1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu karya seni Bangsa Indonesia yang sangat terkenal dari dulu hingga saat ini adalah kesenian wayang kulit purwa. Menurut Soetarno (2004 : 1), ”wayang kulit purwa merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat populer dan disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat”. Wayang kulit purwa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang terkenal luas karena ketiggian nilai seninya, tidak mengherankan bila banyak orang yang kagum. Menurut A. Kardiyat Wiharyanto (2009), ”karena begitu terkenal hingga orang menyebut wayang kulit purwa sebagai budaya yang adi luhung”. Kalangan yang kagum dengan wayang kulit purwa tidak terbatas pada orang-orang jawa sendiri sebagai pendukung fanatik, tetapi melampaui tempat yang secara geografis jauh dari Indonesia. Beberapa orang dari mancanegara bahkan mengagumi wayang kulit purwa sebagai budaya yang spektakuler keindahanya, rumit sekaligus kompleks. Budayawan barat menyebut wayang kulit purwa sebagai ”the most complecx and sophisticated theatrical form in the world” (Bambang Harsrinuksmo, 1999 : 21). Banyak orang dari luar negeri yang menaruh perhatian besar terhadap kesenian wayang kulit purwa, karena begitu tertarik, mereka menjadikan wayang kulit sebagai objek untuk studi ilmiah, bahkan hasil penelitian dari orang asing tersebut ditulis dalam bentuk buku dan hasilnya banyak dijadikan reverensi orang-orang Indonesia. Peneliti dari luar negeri tersebut antara lain Hazeu, Rassers dan James R. Brandon (Bambang Harsrinuksmo, 1999 : 22, 29). Ironisnya, ketika budaya Indonesia banyak dilirik oleh orang dari mancanegara, tetapi justru orang pribumi sendiri terkesan tidak peduli. ”Wayang semakin diminati negara-negara barat, sedangkan pemiliknya (orang Indonesia) justru mencampakkanya” (A Kardiyat Wiharyanto, 2009). Wayang kulit justru kurang mendapat ruang yang memadai sebagai seni budaya yang adi luhing.
2
Wayang kulit merupakan bentuk tradisi budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam jangka waktu yang relatif lama. Makna kata tradisi dapat dilacak dari pendapat Shils yang dikutip oleh Sztompka, yang mendefinisikan tradisi sebagai ”segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini” (Shils dalam Sztompka, 2005 : 70). Menurut Sztompka kriteria tradisi dapat lebih dibatasi dengan mempersempit cakupannya. Sztompka berpendapat bahwa dalam pengertian yang lebih sempit, tradisi hanya berarti bagian-bagian warisan sosial budaya khusus yang memenuhi syarat, yakni yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang masih kuat ikatannya dengan kehidupan masa kini, dalam hal ini tradisi bisa berupa benda materiil maupun dalam bentuk gagasan yang bersifat abstrak. Sztompka (2005 : 70) menuturkan lebih detail seperti dikutip berikut ini: ... Benda materiil ... Bangunan istana, tembok kota abad pertengahan, candi, puing kuno, kereta kencana, model mobil ford T yang mula-mula serta sejumlah besar benda peninggalan lainnya .... Dilihat dari aspek gagasan (termasuk keyakinan, kepercayaan, simbul, norma, nilai, aturan dan ideologi) .... gagasan kuno mengenai demokrasi, keadilan, kebebasan dan juga mitos, asal-usul kebangsaan, kenangan tentang keagungan dan kejayaan negara di masa lalu, teknik pedukunan dan resep masakan kunomerupakan contoh pertama tradisi yang muncul dalam pikiran. Termasuk pula benda atau gagasan baru yang diyakini berasal dari masa lalu dan yang diperlukan secara khidmad. Dalam hal ini kita berhadapan dengan tradisi yang dibuat atau diciptakan kemudian .... Kesenian wayang kulit tidak hanya berdiri secara fisik dalam bentuk obyek materiil. Wayang kulit berdiri dalam dua sisi sekaligus yakni pertama, wayang kulit sebagai benda materiil dan yang kedua wayang kulit yang didalamnya tersirat suatu sistem nilai. Wayang kulit sebagai wujud kebendaan ia menunjuk pada eksistensi obyek yang nampak secara inderawi, sedangkan wayang kulit dalam sistem nilai, bukan lagi wayang kulit sebagai bentuk materiil tetapi berkaitan dengan konsepsi nilai yang bersifat abstrak terhadap suatu karya seni yang bisa dirasakan keberadaanya melalui jalan menelaah, pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai yang ada di dalamnya. Inilah konsepsi abstrak dari wayang kulit purwa.
3
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa wayang kulit diciptakan bukan tanpa alasan, tentu ada maksud dibalik penciptaanya. Sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut diimplisitkan seperangkat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Seperangkat nilai inilah yang nantinya dijadikan landasan gerak manusia, sebagai titik tolak, sekaligus sebagai penuntun arah agar tidak tersesat dan bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Melalui komunikasi secara tidak langsung, sang dalang memaparkan pesan-pesan nilai yang terkandung dalam setiap tahapan lakon (cerita). Menurut Brandon dalam Soetarno (2004 : 161), ”tujuan utama dari seni adalah komunikasi, baik berupa lukisan, musik, tari, teater”. Benda seni yang merupakan benda mati tidak bisa berkomunikasi secara langsung dengan bahasa yang verbal. Benda seni berkomunikasi lewat pesan yang belum terungkap yang melekat pada diri obyek seni. Isi pesan inilah unsur penting dalam komunikasi, dalam konteks ini, wayang juga di desain mirip dengan prinsip komunikasi seperti telah dijelaskan di atas. Wayang dibuat karena ada isi pesan yang harus disampaikan dan harus disebar ke khalayak umum. Isi pesan ini tersirat dalam konsepsi nilai yang terkandung dalam setiap lakon cerita. Konsepsi nilai inilah yang akan disampaikan dalang dalam pertunjukan wayang kulit. Dalang sebagai penyampai pesan hendak berkomunikasi dengan penonton baik secara langsung maupun tidak langsug. Pertunjukan wayang mengandung bermacam-macam fungsi. R. Firt dalam Soetarno (2004 : 161), menyatakan bahwa seni pertunjukan memiliki delapan fungsi, yakni: ”sebagai sarana kepuasan batin, sebagai sarana bersantai dan hiburan, sebagai sarana ungkapan jati diri, sebagai sarana integratif dan pemersatu, sebagai penyembuhan, sebagai sarana pendidikan, sebagai integrasi pada massa kacau dan sebagai lambang penuh makna dan mengandung kekuatan”. Seni adalah alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Seni yang bertujuan menyenangkan banyak orang berarti seni dipakai sebagai sarana atau alat untuk menghibur.
