8-9). Dalam penelitian ini, peneliti mengambil subjek anak terbelakang mental. Anak terbelakang mental atau istilah resminya di Indonesia disebut tunagrahita, yaitu anak-anak dalam kelompok dibawah normal dan/atau lebih lamban belajar dari pada anak normal, baik perkembangan sosial, maupun kecerdasannya. Tunagrahita mengacu pada fungsi intelek umum yang nyata berada dibawah ratarata bersamaan dengan kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung dalam masa perkembangan. Sedangkan Ardhi berpendapat “Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidak mampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Ia juga menyatakan, kesulitan utama yang dihadapi oleh anak tunagrahita adalah dalam Perhatian, Pengolahan pemikiran, memori (ingatan), Generalisasi, persepsi dan keterampilan perilaku adaptif” (2013 :26-27). Anak tunagrahita memiliki hambatan dalam perkembangan intelegensi yang mengakibatkan ia mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa. Seperti yang diungkapkan Maslim., Smith, et al,. dalam Delphie, (2006: 66) bahwa “anak tunagrahita mempunyai keterlambatan pada berbagai tingkat dalam pemahaman dan penggunaan bahasa”. Anak tunagrahita sering menceloteh dengan bahasa yang tidak tepat, bahkan tidak jelas apa maksudnya. Anak tunagrahita juga memiliki kemampuan yang kurang dalam merangkai kalimat dengan benar dan sering kali dalam berbahasa Indonesia anak menyisipkan bahasa daerahnya. Kenyataan yang dihadapi oleh anak yaitu bahwa pengajaran bahasa Indonesia yang diberikan oleh guru masih kurang mengarah pada kemampuan berbahasa.
3 Guru hanya melihat perkembangan anak dari segi teoritik saja dan tidak mengarah kedalam penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Melihat kenyataan tersebut guru sebagai seorang pendidik dan pembimbing dalam pelajaran bahasa Indonesia hendaknya dapat mengarahkan pada komunikasi yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai bekal anak dalam kehidupan bermasyarakat. Kemampuan berbahasa anak tunagrahita yang terbatas ini mengakibatkan anak tunagrahita sulit menerima informasi dan memahami isi cerita bahasa Indonesia. Untuk menerima dan memahami isi cerita bahasa Indonesia diperlukan keterampilan berbahasa. Henry G Tarigan (2008: 2) mengemukakan bahwa keterampilan berbahasa (language arts, language skills) dalam kurikulum di sekolah biasanya mencakup empat segi, yaitu menyimak (listening skill), berbicara (speaking skill), membaca (reading skill), dan menulis (writing skill). Dari keempat keterampilan tersebut, menyimak merupakan keterampilan berbahasa awal yang dikuasai oleh manusia. Sebagai bagian dari keterampilan berbahasa, kegiatan menyimak sama pentingnya dengan keterampilan bahasa lainnya. Oleh karena itu, penguasaan kemampuan menyimak harus dimiliki oleh siswa tanpa terkecuali termasuk siswa tunagrahita. Salah satu caranya melalui pembelajaran Bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti di kelas VI di SLB-C Setya Darma Surakarta, dalam pembelajaran Bahasa Indonesia peneliti melihat guru belum maksimal dalam memberikan penanganan terhadap ketidakmampuan anak dalam menyimak. Selama ini guru telah mengajarkan menyimak cerita pendek dengan cara membaca dan menggunakan buku teks, papan tulis dan spidol sebagai alat bantu. Hal ini yang menyebabkan anak mudah bosan untuk belajar Bahasa Indonesia sehingga kemampuan menyimak cerita peserta didik yang diharapkan oleh guru tidak tercapai dengan baik. Berpijak dari hal tersebut, peneliti berkeyakinan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasinya adalah dengan menerapkan media hand puppet (boneka tangan). Media tersebut dipilih sebagai alternative media pembelajaran karena media menarik dan sangat dekat dengan dunia anak-anak.
