BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Studi tentang gender merupakan studi yang menarik dan tak pernah selesai. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan ketimpangan dan ketidakadilan gender dapat dengan mudah dibawa ke ranah akademis untuk kemudian dikaji menggunakan berbagai teori. Lagipula, tak bisa dielakkan lagi bahwa saat ini masyarakat hidup dalam budaya yang melihat gender sebagai bagian tak terpisahkan untuk dapat memahami perilaku manusia (Pearson, West & Turner, 1995, xiii). Dengan demikian, isu gender menjadi lebih terbuka untuk bersinggungan dengan berbagai disiplin ilmu. Misalnya, merujuk pada pengamatan Pearson, West dan Turner (1995, xiii) banyak sekali peneliti di bidang komunikasi yang tertarik untuk meneliti isu gender. Hal ini menjadikan gender sebagai salah satu tema penting dalam kajian komunikasi. Lebih jauh, ketika berbicara tentang gender dan kajian komunikasi maka akan memunculkan dua konsep penting yang tak kalah menarik: media dan perempuan. Media dan perempuan menjadi semacam satu mata rantai yang tak terpisahkan. Keduanya seperti saling mengisi, baik itu dari segi sumber daya manusia maupun dari segi muatan (content) media itu sendiri. Dari segi sumber daya manusia, perempuan ikut berperan dalam operasionalisasi kerja media sehari-hari. Dari segi muatan, perempuan menjadi komoditas yang tak pernah henti dieksploitasi oleh media. Potensi perempuan yang mampu menyumbangkan pundi-pundi uang kemudian digunakan secara masif oleh media. Tidak mengherankan jika muatan-muatan yang mendiskreditkan perempuan bertebaran di media. Sayangnya, hal seperti ini menjadi sesuatu yang dianggap lumrah dan bahkan diterima begitu saja. Resistensi untuk hal semacam ini pun tidak cukup banyak yang membawa dampak perubahan.
1
Dalam kaitannya dengan muatan perempuan di media, ketimpangan serta ketidakadilan pemberitaan dan publikasi biasanya sangat kasat mata dan tidak sulit untuk ditemukan. Bahkan, sebagaimana dikemukakan oleh Ashadi Siregar (2004, 341) media menjadi reflektor dari ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat. Hampir semua kanal media, mulai dari media mainstream hingga internet tidak absen mereproduksi muatan yang bias terhadap perempuan. Isu-isu yang melibatkan perempuan pun terbilang beragam; mulai dari isu politik, sosial, dan budaya hingga urusan-urusan domestik yang selalu dikait-kaitkan oleh media. Berkaitan dengan hal tersebut, skandal politik menjadi salah satu tema yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari adanya pelibatan perempuan. Kasus-kasus seperti ini pun tak dapat disangkal tidak mampu luput dari potret media. Apalagi skandal politik memiliki tingkat nilai berita yang tinggi. Hal ini sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Denis MacShane (dalam Brighton & Foy, 2007, 8) bahwa skandal merupakan salah satu nilai berita yang sangat mungkin untuk diliput oleh media. Berita tentang skandal politik pun tidak jarang dibumbui dengan isu tentang keterlibatan perempuan di dalamnya. Adanya pelibatan seperti ini bukan tidak mungkin membuka peluang bagi munculnya pemberitaan yang menyudutkan perempuan. Apalagi, jika berkaca pada skandal politik tanah air terutama dalam isu-isu yang menyangkut kasus korupsi, perempuan tidak jarang digambarkan sebagai sosok negatif. Salah satu contoh menarik misalnya tergambar dalam majalah Forum Edisi 12-18 Januari 2015 yang secara terang-terangan menuliskan headline “Istri-istri Muda, Celengan Koruptor”. Tidak hanya itu, cover Forum edisi yang sama sengaja dihiasi dengan foto tiga perempuan muda yang seksi dengan senyum dan tatapan menggoda. Tidak sampai di situ, masih dalam edisi yang sama, salah satu berita Forum menggambarkan perempuan – terutama yang berkaitan dengan skandal korupsi – sebagai perempuan bermuka dua: ketika belum tersangkut kasus, perempuan biasanya berpakaian
2
seronok, jika sudah terlanjur ditangkap, dengan cepat busananya berubah menjadi lebih religius (Mahmuddin, 2015, 13). Sementara itu, penelitian Kartika Suci Lestari Parhusip (2014) seakan menegaskan hal serupa. Penelitian yang fokus pada pemberitaan perempuan dalam kasus korupsi impor daging sapi di Okezone.com dan Kompas.com menunjukkan bahwa Okezone.com cenderung lebih menekankan pada isu gratifikasi seks sehingga pemberitaannya tidak terlepas dari adanya pelabelan negatif terhadap perempuan. Contoh pelabelan yang mendiskreditkan perempuan ini dapat dideteksi dengan penggunaan diksi seperti “wanita seksi”, “model cantik”, “artis seksi”, “selir-selir”, dayang-dayang”, dan “ayam kampus”. Berbeda dengan Okezone.com, Kompas.com lebih membingkai kasus tersebut sebagai permasalahan hukum yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan gratifikasi seks (Parhusip, 2014, 136). Menariknya, hal-hal seperti di atas justru membawa pertanyaan lebih jauh tentang bagaimana proses framing dan produksi berita di media massa sehingga menghasilkan berita yang timpang dan tidak adil terhadap perempuan. Sebagaimana dipahami, proses produksi berita yang dilakukan oleh media tidak begitu saja terjadi dalam ruang hampa. Berita yang muncul sebagai realitas media merupakan output yang telah melalui proses produksi panjang di ruang redaksi dan sangat mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor. Shoemaker dan Reese (2001, 178) bahkan menunjukkan bahwa muatan media tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor internal maupun eksternal media itu sendiri, seperti faktor individu wartawan, rutinitas media, organisasi, ekstra media, dan ideologi. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini pada dasarnya hadir untuk membedah bagaimana framing majalah Tempo terhadap representasi perempuan dalam pemberitaan skandal politik Antasari Azhar. Representasi dalam penelitian ini merujuk pada penggambaran yang dihadirkan Tempo dalam bingkai pemberitaan skandal politik Antasari Azhar terhadap Rhani Juliani sebagai satu-satunya perempuan yang berada di pusaran kasus. Oleh karena itu, penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melihat representasi
