BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara yang menjadi tujuan Peacekeeping Operation adalah negara yang rawan konflik internal baik konflik etnis maupun perang saudara, konflik jenis tersebut sering terjadi di berbagai belahan dunia setelah berakhirnya Perang Dingin. Benua Afrika yang dikenal sebagai kawasan konflik sering mengalami perang saudara yang tidak berkesudahan. Selain perang, konflik kekerasan di negara-negara Afrika juga tercatat sangat tinggi. Misi perdamaian PBB yang sampai saat ini masih terus berjalan dan masih dalam proses stabilisasi nasional terjadi di Republik Demokratik Kongo, salah satu negara di Benua Afrika dengan tingkat kekerasan tertinggi di Dunia. Republik Demokratik Kongo (DRC) merupakan negara di kawasan Afrika Tengah, sebelumnya dikenal bernama “Zaire”. Sejarah kelam DRC sangat panjang karena terjadi dua perang yang menimbulkan dampak sampai dengan saat ini yakni Perang Kongo I (1996-1997) dan Perang Kongo II (1998-2003) yang berpusat di Kongo Timur. Pada 10 Juli 1999 terdapat usaha damai yang ditandai dengan Lusaka Ceasefire Agreement yang ditandatangani oleh DRC, Angola, Namibia, Rwanda, Uganda dan Zimbabwe.1 Perjanjian tersebut menjadi pintu masuk pasukan perdamaian United Nations Organization Mission in the Democratic Republic of the Congo (MONUC) di DRC. Laurent Desire Kabila yang merupakan pemimpin AFDL (Alliance of Democratic Forces for the Liberation of Congo-Zaire) menjadi Presiden karena memenangkan perang Kongo I, ia kemudian mengganti nama Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo.
1
Institute for Security Studies, ‘The Peace Process in the DRC’ (daring),
, di akses pada 20 Maret 2013.
Page | 1
Pemicu perang pun sangat rumit, antara lain adanya permasalahan perebutan sumber daya alam, ketidakpuasan pada pemerintah hingga konflik antar etnis. International Rescue Committee mengatakan bahwa antara Agustus 1998 dan April 2004 (ketika sebagian besar pertempuran terjadi) sekitar 3,8 juta orang meninggal di DRC. Sebagian besar kematian tersebut disebabkan oleh kelaparan atau penyakit yang diakibatkan perang, bukan dari pertempuran yang sebenarnya. Jutaan lebih telah menjadi pengungsi atau telah mencari suaka di negara-negara tetangga. Panel PBB menyatakan pihak yang bertikai dengan sengaja memperpanjang konflik dengan menjarah emas, berlian dan kayu serta coltan, yang digunakan dalam pembuatan ponsel.2 Keterlibatan negara lain semakin mempersulit situasi dan membuat usaha resolusi damai menjadi jauh lebih kompleks. Perjanjian yang dilaksanakan di Lusaka, Zambia menjadi awal terbentuknya suatu organisasi operasi perdamaian PBB (Peacekeeping Operation) untuk memonitor implementasi atau pelaksanaan dari isi perjanjian tersebut yang pada intinya adalah upaya penghentian permusuhan antara kelompok yang bertikai di Republik Demokratik Kongo (DRC) serta daerah, wilayah bahkan negara di sekitar yang sedang berkonflik dan menciptakan perdamaian di wilayah DRC. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencapai perdamaian, hingga pada tahun 2003 seluruh pasukan dari negara-negara lain yang ikut campur dalam Perang Kongo ditarik kembali ke negara masing-masing. Namun, tidak berarti penarikan pasukan dari negara-negara tersebut membuat DRC menjadi damai. Masih terdapat pemberontakan maupun pemerkosaan yang membuat DRC menjadi negara dengan tingkat pemerkosaan tertinggi di dunia. Konflik penuh dengan kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, penculikan tentara anak-anak, dan pembunuhan warga sipil. Pemberontakan yang dipimpin oleh Jenderal Laurent Nkunda memaksa 50.000 orang mengungsi dari Provinsi Kivu Utara pada Desember 2006.3 Selain itu kelompok-kelompok bersenjata seperti 2
