BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Media massa merupakan sebuah sarana yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan secara serentak kepada masyarakat yang beragam dan tersebar di berbagai wilayah. Arti penting media massa terletak pada kemampuannya dalam menyajikan pemberitaan serta gagasan-gagasan tentang suatu peristiwa yang dapat memengaruhi kehidupan, karena informasi yang disajikan media juga memiliki peran yang signifikan dalam proses sosial. Isi media massa merupakan konsumsi utama bagi khalayak, sehingga apa yang ada pada media massa akan memengaruhi perubahan sosial pada masyarakat. Kekuatan media massa sebagai contoh dapat terlihat dari bagaimana berita-berita tertentu disajikan oleh media. Salah satunya dapat tercermin dalam pemberitaan pro dan kontra ketika sebuah lembaga keislaman menetapkan sebuah fatwa.1 Khususnya bila fatwa tersebut berkaitan dengan kehidupan dan kebiasaan masyarakat seperti fatwa larangan menonton film tertentu, larangan golput (golongan putih), larangan merokok, serta fatwa yang saat ini menjadi polemik yaitu fatwa haram Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).2 Fatwa haram 1
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat.Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku, sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, seperti dalil di kalangan para mujtahid. Otoritas fatwa di Indonesia berada di bawah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli yang mempunyai wawasan syariah. Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN-MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syariah khususnya Lembaga Ekonomi Syariah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi umat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syariah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS. Lihat Agustianto. Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia. http://www.pesantrenvirtual.com/index. (diakses pada tanggal 18 Agustus 2015). 2 Pada tanggal 29 Juli 2015 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terkait sistem pelayanan BPJS Kesehatan. Menurut ketua MUI KH. Ma’ruf Amin, keputusan tersebut sebenarnya telah lahir sebulan lalu dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se Indonesia V tahun 2015 yang diselenggarakan pada 7-10 Juni di Tegal. Acara tersebut melahirkan beberapa keputusan dan fatwa baru di berbagai bidang, salah satunya terkait BPJS
dari MUI terkait sistem layanan BPJS Kesehatan kemudian menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat, bahkan dikalangan umat muslim itu sendiri. Ada pihak-pihak yang mendukung dan ada pula pihak-pihak yang tidak sepakat dengan fatwa tersebut. Seperti yang umumnya diketahui, BPJS Kesehatan merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. BPJS Kesehatan adalah implementasi dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sebelunya dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun sesuai dengan ketetapan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia kemudian berubah menjadi BPJS Kesehatan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014.3 Animo masyarakat Indonesia untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan yang merupakan implementasi dari UU SJSN Undang-undang 1945 dalam Pasal 34 ayat 2 menyebutkan kewajiban negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kewajiban ini yang kemudian diterjemahkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Undang-undang tersebut dirancang untuk memberikan landasan mewujudkan amanat UUD 1945. Di dalamnya terkandung semangat untuk mengakui jaminan sosial sebagai hak seluruh warga negara, untuk memperoleh rasa aman sosial, sejak dari lahir hingga meninggal dunia. SJSN dilaksanakan oleh badan yang dibentuk oleh pemerintah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan mengintegrasikan seluruh program jaminan nasional yang tersebar di empat lembaga penyelenggara terdahulu, yakni Jamsostek, Askes, Asabri dan
Kesehatan. Yang diharamkan pada fatwa tersebut adalah MUI menilai sistem premi hingga pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai fikih, MUI berkesimpulan BPJS tidak sesuai syariah karena diduga kuat mengandung gharar atau ketidakjelasan akad yang memicu potensi maysir dan melahirkan riba. Menurut MUI, dalam prinsip syariah harus diatur bagaimana status, kejelasan bentuk, serta jumlah akad atau iuran. Jika tidak, maka BPJS telah melakukan gharar atau penipuan. MUI juga mempertanyakan investasi iuran peserta yang dikelola BPJS. Selain itu MUI khawatir BPJS mengelola iuran tersebut dengan deposito, saham, dan cara lain di bank nonsyariah. Karena potensi riba bisa terjadi apabila dana didepositokan ke bank yang memberi bunga. Kemudian pada tanggal 30 Juli 2015, MUI merevisi fatwa haram BPJS Kesehatan. MUI menegaskan bahwa BPJS tidak haram, namun tetap harus ditindaklanjuti karena berjalan tidak sesuai dengan syariah. 3 https://id.wikipedia.org/wiki/BPJS_Kesehatan (Diakses pada tanggal 18 Agustus 2015).