3
sebagai bagian dari teori besar sebagaimana dikemukakan oleh Stuart Hall (1997) misalnya. Sebaliknya, penelitian ini dibedah dengan menggunakan teori framing yang peneliti paparkan pada bagian Kerangka Pemikiran. Adapun untuk membedah bagaimana framing majalah Tempo terhadap representasi perempuan dalam pemberitaan skandal politik Antasari Azhar peneliti berfokus pada bagaimana Rhani digambarkan dalam teks berita dan proses framing dan proses produksi berita yang memunculkan pemberitaan tersebut. Kasus skandal politik Antasari Azhar sendiri mencuat pada tahun 2009 lalu ketika Antasari Azhar yang sewaktu itu menjabat sebagai Ketua KPK ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri atas tuduhan kasus pembunuhan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen (Ariwibowo, 2009). Dalam kasus tersebut, sosok perempuan bernama Rhani Juliani dituding sebagai “biang” dari kasus pembunuhan. Santer diberitakan oleh media bahwa ada hubungan cinta segitiga yang terjalin di antara Antasari Azhar, Nasrudin Zulkarnaen, dan Rhani Juliani. Dengan demikian, motif pembunuhan yang muncul dan diberitakan oleh media adalah kasus asmara. Bahkan, Tempo Edisi 4-10 Mei 2009 dalam salah satu berita di rubrik Laporan Utama secara terang-terangan menulis judul yang tajam “Akibat Pesona Gadis Golf”. Adapun pemilihan kasus skandal Politik Antasari Azhar didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, pemilihan kasus ini bermula dari rencana penelitian awal yang ingin membandingkan framing Tempo terhadap perempuan dalam skandal dua pimpinan KPK beda periode, yaitu Abraham Samad dan Antasari Azhar. Skandal tentang Abraham Samad sendiri mencuat ke hadapan publik sehari pasca Abraham mewakili KPK mengumumkan status tersangka pada Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan. Ketika itu pemberitaan media didominasi oleh rumor adanya hubungan khusus di antara Abraham Samad dengan Putri Indonesia 2014 Elvira Davinamira pasca fotofoto mesra keduanya tersebar melalui sosial media Twitter. Namun dalam proses pengumpulan bahan awal, peneliti menemukan bahwa pemberitaan
4
Tempo tidak begitu banyak mengulas tentang rumor hubungan khusus di antara keduanya. Oleh karena itu, peneliti kemudian memutuskan untuk memfokuskan penelitian ini hanya pada skandal Antasari Azhar. Hal kedua yang mendasari peneliti memilih kasus Antasari Azhar adalah peneliti belum menemukan penelitian lain yang pernah dilakukan sebelumnya untuk membedah kasus ini dengan menitikberatkan pada pelibatan perempuan di dalamnya. Adapun penelitian terdahulu yang sudah pernah mengangkat isu ini masih melihat pada bagaimana media melakukan penyosokan terhadap Antasari Azhar dalam program talkshow Kick Andy (Setiyawan, 2012). Dengan demikian, penelitian ini hadir sekaligus untuk mengisi celah dari perspektif penelitian yang belum pernah dibedah, yaitu dari sisi perempuan yang terlibat dalam skandal politik Antasari Azhar. Selain itu, penelitian ini juga didasarkan pada rasa keingintahuan peneliti untuk mencari lebih jauh alasan mengapa perempuan, baik itu sosok maupun isu tentang perempuan menjadi semacam “noda” dalam pemberitaan skandal politik pimpinan KPK, dalam hal ini Antasari Azhar. Peneliti mengamati
seringkali
perempuan
ataupun
isu
tentang
perempuan
sebagaimana ditampilkan dalam media cenderung dipakai sebagai entitas “penyerangan” ataupun “pelemahan” terhadap karier politik seorang publik figur. Apalagi, awal 2015 silam kasus serupa ini pernah mencuat ke hadapan publik setelah Abraham Samad (yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua KPK) coba “diserang” dengan wacana adanya hubungan khusus dengan Elvira Davinamira (Putri Indonesia 2014) dan Feriyani Lim. Di samping itu, pemilihan Tempo sebagai media yang pemberitaannya diteliti lebih didasarkan pada pertimbangan kemunculan dan frekuensi pemberitaan yang konsisten selama beberapa edisi dimulai sejak Mei 2009 hingga Oktober 2009. Hal ini berbeda dengan Gatra. Sejak kasus ini mencuat ke hadapan publik, Gatra misalnya hanya memotret kasus ini dalam satu edisi pada Mei 2009. Sedangkan Tempo pada Mei 2009 menjadikan kasus Antarasi Azhar sebagai headline dari dua edisinya.
5
B. Rumusan Masalah Bagaimana framing majalah Tempo terhadap representasi perempuan dalam pemberitaan skandal politik Antasari Azhar? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menjelaskan seperti apa framing majalah Tempo terhadap representasi perempuan dalam pemberitaan skandal politik Antasari Azhar 2. Untuk menjelaskan bagaimana proses framing dan proses produksi berita yang terjadi di ruang redaksi majalah Tempo dalam menghasilkan teksteks pemberitaan skandal politik Antasari Azhar yang melibatkan perempuan di dalamnya. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
untuk
pengembangan teori dalam kajian ilmu komunikasi. Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat memperluas cakupan penelitian dengan basis teori yang bertumpu pada framing sebagai teori dan framing sebagai metodologi untuk membongkar proses produksi berita yang terjadi dalam ruang redaksi media terutama untuk konteks perempuan dan skandal politik di Indonesia. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat: a. membantu masyarakat luas memahami proses produki teks yang dilakukan oleh media, khususnya yang dilakukan oleh majalah Tempo.
b. membantu
masyarakat
luas
untuk
dapat
lebih
kritis
dalam
mengkonsumsi dan memaknai teks media.