BBC, ‘Timeline Democratic Republic Of Congo Profile’ (daring), 25 Maret 2013 , diakses pada 8 Mei 2013 3 BBC, ‘Timeline Democratic Republic Of Congo Profile’ (daring), 25 Maret 2013 < http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-13286306> diakses pada 08 Mei 2013
Page | 2
Forces Démocratiques de Libération du Rwanda (FDLR) dan The Lord’s Resistance Army (LRA) terus menciptakan keresahan di DRC Timur.4 Sampai tahun 2010 masih terjadi pemberontakan yang memperpanjang konflik di Kongo Timur seperti yang terjadi di Provinsi Katanga Utara di mana Milisi Mai-Mai yang dipimpin oleh Gedeon Kyungu Mutanga dan pemberontak M23 yang di duga oleh PBB mendapat pasokan senjata dan dukungan dari Rwanda dan Uganda.5 Tesis ini dimaksudkan untuk mengetahui peranan MONUC dalam memberi perlindungan pada masyarakat sipil khususnya penangan kekerasan fisik perempuan dan anak di sebuah negara yang terus-menerus mengalami konflik. Tesis ini akan membahas seluruh kinerja MONUC dalam perlindungan sipil, mulai dari rencana, pelaksanaan, hambatan dan tantangan yang dihadapi selama melaksanakan tugasnya sehingga dapat dinilai keberhasilannya dalam melakukan perlindungan tersebut. Masyarakat sipil di DRC hingga saat ini masih menjadi korban dari kelompok pemberontak yang melakukan penjarahan, perampasan, penculikan maupun pemerkosaan hingga pembunuhan meskipun MONUC telah bertugas sejak tahun 1999 sampai tahun 2010. Sejak pertengahan tahun 2010, misi MONUC berakhir dan diteruskan oleh MONUSCO. Oleh karena itu, sangat menarik untuk meneliti mengapa masyarakat sipil masih menjadi korban konflik meskipun telah ada pasukan perdamaian yang ditempatkan di sana yaitu MONUC.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan di atas, maka yang menjadi pertanyaan dalam rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Mengapa ancaman kekerasan fisik pada masyarakat sipil di Democratic Republic of the Congo masih terjadi padahal telah terdapat United Nations Organization
4
USAID, ‘Democratic Republic of the Congo – Complex Emergency’ (online), 29 September 2009, , diakses pada 22 Mei 2013 5 Global Security, ‘Congo Civil War’ (online), , diakses pada 20 Mei 2013.
Page | 3
Mission in the Democratic Republic of the Congo (MONUC) sebagai Peacekeeping operation?”
C. Manfaat Penelitian Secara teknis diharapkan menambah wacana pengetahuan mengenai mengenai
proses
pelaksanaan
perlindungan
sipil
yang
dilakukan
oleh
peacekeeping operations di negara yang mengalami konflik saudara. Penelitian juga diharapkan mampu membuka wawasan mengenai pelaksanaan operasi perdamaian itu sendiri dalam menekankan pentingnya penerapan perlindungan masyarakat sipil dalam setiap mandat operasinya.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja United Nations Organization Mission in the Democratic Republic of the Congo (MONUC) sebagai peacekeeping operations yang melaksanakan mandat dari PBB di DRC, mampu memberikan perlindungan kepada warga sipil khususnya pada perempuan dan anak-anak yang menjadi korban dari konflik berkepanjangan.
E. Kajian Pustaka Konflik terus menerus yang terjadi DRC telah menjadi perhatian oleh banyak negara, banyak penelitian maupun artikel yang menjelaskan proses konflik dan upaya mencapai perdamaian DRC serta kasus kekerasan seksual yang terjadi termasuk artikel yang menjelaskan analisis konseptual dari dinamika kekerasan selama masa transisi dari perang ke perdamaian dan demokrasi di DRC antara 2003 dan 2006.6 Banyaknya penelitian maupun artikel yang menjelaskan tentang pemerkosaan, penggunaan tentara anak, dan permasalahan perebutan sumber daya mineral DRC membuat penulis semakin tertarik untuk melihat upaya apa yang dilakukan oleh MONUC dalam melakukan perlindungan pada masyarakat sipil. 6
A. Severine. 2006. Local Violence, National Peace? Postwar "Settlement" in the Eastern D.R. Congo (2003-2006). African Studies Review 49.3
Page | 4
