BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.1 Data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2010 menunjukkan persentase 87,21% dari keseluruhan penduduk Indonesia beragama Islam.2 Besarnya jumlah pemeluk Islam di Indonesia mempengaruhi kultur berpakaian, terutama para perempuannya. Perempuan Islam atau yang kerap disebut muslimah, banyak memakai jilbab untuk menutupi bagian tubuhnya yang wajib ditutup. Meski begitu, tidak semua muslimah di Indonesia memakai busana yang disebut jilbab. Jilbab memiliki beragam arti. Sejarawan Will Durant mengungkapkan bahwa jilbab merupakan pakaian yang telah dikenakan berbagai kalangan sebelum Islam datang.3 Kata jilbab juga kerap diartikan sebagai kain penutup kepala yang dipakai oleh muslimah.4 Pada konteks penelitian ini, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi tak hanya kepala namun seluruh bagian tubuh muslimah yang harus ditutup atau yang kerap disebut aurat. Seiring berjalannya waktu, busana jilbab di Indonesia pun mengalami perkembangan baik dari segi fungsi maupun bentuknya. Dulu jilbab hanya berfungsi sebagai busana kesopanan yang identik dikenakan pada acara-acara keagamaan seperti di pengajian dan pesantren.5 Namun sejak tahun 2010, jilbab
1
Diakses dari http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=236377 pada Kamis, 12 Februari 2015 pukul 11.34 wib. 2 Kementerian Agama Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2013 (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2014), hlm. 12. 3 Diakses dari http://www.suara-islam.com/read/index/5328/Jadikan-Fenomena-HijaberCommunity-Sebagai-Momentum-Berbusana-Syar-i pada Sabtu, 6 September 2014 pukul 07.23 wib. 4 Eka Rubiyanti, Tampil Modis dengan Berjilbab: Sebuah Trend Mode Masa Kini di Yogyakarta, Skripsi Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004, hlm. 18. 5 Ibid., hlm. 1-2.
1
mulai marak dipakai harian oleh muslimah di Indonesia, selain karena meningkatnya kesadaran menutup aurat, modelnya pun kian trendi.6 Meski jilbab kini semakin sering dipakai oleh lebih banyak orang, perkembangan ini justru memunculkan problematika lainnya. Beberapa kalangan menganggap bahwa bentuk jilbab yang banyak dipakai tersebut belum memenuhi fungsi utamanya menutup aurat. Beberapa kalangan tersebut masih menilai jilbab yang banyak dikenakan belum memenuhi kriteria busana syar’i. Salah satu organisasi yang fokus mengampanyekan busana jilbab agar sesuai dengan kriteria syar’i adalah Peduli Jilbab. Organisasi ini membuat rangkaian program kampanye bernama Yuk Berjilbab Syar’i untuk mengajak muslimah memakai jilbab sesuai kriteria syar’i. Kampanye tersebut dilakukan melalui berbagai media komunikasi agar visinya untuk mengembalikan jilbab sesuai fungsi dan kriterianya terpenuhi. Perkembangan organisasi beserta kampanyenya pun berjalan begitu cepat. Dalam kurun waktu sekitar 2 tahun sejak didirikan pada 2012 lalu, Peduli Jilbab mengalami perkembangan cukup pesat dilihat dari cakupan khalayaknya. Di tanggal 4 September 2014, jumlah follower dari official account twitter @pedulijilbab telah mencapai 166.159.7 Sementara akun instagramnya telah memiliki follower sebanyak 6793.8 Likers FanPage Facebook Peduli Jilbab pun cukup banyak, yaitu 27.839.9 Jumlah tersebut lebih banyak dibanding akun organisasi atau komunitas sejenis lainnya.10 Selain itu jumlah Tim Solidaritas Peduli Jilbab (Tim SPJ) pun kini mencapai 388 orang hasil seleksi di 31 wilayah di Indonesia dan 1 wilayah di Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kampanyenya begitu cepat dilihat dari cakupan khalayak yang luas.
6
Diakses dari http://www.suara-islam.com/read/index/5328/Jadikan-Fenomena-HijaberCommunity-Sebagai-Momentum-Berbusana-Syar-i pada Sabtu, 6 September 2014 pukul 07.23 wib. 7 Diakses dari https://twitter.com/pedulijilbab pada Kamis, 4 September 2014 pukul 19.23 wib. 8 Diakses dari http://instagram.com/pedulijilbab pada Kamis, 4 September 2014 pukul 19.25 wib. 9 Diakses dari https://www.facebook.com/PeduliJilbab?fref=ts diakses pada Kamis, 4 September 2014 pukul 19.27 wib. 10 Komunitas Hijab Syar’i berdiri tanggal 17 November 2012 dengan jumlah likers fanpage Facebook mencapai 24 ribuan. Diakses dari https://www.facebook.com/pages/Komunitas-HijabSyari/185854738231684 pada Kamis, 4 September 2014 pukul 19.29 wib.
2
Dampak yang ditimbulkan dari kampanye tersebut kini sudah mulai tampak. Salah satu dampak yang muncul adalah banyaknya public figure/artis yang tetap diterima di dunia hiburan tanah air meski mereka telah memutuskan berjilbab syar’i. Artis yang telah berjilbab syar’i tersebut diantaranya Peggy Melati Sukma, Sarah Vi, Lira Virna, Yulia Rahman, Indri Giana, Oki Setiana Dewi, Meyda Sefira, dan lain sebagainya.11 Kesuksesan organisasi dalam mengelola kampanye hingga menimbulkan dampak, tentu tak lepas dari manajemen komunikasi antara pemimpin dengan anggota timnya. Namun uniknya, pemimpin dan para anggotanya hampir tidak pernah bertatap muka dan melakukan komunikasi secara langsung. Sejak dari proses perekrutan hingga kampanye berjalan lebih dari dua tahun, komunikasi internal lebih banyak berlangsung melalui media daring chat group WhatsApp dan group Facebook yang bersifat rahasia. Perbedaan wilayah dengan jarak yang cukup jauh berdampak pada komunikasi internal maupun eksternal Tim SPJ dalam mengelola kampanye. Kondisi dan budaya yang berbeda di tiap wilayah menyebabkan kebutuhan strategi komunikasi dalam mengampanyekan pemakaian jilbab syar’i pun berbeda-beda. Meskipun menggunakan strategi komunikasi yang berbeda, pesan yang disampaikan harus tetap sama. Tantangan dari perbedaan wilayah ini membuat manajemen komunikasi Peduli Jilbab dalam kampanye Yuk Berjilbab Syar’i menarik untuk diteliti. Kasus ini menarik dan penting diteliti untuk mencari tahu tentang bagaimana manajemen komunikasi diterapkan pada ratusan orang yang hampir tidak pernah bertemu dalam upaya mencapai tujuan kampanyenya. Terlebih lagi, hanya dalam kurun waktu dua tahun, kampanye yang dilakukan organisasi ini sudah mulai menampakkan dampaknya. Tentu bukan suatu pekerjaan mudah bagi para pemimpin tim dalam mengelola komunikasi di organisasinya tersebut.