c. menyadarkan masyakarat luas akan besarnya potensi yang dimiliki media
khususnya
majalah
Tempo
dalam
menciptakan,
6
mengidentifikasi, menampilkan, dan melegitimasi posisi perempuan dalam skandal politik yang terjadi di Indonesia. E. Kerangka Pemikiran Penelitian ini pada dasarnya bergantung pada dua konsep penting, yaitu representasi media terhadap perempuan dalam kasus skandal politik dan proses produksi berita yang dilakukan oleh media. Kedua konsep ini sebenarnya saling berkaitan satu sama lain karena representasi media yang muncul dalam pemberitaan (teks) merupakan konsekuensi dari adanya proses produksi yang terjadi di ruang redaksi media. Artinya, proses produksi sangat berperan penting dalam memunculkan pemberitaan tertentu. Untuk menjembatani kedua konsep penting dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan framing sebagai landasan teori. Teori ini menjadi basis teori yang komprehensif untuk membedah secara utuh penelitian ini. Meski demikian, sebelum masuk pada basis teori yang akan digunakan untuk membedah penelitian ini, peneliti terlebih dahulu menyajikan uraian tentang bagaimana selama ini perempuan ditampilkan dalam media. Uraian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap isi pemberitaan sebagai hasil dari proses produksi dan konstruksi berita di ruang redaksi. 1. Perempuan dalam Teks Media Perempuan dalam teks media sudah sejak lama mendapat perhatian khusus dari pada ahli. Hal ini disebabkan oleh potensi perempuan yang selalu menjadi primadona dalam muatan media. Berbagai hal tentang perempuan seolah-olah selalu mendapat tempat di media. Sayangnya, disadari atau tidak, justru melalui medialah perempuan tidak jarang tampilkan sebagai sosok yang “rendah” dan tidak sepadan dengan lakilaki. Menurut Julia T Wood (2009, 258), produk media yang berkaitan dengan isu perempuan setidaknya selalu memotret hal-hal berikut: (a) perempuan dan minoritas, (b) stereotipe penggambaran laki-laki dan perempuan, dan (c) hubungan laki-laki dan perempuan yang biasanya
7
digambarkan sesuai dengan peran gender tradisional dan relasi kuasa di antara keduanya. Dengan demikian, tidak jarang dapat ditemukan adanya ketidakadilan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan yang muncul dalam teks. Seringkali dalam kasus ini, media cenderung tidak adil menampilkan sisi perempuan daripada sisi laki-laki. Hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri sangat lekat dengan adanya pelabelan diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya saja, dalam budaya yang didominasi oleh laki-laki, perempuan dilabeli sebagai objek seks semata serta seorang figur ibu yang harusnya berada hanya pada wilayah-wilayah domestik (Aries et al dalam Wood, 2009, 232). Sayangnya, media bahkan mereproduksi kembali ketidakadilan ini dalam berbagai teksnya seperti dalam film, iklan, dan berita. Dalam media hiburan seperti film, Carter dan Steiner (2004, 12) mencatat bahwa ada perbedaan pelabelan terhadap laki-laki dan perempuan yang muncul. Misalnya saja, dalam Gladiator, Lord of the Rings, Men in Black, dan Spiderman, laki-laki digambarkan sebagai sosok yang cerdas (intelligence) dan punya kecakapan secara fisik (physical prowess). Sebaliknya, perempuan dalam film seperti Cinderella lebih cenderung digambarkan sebagai sosok yang cantik (penonjolan terhadap kondisi fisik), emosional, dan pemalu. Tidak cukup berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam film, iklan majalah pun menunjukkan tampilan yang hampir serupa. Penelitian Erving Goffman (dalam Hodkinson, 2011, 223) terhadap iklan yang menampilkan pasangan heteroseksual di majalah menemukan bahwa lakilaki cenderung ditampilkan sebagai sosok yang mandiri, penuh arti, dan mampu berpikir jernih. Berbeda dengan laki-laki, perempuan lebih ditampilkan sebagai sosok yang mengalami subordinasi, cenderung bergantung pada laki-laki, emosional, dan tidak konsisten. Di samping film dan iklan di majalah, berita juga seringkali menjadi wadah di mana muncul kecenderungan untuk mometret perempuan secara bias dan tidak adil dibandingkan dengan laki-laki. Hasil
8
penelitian Yulius Budi Setiawan (2011) yang berfokus pada tujuh berita kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di Surat Kabar Harian Merdeka menunjukkan bahwa hal itu tampak dalam semua berita yang ditelitinya. Nuansa bias gender dalam teks terepresentasi dari ketujuh berita tersebut. Temuan ini diperkuat dengan adanya bukti pemilihan katakata yang secara eksplisit dapat ditemukan dalam berita, seperti “dipaksa”, “digilir”, “digarap”, “ikut nimbrung mengerjai korban”, “tergiur”, “mendapat jatah mengerjai korban”, “gadis berpasar ayu”, dan dihajar hingga babak belur”. Selain itu, penelitian sejenis yang tak kalah menarik adalah penelitian yang dilakukan oleh Saraswati Sunindiyo. Penelitian yang berfokus pada berita Surat Kabar Sinar Harapan tentang tiga kasus istri dan pembunuhan istri gelap politisi Indonesia pada masa Orde Baru (yaitu: kasus Supadmi, kasus Siti Rahmini, dan kasis Dietje) ini menemukan bahwa ada penggambaran yang dilakukan media berdasarkan dikotomi perempuan “baik” dan perempuan “buruk” (Sunindiyo dalam Carter & Steiner, 2004, 87). Penelitian terbaru yang belum lama ini dikaji oleh Hinda Mandel juga menemukan adanya dikotomi yang dilakukan media dalam melakukan penggambaran terhadap perempuan. Dalam disertasinya yang berjudul Behind Every Man: Media Construction of Wives at the Political Sex Scandals, Mandell (2011) meneliti sebanyak 272 berita yang memuat Silda Spitzer (istri Eliot Spitzer – Gubernur New York) dan Jenny Sanford (istri Mark Sanford – Gubernur Kalifornia Selatan) dalam kasus skandal seks yang melibatkan suaminya. Penelitian Mandell menemukan bahwa media berperan dalam melakukan penggambaran tentang istri yang baik (good wife), sekaligus memiliki peran sebagai “penghukum” bagi istri yang dianggap tidak baik dalam skandal seksual tersebut. Berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa media cenderung melakukan penggambaran yang bias gender dan tidak adil terhadap perempuan seperti di atas setidaknya bisa dijelaskan dengan
9
menggunakan beberapa pemikiran dari para ahli. Pertama, bisa dijelaskan dari sisi ekonomi politik media. Kedua, bisa dikaji dengan menggunakan konsep ideologi dalam kerangka pemikiran kritis. Ketiga, memaknai teks sebagai hasil dari proses framing yang dilakukan oleh media. Sebagaimana dikemukakan oleh para ahli ekonomi politik dan kemudian dikutip oleh Vincent Mosco (1996, 146), muatan media adalah bentuk komoditas dalam komunikasi. Dalam pandangan ini, muatan media mengalami sebuah proses yang dikenal dengan nama “komodifikasi” di mana muatan media mengalami perubahan nilai dari kegunaannya menjadi nilai tukar. Hal ini dapat dimaknai sebagai nilai ekonomi yang bisa dihasilkan dari muatan media dalam logika ekonomi politik. Dengan logika ini, publik diposisikan sebagai pasar dan muatan media sebagai komoditas yang diperjual-belikan. Mengikuti logika di atas, muatan media yang bias gender dan tidak adil terhadap perempuan bisa dilihat sebagai komoditas. Artinya, pada satu sisi media menggunakan muatan bias gender dan tidak adil seperti itu untuk kepentingan ekonomi media. Hal ini tidak mengherankan, sebab media juga adalah institusi di mana setiap proses produksi muatan yang terjadi di dalamnya ditentukan oleh proses ekonomi dan pola institusional yang menggerakkannya (DeFrancisco & Palczewski, 2007, 237). Hal ini juga dikuatkan oleh pandangan bahwa kekuatan ekonomi politik dari aliran kapitalis yang patriarkis menyebabkan munculnya representasi perempuan di media yang selalu saja negatif (Pribram dalam Jackson et. al., 1993, 473). Di sisi lain, ada peran ideologi yang ikut berpengaruh dalam proses produksi teks sehingga berimplikasi pada teks yang kembali mereproduksi ideologi di sekitar lingkungan media. Pemikiran seperti ini sudah sejak lama dikembangkan aliran kritis salah satunya seperti aliran Marxis. Pemikiran Marxis ini dianggap relevan digunakan dalam kajian komunikasi.