4
Menurut Soetarno (2004 : 161-162) diera globalisasi seperti saat ini seni pertunjukan wayang kulit memiliki empat fungsi, yakni: ”sebagai sarana penerangan dan pendidikan, sarana refleksi nilai-nilai estetis atau aktivitas estetis, merupakan refleksi dari pola-pola ekonomi sebagai sarana untuk mencari nafkah, atau merupakan aktuvitas ekonomi dan sebagai hiburan sosial”. Penjelasan dari keempat fungsi tersebut seperti diuraikan di bawah ini: 1. Sarana pendidikan dan penerangan. Dikalangan masyarakat jawa, pertunjukan wayang berfungsi sebagai sarana pendidikan dan penerangan, karena pada kenyataanya pertunjukan wayang merupakan sarana komunikasi yang efektif antara dalang dan penonton. Dalang
sebagai
sutradara
dalam
pertunjukan
memiliki
keleluasaan
mengarahkan pembicaraan pada masalah-masalah yang ada kaitanya dengan konsepsi pendidikan, baik pendidikan budi pekerti, pendidikan bela negara, rasa nasionalisme, pendidikan moral dan lain sebagainya. Wayang selain sebagai sarana pendidikan juga berfungsi sebagai sarana penerangan dan sarana sosialisasi kebudayaan. 2. Refleksi nilai-nilai estetis Pertunjukan wayang kulit sangat kental dengan nilai-nilai estetik, namun demikian seiring perkembangan zaman, pertunjukan wayang kulit sebagai refleksi nilai-nilai estetis seakan luntur dan mulai memudar. Dalang diharuskan terus menerus berbuat hal-hal yang baru atau kejutan, untuk memenuhi keinginan selera penonton dan mereka tidak lagi bebas untuk menggarap pakeliran atau lakon wayang yang dianggap baik menurut kaidahkaidah kesenian. 3. Refleksi pola ekonomi Seni pertunjukan wayang kulit dewasa ini menjadi sarana untuk mencari nafkah. Hal ini seiring dengan pergeseran zaman yang mengakibatkan motif orang mendalami wayang kulit menjadi bervariasi dari pertimbangan beberapa sudut pandang, ada yang dengan pertimbangan melestarikan budaya, ada yang
5
dengan pertimbangan hobi, estetika dan ada yang karena faktor ekonomi yakni wayang kulit sebagai media untuk mencari nafkah. 4. Hiburan sosial Menonton wayang dapat digunakan sebagai media menghibur diri dan mencari suasana baru. Seperti telah dijelaskan di atas, wayang kulit purwa memiliki konsepsi nilai-nilai yang terdapat disetiap alur cerita. Menurut Bambang Harsrinuksmo (1999 : 21-22), ”wayang kulit purwa mengandung tiga sistem nilai yakni nilai etika, nilai estetika dan nilai falsafah”. Penjelasan dari ketiga nilai tersebut adalah sebagai berikut: 1. Nilai Estetika Pertunjukan wayang kulit merupakan gabungan dari beberapa kesenian yang amat kompleks, beberapa kesenian ini menyatu menjadi satu kesatuan sehingga menjadi paduan yang selaras dan serasi. Kesenian yang terkandung dalam pertunjukan wayang kulit purwa meliputi seni rupa, seni drama, seni suara, seni karawitan dan sastra. Tidak mengherankan bila seorang dalang atau sutradara dalam pementasan wayang bukan sembarang orang, dalang adalah orang yang memiliki kemampuan ganda, oleh karena itu, tidak semua orang bisa menjadi dalang yang mumpuni (kompeten). Dalang yang mumpuni (kompeten) adalah dalang yang mampu menguasai beberapa kesenian tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Seni rupa dalam wayang bisa diamati dari perwujudan wayang secara lahiriah (visual). Wayang merupakan seni rupa yang sangat kompleks keindahannya, hal ini nampak dari tatahan dan sunggingan wayang yang begitu rumit, dari penampakan luar ini wayang menjadi nampak indah yang sukar dicari persamaanya. Wayang juga kaya akan seni drama, dalam satu pementasan sesungguhnya terdiri dari bagian-bagian percakapan yang membentuk rangkaian cerita yang utuh layaknya pementasan derama. Perbincangan antar tokoh dan perwatakan merupakan tugas utama dalang untuk mendramatisir agar wayang menjadi seolah-olah hidup. Seni suara tercermin dari kompaknya
6
suara dalang, suara gamelan, suara pesinden, suara niyaga dan suara gerong untuk membentuk suatu kompossisi suara yang padu. Suara-suara tersebut saling mengisi dan melengkapi sehingga menjadi perpaduan yang indah. Seni karawitan ditunjukkan bagaimana rumitnya para niyaga (penabuh gamelan) mengiringi jalanya cerita dengan komposisi musik yang padu. Seni sastra tergambarkan melalui dalang yang membuat narasi cerita, berakting sesuai sifat dan watak masing-masing wayang sekaligus memaparkan pesanpesan keutamaan hidup lewat tokoh wayang dan sebagainya. Gabungan beberapa seni ini tergabung menjadi satu kesatuan yang utuh, sehingga dalam satu kali pertunjukan wayang kulit bisa dinikmati pentas seni yang indah, rumit dan kompleks, jadilah wayang kulit menjadi pertunjukan yang adi luhung. 2. Nilai Etika Pertunjukan wayang banyak menyampaikan pesan melalui percakapan para tokoh wayang, dari percakapan inilah dalang memaparkan secara detail dan mendalam apa pesan-pesan moral sesuai karakter masing-masing tokoh. Wayang menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh, ada tokoh yang berperilaku baik dan ada tokoh yang berperilaku buruk. Ajaran baik dan buruk merupakan nilai etika yang juga terdapat dalam wayang. 3. Nilai Falsafah Wayang berfungsi sebagai tontonan (media huburan) sekaligus sebagai tuntunan bagi para penonton. Melalui tangan dalang, pesan-pesan mengenai falsafah hidup dieksplorasi (diudal). Idealnya, seseorang yang selesai menyaksikan pertunjukan wayang akan mengalami proses pembelajaran, karena selain menyaksikan nilai hiburan secara estetis, pertunjukan wayang juga menyebarkan nilai etika dan nilai falsafah. Penonton yang secara seksama menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit, idealnya akan mengalami proses kematanga jiwa karena selain menerima hiburan juga menerima ajaran dalam bentuk nilai fassafah dan nilai etika.