11
Diakses dari http://www.khalifahlife.com/2014/09/inilah-artis-artis-dengan-gaya-hijab.html pada Senin, 1 September 2014 pukul 15.20 wib.
3
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan sebuah pertanyaan penelitian, “Bagaimana manajemen komunikasi yang dilakukan Peduli Jilbab pada kampanye Yuk Berjilbab Syar’i tahun 2012-2014?”
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis manajemen komunikasi Peduli Jilbab dalam mengampanyekan pemakaian jilbab syar’i pada kampanye Yuk Berjilbab Syar’i tahun 2012-2014.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis -
Hasil penelitian ini dapat memperkaya kajian terkait manajemen komunikasi pada kampanye.
-
Hasil penelitian ini turut mengembangkan kajian ilmu komunikasi strategis khususnya komunikasi organisasi dan hubungan masyarakat.
2. Manfaat Praktis -
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi contoh kasus manajemen komunikasi yang diterapkan dalam kampanye sosial.
-
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi contoh kasus manajemen komunikasi yang diterapkan organisasi skala besar dengan cakupan yang luas.
E. Kerangka Pemikiran Seorang pemimpin tak akan mampu menjadi motivator dan manajer yang baik bagi timnya jika tidak memiliki kemampuan komunikasi yang jelas dan efektif. Dibutuhkan teknik komunikasi yang baik agar mampu mempengaruhi dan 4
menggerakkan orang sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.12 Begitu pula dengan pemimpin pusat dan koordinator Tim SPJ yang perlu memiliki kemampuan manajerial dan komunikasi yang baik agar timnya melaksanakan tugas dengan baik. Kesuksesannya dalam memimpin akan berpengaruuh penting pada hasil kampanye yang dikerjakan anggota Tim SPJ. Pada bagian kerangka pemikiran ini, penulis akan membahas tentang konsep manajemen komunikasi dan kampanye sebagai dasar pemikiran. Lalu pembahasan dilanjutkan pada konsep manajemen kampanye untuk memfokuskan pemikiran pada konsep yang lebih spesifik. Setelah itu pembahasan akan mengarah pada hal yang lebih sempit yaitu perencanaan strategis sebagai bagian dari manajemen kampanye yang menentukan keberhasilan sebuah kampanye.
1. Manajemen Komunikasi Manajemen komunikasi dijelaskan oleh Rosady Ruslan sebagai alat organisasi.13 Ini berarti bahwa manajemen akan berperan sebagai penggerak aktivitas komunikasi dalam usaha pencapaian tujuan komunikasinya. Agar komunikasi yang dilakukan dapat mencapai tujuannya secara efektif, maka setiap unsur yang ada dalam proses komunikasi perlu dikelola sedemikian rupa dengan mengaitkan beberapa fungsi manajemen. Istilah manajemen sendiri diartikan oleh McFarland dari arti kata dasarnya yaitu menangani atau mengelola. McFarland menjelaskan lebih lanjut bahwa kata manajemen dapat diartikan sebagai ilmu atau seni tentang perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian. Dapat pula diartikan sebagai karir atau pekerjaan dari kelompok yang bertanggung jawab menjalankan sebuah organisasi. Namun pada penelitian ini, manajemen diartikan sebagai proses pengorganisasian seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, penggiatan, dan pengevaluasian. 14
12
Dedy N. Hidayat, Centang Perenang Manajemen Komunikasi Kepresidenan dari Soekarno sampai Megaw’ati, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002), hlm. 2 13 Rosady Ruslan, SH, MM., Manajemen Humas dan Komunikasi: Konsepsi dan Aplikasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 84 14 I Gusti Ngurah Putra, Manajemen Hubungan Masyarakat (Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 2008), hlm. 1.9.
5
Pengertian manajemen dari McFarland tersebut hampir sama dengan fungsi-fungsi manajemen menurut G.R. Terry. Fungsi-fungsi manajemen G.R, Terry meliputi tahap merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, dan mengawasi.15 Tahap merencanakan merupakan proses dalam menentukan tujuan yang akan dicapai serta langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapainya. Tahap mengorganisasikan merupakan proses pemberian tugas, pengalokasian sumber daya, serta pengaturan kegiatan secara terkoordinasi kepada setiap individu dan kelompok untuk menerapkan rencana.16 Tahap menggerakkan adalah berbagai proses yang dilakukan untuk membuat rencana dapat dilaksanakan dengan baik.17 Tahap mengawasi merupakan pengukuran hasil kinerja dengan membandingkan apa yang direncanakan dengan apa yang benar-benar dicapai dalam kenyataan, serta mengambil tindakan perbaikan jika diperlukan.18 Sebagai alat organisasi, komunikasi perlu dikelola agar mampu mempengaruhi kinerja individu dan tim dalam organisasi.19 Hal ini karena komunikasi difungsikan sebagai penghubung organisasi dengan lingkungannya, dan penghubung bagian-bagian internalnya satu sama lain.20 Sehingga komunikasi mempengaruhi anggota tim dalam menyikapi pekerjaan, kepemimpinan, serta teman-teman kerjanya.
2. Kampanye Meski memiliki persamaan, konsep kampanye berbeda dengan propaganda. Keduanya memang sama-sama wujud tindakan komunikasi terencana untuk mempengaruhi khalayak melalui berbagai macam saluran komunikasi.21 Namun
15
G.R. Terry, Principles of Management, 7-th edition (Homewood Illinois: Richard D. Irwin Inc, 1977), hlm. 4. 16 Drs. Tommy Suprapto, M.S., Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi (Yogyakarta: Media Pressindo, 2009), hlm. 123. 17 Ibid., hlm. 124. 18 Ibid. 19 Drs. Moekijat, Asas-asas Perilaku Organisasi (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 121 20 J. G. Miller, Communication and Communication Systems (Homewood Illinois: Richard D. Irwin, inc., 1968), hlm. 17. 21 Antar Venus, dkk., Manajemen kampanye: panduan teoritis dan praktis dalam mengefektifkan kampanye komunikasi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), hlm. 5.