10
Dalam logika pemikiran kelas berdasarkan aliran Marxis, ideologi bisa saja merujuk pada relasi kuasa yang terjadi di luar kelas yang ada dalam masyarakat (Storey, 1993, 4). Selain itu, ideologi juga biasanya digunakan dalam term yang merujuk pada bentuk-bentuk ideologis di mana teks menampilkan dunia (Storey, 1993, 5). Berbasis pada logika ini, dapat dipahami bahwa teks media bisa jadi dipengaruhi oleh ideologi yang berada di sekitar lingkungan media. Adapun dalam kaitannya dengan muatan media yang bias dan tidak adil terhadap perempuan bukan tidak mungkin ideologi patriartri memiliki peran yang dominan dalam menciptakan teks seperti itu. Apalagi dalam dunia yang didominasi oleh budaya patriarki seperti sekarang ini, para ahli feminis tidak menampik bahwa ada peran kekuatan ideologi tersebut yang bermain (Storey, 1993, 4). Pemikiran ini misalnya dikuatkan oleh hasil temuan Sunindiyo (2004, 87) yang menyebut bahwa dikomoti yang digunakan oleh media dalam pemberitaan untuk membedakan perempuan yang “baik” dan “buruk” sebenarnya adalah hasil dari reproduksi ideologi gender yang dilakukan oleh media. Selain sisi ekonomi politik media dan peran ideologi yang berperan dalam memunculkan muatan yang cenderung bias dan tidak adil terhadap perempuan, perlu disadari bahwa dalam konteks kerja media semua hal ini bermuara pada proses konstruksi berita. Pembicaraan tentang proses ini sebenarnya mengarah pada pandangan konstruktivisme yang awalnya dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Berger dan Luckmann (1966, 13) berpendapat bahwa realitas di sekitar kita adalah hasil dari konstruksi sosial. Bertumpu pada pandangan ini, pendekatan konstruktivisme di antaranya melihat bahwa: (1) fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi, (2) berita bukanlah refleksi dari realitas yang sebenarnya melainkan hasil konstruksi, (3) berita bersifat subjektif, (4) wartawan adalah agen konstruksi realitas, dan (4) etika, pilihan moral, serta keberpihakan wartawan adalah bagian integral dalam produksi berita (Eriyanto, 2002, 22 – 36).
11
2. Framing Sebagai Proses Konstruksi Berita Dalam pendekatan konstruktivisme, berita adalah hasil konstruksi yang dilakukan dalam ruang redaksi media. Konstruksi berita ini bisa dimaknai sebagai sebuah sebuah proses panjang dan khas yang dilakukan oleh media. Proses ini bisa jadi berbeda di satu media tertentu dan di media lainnya. Menurut McQuail (1994, 331), proses konstruksi berita sebagai sebuah realitas dilakukan media dengan menggunakan framing. Framing sendiri memiliki beragam definisi dari para ahli. Berikut ini adalah uraian definisi framing dari beberapa ahli yang populer digunakan dalam kajian komunikasi: Tabel 1.1. Framing Menurut Berbagai Ahli Ahli Robert N. Entman
William A. Gamson
Definisi Framing Entman (2004, 5) mendefinisikan framing sebagai proses seleksi dan penonjolan. Proses seleksi dilakukan untuk menentukan realitas seperti apa yang ingin dipakai atau ingin disingkirkan oleh media dalam memberitakan suatu peristiwa. Setelah proses ini, media akan menentukan bagian mana dari realitas yang lebih ingin ditekankan atau ditonjolkan dalam berita. Perangkat framing yang digunakan oleh media menurut Entman (1993, 52) bisa berupa definisi atas suatu masalah, analisa atas penyebab masalah, evaluasi moral dan solusi yang ditawarkan oleh media. Bersama Andre Modigliani (dalam Hansen & Cox, 2015, 32), Gamson menjelaskan bahwa framing memiliki dua definisi penting: pertama, framing sebagai sebutan untuk cerita/wacana yang tertuang dalam berita media; kedua, framing sebagai proses kerja dari tiap bagian-bagian penting dalam berita yang mengarah pada bingkai tertentu yang dibangun media. Bagian penting ini menurut Gamson dan Modigliani terdiri dari perangkat framing (framing device) dan perangkat penalaran (reasoning device). Perangkat framing digunakan untuk memahami isu dalam berita dengan merujuk pada penggunaan metaphors, catchphrases, exemplaar, depiction, dan visual image oleh media. Sedangkan perangkat penalaran yang terdiri dari analisis kausal, klaim moral, dan konsekusi digunakan untuk memperkuat bingkai yang ditekankan oleh media.
12
Zhongdang Pan dan Gerald Pan dan Kosicki (1993, 56) melihat bahwa M. Kociski konsepsi frame terbagi atas dua bagian yaitu konsepsi sosiologis dan konsepsi psikologis. Bagi Pan dan Kosicki (1993, 59), untuk memahami wacana berita yang ada di media peneliti perlu membedah teks dengan menaruh perhatian pada empat perangkat berita, yaitu: struktur sintaksis, skrip, tematik, dan retoris.