Taspen. UU SJSN mengintegrasikan seluruh penyelenggaran program jaminan sosial bagi seluruh rakyat, baik yang mampu maupun tidak mampu. Animo masyarakat Indonesia untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan yang merupakan implementasi dari UU SJSN tersebut cukup besar. Berdasarkan data terakhir, peserta BPJS Kesehatan mencapai 142 juta orang. Proyeksi tahun 2015 jumlah peserta meningkat menjadi 168 juta orang dengan 30 juta orang merupakan pekerja penerima upah (PPU).4 Dengan mempertimbangkan berbagai manfaat serta keuntungan dari program tersebut,5 terdapat pihak-pihak yang tidak setuju atau berlawanan terhadap fatwa haram BPJS Kesehatan yang dikeluarkan oleh MUI dan diberitakan oleh berbagai media pada akhir Juli 2015, sehingga wacana tersebut tentu saja menimbulkan polemik dan menjadi pemberitaan yang menggemparkan. Kontroversi isu fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI di tengah masyarakat membuat setiap media saling bersaing dalam menyajikan berita yang aktual dan menarik khalayak. Polemik tersebut diberitakan di berbagai media massa, baik media cetak, elektronik, maupun media online. Dengan kata lain, isu fatwa haram BPJS Kesehatan yang dikeluarkan oleh MUI merupakan salah satu peristiwa yang dianggap memiliki nilai berita6 sehingga layak untuk di angkat menjadi sebuah berita. Berita yang muncul di media massa merupakan hasil saringan dan kebijakan redaksi atas suatu peristiwa yang diliput dan disesuaikan dengan sikap dan tujuan media. Media juga memiliki wewenang untuk menentukan fakta apa yang akan dipilih, bagian mana yang akan ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut. Hal ini berkaitan dengan cara pandang 4
http://print.kompas.com/baca/2015/06/09/Menilik-Layanan-Kesehatan-BPJS (Diakses pada tanggal 18 Agustus 2015). 5 BPJS Kesehatan memiliki beragam manfaat, yaitu: pesertanya berhak mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan (faskes) yang sesuai dengan hak dan ketentuan yang berlaku. Biaya pengobatan yang ditanggung mencakup; istri/ suami yang sah dari peserta BPJS yang mendapat tunjangan istri/ suami; anak yang sah dari peserta yang mendapat tunjangan anak yang tercantum dalam daftar/ slip gaji dengan jumlah tanggungan maksimal 2 (dua) anak. 6 Nilai berita menentukan peristiwa apa saja yang akan diberitakan, mana yang harus diliput, mana yang tidak perlu diliput, serta bagaimana peristiwa tersebut dikemas. Suatu peristiwa dianggap memiliki nilai berita dan layak diberitakan jika berhubungan dengan elit tertentu, mempunyai nilai dramatis, dapat memancing keharuan, human interest, dan lain sebagainya. Semakin besar peristiwa maka semakin besar dampak yang ditimbulkannya, dan lebih memungkinkan untuk dihitung sebagai berita. Lihat Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS (Halaman: 104).
