1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Filsafat manusia adalah bagian integral dari sistem filsafat yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Filsafat manusia itu sendiri merupakan bagian (cabang) dari sistem filsafat, yang secara metodis memiliki kedudukan yang setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial, dan estetika, bahkan bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu tentang manusia, seperti (antropologi dan psikologi). Tetapi secara ontologis filsafat manusia memiliki kedudukan yang lebih penting. Karena kajian dari semua cabang filsafat dan ilmu-ilmu tentang manusia tersebut adalah manusia yang secara spesifik menjadi objek kajian filsafat manusia (Bakker dan Zubair, 1990: 21). Objek material filsafat manusia adalah “gejala” atau “ekspresi” manusia, sama seperti ilmu-ilmu tentang manusia yang lain (Rapar, 1996: 103). Filsafat manusia menggunakan metode sintesis dan reflektif, mempunyai ciri-ciri, eksistensi, intensif, dan kritis. Penggunaan metode sintesis pada filsafat manusia yaitu, mensintesiskan pengalaman dan pengetahuan ke dalam satu visi. Metode refleksi merupakan metode yang tidak bisa dipisahkan dari filsafat, termasuk
1
2
filsafat manusia. Refleksi yang dimaksud adalah menunjuk pada dua hal, yaitu; Pertama, pada pertanyaan esensi suatu hal. Kedua, pada proses pemahaman diri (self-understanding) berdasarkan pada totalitas gejala dan kejadian manusia yang sedang direnungkannya. Filsafat manusia dalam perkembangannya terbagi menjadi tujuh aliran dengan perincian yaitu, dua dari di antaranya adalah aliran tertua sekaligus terbesar. Adapun aliran yang selain dua aliran tersebut merupakan aliran yang menjadi reaksi atas dua aliran sebelumnya. Dua aliran tertua dan terbesar dalam filsafat adalah aliran idelisme dan materialisme. Adapun aliran idealime merupakan kebalikan dari materialisme, yang mana dalam aliran ini kenyataan sejati adalah bersifat spiritual, sedangkan esensi kenyataan dari sepritual itu sendiri adalah berpikir (res-cogitans). Ciri utama aliran ini keyakinan tentang adanya kekuatan spiritual (roh absolut). Beberapa ilmu yang menganut paham idealisme (spiritualisme) antara lain: teologi (tauhid), sufisme, seminari, budhisme (jika berasumsi bahwa semua berawal dari kekuatan roh absolut) atau sering disebut sebagai Tuhan. Tokoh-tokoh idealisme diantaranya Plato, Hegel, Leibnitz, Aristoteles, Descartes, Kant, Goethe, Agustinus (Bertens, 1975: 76). Materialisme adalah paham atau aliran dalam filsafat manusia yang meyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk manusia adalah bersifat material atau fisik. ciri utamanya adalah bahwa ia menempati ruang dan waktu, memiliki keluasan (re extensa), dan bersifat objektif. Dalam aliran ini disebut juga
3
naturalisme karena kata materi diganti dengan natura (alam) atau organisme. Ciri utamanya adalah menolak adanya kekuatan yang bersifat spiritual. Tokoh utama dalam aliran ini antara lain Anaximenes (585-528), Anaximandros (610-545 SM) Thales (625-545 SM), Demokritos (± 460-545 SM), Thomas Hobbes (15881679) dan lain-lain (Bertens, 1975: 76). Thomas Hobbes (1588-1679) termasuk filsuf yang mengatakan bahwa semua manusia itu memiliki sifat yang sama dalam keadaan alamiahnya (state of nature).
Dengan
kata
lain,
manusia
dalam
keadaan
alamiah
ingin
mempertahankan kebebasannya dengan cara berkompetisi yang bertujuan memaksimalisasi kebahagiaan dan meminimalisasi penderitaan diri dalam kehidupan. Karena itulah, manusia dipandang sebagai homo homini lupus yaitu naluri manusia itu bagaikan serigala untuk selalu ingin mempertahankan dirinya sendiri, bersaing, dan saling membinasakan sesamanya. Konflik dan pertikaian antar sesama akan muncul manakala manusia mengikuti nalurinya tersebut. Untuk menciptakan kehidupan yang aman dari konflik dan pertikaian tersebut, maka manusia harus mengikuti akal sehat yaitu melepaskan hak untuk bebas berbuat sekehendak sendiri dengan bersatu melalui perjanjian sosial yang diserahkan pada satu penguasa (Leviathan) (Appadorai, 2005: 24). Konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perkembangannya merupakan implementasi nyata dari konsep hak alamiah dalam pemikiran Thomas Hobbes yaitu hak alamiah merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang
4
disebutnya “homo homini lupus, bellum omnium contra omnes”. Keadaan demikian dalam diri manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut “Leviathan”. Keadaan seperti itulah yang bagi Hobbes manusia dengan akal sehatnya mendorong untuk membuat perjanjian masyarakat (contract social) dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Bertitik dari sinilah, pandangan Hobbes ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai teori awal yang mengarah pengembangan konsep HAM dalam suatu Negara yang memiliki wewenang untuk mengatur hak-hak individu. Hobbes dalam filsafatnya memandang manusia adalah pusat persoalan sosial dan politik. Hobbes dalam hal ini memberikan sumbangan berarti dalam usaha memahami manusia. Dengan kata lain, manusia menurut Hobbes tidak bisa didekati dengan pendekatan normatif religius, karena pendekatan seperti ini semakin menjauhkan dari realitas sosial yang sebenarnya. Cara terbaik mendekati manusia adalah dengan melihat manusia sebagai “alat mekanis” dan memahaminya dari pendekatan matematis-geometris. Hal ini mendorong Hobbes menerima materialisme, mekanisme dan determinisme. Namun, Hobbes awal dari pemikirannya yaitu melukiskan manusia-manusia ketika mereka hidup dalam keadaan yang ia namakan state of nature dalam kondisi manusia sebelum dicetuskannya kontrak sosial bahwa kehidupan manusia dalam keadaan alamiah adalah buas dan serakah, yang diperjuangan melalui peperangan terus-menerus demi mempertahankan dirinya (Jones, 1969: 120).