Dari segi definisi, ketiga ahli di atas menunjukkan pandangan yang berbeda. Meski demikian, ketiga definisi ini memiliki titik singgung utama, yaitu melihat framing sebagai pendekatan bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media (Eriyanto, 2002, 76). Ketiga definisi dan perangkat framing yang dikemukakan ketiga ahli memiliki keunikan tersendiri. Keunikan ini tentu saja membawa pendekatan yang berbeda untuk memahami bagaimana realitas diproduksi oleh media. Model framing Entman dari sisi perangkat lebih sederhana dibandingkan model framing yang dikembangkan oleh Gamson serta Pan dan Kosicki. Model yang dikemukakan Entman ini sebenarnya ingin menunjukkan pilihan media atas perangkat framing yang coba ia petakan, mulai dari define problems, diagnose causes, make moral judgement, hingga suggest remedies. Artinya, media bisa memilih untuk menekankan satu atau beberapa perangkat framing atau bahkan tidak sama sekali dalam teks berita. Berkaitan dengan hal ini, Entman (1993, 52) menegaskan bahwa satu kalimat dalam teks berita bisa saja menampilkan lebih dari satu perangkat, meskipun kalimat lain dalam teks sama sekali tidak menampilkan perangkat itu. Lebih jauh, Entman juga menekankan bahwa dalam beberapa teks ada kemungkinan tidak terdapat keempat perangkat framing sekaligus. Berbeda dengan model framing Entman, model framing Gamson terlihat lebih rinci dari segi perangkat framing. Bersama dengan Modigliani,
Gamson
menggambarkan
framing
sebagai
ide
yang
diterjemahkan ke dalam teks. Untuk memahami proses tersebut, Gamson dan Modigliani menggambarkan dua perangkat yang terjadi, yaitu:
13
perangkat framing dan perangkat penalaran. Perangkat framing terdiri dari pemakaian kata, kalimat, grafik/gambar dan metafora untuk menunjukkan gagasan tertentu, sedangkan perangkat penalaran lebih merujuk pada dasar pembenaran, alasan, dan efek yang mungkin ditimbulkan dari bingkai yang dikonstruksi oleh media (Eriyanto, 2002, 265). Tidak jauh berbeda dengan perangkat framing Gamson, model framing Pan dan Kosicki juga memiliki perangkat framing yang sama dengan perangkat framing Gamson, seperti pemakaian grafis dan metafora dalam teks berita. Meski demikian, perangkat framing Pan dan Kosicki ini pada dasarnya sangat kompleks dan lebih rinci karena pendekatan untuk membongkar frame media pada tataran teks dilengkapi pendekatan yang dimulai dari struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematis dan struktur retoris dalam berita. Keempat sisi ini menurut Pan dan Kosicki merupakan satu rangkaian yang dapat menunjukkan framing dari suatu media (Eriyanto, 2002, 294). Masih berkaitan dengan proses konstruksi, Dietram A. Scheufele secara sederhana berusaha menjelaskan bagaimana media melakukan framing atas suatu isu tertentu. Proses framing yang dilakukan media ini pada akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut sebagai bingkai/frame media. Di bawah ini adalah gambaran dari proses framing yang dikembangkan oleh Scheufele (1999, 115): Bagan 1.1. Proses Framing Dietram A. Scheufele
14
Bagan di atas menunjukkan bahwa ketika media melakukan framing maka akan melibatkan empat proses berikut: 1. Frame Building Proses ini pada dasarnya berlangsung dalam ruang redaksi media. Dalam proses ini, Scheufele menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana media membangun frame tertentu. Pada bagan di atas, Scheufele (1999, 115) menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti tekanan organisasi media, ideologi yang dimiliki, sikap para elit politik terhadap suatu isu tertentu bisa mempengaruhi proses frame building yang terjadi dalam ruang redaksi. Adapun berdasarkan kajian Shoemaker dan Reese (2001, 178), ada beberapa faktor yang mempengaruhi muatan media yaitu: (1) individu wartawan, (2) rutinitas media, (3) organisasi media, (4) kekuatan di luar media, dan (5) ideologi. Faktor-faktor ini dipetakan oleh Shoemaker dan Reese dari level yang paling mikro hingga level yang paling makro. Pada level yang paling mikro, terdapat pengaruh individu wartawan yang secara aktif terlibat mulai dari proses pengumpulan informasi di lapangan hingga proses penulisan naskah berita. Pengaruh individu wartawan bisa saja berkaitan dengan sikap, pelatihan, dan latar belakang yang melingkupi dirinya (Shoemaker & Reese, 2001, 179). Bahkan lebih jauh, karakter
individu (seperti gender, etnis, dan
orientasi seksual) serta latar belakang pribadi dan pengalaman yang dimilikinya
mampu
mempengaruhi
isi
berita
yang
ditulisnya
(Shoemaker & Reese, 1996, 61). Pada level kedua, ada peran rutinitas dalam media yang berpengaruh pada isi berita. Rutinitas ini akan menguraikan seperti apa praktik kerja media sehari-hari. Rutinitas sendiri dimaknai oleh Shoemaker dan Reese (2001, 180) sebagai pola praktik yang terjadi secara berulang dalam ruang redaksi media dan berkaitan dengan aturan, norma, serta prosedur yang terstruktur.
15
Pada level ketiga, ada peran organisasi media yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh terhadap isi berita. Pada level ini, Shoemaker dan Reese (2001, 181) melihat bahwa ada tujuan dan kebijakan dari struktur sosial yang lebih besar dan melibatkan kekuasaan. Shoemaker dan Reese (2001, 182) tidak menyangkal bahwa untuk membedah peran organisasi media bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Level ini sangatlah kompleks karena melibatkan banyak unsur di dalamnya seperti kekuatan ekonomi yang menjadi pertimbangan isi berita dan unsur kepemilikan media sebagai kekuatan yang mengatur kebijakan internal media (Shoemaker & Reese, 1996, 165). Pada level keempat, Shoemaker dan Reese menempatkan faktor ekstra media sebagai salah satu bagian penting yang mempengaruhi isi berita media.
Faktor ekstra media ini mengarah pada kekuatan-
kekuatan lain di luar media seperti pemerintah, pengiklan, public relation, sumber berita yang berpengaruh, kelompok-kelompok kepentingan, dan bahkan organisasi media lainnya (Shoemaker & Reese, 2001, 182). Terakhir, pada level yang paling makro ada faktor penting bernama ideologi. Ideologi ini dimaknai oleh Shoemaker dan Reese (1996, 212) sebagai “symbolic mechanism that serves as a cohesive and integrating force in society”. Artinya, Shoemaker dan Reese melihat ideologi sebagai kekuatan simbolik yang punya potensi untuk mengatur masyarakat. Pemahaman akan ideologi melibatkan kekuatan dominan yang bermain dalam suatu masyarakat atau lingkungan tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Shoemaker dan Reese (2001, 183) menyatakan bahwa untuk menganalisis level ideologi diperlukan asumsi tentang kekuasaan (power) dan bagaimana kekuasaan itu didistribusikan dalam masyarakat. Biasanya ideologi dan kekuasaan seperti ini disisipkan dalam isi media dan menjadi sesuatu yang seolaholah tidak kelihatan atau natural.
