BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar dan merupakan salah satu negara berkembang, yang pada saat ini sedang giat melakukan pembangunan di segala sektor khususnya sektor industri. Hal ini tentunya akan menimbulkan persaingan ketat di dalam dunia kerja. Salah satu upaya untuk menghadapi industrialisasi adalah dengan berwirausaha. Ditinjau dari aspek kemandirian, berwirausaha akan memberikan peluang untuk diri sendiri dalam mencapai kesuksesan. Dari segi sosial, berwirausaha akan memberikan peluang kerja bagi diri sendiri, orang lain, lingkungan dan masyarakat. Berwirausaha bukan hanya tentang dunia orang dewasa, tetapi juga bisa menjadi bagian dalam diri anak-anak. Bedanya, wirausaha pada anak harus didampingi atau diarahkan oleh orang dewasa ataupun orang tua. Seorang anak yang dikenalkan tentang dunia wirausaha sejak dini akan mendapat manfaat untuk ke depannya. Pada usia tersebut, bila telah diajarkan cara untuk menumbuhkan jiwa berwirausaha, suatu saat akan menjadi pribadi yang berani dan kreatif. Ada berbagai macam cara untuk menanamkan nilai tentang berwirausaha, salah satunya adalah melalui pendidikan. Dengan melalui pendidikan kita bisa menanamkan nilai-nilai kewirausahaan kepada anak, nilai-nilai tersebut antara lain percaya diri, kreatif, berani menanggung resiko dan ulet. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia dan oleh karena itu warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai bakat dan minat, tanpa memandang status sosial, ras, agama dan gender. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1), yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap warga yang menetap di wilayah Indonesia berhak mendapatkan pengajaran yang layak dan setara. Hal tersebut juga sama dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 ayat (2), “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, mental/intelektual, sosial, dan emosional berhak memperoleh 1
2
Pendidikan Khusus”. Hal itu membuktikan sebenarnya negara telah menjamin bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan. Tak terkecuali untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Istilah anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam keidupan sehari-hari diartikan sebagai suatu kondisi yang berbeda dari orang pada umumnya. Perbedaan tersebut memiliki nilai lebih atau kurang. Dari akibat perbedaan yang dialami seseorang seringkali menarik perhatian orang yang ada di sekitarnya. Salah satu jenis dari anak berkebutuhan khusus (ABK) yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak adalah anak tunarungu. Haenudin (2013: 53) menjelaskan, “Tunarungu adalah peristilahan secara umum yang diberikan kepada anak yang mengalami kehilangan atau kekurangmampuan mendengar, sehingga ia mengalami gangguan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari”. Sementara itu, menurut Mangunsong (2009: 1) tunarungu adalah: “Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan pendengaran yang mencakup tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (lebih dari 20 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar. Orang yang kurang dengar adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (sekitar 27 sampai 69 dB) yang biasanya dengan menggunakan alat bentu dengar, sisa pendengarannya memungkinkan untuk memproses informasi bahasa sehingga dapat memahami pembicaraan orang lain”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengarnya, baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya. Anak tunarungu biasanya memiliki kemampuan akademik terbatas atau terlambat dalam memahami sesuatu, sehingga membuat dirinya kesulitan dalam mencari pekerjaan dan biasanya dia terlalu bergantung pada orang lain. Sebagai anak berkebutuhan khusus, seorang anak tunarungu tetap diharapkan bisa mandiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa selalu
3