Guna menganalisis penerapan perlindungan sipil oleh MONUC, penulis meninjau Laporan Humanatarian Policy Group (HPG) dari Victoria Holt dan Henry Stimson yang berjudul “The Military and Civilian Protection: Developing Roles and Capacities”.7 Laporan tersebut mengkritisi pemaknaan dari Protecting of Civilians (PoC) yang berbeda di antara pasukan militer UN, NATO, The European Union, The African Union, ECOWAS, serta Militer Nasional. Lebih lanjut HPG menjelaskan PoC dapat dimaknai dengan perlindungan sebagai kewajiban dalam aturan perang,
perlindungan sebagai misi militer untuk
mencegah pembunuhan masal, perlindungan sebagai tugas PBB/mandat operasi perdamaian, perlindungan sebagai penyediaan daerah aman untuk aksi kemanusiaan, perlindungan sebagai bentuk cara kerja, dan perlindungan sebagai penggunaan kekuatan tradisional. Banyaknya makna perlindungan sipil membuat pelaksanaan di lapangan pun berbeda-beda, sehingga perlu adanya pemaknaan perlindungan sipil yang jelas agar operasi perdamaian terkait perlindungan sipil dapat dilihat sebagai tugas khusus atau bagian dari sebuah misi. Laporan tersebut menggunakan MONUC sebagai contoh operasi perdamaian PBB yang melaksanakan PoC di DRC sebagai bagian dari seperangkat misi, karena pada awal pengirimannya di tahun 1999 sebagai pengawas proses gencatan senjata antara pihak-pihak yang bertikai dalam melaksanakan perjanjian damai Lusaka, sehingga kurang paham terhadap kesiagaan melindungi para warga sipil yang terkena dampak konflik. Pada tahun 2003, MONUC sukses membuat situasi menjadi stabil dalam krisis di Ituri, namun kestabilan tidak berlaku di daerah lain dan penyerangan pada sipil terus berlanjut. Hal tersebut membuat PBB memutuskan untuk mengklarifikasi kembali misi MONUC, sehingga PoC menjadi tujuan utama sebuah misi. Selain mengkritisi, HPG juga memberikan rekomendasi agar UN, NATO, EU, AU dan ECOWAS merumuskan kembali bagaimana PoC diinterpretasikan dalam misi mereka, serta meninjau kembali mandat PoC dalam operasi perdamaian PBB, 7
H. Victoria & H. Stimson, ‘The military and civilian protection: developing roles and capacities’ (online), HPG Research Briefing, 17 Maret 2006, , di akses pada 1 Juni 2013
Page | 5
sehingga ada panduan dalam melaksanakan PoC yang dilakukan dalam pelatihan pasukan perdamaian. Setelah menelaah laporan HPG tersebut, penulis melihat bahwa sampai dengan tahun 2003 misi operasi perdamaian PBB masih belum jelas dalam proses PoC, dengan demikian penelitian mengenai penerapan PoC oleh MONUC sebagai salah satu operasi perdamaian di DRC menjadi semakin menarik untuk dikaji. Laporan ini membantu penulis melihat bahwa PoC harus diinterpretasikan kembali maknanya sehingga pelaksanaan di lapangan oleh pasukan perdamaian benar-benar dilakukan sebagai sebuah tujuan utama misi perdamaian. Laporan ini pula yang menunjang adanya perubahan mandat dalam operasi perdamaian PBB dalam menitikberatkan PoC. Dengan demikian, penulis mendapatkan referensi tentang bagaimana memetakan pelaksanaan PoC yang telah dilakukan oleh MONUC di DRC serta gambaran akan bagaimana sebaiknya PoC oleh MONUC dilakukan di masa depan. Tulisan lain yang penulis kaji adalah Protecting Civilians and Protecting Ideas: Institutional Challenges to the Protection of Civilians ditulis oleh Jon Harald Sande Lie dan Benjamin de Carvalho.8 Lie dan de Carvalho mengemukakan
tantangan-tantangan
yang
dihadapi
oleh
PoC
terkait
penerapannya dalam PKO PBB. Keduanya mengakui bahwa PKO PBB sejauh ini telah berhasil mengintegrasikan PoC ke dalam operasi mereka. Meski begitu, mereka masih mempertanyakan komitmen PBB dalam menerapkan PoC. Hingga saat ini, perdebatan utama yang dialami oleh PoC adalah penentuan apakah PoC akan menjadi fokus utama dari PKO atau hanya menjadi bagian kecil dari misi. Perdebatan ini penting karena akan menentukan sejauh mana kapasitas operasional yang dibutuhkan dan strategi seperti apa yang akan diterapkan dalam pelaksanaan PKO. Kedua penulis juga mengemukakan dua tantangan utama dalam pelaksanaan PoC. Tantangan pertama adalah bagaimana mengintegrasikan nilainilai PoC dalam budaya yang terkandung dalam operasi perdamaian oleh institusi 8