16
2. Frame Setting Proses ini adalah proses kedua yang terjadi dalam keseluruhan proses framing di ruang redaksi media. Scheufele (1999, 116) menyebutkan bahwa proses frame setting berfokus pada aktivitas saliansi yang dilakukan wartawan pada suatu isu. Aktivitas saliansi ini akan menunjukkan bagaimana wartawan melakukan penonjolan pada suatu isu tertentu dalam teks berita yang dihasilkan, pertimbanganpertimbangan yang dilakukan wartawan dalam menuliskan fakta hingga pertimbangan dalam pemilihan isu yang ingin dituliskan. 3. Individual-level Effects of Framing Proses ini pada dasarnya menjelaskan keterkaitan antara input dan output yang tergambar dalam bagan Scheufele sebelumnya. Artinya input yang masuk ketika frame building berlangsung memiliki pengaruh dalam menghasilkan output frame media yang pada akhirnya akan mengarahkan pula frame audiens. Scheufele (1999, 117) menyebutkan bahwa kebanyakan studi terdahulu berhasil menjelaskan keterkaitan langsung antara frame yang berusaha dibangun oleh media dengan hasil yang terlihat pada level individu. Efek yang timbul pada level individu ketika memaknai frame media bisa terlihat dari adanya perubahan perilaku, sikap, hingga aspek kognisi yang dimiliki oleh individu. 4. Kaitan antara Frame Individu dan Frame Media
Proses ini melihat bahwa wartawan sebagai aktor yang berperan
dalam proses konstruksi berita merupakan bagian dari audiens itu sendiri (Scheufele, 1999, 117). Artinya, pada situasi tertentu wartawan juga berperan sebagai audiens ketika memaknai berita dari berbagai media lainnya. Dengan demikian, sikap, kebiasaan, serta respon yang terbentuk dalam dirinya akan ikut memengaruhi dirinya dalam memaknai berita dan caranya mengolah berita di dalam ruang redaksi tempat ia bekerja (Scheufele dalam Pratiwi, 2015, 18).
17
Berdasarkan uraian di atas, peneliti memahami bahwa berita-berita tentang keterlibatan Rhani Juliani sebagai satu-satunya perempuan yang terlibat dalam skandal politik Antasari Azhar merupakan produk media. Dengan pemahaman ini, peneliti meyakini bahwa berita-berita tersebut juga mengalami proses konstruksi di ruang redaksi sehingga ada kemungkinan untuk ditampilkan berdasarkan apa yang ingin ditekankan oleh media. Untuk memahami proses tersebut secara keseluruhan, peneliti memutuskan untuk membedah teks berita tentang keterlibatan perempuan dalam skandal politik Antasari Azhar dengan menggunakan model framing Pan dan Kosicki. Alasan pemilihan model framing Pan dan Kosicki peneliti uraikan secara rinci pada bagian metodologi. Lebih jauh, peneliti juga menekankan proses konstruksi berita dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses itu dengan menggunakan basis pemikiran Reese dan Shoemaker. Peran proses konstruksi berita dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut menjadi sangat krusial karena membantu peneliti menguraikan dinamika proses produksi berita di majalah Tempo dalam menghasilkan teks pemberitaan tentang keterlibatan perempuan dalam skandal politik Antasar Azhar. F. Kerangka Konsep dan Operasionalisasi Berdasarkan kerangka teori di atas, maka definisi kerangka konsep yang muncul dalam penelitian ini adalah konsep tentang berita dan pemberitaan, bingkai pemberitaan, dan pemberitaan skandal politik. 1. Berita/Pemberitaan Menurut William S. Maulsby (dalam Barus 2010, 26), berita adalah penuturan yang benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang penting dan baru saja terjadi. Jika merujuk pada kamus, The Random House Dictionary mengartikan berita sebagai laporan dari peristiwa terkini yang terjadi (Mayer, 1993, 67). Sedangkan pemberitaan menurut
18
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995, 124) adalah cara memberitakan (melaporkan, memaklumkan). Dalam penelitian ini, berita yang dimaksud adalah berita-berita skandal politik Antasari Azhar yang melibatkan perempuan di dalamnya. Berita ini pun dibatasi hanya pada rubrik Laporan Utama majalah Tempo dan haruslah berisi uraian tentang keterlibatan perempuan – dalam hal ini Rhani Juliani – di dalamnya. Dengan demikian, pemberitaan yang diteliti hanya terbatas pada satu rubrik saja dan harus menyangkut skandal politik Antasari Azhar yang melibatkan Rhani Juliani. 2. Bingkai Pemberitaan Bingkai
pemberitaan
merujuk
pada
bagaimana
suatu
berita
dikonstruksikan oleh media. Dalam penelitian ini, bingkai pemberitaan digunakan untuk melihat seperti apa dan bagaimana Rhani Juliani dikonstruksi dan direpresentasikan oleh majalah Tempo sebagai satusatunya perempuan yang terlibat dalam skandal politik Antasari Azhar. 3. Pemberitaan Skandal Politik Pemberitaan skandal politik adalah publikasi atas berita-berita yang berkaitan dengan skandal dalam lingkup politik. Dalam penelitian ini, pemberitaan skandal politik dimaknai sebagai publikasi yang dimuat oleh majalah Tempo dalam rubrik Laporan Utama yang berkaitan dengan skandal politik Antasari Azhar yang melibatkan Rhani Juliani di dalamnya. Merujuk pada pertanyaan penelitian, peneliti pada dasarnya ingin melihat bagaimana bingkai pemberitaan (framing) majalah Tempo terhadap representasi perempuan dalam pemberitaan skandal politik Antasari Azhar. Untuk menilai hal ini, peneliti kemudian membuat operasionalisasi dari kerangka konsep di atas sebagai panduan penilaian. Operasionalisasi ini menggambarkan bagaimana peneliti membedah framing majalah Tempo pada tataran teks berita. Bingkai pemberitaan atau framing majalah Tempo peneliti nilai berdasarkan model analisis framing Pan dan Kosicki.
19
Berikut ini adalah gambaran operasionalisasi dari masing-masing perangkat berita yang peneliti pakai sebagai basis analisis berdasarkan model framing Pan dan Kosicki: Tabel 1.2. Operasionalisasi Penelitian Kalimat Proposisi Sintaksis
Skrip
Kalimat merujuk pada serangkaian kata yang membentuk suatu makna. Proposisi adalah pernyataan yang muncul dari setiap kalimat. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk susunan umum berita. Pengamatan atas sintaksis berarti mengamati bagaimana wartawan memahami peristiwa yang dapat dilihat dari caranya menyusun fakta ke dalam bentuk umum berita (Eriyanto, 2002, 294). Unit yang diamati: 1. Headline, yaitu aspek sintaksis dan wacana berita yang memiliki tingkat kemononjolan tinggi dan mampu menunjukkan kecenderungan sebuah berita. Adapun headline mempunyai fungsi framing yang kuat (Eriyanto, 2002, 296). Dari pengamatan atas headline inilah dapat diketahui bagaimana wartawan mengkonstruksikan suatu isu (Eriyanto, 2002, 297). 2. Lead, yaitu perangkat sintaksis lain yang sering digunakan dalam berita. Umumnya, lead yang baik memberikan sudut pandang dari berita dan menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan (Eriyanto, 2002, 297). 3. Latar informasi, yaitu bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang ingin disampaikan wartawan. Biasanya ketika menulis berita, wartawan mengemukakan latar belakang atas suatu peristiwa yang ditulisnya. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa (Eriyanto, 2002, 297). 4. Pengutipan sumber, yaitu bagian berita yang dimaksudkan untuk membangun objektivitas suatu berita. Selain itu, pengutipan sumber juga merupakan bagian berita yang menekankan bahwa apa yang ditulis wartawan adalah pendapat dari orang yang mempunyai otoritas tertentu dan bukan merupakan pendapat wartawan sendiri (Eriyanto, 2002, 298). Skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Struktur ini melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur wartawan dalam mengemas berita (Eriyanto, 2002, 294). Unit yang diamati: Penggunaan 5W+1H 1. 2. 3. 4. 5.