bergantung pada orang tuanya, apalagi setelah dia menyelesaikan pendidikannya dari sekolah. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah, hanya sedikit anak tunarungu yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Menurut Kusbiantoro (Antarajatim, 4/8/12) berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah sekitar 1,25 juta orang. Dari jumlah itu, hanya sekitar 55 ribu yang bersekolah di sekolah luar biasa dan kurang lebih 6.000 berada di sekolah inklusi. Hal ini menandakan bahwa hanya sedikit dari anak berkebutuhan khusus yang bersekolah, bahkan melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan lainnya ada yang langsung mencari pekerjaan dan tidak sedikit pula yang menganggur. Anak tunarungu yang menganggur ini bisa disebabkan oleh beberapa sebab, salah satunya dikarenakan keterbatasan mereka dalam berkomunikasi yang mengakibatkan mereka tidak diterima di dunia kerja. Bila diamati jumlah pengangguran di masyarakat saat ini masih tinggi, hal ini ditunjukkan dengan data dari Badan Pusat Statistika (BPS) yang mencatat angka pengangguran bertambah 300.000 orang menjadi 7,45 juta per februari 2015 (Detik Finance, 23/3/16). Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistika pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 234,2 juta jiwa dengan jumlah penyandang tunarungu sebesar 2.962.500 jiwa (BPS 2010). Dari anak tunarungu yang lulus dari SLB banyak yang belum bisa mencari pekerjaan sendiri. Menurut Syamsi (2010: 91) jumlah pengangguran untuk anak berkebutuhan khusus, jika dilihat secara garis lurus tidak berbeda jauh dengan pengangguran yang ada di dalam masyarakat saat ini. Pada hal prevalensi anak berkebutuhan khusus yang ada di dalam masyarakat diperkirakan 11,50% versi masyarakat AS, 1,48% versi BPS, dan 81.438 orang versi Direktorat PLB. Hal ini menunjukkan bila pengangguran dalam masyarakat di atas angka 10%, maka jumlah pengangguran untuk anak berkebutuhan khusus di kisaran angka-angka ini. Salah satu cara untuk mengurangi anak tunarungu yang menganggur ialah dengan berwirausaha. Hendro (2011: 29) mengatakan bahwa:,”wirausaha adalah pelaku utama dalam pembangunan ekonomi dan fungsinya adalah melakukan
4
inovasi dan kombinasi-kombinasi yang baru untuk sebuah inovasi”.
Dengan
berwirausaha anak tunarungu dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri tanpa harus memperdulikan keterbatasan yang ada pada dirinya. Berwirausaha dapat diperoleh anak tunarungu melalui pendidikan yang telah disediakan oleh Sekolah Luar Biasa (SLB). Bidang program pendidikan yang ada di SLB-B meliputi program akademik yang berisi mata pelajaran pada sekolah umum. Selanjutnya, ada program non akademik yang meliputi Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) dan program keterampilan yang meliputi keterampilan bordir dan menyulam, keterampilan jahit, keterampilan potong rambut dan rias, keterampilan sablon, dan keterampilan ukir kayu. Dengan adanya program keterampilan yang diajarkan oleh pihak sekolah tersebut, maka siswa siswi SLB akan terbantu untuk kelanjutan setelah lulus SMALB. Bukan hanya dibekali pelajaran formal seperti biasa tapi juga dibekali ilmu keterampilan untuk mengisi lowongan pekerjaan yang ada. Keterampilan yang dilatihkan dalam penelitian ini adalah membuat gelang tali. Hal ini dikarenakan peneliti mencoba menambah keterampilan baru bagi siswa yang berupa kerajinan gelang tali. Pembuatan gelang tali memiliki prospek ke depan yang cukup bagus, ini dibuktikan dengan gelang tali sekarang dipakai oleh anak muda jaman sekarang, dengan jenis dan pola yang bermacam-macam. Selain itu membuat gelang tali memakan biaya yang sedikit, bahan yang mudah didapat dan pembuatannya terbilang mudah. Dalam pelaksanaannya pelatihan vokasional membuat gelang tali ini
dilakukan ketika jam pembelajaran
keterampilan sedang berlangsung. Pelatihan vokasional ini diharapkan dapat menambah keterampilan siswa sehingga akan memunculkan minat berwirausaha. Berdasarkan wawancara awal peneliti, yang berisi siswa tunarungu ingin menjadi seorang guru bukan seorang wirausahawan dan hanya bertujuan untuk mendapatkan uang saja tanpa berpikir manfaat apa saja yang akan bisa diperoleh jika dia berwirausaha. Hal tersebut bisa terjadi karena rendahnya minat berwirausaha siswa tunarungu. Selain itu ditemukan bahwa sebagian siswa sekolah lulusan SMALB langsung memilih untuk bekerja dibanding melanjutkan