5
Perjanjian lahir dari keadaan yang tidak teratur tersebut dibuatlah pengikat oleh warga negara yaitu mereka bersepakat untuk membuat perjanjian dan membentuk penguasa atau pemerintah. Setelah pemerintahan terbentuk maka hakhak warga negara menjadi hilang dan warga negara tidak dapat memberontak. Dalam konteks ini, orang banyak yang dipersatukan dalam perjanjian sosial itu disebut commonwealth. Di dalam commonwealth yang diutamakan adalah perdamaian dan keamanan seluruh warga negara. Kewajiban pemerintah adalah mengusahakan perdamaian dan perlindungan warga negara sehingga merasa aman, dan menjanjikan kesejahteraan kepada rakyat. Kekuasaan pemerintahan dalam mengatur hak alamiah manusia menurut Hobbes itu ada pada raja dan gereja (negara dan agama), yang berarti kewajiban warga negara di depan Negara dan agama adalah menaati kekuasaan raja dan berbakti pada Tuhan. Berdasarkan dari hal tesebut, maka konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dipahami sebagai hubungan antara warga negara dan pemerintah yang diatur dalam hukum perjanjian atau undang-undang dan hukum Tuhan (agama). Teori kontrak sosial dalam pandangan Thomas Hobbes mengandaikan bahwa sebelum terbentuknya suatu Negara selalu terjadi peperangan antar sesama manusia yang disebut bellum omnium contra omnes. Hal tersebut merupakan ungkapan bahwa setiap orang selalu menunjukkan sikap egoistis. Karena itu, dibutuhkan kekuasaan bersama untuk mengakhiri peperangan tersebut, dan
6
kekuasaan itu harus dibentuk berdasarkan suatu perjanjian untuk menaati seseorang atau beberapa orang, dan orang yang melaksanakan perjanjian itu disebut yang berdaulat. Negara dalam melaksanakan perannya, memiliki beberapa hak yang sifatnya memaksa atau mengikat dengan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Pemikiran tentang Negara ini sudah ada sejak zaman Yunani, kemudian zaman Romawi, selanjutnya zaman abad Pertengahan, zaman Renaissance, zaman berkembangnya hukum alam, dan kemudian zaman berkembangnya teori kekuatan. Dalam hal ini, Hobbes memaparkan bahwa terbentuknya sebuah Negara dikarenakan oleh perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Negara dalam teori ini lahir karena perjanjian yang dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas. Perjanjian masyarakat ini tentunya diadakan agar kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin (Hardiman, 2007: 71). Uraian di atas dapat dipahami bahwa Negara dalam pandangan Hobbes sebagai bagian dari upaya individu-individu untuk menjamin perdamaian, kendati antara individu-individu tersebut tidak dapat menghindarkan peperangan. Hak asasi manusia dalam konteks ini merupakan upaya Negara untuk menjamin perdamaian di antara warga negaranya. Karena itu, sebagai medium untuk menciptakan perdamaian, maka Hak Asasi Manusia (HAM) haruslah bersifat
7
universal dan dapat menjamin semua golongan, kelas dan perbedaan-perbedaan yang hidup di dalam suatu Negara. Konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) telah mengalami proses perjalanan panjang. Konsepsi HAM ini dimulai dengan Magna Charta pada tahun 1215 dan diteruskan hingga saat ini. Salah satu tokoh filsafat yang berjasa dalam pemikiran Hak Asasi manusia adalah Plato. Ia menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) tidaklah sama antara satu individu dengan individu yang lain. Oleh karena itu, tidak ada persamaan kebebasan dan tentu saja tidak perlu usaha untuk menciptakan kondisi-kondisi materiil yang sama (Budiardjo, 1988: 54). Hak adalah tuntutan yang dapat diajukan seseorang kepada orang lain sampai kepada batas-batas pelaksanaan hak tersebut. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia (Setiardjo, 1993: 71). Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, namun tetap memiliki hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak tersebut juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti
8
menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut dimanapun ia berada. Bertitik tolak dari sinilah, Negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi Hak Asasi Manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini berarti bahwa Hak Asasi Manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam pengembangan, penegakan dan penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menarik kiranya untuk dikupas lebih lanjut tentang hak alamiah yang terdapat dalam state of nature pemikiran Thomas Hobbes. Pemikiran Hobbes dalam berfilsafatnya lebih menekankan pada cara bagaimana manusia bisa hidup bersama dan berdampingan secara damai. Pemerintahan yang telah ditunjuk oleh rakyatnya memiliki kekuasan tanpa batas dalam mengatur hak-hak asasi manusia yang mengacu pada kesejahteraan bersama. Hal ini semua dilakukan supaya tatanan kehidupan tetap bertahan, dan tidak jatuh ke dalam situasi perang atau konflik