J. H. S. Lie & B. de Carvalho, ‘Protecting Civilians and Protecting Ideas: Institutional Challenges to the Protection of Civilians’, Norwegian Institute of International Affairs, Norwegia, 2009, p.7-24
Page | 6
lain alih-alih hanya oleh PKO PBB. Tantangan kedua adalah mencari cara agar PKO PBB dapat mengaplikasikan PoC dalam kedua segmen operasi perdamaian yaitu militer dan kemanusiaan. Lie dan de Carvalho meyakini bahwa efektivitas pelaksanaan PoC sangat bergantung pada mekanisme institusional yang dibuat berdasarkan pengalaman dari operasi perdamaian sebelumnya. Dengan kata lain, pelaksanaan PoC harus berlandaskan pada resolusi yang disusun dari pengalaman operasi perdamaian dalam menerapkan PoC yang bersumber pada kasus per kasus. Penulis menggunakan tulisan ini sebagai bahan informasi dalam penerapan PoC dan tantangan yang dihadapi di lapangan. Tantangan-tantangan yang disebutkan akan membantu penulis dalam melihat tantangan apa saja yang dihadapi oleh MONUC dalam menerapkan PoC di DRC. Tulisan terakhir yang penulis kaji adalah William J. Durch dan Alison C. Giffen, dalam tulisan mereka Challenges Of Strengthening The Protection Of Civilians In Multidimensional Peace Operations9 meyakini bahwa PKO PBB harus menerapkan PoC dalam setiap operasi perdamaian mereka karena dalam satu dekade terakhir, permasalahan yang dihadapi dalam PoC semakin kompleks dan dinamis. PoC tak lagi hanya terpaku pada persoalan siapa yang harus dilindungi, namun juga mencakup efektivitas dari pelaksanaan PoC itu sendiri, kerjasama antar pelaku operasi perdamaian dalam aplikasi PoC, bagaimana cara meminimalkan kerugian di pihak sipil, dan lain-lain. Seluruh dinamika PoC membuat PBB memiliki kewajiban untuk memperbaiki pelaksanaan PoC sebagai mandat utama dari seluruh operasi perdamaian yang dijalankan. Kedua penulis juga mengingatkan bahwa meski PBB telah mencoba mengantisipasi problem-problem tersebut, permasalahan tak lantas selesai begitu saja. Pelaksanaan PoC haruslah didukung oleh konsensus yang menegaskan kewajiban dan tanggungjawab yang diemban oleh aktor pelaksana operasi perdamaian, termasuk perdebatan apakah pihak ketiga diperbolehkan terlibat. Tanpa adanya konsensus, pelaksanaan PoC dalam PKO akan mengalami hambatan dalam mengimplementasikan mandat yang diberikan dan memenuhi 9
W. Durch & A. Giffen, ‘Challenges Of Strengthening The Protection Of Civilians In Multidimensional Peace Operation’, International Forum for the Challenges of Peace Operations, Australia, 2010, pp.54-57
Page | 7
ekspektasi dalam usaha perlindungan sipil. Pada akhirnya, PBB dan institusi lain yang memiliki perhatian terhadap perlindungan sipil harus terus mengidentifikasi dan mengembangkan metode yang diperlukan dalam menemukan akar permasalahan yang menyebabkan persengketaan terjadi sehingga konflik dapat diantisipasi dan perlindungan sipil dapat berjalan secara optimal. Ketiga tulisan yang penulis kaji menunjukkan bahwa PBB adalah aktor utama yang diharapkan dapat menyelesaikan konflik dan memberikan perlindungan terhadap warga sipil. Tulisan-tulisan tersebut memberikan banyak infomasi bagi penulis dalam melihat perlindungan sipil dan kapasitas operasi perdamaian PBB sebagai pelaksana di lapangan. Penelitian yang penulis lakukan berfokus pada salah satu operasi perdamaian PBB dalam melaksanakan perlindungan sipil, dilihat dari proses pelaksanaan mandat, penggunaan militer guna membantu sipil dari dampak buruk yang di akibatkan oleh konflik yang berkepanjangan.
