BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemenuhan aspek-aspek terkait dengan Hak Asasi Manusia merupakan amanat kemanusiaan yang wajib ditunaikan oleh setiap bangsa. Negara yang maju adalah Negara yang tidak hanya mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi namun juga dapat menciptakan keadaan kondusif yang sedemikian rupa serta mengupayakan kesejahteraan bagi warga Negaranya. Seperti yang tertuang dalam alinea keempat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan sebagai berikut : “………Kemudian
daripada
itu
untuk
membentuk
suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum……….” Kesejahteraan segenap rakyat Indonesia merupakan salah satu cita-cita luhur bangsa Indonesia. Dalam upaya perwujudan kesejahteraan rakyat bagi warga Negaranya, sebagaimana yang dicetuskan oleh teori welfarestate dalam pelaksanaannya hendaknya didasarkan kepada aspek-aspek antara lain demokrasi, penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia, keadilan sosial dan penghapusan diskriminasi. Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak dapat dipisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati dan dihormati. Indonesia sejatinya telah berupaya memberikan jaminan perlindungan luar biasa terhadap hak asasi warga Negaranya. Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 termaktub sudah perlindungan atas keberadaan hak asasi manusia yang
1
2
melekat pada setiap warga Negara Indonesia. Dalam Pasal 28A Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan bahwa : “Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dalam hal untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya, setiap manusia, tanpa terkecuali; ketika sudah mencapai kriteria-kriteria tertentu berhak untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan serta ilmu yang mereka miliki. Hal tersebut sejalan dengan amanat konstitusi dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yakni : (2) Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali berhak mendapatkan pekerjaan serta penghidupan yang layak untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal tersebut kembali dikuatkan dengan 28D ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Demikian pentingnya perlindungan hak untuk mendapatkan pekerjaan bagi setiap warga Negara Indonesia, sehingga dirasa kurang apabila hanya menginduk pada konstitusi semata. Hal tersebut yang pada akhirnya mendorong Pemerintah untuk membuat peraturan perundang-undangan lain sebagai peraturan pelaksana amanat dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 seperti Undang-undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam skala Internasional, Indonesia telah mengakui eksistensi hak asasi manusia dengan menghormati keberadaan Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta telah
3
meratifikasi beberapa konvensi Internasional hak asasi manusia yang penting, antara lain: (i) Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik; (ii) Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; (iii) Konvensi tentang Hak Anak; (iv) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita; (v) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia; (vi) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Domu P. Sihite, Jurnal Dignitas, No. 1, 2011:85). Pada dasarnya, setiap individu berkedudukan sama di mata hukum. Perlakuan diskriminatif tidak lagi diperkenankan diberlakukan pada siapapun. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diskriminasi dijabarkan sebagai berikut : “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.” Tak dapat dielakkan bahwa tidak semua manusia dilahirkan dalam keadaan sempurna jasmani serta rohaninya. Keberadaan penyandang difabel dalam sebuah masyarakat menjadi sebuah keadaan yang seringkali menjurus pada lahirnya diskriminasi perlakuan publik. Secara sosiologis, apabila dilihat dari ideologi kenormalan, seorang manusia yang dianugerahi fisik yang sempurna sering berasumsi bahwa penyandang difabel hampir selalu bertemperamen tinggi/ mudah tersinggung, sukar untuk berkomunikasi serta tidak mudah bergaul. Sebaliknya, penyandang difabel seringkali merasa rendah diri karena sadar pasti akan kekurangannya. Terhadap manusia normal,
4
penyandang difabel memiliki asumsi-asumsi bahwa mereka tidak dapat menerima kekurangan penyandang difabel sehingga menimbulkan ketakutan tersendiri akan adanya pelecehan/ perlakuan diskriminatif. Jurang-jurang tersebutlah yang menyebabkan kurang wajarnya interaksi sosial yang timbul antar masyarakat dan penyandang difabel di sekitar mereka. Penanganan model panti, pada akhirnya merespon difabilitas dengan metode pemberian keterampilan-keterampilan praktis. Adanya stigma bahwa penyandang difabel rata-rata ulet, telaten, boleh jadi bukan karena pembawaan sejak lahir, namun dapat terjadi karena proses pembentukan yang sudah terkondisikan sedemikian rupa. Penanganan pada panti-panti sosial maupun rehabilitasi lebih banyak mengarah kepada pengasahan keterampilan saja; seperti membuat kemoceng, menjahit kain perca, sehingga kemampuan intelektual penyandang difabel menjadi sangat terabaikan. Padahal apabila dipahami lebih dalam, tidak semua penyandang difabel masuk dalam kategori difabel mampu latih, namun lebih pantas digolongkan ke golongan difabel mampu didik, yang mana berarti bahwa intelektualitas penyandang difabel yang bersangkutan sama sekali tidak berbeda dengan manusia normal lainnya. Penyandang difabel; meski memiliki keterbatasan kemampuan, tidak serta merta menghilangkan hak konstitusional mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak demi mempertahankan kehidupannya. Berdasarkan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP205/MEN/1999 Tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat disebutkan bahwa : (1)
(2)
Untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja, maka pengusaha wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang tenaga kerja penyandang cacat sesuai dengan persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan. Pengusaha yang menggunakan teknologi tinggi dan mempekerjakan tenaga kerja kurang dari 100 (seratus) orang wajib mempekerjakan satu atau lebih tenaga kerja penyandang cacat.