atau perspektif yang digunakan oleh masing-masing media.7 Penonjolan yang dilakukan oleh media membuat informasi yang diberitakan menjadi lebih bermakna, sehingga realitas yang disajikan secara menonjol oleh media memiliki potensi untuk diperhatikan dan dapat memengaruhi pembaca dalam memahami sebuah realitas. Melalui konstruksi, media membangun pandangan dan pengetahuan masyarakat. Dengan kata lain, redefinisi yang dilakukan khalayak atau masyarakat mengenai isu fatwa haram tersebut turut dipengaruhi oleh konstruksi berita yang dilakukan oleh media massa.8 Berkaitan dengan hal ini, posisi media tidak bebas nilai karena sarat dengan beragam kepentingan. Fakta yang muncul di media tidak sepenuhnya sama dengan fakta yang sebenarnya. Selalu terdapat kekurangan dalam setiap sudut pandang dan hampir selalu terdapat rekonstruksi peristiwa/ fakta sebenarnya ke dalam fakta media. Sulit bagi media untuk menerapkan konsep yang bebas nilai selama proses produksi berlangsung disebabkan oleh banyaknya kepentingan yang ikut menentukan arah pemberitaan, baik kepentingan yang ada di dalam tubuh media maupun yang ada di luar.9 Terkait dengan hal tersebut, isu fatwa haram BPJS Kesehatan yang dikeluarkan oleh MUI dapat dikategorikan ke dalam salah satu isu yang menarik untuk dikaji mengingat pada masa awal pecahnya wacana itu, hampir setiap media memanfaatkan peristiwa tersebut untuk diberitakan. Berbagai sudut pandang pemberitaan media (baik pro maupun kontra) menyiratkan adanya kemungkinan penyampaian kepentingan serta motif-motif ideologis tertentu dari media-media tersebut. Dalam menyajikan berita yang akan disampaikan kepada khalayak, tentunya ada kebijakan-kebijakan yang sudah ditentukan olek keredaksian yang dapat membatasi wartawan dalam menulis berita. Kebijakan redaksional menjadi sebuah pedoman serta ukuran dalam menentukan kejadian seperti apa yang oleh media itu patut diangkat dan dipilih untuk dijadikan berita. Visi pokok yang
7
Alex Sobur. 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. (Halaman: 162). 8 Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS (Halaman: 23). 9 Noam Chomsky. 2006. Politik Kuasa Media. Yogyakarta: Pinus. (Halaman: 56).
dijabarkan menjadi kebijakan redaksional tersebut menjadi kerangka acuan sertan kriteria dalam menyeleksi dan mengolah menjadi berita.10 Pada penelitian ini, media sekaligus digunakan sebagai arena pertarungan wacana antara BPJS Kesehatan dan MUI. Relasi media dan kelompok dominan dalam rangka aktualisasi penegakan kepentingan umum, dalam hal ini menegakkan prinsip-prinsip dasar nilai sosial yang universal terutama dalam kaitannya dengan keadilan sosial, demokrasi, dan nilai-nilai budaya yang diinginkan publik.11 Pernyataan tersebut kemudian mengantarkan penelitian ini kepada sebuah pemahaman yakni menyangkut perang wacana antar kelompok dominan dalam media. Kelompok dominan dalam kajian ini mengarah kepada negara atau representasi negara dan masyarakat sipil.12 Adapun produk dari pertarungan antara kedua kelompok dominan tersebut dinamakan kekuasaan simbolik karena representasi kekuasaan yang direbut dalam bentuk kekuasaan ideologis.13 Negara dan masyarakat sipil sebagai dua kelompok dominan merupakan aktor yang mengakses media untuk mengendalikan agen-agen media (wartawan) dalam mengkonstruksi isu fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI. Negara dalam penjelasannya mengacu pada integrasi institusi-institusi seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga administrasi pemerintah pusat dan daerah, parlemen, kepolisian, dan lain sebagainya.14 Adapun negara berdasarkan orientasi kepentingannya dapat ditinjau dari empat teori besar yaitu teori Marxis (negara adalah alat kelas yang dominan), teori pluralis (negara adalah alat semua kelompok), teori Hegel (negara sebagai lembaga di atas kepentingan masyarakat), teori C. Wright Mills (negara sebagai penjelmaan elit kekuasaan). Pemahaman negara dalam penelitian ini merujuk pada teori pluralis yang menyatakan bahwa negara terdiri dari beragam kelompok dominan yang memiliki kepentingan 10
Jacob Oetama. 2001. Pers Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Gramedia Group. (Halaman: 146). Dennis McQuail. 2009. Mass Communication Theory. London: Sage Publications. (Halaman: 165). 12 Terdapat sumber berita media yaitu sumber resmi atau sumber berita dari negara (officially) dan sumber non negara atau sumber tidak resmi (non-officially) atau sumber non-konvensional. Lihat Herbert Strentz. 1993. Reporter dan Sumber Berita Persekongkolan dalam Mengemas dan Menyesatkan Berita. Jakarta: PT Gramedia. (Halaman: 131-171) 13 Yoce Aliah Darma. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. 14 Steve Bruce and Steven Yearley. 2006. The Sage Dictionary of Sociology. Sage Publications London Thousand Oaks. New Delhi. (Halaman: 287). 11