yang
mana
watak
penyimpangan
dalam
diri
manusia
selalu
mengedepankan egoisme dan hidonisme. Begitu juga, pemikiran Thomas Hobbes yang tertuang dalam karyanya “Leviathan” merupakan karya yang sangat menarik dan unik untuk dikaji, khususnya pada metodologi yang dibangun tentang psikologi manusia, hak alamiah, hukum alam, kontrak sosial, Negara dan kekuasaan. Bertitik tolak dari sinilah, penulis memanganggap bahwa konsep hak alamiah dalam state of nature Hobbes sebenarnya merupakan sebuah respon intelektual dan refleksi kritis
9
terhadap proses sosial dan sejarah kehidupan manusia. Di samping itu juga, hingga saat ini penulis menganggap teori-teori Hobbes masih relevan dengan realitas sosial yang terjadi di Indonesia pada khususnya. Indonesia sebagai Negara yang berlandaskan pada Pancasila wajib melindungi dan menjunjung tinggi HAM, karena secara tidak tersirat masyarakat telah menyerahkan sebagian hak-haknya kepada Negara untuk dijadikan hukum (dalam teori kontrak sosial). Negara memiliki hak membuat hukum dan menjatuhkan hukuman atas pelanggaran HAM. Dalam hal ini, Negara mempunyai kekuasaan (power). Kekuasaan artinya mampu memaksakan kehendak kepada pihak lain. Kekuasaan Negara tertinggi berarti kekuasaan yang tertinggi dalam menentukan kehendak di dalam Negara tersebut (Joeniarto, 1990: 11). Membicarakan pelanggaran HAM memang selalu menjadi isu menarik. Bahkan semua yang melanggar kebebasan seseorang dinilai melanggar HAM. Adapun maksud pelanggaran HAM adalah perbuatan orang atau sekelompok orang termasuk aparat Negara baik sengaja atau tidak atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, mencabut HAM orang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU dan tidak mendapat atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Komisi HAM didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dan pelaksanaan HAM di Indonesia, serta
10
meningkatkan perlindungan dan penegakkan Hak Asasi Manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya. Berdasarkan UndangUndang tentan Hak Asasi Manusia bahwa Komnas HAM memiliki fungsi untuk melaksanakan pengkajian, penyuluhan, serta mediasi mengenai HAM di Indonesia (Suwandi, 2005: 43). Muncul dan berkembangnya konsep HAM di Indonesia dalam hal penegakannya tentunya ditandai sejak HAM itu diperjuangkan ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan Negara. Pelanggaran HAM juga mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Misalnya, pada masa Orde Baru yang telah diketahui bersama bahwa kebebasan, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Kejahatan-kejahatan kemanusiaan dalam berbagai bentuknya telah sering terjadi diberbagai daerah, seperti: penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan atas orang-orang yang dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi kekuasaannya. Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa pada rezim Orde Baru yang represif dan otoriter telah banyak melakukan pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga menimbulkan gejolak sosial dan politik yang pada akhirnya mengakibatkan kejatuhannya pada bulan Mei 1998 silam. Adapun pelanggaran HAM yang terjadi pada masa ini, terutama kasus Semanggi I dan II, Trisakti, dan kasus Poso.
11
2. Rumusan Masalah Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana manusia dalam pandangan Thomas Hobbes? b. Bagaimana pemikiran Thomas Hobbes mengenai hak alamiah? c. Bagaimana relevansi pemikiran Thomas Hobbes tentang manusia dan hak alamiah dengan pengembangan konsep HAM di Indonesia? 3. Keaslian Penelitian Setelah
melakukan
penelusuran
terhadap
kepustakaan,
penulis
menemukan beberapa hasil penelitian yang memiliki kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, antara lain: a. Sentosa Tarigan (UGM, 1976) judul skripsi Filsafat Thomas Hobbes Tentang Asal Mula Negara, membahas asal mula Negara dalam pemikiran Thomas Hobbes. Objek formal asal mula negara, sedang objek materialnya pemikiran Thomas Hobbes. b. Margiyono (UGM, 1984) judul skripsi Sumbangan Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang HAM di Indonesia. Dalam skripsi ini lebih menekankan pada penjelasan tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia— yang memfokuskan pada pemikiran Ki Hajar Dewantara.