6
terdapat tujuh aspek yang membedakan konsep dasar antara kampanye dan propaganda. Ketujuh aspek tersebut diantaranya aspek sumber, waktu, sifat gagasan, tujuan, modus penerimaan, modus tindakan, dan sifat kepentingan.22 Berdasar ketujuh aspek tersebut, kampanye dapat dibedakan sesuai ciri pokok yang berkebalikan dengan propaganda. Ketika suatu kegiatan komunikasi memiliki ciri-ciri berikut ini, maka kegiatan komunikasi tersebut dapat dikatakan sebagai kampanye. Ciri-ciri yang dimaksud diantaranya memiliki sumber atau pelaku kampanye yang dapat diidentifikasi dengan jelas, dilakukan dalam suatu periode waktu tertentu, gagasannya bersifat terbuka untuk diperdebatkan, memiliki tujuan yang jelas dan spesifik, tidak koersif, memiliki kode etik yang mengatur kampanye, dan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak agar tujuan dapat dicapai.23 Namun ketika suatu kegiatan komunikasi tidak memiliki ketujuh ciri tersebut atau bahkan memiliki ciri yang berkebalikan, maka bisa jadi termasuk pada kegiatan komunikasi propaganda. Ketujuh ciri inilah yang nantinya akan digunakan untuk membedakan kampanye Yuk Berjilbab Syar’i dengan propaganda. Kampanye sendiri memiliki definisi yang beragam dari beberapa ahli komunikasi. Rogers dan Storey mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian kegiatan komunikasi yang terorganisasi dengan tujuan untuk menciptakan dampak tertentu terhadap sebagian besar khalayak sasaran secara berkelanjutan dalam periode waktu tertentu.24 Leslie B. Snyder mengungkapkan bahwa kampanye adalah tindakan komunikasi yang terorganisasi dan diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode waktu tertentu, guna mencapai tujuan.25 Pfau dan Parrot menjelaskan bahwa kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.26 Dari berbagai definisi kampanye tersebut, dapat disimpulkan bahwa kampanye tersusun dari lima unsur. Pertama, kampanye merupakan suatu tindakan 22
Ibid., hlm. 6 Ibid., hlm. 6 24 Ibid., hlm. 7 25 Ruslan, Kampanye Public Relations, Edisi Revisi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 23. 26 Ibid. 23
7
komunikasi yang ditujukan untuk menciptakan dampak tertentu. Kedua, kampanye memiliki khalayak sasaran yang telah ditentukan. Ketiga, kampanye biasanya dipusatkan dalam kurun waktu tertentu. Keempat, kampanye dilakukan melalui serangkaian tindakan komunikasi terorganisir. Kelima, kampanye memiliki sumber yang jelas.27 Unsur pertama kampanye adalah menciptakan dampak tertentu. Dampak tertentu yang diciptakan kampanye selalu terkait dengan tiga aspek. Menurut Pfau dan Parrot, ketiga aspek tersebut adalah aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku (behavioral). Sementara Ostergaard menyebut ketiga aspek tersebut dengan istilah “3A” sebagai kependekan dari awareness, attitude, dan action.28 Ketiga aspek tersebut bersifat saling terkait dan merupakan sasaran pengaruh yang harus dicapai secara bertahap agar kondisi perubahan dapat tercipta sesuai dengan tujuan kampanyenya. Motivasi dan tujuan kampanye kemudian menjadi dasar pembagian jenis kampanye menurut Charles U. Larson. Ketiga jenis kampanye tersebut diantaranya product-oriented campaign, candidate oriented campaign, dan ideologically or cause oriented campaign. Product-oriented campaign mendasari kampanyenya dengan motivasi untuk memperoleh keuntungan finansial. Candidate oriented campaign mendasari kampanyenya dengan motivasi untuk memperoleh kekuasaan politik. Ideologically or cause oriented campaign mendasari kampanyenya dengan motivasi untuk membuat perubahan sosial.29 Perbedaan jenis kampanye berdasarkan tujuan tersebut pada akhirnya berkaitan dengan model kampanye yang terjalin. Model kampanye dirangkai untuk memudahkan dalam penggambaran proses komunikasi yang terjadi di dalam kegiatan kampanye, termasuk pada kampanye Yuk Berjilbab Syar’i. Untuk mempermudah pemahaman pada proses komunikasi yang terjadi pada kampanye, beberapa ahli mengkonstruksi beberapa model kampanye. Terdapat beberapa model kampanye, diantaranya model komponensial kampanye,
27
Venus, Op. Cit., hlm. 7 Ibid., hlm. 10 29 Ibid. 28
8
model kampanye Ostergaard, five functional stage development model, communicative function model, model kampanye Nowal dan Warneryd, model difusi inovasi, dan masih banyak lagi. Model Komponensial Kampanye merupakan model kampanye yang mengambil komponen-komponen pokok dalam suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan kampanye, namun interaksinya terbatas. Model Kampanye Ostergaard diciptakan berdasar pengalaman lapangan, bahwa kampanye yang layak dilaksanakan adalah yang berdasarkan permasalahan yang ditemukan di lapangan.
The
Five
Functional
Stage
Development
Model
berfokus
menggambarkan tahapan pelaksanaan kampanye. The Communicative Functions Model biasa digunakan untuk menggambarkan proses kampanye dengan tujuan politik. Model kampanye Nowal dan Warneryd merupakan model tradisional kampanye, dengan elemen-elemen yang saling berhubungan. The Diffusion of Innovation Model umumnya diterapkan pada kampanye komersil dan sosial dengan pendekatan persuasi pada pesannya.30 Johnson-Cartee dari Copeland menyebut kampanye sebagai an organized behavior. Sehingga kampanye harus direncanakan dan diterapkan secara sistematis juga hati-hati.31 Artinya kegiatan kampanye membutuhkan sentuhan manajemen agar tujuan kampanyenya dapat tercapai dengan efektif.
3. Manajemen Kampanye Suatu hal yang paling ingin dicari pada penelitian adalah proses Tim SPJ mengelola bentuk, isi, dan konteks informasi pada kampanye. Hal ini karena manajemen komunikasi merupakan pengelolaan bentuk, isi, dan konteks informasi yang bertujuan memberikan hasil spesifik.32 Maka untuk melihat proses pengelolaan bentuk, isi, dan konteks informasi pada kampanye, tentu akan lebih mudah jika didedah menggunakan teori manajemen kampanye dari Venus yang lebih spesifik.
30
Ibid., hlm. 12-25 Ibid., hlm. 25-26 32 Mark Fletcher, Managing Communication in Local Government (London: Kagan Page, 1999), hlm. 156. 31
9
Dalam buku “Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi”, Venus menyebutkan bahwa manajemen kampanye selalu meliputi tiga tahapan. Ketiga tahap tersebut terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.33 Ketiga tahap tersebut akan diulas lebih dalam pada bagian ini sebagai dasar analisis mengenai manajemen kampanye. Tahapan manajemen kampanye yang dijelaskan oleh Venus pada bukunya tersebut tidak terlalu jauh dari fungsi manajemen komunikasi yang telah dibahas sebelumnya. Hampir sama, karena kampanye juga merupakan salah satu dari produk kegiatan komunikasi organisasi yang memerlukan pengelolaan agar berjalan efektif.
a. Perencanaan Kampanye Supaya kampanye berhasil mencapai tujuan yang diinginkan, maka perencanaan merupakan sebuah keharusan. Gregory dan Simmons mengungkapkan lima alasan mengapa perencanaan harus dilakukan dalam sebuah kampanye, yaitu dapat memfokuskan usaha, mengembangkan sudut pandang berjangka waktu panjang, meminimalisasi kegagalan, mengurangi konflik, dan memperlancar kerja sama dengan pihak lain.34 Perencanaan sendiri meliputi beberapa aspek. Aspek tersebut diantaranya aspek apa yang ingin dicapai, siapa yang akan menjadi sasaran, pesan apa yang ingin
disampaikan,
bagaimana
menyampaikannya,
dan
bagaimana
mengevaluasinya. Pada tahap perencanaan, dalam memperhatikan aspek-aspek tersebut penting untuk menerapkannya pada proses analisis situasi dan kondisi, analisis masalah, analisis sasaran dan kompetitor, analisis tujuan, dan analisis positioning. Hal ini dilakukan agar pada pelaksanaannya dapat mencapai tujuan kampanye yang diharapkan. Gregory menyebutkan bahwa terdapat 10 tahapan perencanaan kampanye. Pertama, analisis situasi untuk mengidentifikasi permasalahan dasar dari program
33
Ibid. Anne Gregory, Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relation, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), hlm. 36.