berbeda. Setiap kelompok dominan memiliki kesempatan untuk bersaing. Kebijakan negara adalah sebuah kompromi dan persaingan antar kekuatankekuatan dominan di masyarakat.15 Manivestasi negara dalam pemikiran tersebut mencakup pejabat instansi pemerintah, DPR, pihak BPJS Kesehatan, Istana Negara/ Kepresidenan atau pihak-pihak yang kontra dengan fatwa haram BPJS Kesehatan yang digagas oleh MUI. Sedangkan masyarakat sipil didefinisikan sebagai lembaga nonpemerintah yang mengisi ruang antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, pelembagaan masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial yang terorganisasi secara terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada seperangkat nilai-nilai bersama atau tatanan legal.16 Pemahaman tersebut juga diperkuat dengan pendapat Hayes (2000) yang mengartikan masyarakat sipil sebagai kolektivitas organisasi-organisasi nonnegara, kelompok-kelompok kepentingan serta asosiasi-asosiasi seperti serikat buruh, pelajar, mahasiswa perguruan tinggi, media, dan lembaga-lembaga keagamaan yang secara kolektif terus melakukan pengawasan terhadap kekuasaan dan keseluruhan kecenderungan dari negara.17 Masyakat sipil melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mendiri, setidaknya bersuadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat dari tatanan legal atau seprangkat nilai bersama. Pergertian secara umum keterlibatan warga negara yang bertindak secara kolektif dalam ruang publik untuk mengeksperesikan kepentingan-kepentingan, hasrat, pilihan, dan ide-ide mereka untuk bertukar informasi, mencapai sasaran kolektif, mengajukan tuntutan pada negara, memperbaiki struktur dan fungsi negara, dan untuk menuntut akuntabiltas penjabat negara. Eksistensi masyarakat sipil dinyatakan terjaga ketika mereka mampu mempertahankan hak-hak dan secara bersama memperjuangkan kepentingan sipil yang sah dan tidak dimanipulasi oleh
15
Arief Budiman. 2002. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologisasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. (Halaman: 98). 16 Larry Diamond. 2003. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press. (Halaman: 278-280). 17 Jeff Heyes. 2000. Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga: Gerakan Sosial Baru Rakyat Terpinggir. Yayasan Obor Indonesia. (Halaman: 29).
negara, atau dengan kata lain masyarakat sipil tidak mensubordinasikan diri kepada negara.18 Negara dan masyarakat sipil dalam konteks penelitian ini merupakan variabel yang digunakan oleh media dalam mengkonstruksi realitas. Adapun peran negara dan masyarakat sipil dalam relasi dengan media merupakan representasi dua kelompok dominan yang mengakses media dan berperan sebagai sumber berita media. Substansi dalam penelitian ini menyangkut bagaimana media mengkonstruksi isu fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI. Di mana dalam konteks penelitian ini, teks media dipahami sebagai artikulasi dan pertarungan ideologi kelompok-kelompok subordinat yang menentang penimpaan makna yang sarat dengan kepentingan dari kelompok-kelompok dominan yang superordinat. Karakter dari wacana media senantiasa merespon kondisi politik dan sejarah yang berubah dan ditandai dengan perdebatan, ketidaksetujuan dan intervensi.19 Penelitian ini menggunakan media online sebagai objek kajiannya. Adapun hal yang menjadi alasan pemilihannya adalah: pertama, telah terjadi perubahan pada ekosistem media. Jika sebelumnya media informasi hanya bertumpu pada wilayah radio, televisi, dan surat kabar, namun terhitung sejak pemerintah Indonesia mengembangkan infrastruktur internet pada tahun 1980an, hingga memasuki fase awal perkembangannya pada tahun 1990an, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat pesat dan menjadikan informasi semakin terbuka melalui media yang sifatnya online. Tak pelak media-media mainstream turut melebarkan sayapnya dengan membuat pemberitaan versi
18
MUI dalam penelitian ini digolongkan ke dalam masyarakat sipil karena berdasarkan definisinya, MUI adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina, dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. MUI sebagai lembaga masyarakat sipil berbasis agama (Islam) tentunya dalam mengeluarkan fatwa haram memang sebuah keniscayaan lembaga tersebut. Bahkan ketika MUI mendorong fatwa tersebut untuk diadopsi oleh pemerintah, itu juga sebagai sesuatu yang wajar saja dilakukan. Karena kebebasan dan keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam kebijakan negara memang dibolehkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. MUI adalah suatu gerakan masyarakat yang tidak berbeda dengan organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam yang memiliki keberadaan otonom dalam arti tidak tergantung dan tepengaruh kepada pihak-pihak lain di luar organisasi tersebut khususnya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap, dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Lihat www.mui.or.id. 19 John Storey. 2010. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Jalasutra. (Halaman: 2-4).