7
Dibalik keagungan nilai seni yang terkandung dalam wayang kulit purwa, saat ini wayang terancam eksistensinya. Menurut sumber dari Suaramerdeka, ”(wayang kulit sebagai) budaya adi luhung yang didalamnya terkandung berbagai konsepsi nilai tersebut, saat ini diujung kepunahan” (Suaramerdeka, 2008). Globalisasi, pesatnya perkembangan teknologi dan membanjirnya arus informasi, telah melahirkan banyak alternatif pilihan hiburan dari berbagai belahan dunia. Masyarakat disodori banyak alternatif pilihan hiburan sesuai dengan seleranya masing-masing. Saat ini, wayang kulit purwa hanya merupakan satu bagian dari banyak pilihan hiburan, akibatnya wayang kulit kini hanya sekedar hiasan. Disisi lain, sejarah peradaban manusia menunjukkan kenyataan bahwa, tidak ada satu kebudayaanpun yang bersifat statis, kebudayaan selalu berkembang dan berubah. Menurut Mudji Sutrisno, (2005 : 7), ”Orang dengan alam pikir, rasa, karsa dan cipta, kebutuhan dan tantangan yang mengalami perubahan, serta budayapun ikut berubah”. Uraian tersebut menyiratkan bahwa di dunia ini tidak ada budaya yang statis, tidak terkecuali wayang kulit purwa, walaupun wayang kulit purwa pernah mengalami masa kejayaan yang ditengarai dengan banyaknya orang yang mengerti tentang wayang kulit baik yang hanya sekedar menjadi penggemar, penonton, pengagum dan yang lebih tinggi tingkatanya mereka yang sampai mengaplikasikan kedalaman nilai ajaran-ajaranya. Hal ini bukan jaminan suatu kebudayaan akan kekal dianut oleh umat manusia untuk selama-lamanya. Relevan dengan fakta di atas, mengacu pada uraian Sztompka (2005 : 70), wayang kulit merupakan bagian dari tradisi, ia berpendapat bahwa ”tradisi tidak kekal”. Pendapat Sztompka menarik untuk dicermati dan bisa dikorelasikan dengan kesenian wayang kulit purwa saat ini. Tradisi sewaktu-waktu bisa tidak berpengikut dan akhirnya menjadi punah, hal ini menurut Sztompka, ”rakyat mungkin bosan atau kecewa terhadap tradisi tetrentu sehingga secara bertahab atau tiba-tiba masyarakat atau pengikut tradisi tersebut meninggalkannya”. Mengacu pada pendapat Sztompka di atas, wayang kulit dalam perkembanganya bisa ditinggalkan oleh masyarakat pengagusungnya. Bentuk
8
meninggalkan kebudayaan tidak hanya dimaknai sebagai suatu tindakan terangterangan dalam arti yang fulgar meninggalkan secara totalitas dalam tempo yang spontan. Menurut Saifur Rohman (2009), ia berpendapat bahwa meninggalkan kebudayaan bisa dalam bentuk semu dengan cara ”membangun seperangkat gagasan
yang abstrak yang tercermin dalam paradigma suatu masyarakat,
misalnya orang yang selalu menganggap masakan Indonesia sebagai masakan tradisional dan masakan barat dianggap sebagai masakan modern”. Anggapan ini selalu menempatkan budaya sendiri sebagai budaya yang kalah, bila paradigma seperti ini yang mendominasi, maka paradigma ini secara otomatis akan menjadi kebenaran, walaupun tanpa perintah, masyarakat secara otomatis akan mengiyakan anggapan tersebut dan diterima sebagai suatu kebenaran. Paradigma demikian akan menggiring opini bahwa budaya minoritas harus menyesuaikan dengan budaya mayoritas. Anggapan yang menganggap budaya barat sebagai budaya modern, eksklusif, well educated, civilized, menurut perspektif Antonio Gramsci dalam Saifur Rohman ( 2009) itulah yang dimaksud sebagai ”identitas dominan yang menentukan atas nilai-nilai budaya lain”. Jika budaya lain tidak sama, maka yang minoritas harus mengikuti budaya dominan. Ketidaksamaan dengan budaya dominan akan dicap sebagai budaya yang primitif, statis dan tradisional. Hadirnya globalisasi, pesatnya perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi menyebabkan wayang oleh sebagian orang dianggap sebagai budaya lokal, budaya tradisional dan budaya marjinal. Bila anggapan ini menjadi kecenderungan (trend), maka lama-kelamaan kesenian wayang kulit purwa akan semakin terkikis, dilemahkan posisinya dan akhirnya bisa mengalami kepunahan atau paling tidak menjadi budaya yang dianggap marjinal yang kehilangan pengaruh dan kewibawaan. Masyarakat secara terang-terangan maupun secara semu mulai melirik budaya dominan yaitu budaya orang lain, sedangkan budaya kita sendiri (budaya Indonesia) yang kita anggap sebagai budaya minoritas akan terancam ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Suatu kebudayaan bila tidak ada masyarakat pendukungnya maka kebudayaan tersebut dipastikan akan
9
mengalami kepunahan, termasuk kesenian wayang kulit purwa juga bisa mengalami hal yang sama. Menurut Nyi WS (W/WS/25/05/09), pada kurun waktu Januari hingga Desember 2008, ia bisa pentas hingga kurang lebih 60 kali yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Frekuensi pementasan pada tiap-tiap bulan tidak sama, ada yang satu bulan hingga 12 kali ada yang hanya empat kali dan ada yang pada bulan tertentu tidak ada pementasan, uniknya, disetiap pementasan selalu ramai dikunjungi penonton. Antusiasme masyarakat relatif tinggi. Faktor dominan yang menjadi penyebab adalah karena corak pementasannya yang kreatif dengan memasukkan hiburan kontemporer seperti musik dangdut, musik campursari dan yang
lain,
sehingga
penonton
antusias.