34
10
kampanye. Kedua, menyusun tujuan yang realistis. Ketiga, mengenali publik kampanye. Keempat, menyiapkan pesan kampanye. Kelima, mengatur strategi kampanye. Keenam, menyusun taktik. Ketujuh, menetapkan skala waktu. Kedelapan, mempersiapkan sumber daya. Kesembilan, merencanakan evaluasi. Kesepuluh, merencanakan review.35 Dari kesepuluh tahapan yang diuraikan di atas, nampak bahwa tahapan perencanaan yang pertama kali harus dilakukan adalah analisis situasi. Analisis merupakan langkah awal perencanaan berdasarkan hasil riset. Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi permasalahan dasar dari program kampanye.36 Analisis penting dilakukan karena tanpa analisis masalah yang benar, maka kampanye tidak layak dilakukan.37 Tahap kedua dari perencanaan kampanye adalah menentukan tujuan kampanye dengan realistis. Tak hanya realistis, tujuan kampanye juga harus memenuhi syarat-syarat penting lainnya. Syarat dari tujuan kampanye yang baik diantaranya harus sejalan dengan tujuan organisasi, spesifik, dapat dicapai, berdasarkan skala waktu, anggaran, dan urutan prioritas.38 Pada tahap ketiga dari perencanaan kampanye, publik harus dapat dikenali dengan baik. Grunig menjelaskan bahwa terdapat beberapa jenis publik yang dapat dikenali, diantaranya non publik, publik laten, publik yang sadar, dan publik yang aktif. Non publik merupakan kelompok publik yang tidak terpengaruh maupun mempengaruhi organisasi. Publik laten merupakan publik tidak menyadari jika memiliki kaitan dengan permasalahan yang diangkat organisasi. Publik yang sadar tentunya telah menyadari keterlibatannya pada suatu permasalahan. Sementara itu, publik aktif tak hanya sadar, melainkan juga turut mengambil tindakan terhadap masalah yang difokuskan pada kampanye.39 Tahap keempat dari perencanaan adalah tahap persiapan pesan. Gregory menjelaskan empat langkah dalam menyiapkan pesan kampanye. Langkah pertama, 35
Ibid. Ibid., hlm. 41. 37 Venus, Op. Cit.., hlm. 40. 38 Gregory, Op. Cit., hlm. 79. 39 James E. Grunig and Todd Hunt, Managing Public Relation (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984), dikutip dari Ibid., hlm. 88. 36
11
pesan disiapkan berdasarkan persepsi yang sudah ada. Kedua, pesan disiapkan dengan menjelaskan pergeseran yang dapat dilakukan terhadap persepsi tersebut. Ketiga, pesan disiapkan dengan mengidentifikasi unsur-unsur persuasi berdasarkan fakta. Keempat, harus dipastikan bahwa pesan tersebut dapat dipercaya dan dapat disampaikan melalui kampanye.40 Penyusunan strategi komunikasi menjadi tahap kelima setelah persiapan pesan. Strategi itu sendiri dapat diartikan sebagai keseluruhan rencana koordinasi tim, tema utama kampanye, prinsip, dan gagasan strategis pada taktik.41 Penyusunan strategi komunikasi ini memiliki fungsi sebagai penyebarluas pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil optimal. Selain itu juga sebagai jembatan cultural-gap akibat kemudahan diperolehnya dan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh dalam kampanye.42 Setelah strategi komunikasi disusun, maka tahap selanjutnya adalah penyusunan
taktik.
Taktik
kampanye
yang
disusun
setidaknya
harus
memperhatikan segi appropriateness dan deliverability-nya. Selain itu, dalam menyusun taktik juga perlu mempertimbangkan faktor kekuatan, kreativitas, kemampuan tim pelaksana, pengembangan program, hingga pencapaian tujuan yang terukur.43 Tahap ketujuh dari perencanaan kampanye yang harus dilakukan adalah menentukan skala waktu kampanye. Penentuan skala waktu ini penting karena tidak pernah ada waktu yang cukup untuk melakukan semua pekerjaan jika tugas dan tanggung jawab yang ada lebih besar daripada waktu yang tersedia. Dalam menentukan skala waktu, faktor tenggat waktu dan sumber daya juga perlu diperhatikan agar tugas dapat selesai sesuai skala waktu yang dibuat sendiri. 44 Setelah itu memetakan sumber daya yang dimiliki juga sangat penting dilakukan pada perencanaan. Menurut Ruslan terdapat tiga bentuk sumber daya 40
Gregory, Op. Cit., hlm. 95. Venus, Op. Cit., hlm. 152. 42 Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm. 300. 43 Ruslan, Op. Cit., hlm. 102. 44 Gregory, Op. Cit., hlm. 124. 41
12
yang perlu dipetakan karena berkaitan pada pelaksanaan kampanye. Pertama, sumber daya manusia (SDM) yang terlibat. Kedua, sumber biaya operasional penunjang kegiatan kampanye. Ketiga sumber perlengkapan seperti transportasi, dukungan peralatan teknis, pemanfaatan media komunikasi, tim kerja lain, dan sebagainya.45 Meski masih jauh dari tahap evaluasi yang sesungguhnya, namun evaluasi penting untuk dipersiapkan sejak melakukan perencanaan. Hal ini karena disiapkannya
indicator
evaluasi
dapat
membantu
memfokuskan
usaha,
menunjukkan keefektifan, mengefisiensikan biaya, mendukung manajemen, dan memfasilitasi pertanggung jawaban.46 Hampir selaras dengan perencanaan evaluasi, perencanaan review juga penting dilakukan. Review direncanakan untuk meninjau ulang kegiatan kampanye. Namun berbeda dari evaluasi yang dilakukan secara teratur. Review dilakukan secara menyeluruh dan dengan frekuensi yang lebih jarang. Setelah memutuskan untuk melakukan review, siklus proses perencanaan akan diulangi lagi.47
b. Pelaksanaan Kampanye Menurut Venus, pelaksanaan kampanye merupakan penerapan dari konstruksi rancangan program yang telah ditetapkan sebelumnya. 48 Maka dari itu, tahap pelaksanaan harus konsisten berpedoman kepada rancangan yang ada tanpa mengabaikan penyesuaian yang perlu dilakukan sesuai dengan keadaan yang dihadapi di lapangan. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam tahap pelaksanaan meliputi realisasi unsur-unsur kampanye, menguji coba rencana kampanye, pemantauan pelaksanaan, dan pembuatan laporan kemajuan. Realisasi unsur-unsur pokok kampanye terdiri dari perekrutan dan pelatihan personel, pengkonstruksian pesan, penyeleksian aktor penyampai pesan, dan penyeleksian saluran kampanye.