4 Boneka tangan juga termasuk media visual, yang membuat media tersebut berguna untuk memvisualisasikan cerita yang disampaikan oleh guru . Alasan lain ialah berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Galuh (2013) dengan judul penelitian “Pengaruh Penggunaan Media Hand Puppet Terhadap Hasil Belajar Bahasa Indonesia Materi Sastra Anak Pada Siswa Tunarungu Kelas II Semester II Di Slb-B YRTW Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014”. Berdasarkan perolehan data pretest hasil belajar siswa diperoleh nilai rata-rata 32,50. Hasil rata-rata pretest terhadap hasil belajar siswa tersebut masih rendah. Kemudian rata-rata posttest hasil belajar siswa diperoleh nilai 69,30. Hasil nilai yang diperoleh dari posttest ini didapat setelah siswa mendapatkan perlakuan dengan media Hand puppet yang menunjukan hasil belajar siswa meningkat dari pretest yang diberikan sebelumnya tanpa perlakuan. Berdasarkan perolehan data di atas dapat disimpulkan bahwa siswa mengalami peningkatan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia materi sastra anak cerita fabel antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan (treatment). Penelitian lain dilakukan Pudi, dkk (2014) dengan judul “Penggunaan Media Boneka Tangan Terhadap Kemampuan Menyimak Cerita Peserta Didik Kelas III MIS Awaluddin” Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai pengaruh penggunaan media boneka tangan terhadap kemampuan menyimak cerita anak sekolah dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan bentuk quasi exsperimental design. Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari hasil tes kemampuan menyimak cerita siswa kelas III MIS Awaluddin Kubu Raya, hasil rata-rata sebelum dilakukan perlakuan (tidak menggunakan media boneka tangan) adalah 69,06 dan di kelas eksperimen sebesar 68,55 dan standar deviasi yang diperoleh untuk kelas kontrol adalah 6,18 dan pada kelas eksperimen sebesar 4,59. Untuk skor rata-rata sesudah dilakukan perlakuan (menggunakan media boneka tangan) adalah 72,94 dan pada kelas eksperimen sebesar 77,26 . Sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa mengalami peningkatan kemampuan menyimak antara sebelum dan sesudah dilakukannya perlakuan menggunakan media hand puppet.
5 Pada akhirnya, dengan menerapkan media boneka tangan di dalam proses pembelajaran anak tunagrahita mata pelajaran Bahasa Indonesia, diharapkan anak tunagrahita menjadi lebih terfokus, termotivasi dan lebih meningkat kemampuan menyimaknya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti menemukan judul “EFEKTIFITAS PENGGUNAAN MEDIA HAND PUPPET (BONEKA TANGAN) DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYIMAK PADA ANAK TUNAGRAHITA KELAS VI SLB-C SETYA DARMA SURAKARTA TAHUN AJARAN 2015/2016“
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan anak tunagrahita yang dijadikan dasar mengadakan penelitian antara lain : 1. Anak tunagrahita memiliki hambatan perkembangan intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidak mampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan. 2. Anak tunagrahita memiliki hambatan dalam perkembangan intelegensi yang mengakibatkan anak tunagrahita mengalami hambatan dalam menggunakan bahasa. 3. Anak tunagrahita kelas VI SLB-C Setya Darma Surakarta
memiliki
keterbatasan bahasa yang mengakibatkan kesulitan dalam menyimak cerita pendek anak bahasa Indonesia. 4. Media yang digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
selama ini
kurang bervariasi, sehingga bisa menyebabkan anak tunagrahita kurang termotivasi dan mudah bosan 5. Media hand puppet terbukti meningkatkan kemampuan menyimak anak namun tidak digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kelas VI SLB-C Setya Darma Surakarta
6 C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang dipaparkan di atas diperoleh gambaran dimensi permasalahan yang begitu luas. Namun menyadari adanya keterbatasan waktu dan kemampuan, maka peneliti memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas dan terfokus. Selanjutnya masalah yang menjadi obyek penelitian dibatasi hanya pada: 1. Subyek penelitian ini adalah anak tunagrahita kelas VI SLB-C Setya Darma Surakarta tahun ajaran 2015/2016 yang berjumlah 5 orang. 2. Mata pelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia. 3. Materi yang diajukan pada penelitian adalah memahami bacaan dari teks cerita pendek anak. 4. Media pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah media hand puppet.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah tersebut maka peneliti merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah : Apakah penggunaan media hand puppet (boneka jari) efektif dalam meningkatkan kemampuan menyimak pada anak tunagrahita kelas VI SLB-C Setya Darma Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016 ?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Efektifitas Penggunaan Media hand puppet (Boneka Jari) Dalam Meningkatkan Kemampuan Menyimak Pada Anak Tunagrahita Kelas VI SLB-C Setya Darma Tahun Ajaran 2015/2016.
7 F. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidik yang bersifat teoritis maupun praktis. Adapun manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada para pembacanya dan dapat menambah wawasan mengenai kemampuan menyimak pada anak tunagrahita dengan menggunakan media hand puppet. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Mendapatkan pengalaman dalam menerapkan media hand puppet (boneka tangan) terkait dengan kemampuan menyimak cerita pendek anak pada anak tunagrhita. b. Bagi Siswa Mendapatkan
pengalaman
belajar
yang
terkait
kemampuan
menyimak cerita pendek anak dengan menggunakan media hand puppet ( boneka tangan). c. Bagi guru Menambah pengalaman mengajar dan guru terlibat dalam penerapan media hand puppet (boneka tangan) terkait dengan kemampuan menyimak cerita pendek anak pada anak tunagrahita.