Pementasan
Nyi
WS
selalu
mengombinasikan corak pementasan modern, selain pakem wayang, juga ada paduan kolaborasi musik campur sari. Pada kurun waktu Bulan Januari hingga Bulan Desember 2008, secara kuantitatif di Desa Kepuhsari ada 13 kali pementasan wayang kulit purwa (W/SMR/25/05/09). Pementasan tersebut terselenggara di tujuh dusun. Dusun Gunung Gedhe sebanyak satu kali, Dusun Kajuman sebanyak dua kali, Dusun Sambeng sebanyak satu kali, Dusun Duwet sebanyak dua kali, Dusun Kepuh Kepil sebanyak dua kali, Dusun Ngrotorejo sebanyak satu kali dan Dusun Kepuh Tengah sebanyak empat kali. Masyarakat secara umum antusias menonton wayang kulit, hanya saja nampaknya terjadi pergeseran paradigma sekaligus pergeseran persepsi antara kaum muda dan kaum tua dalam memahami konsepsi nilai kesenian wayang kulit purwa. Wayang bagi kaum tua adalah tuntunan atau suatu ajaran yang dipakai sebagai peraturan hidup. Pada saat pementasan wayang, kaum tua biasanya menempatkan diri di belakang panggung atau duduk di belakang kelir. Pertimbangannya, menyaksikan wayang kulit di belakang kelir (panggung) dianggap lebih menjiwai karena penampakan bayang-bayang wayang pada kelir kelihatan lebih hidup dan seolah-olah nyata seperti keadaan layaknya kejadian-kejadian di dunia nyata.
10
Bila dilihat dari frekuensi menonton, kaum tua menyaksikan pertunjukan dari awal hingga acara selesai. Ada perbedaan penghayatan nilai-nilai wayang antara kaum tua dengan kaum muda. Kaum tua dalam menonton wayang selalu nggigiti (mencermati dengan seksama) apa yang diajarkan oleh tokoh wayang, sehingga percakapan dalang melalui perantara tokoh wayang ini bagi generasi tua dimaknai sebagai proses pendidikan secara tidak langsung atau pendidikan simbolis yang lebih menggunakan simbol-simbol dalam mentransfer nilai-nilai yang terkandung dalam cerita wayang ke penonton. Kaum tua lebih memakni pertunjukan wayang secara filosofis daripada hanya sekedar tontonan (hiburan), wayang dimaknai sebagai tuntunan (petunjuk) yang haris dilaksanakan dan dihayati dalam kehidupan. Berbeda halnya dengan kaum muda, walaupun kaum muda juga tidak kalah semangat dalam menonton wayang kulit, tetapi nampak terdapat perbedaan dalam mempersepsikan kandungan nilai yang terdapat dalam pentas wayang. Paradigma kaum muda lebih dominan (lebih condong) memaknai pertunjukan wayang kulit sebagai sarana hiburan, sarana refresing pikiran, sarana menghibur diri. Kaum muda tidak terlalu mempersoalkan pertunjukan wayang secara filosofi yang lebih mendalam dari hanya sekedar infotaiment. Kaum muda biasanya lebih menyukai sesi hiburan dibanding sesi serius seperti wejangan dan lain sebagainya. Kaum muda lebih suka sesi limbuk (hiburan pada saat jejer kedaton) dan sesi gara-gara (hiburan pada saat jejer kesatria). Kaum muda selalu mengambil posisi menonton di depan panggung sehingga akan lebih mudah meninggalkan tempat apa bila dirasa pertunjukan tidak disukai atau ketika pertunjukan membosankan. Jarang dijumpai kaum muda yang nggigiti (menelaah) makna filosofis, nilai-nilai yang terkandung dalam wayang. Pertunjukan wayang tidak ubahnya dimaknai sebagai tontonan belaka yang sewaktu-waktu bisa ditinggalkan bila sudah tidak lagi dirasa menghibur. Paradigma inilah nampaknya yang membedakan antara kaum tua dan kaum muda dalam mempersepsikan nilai-nilai kesenian wayang kulit purwa.
11
Uraian di atas yang membuat penulis merasa tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pewarisan nilai-nilai kesenian wayang kulit purwa di Desa Kepuhsari Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri Tahun 2009. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pewarisan nilainilai kesenian wayang kulit purwa di Desa Kepuhsari Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri Tahun 2009. C. Tujuan Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pewarisan nilai-nilai kesenian wayang kulit purwa di Desa Kepuhsari Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri Tahun 2009. D. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat secara teoritis Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menambah kasanah teoritik khususnya dalam bidang kesenian wayang kulit purwa dan menambah khasanah dalam sosiologi seni. 2. Secara praktis Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pemikiran, sikap, tindakan bagi masyarakat Desa Kepuhsari terhadap eksistensi kesenian wayang kulit purwa.
12
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan pustaka 1. Tinjauan Tentang Wayang Kulit Purwa a. Pengertian Wayang Kulit Purwa Wayang yang dikenal di Indonesia jenisnya lebih dari satu macam, antara lain meliputi wayang orang, wayang klithik, wayang golek wayang kulit purwa dan lain sebagainya. Penelitian yang dilakukan penulis tidak bermaksud mengurai dan meneliti semua wayang yang ada di Indonesia, tetapi penulis akan lebih memfokuskan diri untuk meneliti wayang kulit purwa. Penulis akan memberikan batasan pengertian apa wayang dan apa itu wayang kulit purwa. Menurut A. Kardiyat Wiharyanto (2009), istilah wayang berasal dari bahasa jawa yang berasal dari kata ”wayangan atau wayang-wayang (dalam bahasa Indonesia disebut bayangan atau bayang-bayang). Bila dirunut dari akar kata, wayang berasal dari akar kata “yang”. Arti “yang” itu sendiri adalah selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kata “yang” selanjutnya mendapat awalan ”wa” sehingga kata keseluruhannya menjadi wayang”. Wayang yang arti harifiahnya sama dengan bayangan, maka secara lebih luas mengandung pengertian bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain atau bergerak kesanakemari, tidak tetap atau sayup-sayup dari substansi yang sebenarnya. Wayang kulit disebut juga wayang purwa. Dinamakan wayang purwa karena perkembangan wayang kulit setelah masuknya agama Islam terjadi perubahan dan penyempurnaan yang mendasar baik fisik atau wujud, simbulisasi dan cara pertunjukannya. Purwa dalam Bahasa Indonesia berarti permulaan, pembukaan, awalan atau nomor satu, dengan demikian wayang kulit mengalami perkembangan yang pertama atau mula-mula.
