BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan adanya kendaraan yang digunakan untuk melakukan mobilitas. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat saat ini memicu kebutuhan yang besar pula yang dibutuhkan oleh manusia akan adanya kendaraan, dengan begitu produksi akan kendaraan pun meningkat dan memenuhi pasar industri dari kendaraan yang ada di Indonesia. Melihat perkembangan pasar yang sangat pesat tersebut banyak produsen dan juga importir untuk memasarkan kendaraan yang tidak diproduksi di Indonesia yang disebut dengan kendaraan Built Up atau rakitan luar negeri, untuk mendukung pemasaranya para produsen memasukan kendaraan yang memang mereknya ada di Indonesia tetapi produk kendaraannya tidak diproduksi di Indonesia. Produk-produk impor tersebut dimasukan ke Indonesia bukan melalui Agen Tunggal Pemegang Merek yang selanjutnya disebut dengan ATPM, tetapi melalui agen atau importir umum yang dalam pelayanan purna jualnya diragukan karena agen-agen tersebut bukan merupakan agen resmi dari perusahaan yang memproduksi kendaraankendaraan yang resmi dijual di Indonesia. Adapun keuntungan bagi para ATPM resmi yang memegang merek dengan adanya produk Built Up tersebut adalah menuai keuntungan dari segi promosi,
1
dengan masuknya produk Built Up tersebut para konsumen jadi mengetahui produkproduk lain selain yang di rakit oleh ATPM resmi sehingga kepercayaan dan fanatisme terhadap merek-merek yang dipegang oleh ATPM semakin meningkat yang berpengaruh terhadap naiknya tingkat penjualan untuk produk-produk lainnya. Namun selain keuntungan adapula kerugiannya yaitu bagi
konsumen pengguna
kendaraan-kendaraan Built Up tersebut, ketika terjadi kerusakan atau cacat produk yang merugikan konsumen, dan kebutuhan-kebutuhan setelah purna jual, ketika agen yang menjual kendaraan-kendraan Built Up tersebut telah tidak ada atau tidak mampu untuk memberikan ganti rugi konsumen tersebut tidak dapat mengajukan ganti rugi kepada ATPM resmi. Hal ini di karenakan ATPM resmi beralasan tidak mempunyai kewenangan dan tidak harus bertanggung jawab berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen yaitu Pasal 19 angka (1) dan Pasal 21 angka (1) yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 angka(1) : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan.” Pasal 21 angka (1) : “Importir barang yang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri” Kedua pasal tersebut menjadi alasan kuat bagi ATPM resmi untuk tidak bertanggung jawab terhadap konsumen pengguna kendraan Built Up, padahal ATPM resmi tersebut telah mendapat keuntungan dari digunakan produk-produk Built Up
2
tersebut yaitu Good Will atau nama baik dari merek-merek yang dipegang oleh ATPM - ATPM tersebut. Salah satu contoh kasusnya adalah yang terjadi pada produk mobil Toyota RAV 4 yang merupakan salah satu produk Built Up Toyota yang memiliki kegagalan pada sistem pedal gasnya yang telah banyak menimbulkan kerugian pada penggunanya bahkan di beberapa kasus menimbulkan korban jiwa. Berdasarkan hal tersebut pihak PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM resmi Toyota mengklaim tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh produk kendaraan yang bernama Toyota RAV 4 tersebut, alasannya adalah meskipun Toyota RAV 4 tersebut adalah produk Toyota tetapi Toyota RAV 4 tersebut bukanlah rakitan dan tidak dikeluarkan oleh PT. Toyota Astra Motor selaku pemegang merek Toyota di Indonesia. PT. Toyota Astra Motor menyatakan bahwa hal tersebut adalah tanggung jawab dari agen atau importir umum dari Toyota RAV 4, padahal berdasarkan hal yang telah dijelaskan diatas bahwa pihak PT. Toyota Astra Motor juga dapat dikatakan menikmati keuntungan dari masuknya produk Toyota RAV 4 tersebut yaitu dari segi promosi Toyota sebagai merek yang diusung oleh ATPM tersebut.1 Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang perlindungan hukum terhadap pengguna kendaraan Built Up atau 1
E Mei Amelia R. arsipberita.com 2010 http://www.arsipberita.com/list/regional (8Maret 2010). diakses pada Maret 2011
3
rakitan luar negeri yang tidak di produksi oleh ATPM resmi dengan judul “Tanggung Jawab ATPM ( Agen Tunggal Pemegang Merek ) dan Importir Umum (agen tidak resmi) Dalam Memberikan Perlindungan hukum terhadap Pengguna Toyota RAV 4 Sebagai Salah Satu
Kendaraan Built Up Yang
Dipasarkan Di Indonesia”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu : Bagaimanakah tanggung jawab PT. Toyota Astra Motor sebagai ATPM resmi pemegang merek Toyota dan Importir Umum (agen tidak resmi) dalam memberikan prerlindungan hukum terhadap pengguna Toyota RAV 4 sebagai salah satu kendaraan Built Up yang dipasarkan di Indonesia ? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab ATPM (agen tunggal Pemegang Merek) sebagai agen resmi dengan importir umum (agen tidak resmi) dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pengguna Toyota RAV 4 sebagai salah satu kendaraan Built Up yang dipasarkan di Indonesia dengan adanya penolakan tanggung jawab dari PT. Toyota Astra Motor sebagai ATPM resmi pemegang merek Toyota dikarenakan RAV 4 adalah bukan produk dari PT. Toyota Astra Motor.
4
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah meliputi dua aspek yaitu : a. Kegunaan Teoretis Kegunaan teoretis dalam penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu hukum, terutama perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia b. Kegunaan Praktis Kegunaan praktis penelitian ini adalah untuk memberi masukan bagi pihak ATPM resmi ataupun agen selaku pihak pengimpor kendaraan-kendraan Built Up dari luar negeri.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Konsumen 1. Sejarah Pelindungan Konsumen di Indonesia Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia di mulai sekitar 20 tahun yang lalu ditandai dengan berdirinya sutau lembaga swadaya masyarakat yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang bergabung sebagai anggota Consumer International (CI). Di luar itu, banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi kepada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan di berbagai propinsi di tanah air. Gerakan konsumen Indonesia mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UUPK berhasil di bawa ke DPR. Selanjutnya rancanganya disahkan menjadi undang-undang.2 2. Tujuan Perlindungan Konsumen Tujuan Perlindungan konsumen termuat dalam Pasal 3 Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdiri dari :
2
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2003 halaman 42
6
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkanya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Mengangkatakan
pemberdayaan
konsumen
dalam
memilih,
menentukan, dan menuntuk hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan
kesadaran
pelaku
usaha
tentang
pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen Asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum Perlindungan Konsumen, khususnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yaitu dituangkan dalam Pasal 2, asas-asas tersebut yaitu :
7
1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha; 2) Asas Keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil; 3) Asas Keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materilataupun spiritual; 4) Asas Keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalm penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; 5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usha maupun konsumen
menaati
hukum
dan
memperoleh
keadilan
dalam
penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, serta negara menjamin Kepastian hukum.3
3
Suyadi, Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2007, halaman 16
8
4. Pihak-pihak Dalam Perlindungan Konsumen Masalah konsumen berkaitan dengan ekonomi dan merupakan masalah bersama masyarakat, maka pelindungan konsumen melibatkan beberapa kelompok yang merupakan pihak-pihak dalam pelindungan konsumen, yaitu : 1. Kelompok pengusaha; 2. Kelompok pemerintah; 3. Kelompok masyrakat konsumen; 4. Kelompok-kelompok lain, seperti organisasi konsumen, organisasi peneliti, organisasi profesi.4
5. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Dasar hukum perlindungan konsumen yaitu : 1. UUD 1945, pada : a. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu : “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Penjelasan dari pasal ini yaitu bahwa ketentuan mengenai hak warga negara. Hak warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan pasal 27 (2) ini adalah hak warga negara yang menjamin agar mereka dapat hidup sebagai manusia seutuhnya,
4
Laporan Simposium Aspek – Aspek Hukum Masalah Pelindungan Konsumen, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, halaman 107
9
bukan hanya hak-hak yang bersifat fisik, material tetapi juga hak bersifat psikis, seperti hak mendapat pengetahuan yang benar tentang segala barang dan jasa yang ditawarkan. b. Pasal 28 ayat (3) UUD 1945, yaitu : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa pasal ini mengenai kedudukan penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun Negara yang bersifat demokrasi dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Berbagai hal yang dimiliki konsumen telah termasuk dalam kedua pasal tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua pasal dalam UUD 1945 merupakan sumber hukum bagi perlindungan konsumen. 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata a. Pasal 1238 KUH. Perdata, mengatur: “Si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatanya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
10
Wanprestasi terjadi karena terjadinya perjanjian dengan pihak lawan dan pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan atau mungkin memenuhi tetapi tidak sebagaimana mestinya. b. Pasal 1267 KUH. Perdata, mengatur: “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.” Pasal ini memberikan pilihan kepada kreditur untuk menuntut debitur karena perbuatan wanprestasi yang dilakukan debitur, bahwa kepada kreditur dapat memilih tuntutan sebagai berikut : 1) Pemenuhan perjanjian; 2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; 3) Ganti rugi saja; 4) Pembatalan Perjanjian; 5) Pembatalan disertai ganti kerugian.5 c. Pasal 1320 KUH. Perdata, mengatur : “ untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu; 5
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, halaman 53
11
4) Suatu sebab yang halal.” Kesepakatan dalam Pasal 1320 KUH. Perdata ini tidak di berikan dalam kekhilafan, paksaan atau penipuan. Kesepakatan yang dicapai karena penipuan dapat dimintakan pembatalan. Penipuan dalam hal ini dirumuskan sebagai pernytaan tentang fakta yang dibuat oleh suatu pihak dalam perjanjian terhadap pihak lainya sebelum perjanjian itu terjadi, dengan maksud untuk membujuk pihak lainnya membuat perjanjian, sedangkan perjanjian itu tidak benar atau palsu.6 d. Pasal 1365 KUH. Perdata, mengatur : “ Tiap perbutan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pasal ini mengatur tentang tuntutan ganti rugi yang diakibatkan perbuatan melawan hukum, maka pasal ini juga dapat digunakan untuk melindungi hak konsumen. 3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sumber hukum perlindungan konsumen juga terdapat dalam hukum pidana yaitu dalam buku III tentang pelanggaran. Ketentuan tersebut antara lain terdapat dalam pasal 204, 205, 393 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen. 5. Peraturan Perundang-undangan lain seperti :
6
Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982 halaman 120
12
a. Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1961 tentang Barang menjadi undang-undang; b. Undang-undang No. 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene; c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; f. Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan lain-lain. 6. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Pelaksanaan dari perlindungan konsumen memerlukan peran serta dari berbagai pihak. Peran serta tersebut antara lain : a. Peranan masyarakat selaku konsumen 1. Masyarakat yang berkedudukan selaku konsumen berperan sebagai kontrol sosial bagi para pelaku usaha untuk mentaati dan melaksanakan etika bisnis yang berlaku; 2. Masyarakat
selaku
konsumen
memiliki
peran
serta
untuk
mengembangkan organisasi konsumen sebagai tandingan organisasi pelaku usaha agar terwujud keseimbangan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen.