F. Landasan Konseptual Guna mengkaji penerapan perlindungan sipil di DRC yang dilakukan oleh peacekeeping operation MONUC, peneliti menggunakan konsep yang dapat membantu yakni:
Peace Operation Upaya menciptakan perdamaian dan keamanan internasional, PBB memiliki empat kelompok tindakan, yang saling berkaitan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari semua anggota PBB agar terwujud. Keempat kelompok tindakan itu adalah sebagai berikut:10 1. Preventive Diplomacy adalah tindakan mencegah konflik agar tidak timbul pertikaian sebelum memuncak menjadi konflik, 2. Peace Making adalah tindakan penciptaan perdamaian merujuk pada penggunaan cara-cara diplomatik, 3. Peace Keeping merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik yang makin meluas dimaksudkan agar 10
B. Ghali, An Agenda for Peace, United Nations Press, New York ,1992, p.12
Page | 8
mampu menarik thin blue line (garis biru yang tipis) sehingga konflik tersebut dapat diredam yang dilakukan oleh pasukan tidak bersenjata, biasanya hanya memonitor sebuah perjanjian atau gencatan senjata. Para tentara
dari
pasukan
perdamaian
memiliki
persenjataan,
namun
kebanyakan digunakan untuk melindungi diri sendiri, 4. Peace Building merupakan suatu pembangunan perdamaian yang mencakup tindakan
mencegah
munculnya
kembali
konflik serta
rekonstruksi kembali infrastruktur dan suprastruktur yang dihancurkan oleh konflik. Prinsip dasar Peacekeeping diperkenalkan oleh Sekjen UN, Dag Hamarskjold dan Presiden Sidang Umum, Lester Pearson dengan karakteristik sebagai berikut:11 1. Atas persetujuan dan kerjasama pihak yang terlibat untuk pelaksanaan misi, 2. Dukungan internasional, khususnya dalam Dewan Keamanan UN, 3. Tidak menggunakan kekuatan kecuali untuk self defense, 4. Konstribusi sukarela dari kontingen negara-negara kecil dan netral untuk ikut berpartisipasi dalam pasukan, 5. Netralitas (posisi tidak memihak), 6. Berada di bawah kontrol dan perintah UN. Thakur dan Schnabel membagi perkembangan peacekeeping menjadi enam.12 Pertama, Traditional Peacekeeping yang terdiri dari melakukan tugas pengamatan yang banyak dilakukan pada awal-awal peacekeeping dan juga penempatan PKO di daerah penyangga (buffer zone). Generasi kedua adalah nonUN peacekeeping, yang muncul baik dari unilateral maupun multilateral dan berjalan di luar UN karena UN dianggap tidak dapat terlepas dari pengaruh Perang Dingin dan kurang efektif. Ketiga, peacekeeping dimasukkan sebagai bagian integral dari perjanjian perdamaian dan dimaksudkan untuk memenuhi penyelesaian perdamaian dengan menyediakan penguatan militer internasional 11
R.Thakur & A. Scnabel, UNPKO: Ad Hoc Missions, Permanent Engagement, UN University Press, USA, 2001, p. 10 12 R.Thakur & A. Scnabel, pp. 10-14
Page | 9
dari pihak ketiga untuk mencapai perdamaian. Keempat adalah perkembangan yang disebut peace-enforcement/operasi perdamaian yang menggunakan kekuatan militer secara paksa. Kelima, pemulihan perdamaian melalui partnership,
di
mana UN juga bekerjasama dengan pihak lain, misalnya organisasi regional seperti ECOWAS. Keenam, pemulihan perdamaian multinasional, di mana di dalamnya terdapat peran Peacebuilding UN dalam membentuk pemerintahan yang efektif. Pergeseran peranan PKO dari
traditional
peacekeeping
menjadi
multidimensional peacekeeping membuat adanya perubahan dengan operasi berkekuatan militer yang didasarkan pada Bab VII Piagam UN tidak hanya untuk mengatasi konflik bersenjata di suatu negara, tetapi telah berkembang menjadi mekanisme untuk melakukan tindakan-tindakan kemanusiaan di suatu wilayah. Atas dasar kemanusiaan, UN kini juga melakukan intervensi melalui PKO untuk melindungi penduduk sipil, pengungsi dan internally displaced persons, serta perlindungan hak asasi manusia juga perlindungan pengiriman bantuan kemanusiaan.13 Dewan Keamanan UN dalam resolusinya menjelaskan hal tersebut dalam mandat misi operasi perdamaian. MONUC sebagai pasukan operasi perdamaian yang berada di bawah kontrol dan perintah UN, melaksanakan tugasnya di negara DRC berdasarkan perjanjian Lusaka yang disepakati pada 10 Juli 1999, untuk mengawasi implementasi perjanjian gencatan senjata agar konflik dapat dihentikan sehingga mencapai kondisi damai di DRC. Pelaksanaan tugas pun berdasarkan mandat yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan UN. Anggota militer maupun sipil yang tergabung dalam operasi perdamaian MONUC merupakan konstribusi sukarela dari kontingen negara-negara kecil dan netral. Berupaya menjalankan misi melindungi masyarakat sipil dari kekerasan fisik selama konflik terjadi, sehingga meminimalisir korban dan memberi rasa aman. Pada pertengahan 1990-an, kekejaman massal di Rwanda dan Srebrenica mengakibatkan kematian ribuan warga sipil karena dalam misi peacekeeping 13
B. Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2000, p. 80
Page | 10
operation tersebut, kurang dalam mandat yang memadai, begitupula peralatan militer, pelatihan, dan bimbingan. Pada tahun 1999, Dewan Keamanan mengesahkan PKO misi untuk menggunakan force, berdasarkan Bab VII Piagam PBB, "untuk melindungi warga sipil di bawah ancaman kekerasan fisik." Misi sebelumnya dioperasikan di bawah Bab VI mandat yang tidak mengizinkan penggunaan kekuatan lain daripada membela diri.14 Dengan demikian mandat PKO dalam memberikan perlindungan fisik melalui penggunaan militer dapat dilakukan guna mencegah serangan dari pihak yang berkonflik terhadap warga sipil. Operasi perdamaian merupakan bagian utama dari usaha meraih perdamaian dunia. Salah satu unsur perdamaian yang paling esensial adalah keadaan yang aman bagi masyarakat sipil. Oleh karena itu, penting untuk memasukkan konsep perlindungan sipil dalam operasi perdamaian karena dengan menggambarkan dan memetakan perlindungan sipil dalam sebuah operasi perdamaian, operasi perdamaian dapat memenuhi tugas utamanya. MONUC dalam menjalankan tugasnya berdasarkan mandat yang diberikan, mandat untuk memberikan perlindungan sipil mulai dikeluarkan pada tahun 2000, perlindungan sipil hanya bagian dari misi operasi perdamaian belum menjadi mandat utama. MONUC bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB, “untuk melindungi warga sipil di bawah ancaman kekerasan fisik”. Pada tahun 2004 Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1565 menjelaskan MONUC menjamin perlindungan sipil, dan tahun 2008 dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1856 memutuskan MONUC untuk memberikan Perlindungan pada warga sipil, termasuk personil kemanusiaan dari ancaman kekerasan fisik sebagai tugas utama.