13
Menurut Bambang Harsrinuksmo (1999 : 29-30), ”wayang berasal dari kata hyang atau dahyang. Istilah ini muncul pada zaman nenek moyang yang masih menganut kepercayaan animisme-dinamisme yang masih mempercayai roh nenek moyang”. Menurut kepercayaan mereka, roh nenek moyang yang sudah mati, yang dulunya hidup dan berkuasa, roh-roh mereka masih tetap hidup, tetap berkuasa dan masih bisa diajak berkomunikasi. Roh-roh ini oleh kalangan animise dan dinamisme diyakini bisa bersemayam pada batu besar, pohon besar sungai dan lain sebagainya. Kaum animisme-dinamisme pada zaman dulu, agar bisa menjalin komunikasi dengan roh nenek moyang, mereka melakukan semacam ritual atau sesaji, selain itu mereka juga mewujudkan dalam bentuk patung dan gambargambar. Proses komunikasi dengan roh nenek moyang bukan permasalahan mudah dan tidak sembarang orang bisa melakukannya. Perlu pengetahuan dan teknik tersendiri dengan
keahlian khusus untuk bisa berinteraksi dan
berkomunikasi dengan roh nenek moyang. Menurut Bambang Harsrinuksmo (1999 : 29-30), ”kaum animisme-dinamisme memerlukan medium atau semacam perantara yang sering disebut dengan istilah syaman. Ritual dan sesaji untuk menyembah, berinteraksi dan berkomunikasi dengan perantara syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang, selanjutnya, kata hyang menjadi wayang”. Jalannya upacara ritual kepercayaan menjadi alur pementasan dengan syaman sebagai dalangnya, sedangkan ceritanya dicuplikkan dari cerita-cerita petualangan dan pengalaman nenek moyang yang sudah meninggal. Keseluruhan rangkaian dari prosesi inilah yang menjadi perwujudan pementasan wayang secara utuh. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Pandam Guritno (1988 : 11), ia berpendapat bahwa wayang secara harfiah adalah ”bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu, pengertian wayang kulit menjadi berubah. Wayang kulit bisa dimaknai pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula diartikan aktor atau aktris”. Dalang sebagai sutradara dan dalam pementasanya sang dalang ikut bermain dan terlibat secara total.
14
Menurut Sri Mulyono (2004 : 6), yang dimaksud dengan wayang purwa adalah ”pertunjukan wayang yang ceritanya bersumber pada Mahabarata dan Ramayana”. Senada dengan pendapat Sri Mulyono di atas, A. Kardiyat Wiharyanto (2009) juga berpendapat bahwa wayang purwa adalah ”pertunjukan wayang yang ceritanya bersumber pada Mahabarata dan Ramayana”. Pengertian wayang seperti diutarakan di atas meliputi pengertian wayang secara luas. Menurut pendapat penulis, secara sederhana pengertian wayang kulit diambil dari asal bahan pembuatannya, karena terbuat dari bahan dasar kulit, maka dinamakan wayang kulit. Wayang kulit secara leksikal diartikan sebagai wayang yang terbuat dari kulit (umumnya dibuat dari kulit sapi, kulit kerbau atau dari kulit kambing). Penulis sependapat dengan Sri Mulyono dan A. Kardiyat Wiharyanto, bahwa wayang kulit purwa adalah jenis wayang kulit yang ceritannya bersumber dari Ramayana
dan
Mahabarata.
Ramayana
menceritakan
kehidupan
Prabu
Ramawijaya beserta asal keturunannya ke atas dan anak keturunannya ke bawah, sedangkan Mahabarata menceritakan kehidupan Pendawa dan Kurawa beserta asal keturunannya ke atas dan anak keturunannya ke bawah. Pemaparan-pemaparan di atas menguraikan tentang pengertian wayang secara fisik, yang mengartikan wayang dari segi materi yang berupa kebendaan. Selain berupa kebendaan, wayang dapat dikaji secara filosofis melalui pencarian sebuah hakikat. Wayang dapat dipahami secara filosofis bila wayang ditelusuri, dipahami dan diperlakukan secara non-materi. Memahami wayang dari sisi nonmateri bukan pekerjaan mudah karena harus mengetahui wayang secara hakiki. Menurut Bambang Harsrinuksmo (1999 : 22), ”mayang bukan hanya permainan bayang-bayang, tetapi lebih dalam dari makna itu, wayang merupakan wewayangane aurip atau bayangan hidup manusia dari lahir hingga mati”. Wayang bukan cerminan dari sembarang bayangan tetapi merupakan bayangan kehidupan, gambaran kehidupan. Menurut pendapat penulis, bila wayang diartikan sebagai bayangan seperti diuraikan diatas, tentu makna bayangan yang dimaksud tidak sama dengan bayangan sembarang benda. Sebuah gelas bila diterpa cahaya akan membentuk bayangan, tetapi bayang-bayang gelas tidak bisa
15
diartikan sebagai wayang, artinya bayangan gelas tidak bisa disebut wayang. Alur cerita dalam pementasan wayang bisa diartikan sebagai bayangan, cerminan atau gambaran perjalanan hidup manusia dari hidup hingga mati lengkap dengan karakter masing-masing. Hidup seperti layaknya bayangan yang tercermin dalam alur ceita dalam wayang. Kehidupan manusia selalu diwarnai dengan bermacam-macam karakter tokoh, ada yang baik, ada yang buruk, kebaikan selalu melawan keburukan, walaupun pada akhirnya yang baik akan nampak baik dan yang buruk akan nampak buruk (becik ketitik ala ketara), tetapi manusia harus memperjuangkan dirinya sendiri agar mereka mendapat nilai, apakah mereka tergolong yang baik atau yang buruk. Cerita dalam wayang bersifat terfokus pada fenomena tertentu. Lakon tentang Rama Tambak terfokus pada fenomena Rama yang membendung samudera dibentu oleh pasukan kera dari negaranya. Jika lakon Rama Tambak, maka kandungan cerita dalam lakon tersebut terfokus pada Rama yang membendung samudera. Layaknya dalam cerita wayang, kehidupan manusia juga bersifat terfokus pada fenomena tertentu. Fenomena ledakan bom diberbagai daerah, isu terorisme, bencana alam dan isu-isu lainnya bila dikontekskan dengan wayang kulit purwa merupakan fokus fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini. Wayang tidak bisa bergerak sendiri, perlu perantara orang yang menggerakkan yang dalam pementasannya disebut dalang. Sama halnya dengan bayangan atau gambaran dalam wayang, kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Alloh SWT, Tuhan yang maha Esa, sebagai dzat yang mengatur hidup dan matinya manusia. Makna yang hakiki dari ini semua adalah, betapapun hebat manusia, tetapi toh kehebatannya tetap ada yang memberi, ada yang mengatur, dengan demikian, apapun tindakan manusia harus selalu patuh dan tunduk terhadap kodrat yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kodrat dari Illahi inilah yang nantinya menuntun manusia untuk mengenal dan memahami sangkan paraning dumadi, hakikat dari mana manusia berasal, untuk apa dia diciptakan dan mau kemana kelak manusia akan kembali.
16
Pementasan wayang tidak bisa meninggalkan hiasan yang bersifat dekoratif seperti blencong, panggung dan kelir. Blencong merupakan lampu penerang dalam pementasan wayang yang bisa dimaknai bahwa manusia hidup selalu diterangi oleh sang surya, matahari yang menerangi kehidupan. Panggung sebagai tempat menancapkan wayang merupakan gambaran alam dunia tempat manusia berpijak, tempat manusia bernaung. Kelir merupakan kain penyekat yang bisa dimaknai sebagai batas kekuasaan, batas kemampuan dan jangkauan manusia pada dunia yang mereka pijak. b. Perkembangan Wayang Hampir tidak ada kata sepakat mengenai masalah kapan wayang pertama kali muncul, tetapi yang jelas, menurut Bambang Harsrinuksmo, (1999 : 29), ”dari berbagai sumber yang ada, menyatakan bahwa wayang dalam bentuknya yang masih sederhana merupakan kebudayaan asli Indonesia”. Wayang kemudian berkembang ketika Agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Wayang berubah fungsi sebagai alat atau media untuk mendidik anak, walaupun bentuknya masih seperti zaman purba. Pada zaman Hindu wayang berfungsi dalam mewujudkan tokoh yang ada dalam cerita kepahlawanan yang bersumber pada Serat Mahabarata dan Serat Ramayana yang berasal dari India, yang kemudian muncul wayang kulit purwa. Pada zaman Kerajaan Singosari dan Majapahit, wayang diwujudkan dalam relief candi yang lama kelamaan cerita wayang berubah dalam cara penggayaan menjadi stilistik dan mengarah ke bentuk perlambang. Stilasi bentuk manusia dan binatang melepaskan bentuk berdasarkan ikonografi seni India, kemudian menghasilkan prototype wayang yang kemudian berkembang pada zaman Islam. Perwujudan ini mirip dengan bentuk wayang bali yang hingga kini masih dipertahankan karena masih sesuai dengan kehidupan masyarakat penduduknya. Memasuki zaman madya, wayang berkembang setelah terjadi akulturasi dengan budaya baru yakni Islam. Wayang menjadi bentuk kesenian yang tinggi nilainya. Pada masa ini terjadi perkembangan wayang secara menyeluruh baik
17
fisik maupun simbolisasi dan cara pertunjukanya. Menurut sumber lain, Bambang Harsrinuksmo menyebutkan, wayang berkembang dari generasi ke generasi yang keberadaanya jauh sebelum kebudayaa-kebudayaan besar seperti Hindu dan Islam masuk ke Indonesia. Wayang dalam bentuknya yang paling sederhana sudah dikenal sejak zaman nenek moyang. Mengutip pendapat (Bambang Harsrinuksmo, 1999 : 29-33) secara sederhana, bila ditunjau dari perkembangannya yang paling menonjol, maka perkembangan wayang dapat diringkas menjadi tiga fase besar, yakni ”perkembangan pada fase masyarakat animisme-dinamisme (1500 SM-abad VI), fase masuknya Agama Hindu (abad VI-XV) dan fase masuknya Agama Islam (abad XV-sekarang)”. Penjelasan dari ketiga fase besar tersebut adalah sebagai berikut : 1). Fase Tahun 1500 SM sampai abad enam masehi Fase pertama atau fase awal, yakni sekitar tahun 1500 SM, pada zaman ini diperkirakan wayang pertama kali muncul. Wayang muncul ketika masyarakat pada massa itu masih menganut kepercayaan animismedinamisme yang masih mempercayai roh nenek moyang. Menurut kepercayaan mereka, roh nenek moyang yang sudah mati, yang dulunya hidup dan berkuasa, roh-roh tersebut masih tetap hidup, tetap berkuasa dan masih bisa diajak berkomunikasi. Roh-roh tersebut oleh kaum animisme dan dinamisme diyakini bisa bersemayam pada batu besar, pohon besar sungai dan sebagainya. Teknik menjalin komunikasi dengan roh nenek moyang, kaum animisme-dinamisme melakukan semacam ritual sesaji, selain lewat ritual dan sesaji, mereka juga mewujudkan dalam bentuk patung dan gambar-gambar. Kaum animisme-dinamisme tidak bisa melakukan sendiri, untuk bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan roh nenek moyang, kaum animismedinamisme memerlukan medium atau semacam perantara yang sering disebut dengan istilah syaman. Ritual dan sesaji untuk menyembah, berinteraksi dan
18
berkomunikasi dengan perantara syaman tersebut yang merupakan asal mula pertunjukan wayang. Ritual yang demikian berlangsung hingga lama sampai masuknya Agama Hindu ke Indonesia. 2). Fase masuknya Agama Hindu (abad keenam-abad kelima belas masehi) Fase kedua ketika Agama Hindu masuk ke Indonesia (sekitar abad VIXV). Agama Hindu masuk ke Indonesia kurang lebih pada abad keenam masehi, dengan masukknya budaya baru ini, wayang kulit juga ikut mengalami perubahan-perubahan yang didasarkan atas corak masyarakat pada saat itu. Pada massa ini Indonesia mulai bersentuhan dengan peradaban tinggi, muncullah kerajaan besar seperti misalnya Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara dan Sriwijaya. Pada fase inilah wayang semakin mendapatkan pondasinya yang kokoh, wayang dikembangkan menjadi ceritera yang berbobot seperti Mahabarata dan Rawayana. Pada fase ini wayang selain berfungsi sebagai sarana ritual juga berfungsi sebagai media pendidikan bagi masyarakat melalui pesan-pesan ceriteranya. Pada massa Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari dan Majapahit, wayang mencapai puncaknya. Muncullah karya-karya besar dari orang-orang besar pada zamannya seperti Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Sendok dan Empu Tantular yang menulis beberapa karya wayang. Diantara tulisan wayang yang terkenal pada massa itu adalah Baratayuda, Arjuna Wiwaha dan Sudamala, namun demikian, bentuk wayang pada waktu itu masih dalam bentuk seperti wujud manusia walaupun sudah berkembang dalam perwujudan bahan yang terbuat dari kulit binatang. 3). Fase masuknya Agama Islam (abad kelima belas-sekarang) Fase ketiga adalah masa masuknya agama Islam (sekitar abad XVsekarang). Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, wayang ikut mengalami perkembangan yang signifikan. Wayang mengalami perkembangan dan banyak terjadi perubahan mendasar baik dari segi bentuk, cara pertunjukan, isi
19