13
b. Peranan Pemerintah 1. Pemerintah memberi petunjuk bagi pelaku usaha tentang hal-hal yang boleh dilakukan; 2. Pemerintah membentuk suatu peraturan perundang-undangan untuk menanggulangi persaingan curang; 3. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksaan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan bidang usaha secara konsekuen dan konsisten.
c. Peranan Organisasi Pelaku Usaha 1. Organisasi pelaku usaha menentukan dan menyusun standar etik yang harus diketahui dan ditaati oleh semua pelaku usaha; 2. Menghayati dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh segala peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan kegiatanya; 3. Melakukan peningkatan mutu produk Indonesia sehingga lebih dapat bersaing di pasar domestik maupun di pasar internasional.7 Konsumen yang dirugikan hingga menimbulkan ketidak puasan, kerugian material, gangguan pada kesehatan tubuh atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen
7
Laporan Hasil Temu Wicara Nasional tentang Penanggulangan Perbuatan Curang, Yogyakarta, 6-7 Oktober 1992
14
disebabkan oleh tidak sempurnanya produk konsumen, baik berupa gugatan perdata atau tuntutan pidana dari pihak yang dirugikan.8 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan secara rinci mengenai pengertian dari sengketa konsumen. Ada beberapa kunci untuk memahami “sengketa konsumen” dalam kerangka UUPK
dengan
metode penafsiran. Petama batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK.9 Sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen dapat diselesaikan melalui dua jalur yaitu lewat pengadilan atau litigasi dan diluar pengadilan atau non litigasi. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, setiap konsumen tang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasal 45 ayat (4) menjelaskan bahwa apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut telah dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa yang disebutkan dalam pasal 45 ayat (1) UUPK baru dapat dibentuk secara De Jure pada tahun 2001 dengan KEPPRES NOMOR 90 TAHUN 2001 tentang Pembentukan BPSK (Badan penyelesaian Sengketa Konsumen) yang ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan
8 9
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 57 ibid, halaman 13
15
Perdagangan No. 301/MPP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Menurut Yusuf Shofie, fungsi utama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Yusuf Shofie menuliskan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu : a. Konsiliasi Cara ini ditempuh berdasarkan inisiatif salah satu pihak yang bersengketa atau para pihak yang bersengketa. Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen hanya bersikap pasif, hanya sebagai perantara antara para pihak yang bersengketa tersebut. b. Mediasi Mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersikap aktif dengan menjadi perantara dan penasihat. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga merupakan pihak netral mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang disepakati. c. Arbitrase Arbitrase ini ditempuh dengan cara para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak dan bukan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang. Instrumen hukum lain dapat ditempuh konsumen tanpa terlebih dahulu melalui instrumen hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.10
10
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003, halaman 26
16
d. Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas Adanya liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi yang berdampak positif ataupun negatif terhadap para konsumen di Indonesia, karena barang dan jasa dari luar negeri akan lebih mudah masuk ke Indonesia kemudian juga barang dan jasa yang masuk tersebut biasanya tidak di kenal dan tidak diketahui secara pasti mengenai sejauh mana kualitas barang dan/atau jasa tersebut apakah sudah layak ataukah masih diragukan. Yusuf sofie menjelaskan mengenai Permasalahan akibat liberalisasai Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan ini tampil ke permukaan dalam bentuk pengaduan/komplain dari konsumen atas barang atau jasa yang dikonsumsinya. Dari sudut hukum belum jelas mekanisme penyelesainya. Tidak hanya itu, secara yuridis muncul juga permasalahan apabila peraturan perundang-undangan Indonesia bertentangan atau berbeda dengan peraturan perundang-undangan negara lain, ketentuan regional, bahkan ketentuan atau kesepakatan World Trade Organization (WTO) atau sebaliknya sehingga diperlukan harmonisasi ketentuanketentuan nasional Indonesia terhadap ketentuan atau kesepakatan regional dan World Trade Organization (WTO).11 Keadaan ini diperparah dengan adanya kemudahan bagi importir umum untuk menyediakan barang dan jasa bagi para konsumen yang ada di Indonesia, kemudian yang menjadi masalah lagi adalah adanya importir umum kurang kapabel dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumen.
11
Ibid, Halaman 10
17
B. Konsumen 1. Pengertian Konsumen Pengertian konsumen diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen yang selanjutnya disebut dengan UUPK. Dalam Pasal 1 angka (2) menyebutkan bahwa: “ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk di perdagangkan.” Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK (Undang-undang Perlindungan Konsumen) sangat luas hal ini dapat diketahui karena dalam UUPK pengertian konsumen juga meliputi pemakaian barang dan jasa untuk kepentingan makhluk hidup lain. 12 Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia (hewan dan tumbuhan). Pengertian yang luas seperti itu, sangatlah tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen. Dalam penjelasan resmi Undang-undang ini menentukan dalam kepustakaan ekonomi terdapat istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang mempergunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. 12
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, halaman 6
18
AZ. Nasution menjelaskan bahwa Konsumen dapat digolongkan dalam dua kelompok sebagai berikut : 1. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang dan/atau jasa dengan tujuan memproduksi (membuat) barang dan/atau jasa; atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial); dan 2. Pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa (konsumen) untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan non komersial)13 Kelompok pertama dapat juga disebut konsumen antara, sedangkan kelompok kedua merupakan konsumen akhir.
2. Hak Dan Kewajiban Konsumen Kemajuan teknologi informasi yang mengakibatkan luasnya ruang gerak arus transaksi barang dan jasa akibatnya barang dan jasa yang ditawarkan semakin bervariasi baik produksi dalam negeri ataupun luar negeri. Kondisi ini menimbulkan suatu keadaan dimana kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen menjadi tidak seimbang, oleh karena itulah perlulah dijelaskan pula apa hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dalam Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu : Pasal 4, Hak konsumen adalah : a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /atau jasa; b) hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 13
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 19
19
c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d) hak untuk di dengar pendapat dan keluhanya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diteriama tidaksesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainya. Konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena pemenuhan hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek.14 Secara umum, hak-hak konsumen diatas tidak disebutkan scara tegas di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia. Yusuf Shofie memberikan suatu hipotesis bahwa hak-hak konsumen tersirat dalam Undang-undang hak Asasi Manusia, yaitu : 1. Hak hidup ( Pasal 9 Undang-Undang Hak Asasi Manusia ), menyangkut hak untuk hidup bahagia sejahtera lahir batin, hak untuk meningkatkan taraf hidup, serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; 2. Hak mengembangkan diri ( Pasal 11 sampai Pasal 16 Undang-Undang Hak Asasi Manusia ), menyangkut hak atas pemenuhan kebutuhan dasar, hak untuk meningkatkan kualitas hidup, serta hak untuk memperoleh informasi; 3. Hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 17 sampai Pasal 19 UndangUndang Hak Asasi Manusia), menyangkut hak untuk mengajukan
14
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo , Op.cit., halaman 47
20
permohonan, dan gugatan dalam perkara Pidana, Perdata, maupun Administrasi; 4. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36 sampai Pasal 42 Undang-Undang Hak Asasi Manusia), hak untuk mempunyai milik atas suatu benda yang tidak boleh dirampas sewenang-wenang dan melanggar hukum, serta hak untuk berkehidupan yang layak. Tentunya instrumen Undang-Undang Hak Asasi Manusia ini menjadi induk dari dari hak-hak konsumen yang telah dinyatakan secarategas oleh Pasal 4 UUPK.15 Adapun yang menjadi kewajiban konsumen menurut Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 5 yaitu : a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c) membayar dengan nilai tukar yang di sepakati; d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3. Kepentingan Konsumen Kepentingan konsumen termuat dalam Resolusi PBB 39/248 tahun 1985 dalam Guidelines for Consumer Protection, bagian II (General Principled), angka 3, digariskan kepentingan konsumen (legitimate needs) yang dimaksudkan yaitu : a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamananya; b. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen;
15
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003, halaman 3
21
c. Tersedianya
informasi
yang memadai
bagi
konsumen untuk
memberikan mereka kememapuan untuk melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi; d. Pendidikan konsumen; e. Tersedianya upaya ganti rugiyang efektif; f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.16 Menurut AZ Nasution, ada 3 bentuk kepentingan konsumen, yaitu: 1. Kepentingan Fisik Kepentingan fisik adalah kepentingan badani konsumen yang berhubungan dengan kemanan dan keselamatan tubuh dan atau jiwa mereka dalam penggunaan barang dan atau jasa. Dalam setiap perolehan barang dan/atau jasa konsumen haruslah barang dan/atau jasa itu memenuhi kebutuhan hidup konsumen tersebut dan memberikan manfaat baginya. Kepentingan fisik konsumen dapat terganggu kalau satu perolehan barang dan/atau jasa menimbulkan kerugian berupa gangguan kesehatan badan atau ancaman keselamatan jiwanya.
2. Kepentingan Sosial Ekonomi Konsumen Kepentingan ini menghendaki agar konsumen dapat memperoleh hasil optimal dari penggunaan sumber-sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan atau/jasa kebutuhan hidup mereka, misalnya: konsumen mendapat informasi yang benar dan bertanggungjawab tentang produk tersebut; konsumen mendapat pendidikan yang relevan untuk dapat mengerti informasi mengenai produk konsumen yang disediakan; 16
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 76
22
tersedia upaya penggantian kerugian yang efektif, apabila mereka di rugikan dalam transaksi konsumen; kebebasan untuk membentuk organisasi atau kelompok-kelompok yang diikutsertakan dalam setiap proses pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. 3. Kepentingan Perlindungan Hukum Kepentingan hukum bagi masyarakat dalam kualitas mereka sebagai konsumen merupakan satu kepentingan dan kebutuhan yang sah. Akan tidak adil jika kepentingan konsumen tidak seimbang dan tidak di hargai sebagaimana penghargaan pada kepentingan kalangan usaha/bisnis.17
C. Pelaku Usaha 1. Pengertian Pelaku Usaha Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud pelaku usaha adalah: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menjelaskan: Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, leverransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-undang no. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah : pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain, yang membedakan dengan produk 17
Ibid, halaman 51
23
asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk diperjual belikan, disewakan, disewagunakan,atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan. 18 Berdasarkan hal tersebut pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan ataupun badan hukum.
2. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha Sama hal nya dengan konsumen bahwa pelaku usaha juga mempunyai Hak dan Kewajiban, yaitu diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang isinya pada intinya adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada pelaku usaha dan juga bahwa pelaku usaha haruslah beritikad baik dalam melaksanakan usahanya. Hak Pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu : a) hak utuk menerima pembayaran uang yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik; c) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang di perdagangkan;
18
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, halaman 9
24
e) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Tentang hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainya, maka harus diingat bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen adalah payung bagi semua aturan lainnya berkenaan dengan perlindungan konsumen.19 Adanya keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen, maka pelaku usaha harus memenuhi kewajibanya, kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UndangUndang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, seperti yang dijelaskan oleh Gunawan Widjaja yaitu : a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya Itikad baik merupakan salah satu asas dalam hukum perjanjian. Pasal 1338 ayat (3) KUH. Perdata mencantumkan bahawa “ Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” arti dari ayat tersebut bahwa sebagai suatu hal yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya.20 Perjanjian haruslah dilaksanakan secara pantas dan patut. Hal lain yang mendasari adanya Pasal 1338 KUH.Perdata dengan rumusan itikad baik tersebut adalah bahwa suatu perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor maupun kreditor, maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya diluar perjanjian.21
19
Ibid halaman 51 Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 halaman 283 21 Ibid, halaman 284 20
25
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menjelaskan: Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang /diproduksi sampai pada tahap purna penjualan sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.22 Informasi tersebut merupakan salah satu hak konsumen dan jika tidak tersedia informasi itu, barang dan/atau jasa yang dikonsumsi konsumen dapat mngalami kerusakan dan hal itu merupakan salah satu hal yang akan sangat merugikan konsumen. Ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.23 b) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Dalam penjelasan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen. Pelaku usaha tidak diperbolehkan untuk membedakan antara konsumen yang satu dengan yang lainya hanya berdasarkan agama, suku, ras, dan lain-lain.
22
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, halaman 54 Ibid, halaman 55
23
26
c) menjamin mutu barang dan/atau yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha diwajibkan untuk menjamin bahwa barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan telah sesuai dengan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Menyadari
peranan
standarisasi
yang penting
dan
strategis,
pemerintah dengan keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 yang kemudian disempurnakan dengan keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1989 membentuk Dewan standarisasi Nasional.24 Peraturan mengenai Standarrisasi nasional tersebut telah diperbaharui lagi dengan adanya Perturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, jo. Peraturan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 135/PER/BSN/12/2010 Tentang Sistem Standardisasi Nasional. d) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan atau/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang di buat dan/atau diperdagangkan. Barang yang dapat diuji dan/atau dicoba hanyalah barang-barang yang jika diuji dan/atau dicoba tidak mengalami kerusakan atau kerugian. Ayat ini memuat kewajiban pelaku usaha yakni kewajiban untuk
24
Ibid, halaman 67
27
memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. Menurut Fandi Tjiptono garansi ada dua macam yaitu:
Garansi Internal, yaitu janji yang dibuat oleh suatu divisi kepada pelanggan internalnya, yakni pemeroses lebih lanjut dan setiap orang dalam perusahaan yang sama yang memanfaatkan hasil/jasa departemen tersebut. Garansi Eksternal, yaitu jaminan yang dibuat oleh perusahaan kepada para pelanggan eksternalnya, yakni mereka yang membeli dan menggunakan produk perusahaan. Garansi ini menyangkut servis yang unggul dan produk yang handal serta berkualitas tinggi.25
Garansi ini dilakukan tidak lain adalah agar pelaku usaha dapat bersaing dengan pelaku usaha lainya. Suatu garansi yang baik harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya meliputi : Realistis dan dinyatakan secara spesifik, misalnya garansi berlaku untuk jangka waktu 1 tahun; Sederhana, Komunikltif, dan mudah dipahami; mudah diperoleh atau diterima konsumen; Tidak membebani konsumen deangan syarat-syarat yang berlebihan; Terpercaya (credible), baik reputasi perusahaan, yang memberikan maupun tipe garansi itu sendiri; Berfokus pada kebutuhan Konsumen; Sungguh berarti, artinya disertai ganti rugiyang signifikan dan disesuaikan dengan harga produk yang dibeli, tingkat keseriusan masalah yang dihadapi, dan persepsi konsumen terhadap apa yang adil bagi mereka; memberikan standar kinerja yang jelas.26
25 26
Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, halaman 42 Ibid, halaman 42
28
e) memberi kompensasi ganri rugi,dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diteriam atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. Pelaku usaha wajib untuk memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen menimbulkan kerugian pada diri konsumen. f) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.27
3. Larangan Bagi Pelaku Usaha Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga memuat larangan bagi para pelaku usaha yang dimuat dalam BAB IV yang terdiri dalai 10 pasal, yaitu Pasal 8 sampai Pasal 17. Suyadi menjelaskan Larangan tersebut adalah : a. Memproduksi dan/atau memperdagangkan barng dan/atau jasa, dengan berbagai macam perincian yang pada pokoknya merugikan
27
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, halaman 54
29
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
konsumen (Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Menawarkan, mempromosikan, mngakibatkan, suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar (dan/atau seolah-olah), dengan berbagai macam perincian (Pasal 9 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Menawarkan, mempromosikan, mengikalankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau mnyesatkan konsumen mengenai beberapa hal tentang barang dan/atau jasa tersebut (Pasal 10 Undangundang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Dalam hal penjualan yang dilakukan secara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen, dengan berbagai macam perincian yang merugikan konsumen (Pasal 11 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan (Pasal 12 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa lain-lain sacara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikan (Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain (Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dengan berbagai kriteria yang isinya merugikan konsumen (Pasal 14 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Menawarkan barang dan/atau jasa dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen (Pasal 15 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan, tetapi tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan. Atau tidak menepati janji atau suatu
30
pelayanan dan/atau prestasi (Pasal 16 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). k. Memproduksi iklan bagi pelaku usaha periklanan, dengan beberapa perincian atau kriteria yang intinya merugikan konsumen (Pasal 17 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).28
4. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha Dengan Konsumen Secara umum dan mendasar hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan kesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena kedua pihak saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi antara yang satu dengan yang lain. Suyadi Menjelaskan: Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung kepada konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin seorang pelaku usaha dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya konsumen kebutuhanya sangat bergantung dari barang dan/atau jasa pelaku usaha. Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan sepanjang masa, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak terputus-putus. Hubungan antara pelaku usaha dan konsumenyang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi, di samping pemasaran dan penawaran.29 Hubungan hukum ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain : 1. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu;
28
Suyadi, Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2007, halaman 33 29 Sri Redjeki, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era Perdagangan Bebas dalam Husni Syawali dan Neni Imayanti, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, halaman 36
31
2. Penawaran dan syarat sah perjanjian; 3. Fasilitas yang ada, sebelum dan sesudah penjualan; 4. Kebutuhan para pihak dalam rentang waktu tertentu.30 Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen sangat sering terjadi hanya sebatas pada kesepakatan lisan mengenai “harga” dan “barang dan/atau Jasa” tanpa diikuti atau ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.31 Hubungan
pelaku
usaha
dengan
konsumen
dalam
transaksi
perdagangan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH. Perdata adalah sah dan mengikat bagi pelaku usaha dan konsumen. Pasal 1320 KUH. Perdata memuat 4 syarat sahnya perjanjian, yaitu : 1. Kesepakatan Antara Para Pihak Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara orang atau lebih dengan pihak lainya. Menurut J. Satrio syarat ini adalah syarat yang logis karena dalam perjanjian setidaknya ada dua orang yang mempunyai kehendak yang saling mengisi. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk mencapai kata sepakat, dan untuk dapat saling bertemu, kehendak itu harus dinyatakan. J.Satrio mengklasifikasikan cara untuk menyatakan kehendak sebagai berikut : 1). Pernyataan kehendak secara tegas : a. Dengan tertulis, dapat melalui: Akta otentik
30
Ibid, halaman 38 Gunawan Wiijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, halaman 25 31
32
Akta dibawah tangan.32
2). Pernyataan kehendak secara diam-diam Sekalipun undang-undang tidak secara tegas mengatakan, tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain pasal 1320 KUH. Perdata jo. Pasal 1338 KUH. Perdata, orang menyimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali ditentukan lain, undang-undang tidak menentukan cara orang menyatakan kehendak.33 2. Kecakapan Bertindak Dalam Membuat Perjanjian Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbutan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap
dan
wenang
untuk
melakukan
perbuatan
hukum
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut J. Satrio, kecakapan bertindak merupakan suatu istilah teknik hukum, bukan sifat pembawaan, karenanya tidak tertutup kemungkinan bahwa ia tidak sesuai dengan kenyataanya, orang yang secara yuridis tidak cakap, ada kemungkinan dalam kenyataanya
adalah
orang
yang
tahu/sadar
betul
akan
akibat/konsekuensi dari tindakanya. 3. Suatu Hal Tertentu/Adanya Objek perjanjian
32
J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, halaman 183 33 Loc.Cit
33
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi kewajiban kreditor. Prestasi ini terdiri atas : a. Memberikan sesuatu b. Berbuat sesuatu c. Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH.Perdata) 4. Sebab Yang Halal/Adanya Causa Yang Halal Di dalam Pasal 1337 KUH. Perdata disebutkan causa yang terlarang yakni apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Peraturan yang berlaku di Indonesia mengenal adanya asas terbuka
yang
menimbulkan
asas
kebebasan
berkontrak.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak ini, orang bebas untuk menutup kontrak perjanjian, mengatur sendiri isi perjanjian yang akan mengikat perbuatanya. Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUH.Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut juga menimbulkan asas kekuatan hukum yang mengikat yang berarti kedua pihak wajib menghormati dan melaksanakan isi perjanjian yang
34
dibuatnya. Apabila salah satu pihak yang tidak menghormati atau tidak melaksankan is perjanjian, dan akibtanya pihak yang lain mangalami kerugian dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi atas dasar wanprestasi. Dalam perdagangan, ada beberapa tahapan transaksi, antara lain : 1) Tahap Pra Transaksi Konsumen Dalam tahapan ini, konsumen membutuhkan informasi yang akurat tentang karakteristik suatu barang dan/atau jasa. Right to be imformed of consumers memegang peranan penting dan harus dihormat,baik bagi pelaku usaha maupun konsumen. 2) Tahapan transaksi Konsumen Konsumen melakukan transaksi dengan pelaku usaha dalam suatu perjanjian (jual beli, sewa, atau bentuk lainya). Antara kedua belah pihak beritikad baik sesuai dengan kapasitasnya. 3) Tahap Purna Transaksi Konsumen Tahap ini dapat disebut dengan tahap purna jual atau after sale service, dimana penjual menjanjikan beberapa pelayanan cumacuma dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya penjual menjanjikan garansi atau servis gratis selama periode tertentu.34 Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang berbentuk
perjanjian,
mengikat
bagi
kedua
pihak,
yang
harus
menghormati dan melaksanakan isi dari perjanjian yang dibuatnya. Apabila salah satu pihak tidak menghormati dan malaksanakan isi dari perjanjian dan mengakibatkan kerugian pada pihak lain maka ia harus bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian pada pihak yang dirugikan akibat dari perbuatanya itu.
34
Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001 halaman 67
35
5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Selain mempunyai hak dan kewajiban, pelaku usaha juga memiliki tanggung jawab dikarenakan adanya hak dan kewajiban tadi. Tanggung Jawab tersebut diatur dalam pasal 19 sampai dengan Pasal 22 Undangundang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu : Pasal 19 : 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggaltransaksi; 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan; 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 20 : “Pelaku Usaha Periklanan bertanggung jawab atas iklan yang di produksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut” Pasal 21 : 1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
36
2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. Pasal 22 : “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.” Dalam perlindungan konsumen dikenal adanya prinsip tanggung jawab yang merupakan hal yang amat penting. Seandainya terjadi pelanggaran terhadap hak konsumen, perlu adanya kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat di bebankan kepada pihak yang bersangkutan. Sidharta dalam bukunya menyebutkan ada 5 macam prinsip tanggung jawab yang dikenal dalam hukum, yaitu : 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Pada Pokoknya prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabanya secara hukum apabila ada unsur kesalahan yang telah dilakukanya. Dalam hukum perdata, tepatnya diatur dalam Pasal 1365 KUH. Perdata, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok agar seseorang dapat dimintakan pertanggung jawabanya dengan dasar prinsip ini, yaitu : a). adanya kesalahan b). adanya unsur kesalahan c). adanya kerugian yang diderita e). adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian. 2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab Berdasarkan prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai dirinya dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
37
Prinsip ini memuat sistem beban pembuktian terbalik yakni beban pembuktian ada pada diri si tergugat. 3. Prinsip Praduga Untuk Tidak selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini berlawanan dengan prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, dan hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. 4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. 5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan Prinsip ini memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk mencantumkan kalusula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.35 Sedangkan tanggung jawab pelaku usaha yang diamaksud yang ada di dalam perlindungan konsumen adalah : 1. Tanggung Jawab Produk (product liability) Tentang pengertian product liability (tanggung jawab produk) dapat dikemukan definisi sebagai berikut : Menurut Hursh : “ Product liability is the liability of a manufacturer. Processor or non manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or third party, caused by product which has benn sold.” Perkins Coie Menyatakan : “Product liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of the product.” Sedangkan dalam Convention on The Law Applicable to product Liability (The Hague Convention), Article 3, menyatakan : 1. manufacturers of a finished product or of component part; 2. producers of a natural product; 3. suppliers of a product; 4. other person, including repairers, and ware housemen, in the commercial chain of preparation or distribution of a product.
35
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2003 halaman 78
38
It shall also apply to the liability of the agents or employees of the persons specified above. Dengan demikian yang dimaksud dengan product liability adalah sutau tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan hukum yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability diatas berlakunya konvensi tersebut di perluas terhadap orang atau badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan. demikian juga para agen dan pekerja badan-badan usaha diatas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat/rusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagii pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian, atau harta benda.36 Shidarta menjelaskan dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas landasan adanya : a. Pelanggaran Jaminan (breach of warranty). Pelanggran jaminan berkaitan dengan jaminan dari pelaku usaha bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat; b. Kelalaian (negiince) Kelalaian (negiince) mempunyai arti jika si pelaku usaha yang di gugat gagal menunjukan bahwa ia cukup berhati-hati dalam membuat, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu barang. c. Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)37 Alasan-alasan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah : 1. Diantara korban/konsumen di satu pihak dengan pelaku usaha di pihak lain, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran. 2. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti pelaku usaha menjamin bahwa barang-barang tersebut
36
H.E Saefullah, Tanggung Jawab Produsen (Product Liability) Dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, halaman 46 37 Shidarta Op.cit, halaman 81
39
aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab. 3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun pelaku usaha yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability ini dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini38 Dalam hukum tentang product liability pihak korban/konsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukan 3 hal : Pertama, bahwa produk telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen; kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugia/kecelakaan; ketiga, adanya kerugian. Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukan bahwa pada waktu terjadinya kerugian produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya tidak diadakan modifikasi-modifkasi).39 Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku strict liability, pihak pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab pelaku usaha tersebut adalah : a. Jika pelaku usaha tidak mendengarkan produknya (put into circulation); b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh pelaku usaha, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian; c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh pelaku usaha baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis; d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat kaharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dukeluarkan oleh pemerintah; e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific and technical knowledge, state of art defense); f. Dalam hal pelaku usaha dari sutu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen
38 39
H.E. Saefullah, Op.cit, halaman 54 ibid, halaman 57
40
telah dicocokan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak pelaku usaha produk tersebut; g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak yang ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence) h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur40 Salah satu usaha untuk melindungi hak konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam pelaksanaan tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukanya prinsip tanggung jawab mutlak diharapkan pula para pelaku usaha menyadari pentingnya untuk menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkanya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para pelaku usaha akan lebih berhatihati dalam memproduksi barang sebelum diedarkan di pasaran sehingga para konsumen, tidak akan ragu-ragu membeli barang produksi mereka. Demikian juga bila kesadaran para pelaku usaha terhadap tanggung jawab pelaku usaha tidak ada, dikhawatirakanakan berdampak buruk terhadap perkembangan industri nasional.41 Namun demikian, dengan diberlakukanya tanggungjawab mutlak dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak pelaku usaha tidak mendapat perlindungan. Pihak pelaku usaha masih diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya dalam halhal tertentu yang dinyatakan dalam undang-undang. Sidharta menjelaskan bahwa dalam KUH.Perdata, ketentuan tanggung jawab produk ada dalam Pasal 1504, yang berkaitan dengan Pasal 1322, 1491, 1504, sampai 1511. Pasal 1504 KUH. Perdata berbunyi, “Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk 40 41
ibid, halaman 58 Ibid, halaman 59
41
pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.” Undang-undang
Perlindungan
Konsumen
memuat
ketentuan
mengenai Tanggung Jawab Produk yaitu mulai dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 11. Pelanggaran terhadap Pasal-pasal tersebut dikategorikan tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Rumusan Tanggung Jawab Produk ini secara lebih tegas dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Profesinal Liability (Tanggung Jawab Profesional) Tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, sedangkan Tanggung Jawab Profesional berkaitan dengan jasa. Yang berlaku bukan lagi prinsip caveat emptor, tetapi caveat venditor (produsen/penyalur produk (penjual) atau krediturlah yang bertanggung jawab), yang lazim disebut tanggung jawab produk. Tanggung jawab dari si produsen dan pihak-pihak yang menyalurkan produknya secara tanggung renteng seluruhnya bersifat tanggung jawab mutlak (strict liability) atau tanggung jawab tanpa kesalahan.42 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas tentang definisi dari jenis barang yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan, dan sampai seberapa jauh suatu pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi pelaku usaha tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen. Hal ini erat kaitannya dengan konsep product liability (tanggung jawab produk) yang banyak dianut oleh negara-negara maju.43 42
Shidarta Op.cit halaman 154 Gunawan Wiijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, halaman 59 43
42
Tanggung Jawab Pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan” Ayat (2) menyebutkan : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Dijelaskan lagi lebih lanjut dalam Pasal 23 bahwa, “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan Pengadilan di tempat kedudukan Konsumen.” Ayat (2) menjelaskan : “Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatanya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut : a. Tidak mnyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan. Pelaku usaha tersebut wajib bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen jika pelaku usaha itu tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; juga jika ia tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.44 Kewajban pelaku usaha ini merupakan suatu kewajiban yang vital bagi
konsumen,
khususnya
bagi
konsumen
barang-barang
yang
44
Shidarta Op.cit halaman 156
43
memerlukan suku cadang ketika mengalami kerusakan seperti barangbarang elektronika. Pasal-pasal mengenai tanggunjawab diatas dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Bagian pertama dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 UUPK mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha; b. Bagian kedua dari Pasal 23 sampai dengan Pasal 26 UUPK mengatur mengenai konsumen yang menuntut ganti rugi dan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha yang menyebabkan kerugian pada dirinya; c. Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus Pidana diatur dalam Pasal 22 UUPK dan pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi diatur dalam Pasal 28 UUPK. d. Pembebasan tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 27 UUPK.45
Permasalahan yang timbul antara pelaku usaha dengan konsumen pada mulanya terjadi melalui suatu perikatan baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Karenanya kedua belah pihak harus melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul akibat adanya perikatan tersebut sehingga apabila ada salah satu pihak yang tidak melaksanakan hak dan kewajibanya, ia melakukan suatu perbuatan cidera janji (wanprestasi). Pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi berdasarkan adanya wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat 45
Suyadi, Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2007, halaman 43
44
antara kreditur dengan debitur. Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu : a. Perikatan tetap ada, Kreditur dapat menuntut kepada debitur pelaksana prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur malaksanakan prestasi tepat pada waktunya. b. Debitur harus membayar ganti kerugian kepada kreditor (Pasal 1243 KUH.Perdata). c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahaan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa. d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibanya memberikan kontra prestasi dengan menggunkan Pasal 1266 KUH.Perdata.46 Kreditur dapat menunutut kepada debitur yang telah melakukan wanprestasi, hal-hal sebagai berikut : a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur . b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUH.Perdata). c. Kreditur dapat menuntut dan dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan. d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian e. kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.47 Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada kepada debitor yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditor dengan debitor. Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditor kepada debitor lain adalah: 1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biayabiaya dan kerugian; 2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH.Perdata), ini ditujukan kepad bunga-bunga.
46
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Terulis (BW), Sinar Grafika, jakarta , 2002, halaman 180 47 Ibid halaman 181
45
Yang diartikan dengan biaya-biaya (ongkos-ongkos), adalah ongkos yang telah dikeluarkan kreditor untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah berkurangya harta kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian, sedangkan bunga-bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati kreditor. Penggantian biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.48
D. ATPM ( Agen Tunggal Pemegang Merek ) 1. Sejarah Dan Pengertian ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) a. Sejarah ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Kebutuhan akan adanya perusahaan yang dapat menjadi perantara guna memperluas jaringan pemasaran barang-barang dan jasa dari produsen ke konsumen menyebabkan akan adanya perusahaan keagenan di Indonesia. Sementara itu dalam sisitem hukum Indonesia, terutama dalam hukum perdata dan hukum dagang tidak ditemukan ketentuan tentang keagenan. Sudah barang tentu dengan tingkat populasi kepadatan penduduk yang sedemikan banyak merupakan potensi pasar yang luar biasa. Negara-negara produsen sudah barang tentu memilki kepentingan tersendiri agar supaya produk-produk mereka dapat terjual di pasaran. Pemerintah menyikapi Perkembangan dalam dinia usahadan oleh karenanya dalam rangka berusaha untuk membina dan mengembangkan industri, dapalam perkembangannya terdapat beberapa ketentuan 48
Ibid halaman 182
46
pelaksanaan yang mengatur tentang keagenan telah dikeluarkan yang antara lain adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan (Kepmen No.23/1998) sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/Kep/I/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan.49 Sebagaimana disampaikan dalam laporan Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi yang disusun oleh Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tahun 1992/1993 berikut adalah hasil penelitiannya, dimana agen dalam melakukan perbutan hukum dengan pihak ketiga, kedudukanya adalah merupakan kuasa prinsipal. Agen bukan karyawan prinsipal. Perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan transaksi perdgangan yang harus dilakukan oleh agen untuk prinsipalnya diatur dalam perjanjian agenan yang dibuat antara agen dan prinsipalnya. Biasanya agen diberi kuasa dan wewenang untuk melakukan penjualan dan promosi barang-barang prinsipal. Sehubungan agen dalam kegiatannya bertindak mewakili prinsipalnya berdasarkan pemberian kuasa maka hubungan hukum antara agen dengan prinsipalnya, sifatnya, tidak seperti hubungan hukum antara agen dengan prinsipalnya. sifatnya tidak seperti hubungan antara majikan dengan buruh. Dalam perjanjian perburuhan yang paling penting adalah penyediaan tenaga kerja semata-mata dengan memperoleh upah, disamping itu terdapat kedudukan lebih rendah daripada majikan, dimana hal demikian tidak dijumpai pada hubungan anatara agen dengan prinsipal. disinilah prinsipal ini memberikan kesan seolah-olah pengusaha atau perushaan diluar negeri adalah majikan ataua atasan dari agen di Indonesia. Padahal sebenarnya agen (di Indonesia) bukanlah 49
Felix Ountoeng Soebagioe, Beberapa aspek Dari Perjanjian Keagenan Dan distributor. Majalh Hukum Dan Pembangunan tahun ke 27 no. 3 Juli-september 1997. Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
47
bawahan dari principal itu. Padahal sebenarnya agen dan prinsipal adalah pada posisi yang setingkat.50
Agen Bertindak melakukan perbuatan hukum misalnya menjual barang dan/atau jasa tidak atas namanya sendiri tetapi atas nama prinsipal. Agen dalam hal ini berkedudukan sebagai perantara. Jika agen mengadakan transaksi dengan konsumen/pihak ketiga maka barang dikirimkan langsung dari prinsipal kepada konsumen. Pembayaran atas barang yang telah diterima oleh konsumen secara langsung kepada principal bukan melalui agen, sedangkan pembayaran kepada agen berupa komisi dari hasil penjualannya. Hak-hak dan kewajiban para pihak dituangkan dalam perjanjian kegaenan yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak sehingga jika dilihat maka hubungan yang terjadi antara agen dengan prinsipalnya adalah tunduk pada perjanjian pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam ketentuana Pasal 1792 KUH.Perdata Selanjutnya
Kepmen No.23/1998 memberikan pengklasifikasian
lembaga keagenan dan distributor sesuaai dengan Perkembangan dan praktek dilapangan menjadi sebagai berikut:
50
Laporan Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjaniian Keagenan dan Distribusi yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tahun 1992/) 1993. hal.10.
48
a. Agen tunggal
pemegang merek
(ATPM) termasuk agen
pemegang lisensi perorangan atau badan usaha yang ditunjuk untuk dan atas nama pabrik pemilik merek barang tertentu untuk melakukan penjualan dalam partai besar barang dari pihak tersebut; b. Agen, adalah perorangan atau badan usaha yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya untuk melakukan pembelian penjualan/pemasaran tanpa melakukan pemindahan fisik barang; c. Agen pabrik (manufactures melakukan
kegiatan
kepentingan
pabrik
agent),
penjualan yang
adalah
untuk
menunjuknya
dan
agen
yang
atas
nama
tanpa
melakukan
pemindahan fisik barang; d. Agen penjualan (sales agent), adalah agen yang melakukan penjualan atas nama dan untuk kepentingan pihak lain yang menunjuknya tanpa melakukan pemindahan fisik barang; e. Agen pembelian (purchasing agent), adalah agen yang melakukan pembelian atas nama dan untuk kepentingan pihak lain yang menunjuknya tanpa melakukan pemindahan fisik barang; f. Agen penjualan pemegang merek (APPM), adalah agen yang melakukan penjualan atas nama dan untuk kepentingan agen tunggal pemegang merek (ATPM) yang menunjuknya.
49
g. Distributor utama (main distributor), adalah perorangan atau badan usaha yang bertindak atas namanya sendiri yang ditunjuk oleh pabrik
atau
pemasok
untuk
melakukan pembelian dan
penyimpanan. Penjualan serta pemasaran barang dalam partai besar secara tidak langsung kepada konsumen akhir terhadap barang yang dimiliki/dikuasai oleh pihak lain yang menunjuknya. h. Sub distributor, adalah perorangan atau badan usaha yang ditunjuk oleh distributor utama atau grosir yang bertindak atas namanya sendiri untuk melakukan kegiatan penjualan barang dalam partal besar sampai pada pengecer.
b. Pengertian ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Hubungan bisnis dengan nama keagenan dan dengan nama distributor adalah berbeda. Namun dalam praktek bisnis sehari-hari keduanya biasa digabungkan. Bila seseorang/badan bertindak sebagai agen, berarti ia bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Sedangkan bila seseorang/badan bertindak sebagai distributor, berarti ia bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum dimana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan bisnis
50
dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu keagenan adalah adanya wewenang yang dipunyai oleh agen tadi yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan seorang agen, sepanjang hal tersebut dilakukan dalam batasbatas wewenang yang diberikan kepadanya. dengan perkataan lain, bila seseorang agen ternyata bertindak melampaui batas wewenangnya, maka agen itu sendiri yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya tadi.51 Agen dan distributor sebenarnya merupakan dua terminologi yang berbeda dan mempunyai konotasi yang berbeda pula. Namun agen dan distributor mempunyai fungsi dan manfaat yang hampir sama
yaitu
memberikan jasa perantara dari prinsipal atau petunjuk kepada konsumen di wilayah pemasaran tertentu. Jika
diperhatikan
lebih
mendalam, maka akan terlihat perbedaan yang spesifik antara agen dan distributor, yaitu: 1)
Agen a. Pihak yang menjual barang atau jasa untuk dan atas nama prinsipal; b. Pendapatan yang diterimanya
berupa
komisi
51
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, PT. Rieneka Cipta, Jakarta, 1996. halaman 68
51
berdasarkan jumlah barang atau jasa yang dijualnya kepada konsumen; c. Barang konsumen
dikirimkan jika
langsung
antara
agen
dari
prinsipal
dengan
ke
konsumen
mencapai suatu persetujuan; d. Pembayaran atas barang yang telah diterima konsumen langsung kepada prinsipal bukan melalui agen. 2) Distributor a.
Perusahaan yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri;
b. Membeli dari prinsipal dan menjual kembali kepada konsumen untuk kepentingannya sendiri; c. Prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari produk-produknya; d. Bertanggung jawab atas keamanan pembayaran barangbarangnya untuk kepentingan sendiri.
2. Dasar Hukum Adanya ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Adapun yang menjdi dasar hukum adanya Agen Tunggal Pemegang Merek adalah sebagai berikut :
52
a. Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/distributor dengan prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata;52 b. Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/KP/III/78, tanggal 9 Maret 1978 yang mengatur mengenai jangka waktu perjanjian bagi agen/distributor perusahaan asing; c. Keputusan Menperin Nomor 295/M/SK/7/1982 tanggal 7 Juli 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Keagenan Tunggal; d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia. Yang didalamnya memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap Negara anggota
WTO,
dalam
merumuskan
kebijakan
perdagangan
internasional. Jadi berdasarkan undang-undang tersebut diatas bahwa dasar hukum untuk Agen tunggal Pemegang Merek apabila melakukan kegiatan usaha berupa impor maka harus mengikuti peraturan yang berdasarkan konvensi-konvesi internasional mengenai ekspor dan impor; e. Keputusan
Menteri
No.23/MPP/KEP/1/1998 52
Perindustrian tentang
dan
Perdagangan
Lembaga-Lembaga
Usaha
Richard Burton Simatupang, Ibid, halaman 69
53
Perdagangan sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
perdagangan
No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan; f. Keputusan Menperindag Nomor 275/MPP Kep/6/1999 tanggal 24 Juni 1999 tentang Industri Kendaraan Bermotor. g. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
3. Hak Dan Kewajiban Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) Hak dan kewajiban ATPM selain berdasarakan pada perjanjian atau yamg dilakukan dengan prinsipal maupun dengan konsumen, terdapat juga hak dan
kewajiban bagi
ATPM
yang berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang akan dijelaskan sebagai berikut : a. Pertama adalah bahwa ATPM adalah termasuk ke dalam pelaku usaha maka hak dan keawajiban bagi pelaku usaha yang ada di dalam UUPK adalah berlaku yaitu Pasal 6 dan 7 yaitu : Pasal 6 UUPK : Hak pelaku usaha adalah: 1)
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
54
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; 3) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 2)
Pasal 7 UUPK : Kewajiban pelaku usaha adalah: 1) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barangdan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 7) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. b. hak dan kewajiban lainnya adalah dalam melakukan kegiatan usahanya adalah harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang mengatur mengenai keberadaan ATPM tersebut.
55
E. Importir Umum ( Agen Tidak Resmi ) 1. Pengertian Importir Umum ( Agen Tidak Resmi ) Lembaga distributor ini adalah salah satu lembaga dalam perjanjian keagenan. Lembaga distributor ini terjadi apabila dalam suatu perjanjian antara agen tunggal itu tidak merangkap sebagai distributor, dan sebagai agen tunggal suatu perusahaan dapat menunjuk suatu perusahaan lain sebagai distributor bagi barang-barang yang didatangkan oleh agen tunggal. Importir Umum dalam hal ini dapat dikatakan sebagai distributor, karena dalam menjalankan usahanya hanyalah menyampaikan barang dan/atau jasa kepada konsumen dari produsen yang berada di luar negeri dan konsumennya yang berada di dalam negeri. Lembaga distributor dalam hal ini adalah agen tidak resmi yang dalam perkembangannya bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun demikian, seiring dengan berkembangnya praktek-praktek dunia usaha baik dalam sakala domestic maupun internasional, sedikit banyak memberikan suatu pengaruh terhadap bagaimana lembaga distributor dimaksud dalam menjalankan praktek usahanya. tidak jarang lembaga usahanya adalah distributor tetapi justru pada prakteknya merupakan lembaga subdistributor atau bahkan pada prakteknya
56
lembaga-lembaga distributor ini melakukan parktek-praktek layaknya retailer (pedagang eceran). Secara umum memang para pelaku usaha yang kreatif adalah mereka-mereka yang dapat mempertahankan kinerja usaha perushaannya untuk kurun waktu lama. Eksistensi lembaga ini ada karena tuntutan ekonomi yang kerangkanya adalah bagaimana mempercepat produk-produk dapat sampai ke tangan penggunanya. Faktor kelangsungan usaha merupakan kunci penting dari sebuah perusahaan. Sedangkan, bagaimana untuk menciptakan kelangsungan usaha tersebut juga merupakan hal lain yang terintegrasi dengan kreatifitas untuk memenuhi keinginan pasar. Sudah merupakan suatu tolok ukur sederhana bahwa tidak ada pasar yang memiliki loyalitas mutlak terhadap suatu produk dan jasa, melainkan bagaimana produk dan jasa dapat memenuhi kepuasan pasar dengan berbagai insentif yang diberikan oleh karenanya akan diburu oleh pasar. Sifat pasar yang sedemikian rupa menjadikan para pedagang besar ataupun para distributor dituntut untuk senantiasa kreatif dalam mempertahankan bisnisnya.
2. Dasar Hukum Adanya Importir Umum (Agen Tidak Resmi) Khusus tentang distributor termasuk dalam hal ini adalah importir umum sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata distributor
dapat dikategorikan dalam ketentuan-
57
ketentuan mengenai perjanjian tidak bernama (innominaat).
Dalam
KUHPerdata mempunyai beberapa ketentuan yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian bernama yang dinyatakan dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa: “Semua perikatan yang dibuat sesuai dengan undang-undang maka berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatanya” Perikatan yang sesuai dengan undang-undang itu diantaranya, adalah: 1. Jual beli menurut KUH.Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut (Pasal 1457-1540 BW.); 2. Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan nama kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain Pasal 1541-1546 BW; 3. Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya (Pasal 1547-1600 KUH.Perdata), dan 4. Persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal1 6011617 KUH.Perdata).53 Distributor dalam dunia perdagangan mempunyai peranan yang hampir sama dengan lembaga keagenan yaitu sebagai perantara untuk memudahkan penyampaian barang dari produsen ke konsumen. Namun demikian pada kurun waktu sebelum tahun 1990 distributor cenderung
53
Ibid
58
kurang diperhatikan perkembangannya dari segi hukum, hal ini berbeda dengan lembaga keagenan yang oleh pemerintah Republik Indonesia dalam hal Perindustrian,
ini
melalui
Departemen
Perdagangan
dan
telah dikembangkan sedemikian rupa dalam bentuk
lembaga pengakuan agen tunggal, dimana disyaratkan bagi perusahaan asing yang akan memasarkan barang-barang produksinya di Indonesia, harus menunjuk satu perusahaan nasional yang akan merupakan agen tunggalnya, dan sekaligus sebagai pemegang merek (agen
tunggal
pemegang merek) dari barang-barang tersebut. Secara khusus Ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang distributor adalah
belum
ada,
jadi
ketentuan-ketentuan
departemen
teknis
ketentuan-ketentuan yang
misalnya,
dikeluarkan
Departemen
yang oleh
berlaku beberapa
Perdagangan
dan
Perindustrian yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/Kp/III/78, tanggal 9 Maret 1978, yang menentukan bahwa lamanya perjanjian harus dilakukan. Sampai dengan dikeluarkannya Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan (Kepmen
No.23/1998)
dikeluarkannya Perubahan
sebagaimana
kemudian
diubah
dengan
Keputusan Menteri No.I59/MPP/Kep/4/I998 tentang
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
59
No.23/MPP/Kep/3/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan. Selain itu para pihak dalam membuat perjanjian keagenan dan/atau distributor biasanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 1338 KUHPerdata. Adapun hal yang melatarbelakangi dibuatnya suatu standar kontrak adalah untuk mempermudah perusahaan prinsipal dalam menjalankan usahanya, yang dalam lingkup usahanya perusahaan prinsipal telah mempersiapkan jaringan distribusi produknya tidak secara ekslusif dipegang oleh 1 (satu) distributor dan hanya pada 1 (satu) negara, melainkan
Iebih dari
itu. Oleh karenanya untuk mernpermudah
aspek pemahaman transaksi, pola administrasi dan permasalahan lainnya, maka perusahaan prinsipal cenderung menjalankan pola pemberlakuan standar kontrak baku tersebut. Sebagai penyalur barang dan jasa dalam sistem perdagangan, distributor memiliki berbagai macam hubungan kerja dengan berbagai pihak, terutama dengan mitra kerja utamanya, pengecer (retailer) dan khususnya produsen. Jika pengecer-pengecer dapat dimasukkan pula sebagai distributor, maka kedudukan distributor berada di tengah-tengah antara produsen dan konsumen. Tetapi secara umum, distributor cenderung senantiasa dikaitkan dengan konsep wholesaler (pedagang besar), karena itu, tidak berhubungan dengan konsurnen secara langsung. 54 Adapun yang menjadi dasar hukum distributor dalam hal ini adalah agen tidak resmi untuk melakukan penyaluran barang dan/atau jasa yang dalam penelitian dibatasi mengenai pengadaan barang impor berupa produk otomotif, 54
P.Susilo, Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor. 2002 hal. 5
60
dasar hukumnya adalah sebagai berikut : a. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan persetujuan pembentukan organisasi perdagangan Dunia. Yang didalamnya memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap Negara anggota WTO, dalam
merumuskan
kebijakan
perdagangan
internasional.
Jadi
berdasarkan undang-undang tersebut diatas bahwa dasar hukum untuk importir umum juga termasuk konvensi-konvesi internasional mengenai ekspor dan impor. b. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
:
23/MPP/Kep/1998
tentang
Lembaga-Lembaga
Usaha
Perdagangan. yang dalam Pasal 1 angka (5) mendefinisikan Importir, yaitu : “ Importir, adalah perorangan atau badan usaha yang melakukan perdagangan dengan cara memasukan barang dan/atau jasa dari luar negeri ke wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” c.
Keputusan
Menteri
perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
290/MPP/Kep/6/1999 yang yang menjelaskan mengenai pengimporan kendaraan secara utuh atau Built Up/CBU dapat dilakuakan oleh Importir umum. Pasal 11 menyebutkan persyaratanya yaitu : 1) Memiliki
VIN
(Vehicle
Identification
Number)
dari
produsen/supplier/dealer; 2) Melampirkan sertifikat uji tipe dari negara asal pembuat;
61
3) Memiliki Tanda Pendaftaran Tipe (TPT) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka; 4) Importir memiliki surat jaminan yang dibuat di hadapan notaris yang berkaitan dengan mutu dan layanan purna jual; 5) Tanda Pendaftaran Tipe hanya diterbitkan satu kali untuk satu tipe dan satu importir, berlaku seterusnya untuk tipe tersebut.
d. Keputusan Menperindag Nomor 275/MPP Kep/6/1999 tanggal 24 Juni 1999 tentang Industri Kendaraan Bermotor. e. Keputusan Menperindag Nomor 49/MPP/Kep/2/2000 tanggal 25 Februari 2000 tentang Persyaratan Impor Kendaraan Bermotor dalam Keadaan Utuh (CBU). f. Keputusan Menperindag Nomor 50/MPP/Kep/2/2000 tanggal 25 Februari 2000
tentang
Perubahan
Keputusan
Menperindag
Nomor
230/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4 Juli 1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya Sebagaimana Telah Diubah Beberapa Kali Terakhir dengan Keputusan Menperindag Nomor 290/MPP/Kep/6/1999. g. Keputusan Direktur Jenderal ILMEA Nomor 015/SK/DJILMEA/X/2001 tanggal 26 Oktober 2001 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran Tipe dan Varian Kendaraan Bermotor. h. Keputusan Direktur Jenderal ILMEA Nomor 017/SK/DJILMEA/XI/2001 tanggal 9 Nopember 2001 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
62
Kode Perusahaan Dalam Rangka Penerapan Nomor Identifikasi Kendaraan Bermotor (NIK).
3. Hak Dan Kewajiban Importir Umum (Agen Tidak resmi) Sama halnya dengan ATPM importir umum juga memiliki hak dan kewajiban yang ada didalam peraturan perundang-undangan maupun hak dan kewajiban yang timbul bukan karena peraturan perundang-undangan. Hak dan kewajiban tersebut adalah sebagai berikut : a. kewajiban yang diatur dalam UUPK. yaitu dalam pasal 21 yaitu: Pasal 21: 1.
Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. 2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. b. Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 28/KP/I/1982 yang telahbeberapa kali diubah dan ditambah, dan terakhir Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
229/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4 Juli 1997 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, yang di dalamnya meliputi: 1. Impor hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan yang telah memiliki API;
63
2. Barang impor harus dalam keadaan baru; 3. Pengecualian: a. Barang Pindahan, Barang Impor Sementara, Barang Kiriman, Barang
Contoh
Perwakilan
Tidak
Negara
Diperdagangkan,
Asing
dan
Barang
Hadiah,
Barang
Untuk
Badan
Internasional/Pejabatnya Bertugas di Indonesia; b.
Kapal Pesiar dan kapal Ikan, atau Ditetapkan Lain Oleh Menteri Perdagangan;
c. Barang Tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
64
BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.55 Dengan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) maksudnya adalah membandingkan peraturan hukum yang berlaku dengan peristiwa yang terjadi. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah inventarisasi hukum, maksudnya adalah mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peristiwa hukum yang terjadi yang merupakan masalah dalam penelitian ini yang kemudian mengklasifikasinya dan di analisis. Spesifikasi yang berikutnya adalah penemuan hukum Inconcreto maksudnya adalah manganalisis peraturan hukum yang berlaku (abstrak) yang dianalisis terhadap peristiwa hukum yang terjadi (konkrit) yang kemudian akan ditemukan kesinkronisasianya. 3. Lokasi Penelitian
55
Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,, Bayu Media, Malang, hal 295.
65
Lokasi penelitian ini adalah dilakukan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan UNSOED, Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum UNSOED dan media internet maupun media massa lainya yang membahas peristiwa hukum yang menjadi masalah dalam penelitian ini. 4. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan data sekunder. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, data sekunder dapat berupa bahan-bahan hukum sebagai berikut: 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat seperti norma dasar, peraturan perundang-undangan atau keputusan pengadilan. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer dan isinya tidak mengikat. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa literatur atau pustaka. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang sifatnya melengkapi kedua bahan hukum tersebut diatas.56
56
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, CV Rajawali, Jakarta, halaman 14
66
5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Metode dalam pengumpulan bahan hukum untuk penelitan ini adalah melalui metode kepustakaan atau metode dokumenter terhadap bahan hukum primer, sekunder maupun tersier yang berhubungan dengan obyek yang akan diteliti, kemudian kemudian di hubungkan bahan hukum satu dengan yang lainya sesuai dengan pokok permasalahan sehingga menjadi satu kesatuan utuh (comprehensive), all inclusive, dan sistematik. 6. Metode Penyajian Bahan Hukum Penyajian data dalam penelitian ini adalah dengan cara penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis. 7. Metode Analisis Metode analisis dalam peneltian ini adalah dengan cara menggunakan metode-metode interpretasi yang ada dalam ilmu hukum, yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yang pertama adalah metode interpretasi Teleologis yaitu untuk mengetahui bagaimana suatu peraturan hukum berlaku dan untuk siapa peraturan hukum tersebut berlaku. Kemudian yang kedua adalah metode interpretasi sistematis yaitu untuk mengetahui saling keterkaitannya antara suatu peratuan hukum yang berkaitan dengan obyek penelitian.57
57
Loc.cit.
67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian studi pustaka yang penulis lakukan, diperoleh data sebagai berikut : 1. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa Tanggung Jawab Pelaku Usaha yaitu : Pasal 19 : 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggaltransaksi; 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan; 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 20 : “Pelaku Usaha Periklanan bertanggung jawab atas iklan yang di produksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”
68
Pasal 21 : 1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. 2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. Pasal 22 : Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Berdasarkan pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatas, Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen adalah Tanggung Jawab Produk, dan Tanggung Jawab Profesional, yang keduanya termasuk kedalam Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur kesalahan dan Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan. 2.
ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Toyota Di Indonesia PT. Toyota-Astra Motor atau biasa disingkat dengan TAM merupakan Agen
Tunggal Pemegang Merek (ATPM) Mobil Toyota dan Lexus di Indonesia. TAM merupakan perusahaan joint venture antara PT. Astra International Tbk. dengan persentase saham 51% dan Toyota Motor Corporation yang disingkat dengan nama TMC Jepang dengan persentase saham 49 %. PT Toyota-Astra Motor diresmikan pada tanggal 12 April 1971, peranan TAM semula hanya sebagai importir kendaraan
69
Toyota, namun setahun kemudian sudah berfungsi sebagai distributor. Pada tanggal 31 Desember 1989, TAM melakukan merger bersama tiga perusahaan yaitu : a. PT. Multi Astra (pabrik perakitan, didirikan tahun 1973) b. PT. Toyota Mobilindo (pabrik komponen bodi, didirikan tahun 1976) c. PT. Toyota Engine Indonesia (pabrik mesin, didirikan tahun 1982) Gabungan semuanya diberi nama PT. Toyota-Astra Motor. Merger ini dilakukan guna menyatukan langkah dan efisiensi dalam menjawab tuntutan akan kualitas serta menghadapi ketatnya persaingan di dunia otomotif. Selama lebih dari 30 tahun, PT. Toyota-Astra Motor telah memainkan peranan penting dalam pengembangan industri otomotif di Indonesia serta membuka lapangan pekerjaan termasuk dalam industri pendukungnya. PT. Toyota-Astra Motor telah memiliki pabrik produksi seperti stamping, casting, engine dan assembly di area industri Sunter Jakarta. Tahun 1998 untuk meningkatkan kualitas produk dan kemampuan produksi, diresmikan pabrik di Karawang yang menggunakan teknologi terbaru di Indonesia. Sejak
tanggal
15
Juli
2003,
TAM
direstrukturisasi
menjadi
2
perusahaan,yaitu : a. PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia disingkat TMMIN yang
merupakan perakit produk Toyota dan eksportir kendaraan dan suku cadang Toyota. Komposisi kepemilikan saham di perusahaan ini adalah Astra International 5 % dan TMC. menjadi 95%;
70
b. PT. Toyota-Astra Motor sebagai agen penjualan, importir dan distributor
produk Toyota di Indonesia. Komposisi kepemilikan saham di perusahaan ini adalah Astra International 51 % sedangkan TMC. 49%. Sektor pendukung penjualan dan layanan purna jual, TAM dibantu oleh 5 Dealer Utama yang membawahi dealer-dealer yang tersebar di seluruh Indonesia. Hingga bulan Desember 2005 telah terdapat 181 outlet dan 101 bengkel resmi. Berikut ini kelima Dealer Utama yang dibagi berdasarkan wilayah geografisnya : a. Auto 2000 merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur,Nusa Tenggara Timur,Bali,Kalimantan serta sebagian Sumatera; b. PT. New Ratna Motor merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Jawa
Tengah dan Yogyakarta; c. NV Hadji Kalla Trd. Co. merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara; d. PT. Hasjrat Abadi merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Ternate dan Papua; e. PT. Agung Automall merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Bali,
Riau,Jambi, Bengkulu dan Batam. Produk yang sedang dan pernah dijual oleh TAM di Indonesia yaitu : -
Sedan : Starlet, Yaris, Soluna, Vios, Corona, Corolla, Camry, Cressida, Crown.
71
-
Kendaraan Penumpang jenis SUV dan MPV : Fortuner, Kijang Innova, Kijang, Avanza, Hiace, Toyota Land Cruiser, Previa.
-
Truk dan kendaraan Niaga : Dyna, Hilux, Kijang Pick up.
Struktur dari perusahaan ini yaitu: -
Presiden Direktur : Johnny Darmawan Danusasmita.
-
Wakil Presiden Direktur : Sam Budiman.
-
Direktur : Benny Redjo, Daisuke Yanagawa, Joko Trisanyoto, dan Hiroyuki Hirakawa.
Sebagai ATPM merek Toyota di Indonesia, PT. Toyota Astra Motor memilki hak dan kewajiban sesuai dengan prinsipalnya, kemudian juga memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia termasuk tunduk kepada peraturan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan terhadap peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia.
3. Importir Umum ( Agen Tidak Resmi ) Importir umum dalam hal ini agen tidak resmi dapat dikatakan sebagai distributor, karena dalam menjalankan usahanya hanyalah menyampaikan barang dan/atau jasa kepada konsumen dari produsen yang berada di luar negeri dan konsumennya yang berada di dalam negeri. Dalam penelitian ini adalah Importir
72
umum dari Mobil dengan Merek Toyota RAV4. Sebagaimana menurut P. Susilo dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor yaitu : Sebagai Penyalur barang dan jasa dalam sistem perdagangan, distributor memiliki berbagai macam hubungan kerja dengan berbagai pihak, terutama dengan mitra kerja utamanya, pengecer (retailer) dan khususnya produsen. Jika pengecer-pengecer dapat dimasukan pula sebagai distributor, maka kedudukan distributor berada di tengah-tengah antara produsen dan konsumen. tetapi secara umum distributor cenderung senantiasa dikaitkan dengan konsep wholesaler (pedagang besar), karena itu, tidak berhubungan dengan konsumen secara langsung. 58 Importir Umum Agen tidak resmi dalam dunia perdagangan mempunyai peranan yang hampir sama dengan lembaga keagenan yaitu sebagai perantara untuk memudahkan penyampaian barang dari produsen luar negeri langsung kepada konsumen dalam negeri.
4. Norma-Norma Yang Mengatur Mengenai ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Dan Importir Umum Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis maka diperoleh data sebagai berikut : a. Pasal 1 angka (3) Undang-Undang no.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud pelaku usaha adalah: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
58
P.Susilo, Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor. 2002 hal. 5
73
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Berdasarkan pada pasal 1 angka (3) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut bahwa ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) dalam hal ini PT. Toyota Astra Motor dan Importir Umum adalah merupakan pelaku usaha yang mempunyai hak dan kewajiban, dan tanggung jawab, serta mematuhi larangan sesuai dengan peraturan yang ada dalam Undang-Undang no.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
b. Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri No.159/MPP/Kep/4/1998 Perindustrian
dan
tentang
perdagangan
Perubahan
Keputusan
No.23/MPP/KEP/1/1998
Menteri tentang
Lembaga-Lembaga Perdagangan menjelaskan bahwa Agen tunggal pemegang merek (ATPM) termasuk agen pemegang lisensi perorangan atau badan usaha yang ditunjuk untuk dan atas nama pabrik pemilik merek barang tertentu untuk melakukan penjualan dalam partai besar barang dari pihak tersebut. PT. Toyota Astra Motor adalah termasuk kedalam ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek).
74
c. Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang didalamnya memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap Negara anggota WTO, dalam merumuskan kebijakan perdagangan internasional. Berdasarkan undang-undang tersebut diatas bahwa dasar hukum untuk importir umum juga termasuk konvensi-konvesi internasional mengenai ekspor dan impor. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 23/MPP/Kep/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan. yang dalam Pasal 1 angka (5) mendefinisikan Importir, yaitu : “Importir, adalah perorangan atau badan usaha yang melakukan perdagangan dengan cara memasukan barang dan/atau jasa dari luar negeri ke wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Peraturan hukum lainya adalah
Keputusan Menteri perindustrian dan
Perdagangan Nomor 290/MPP/Kep/6/1999 yang yang menjelaskan mengenai pengimporan kendaraan secara utuh atau Built Up/CBU dapat dilakukan oleh Importir umum. Pasal 11 menyebutkan persyaratanya yaitu : a) Memiliki
VIN
(Vehicle
Identification
Number)
dari
produsen/supplier/dealer; b) Melampirkan sertifikat uji tipe dari negara asal pembuat; c) Memiliki Tanda Pendaftaran Tipe (TPT) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka;
75
d) Importir memiliki surat jaminan yang dibuat di hadapan notaris yang berkaitan dengan mutu dan layanan purna jual; e) Tanda Pendaftaran Tipe hanya diterbitkan satu kali untuk satu tipe dan satu importir, berlaku seterusnya untuk tipe tersebut. Berdasarkan peraturan-peraturan hukum tersebut maka adalah sah apabila seseorang atau badan usaha melakukan impor kendaraan secara utuh asalkan memenuhi syarat-syarat sesuai dengan perturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Hak dan kewajiban Konsumen ATPM Dan Importir Umum Hak dan kewajiban konsumen baik konsumen dari ATPM maupun konsumen Importir Umum adalah sama yaitu diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen, yaitu : Pasal 4, Hak Konsumen adalah : a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /atau jasa; b) hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d) hak untuk di dengar pendapat dan keluhanya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diteriama tidaksesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainya.
76
Pasal 5, kewajiban Konsumen adalah : a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen tersebut diatas bahwa para pemilik kendaraan dengan merek Toyota RAV 4 adalah konsumen yang memilki hak dan kewajiban sesuai dengan yang undangundang tersebut.
B. PEMBAHASAN Pasal 1 angaka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat pengertian mengenai pelaku usaha, yaitu : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelengarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Berdasarkan pendapat AZ. Nasution, kelompok penyedia barang / penyelenggara jasa pada umumnya terdiri dan berlaku sebagai pihak : a. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor); b. Penghasil atau pembuat barang atau jasa (produsen); c. Penyalur barang atau jasa (distributor).59
59
Az Nasution, op. cit, halaman 20
77
Brotosusilo memberi batasan pengertian mengenai produsen, sebagai berikut : 1. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila keruian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya; 2. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk; 3. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tandatanda lainpada produk menampakan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.60
Berdasarkan data penelitian no. 2 dan 3 tentang PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM merek Toyota dan Importir Umum selaku distributor mobil Toyota RAV 4, apabila dikaitkan dengan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pendapat AZ. Nasution, maka dapat dideskripsikan bahwa ATPM dan Importir Umum tersebut adalah sebagai pelaku usaha mengingat ATPM dan importir umum tersebut adalah badan usaha yang didirikan dan berkedudukan serta melakukan kegiatan ekonomi dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Shidarta menjelaskan bahwa dalam KUHPerdata, ketentuan tanggung jawab produk ada dalam Pasal 1504, yang berkaitan dengan Pasal 1322, 1491, 1504, sampai 1511. Pasal 1504 KUHPerdata menyebutkan : “Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk 60
Agus Brotossusilo, makalah : Aspek-Aspek Perlindungan Terhadap Konsumen Dalam sistem Hukum Di Indonesi. Dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, Editor Yusuf Sofie. Jakarta : YLKI-USAID. 1998.Hal 46.
78
pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.” Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat ketentuan mengenai Tanggung Jawab Produk yaitu mulai dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 yaitu pada pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 7 yang memuat tentang kewajiban pelaku usaha, yaitu Kewajiban pelaku usaha adalah : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasaserta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pasal 8 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
79
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. 3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9 1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
80
c.
d. e. f. g. h. i. j.
k. 2.
barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu; barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; barang dan/atau jasa tersebut tersedia; barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; barang tersebut berasal dari daerah tertentu; secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa lain; menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap; menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 10 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Pasal 11 Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan; a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat ersembunyi;
81
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pertanggung jawaban produk bermerek Toyota RAV 4 yang memiliki cacat tersembunyi yaitu pada sistem gas dan pengeremannya, produk ini diimpor oleh Importir umum tetapi adanya cacat tersenbunyi pihak importir umum tidak dapat memberikan ganti rugi yang berkaitan dengan penyediaan spareparts, dan melakukan recall atau penarikan kembali karena pihak importir umum hanya bertindak sebagai distributor dari prinsipal bukanlah sebagai agen resmi, sedangkan menurut UndangUndang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan KUH Perdata Importir umum dalam hal ini bertindak sebagai Pelaku Usaha seharusnya dapat melakukan pertanggung jawabanya terhadap konsumen Toyota RAV 4 tersebut. Pihak Importir Umum dalam hal ini tidak dapat melakukan tindakan pertanggung jawabanya untuk melakukan perbaikan terhadap cacat tersembunyi ataupun pemberian pelayanan purna jualnya dan penarikan kembali atau recall produk yang diimpornya yaitu Toyota RAV 4, maka Importir umum juga telah memberikan keuntungan kepada pihak ATPM yaitu dari segi promosi, sehingga konsumen mengetahui produk-produk lainnya dari Toyota yang tidak dipasarkan oleh
82
PT. Toyota Astra Motor dan hal ini otomatis memberi efek fanatisme terhadap konsumen terutama konsumen lama dari produk-produk Toyota. Pelaku usaha dalam hal ini PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM dari merek Toyota dan Importir umum adalah mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan demikian apabila kewajiban tidak dilaksanakan maka semestinya pelaku usaha wajib bertanggung jawab. Berkaitan dengan tanggung jawab Pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, meliputi : 1.
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan /atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Adanya kerusakan barang dan pelayanan kurang memuaskan yang dapat
menimbulkan akibat mengkonsumsi produk barang dan/atau jasa, sehingga harus dipenuhi, diganti, atau diperbaiki. sedangkan kerugian yang diderita konsumen dapat berupa kerugian materi ataupun kerugian yang menyangkut diri. Sehubungan dengan masalah pertanggungjawaban hukum, hal ini berkaitan erat dengan ada atau tidaknya suatu kerugian yang diderita oleh suatu pihak sebagai akibat dalam hubungan konsumen pelaku usaha baik dari penggunaan, pemanfaatan,
83
serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.61 Merujuk pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi : 1. Tanggung jawab ganti kerugian atas keruskan; 2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; 3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. Berdasarkan hal di atas, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.62 Shidarta berpendapat “sejak dahulu menjadi kewajiban produsen untuk menjamin barang yang dijual itu bebas dari cacat. Jaminan ini merupakatan perikatan yang otomatis dibebankan kepada produsen untuk menjamin barang yang dijual itu bebas dari cacat. Jaminan ini merupakan perikatan yang otomatis dibebankan kepada produsen/penyalur produk (penjual) atau debitur.”63 Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
61
Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen. badung : PT. Nusa Media. 2008. hal 14 62 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, halaman 126. 63 Shidarta, 2006. hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : PT. Grafindo. Hal 90.
84
“ Siapapun yang tindakanya merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut, perbuatan yang merugikan dapat lahir karena tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang pada umumnya dikenal dengan istilah wanprestasi) dan sematamata lahir karena suatu perbuatan tersebut.64 Berdasarkan data nomor 1 tentang tanggung jawab, data nomor 2 tentang ATPM, data nomor 3 tentang Importir umum dan data nomor 5 tentang hak dan kewajiban ATPM dan Importir Umum apabila dikaitkan dengan pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta pendapat Shidarta, Gunawan Widjaja, maka dapat dideskripsikan bahwa ATPM Toyota yaitu PT. Toyota Astra Motor dan Importir Umum yang mendatangkan Toyota RAV 4 ke Indonesia adalah belum memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat menerima produk cacat. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen yaitu pasal Pasal 7 sampai dengan Pasal 11. Hal ini didukung oleh adanya kejadian kecelakaan Mobil Toyota RAV 4 yang setelah diselidiki bahwa mobil tersebut adalah memiliki cacat tersembunyi dan diluar negeri telah dilakukan recall atau penarikan kembali. Dalam hal ATPM seharusnya ikut bertanggung jawab walaupun Toyota RAV 4 bukan salah saru katalog dari produk yang dipasarkan oleh PT. Toyota Astra Motor,
64
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama 2000. Hal. 62.
85
karena berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 23 tahun 1998 manjelaskan bahawa : “Agen tunggal pemegang (ATPM) termasuk agen pemegang lisensi perorangan atau badan usaha yang ditunjuk untuk dan atas nama pabrik pemilik merek barang tertentu untuk melakukan penjualan dalam partai besar barang dari pihak tersebut.” Berdasarkan hal tersebut diatas seharusnya PT. Toyota Astara Motor melakukan recall terhadap produk cacat tersebut, karena ATPM lah yang mempunyai hak tersebut dan mampu untuk melakukan hal tersebut karena berhubungan langsung dengan Toyota Motor Co. Jepang dan mempunyai lisensi terhadap merek Toyota di Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat dari Shidarta.
2. Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa Ganti rugi sebagaimana pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundanng-undanngan. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa pemberian ganti rugi dapat berupa pengembalian barang yang setara nilainya dan/atau dapat diberikan sekaligus kepada konsumen.65
65
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. Hal 126.
86
Berdasarkan pada data nomor 5 tentang hak dan kewajiban konsumen, apabila dikaitkan dengan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta dikaitkan dengan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, dapat dideskripsikan seharusnya para konsumen dari Toyota RAV 4 yang memiliki cacat tersembunyi seharusnya mendapat ganti rugi minimal yaitu perbaikan terhadap sistem gasnya yang mengalami cacat tersembunyi, bengkelbengkel resmi ATPM lah yang dapat melakukan hal tersebut, dalam masalah ini seharusnya bengkel resmi ATPM tersebut dapat bekerja sama dengan Importir umum untuk melakukan perbaikan terhadap Toyota RAV yang memiliki cacat tersembunyi tersebut.
3. Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi . Berdasarkan Pasal 1946 KUHPerdata menyebutkan bahwa daluwarsa adalah suatu alat memperoleh sesuatu untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang. Dapat dilihat bahwa tanggung jawab importir atas mobil-mobil CBU (Completey Built Up) atau rakitan langsung luar negeri yang dijualnya mengikat importir tersebut
sebagai “produsen” dari mobil tersebut dan memiliki tanggung jawab atas produk
87
yang dijualnya. Tanggung jawab itu diikuti dengan kewajiban untuk menyediakan suku cadang dan fasilitas purna jual. Jadi Importir memiliki apa yang disebut Product Liability (tanggung jawab produk). Product Liability ini sendiri sebenarnya muncul untuk memberikan tanggung jawab kepada Produsen pembuat barang / penyedia jasa, apabila barang atau jasa yang diberikannya menimbulkan kerugian bagi pihak konsumen. Product liability ini mengharuskan pihak importir selaku produsen dari mobil-mobil CBU (Completey Built Up) memberikan jaminan apabila ada kerugian yang diakibatkan karena adanya cacat yang melekat pada mobil-mobil CBU (Completey Built Up). Pengertian cacat itu sendiri dapat berupa cacat dalam konstruksi, Desain dan/atau pelabelan. Dengan adanya product liability ini secara otomatis membuat importir tidak dapat lepas tangan atas produk yang dijualnya, dengan menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah pihak produsen asli dari mobilmobil CBU (Completey Built Up) tersebut, sehingga menolak untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan memberikan layanan purna jual. 4. Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa pemberian ganti rugi sebagamana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Unsur kesalahan sangat berpengaruh dalam proses penentuan ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha. Pasal 1365 KUHPerdata secara tegas memuat
88
dasar tanggung jawab karena kesalahan atau karena kelalaian seseorang akan tetapi tidak mengatur jangka waktu pembayaran. Menurut Abdul Halim Barkatullah, sanksi pidana adalah sanksi yang dapat dikarenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memungkinkan dilakukanya penuntutan pidana terhadap pelaku dan/atau penngurusnya.66 Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan kata kesalahan, dalam pasal ini menegaskan bahwa tanggung jawab produsen (pelaku usaha) muncul apabila mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk yang diperdagangkan, selain itu dalam pasal ini ditetapkan mengenai jangka waktu pembayaran yaitu 7 hari. Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menegaskan bahwa produsen tidak membayar ganti kerugian dalam batas waktu yang ditentukan. Sikap produsen ini membuka peluang bagi konsumen untuk mengajukan gugatan ke pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). ketentuan lanjutan yang relevan dan signifikan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen adalah rumusan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu “pembuktian terhadap ada tidaknya
66
Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen. badung : PT. Nusa Media. 2008. hal 103
89
unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 22 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 23 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan tanggung jawab pelaku usaha”
Rumusan inilah yang kemudian dikenal dengan
sistem pembuktian terbalik.67 Berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa adanya ganti rugi secara normatif tidak menghapus adanya tuntutan pidana terhadap pelaku usaha karena dalam hal ini pelaku usaha telah melanggar hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dideskripsikan bahwa pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana dari pihak pelanggan yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena dalam kenyataanya selalu dibutuhkan pembuktian terlebih dahulu. Pemberian ganti kerugian seharusnya berupa perbaikan terhadap cacat tersembunyi dan perawatan purna jual serta penyediaan spare parts oleh importir umum yang bekerja sama dengan ATPM. Apabila terbukti terdapat unsur pidana maka konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana.
67
ibid. hal 73.
90
5. Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak belaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebgaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Berdasarkan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman yodo menyatakan bahwa: “berhasil atau tidaknya pelaku usaha membuktikan bersalah tidaknya atas kerugian konsumen, sangat menentukan bebas tidaknya pelaku usaha dari tanggung jawab untuk membayar ganti kerugian terhadap konsumen. Ini berarti bahwa prinsip tanggung jawab yang dianut dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, dengan pembuktian terbalik. Berdasarkan prinsip ini, kedua belah pihak dilindungi, karena prinsip ini memberikan beban kepada masing-masing pihak secara proporsional, yaitu konsumen hanya membuktikan adanya kerugian yang dialami karena akibat mengkonsumsi produk tertentu yang diperoleh atau berasal dari pelaku usaha, sedangkan pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan pihak pelaku usaha yang menyebabkan kerugian konsumen dibebankan kepada pelaku usaha” 68 Berdasarkan penjelasan diatas, data nomor 1 tentang tanggung jawab dan data nomor 5
tentang hak dan kewajiban ATPM dan Importir umum, apabila
dikaitkan dengan Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maka dapat dideskripsikan bahwa prinsip tanggung jawab
68
Ahmadi Miru. Op. Cit. halaman 169
91
yang dianut dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab. Prinsip ini merupakan salah prinsip tanggung jawab berdasarkan pada kesalahan dengan beban pembuktian terbalik. Pemberian ganti rugi yaitu berupa perbaikan terhadap cacat tersembunyi Toyota RAV 4 dan/atau penarikan kembali. jika terbukti terdapat unsur pidana maka konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana, tetapi jika ternyata kesalahan terbukti dari konsumen maka ganti rugi dan tuntutan pidana adalah batal demi hukum.
92
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil simpulan bahwa Importir Umum dan PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM dari merek Toyota adalah belum memenuhi tanggung jawab sebagai pelaku usaha untuk konsumen Toyota RAV 4 sebagai salah satu mobil Built Up Toyota sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut : 1.
Importir Umum selaku pelaku usaha yang mendistribusikan Toyota RAV 4 adalah belum melaksanakan tanggung jawabnya kepada konsumen yang berupa penggantian produk cacat yang diterima oleh konsumen dan mengenai perawatan pada masa purna jualnya.
2. PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM dari merek Toyota tidak bertanggung jawab kepada konsumen yang menggunakan Toyota RAV 4, dengan alasan tidak memproduksinya, padahal berdasarkan perjanjian dengan prinsipalnya yaitu Toyota Motor Co. jepang dan ketentuan dalam Keputusan Menteri Perindustrian No. 23/1998 menjelaskan bahwa ATPM adalah pemegang lisensi dari prinsipalnya dan dapat dengan mudah untuk melakukan hubungan dengan prinsipalnya dalam hal adanya pengadaan spare parts.
93
3. Pemberian ganti kerugian sebagaimana ayat (1) dan ayat (2) Pasal 19 UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana, sebatas pada kerugian konsumen akibat produk yang tidak layak pakai. Jika terbukti terdapat unsur pidana maka konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana. 4. Pemberian ganti rugi hanya sebatas pada kerugian konsumen yang ditimbulkan akibat adanya cacat tersembunyi pada Toyota RAV 4 yang sangat merugikan konsumen. Jika terbukti terdapat unsur pidana maka konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana, tetapi jika ternyata kesalahan terbukti dari konsumen maka ganti rugi dan tuntutan pidana batal demi hukum. Prinsip ini merupakan salah satu prinsip tanggung jawab berdasrkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.
B. Saran Berdasarkan simpulan yang diambil dari penelitian ini maka penulis memberikan saran sebagai berikut : 1. Untuk Pemerintah : diharapkan agar lebih meningkatkan sosialisasi UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehingga masyarakat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban baik sebagai konsumen maupun sebagai pelaku usaha; 2. Untuk pelaku usaha : diharapkan agar ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) maupun Importir umum kendaraan bermotor lebih memperhatikan jaminan purna
94
jualnya apabila akan mendatangkan produk barang dan/atau jasanya yang langsung atau rakitan dari luar negeri sebagai salah satu bentuk pertanggung jawabanya terhadap kosumennya. 3. Untuk konsumen : diharapakan agar masyarakat lebih teliti dalam mengkonsumsi atau menggunakan kendaraan rakitan langsung dari luar negeri, apakah barang dan/atau jasa tersebut telah memiliki jaminan purna jualnya atau tidak.
95
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Literatur: Barkatullah, Abdul Halim. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Nusa Media. Bandung. Brotossusilo, Agus. 1998. makalah : Aspek-Aspek Perlindungan Terhadap Konsumen Dalam sistem Hukum Di Indonesia Dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, Editor Yusuf Sofie. YLKI-USAID. Jakarta. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
H.S., Salim. 2002. Pengantar Hukum Perdata Terulis (BW). Sinar Grafika. Jakarta. Ibrahim, Jhonny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media. Malang. Laporan Hasil Temu Wicara Nasional tentang Penanggulangan Perbuatan Curang, Yogyakarta, 6-7 Oktober 1992
Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Nasution, AZ. 1995. Konsumen dan Hukum. Pustaka Sinara Harapan. Jakarta. Saefullah, H.E. 2000. Tanggung Jawab Produsen (Product Liability) Dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen. CV. Mandar Maju. Bandung.
Subekti, R. 1990. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa. Jakarta.
96
Susilo. P. 2002. Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor.
Shidarta. 2003. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Grasindo. Jakarta. Shofie, Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Suyadi, 2007. Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 1985. Penelitian Hukum Normatif. CV Rajawali. Jakarta. B. Sumber Internet E Mei Amelia R. arsipberita.com 2010 http://www.arsipberita.com/list/regional (8Maret 2010). diakses pada Maret 2011 C. Peraturan Perundang-Undangan: Kitab Undang-Undang Hukum perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
perdagangan
No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan
97
98