5
Dengan adanya klausul tersebut, nampak jelas bahwa sebetulnya lapangan pekerjaan bagi warga penyandang difabel tidak melulu terbatas pada sektor keterampilan saja. Penyandang difabel dapat bekerja baik pada instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maupun perusahaan swasta sesuai dengan kualifikasi serta kemampuan yang dimilikinya. Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang telah membuahkan sebuah peraturan daerah sebagai bentuk usaha perlindungan hak-hak penyandang difabel. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel dibentuk sebagai upaya pemberian kepastian hukum dalam memberikan jaminan penghormatan terhadap hak asasi manusia; dalam hal ini khususnya penyandang difabel, dalam lingkup daerah Kota Surakarta. Dalam keberjalanannya, kondisi di lapangan seringkali belum sesuai dengan apa yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Meskti telah diatur secara eksplisit pada Pasal 19 ayat (2) mengenai pelaksanaan pengaturan perihal kesempatan kerja pada warga penyandang difabel, sangat jarang BUMN, BUMD, maupun Swasta yang mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 orang difabel dari 100 orang pekerjanya. Disini peran Pemerintah
Kota
Surakarta
menjadi
sangat
penting
terkait
dengan
implementasi Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. Menjadi sebuah hal yang menarik untuk dikaji, bagaimana fungsi sebuah Pemerintahan Daerah; dalam hal ini Pemerintah Kota Surakarta, dalam upaya pemenuhan hak konstitusional ketenagakerjaan warga penyandang difabel. Bagaimana dalam aspek penyebaran kesempatan kerja, dapat dikatakan penyandang difabel masih saja dipandang sebelah mata dalam bursa kerja. Bagaimana dampak dari pola penanganan difabel yang sejak awal lebih difokuskan pada pembekalan keterampilan dapat berimbas pada output kemampuan penyandang difabel itu sendiri. Peningkatan peran Pemerintah
6
Daerah serta pembenahan-pembenahan dalam upaya penyetaraan difabel; terutama dalam aspek ketenagakerjaan, yang masih harus terus diupayakan demi terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi sebuah permasalahan hukum yang menarik untuk dilihat lebih dalam. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Penulis bermaksud untuk mengangkat sebuah isu hukum yang kemudian dituangkan dalam suatu penulisan hukum skripsi dengan judul “Implementasi Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kesetaraan Difabel Terkait Pemenuhan Hak Konstitusional Di Sektor Ketenagakerjaan”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang menggambarkan betapa kompleksnya permasalahan terkait kesempatan kerja sebagai hak dasar bagi warga penyandang difabel dengan peran Pemerintah Daerah Kota Surakarta dalam pemenuhan hak konstitusional warga penyandang difabel, maka pokok masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel dalam pemenuhan hak konstitusional di bidang ketenagakerjaan bagi warga penyandang difabel di Surakarta?
2.
Bagaimana kendala dan upaya Pemerintah Kota Surakarta dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel terkait dengan pemenuhan hak konstitusional di bidang ketenagakerjaan bagi warga penyandang difabel di Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
7
Suatu penelitian selayaknya memiliki tujuan yang hendak dicapai dan diharapkan penelitian tersebut akan mampu memberikan manfaat bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam menyusun sebuah penelitian, pada dasarnya dikenal 2 (dua) tujuan penelitian yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif. Secara ringkas, dapat dijelaskan bahwa tujuan objektif dari sebuah penelitian merupakan tujuan dari penulisan penelitian dilihat dari tujuan umum yang berasal dari penelitian itu sendiri. Sedangkan tujuan subjektif penelitian merupakan tujuan penulisan yang dapat dilihat dari pribadi penulis sendiri sebagai dasar dalam melakukan penelitian ini. Adapun tujuan objektif dan tujuan subjektif yang hendak dicapai oleh penulis melalui penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Tujuan Objektif a.
Untuk mengetahui bagaimana implementasi dari Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel dalam pemenuhan hak konstitusional di bidang ketenagakerjaan bagi warga penyandang difabel di Surakarta.
b.
Untuk menganalisis kendala dan upaya Pemerintah Kota Surakarta dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel terkait dengan pemenuhan hak konstitusional di bidang ketenagakerjaan bagi warga penyandang difabel di Surakarta.