12
c. Wasito (UGM, 2001), judul tesis Hak-hak Asasi Manusia Dalam Sistem Hukum Indonesia sebagai Negara Hukum Demokrasi Modern. Dalam tesis ini membahas objek formal hak-hak asasi manusia, sedangkan objek materialnya sisitem hukum di Indonesia. d. Danang Rahadyan P. (UGM, 2008), judul skripsi Komparasi Konsep Ubermensch dan Hak Asasi Manusia Universal, dalam skripsi ini menjelaskan pemikiran Ubermensch dalam kaintannya dengan hak asasi manusia secara universal. e. Arip Senjaya (UGM, 2010), judul tesis Bahasa Menurut Goenawan Mohamad dan Relevansinya Bagi Masalah HAM di Indonesia, berisi penjelasan umum atau deskripsi mengenai bahasa dan masalah hak asasi manusia di Indonesia.
Berdasarkan penelusuran peneliti di lingkup Universitas Gadjah Mada belum ada penelitian Filsafat Manusia dalam Pemikiran Thomas Hobbes dan Relevansinya dengan Pengembangan Konsep Hak Asasi Manusia di Indonesia. karena itu penelitian ini dapat dikatakan baru pertama kali dilakukan serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
13
B. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah menjelaskan secara deskriptif tentang landasan filosofis dalam pemikiran Thomas Hobbes. Berdasarkan uraian rumusan masalah penelitian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: a. Mendeskripsikan filsafat manusia dalam pemikiran Thomas Hobbes b. Mendeskripsikan pemikiran Thomas Hobbes mengenai hak alamiah. c. Menganalisis relevansi pemikiran Thomas Hobbes tentang hak alamiah bagi pengembangan konsep HAM di Indonesia.
C. Mamfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain: a. Bagi kajian filsafat, penelitian ini memperkaya khazanah kajian ilmu filsafat, khususnya mengenai kajian tokoh Thomas Hobbes kaitannya dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia. b. Bagi peneliti, penelitian ini menjadi referensi untuk mengembangkan penelitian yang terkait dengan tokoh Thomas Hobbes dengan meneliti aspekaspek pemikiran lainnya. c. Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, sumbangsih penelitian ini bermanfaat bagi kehidupan berbangsa di Indonesia.
14
D. Tinjauan Pustaka Pemikiran Tomas Hobbes mengenai state of nature ditulis dalam buku Levithan (1660) adalah tokoh yang memopulerkan pernyataannya homo homini lupus, bellum omnium contra omnes. Ia mengandaikan bahwa manusia pada dasarnya buruk, bengis dan egoistis, karena masing-masing berusaha mempertahankan dirinya dengan melakukan apapun dalam pemenuhannya. Bahkan dengan tindakan-tindakan yang dapat mencederai atau merugikan orang lain. Demi mempertahankan kehidupannya, manusia akan melawan apapun yang mengancamnya termasuk melihat manusia lain sebagai sosok yang dapat mengancam pertahanan dirinya. Keadaan semacam
ini
akan
menimbulkan
permasalahan
dalam
hubungan
antar
manusia/individu yaitu benturan antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam mengusahakan kepentingan terhadap pemeliharaan atau pertahanan diri. Karena itulah Hobbes memiliki gagasan bahwa untuk mengatasi kondisi kekacauan dan keluar dari problem tersebut, maka perlu diadakannya kontrak sosial (du contract social) yang diserahkan pada satu sosok penguasa yang keras, tegas dan ditakuti oleh rakyatnya (Hobbes dalam Gaskin, 1996: 11). Thomas Hobbes (1996) dalam buku Leviathan yang diedit oleh J.C.A. Gaskin dijelaskan bahwa hukum alam (Law of Nature) merupakan suatu aturan umum yang dihasilkan dari penalaran manusia yang menyatakan bahwa manusia dilarang melakukan tindakan yang dapat menghancurkan diri. Secara alamiah/kodratnya manusia tercipta secara setara dengan indera-indera pada tubuh dan pikiran. Dengan
15
begitu, ketika ditemukan satu orang lebih kuat daripada yang lain dalam hal ketubuhan atau kecepatan berpikir dan menganggap mereka berbeda antara satu dengan yang lain, maka itu bukan suatu hal yang penting. Karena manusia memiliki kecakapan serta keunikan masing-masing—yang lemah bisa saja dapat membunuh yang kuat. Ini berarti siapapun, setiap orang tetap saja memiliki keadaan yang sama dimana mereka memungkinkan untuk hidup dalam keadaan berbahaya (Gaskin, 1996: 95-106). . Selain itu, dalam pembahasan mengenai hukum alam, Hobbes juga menunjukkan bahwa konsep golden rule merupakan cerminan hukum alam (law of nature). Jika seseorang menginginkan agar orang lain berbuat seperti yang dikehendaki, maka ia harus berbuat seperti apa yang dikehendaki terhadap orang lain tersebut. Sebaliknya, apapun yang tidak dikehendaki terjadi, maka jangan lakukan hal tersebut kepada orang lain. Hobbes menunjukkan bahwa golden rule ini manusia seharusnya menghargai dan memandang keberadaan orang lain secara setara dan memiliki hak yang melekat secara alamiah. Dengan begitu, seseorang tidak akan melanggar hak-hak orang lain agar hak-haknya sendiri juga tidak dilanggar oleh orang lain (Gaskin, 1996: 86-95). Armada Riyanto (2001: 8) dalam buku HAM Telaah Filosofis Teologis menyebutkan bahwa Thomas Hobbes merupakan salah satu filsuf yang memiliki kontribusi langsung dalam pemikiran filsafat dan politik Negara. Ia berkontribusi besar dalam memberikan kerangka pemikiran hak asasi modern melalui teori natura