Perlindungan Sipil Konsep perlindungan sipil berakar dari Hukum Humaniter Internasional (HHI)
yang menyerukan pihak yang berkonflik untuk meminimalkan kerugian bagi 14
UN Peacekeeping, ‘Protection of Civilians’ (online), , diakses pada 20 Juni 2013
Page | 11
warga sipil baik dari materi maupun tindak kekerasan fisik dengan kekuatan yang tidak proporsional.15 HHI merupakan seperangkat aturan yang karena alasanalasan kemanusian berusaha membatasi pengaruh konflik bersenjata. HHI melindungi orang-orang yang tidak, atau tidak lagi ikut serta dalam pertempuran dan membatasi sarana dan cara-cara peperangan.16 Aktor lokal dan internasional, seperti pemerintah nasional, organisasi regional dan internasional, serta PBB memiliki peran penting dalam upaya memberikan perlindungan sipil. PBB diwakili oleh peacekeeping operation bertanggung jawab memastikan populasi warga sipil yang dilindungi, termasuk keselamatan
selama
mengungsi
dan
keamanan
bantuan
kemanusiaan.
Perlindungan sipil memerlukan tindakan terpadu dan terkordinasi antara komponen militer, polisi dan sipil dari PKO UN serta harus diarusutamakan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan dari kegiatan inti.17 Definisi perlindungan sipil menurut International Committee of the Red Cross (ICRC) adalah seluruh aktivitas yang bertujuan menjamin penuh hak-hak individu sesuai dengan hukum yang tertulis dan badan hukum yang bersangkutan.18 Sedangkan definisi dari Inter-Agency Standing Committee (IASC), perlindungan sipil meliputi seluruh aktifitas yang bertujuan memperoleh penghormatan hak-hak individu yang sesuai dengan hukum kemanusiaan internasional, hukum hak asasi manusia dan hukum pengungsi. MONUSCO memberikan definisi perlindungan sipil yang lebih rinci yakni seluruh aktivitas yang bertujuan menjamin keselamatan populasi penduduk sipil, terutama anakanak, perempuan dan kelompok lain yang mudah diserang, termasuk IDPs 15
Oxfam, ‘What is the ‘Protection of Civilians’ principle’ (online), < http://www.oxfam.org/en/campaigns/conflict/protection-of-civilians>, Juni 2013
diakses pada 20
16
P. Blake, Pengantar Hukum Humaniter Internasional, Komite Palang Merah Internasional, p.5
17
UN, United Nations Peacekeeping Operations: Principles and Guidelines (Capstone Doctrine). Departement of Peacekeeping Operations, New York, 2008, p. 25
18
Caverzaslo, Sylvie Giossi. 2001. Strengthening Protection in War – A Search for Professional Standards: Summary of Discussions Among Human Rights and Humanitarian Organizations.