Who merujuk pada aktor-aktor yang terlibat dalam suatu peristiwa. What merujuk pada peristiwa apa yang terjadi. Where merujuk pada tempat di mana kejadian itu berlangsung. When merujuk pada waktu terjadinya peristiwa. Why merujuk pada alasan-alasan dibalik terjadinya peristiwa yang dimaksud. 20
Tematis
Retoris
Tematis berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas suatu peristiwa ke dalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan (Eriyanto, 2002, 294). Unit yang diamati: 1. Koherensi, yaitu pertalian atau jalinan antarkata, proposisi, atau kalimat. Dengan kata lain, koherensi mencoba menghubungkan dua buah kata, kalimat, atau proposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda (Eriyanto, 2002, 302). Koherensi terdiri dari koherensi sebab akibat, koherensi penjelas, generalisasispesifikasi, koherensi pembeda, dan pengingkaran. 2. Bentuk kalimat, yaitu segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas atau sebab akibat yang menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Terdapat unsur subjek dan unsur predikat dalam setiap kalimat. Bentuk kalimat ini menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit atau secara implisit di dalam teks berita atau artikel. 3. Kata ganti, yaitu elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Dengan demikian, elemen ini bertendensi untuk menunjukkan di mana posisi pihak yang terlibat dalam wacana. Retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita (Eriyanto, 2002, 294). Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilhan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkannya (Eriyanto, 2002, 304). Unit yang diamati: 1. Leksikon merujuk pada pemilihan kata (diksi) dan istilah khusus yang muncul dalam berita. 2. Grafis berkaitan dengan bagaimana wartawan menonjolkan bagian tertentu dari berita dengan unsur grafis. Bagian berita yang ditonjolkan menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Biasanya ketika wartawan melakukan penonjolan dengan menggunakan unsur grafis, wartawan sebenarnya ingin khalayak menaruh perhatian pada bagian tersebut (Eriyanto, 2002, 306). 3. Metafora, yaitu perumpamaan atau pengandaian yang digunakan wartawan untuk mempertegas sesuatu hal dalam teks berita (Eriyanto, 2002, 262).
G. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan demikian, penelitian ini masuk dalam kategori penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah “multimethod in focus, involving an
21
interpretive, naturalistic approach to its subject matter” (Denzin & Lincoln, 1994, 2). Secara sederhana, penelitian kualitatif bisa diartikan sebagai penelitian multimetode yang berfokus pada subjek penelitian dengan melibatkan pendekatan interpretatif dan naturalistik. Pada dasarnya, peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif ingin mencari dan menganalisis bentuk dan kondisi yang disituasikan, serta pengalaman yang terbentuk dari aksi sosial (Jensen & Jankowski, 1991, 18). Pendekatan ini sejalan dengan tujuan penelitian karena peneliti ingin mencari tahu bagaimana framing majalah Tempo terhadap representasi perempuan dalam skandal politik Antasari Azhar. Pendekatan kualitatif menyediakan peluang untuk menggali sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan proses framing yang terjadi di ruang redaksi Tempo. Penggalian informasi didahului dengan mengkaji berita sebagai objek yang tampak dan dilihat sebagai bentuk yang telah dikondisikan oleh internal redaksi. 2. Metode Penelitian Penelitian ini didesain sebagai penelitian deskriptif sekaligus eksplanatif dengan menggunakan metode analisis framing. Model analisis framing yang digunakan oleh peneliti adalah model framing Pan dan Kosicki. Pemilihan model Pan dan Kosicki didasarkan pada pertimbangan perangkat framing yang lebih rinci dan komprehensif dibandingkan perangkat framing yang dikemukakan oleh Entman dan Gamson. Hal ini menjadi kelebihan yang tidak terdapat pada perangkat framing Gamson dan Entman. Selain itu, perangkat framing Pan dan Kosicki juga menyediakan unit-unit dalam berita yang bisa diamati untuk kemudian membantu memahami struktur berita yang lebih besar seperti struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematis, dan struktur retoris. Peneliti mengamati perangkat framing dalam model framing Gamson seperti pemakaian kata, kalimat, grafik/gambar dan metafora sebenarnya sudah tercakup dalam struktur retoris model Pan dan Kosicki (1993, 61). Artinya, dari sisi perangkat framing model Gamson hanya
22
menyediakan pendekatan pada struktur retoris. Peneliti berpendapat bahwa penilaian dan analisis dengan menggunakan perangkat ini tidak cukup mengakomodasi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti juga menemukan ketidakcocokan perangkat framing model Entman untuk membedah bagaimana framing Tempo terhadap representasi perempuan dalam pemberitaan skandal politik Antasari Azhar. Perangkat framing Entman lebih menekankan pada pilihan-pilihan media dalam melakukan seleksi dan penekanan untuk tujuan defisini problem, menentukan penyebab, membuat penilaian moral, dan menyarankan solusi atas suatu realitas. Dengan demikian, model Entman tidak cukup mampu mengakomodasi tujuan dari penelitian ini. Adapun dalam penelitian ini peneliti menggunakan seluruh perangkat framing yang dijabarkan dalam model framing Pan dan Kosicki. Oleh karena itu, peneliti akan mengamati mulai dari struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematis, hingga struktur retoris yang tampak dalam setiap teks berita yang menjadi objek penelitian. Pertama, untuk menilai struktur sintaksis peneliti mengamati unit berita seperti headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber, pernyatan dan penutup yang tampak dalam berita. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seperti apa wartawan menyusun fakta dalam berita skandal politik Antasari Azhar yang melibatkan perempuan di dalamnya. Kedua,
untuk
menilai
struktur
skrip
peneliti
mengamati
kelengkapan penggunaan 5W+1H. Penilaian pada struktur ini membantu peneliti untuk melihat seperti apa wartawan mengisahkan fakta yang ia temukan di lapangan dalam menulis berita skandal politik Antasari Azhar yang melibatkan perempuan di dalamnya. Ketiga, untuk menilai struktur tematik peneliti mengamati paragraf, proposisi, kalimat, dan hubungan antarkalimat. Penilaian pada sturktur ini membantu peneliti melihat bagaimana cara wartawan menuliskan fakta tentang keterlibatan perempuan dalam skandal politik Antasari Azhar.