2.
Tujuan Subjektif a.
Untuk menambah, memperdalam, serta mengembangkan wawasan serta ilmu pengetahuan penulis baik teori maupun praktik mengenai aspek ilmu hukum pada umumnya serta hukum tata Negara pada khususnya.
8
b.
Untuk mencoba mengenal lebih dalam kehidupan warga penyandang difabel serta kedudukannya di mata hukum.
c.
Untuk menerapkan ilmu-ilmu serta penalaran kritis yang telah didapat pada masa perkuliahan sehingga dapat berkontribusi secara nyata dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada masyarakat.
d.
Untuk memenuhi persyaratan akademis guna meraih gelar Sarjana Hukum pada bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian Sebuah penelitian, disamping memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai seyogyanya dapat memberikan manfaat terutama pada bidang ilmu yang ditekuni. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoritis a.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum tata Negara pada khususnya, sehingga hukum dapat bergerak dinamis sesuai dengan kemajuan masyarakat.
b.
Penelitian ini diharapkan dapat menawarkan solusi atas permasalahanpermasalahan hukum di bidang hukum tata Negara yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini.
c.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah referensi dan literatur maupun acuan dalam penelitian dengan bidang yang sama di kemudian hari.
2.
Manfaat Praktis
9
a.
Sebagai sarana penulis dalam mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis serta kritis sekaligus mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan cara pandang baru pada masyarakat luas serta masukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian Metode Penelitian merupakan uraian teknis yang digunakan dalam sebuah penelitian (Bahder Johan Nasution, 2008:3). H.J. van Eikema Hommes dalam Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa tidak dimungkinkannya penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu (Peter Mahmud Marzuki, 2014:18). Adapun metode penelitian yang digunakan Penulis dalam menyusun penulisan hukum ini antara lain adalah sebagai berikut: 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum empiris atau non-doctrinal research untuk mengetahui keadaan-keadaan faktual yang terjadi di dalam praktek. Penelitan hukum empiris merupakan penelitian yang didasarkan pada metode, sistematika, sertra pemikiran-pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala sosial tertentu dengan cara menganalisanya. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan atau observasi-observasi yang mendalam terhadap fakta sosial tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dari gejala yang bersangkutan. Pada penulisan sosiologis atau empiris maka yang diteliti
10
pertama adalah data sekunder yang memberikan penjelasan mengenai penulisan penelitian hukum, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian data primer di lapangan atau terhadap masyarakat terkait (Soerjono Soekanto, 2014 : 52). 2.
Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif (Soerjono Soekanto, 2014 : 10). Sifat penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang diteliti tentang implementasi Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel di sektor ketenagakerjaan berdasarkan keadaan atau gejala-gejala lainnya, untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru
3.
Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif karena dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada data-data yang digunakan responden secara lisan atau tertulis, dan juga perilakunya yang nyata diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 2014:250).
4.
Sumber Penelitian Sumber data yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian hukum ini antara lain adalah : a.
Sumber Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung dari lapangan yang menjadi obyek penelitian atau diperoleh melalui wawancara yang berupa keterangan atau fakta-fakta
11
atau juga bisa disebut dengan sumber data yang diperoleh dari sumber yang pertama (Soerjono Soekanto, 2014 : 12). b.
Sumber Data Sekunder Data sekunder adalah data yang di dapat dari keterangan atau pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh secara tidak langsung antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berupa laporan (Soerjono Soekanto, 2014:12). 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum mengikat berupa peraturan perundang-undangan dan terdiri dari : 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3.
Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
2009
tentang
2003
tentang
Kesejahteraan Sosial. 4.
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
Ketenagakerjaan. 5.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
6.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
7.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
8.
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
tentang
12
9.
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan Daerah jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 10. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. 11. Peraturan Walikota Surakarta Nomor 15-U Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surakarta. 12. Peraturan Walikota Surakarta Nomor 9 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat berupa rancangan undang-undang, hasilhasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, buku-buku, jurnal dan majalah (Soerjono Soekanto, 2014: 52). 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus hukum, ensiklopedia, dan internet (Soerjono Soekanto, 2014: 52) 5.