Page | 12
(populasi pengungsi internal); mencegah kejahatan perang dan kekerasan terhadap penduduk sipil, pengamanan akses kemanusiaan; dan menjamin penuh hak-hak individu, sesuai dengan badan hukum nasional dan internasional, misalnya hukum HAM dan hukum kemanusian internasional.19 Berdasarkan definisi diatas, penulis mendefinisikan perlindungan sipil yang seluruh aktivitasnya bertujuan menjamin penuh hak-hak individu (sesuai hukum HAM) penduduk sipil yang terkena dampak perang yang terjadi di suatu negara dan menjaga keamanan akses bantuan kemanusiaan bagi penduduk sipil di lokasi pengungsian. Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, "untuk melindungi warga sipil di bawah ancaman kekerasan fisik." Konsep perlindungan sipil berawal dari permasalahan kekerasan fisik yang selalu dialami penduduk sipil yang tidak turut andil dalam sebuah konflik. Konsep operasional tentang Perlindungan Sipil dalam operasi perdamaian PBB, menekankan pencegahan sebagai prioritas, adapun tingkatan dalam perlindungan tersebut adalah:20 1. Perlindungan melalui proses politik 2. Memberikan perlindungan dari kekerasan fisik 3. Membangun lingkungan yang protektif Banyak aktor terlibat dalam perlindungan sipil, baik negara domestik yang berkonflik memegang tanggung jawab untuk memastikan keamanan penduduk sipilnya; organisasi internasional seperti PBB, ICRC, kemanusiaan internasional lain. Dalam memberikan perlindungan dari kekerasan fisik terdapat empat tahapan yang tidak harus secara berurutan dilaksanakan yakni: Tahap 1 - Jaminan dan Pencegahan Langkah-langkah dalam fase ini bertujuan untuk meyakinkan penduduk setempat mengenai maksud misi untuk melindungi mereka, terutama melalui tindakan pasif rutin. Langkah-langkah ini termasuk memastikan agresor potensial atau pelaku pelanggaran hak asasi manusia bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Polisi dan patroli militer, penyebaran staf pembela hak asasi manusia dan staf sipil lainnya, pencegahan konflik, 19
Holt et al. 2009, p.187 UNDPKO and Departement of Field Support, Civil Affairs Handbook, New York, 2012, p.54
20
Page | 13
mediasi, advokasi dengan pemerintah dan aktor bersenjata non-pemerintah dan pihak berpotensi konflik, serta pemantauan dan tindakan peringatan dini merupakan elemen mendasar fase ini. Tahap 2 - Pre-emption Ketika langkah-langkah Tahap 1 terbukti tidak cukup, atau ketika risiko tinggi terdeteksi, langkah-langkah pre-emptive lebih aktif mungkin diperlukan. Peningkatan hubungan dengan aktor bersenjata pemerintah dan non-pemerintah, dan pihak potensi konflik, peningkatan pemantauan hak asasi manusia, pelaporan, dan advokasi, serta tekanan politik tinggi terlibat selama fase ini diperlukan dalam rangka mencegah kekerasan terhadap warga sipil. Peningkatan keterlibatan elemen sipil lainnya dalam misi, termasuk urusan sipil dan informasi publik harus dipertimbangkan. Berkenaan dengan komponen militer dan polisi, penempatan pasukan dan peningkatan sifat proaktif misi, visibilitas tinggi patroli dapat dilakukan. Tahap 3 – Respon Ketika ancaman kekerasan fisik untuk warga sipil semakin jelas, dan jika tindakan di bawah Tahap 1 dan 2 tidak cukup, langkah-langkah yang lebih aktif bertujuan untuk menghalangi agresor potensial dari melakukan tindakan bermusuhan mungkin diperlukan. Pengerahan polisi dan tindakan militer langsung harus dipertimbangkan sebagai pilihan, seperti penempatan pasukan penjaga perdamaian di antara populasi yang rentan dan elemen yang bermusuhan atau penggunaan kekerasan sebagai upaya terakhir ketika populasi berada di bawah ancaman dari kekerasan. Peningkatan keterlibatan politik, termasuk di tingkat internasional dan regional, harus dilaksanakan di sini. Fase 4 – Konsolidasi Kegiatan ini meliputi stabilisasi situasi pasca-krisis. Tujuannya adalah untuk membantu penduduk dan negara penerima untuk kembali ke keadaan normal, dan menciptakan kondisi di mana krisis berkurang. Menghubungkan pihakpihak yang terlibat konflik, dan dialog dengan anggota masyarakat yang terpengaruh konflik dan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang
Page | 14
dilakukan selama krisis adalah elemen penting dari fase ini. Membangun kembali hubungan antara penduduk dan struktur pemerintahan, termasuk polisi, di mana mereka telah rusak, akan menjadi pusat kegiatan. Report on the activities of the Office of Internal Oversight Services21 menilai ada beberapa komponen yang berperan penting dalam proses perlindungan sipil yakni mandat yang dikeluarkan oleh PBB, sumber daya manusia, dana yang dikeluarkan dan faktor eksternal yang berkaitan dengan kesuksesan maupun kegagalan dalam menjalankan misi. Sedangkan Jett dalam Why Peacekeeping Fails22 menjelaskan komponen yang berperan penting dalam operasi perdamaian yakni faktor organisasi, mandat, jenis perdamaian yang diinginkan, perencanaan, logistik dan reaksi cepat serta penyebab utama konflik terjadi. Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis memutuskan menggunakan faktor internal dan faktor eksternal yang memiliki pengaruh sangat besar dalam proses menjalankan misi operasi perdamaian melindungi masyarakat sipil dari kekerasan fisik. Adapun faktor internal meliputi Struktur organisasi (sumber daya manusia yang tidak bisa responsif, persoalan pengambilan keputusan,Implikasi dari struktur), implementasi mandat, Budgeting dan Logistik. Faktor eksternal meliputi dukungan kelompok lokal dan Pengaruh pemerintah yang mengalami konflik serta kelompok pemberontak yang terlibat.