online.20 Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan tren media online semakin memudahkan akses persebaran informasi dari personal ke publik atau sebaliknya. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan pada tanggal 1 November 2014 hingga 28 Februari 2015 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), angka pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2014 tercatat sebesar 88,1 juta pengguna dengan penetrasi 34,9%. Angka tersebut mengalami peningkatan sebesar 16,91 juta pengguna dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya berkisar 71,19 juta pengguna dengan penetrasi sebesar 28%.21 Tingginya penggunaan internet ini disebabkan oleh kemampuan internet yang dapat menyatukan berbagai jenis informasi seperti data, grafik, suara, gambar, dan video ke dalam bentuk digital melalu konvergensi. Pada gilirannya, konvergensi, digitalisasi, serta jaringan global menyebabkan persebaran informasi melalui media online sangat aktual dan lebih update dibandingkan media cetak, sehingga pembaca selalu mendapatkan berita terbaru tanpa terbatas oleh ruang dan waktu. Pertimbangan selanjutnya adalah pasca kejadian 9/11, media online memiliki peran penting sebagai pendorong atmosfer kebebasan pers dan independensi media yang menurun.22 Berdasarkan alasan-alasan tersebut, diasumsikan konten media online memiliki jangkauan yang luas untuk menyebarkan informasi ke khalayak dan heterogen, sehingga kesempatan penerapan objektivitas lebih besar. Penerapan objektivitas bagi media merupakan hal yang urgent. Informasi yang disampaikan di media memiliki peran signifikan
20
Di mana di Indonesia, gejala ini setelah diawali dengan munculnya portal online koran Republika dan Kompas, kemudian Tempo Interaktif ikut menyusul pada tahun 1996, serta beberapa media online murni seperti vivanews.com dan okezone.com. 21 Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. 2015. Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Perpustakaan Nasional Rl: Katalog Dalam Terbitan (KDT). 22 Disebutkan bahwa media merupakan elemen ke lima dari enam elemen utama National Security State. Maka dari itu, media harus berada di bawah kontrol pemerintah atau elit media yang pro pemerintah. Hal ini tidak sulit dicapai sebab pers telah berada dalam kontrol sejak tahun 1950-an. Independensi pers dipandang sebagai musuh utama, sebab pers independen memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mencermati dan mengkritisi kebijakan politik. Yang tentu saja tidak baik bagi pemerintah, terutama pasca 9/11. Oleh karena itu, seluruh konten media berusaha di homogenisasi melalui sumber-sumber official. Tidak ada laporan mendalam dan substansial, tidak ada peningkatan kualitas laporan. “Information is still coming from the top down and is reported that way: the press room, the briefing room, the board room” C. William Michaels. 2002. No Greater Threat: America After September 11 and the Rise of National Security State. New York: Algora Publishing. (Halaman 229).
bagi pembentukan opini masyarakat sehingga media harus memberikan informasi yang objektif.23 Namun, media dalam paradigma konstruktivisme bukanlah saluran yang bebas dan netral, melainkan subjek yang mengkonstruksi realitas. Meskipun sikap objektif merupakan kiblat bagi setiap wartawan, namun dalam peristiwa yang sama setiap media memiliki perbedaan dalam memberitakannya. Ada yang menampilkan sisi tertentu, ada yang menyembunyikan sisi tertentu. Dalam hal yang lain, ada media yang menonjolkan sisi tertentu, ada pula media yang mengaburkan, meminimalisir, atau bahkan menutup sisi tersebut. Realitas yang sama menjadi jauh berbeda ketika diberitakan oleh media dengan corak ideologi dan kebijakan redaksional yang berbeda. Hal tersebut juga disebabkan oleh keterbatasan media dalam menyajikan seluruh realitas sosial, sehingga ada proses seleksi yang dilakukan oleh gatekeeper24 yang dilakukan dengan sangat subjektif, semuanya tergantung pada visi, misi, nilai, serta kepentingan masing-masing media tersebut. Visi pokok tersebut kemudian dijabarkan menjadi kebijakan redaksional yang dijadikan kerangka acuan sekaligus kriteria dalam menyeleksi dan mengolah sebuah isu menjadi berita.25 Adapun media yang menjadi objek analisis dalam penelitian ini adalah pioneer dalam perkembangan media online di Indonesia, yaitu portal Kompas dengan situs www.kompas.com dan portal Republika Online dengan situs www.republika.co.id.
Baik
portal
Kompas.com
maupun
Republika.co.id
menganut nilai-nilai yang berbeda, dengan kebijakan redaksional yang merujuk kepada kepentingan (baik politik maupun ekonomi) sekaligus motif masing-
23
Dalam era informasi ini, media massa menjadi institusi yang memiliki pengaruh besar. Harsono Suwardi (dalam Zein, 2013) menjelaskan lima faktor yang menjadikan media massa memiliki pengaruh yang begitu kuat: 1) media massa memiliki daya jangkau luas dalam menyebarkan informasi; 2) media massa memiliki kemampuan untuk melipatgandakan pesan yang begitu mengagumkan; 3) media massa dapat mewacanakan sebuah peristiwa politik, sesuai dengan pandangan masing-masing; 4) media massa memiliki fungsi agenda-setting; 5) pemberitaan suatu media berkaitan dengan media lain, sehingga terbentuklah rantai informasi yang koheren. 24 Gatekeeper atau “penjaga gawang” merupakan bagian dari institusi media dan hasil kerjanya memiliki efek positif pada kualitas pesan dan berita yang disampaikan kepada publik. Gatekeeper pada media bertugas untuk menentukan penilaian apakah suatu informasi penting atau tidak. Gatekeeper mempunyai wewenang untuk tidak memuat berita yang dianggap tidak penting, tidak menghasilkan keuntungan, dan dianggap tidak layak oleh media. 25 Jacob Oetama. 2001. Pers Indonesia, Jakarta : PT. Kompas Gramedia Group. (Halaman: 146)
masing media.26 Sehingga besar kemungkinan terdapat perbedaan antara masingmasing media tersebut dalam memberitakan isu yang sama (dalam hal ini adalah isu fatwa haram BPJS Kesehatan oleh MUI). Hal itu disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang keduanya dalam mengkonstruksi suatu realitas yang erat kaitannya dengan perbedaan visi dan misi serta kebijakan redaksional dari masing-masing media. Dan pada dasarnya, setiap media memiliki kebebasan untuk memilih fakta mana yang akan ditampilkan dalam teks berita yang dibuatnya. Justru dengan adanya kebebasan membuat teks itulah motivasi serta tujuan setiap media dapat disingkap dengan menggunakan metodologi penelitian tertentu.27 Terdapat tiga tindakan yang biasa dilakukan oleh media massa dalam melakukan konstruksi realitas. Pertama, pemilihan kata atau simbol-simbol tertentu. Simbol yang dipilih untuk digunakan akan memengaruhi makna tertentu. Kedua, melakukan pembingkaian (framing) untuk mengartikulasikan nilai-nilai berita agar sesuai dengan ruang yang tersedia. Ketiga, melakukan (agendasetting) atau penyediaan ruang pada media. Semakin besar media mengekspose suatu peristiwa, maka semakin besar pula perhatian khalayak terhadap peristiwa tersebut.28 Sehingga konstruksi realitas dalam pemberitaan suatu media tergantung pada bagaimana suatu media menjelaskan fakta, mengurutkan fakta, dan mengkomunikasikannya kepada khalayak. Berdasarkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki media massa dalam melakukan konstruksi realitas tersebut, maka portal Kompas.com dan Republika.co.id sebagai media juga memiliki kemampuan-kemampuan tersebut. Ketika kedua media online itu memaparkan berita dengan mengangkat sebuah peristiwa/ isu yang sama, mereka akan memaparkannya sesuai dengan konstruksi realitas yang berlandaskan pada kebijakan redaksional masing-masing guna 26
Penjelasan secara komperhensif terkait alasan ideologis pemilihan kedua media online yang menjadi objek penelitian akan penulis jelaskan pada Bab III dalam penelitian ini. 27 Dalam hal ini penelitian ini menggunakan analisis framing sebagai metodologi penelitian, karena salah satu cara yang dapat digunakan untuk menangkap cara media mengkonstruksi sebuah realitas adalah dengan mengaplikasikan analisis framing yang secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Pembingkaian realitas tersebut tentu melalui proses konstruksi di mana realitas sosial dimaknai dengan makna-makna dan bentukan tertentu. 28 Ibnu Hamad. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. (Halaman: 63).
memperjuangkan wacananya sebagai wacana yang dominan yang dapat dilihat dari penonjolan isu serta pemilihan sumber berita media yang berbeda. Sumber berita media sendiri dibagi menjadi dua yakni: (1) sumber berita dari negara atau dari pihak-pihak yang kontra terhadap fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI; (2) sumber berita non negara atau masyarakat sipil yang pro terhadap fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI. Analisis ekonomi politik kemudian membongkar peran sumber berita negara dan sumber berita non negara dalam agenda-setting media untuk memengaruhi konstruksi realitas dalam rangka mencapai dominasi dan kekuasaan simbolik di dalam pemberitaan media. Posisi sumber berita media dijadikan sebagai kajian dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur atau praktik-praktik kekuasaan dalam media. Berangkat dari penjelasan-penjelasan di atas, peneliti merasa tertarik dan perlu untuk menggali peristiwa ini secara lebih dalam, khususnya mengenai konstruksi realitas terkait isu fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI yang dibangun oleh kedua media online nasional yaitu portal Kompas.com dan Republika.co.id. Selain itu, penelitian ini juga berusaha memberikan penjelasan terkait perang wacana yang dilakukan oleh kelompok dominan (negara dan masyarakat sipil) dalam pemberitaan fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI. Fokus analisis penelitian kemudian terletak pada dimensi ekonomi politik yang berada di balik perang wacana tersebut. Penelitian ini sekaligus ingin mengetahui apakah polemik fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI dapat menjelaskan perubahan struktur kekuasaan dalam media dari dominasi negara (state centered) ke masyarakat sipil (civil centered), dengan kata lain apakah nantinya negara atau justru masyarakat sipil yang akan menjadi penentu krisis.29 B. Pertanyaan Penelitian Sudut pandang pemberitaan yang digunakan oleh portal Kompas.com dan Republika.co.id menjadi hal yang penting dalam mengkonstruksi isu fatwa haram BPJS Kesehatan yang dikeluarkan oleh MUI. Perbedaan media dalam mengkonstruksi realitas merupakan strategi menyimpan motif atau kepentingan dari masing-masing media tersebut dibalik teks berita yang diproduksinya. 29
Ziauddin Sardar dan Borin van Loon. 2009. Membongkar Kuasa Media. Resist Book. (Halaman: 59-62).
Adapun fokus pembuktiannya terletak pada aspek ekonomi dan politik media. Maka dari itu, permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut: 1) Bagaimana portal Kompas.com dan Republika.co.id mengkonstruksi berita fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI? 2) Bagaimana perbedaan frame atau bingkai berita antara portal Kompas.com dan Republika.co.id terkait berita fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI? 3) Bagaimana bentuk struktur kekuasaan simbolik dalam portal Kompas.com dan Republika.co.id yang diproduksi dari pertarungan wacana antara negara (pihak-pihak pro BPJS Kesehatan) dan masyarakat sipil (pihakpihak pro MUI) dalam berita fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI?
C. Tujuan Penelitian 1) Menjelaskan konstruksi berita fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI di portal Kompas.com dan Republika.co.id. 2) Membandingkan frame atau bingkai berita fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI antara portal Kompas.com dan Republika.co.id. 3) Menjelaskan praktik kekuasaan yang diproduksi dari pertarungan wacana antara negara dan masyarakat sipil dalam berita fatwa haram BPJS Kesehatan dari MUI dalam portal Kompas.com dan Republika.co.id.
D. Manfaat Penelitian 1) Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi guna memperkaya koleksi kajian yang menggunakan metode analisis framing dalam dunia akademik, sekaligus dapat membangun pemahaman masyarakat guna memahami bahwa isi teks yang dikonstruksi oleh media tidaklah netral. Hal ini dikarenakan setiap media melakukan framing yang berangkat dari visi misi, kepentingan, serta motif-motif yang ada di balik kebijakan redaksional dari masing-masing media tersebut. 2) Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberi pengetahuan tentang bagaimana media online di Indonesia mengkonstruksi realitas
sekaligus menambah pemahaman terkait praktik-praktik kekuasaan simbolik yang terdapat di dalam media.