16
atau kodrat, “state of nature” (kondisi alami hidup manusia) dan hukum alam. Konsepsi Hak Asasi Manusia dapat dilihat pada teori natura, menurut Hobbes manusia harus dipikirkan dalam konteks dan ruang lingkup kondisi sebelum “political society”. Natura manusia adalah hidup manusia pada saat di mana belum atau tidak ada pemerintahan politik. Hal ini berarti tidak adanya hukum yang mengatur kehidupan manusia. Bila ada, pasti mengganggu hak kodrat ini. A.P. Martinich (1992: 104) dalam buku The Gods Of Leviathan Thomas Hobbes On Religion and Politics menyebut hukum kodrat termasuk hak alamiah. Namun keduanya ada perbedaan bahwa hukum alam ditambahkan dengan muatan atau kandungan kewajiban dari hak alamiah. Hobbes mengatakan bahwa hukum alamiah adalah hukum asli (genuine law). Hukum alam berkaitan dengan pelarangan untuk melakukan hal-hal yang merusak kehidupan atau merampas cara-cara kelangsungannya. Hukum alam ini mengajak setiap individu untuk menciptakan kedamaian sejauh mungkin membela diri bilamana dianggap perlu. Hukum alam itu juga berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian yang telah dibuat. Sementara hukum alam (Law of Nature), ini merupakan suatu aturan umum yang dihasilkan dari penalaran manusia yang menyatakan bahwa manusia dilarang melakukan tindakan yang dapat menghancurkan diri. Konsep State of nature disisi lain harus dipahami sebagai kondisi pra-political society (sebelum politik masyarakat). Manusia dalam societas politik adalah manusiamanusia yang tidak asli lagi, tidak otentik dan tidak orisinal. Manusia dalam societas
17
politik adalah manusia yang sudah memiliki peradaban. Mereka harus sudah taat kepada hukum dan sering kali hukum dijalankan tanpa adanya persoalan. Manusia dari kodratnya (state of nature) tidak mengenal hukum positif sebagaimana diberlakukan dalam political society. Sebab itu dalam state of nature tidak ada keadilan dan ketidakadilan (Riyanto, 2001: 9). Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di tengah orang orang liar yang suka saling memangsa, Hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Bagi Hobbes, sesuai posisinya sebagai penganut materialisme, manusia (sejak zaman purbakala) dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Tidak ada pengertian adil atau tidak adil melainkan hanyalah nafsu-nafsu manusia. Didalam keadaan seperti itu terjadilah bellum omnium contra omnes dimana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis. Bagi manusiamanusia seperti ini, jika tidak ada Hukum, maka demi mengejar kepentingan diri, mereka akan terlibat dalam war off all against all (perang semua melawan semua). Tanpa Hukum yang di tegakkan oleh penguasa yang kuat, maka individu-individu akan saling membinasakan. Hukum merupakan pilihan dasar manusia untuk mengamankan hidup masing-masing terhadap serangan orang lain (Riyanto, 2001:9). Bertrand Russell (2002: 720) dalam buku Sejarah Filsafat Barat Dan Kaitannya Dengan Sosio-Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang menjelaskan bahwa Thomas Hobbes sebagai penganut empiris-materialistik, menurutnya bahwa
18
pengetahuan manusia hanya diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Sementara dalam materialismenya, ia mengasumsikan bahwa hidup tidak lain adalah gerakan dari anggota badan, sehingga hal ini tidak berbeda dengan gerakan mesin otomatis yang merupakan sebuah kehidupan tiruan (artificial life). Lebih lanjut, dalam bukunya “Leviathan” Ia juga menganalogikan bahwa persemakmuran (commonwealth) adalah seorang manusia tiruan (artificial man), dan kedaulatan adalah sebuah jiwa tiruan (artificial soul). Dengan tiruan-tiruan itulah dalam hidup ini bagi Hobbes yang dapat menggantikan akan sabda Tuhan “kami jadikan manusia”. F. Budi Hardiman (2004:71) dalam buku Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche menjelaskan bahwa konsep kontrak sosial yang berisikan dengan perjanjian-perjanjian harus dikelola oleh Negara karena tidak ada jaminan dari individu-individu untuk menciptakan kedamaian. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh individu-individu tersebut rapuh. Dengan demikian, maka dibutuhkan lembaga Negara yang dapat menjadi penjamin adanya perdamaian bagi individu-individu yang terlibat. Hanya Negara yang memiliki kekuasaan monopoli dan memaksakan kehendaknya kepada rakyat. W.T. Jones (1969: 120) dalam buku Hobbes to Hume: A History of Western Philosophy menyebutkan bahwa Hobbes dalam filsafatnya menolak tradisi skolastik yang berusaha menerapkan konsep-konsep mekanik dari alam fisika kepada