dan fungsinya. Pada massa masuknya Agama Islam, bentuk wayang mengalami perubahan yang mendasar, bila pada massa sebelum masuknya Agama Islam wayang berbentuk realistis-proporsional tetapi ketika Islam masuk, bentuk wayang menjadi bentuk yang imajinatif yang hampir tidak ada kesamaanya dengan perwujudan badan manusia. Wayang menjadi nampak samping (miring) seperti wayang kulit saat ini. Pertunjukan wayang juga mengalami perubahan dengan adanya sarana tambahan seperti kelir atau layar, blencong sebagai alat penerangan dan debog (pohon pisang) yang digunakan untuk menancapkan wayang. Perubahan lain terletak pada isi dan fungsinya, wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam yang berisikan muatan-muatan Agama Islam. Menurut Bambang Harsrinuksmo, (1999 : 29-30), ”pada masa ini wayang berfungsi sebagai sarana pendidikan, dakwah, media sosialisasi atau penerangan, dan komunikassi masa. Hal demikian berjalan hingga sekarang”, namun demikian, memang ada beberapa bagian dari kebudayaan sebelumnya yang hingga kini belum dihilangkan misalnya masih adannya dewa-dewa yang ternyata dalam Agama Islam tidak mengenal adanya dewa. Dewa dalam cerita wayang tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam karena dewa bukan dzat yang harus disembah. Dewa bukan penguasa alam raya, dewa merupakan salah satu makhluk Tuhan seperti layaknya manusia. Memasuki zaman globalisasi, arus globalisasi memaksa Bangsa Indonesia mengikuti pola-pola pergerakan dunia. Globalisasi berdampak luas terhadap sosial budaya masyarakat, sebagaimana dikemukakan Ezema dalam www.scribd.com: Globalisation has brought a lot of changes which are impacting dramatically on the entire world. Political, cultural and socio-economic integrations are becoming much easier and faster than before. (Globalisasi telah membawa banyak perubahan yang berdampak secara dramatis di seluruh dunia. Politik, budaya dan sosial-ekonomi integrasi menjadi lebih mudah dan lebih cepat daripada sebelumnya). Hal inilah yang menyebabkab perkembangan wayang mengalami fase yang menurun dan sangat memprihatinkan. Pesatnya perkembangan teknologi dan
20
derasnya arus informasi menyebabkan masyarakat bisa mengakses banyak pilihan hiburan sesuai dengan selera, kehendak, pilihan dan kesukaanya masing-masing, tentunya dengan pertimbangan kesesuaian dengan trend dan perkembangan zaman. Teknologi juga banyak berperan dalam menggeser selera hiburan masyarakat. Nach dalam www.scribd.com menjelaskan: It is suggested, indeed, that IT enables new communication formats and new modes of selecting, organizing, and presenting information. In turn, these new formats reshape social activity, modify or dismantle traditional practices, and spur or shape new ones. By changing the way people work, IT may redefine their roles and challenge their identities. (Disarankan, memang, bahwa IT memungkinkan komunikasi baru format dan cara-cara baru memilih, mengorganisasi, dan menyajikan informasi. Pada gilirannya, format baru ini membentuk kembali kegiatan sosial, memodifikasi atau membongkar praktek-praktek tradisional, dan memacu atau bentuk baru. Dengan mengubah cara orang bekerja, TI bisa mendefinisikan ulang peran mereka dan tantangan identitas mereka). Mengutip pendapat
A. Kardiyat Wiharyanto (2009), yang lebih
memprihatinkan lagi adalah kenyataan bahwa ”seni yang adiluhung itu justru semakin
diminati
oleh
negeri
barat,
sedangkan
pemiliknya
justru
mencampakkan”. Diera globalisasi seperti saat ini, wayang lebih bersifat komersial yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup pelakunya. Adolph S. Tomars dalam Soetarno (2004 : 175-180), menyebutkan bahwa pertunjukan wayang kulit purwa yang bertujuan komersial memiliki ciri-ciri sebagai berikut: ”pesan yang disampaikan mengenai masalah duniawi, kemasan berorientasi pasar, kecenderungan untuk meninggalkan nilai sacral, magis dan simbolis, lebih menonjolkan aspek hiburan, penuh dengan variasi dan konvensi pentas sastra makin menipis”. Penjelasan dari pendapat Adolph S. Tomars adalah sebagai berikut: 1). Pesan yang disampaikan mengenai masalah-masalah duniawi. Wayang lebih menonjolkan adegan-adegan sampingan seperti sesi limbukan dan gara-gara. Isi dan alur cerita lebih menyoroti masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi sehari-hari. Dalang lebih mengarahkan alur cerita untuk masalah-masalah kehidupan sehari-hari, justru cerita inti yang
21
merupakan ruh dari pertunjukan wayang kulit tidak diangkat dan terjadi pendangkalan makna inti cerita. Inti cerita menjadi kabur dan tidak jelas maksudnya. 2). Dilihat dari bentuk kemasan Kemasan pementasan wayang lebih diorientasikan terhadap pangsa pasar, hal demikian sering disebut sebagai bentuk pakeliran kemasan. Pakeliran kemasan menurut Soetarno (2004 : 177) memiliki ciri-ciri: Garapan lakon yang disajikan kurang mampu memasukkan unsur nilai budaya yang berisi nilai moral universal. Pakeliranya lebih menekankan kemampuan komunikasi daripada penghargaan kritis dari penghayat (estetikus). Ppenyajian pakeliranya lebih ditekankan pada estetika resepsi daripada estetika kreasi. Keindahan pakelirannya tidak lain daripada kemampuan untuk memenuhi selera, memenuhi permintaan masa akan kepuasan lahiriah. Keindahan pakeliran yang disajikan bukanlah sesuatu yang dihadapan pada kriteria formal para kritikus pedalangan, melainkan dengan kebutuhan nyata publik. 3). Kecenderungan untuk meninggalkan nilai sakral, magis dan simbolis. Nilai sakral, magis dan mistis terasa hilang bersamaan dengan masuknya lawak, penyanyi, bintang tamu, penonton ke panggung wayang kulit, akhirnya pertunjukan wayang kulit terasa hambar dan kering. Bukan berlebihan bila Kayam dalam Soetarno, (2004 : 177)
menilai, ”bahwa peranan wayang
sebagai frame of reference dari simbol-simbol akan segera berakhir dan menginjak peranannya yang lebih profan mewakili sebagai lakon modern”. 4). Lebih menonjolkan aspek hiburan. Dalang lebih menonjokan aspek hiburan untuk memenuhi selera penonton. Sesi limbukan dan gara-gara lebih diberi waktu lebih lama dari cerita inti. Alurnyapun diseting lebih bervariasi misalkan memadukan wayang dengan dagelan, pelawak, penyanyi, campursari, lagu-lagu daerah dal lain sebagainya. Pada akhirnya pertunjukan wayang lebih menonjolkan aspek hiburan.