23
Keempat, untuk menilai struktur retoris peneliti mengamati kata, idiom, gambar/foto yang digunakan oleh majalah Tempo dalam menekankan sosok Rhani Juliani sebagai satu-satunya perempuan yang terlibat dalam skandal politik Antasari Azhar. Gabungan dari analisis keempat struktur ini diharapkan dapat membantu peneliti untuk melihat bagaimana framing Tempo terhadap representasi perempuan (Rhani Juliani) dalam pemberitaan skandal politik Antasari Azhar. 3. Objek Penelitian Sejak awal munculnya kasus skandal politik yang menyeret nama Antasari Azhar di berbagai media, majalah Tempo ikut ambil bagian dalam mengawal kasus ini. Terhitung sejak Mei 2009, Tempo ikut memberitakan kasus ini untuk pertama kalinya dan menyertakan kasus ini dalam cover dan rubrik Laporan Utama sebagai ulasan yang bersifat investigatif. Setidaknya, sepanjang Mei–Oktober 2009 Tempo konsisten memberitakan kasus ini. Oleh karena itu, peneliti mengambil time frame kasus terhitung selama Mei-Oktober 2009. Dari time frame tersebut, Tempo mengulas 14 berita yang berkaitan dengan skandal politik Antasari Azhar. Namun, untuk kepentingan penelitian, peneliti kemudian melakukan seleksi pemberitaan yang mengangkat kasus skandal politik Antasari Azhar yang khusus dimuat pada rubrik Laporan Utama. Hal ini dilakukan untuk lebih memfokuskan objek penelitian berdasarkan berita yang memuat keterlibatan perempuan dalan skandal politik Antasari Azhar. Dari seleksi yang peneliti lakukan, peneliti menemukan 5 pemberitaan yang secara khusus mengulas keterlibatan perempuan – yaitu Rhani Juliani – dalam kasus skandal politik Antasari Azhar. Kelima berita inilah yang akhirnya menjadi objek akhir dari teks pemberitaan yang diteliti. Berikut rincian dari kelima berita tersebut: No. 1 2
Tabel 1.3. Objek Penelitian
Edisi 4-10 Mei 2009 11-17 Mei 2009
Judul Berita Akibat Pesona Gadis Golf Bukan Sekadar Gadis Caddy
24
3 4
Lakon Rani, Si Kembang Desa Saksi Kunci Salah Asuhan Diawali Kisah Selingkuh
24-30 Agustus 2009 12-18 Oktober 2009
4. Teknik Pengambilan Data Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dibagi dalam dua bagian yang berbeda, yaitu pada tataran teks dan pada tataran konteks. a. Tataran Teks Pada tataran ini, peneliti melakukan observasi pada teks berita Tempo tentang pemberitaan skandal politik Antasari Azhar yang melibatkan perempuan di dalamnya. Observasi dilakukan pada teks berita Tempo selama edisi Mei-Oktober 2009 karena pada rentang waktu itulah tingkat pemberitaan Tempo didominasi oleh kasus skandal politik Antasari Azhar. Pada tataran ini, peneliti melakukan observasi mulai dari headline Tempo hingga berita-berita yang terdapat dalam rubrik Laporan Utama. Observasi tersebut peneliti lakukan untuk mengamati pemberitaan skandal politik Antasari Azhar dan memilah berita-berita dalam rubrik Laporan Utama yang turut mengulas keterlibatan Rhani Juliani sebagai satu-satunya perempuan yang terlibat dalam skandal politik Antasari Azhar. b. Tataran Konteks Pengambilan data pada tataran ini lebih kompleks daripada pengambilan data pada tataran teks. Hal ini disebabkan oleh adanya pelibatan orang lain di luar peneliti dan objek penelitian. Pada tataran konteks,
peneliti
melakukan
penggalian
informasi
dengan
menggunakan teknik wawancara terhadap wartawan dan Pemimpin Redaksi Tempo yang menjabat pada waktu berita tentang skandal politik Antasari dipublikasikan. Wartawan yang diwawancarai haruslah merupakan wartawan yang terlibat dalam proses produksi berita yang menjadi objek dalam penelitian ini. Penentuan wartawan didasarkan pada nama yang tertera di setiap teks berita yang diteliti. Informasi yang diperoleh dari wartawan dan Pemimpin Redaksi Tempo
25
diharapkan mampu menjawab secara menyeluruh tentang proses framing yang terjadi dalam ruang redaksi. 5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode campuran. Pada tataran teks, teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan keseluruhan perangkat framing dari model analisis Pan dan Kosicki, yaitu struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematis dan struktur retoris. Dalam proses analisis teks, peneliti menggunakan panduan coding sheet sebagaimana sudah dipaparkan pada bagian operasionalisasi. Hasil analisis pada tataran ini diharapkan mampu menjawab seperti apa frame Tempo dari masing-masing berita yang menjadi objek dalam penelitian ini. Setelah analisis teks berita, peneliti juga akan merincikan benang merah frame dari masing-masing berita. Hal ini dilakukan untuk melihat keterkaitan antara frame satu berita dengan frame berita yang lainnya. Dalam hal ini, peneliti akan merincikan benang merah frame dari lima berita yang menjadi objek penelitian. Pada bagian akhir analisis teks, peneliti juga melengkapinya dengan analisis atas posisi Tempo dalam memaknai skandal Antasari. Analisis posisi Tempo akan peneliti lakukan pada rubrik Opini dari masing-masing edisi Tempo dalam penelitian ini. Analisis ini penting dilakukan agar peneliti dapat mengkorelasikannya dengan frame masingmasing berita yang diteliti serta benang merah dari frame berita-berita tersebut. Pada tataran konteks, hasil pengambilan data dari wartawan yang terlibat dalam proses produksi berita serta Pemimpin Redaksi Tempo akan digunakan sebagai
jawaban atas analisis berdasarkan proses framing
Scheufele dan teori Shoemaker & Reese. Analisis pada level ini dilakukan untuk membantu memahami korelasi antara proses produksi berita di internal Tempo dengan frame yang muncul pada masing-masing berita. Selain menggunakan hasil wawacara dengan wartawan Tempo, analisis
26
pada level ini juga dilengkapi dengan kajian atas rubrik Opini, studi literatur, penelitian-penelitian terdahulu
yang relevan, dan profil
perusahaan Tempo. Pada tahap akhir, analisis akan diakhiri dengan memaparkan frame besar yang muncul atas kajian terhadap korelasi hasil pada analisis teks dan analisis konteks. Selain itu, pembahasan juga dilengkapi dengan uraian detail atas jawaban pertanyaan penelitian tentang framing Tempo terhadap representasi perempuan dalam pemberitaan skandal politik pimpinan KPK.
27