19
pikirannya tentang manusia dan kehidupan mental. Hal ini mendorongnya untuk menerima materialisme, mekanisme dan determinisme. Namun Hobbes melukiskan manusia-manusia ketika mereka hidup dalam keadaan yang ia namakan state of nature (keadaan alamiah), yang merupakan kondisi manusia sebelum dicetuskannya kontrak sosial bahwa kehidupan manusia dalam keadaan alamiah adalah buas dan singkat, karena merupakan perjuangan dan peperangan yang terus-menerus demi mempertahankan dirinya. S.A. Lloyd (2009: 97-151) bukunya yang berjudul Morality in the Philosophy of Thomas Hobbes Cases in the Law of Nature membahas tentang filsafat moral menurut Thomas Hobbes, secara khusus membahas tentang hukum alam. Di dalam Negara,
terdapat
hubungan
antara
penguasa
dengan
rakyat
yang
saling
membutuhkans satu sama lain. Di samping itu juga, buku ini membahas tentang hubungan kedua entitas itu dalam membentuk Negara berdaulat. Carl Schmitt (1996), The Leviathan in the state theory of Thomas Hobbes: Meaning and Failure Of A Political Symbol membahas tentang Leviathan dimulai dengan Leviathan sebagai gambar mitologis, dan impor seperti gambar untuk sejarah, mungkin politik, pada pencernaan teori politik Hobbes. Kemudian, interpretasi evaluasi Schmitt dari gambar ditetapkan, yang mengundang evaluasi pesan Leviathan, struktur, dan itu peran dalam teori politik Hobbes, dan sejarah teori politik demokrasi liberal. Hal ini memungkinkan untuk pemeriksaan keberatannya, melemahnya utamanya, yang paling eksplisit, serangan Tractatus Spinoza.
20
E. Landasan Teori Landasan teori dalam penelitian ini adalah filsafat manusia dalam kaitannya dengan pengembangan konsep HAM di Indonesia. Menurut Abidin (2007: 3), filsafat manusia adalah bagian integral dari sistem filsafat, yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Pada intinya filsafat manusia adalah ilmu filsafat yang membahas tentang esensi manusia yang mencakup semua dimensi dari manusia. Maksud dari semua dimensi adalah membahas tentang fisik manusia, mental manusia, hakikat manusia, kedudukan manusia, tujuan asasi hidup manusia, apa yang harus dilakukan manusia dalam hidup, dan lain-lain. P.A. van der Weij (1988: 6-7) menegaskan, bahwa manusia adalah suatu makhluk yang bertanya. Dari semula manusia berbakat filosofis sebagaimana tampak dengan jelas pada anak-anak. Bahkan manusia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Manusia dapat diselidiki dalam kajian kefilsafatan. Menurut Theo Huijbers (1986: 10) dalam Manusia Merenungkan Makna Hidupnya, berpikir secara filsafat tentang manusia adalah mencari makna hidup yang benar, dengan sekaligus menilai secara kritis pandangan-pandangan yang telah dipegang lebih dulu tentang hidup manusia itu. Filsafat manusia merupakan sebuah hasil dari perumusan yang ada mengenai siapa sebenarnya manusia dan bagaimana hakikat dari manusia itu sendiri dan segala yang berkaitan pada manusia. Bisa juga diartikan filsafat manusia sebuah pandangan
21
tentang hakikat yang sebenarnya dari keadaan dan kehidupan manusia beserta dengan segala kaitannya yang telah dirumuskan melalui sebuah proses berfikir secara mendalam. Hakikat manusia adalah manusia itu merupakan berkaitan antara badan dan ruh, karenanya hakikat pada manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh saja, tanpa kedua subtansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia (Munir, 2008: 12). Kajian filsafat manusia ini dipandang sebagai makluk yang memiliki kompleksitas di dalam dirinya. Dengan kata lain manusia terdiri atas unsur jamani dan rohani serta akal yang bisa menggerakkannya untuk melakukan suatu hal. Manusia juga bergantung pada lingkungan sosial dimana ia berada. Pertama, aspek unitas-kompleksitas manusia sebagai makhluk hidup yang terdiri dari berbagai taraf. Kedua, aspek historisitas yang mencakup persamaan dan perubahan di dalam proses. Ketiga, aspek sosialitas manusia yang mempunyai martabat pribadi dengan kebebasannya sehingga tidak boleh dikorbankan demi kepentingan yang lain (Hadi, 1996: 38-39). Manusia merupakan makhluk yang kompleks, dalam diri manusia terdapat kesatuan dan sekaligus keberagaman. Manusia terdiri dari badan dan jiwa, yang masing-masing mempunyai kegiatan, kemampuan, dan gaya serta perkembangannya sendiri. Kesatuan dan keberagaman jati diri manusia yang memberikan kekayaan kepada manusia, tetapi sekaligus menyebabkan kesulitan untuk memahaminya secara tepat tentang jati diri (Hadi, 1996: 25-26).