45
Ruslan, Op. Cit., hlm. 104. Gregory, Op. Cit., hlm. 138. 47 Ibid. 48 Venus, Op. Cit., hlm. 199 46
13
Pada proses perekrutan dan pelatihan personel, hal ini merupakan realisasi pada langkah awal pelaksanaan kampanye. Personel kampanye harus diseleksi dengan teliti dengan memperhatikan aspek motivasi, komitmen, kemampuan bekerjasama, dan pengalaman yang bersangkutan dalam pekerjaan sejenis.49 Pada proses pengkonstruksian pesan, pesan dalam kampanye harus berdasar pada beberapa pertimbangan. Pertimbangannya meliputi kesederhanaan, kedekatan dengan situasi khalayak, kejelasan, keringkasan, kebaruan, konsistensi, kesopanan, dan kesesuaian dengan objek kampanye. Pada prinsipnya, desain pesan kampanye harus sesuai dengan karakteristik khalayak sasaran, saluran yang digunakan, dan efek kampanye yang diharapkan.50 Aktor penyampai pesan kampanye juga perlu untuk dipilih dan diseleksi menyesuaikan tujuan kampanyenya. Hal ini agar pesan kampanye dapat diterima dengan baik oleh khalayak, karena aktor penyampai pesan inilah yang akan berhadapan langsung dengan publik saat menyampaikan pesan kampanyenya.51 Media sebagai saluran kampanye pun harus diseleksi dengan penuh pertimbangan. Beberapa faktor pokok yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media kampanye diantaranya, jangkauan media, tipe dan ukuran besarnya khalayak, biaya, waktu, dan tujuan serta objek kampanye. Faktor lain yang juga perlu diperhatikan yaitu klasifikasi khalayak berdasar demografis, psikografis, geografis, dan pola penggunaan media (media habit).52 Sementara itu pada tahap setelahnya, uji coba rancangan kampanye dilakukan untuk menyusun strategi (pesan, media, dan penyampai pesan) yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Dengan dilakukannya uji coba rencana kampanye, dapat juga diperoleh gambaran tentang respons awal sebagian khalayak sasaran terhadap pesan-pesan kampanye.53 Pada tahap ketiga pelaksanaan kampanye, tindakan dan pemantauan kampanye dilakukan agar kampanye tidak keluar dari tujuan yang ditetapkan.
49
Ibid. Ibid. 51 Ibid. 52 Ibid. 53 Ibid. 50
14
Namun tindakan kampanye yang dipantau bukanlah tindakan yang bersifat kaku dan parsial, melainkan bersifat adaptif, antisipatif, integrative, dan berorientasi pada pemecahan masalah.54 Setelah semua tahapan pelaksanaan kampanye yang telah disebutkan diatas dilakukan, maka unsur terakhir dari proses pelaksanaan kampanye adalah pembuatan laporan kemajuan atau progress report. Laporan kemajuan merupakan dokumen yang sangat penting, bukan hanya bagi manajer tapi juga pelaksana kampanye secara keseluruhan. Dalam laporan kemajuan umumnya dimuat berbagai data dan fakta tentang berbagai hal yang telah dilakukan selama masa kampanye. 55
c. Evaluasi Kampanye Venus menjelaskan tentang pentingnya evaluasi sebagai tahap akhir proses kampanye. Menurutnya, evaluasi adalah komponen terakhir dari rangkaian proses pengelolaan kampanye. Evaluasi kampanye dapat diartikan juga sebagai upaya sistematis untuk menilai berbagai aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan hingga pencapaian tujuan kampanye. Meski menempati urutan terakhir, manfaat dan arti pentingnya tidak berbeda dengan tahap perencanaan dan pelaksanaan kampanye. 56 Venus membagi tahap evaluasi berdasarkan tingkatan keberhasilan kampanye. Tingkatan-tingkatan tersebut terdiri dari tingkatan level (campaign level), tingkatan sikap (attitude level), tingkatan perilaku (behaviour level), dan tingkatan masalah (problem level).57
4. Perencanaan Strategis dalam Manajemen Perencanaan strategis adalah sebuah alat manajemen, alat yang digunakan untuk menolong organisasi melakukan tugasnya dengan lebih baik. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi memfokuskan visi dan prioritasnya. Hal ini untuk menanggapi faktor lingkungan yang berubah, dan memastikan agar anggota-
54
Ibid. Ibid. 56 Ibid. 57 Ibid. 55
15
anggota organisasi bekerja ke arah tujuan yang sama dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada.58 Dari definisi tersebut, dapat dilihat beberapa konsep utama yang menegaskan makna dan keberhasilan perencanaan strategis. Pertama, prosesnya strategis karena melibatkan bagaimana memilih cara terbaik untuk menanggapi keadaan lingkungan yang dinamis dan terkadang tidak bersahabat. Kedua, sistematis. Ketiga, mencakup pemilihan prioritas. Keempat, prosesnya tentang membangun komitmen. Perencanaan strategis perlu dilakukan oleh organisasi karena perencanaan memerlukan sumber-sumber, sebuah komoditi berharga bagi setiap organisasi nirlaba, dan merumuskan arah serta kegiatan organisasi di lingkungan yang terus berubah.59 Bahwa rencana saja tak cukup, melainkan rencana yang disusun dengan baik akan meningkatkan peluang dari kegiatan yang dilakukan organisasi menuju tujuan yang dikehendaki. Perencanaan strategis yang sukses mampu memperbaiki proses orang yang bekerjasama dalam beberapa hal. Diantaranya mampu menciptakan forum untuk memahami mengapa organisasi itu ada dan nilai bersama yang seharusnya mempengaruhi keputusan. Mampu memupuk komunikasi yang sukses dan kerja regu di antara dewan direktur dan staf. Mampu meletakkan dasar bagi organisasi yang bermakna dengan merangsang pemikiran strategis dan memutuskan perhatian pada apa yang benar-benar penting bagi keberhasilan organisasi dalam jangka panjang. Selain itu juga mampu menyatukan orang-orang untuk mengejar peluang agar lebih baik memenuhi kebutuhan klien.60 Dalam buku karya Anwar Arifin yang berjudul “Strategi Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas” ini menyatakan bahwa sesungguhnya suatu strategi adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan,
58
Michael Allison dan Jude Kaye, Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Nirlaba (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 1-2. 59 Ibid., hlm. 9 60 Ibid., hlm. 10
16
guna mencapai tujuan61. Jadi merumuskan strategi komunikasi, berarti memperhitungkan kondisi dan situasi (ruang dan waktu) yang dihadapi dan yang akan mungkin dihadapi di masa depan, guna mencapai efektivitas. Dengan strategi komunikasi, berarti dapat ditempuh beberapa cara memakai media komunikasi secara sadar untuk menciptakan perubahan pada diri khalayak dengan mudah dan cepat. Dalam konteks manajemen, penggunaan media untuk mempengaruhi sikap khalayak merupakan suatu strategi komunikasi. Tujuan strategi komunikasi ada tiga jenis, yaitu untuk menumbuhkan pemahaman, untuk meningkatkan pemahaman, dan untuk membuat orang bertindak sesuai dengan tujuan kampanye. Sehingga suatu manajemen yang memiliki perencanaan strategis tentu memiliki keputusan-keputusan yang mampu mengantarkan organisasi tersebut menuju tujuannya. Hal ini karena salah satu yang berperan pada suksesnya manajemen yang strategis adalah perencanaan strategis yang dimiliki organisasi dalam melaksanakan program kampanyenya.