5
ke ke perguruan tinggi. Hal ini ditunjukkan saat peneliti bertanya kepada salah satu siswa, apakah yang akan dia kerjakan setelah lulus dari sekolah?, dia menjawab “nanti kalo saya lulus, saya akan bekerja di restoran atau cafe sebagai pelayan”. Akan tetapi siswa tersebut memiliki rasa kurang percaya diri saat bekerja di lingkungan normal. Dengan adanya ketakutan siswa akan tidak diterimanya bekerja karena keterbatasannya, maka minat untuk bekerja anak tunarungu akan menurun, dari hal tersebut maka diperlukan suatu pemecahan masalah untuk meningkatkan wirausaha siswa tunarungu terebut. Salah satu alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi rendahnya minat wirausaha siswa SMALB adalah dengan pelatihan vokasional. Pelatihan vokasional adalah suatu perbuatan atau kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan keahlian yang digunakan untuk bekerja sehingga dapat menambah kepercayaan diri pada siswa dan meningkatkan minat berwirausaha pada siswa. Pelatihan vokasional di sini berwujud membuat gelang tali. Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka peneliti mengambil judul “Pengaruh Pelatihan Vokasional terhadap Minat Berwirausaha Siswa Tunarungu Kelas X di SLB-B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016”
B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan dapat diidentifikasi permasalahan yang muncul adalah: 1. Anak tunarungu mengalami hambatan dalam berbahasa dan berbicara sehingga anak tunarungu kurang percaya diri dan cenderung kurang memiliki minat dalam bekerja, termasuk minat dalam berwirausaha. 2. Siswa tunarungu memiliki minat berwirausaha yang rendah sehingga memerlukan pelayanan khusus untuk meningkatkan minat berwirausaha pada siswa tunarungu. 3. Anak tunarungu membutuhkan pendidikan vokasional untuk meningkatkan minat bekerja dan minat dalam berwirausaha.
6
4. Belum ada penelitian tentang pengaruh pelatihan vokasional padahal, hal tersebut sangat berguna untuk mengetahui seberapa besar
dampak dari
pelatihan vokasional terhadap minat berwirausaha siswa tunarungu.
C. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini tidak meluas, peneliti memberikan batasan dalam melakukan penelitian, antara lain sebagai berikut: 1. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa tunarungu kelas X di SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016. 2. Penelitian difokuskan pada pelatihan vokasional berupa kerajinan gelang tali untuk manambah jenis keterampilan berwirausaha melalui suatu pembelajaran. 3. Yang akan ditingkatkan adalah minat berwirausaha anak tunarungu. D. Rumusan Masalah Berdasarkan
identifikasi
dan
pembatasan
masalah
maka
peneliti
merumuskan permasalahan yaitu apakah pelatihan vokasional berpengaruh terhadap minat berwirausaha siswa tunarungu kelas X di SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan vokasional terhadap minat berwirausaha siswa tunarungu kelas X di SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016.
F. Manfaat Penelitian Berikut ini dikemukakan beberapa manfaat yang didapatkan dalam penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Menambah wawasan bagi pembaca terutama siswa tunarungu mengenai kerajinan gelang tali kaitannya dengan pelatihan vokasional berupa kerajinan gelang tali terhadap minat berwirausaha siswa tunarungu.
7
2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru Memberikan pengalaman bagi guru untuk membekali siswa tunarungu dengan membuat gelang tali sebagai sarana menambah jenis keterampilan untuk berwirausaha melalui suatu pembelajaran. b. Bagi Siswa Menambah keterampilan berwirausaha yang berupa kerajinan gelang tali dan memberi wacana pada Anak Tunarungu mengenai keterampilan yang bisa dilakukan, apabila memilih bekerja daripada melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. c. Bagi Peneliti Memberikan pengalaman bagi peneliti untuk meneliti mengenai pelatihan vokasional yang berupa gelang tali dan minat berwirausaha siswa tunarungu.