22
Manusia secara alamiah memilki hak-hak dasar yang tidak dapat diambil dan dicabut oleh orang lain. Kebebasan dan kemerdekaan bagi manusia. Kebebasan menjadi kepantasan untuk dimilki setiap individu mengingat individu memliki perangkat tubuh dan akal budi yang telah termiliki sejak lahir sebagai makhluk hidup. Beranjak dari sinilah dapat dipahami bahwa setiap individu memiliki kebebasan menjadi suatu keutamaan yang layak dimiliki manusia dan patut diakui karena dengan kebebasannya manusia dapat mengakses hak-haknya, terutama menyangkut hak-hak dasarnya, maka atas dasar inilah kebebasan dalam bertindak maupun berpikir sesuai dengan pilihannya sendiri serta absennya suatu batasan yang membatasi dirinya untuk bertindak memang selayaknya dimiliki manusia. Komleksitas keberadaan manusia mengarahkan pada sistem pengembangan dan penegakan konsep HAM. Hak Asasi Manusia menurut Hobbes adalah hak alamiah melekat dan dimiliki oleh setiap individu manusia dalam hidupnya. Hal ini dapat dikatakan Hak Asasi Manusia merupakan hukum alam (natural law) yang dianggap sebagai hukum yang tertinggi dan abadi pada alam, yang kemudian dijadikan acuan dalam pembentukan norma moral dan aturan tingkah laku manusia. Begitu juga, kebebasan menurut Hobbes adalah bersifat alamiah. Artinya dalam kondisi alamiah (state of nature), kebebasan merupakan hak alamiah yang melekat dalam diri manusia. Karean itulah, manusia denga “hak bebas” nya beserta keuatan dan kekuasaan (power) selalu disesuaikan dengan kehendaknya dalam rangka pemeliharaan diri (Hobbes dalam Gaskin, 1996: 86).
23
Keberadaan manusia secara alamiah atau kodratnya tercipta dengan inderaindera, tubuh dan pikiran. Karenanya manusia memiliki kecakapan serta keunikan masing-masing, yakni keadaan alamiahnya manusia menunjukkan tidak ada manusia yang kuat dan lemah, karena pada kenyataannya manusia yang lemah bisa saja membunuh yang kuat. Ini berarti siapapun, keberadaan manusia tetap saja memiliki keadaan yang sama dimana setiap manusia memungkinkan untuk hidup dalam keadaan yang berbahaya. Untuk menghindari kondisi tersebut maka manusia seharusnya menghargai dan memandang keberadaan orang lain secara setara dan memiliki hak yang sama dan melekat secara alamiah. Berdasarkan hal tersebut, eksistensi pengembangan konsep HAM sebenarnya bermuara pada kesadaran seseorang tidak akan melanggar hak-hak orang lain agar hak-haknya sendiri juga tidak dilanggar oleh orang lain.
F. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian Bahan dalam penelitian ini terdiri atas bahan primer yang diambil dari buku-buku yang secara langsung membahas tentang permasalahan yang akan diteliti. Selain bahan primer, penelitian ini juga menggunakan bahan sekunder yaitu bahan kepustakaan yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun masih relevan untuk dikutip sebagai pembanding. Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas:
24
a. Bahan Primer 1. Hobbes, Thomas, 1996, Leviathan diedit oleh J.C.A. Gaskin, New York Press: Oxford University Press Inc. 2. Martinich, A.P. 1992, The Gods Of Leviathan Thomas Hobbes On Religion and Politics, Texas: Depertement Of Philosophy Cambridge University Of Texas At Austin. 3. S.A. Lloyd, 2009, Morality in the Philosophy of Thomas Hobbes Cases in the Law of Nature, New York, Cambridge University Press. 4. Carl Schmitt, 1996, The State Theory of Thomas Hobbes, Meaning and Failure of Political Symbol, London: Greenwood Press, b. Bahan Sekunder 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999. Tentang Hak Asasi Manusia. 2. Weij, P.A.V.D, 1988, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens, Jakarta: PT. Gramedia. 3. Lay, Cornelis. dkk. 2002, KOMNAS HAM 1998-2001 Pergulatan Dalam Tradisi Politik. Yogyakarta: FISIPOL UGM 4. Ahmad, Baidlowi dan Bahehagi, Imam, 2009, Filsafat Politik; Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
25
5. Russell, Bertrand. 2002, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 6. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2. Jalan Penelitian Penelitian ini diadakan dalam tiga tahap jalan penelitian literer: a. Tahap pertama meliputi: 1) Pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder sesuai lingkup penelitian. 2) Pembuatan kategori dengan menyatukan dan mengumpulkan dalam satu kesatuan tersistimisasi. b. Tahap kedua meliputi: 1) Klasifikasi
data
selanjutnya
dilakukan
pendeskripsian
dan
penginterpretasian. 2) Analisis data sesuai dengan pemahaman peneliti tentang gejala hal yang berhubungan dengan obyek penelitian. c. Tahap Ketiga meliputi: 1) Penyusunan draft hasil penelitian. 2) Penyusunan laporan hasil penelitian secara sistematis dan mengikuti format atau urutan baku dalam penelitian.