F. Kerangka Konsep Keinginan untuk mengajak muslimah memakai jilbab terutama jilbab syar’i dijadikan sebagai tujuan dari kampanye yang dilakukan oleh Peduli Jilbab. Kampanye yang bernama Yuk Berjilbab Syar’i ini mengampanyekan ajakan berjilbab syar’i kepada muslimah di 32 wilayah berbeda. Ajakan berjilbab syar’i disuarakan melalui media daring, luring, dan tatap muka dengan berbagai kemasan acara. Dalam upaya mencapai tujuan kampanye tersebut, Peduli Jilbab sebagai pelaku kampanye perlu mengelola kampanyenya. Manajemen komunikasi dalam penelitian ini ditujukan secara khusus pada manajemen yang diterapkan dalam kegiatan komunikasi pada kamapanye. Sehingga manajemen komunikasi pada
61
Anwar Arifin, Strategi Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas, Cetakan Ketiga (Bandung: Armico, 1994), hlm. 23
17
kampanye yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah manajemen yang diterapkan dalam upaya mengubah perilaku terhadap jilbab syar’i oleh organisasi Peduli Jilbab. Kampanye Yuk Berjilbab Syar’i ini dipastikan sebagai sebuah kampanye dan bukan propaganda. Hal ini karena kampanye Yuk Berjilbab Syar’i memiliki tujuh ciri pokok kampanye yang membedakannya dengan propaganda. Kampanye ini memiliki sumber yang jelas dan dicantumkan pada saluran penyampai pesannya, memiliki waktu yang terikat, gagasan jilbab syar’i yang dikampanyekannya bersifat terbuka dan bisa diperdebatkan, memiliki tujuan yang spesifik, modus penerimaan pesannya berasas kesukarelaan, terdapat aturan dalam tim SPJ bertindak, dan tidak mementingkan kepentingan sepihak. Berdasarkan motivasi dan tujuannya, kampanye Yuk Berjilbab Syar’i dapat digolongkan sebagai kampanye sosial atau ideologically or cause oriented campaign. Hal ini karena motivasi dasar kampanyenya adalah untuk membuat suatu perubahan sosial terhadap perilaku berjilbab syar’i. Agar dapat dengan mudah memahami gambaran manajemen komunikasi pada kampanye Yuk Berjilbab Syar’i, model kampanye Ostergaard dapat dijadikan pola acuan. Hal ini karena pada model tersebut mampu menggambarkan proses kampanye secara keseluruhan. Proses diawali dengan pemetaan masalah pada saat melakukan perencanaan kampanye, dilanjutkan pelaksanaan kampanye, hingga evaluasi. Peduli Jilbab sebagai pelaku kampanye dikategorisasikan sebagai organisasi berdasarkan faktor-faktor organisasi yang dimilikinya. Peduli Jilbab terdiri dari kumpulan orang-orang, hal ini dapat dilihat dari jumlah anggota tim SPJ yang kini berjumlah 388 orang. Anggota Peduli Jilbab melakukan kerjasama, hal ini dapat dilihat dari pembagian kerja berdasarkan divisi. Peduli Jilbab juga memiliki tujuan tertentu, yaitu membuat jilbab syar’i semakin banyak dipakai. 62 Selain memiliki faktor pembentuk, Peduli Jilbab sebagai pelaku kampanye juga memiliki asas-asas organisasi. Peduli Jilbab telah memiliki tujuan yang
62
Van Miller, Op. Cit., hlm. 40.
18
dirumuskan dengan jelas mendasari kegiatan kampanye yang dilakukannya, dibagi dalam beberapa divisi dengan tugas berbeda, melakukan koordinasi, melakukan pelimpahan wewenang, dan asas-asas organisasi lainnya. Peduli Jilbab juga dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam organisasi tertentu berdasarkan faktor dan asas yang dimilikinya tersebut. Sebagai sebuah kampanye yang memiliki suatu tujuan, keberhasilannya dipengaruhi oleh kemampuan Peduli Jilbab sebagai pelaku kampanye dalam merancang program dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada. Hal ini sepenuhnya sejalan dengan pendapat Robert E. Simmons, profesor komunikasi dari Universitas Boston, Amerika Serikat, yang menegaskan bahwa keberhasilan dalam mencapai tujuan kampanye banyak ditentukan oleh kemampuan dalam merancang, menerapkan, dan mengevaluasi program kampanye secara sistematis dan strategis.63 Dengan kata lain, keberhasilan kampanye dalam meraih tujuannya berkaitan dengan kemampuan Peduli Jilbab sebagai pelaku kampanye mengelola komunikasi pada kampanye Yuk Berjilbab Syar’i. Terdapat tiga tahapan dalam mengelola sebuah kampanye menurut Venus. Ketiga tahapan tersebut diantaranya tahap merencanakan, melaksanakan, dan evaluasi.64 1. Pada tahap perencanaan, masih terdapat sepuluh tahapan di dalamnya untuk merencanakan kampanye. Tahap perencanaan pada kampanye Yuk Berjilbab Syar’i ini akan dianalisis berdasarkan kesepuluh tahapan perencanaan yang diungkapkan Anne Gregory. Kesepuluh tahapan tersebut diantaranya tahap analisis situasi, penetapan tujuan, mengenali publik, menyusun pesan, menyusun strategi, menyusun taktik, menentukan skala waktu, mempersiapkan sumber daya, menetapkan evaluasi, dan review.65 Tahap perencanaan merupakan tahap yang penting dalam menentukan kesuksesan kampanye, sehingga dibutuhkan perencanaan yang strategis. Perencanaan kampanye Yuk Berjilbab Syar’i dapat dikatakan strategis jika
63
Venus, Op. Cit., hlm.4. Ibid., hlm. 20. 65 Gregory, Op. Cit., hlm. 36-138. 64
19
dalam melaksanakan kesepuluh tahapan perencanaan memperhatikan konsep utama perencanaan strategis. Hal ini berkaitan ketika prosesnya melibatkan pemilihan cara terbaik dalam menanggapi keadaan lingkungan yang dinamis, prosesnya sistematis, menentukan prioritas, dan terbangun komitmen. 2. Pada tahap pelaksanaan, terdapat empat tahap yang digunakan untuk menganalisis tahap pelaksanaan kampanye Yuk Berjilbab Syar’i. Keempat tahap tersebut diantaranya tahap realisasi unsur-unsur pokok kampanye, uji coba rancangan kampanye, tindakan dan pemantauan kampanye, dan laporan kemajuan. 3. Pada tahap evaluasi, terdapat empat tahap evaluasi yang dapat dijadikan dasar penetuan tingkat keberhasilan kampanye Yuk Berjilbab Syar’i. Keempat tingkatan tersebut diantaranya tingkatan level, tingkatan sikap, tingkatan perilaku, dan tingkatan masalah.66 Agar mempermudah pemahaman terhadap kerangka konsep pada penelitian ini, dapat melihat bagan di bawah ini.
Bagan 1. Kerangka Konsep Manajemen Komunikasi pada Kampanye
66
Ibid., hlm. 199.
20
G. Metodologi Penelitian Diperlukan desain metodologi penelitian yang tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Pendekatan kualitatif dirasa tepat digunakan untuk memberikan gambaran realitas manajemen komunikasi pada kampanye. Untuk memberikan gambaran yang sistematik, maka penelitian ini bersifat deskriptif. Metode studi kasus digunakan untuk menyelidiki kasus manajemen komunikasi pada kampanye secara intensif dan mendalam. Data pada penelitian ini diperoleh dari studi pustaka, dokumentasi, dan wawancara. Studi kasus tunggal ini nantinya akan dianalisis menggunakan teknik pencocokan pola (pattern-matching).
1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian komunikasi dengan pendekatan kualitatif biasanya digunakan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.67 Pendekatan kualitatif dipilih karena dirasa tepat sebagai pendekatan untuk menggambarkan realitas manajemen komunikasi pada kampanye Yuk Berjilbab Syar’i. Corak dari penelitian kualitatif adalah peneliti menetapkan penelitiannya berdasarkan keseluruhan situasi sosial, meliputi tempat, pelaku, dan aktivitasnya secara bersinergi. Sehingga data yang dicari bersifat diskurtif (seperti transkrip dokumen, catatan lapangan, hasil wawancara, dokumen-dokumen tertulis, dan lain sebagainya) dan nondiskursif (seperti candi, monument, foto, music, video, gerakan tari, dan lain sebagainya).68 Pada riset kualitatif, penting bagi peneliti untuk memahami posisinya dengan baik. Stake menyarankan peneliti untuk menanyakan peran dan sudut pandang peneliti muncul dengan baik atau tidak.69 Sehingga pada penelitian ini
67
Pawito, Ph. D, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 35. Ibid., hlm. 37. 69 Christine Daymon dan Immy Holloway, Metode-metode Riset Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communication, terj. Cahya Wiratama (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2008), hlm. 178. 68
21
ditegaskan bahwa posisi peneliti hanya sebagai human instrument yang diberi keleluasaan untuk berinteraksi dengan objek dalam mendapatkan data.
2. Sifat Penelitian Penelitian ini memiliki sifat deskriptif. Menurut Michael H. Walizer, penelitian deskriptif merupakan suatu cara melakukan pengamatan dimana indikator-indikator adalah jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan secara lisan maupun tulisan.70 Sebagai penelitian deskriptif, data yang disajikan pada penelitian ini bukan berbentuk angka melainkan deskripsi atau gambaran nyata dari objek yang dikaji. Maksud dari upaya deskripsi adalah untuk dapat memberikan pemahaman mengenai gejala atau realitas.71 Sehingga dengan sifat deskriptif, penelitian ini berusaha memberikan gambaran sistematis terhadap manajemen komunikasi yang digunakan pada kasus kampanye Yuk Berjilbab Syar’i.
3. Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode studi kasus. Metode studi kasus dipilih karena dapat digunakan untuk meneliti kasus manajemen komunikasi pada kampanye Yuk Berjilbab Syar’i secara mendetail dan mendalam dari informasi-informasi yang dikumpulkan.72 Biasanya metode ini kerap dihubungkan dengan penyelidikan intensif terhadap sebuah lokasi, organisasi, atau kampanye.73 Selain itu, metode studi kasus dipilih karena mampu menggambarkan latar belakang serta sifat-sifat khas dari suatu kasus secara detail.74
70
Walizer, Michael H. and Paul L. Weinir, Metode dan Analisis Penelitian: Mencari Hubungan, Jilid 1, Terjemahan Arif Sadiman dan Said Hutagaol (Surabaya: Erlangga, 2002), hlm. 225. 71 Pawito, Op. Cit., hlm. 36. 72 J. W. Creswell. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition (London: Sage Publication, 1998), hlm. 61. 73 Christine, Op. Cit., hlm. 161. 74 Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 6.
22
Lincoln dan Guba75 juga mengemukakan beberapa keistimewaan studi kasus, diantaranya:
Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian yang menyajikan pandangan subjek yang diteliti.
Studi kasus menyajikan uraiaan menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam kehidupan sehari-hari.
Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukan hubungan antara peneliti dan responden.
Studi kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal yang tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga kepercayaan (tustworthiness).
Studi kasus memberikan “uraian tebal” yang diperlukan bagi penilaian atas transferabilitas.
Studi kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut. Desain studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
tunggal. Studi kasus tunggal merupakan studi kasus yang menyoroti perilaku individu atau kelompok dengan satu masalah penting, sebagaimana diungkapkan Mooney.76 Studi kasus tunggal memberikan kemungkinan untuk melakukan eksplorasi mendalam tapi spesifik tentang kejadian tertentu dari sebuah fenomena. Fokus pada sejumlah kecil kejadian yang diselidiki secara mendalam dalam satu rentang waktu atau dalam jangka waktu yang lebih panjang.77 Penelitian dengan metode studi kasus selalu dibatasi oleh ruang dan waktu.78 Batasan ruang pada penelitian adalah lokasi Tim SPJ yang melakukan kampanye Yuk Berjilbab Syar’i paling aktif. Sementara batasan waktunya adalah
75
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 201. 76 Baedhowi, Studi Kasus dalam Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Oleh Salim, Agus (ed.). (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001), hlm. 95. 77 Christine Op. Cit., hlm. 166. 78 Ibid., hlm. 162.
23
kurun waktu objek penelitian ini mengampanyekan pemakaian jilbab syar’i, yaitu dua tahun tujuh bulan. Selain memiliki beragam keunggulan, metode ini juga memiliki kelemahan. Salah satu dari kelemahannya adalah batasan-batasan kasus sulit untuk didefinisikan. Hal ini menghadapkan peneliti pada kesulitan lain, yaitu sulitnya memutuskan aspek-aspek dan sumber-sumber data yang disertakan dalam penelitian. Studi kasus juga terkadang dianggap terlalu deskriptif, tetapi dalam beberapa hal, deskripsilah yang menjadi tujuannya.79 Mengenali kelemahan metode ini memberikan kewaspadaan peneliti agar dapat mengatasi kekurangan tersebut dan memanfaat keuntungan metode ini dengan baik.