Teknik Pengumpulan Data Dalam
Penelitian
pada
umumnya
dikenal
tiga
jenis
alat
pengumpulan data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview (Soerjono Soekanto, 2014: 21). Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penulisan
13
hukun ini adalah studi kepustakaan dan wawancara. Teknik pengumpulan data sekunder dengan menggunakan studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari
buku-buku
dokumen-dokumen
literatur,
resmi,
hasil
peraturan penelitian
perundang-undangan,
terdahulu,
dan
bahan
kepustakaan lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2014: 12). Dalam penelitian ini penulis juga melakukan pengumpulan data melalui wawancara atau interview kepada narasumber-narasumber yang berkaitan dengan penulisan hukum ini guna mendapatkan informasi dan keterangan sebagai pelengkap data. wawancara atau interview dapat dilakukan dengan tatap muka maupun tidak. Wawancara-wawancara dilakukan dengan berbagai narasumber dari berbagai latar belakang yang Penulis nilai cukup kompeten dalam bidang ini dan dapat memberikan pernyataan yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Narasumber dalam penelitian ini adalah : 1. Bapak Sri Setyo dalam wewenangnya selaku Seksi Pembinaan dan Pelatihan Tenaga Kerja khususnya dalam hal pengantar
kerja
penyandang
cacat
Dinas
Sosial,
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Surakarta. 2. Bapak Toto Sumakno dalam wewenangnya selaku Seksi Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Surakarta. 3. Bapak Triman dalam wewenangnya selaku Seksi Panti dan Anak Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Surakarta. 4. Ibu Sri Sudarti dalam wewenangnya selaku anggota Tim Advokasi Difabel Kota Surakarta.
14
5. Bapak Handojo dalam wewenangnya selaku salah satu perumus Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. 6. Bapak Sapto Nugroho dalam wewenangnya selaku Ketua Yayasan Talenta. 7. Ibu Pamikatsih dalam wewenangnya selaku anggota LSM Interaksi Surakarta. 6.
Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan menggunakan, mengelompokan, dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan. Dalam teknis analisis data ini terdapat tiga komponen utama, antara lain (H.B. Sutopo, 2006 : 113-116) : a.
Reduksi Data Reduksi
data
merupakan
proses
penyeleksian,
penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh dari catatan tulis yang terdapat di lapangan. Reduksi adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat focus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga menjadi narasi sajian data dan simpulansimpulan dari unit-unit permasalahan yang dikaji dalam penelitian yang dilakukan. b.
Penyajian Data Penyajian
data
merupakan
rangkaian
informasi
yang
memungkinkan untuk ditarik kesimpulan dari penelitian yang akan dilakukan. Selain berbentuk kajian dengan kalimat, sajian data
15
dapat ditampilkan dengan berbagai jenis gambar, kaitan kegiatan dan tabel. c.
Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Penarikan kesimpulan berdasarkan atas semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan, pernyataan dan konfigurasi yang mungkin berkaitan dengan data.
F. Sistematika Penulisan Pada dasarnya sebuah penulisan hukum ditulis berdasarkan kaidah serta sistematika penulisan, agar hasil akhir dari penulisan hukum tersebut mudah untuk dipahami. Sistematika penulisan hukum merupakan gambaran secara umum dan menyeluruh dari sebuah penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum diuraikan guna memberikan gambaran umum terhadap pembahasan sebuah isu hukum sesuai identifikasi masalah dan paparan pendukung dari pembahasan isu hukum tersebut. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, dimana pada setiap bab terbagi menjadi beberapa sub-bab dan dimungkinkan pula pada setiap sub-bab tersebut terbagi lagi menjadi beberapa poin yang pada intinya adalah sebagai berikut: BAB I :
PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah yang menjadi isu hukum dalam penelitian ini serta menguraikan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum penelitian ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
16
Dalam bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori dan kerangka
pemikiran
yang
berkaitan
dengan
judul
dan
permasalahan yang hendak diteliti. Adapun kerangka teoritis yang mendasari penulisan ini adalah tinjauan tentang Pemerintah Daerah, tinjauan tentang Peraturan Daerah, tinjauan tentang Hak Asasi Manusia, tinjauan tentang Hak Konstitusional, tinjauan tentang Ketenagakerjaan, tinjauan tentang Difabel serta tinjauan tentang Teori Sistem Hukum. Kerangka pemikiran menjelaskan dan memberikan gambaran secara lebih ringkas dan mudah mengenai konsep alur berpikir penulis terhadap permasalahan yang menjadi isu hukum dalam penelitian ini yang kemudian dituangkan dalam sebuah bagan disertai dengan uraian singkat.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini memuat substansi pembahasan dari identifikasi masalah yang dirumuskan guna menjawab isu hukum yang diteliti. Adapun isu hukum yang menjadi dasar Penulis melakukan penelitian yaitu: A. Peran
Pemerintah
Daerah
dalam
pemenuhan
hak
konstitusional warga penyandang difabel di Kota Surakarta dari aspek ketenagakerjaan sebagai implementasi Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. B. Solusi hukum untuk meningkatkan peran Pemerintah Daerah dalam pemenuhan hak konstitusional warga penyandang difabel di Kota Surakarta dari aspek ketenagakerjaan sebagai implementasi Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel.
17
BAB IV :
PENUTUP Dalam bab ini dipaparkan kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian dan pembahasan serta saran-saran yang diajukan penulis sebagai implikasi dari simpulan yang didapat.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN