BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya angka kesakitan diare dari tahun ke tahun. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insiden naik. Pada tahun 2000 IR (Insidensi Ratio) penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk, kejadian luar biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR (Case Fatality Rate) yang masih tinggi. Case Fatality Rate / angka kefatalan kasus adalah perbandingan antara jumlah kematian terhadap penyakit tertentu yang terjadi dalam 1 tahun dengan jumlah penduduk yang menderita penyakit tersebut pada tahun yang sama. Di Indonesia KLB diare masih sering terjadi dengan jumlah penderita dan kematan yang banyak. Rendahnya cakupan higiene sanitasi dan perilaku yang rendah sering menjadi faktor risiko terjadinya KLB. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74%) (Kemenkes, 2011a). Penanganan diare rawat inap terjadi apabila sebelumnya dengan swamedikasi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kesembuhan. Kebanyakan pasien dengan diare akut mengalami gejala ringan sampai berat, dengan ada/ tidaknya dehidrasi sedang hingga berat, disertai demam tinggi, dan terdapat darah atau lendir dalam tinja, penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya dalam jangka waktu 3–7 hari. Biasanya pasien hanya rawat jalan dengan diberi rehidrasi oral, dengan mengobati simptomatiknya. Dalam kondisi yang buruk, pemulihan 1
2
status kesehatan pasien adalah hasil yang paling penting. Pasien diare yang disertai demam, dehidrasi, BAB (Buang air besar) disertai darah, atau hipotensi memerlukan rawat inap, untuk mendapatkan terapi fluida intravena dan elektrolit, dan terapi antibiotik empiris sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas. Pasien biasanya dapat sembuh dalam beberapa hari, apabila menajemen pengobatannya tepat waktu (Dipiro et al., 2005). Dari data yang telah diambil, dapat dikatakan bahwa bahaya utama diare akut adalah kematian karena tubuh banyak kehilangan air dan garam terlarut (dehidrasi). Salah satu terapi yang digunakan adalah antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional sering kali menjadi masalah pada pelayanan kesehatan. Diare merupakan penyakit yang perlu mendapatkan perhatian khusus, dengan demikian peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui rasionalitas penggunaan terapi diare dan antibiotik pada pasien dewasa usia (2065 tahun) di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014. Penelitian dilakukan pada subjek pasien dewasa yang mendapatkan terapi antibiotik. Dipilih pasien dewasa karena pada orang dewasa lebih banyak melakukan aktivitas diluar akibatnya daya tahan tubuh cepat turun sehingga mudah terkena diare yang biasanya dipengaruhi juga oleh faktor personal higienis, dan lingkungannya. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta, karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit pendidikan dan salah satu rumah sakit terbesar di Surakarta. Berdasarkan rekapitulasi rekam medik Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014 kasus diare menempati peringkat 10 besar. Untuk melaksanakan terapi diare secara komprehensif, efisien dan efektif harus dilakukan secara rasional. Secara umum terapi rasional adalah terapi yang meliputi: 1) tepat indikasi, 2) tepat dosis (meliputi frekuensi dan durasi pemberian obat), 3) tepat obat. (Kemenkes, 2011b).
3
B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah dapat diperoleh rumusan masalah yaitu “bagaimana rasionalitas terapi antibiotik pada pasien dewasa yang menderita diare dibandingkan dengan standar Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th tahun 2009, WGO 2012, dan Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition volume 59, No 1, juli 2014 di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014?”.
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotikterapi pasien yang menderita diare dibandingkan dengan standar Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th tahun 2009, WGO 2012, dan Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition volume 59, No 1, juli 2014 di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014 yang meliputi: tepat obat (antibiotik), tepat dosis (besaran dosis, frekuensi dan durasi pemberian obat).
D. Tinjauan Pustaka 1.
Diare
a.
Pengertian Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan
konsistensi feses selama dan frekuensi buang air besar. Seseorang dikatakan diare bila feses lebih berair dan biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Depkes, 2009). b.
Klasifikasi Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan kepada :
1) Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. 2) Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah. 3) Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. 4) Diare yang disertai dengan malnutrisi berat (Simatupang, 2004).
4
Klasifikasi lain diare berdasarkan organ yang terkena infeksi : 1) Diare infeksi enteral atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus, parasit). 2) Diare infeksi parenteral atau diare infeksi di luar usus (otitis media, infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin dan lainnya) (Inayah, 2006). c.
Penyebab Diare Diare dapat disebabkan oleh hal-hal berikut :
1) Bakteri Escherichia coli dan Shigella merupakan contoh bakteri yang sering menjadi penyebab diare pada anak-anak. Sedangkan Campylobacter adalah bakteri penyebab diare pada orang dewasa. Infeksi biasanya disebabkan karena tempat tinggal yang berdekatan dengan kandang hewan (sapi), terjadi penularan penyakit diare akut berdarah, dan banyaknya unggas di sekitar. Selain dari ketiga bakteri di atas ada juga bakteri penyebab diare yaitu Vibrio cholerae dan Salmonella. Gejala yang terjadi biasanya seperti tinja berair dan berlendir, muntah, dan dehidrasi(Hauora, 2012). 2) Racun Racun penyebab diare adalah racun yang dihasilkan oleh Bacillus cereus, Staphylococci, dan Clostridium botulinum (Hauora, 2012). 3) Bahan kimia (aluminium, zink, besi) (Hauora, 2012). 4) Parasit Parasit
yang
menyebabkan
diare
seperti
Giardia
intestinali,
Cryptosporidium parvum, Entamoeba histolytica, dan Cyclospora cayetanensis. Parasit-parasit ini biasanya menyerang pada anak-anak (WGO, 2012). 5) Virus Virus merupakan penyebab utama terjadinya diare akut yang biasanya terjadi pada musim-musim tertentu. Rotavirus merupakan virus penyebab diare dengan dehidrasi (WGO, 2012).
5
d. Gejala Diare Tanda dan gejala diare yaitu adanya darah, lendir, atau bau tidak enak pada kotoran, frekuensi BAB meningkat tiba-tiba. Sedangkan tanda bahaya diare yang harus diwaspadai yaitu nyeri perut terus menerus >6 jam atau lebih, muntah berulang >12 jam, menolak minum, mata cekung, tidak buang air kecil > 6 jam, menangis tanpa air mata, popok tidak basah selama 8 jam (pada bayi), ubun-ubun cekung, mulut kering, kulit kering dan demam. Diare yang terus berkelanjutan akan menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan cairan yang dapat berakibat kematian terutama pada anak/bayi bila tidak segera diatasi. Hal ini disebabkan karena banyak cairan tubuh yang dikeluarkan pada saat diare (BPOM RI, 2008). Bila seseorang telah banyak kehilangan air dan elektrolit, maka terjadilah dehidrasi, berat badan menurun, turgor kulit berkurang, dan ubun-ubun besar menjadi cekung (pada bayi), turgor kulit berkurang, selaput lendir pada bibir, mulut serta kulit tampak terlihat kering dan bisa juga terjadi kram abdomen (Suraatmaja, 2007). e. Penatalaksanaan Diare Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare pada anak maupun pada dewasa baik yang rawat inap maupun yang rawat jalan, yaitu: 1) Pemberian cairan atau rehidrasi Pada pasien diare yang harus diperhatikan adalah terjadinya kekurangan cairan atau dehidrasi. Untuk mengatasi diare maka diberikan Oralit untuk mencegah kekurangan cairan tubuh bukan untuk menghentikan diare dengan aturan pemakaiannya sesuai dengan kondisi pasien misalnya diare tanpa dehidrasi dibanding diare dengan dehidrasi akan berbeda aturan pemakaiannya. Adsorben atau obat pembentuk massa (norit / karbo adsorben) diberikan untuk mengurangi frekuensi buang air besar, memadatkan tinja dan pemakaiannya tetap dikombinasikan dengan oralit; diberikan zink dengan dosis 125 mg (1-3 kali sehari) selama 10 hari berturut-turut (Depkes RI, 2006).
6
2) Pemberian Zink Zink diberikan untuk mengurangi lama dan beratnya diare. Penggunaan zink ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zink pada pasien diare dapat meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang akan mempercepat pembersihan patogen dari usus (Juffrie, 2011). Menurut Depkes (2008) dan penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa zink mempunyai efek protektif terhadap diare dan menurunkan kekambuhan diare sebanyak 11% dan menurut hasil studi menunjukkan bahwa zink mempunyai tingkat keberhasilan terapi sebesar 67%. Untuk anak diberikan zink dengan dosis 20 mg selama 10 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zink diberikan dengan dosis 10 mg, tablet zink dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak yang lebih besar, zink dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit. 3) Pengobatan dietetik dan pemberian ASI Pengobatan dietetik adalah dengan pemberian makanan dan minuman khusus kepada penderita diare dengan tujuan penyembuhan dan menjaga kesehatan. Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah untuk anak dibawah satu tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanan yang diberikan adalah memberikan ASI dan susu formula yang mengandung laktosa rendah dan asam lemak tidak jenuh misalnya LLM (Low lactose milk), makanan setengah padat (bubur, makanan padat nasi tim). Memberikan bahan yang mengandung kalori, protein, vitamin, mineral dan makanan yang bersih.(Juffrie, 2011). 4) Pengobatan kausal Pengobatan yang cepat dan tepat untuk kausa diare diberikan setelah diketahui patogen penyebabnya secara pasti. Seharusnya Antibiotik baru boleh diberikan kalau pada saat pemeriksaan ditemukan bakteri patogen. Karena proses pemeriksaan untuk menemukan bakteri ini kadang-kadang ada kesulitan atau
7
pemeriksaan hasil datang terlambat, antibiotik dapat diberikan dengan pertimbangan melihat umur penderita, perjalanan penyakit, dan sebagainya. 5) Pengobatan simtomatik Pemberian obat anti diare bertujuan untuk menghentikan diare secara cepat seperti antispasmodik. 2.
Antibiotik Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan
jamur (Sutedjo, 2008), yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme (Tjay dan Rahardja, 2007). Dilihat dari luas aktivitasnya, antibiotik dikategorikan menjadi dua kelompok: a. Antibiotik narrow-spectrum (aktivitas sempit) Obat-obat ini hanya aktif terhadap bakteri tertentu saja, seperti Penisilin-G dan Penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin, dan asam fusidat. Antibiotik tersebut hanya bekerja terhadap bakteri Gram positif. Sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap bakteri Gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007). b. Antibiotik broad-spectrum (aktivitas luas) Antibiotik ini lebih banyak bekerja terhadap bakteri Gram positif dan bakteri gram negatif, seperti sulfonamida, ampisilin, sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin (Tjay dan Rahardja, 2007). Secara garis besar antimikroba dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 1) Bakterisid Bakterisid bersifat membunuh kuman penyakit. Contoh antibiotik yang termasuk dalam golongan ini yaitu penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain (Utami, 2012). 2) Bakteriostatik Bakteriostatik
sifatnya
menghambat
pertumbuhan
kuman
penyakit.
Penggunaan antibiotik golongan ini yaitu sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol,
8
trimetoprim, eritromisin, linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain (Utami, 2012). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase), basitrasin, dan vankomisin. b. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein, seperti aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritomisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin. c. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya trimetoprim dan sulfonamid. d. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon dan nutrofurantoin (Kemenkes RI, 2011c). Prinsip terapi penggunaan antibiotik dibagi menjadi dua, yaitu: a. Terapi empiris Terapi empiris biasanya digunakan pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuannya adalah untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi sebelum diketahui hasil pemeriksaan laboratoriumnya (Kemenkes RI, 2011c). b. Terapi definitif Terapi definitif digunakan pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuannya untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri berdasarkan pemeriksaan laboratoriumnya (Kemenkes RI, 2011c). 3. Penggunaan Antibiotik pada Diare Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik diindikasikan pada: pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi, lingkungan, persisten atau penyelamatan
9
jiwa untuk yang menderita diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman (Zein, 2004). Penggunaan antibiotik banyak digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Ditemukan 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat kepada pasien yang sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik. Penggunaan antibiotik yang cukup sering menyebabkan resistensi bakteri (Kemenkes RI, 2011). Resistensi bakteri dapat disebabkan karena penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, dosis yang tidak tepat, atau penyalahgunaan antibiotik (Kemenkes RI, 2011). Pada orang dewasa, manfaat klinis dari pengobatan harus pertimbangkan terhadap biaya, resiko terhadap efek samping, penggunaan antibiotik perlu dipertimbangkan karena seringkali dapat merusak flora baik di usus, dan peningkatan resistensi antimikroba. Anti mikroba dianggap sebagai obat pilihan untuk pengobatan diare secara empiris dan secara sekretori yang diperoleh ketika patogen sudah diketahui (WGO, 2008). Terapi antibiotik yang tepat memperpendek durasi penyakit dan mengurangi morbiditas di beberapa bakteri (kolera, enterotoksigenik E. coli, shigellosis, kampilobakteriosis, yersiniosis) infeksi dan dapat menyelamatkan nyawa dalam serangan infeksi (C. difficile, salmonellosis). Pengobatan antibiotik juga mengurangi durasi dan penumpahan organisme pada infeksi dengan spesies Shigella rentan dan kemungkinan infeksi dengan spesies Campylobacter rentan. Tabel 1. Antibiotik yang digunakan untuk mengobati diare karena infeksi Patogen Vibrio cholera O1 atau O139
Enteroxigenic E. Coli Clostridium difficile
Obat Pilihan Pertama Obat Alternatif Enteroxigenic (seperti: Cholera) Diare Doxycline 300 mg p.o 1x sehari, tetracycline Cloramphenicol 50 mg/kg i.v setiap 6 500 mg p.o 4 jam sekali selama 3 hari, atau jam sekali, erythromycin 250-500 mg trimethoprim-sulfamethoxazole DS (double p.o setiap 6-8 jam dan furazolidone strenght) tablet 2x sehari selama 3 hari, norfloxacin 400 mg p.o 2x sehari selama 3 hari, atau ciprofloxacin 500 mg p.0 2x sehari selama 3 hari atau 1 g p.o 1x sehari Norfloxacin 400 mg atau ciprofloxacin 500 mg Trimethoprim-sulfametoxazole DS 2 x sehari selama 3 hari (double strenght) methoxazole tablet setiap 12 jam Metronidazole 250 mg 4x sehari dan 500 mg 3x Vancomycin 125 mg p.o 4x sehari sehari selama 10 hari selama 10 hari, bacitracin 20.000-
10
Lanjutan Tabel 1 Patogen
Shigella
Salmonella 1. Nontyphoidal
Obat Pilihan Pertama
Obat Alternatif 25.000 unit untuk 4x sehari selama 710 hari Invasive (seperti: Disentri) Diare Trimethoprim-sulfametoxazole DS (double Ofloxacin 300 mg, norfloxacin 400 mg strenght) 2x sehari atau ciprofloxacin 500 mg 2x sehari selama 3-5 hari selama 3 hari, atau nalidixic acid 1 g/hari selama 5 hari; azithromycin 500 mg p.o 1x sehari, kemudian 250 mg p.o 1x sehari selama 4 hari. Trimethoprim-sulfametoxazole DS (double strenght) 2x, ofloxacin 300mg, norfloxacin 400 mg, or ciprofloxacin 500 mg 2x sehari selama 5 hari; atau ceftriaxone 2 g i.v sehari atau cefotaxime 2 g i.v 3x sehari selama 5 hari.
Azithromycin 1000 mg p.o 1x sehari, dilanjutkan dengan 500 mg oral 1x sehari selama 6 hari
2. Enteric fever
Ciprofloxacin 500 mg p.o 2x sehari selama 314 hari (ofloxacin dan pefloxacin efektifitasnya sama)
3. Campylobacter
Erythromycin 500 mg oral 2x sehari selama 5 hari; azithromycin 1000 mg p.o 1x sehari dilanjutkan dengan 500 mg/hari atau clarithromycin 500 mg p.o 2x sehari Terapi kombinasi dengan doxycycline, aminoglycosides, trimethoprim-sulfomethoxazole, atau floroquinolone
Azithromycin 1000 mg p.o 1x sehari, dilanjutkan dengan 500 mg 1x sehari selama 5 hari, atau cefixime, cefotaxime, dan Cefuroxime; atau chloramphenicol 500 mg 4x sehari p.o atau i.v selama 14 hari Ciprofloxacin 500 mg atau norfloxacin 400 mg/hari 2x sehari selama 5 hari
4. Yersinia
Treveller Diare Prophylaxis
Treatment
Norfloxacin 400 mg atau ciprofloxacin 500 mg p.o/hari (di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan) trimethoprimsulfamethoxazole DS (double strenght) tablet p.o 1x sehari (Mexico)
Rifaximin 200 mg 1 -3 x sehari, selama 2 minggu
Rifaximin 200 mg 3 x sehari atau 400 mg 2 x sehari selama 3 hari
Norfloxacin 400 mg atau ciprofloxacin 500 mg p.o 2x sehari selama 3 hari atau trimethoprimsulfamethoxazole DS (double strenght) tablet oral 2x sehari selama 3 hari (Mexico) atau azithromicin 500 mg oral 1x sehari selama 3 hari (hanya untuk area yang memiliki pravalensi tinggi terhadap resisten quinolone-campylobacter, seperti di Thailand)
(Dipiro et al, 2009)
11
Menurut WGO 2012, pedoman pemilihan antibiotik untuk pengobatan penyebab spesifik dari diare. Tabel 2. Pedoman pemilihan antibiotik menurut WGO Penyebab Cholera
Antibiotik pilihan utama Alternatif (s) Doxycycline Dewasa: 300 mg sekali Anak: 2 mg/kg (tidak disarankan) Azythromycin Dewasa : 1 g dosis tunggal, 1 x sehari Anak: 20 mg/kg dosis tunggal
Shigellosis*
Ciprofloxacin Dewasa: 500 mg 2xsehari selama 3 hari atau 2 g dosis tunggal 1 x sehari Anak(usia > 18 tahun): 15 mg/kg 2 xsehari selama 3 hari Ciprofloxacin Dewasa: 500 mg 2xsehari selama 3 hari Anak: 15 mg/kg setiap 12 jam selama 3 hari Pivmecillinam Dewasa: 400 mg 4x sehari selama 5 hari Anak: 20 mg/kg 4xsehari selama 5 hari
Amebiasis-invasive intestinal
Giardia
Campylobacter
Ceftriaxon Dewasa: 2-4 g 1 x sehari (dosis sehari) selama 2-5 hari Anak: 50-100 mg/kg 1 x sehari i.m selama 2-5 hari Metronidazole Dewasa: 750 mg 3x sehari Anak: 10 mg/kg 3xsehari selama 5 hari * 10 hari untuk kasus berat Metronidazole Dewasa: 250 mg 3x sehari selama 5 hari Anak: 5 mg/kg 3xsehari selama 5 hari Tinidazole Dapat juga diberikan dalam dosis tunggal 50 mg/kg – 2 g p.o Omidazole Dapat digunakan sesuai dengan rekomendasi pabrikan, dosis tunggal 2 g. Secnidazole Untuk dewasa (Tidak disediakan di USA) Azythromycin Dewasa : 1 g dosis tunggal, 1 x sehari Anak: 20 mg/kg dosis tunggal Fluoroquinolon seperti ciprofloxacin Dewasa: 500 mg 1 x sehari selama 3 hari
(WGO, 2012) Tabel 3. Terapi Antibiotik Untuk Bakteri Gastroenteritis Patogen Shigella spp
Indikasi Untuk Terapi Antibiotik Terbukti atau diduga shiggellosis
Obat Pilihan*
Obat Alternatif
Oral: Azithromycin (12 mg/kg sehari, dilanjutkan dengan 6 mg/kg selama 4
Cefixime (8 mg/kg/hari); ciprofloxacin PO (20-30 mg.kg/hari). Untuk strain rentan diketahui: TMP/SMX§ (8 mg/kg/hari
12
Lanjutan Tabel 3 Patogen
Indikasi Untuk Terapi Antibiotik
Obat Pilihan*
Obat Alternatif
hari); parenteral, IV, IM: ceftriaxone (50 mg/kg selama 2-5 hari) ceftriaxone (50100 mg/kg selama 2-5 hari)
dari TMP) atau ampicillin (100 mg/kg/hari) atau asam nalidiksat (55 mg/kg/hari) Azithromycin (10 mg/kg sehari); ciprofloxacin‡PO (20-30 mg.kg/hari); Untuk strain rentan diketahui: TMP/SMX∞ (8 mg/kg/hari dari TMP)
Salmonella spp (Nontyphoidal)
Terapi antibiotik diindikasikan hanya untuk anak-anak∞ berisiko tinggi untuk mengurangi risiko bakteremia dan infeksi fokal ekstraintestinal
Campylobacter spp