G. Hipotesa Meski sudah mendapat mandat untuk memberikan perlindungan pada warga sipil dari kekerasan fisik, MONUC tetap mengalami kendala karena sampai dengan 2004 terdapat ketidak jelasan metode pelaksanaan PoC. Keberadaan MONUC tidak membuat konflik yang terjadi segera berakhir, kekerasan fisik masih terus terjadi. Ada dua faktor yang dapat mengidentifikasi hal tersebut yakni, faktor internal dan faktor eksternal.
21
United Nation, A/67/795, Review of the reporting by United Nations peacekeeping missions on the protection of civilians, 15 March 2013,p. 10. 22 Dennis C, Jett., Why Peacekeeping Fails, Palgrave, New York, 1999, pp.35-59.
Page | 15
MONUC tidak dapat responsif memberikan perlindungan pada masyarakat sipil dan menghindarkan masyarakat sipil dari kekerasan-kekerasan yang sering terjadi. Karena sebaran pasukan yang minim serta sumber daya material yang sulit didapatkan membuat MONUC kesulitan dalam menjalankan tugas, serta kurangnya kejelasan dan bimbingan mengenai perlindungan sipil. Upaya untuk membangun lingkungan yang protektif pun terhalang oleh wilayah geografis yang cukup luas, kekerasan konflik yang tak kunjung berhenti, sumber daya yang tidak memadai (kemiskinan) serta penampilan kelompok pemberontak yang sulit dibedakan dengan masyarakat sipil, menyulitkan pasukan perdamaian untuk mencegah masuk ke wilayah-wilayah yang telah dijaga. Komunikasi yang tidak dapat terjalin karena perbedaan bahasa menyulitkan MONUC mendapatkan dukungan dari kelompok masyarakat lokal. Keterbatasan pemerintah (kegagalan negara) dalam melaksanakan fungsinya serta komitmen politik untuk perdamaian yang rendah menyulitkan dan membatasi ruang gerak MONUC .
H. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif. Deskriptif adalah suatu penelitian yang mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi pada masa sekarang, dilakukan dengan langkah-langkah pengumpulan data, membuat klasifikasi data, membuat kesimpulan dari data dengan tujuan utama memberikan gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam deskripsi situasi.23 Pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati.24 Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa Library Research dengan memanfaatkan datadata sekunder dari buku, jurnal, artikel, media cetak, media elektronik, dan
23
L.J. Moelong (ed), Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. 2006, p. 3 24 F. Sitorus, Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar, Fakultas Pertanian IPB, Bogor, 1998, p.27.
Page | 16
website yang telah diolah menjadi data sehingga bisa dijadikan bahan kajian dalam penyusunan tesis ini.
I. Sistematika Penulisan Tesis direncanakan akan terdiri dari lima bab. Bab pertama berisikan pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Manfaat Penelitian, Tujuan Penelitian, Kajian Pustaka, Landasan Konseptual, Argumen Pokok, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan dalam tesis ini. Bab kedua akan memaparkan mengenai implementasi perlindungan sipil MONUC dari kekerasan fisik yang akan menitik beratkan pada proses perlindungan dari kekerasan fisik yang terdiri dari empat tahap yakni jaminan dan pencegahan, pre-emption, respon dan konsolidasi. Bab ketiga akan memaparkan mengenai akan akan menjelaskan mengenai permasalahan apa saja yang dihadapi MONUC sehingga kekerasan fisik masih terjadi. Bab ini menjelaskan dari faktor internal MONUC seperti struktur organisasi, implementasi mandat, Budgeting dan Logistik. Bab yang keempat menjelaskan dari faktor eskternalnya yang meliputi dukungan kelompok lokal dan Pengaruh pemerintah yang mengalami konflik serta kelompok pemberontak yang terlibat. Bab kelima yang berisi penutup mengenai implikasi pasca MONUC setelah tahun 2010 mandatnya berakhir dan digantikan oleh MONUSCO.
Page | 17