26
3. Analisis Hasil Penelitian Untuk memperoleh hasil maksimal yang diharapkan dari penelitian ini adalah menganalisis data secara ilmiah dalam sebuah penulisan karya ilmiah, tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk memperoleh akurasi data yang dapat di pertanggung jawabkan secara akademis serta menghasilkan karya ilmiah yang sistematis. Adapun metode analisis yang digunakan sebagai berikut: a. Hermeneutika Peneliti menggunakan konsep hermeneutika Wilhelm Dilthey untuk menangkap kandungan makna esensial dari konsep hak alamiah manusia Thomas Hobbes. Hermeneutika Dilthey bertitik tolak dari filsafat hidup yang membutuhkan suatu pemahaman (Das Verstehen) dari historisitas dan pengalaman manusia (Mustansyir, 2009: 42). Verstehen bagi Dilthey termasuk interpretasi karena ia melibatkan penemuan kembali suatu makna yang tidak secara langsung jelas. Pemahaman tentang manusia tidak terlepas dari makna historisitas, karena manusia memahami dirinya melalui hidup, maka dibutuhkan interpretasi dalam suatu pemahaman (Mustansyir, 2009:45). Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menunjuk arti, mengungkapkan, menerangkan esensi nilai-nilai secara objektif yaitu makna tentang hak alamiah menurut Thomas Hobbes.
27
b. Heuristika Suatu metode untuk menemukan jalan baru dalam suatu ilmu pengetahuan bahkan pada filsafat itu sendiri (Peursen, 1985: 96-112). Heuristika bertujuan untuk memahami kehidupan manusia secara umum dan dalam kehidupan sejarahnya. Dilthey berpandangan bahwa pertama, manusia hanya dapat dipahami melalui konsep tentang hidup. Kedua, manusia adalah makhluk menyejarah, karenanya hanya dapat diterangkan melalui sejarahnya (Kuntowijoyo, 2008: 3). Historisitas merupakan salah satu aspek yang memengaruhi manusia dalam membentuk jati dirinya, karena manusia selalu berkembang dalam ruang dan waktu. Peneliti mencoba menganalisis pemikiran Thomas Hobbes dengan tinjauan filsafat manusia sebagai acuan untuk menggali makna hak alamiah manusia, serta untuk menemukan relevansi pemikiran Thomas Hobbes dengan pengembangan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan Bab I merupakan bab pendahuluan. Terdiri atas latar belakang masalah yang menliputi masalah penelitian, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, analisis penelitian sistematika penulisan.
28
Bab II, berisi diskursus filsafat manusia, pembahasannya diawali dengan pengantar umum kajian filsafat terhadap manusia, pengertian filsafat manusia, metode filsafat manusia, ciri-ciri filsafat manusia, dan aliran-aliran filsafat manusia. Bab III, berisi biografi dan latar belakang pemikiran Thomas Hobbes meliputi riwayat hidup, Konteks Sosio-Historis ThomasHobbes, karya-karya Thomas Hobbes, tokoh-tokoh yang mempengaruhi Thomas Hobbes. Kemudian membahas pandangan Thomas Hobbes tentang manusia. Bab IV, berisi konsep Hak Alamiah Thomas Hobbes, diawali dengan historisitas konsep hak alamiah, dinamika pemikiran hak alamiah yang meliputi; landasan pemikiran hak alamiah, hak negatif dan hak positif. Hak alamiah: kepemilikan diri dalam kehidupan, yang meliputi; konsep moral: perwujudan nilai hak alamiah, kepemilikan diri: petunjuk adanya hak alamiah. Kemudian membahas teori kontrak sosial sebagai manifestasi hak alamiah, yang meliputi; kontrak sosial: jaminan atas perlindungan individu, negara sebagai produk kontrak sosial. Bab V, berisi relevansi hak alamiah Thomas Hobbes perspektif filsafat manusia dengan pengembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, diawali dengan permasalahan HAM, yang meliputi pengertian HAM dan sejarah perjuangan HAM, konsep pelaksanaan HAM dan perkembangan HAM yang meliputi perkembangan HAM di Indonesia dan penegakan HAM di Indonesia. Bab VI, berisi penutup, mencangkup kesimpulan dan saran.