4. Teknik Pengumpulan Data Data perlu dikumpulkan dari berbagai sumber informasi untuk membangun gambaran yang mendalam dari kasus pada penelitian ini. Dalam usaha mengumpulkan data-data tersebut, dapat menggunakan beberapa teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan pada penelitian ini diantaranya studi pustaka, dokumentasi, dan wawancara.
a. Studi Pustaka Studi pustaka digunakan pada penelitian ini untuk mengumpulkan data dan teori hasil pemikiran para ahli yang tertulis mengenai informasi yang berkaitan dengan kasus. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya buku, jurnal, penelitian sebelumnya, dan dokumentasi internet yang sesuai dengan objek penelitian ini. Peneliti akan memanfaatkan berbagai macam data dan teori yang dikumpulkan dari berbagai pustaka penunjang guna melengkapi data penelitian.
b. Dokumentasi Pada penelitian ini, data didapatkan dari dokumentasi fakta yang tersimpan dalam bentuk dokumentasi aktivitas komunikasi media daring, arsip foto, hasil
79
Ibid., hlm. 178-179 .
24
artwork, jurnal kegiatan, dan sebagainya. Peneliti menggunakan dokumentasi yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti dan dokumentasi internal organisasi yang didapat dari narasumber utama, koordinator pusat sekaligus pendiri Peduli Jilbab, Amalia Dian Ramadhini. -
Dokumentasi yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti berupa foto dokumentasi kegiatan tim SPJ, poster, buku, kultwit, dan art work yang dapat diakses melalui media-media publik berkaitan Peduli Jilbab.
-
Dokumentasi internal yang didapat dari narasumber berupa Notulen Rapat Koordinasi Nasional Peduli Jilbab, Jadwal Kerja Tim, Jadwal Kerja Humas, Timeline Kegiatan Peduli Jilbab 2012-2015, dan kuesioner anggota tim SPJ (kuesioner hanya diperlihatkan dan tidak diperkenan menggandakannya).
c. Observasi Observasi dilakukan pada penelitian ini untuk melihat secara langsung interaksi yang dilakukan oleh Tim SPJ (Solidaritas Peduli Jilbab) baik ke sesama anggota SPJ maupun ke khalayaknya dalam kegiatan-kegiatan kampanye yang dilakukannya. Tim SPJ yang diobservasi adalah Tim SPJ Manajemen Pusat, Tim SPJ Jakarta, dan Tim SPJ Yogyakarta. -
-
Observasi SPJ Yogyakarta I (Bukber Running Man) Waktu
: Minggu, 13 Juli 2014, pukul 17.00-18.30 wib
Tempat
: Basecamp SPJ Yogyakarta
Observasi SPJ Yogyakarta II (Launching Buku From Jilbab to Akhirat, pada Islamic Book Fair)
-
-
Waktu
: Jumat, 3 April 2015, pukul 15.30-16.30 wib
Tempat
: GOR UNY, Yogyakarta
Observasi SPJ Jakarta pada kajian NOW Waktu
: Minggu, 19 April 2015, pukul 09.00-13.00 wib
Tempat
: Masjid Jatipadang, Jakarta
Observasi SPJ Pusat pada Rapat Manajemen Waktu
: Minggu, 19 April 2015, pukul 14.00-16.00 wib
Tempat
: Masjid Jatipadang, Jakarta 25
d. Wawancara Menurut Kartono, wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan suatu percakapan, tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih, yang duduk berhadapan secara fisik dan diarahkan pada masalah tertentu.80 Namun kendala jarak menyebabkan proses wawancara tidak semua dilakukan secara tatap muka, melainkan melalui telepon dan surat elektronik. Wawancara penting dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait manajemen komunikasi strategis yang dilakukan baik pimpinan pusat maupun koordinator Tim SPJ di beberapa wilayah. Wawancara akan dilakukan dengan berpedomankan pada panduan wawancara atau interview guide, yaitu berupa sejumlah daftar pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang mencakup segala hal mengenai obyek penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui pengamatan. Adapun informan yang akan diwawancarai adalah pendiri sekaligus pimpinan pusat Peduli Jilbab, koordinator Tim SPJ wilayah yang direkomendasikan pimpinan Peduli Jilbab dengan pertimbangan keaktifan kampanyenya. -
-
Narasumber I Nama
: Amalia Dian Ramadhini
Jabatan
: Pendiri/ Koordinator Peduli Jilbab
Waktu
: 23 Oktober 2014
Tempat
: Pro-U Publisher, Wirobrajan, Yogyakarta
Narasumber II Nama
: Asti Indriyani
Jabatan
: Koordinator SPJ Yogyakarta
Waktu
: 24 Oktober 2014
Tempat
: Basecamp SPJ Jogja, Gang Antareja, No.157 Wirobrajan, Yogyakarta
-
Narasumber III Nama
: Ria Puspa Sari Harahap
80
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: CV. Mandar Maju, 1996), hlm. 187.
26
-
-
-
Jabatan
: Koordinator SPJ Medan
Waktu
: 20 November 2014
Tempat
: via surat elektronik
Narasumber IV Nama
: Novi Kurnia Wulandari
Jabatan
: Koordinator SPJ Tangerang
Waktu
: 20 November 2014
Tempat
: via surat elektronik
Narasumber V Nama
: Imroatun Ikhtiaroini
Jabatan
: Koordinator SPJ Bali
Waktu
: 23 November 2014
Tempat
: via surat elektronik
Narasumber VI Nama
: Annisa Kurniati
Jabatan
: Koordinator SPJ Depok
Waktu
: 24 November 2014
Tempat
: via surat elektronik
5. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik data akan lebih mudah dipahami. Dalam upaya pengolahan data tersebut, Yin berpendapat bahwa tidak ada teknik analisis data yang benar-benar dianggap mudah untuk digunakan. Semua jenis teknik analisis data membutuhkan banyak latihan untuk dapat menggunakannya dengan kuat.81 Dari kelima teknik analisis data untuk penelitian studi kasus, penelitian ini akan menggunakan teknik analisis data pattern matching atau pencocokan pola. Teknik ini merupakan salah satu teknik analisis data yang paling banyak digunakan
81
Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Methods. Fourth Edition (London: Sage Publication, 2009), hlm. 136.
27
dalam penelitian studi kasus. Pada studi kasus deskriptif, teknik analisis pencocokan pola ini masih relevan digunakan asal pola prediksinya didefinisikan sebelum pengumpulan data.82 Logika analisisnya adalah seperti membandingkan pola berbasis empiris dengan satu atau beberapa prediksi. Jika pola yang ditemukan serupa dengan yang diramalkan, hal ini akan memperkuat validitas internalnya.
82
Ibid.,
28