Terapi antibiotik yang direkomendasikan utamanya untuk gastroenteritis disentri Campylobacter dan penggunaan paling efektif dimulai dalam waktu 3 hari setelah onset penyakit Terapi antibiotik tidak direkomendasikan Terapi antibiotik yang direkomendasikan terutama untuk traveller diare
Azithromycin (10 mg/kg sehari selama 3 hari atau dosis tunggal 30 mg/kg)
Doxycycline (>8 tahun) atau ciprofloxacin (>17 tahun ketika rentan)
-
-
Azithromycin (10 mg/kg sehari selama 3 hari)
Vibrio Cholerae
Terapi antibiotik dianjurkan untuk konfirmasi atau dugaan terhadap kasus dilihat dari riwayat perjalanan penyakit
Azithromycin (10 mg/kg sehari selama 3 hari atau dosis tunggal 20 mg/kg)
Cefixime (8 mg/kg/hari); TMP/SMX∞ (8 mg/kg/hari dari TMP); ciprofloxacin∞ PO (20-30 mg.kg/hari); rifaximin (>12 tahun, 600 mg/hari selama 3 hari) Doxycycline (>8 tahun) atau ciprofloxacin (>17 tahun), atau TMP/SMX (ketika rentan)
Clostridium difficile
Terapi antibiotik dianjurkan untuk kasus sedang dan berat
Metronidazole (30 mg/kg/hari selama 10 hari)
Shiga toxin-producing Escherichia coli Enterotocigenic; Escherichia coli
Vancomycin PO (40 mg/kg/hari)
Catatan: PO= per os *Tergantung pada kerentanan profile lokal antibiotik yang harus dipantau . §TMP/SMX, trimethoprim-sulfamethoxazole ‡Ciprofloxacin biasanya tidak direkomendasikan untuk kelompok usia pediatrik, tapi dapat digunakan untuk anak-anak usia >17 tahun ketika obat alternatif tidak layak. ∞Lihat teks
(Guarino et al, 2014) 4. Rasionalitas Pengobatan Penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Tepat diagnosis Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
13
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. b. Tepat indikasi penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri. c. Tepat pemilihan obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. d. Tepat dosis Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. e. Tepat cara pemberian Sebagai contoh, obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan kompleks, sehingga menjadi sulit diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya. f. Tepat interval waktu pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam. g. Tepat lama pemberian Sebagai contoh, untuk tuberkulosis dan kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
14
h.
Waspada terhadap efek samping : pemberian obat potensial menimbulkan efeksamping, yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, misalnya, muka menjadi merah setelah pemberian atropinbukan karena alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah.
i. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu yang terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsenyang menerapkan CPOB (Cara pembuatan obat yang baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB. j.
Tepat informasi Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi. Sebagai contoh : peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (course of treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat dalam darah berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit. k.
Tepat tindak lanjut (follow-up) Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping (side effect). l. Tepat penyerahan obat (dispensing) Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai kosumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang telah dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan pada
15
pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana seharusnya. Dalam menyerahkan obat petugas juga memberikan informasi yang tepat kepada pasien. m. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut : 1) Jenis dan atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak. 2) Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering. 3) Jenis sediaan obat terlalu beragam. 4) Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi. 5) Pasien tidak mendapatkan informasi atau penjelasan yang cukup mengenai cara minum atau cara menggunakan obat. 6) Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampicin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu (Kemenkes, 2011b).