22
5). Konvensi pentas sastra makin menipis. Pakeliran (pementasan wayang) cenderung meninggalkan konvensi pentas sastra, yaitu makin menipisnya penggunaan bahasa kawi dan semakin banyaknya perbendaharaan kata-kata sehari-hari. Dalang berlomba-lomba menampilkan keterampilan dalam olah catur (dalam ginem, pocapan dan janturan) dengan bahasa yang bebas, lugas dan komunikatif. c. Jenis-Jenis Wayang Wayang dari awal perkembangan hingga saat ini banyak jenisnya. Menurut Soetarno (1997 : 10), wayang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, meliputi: ”wayang batu, wayang rumput dan dedaunan, wayang kulit, wayang kayu dan wayang mainan”. Penjelasan dari pendapat Soetarno tersebut adalah sebagai berikut: 1). Wayang batu Merupakan wayang yang terbuat dari batu. 2). Wayang rumput dan dedaunan Wayang rumput dan dedaunan merupakan wayang yang bahan dasarnya terbuat dari rumput dan dedaunan. 3). Wayang kulit. Wayang kulit merupakan jenis wayang yang terbuat dari kulit. Wayang kulit terbagi menjadi wayang purwa, wayang gedog dan wayang madya. 4). Wayang kayu Merupakan jenis wayang yang terbuat dari kayu. Wayang kayu terdiri dari wayang golek dan wayang klithik.
23
5). Wayang mainan Wayang mainan ini merupakan wayang yang dipergunakan untuk bermain anak-anak yang terdiri dari wayang purwa dari dluwang (kertas) dan wayang purwa dari tela atau pelapah ubi. Menurut Pandam Guritno (1988 : 12-13), klasifikasi wayang menurut aktor dan aktrisnya dapat dibedakan menjadi lima, yakni: ”wayang kulit, wayang golek, wayang wong atau wayang orang, wayang klitik, wayang beber”. Penjelasan pendapat Pandam Guritno tersebut adalah sebagai berikut: 1). Wayang kulit Jenis wayang dimana yang muncul di atas panggung adalah boneka dua dimensi yang terbuat dari kulit, yang termasuk dalam kategori wayang kulit adalah wayang gedog, wayang purwa di Jawa, wayang parwa di Bali, wayang sasak di Lombok, wayang banjar di Kalimantan, dan wayang palembang di Palembang. 2). Wayang golek Jenis wayang dimana yang muncul di atas panggung adalah boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu, yang termasuk dalam jenis wayang golek adalah wayang golek Sunda dengan cerita ramayana dan mahabarata, wayang golek Manak Jawa dengan cerita kepahlawanan islam, wayang Cepak Cirebon dengan ceritera tentang Babad Cirebon dan penyebaran Agama Islam di Cirebon Jawa Barat, dan lain-lain. 3). Wayang Wong atau wayang orang adalah jenis wayang dimana yang muncul di atas panggung adalah orang. Cerita yang dipentaskan seputar mahabarata dan ramayana. Wayang Klitik adalah jenis wayang dimana yang muncul di atas panggung adalah boneka kayu yang bentuknya pipih.
24
4). Wayang Beber Jenis wayang yang pelakunya hanya dilukis di atas kertas lebar atau sejenis yang digulung. Cara pertunjukanya adalah dengan membentangkan atau membeber gulungan kertas yang telah dilukis. Menurut R.M. Ismunandar K. (1988 : 12-113), menyebutkan jenis-jenis wayang meliputi: Wayang beber, Wayang Gedhog, Wayang Kidang Kencana, Wayang Kulit (purwa), Wayang golek, wayang sunggingan, wayang karucil/klithik, wayang wong, wayang keling pekalongan, wayang dakwah, wayang kulit betawi, wayang kulit bali, wayang potehi, wayang madya, wayang tasripan, wayang suluh, wayang wahana, wayang kulit perjuangan dan wayang kulit kancil, wayang pancasila, wayang wahyu Perkembangan wayang mengalami pasang surut dan mengalami penyesuaian dengan massanya, konskuensinya, ada jenis wayang yang mampu bertahan tetapi ada jenis wayang yang punah karena tidak mampu menyesuaikan diri. Walaupun wayang banyak jenisnya, tetapi salah satu yang masih eksis sampai saat ini adalah wayang kulit purwa. d. Unsur Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Menurut Budiono Herusatoto (2008 : 178), ”gabungan harmonis dari beberapa unsur seni dalam suatu pementasan secara bersama-sama disebut sebagai nilai seni dalam wayang”. Jelas seperti telah diuraikan di atas, beberapa kesenian dalam satu kali pementasan wayang mencakup seni rupa, seni drama, seni suara, seni karawitan dan sastra. Perpaduan dari berbagai kesenian tersebut tidak boleh saling menegasikan, tidak boleh saling mendominasi dan tidak boleh hanya menonjolkan satu diantara seni yang lain. Pandam Guritno (1988 : 31), ”memperkenalkan metode sebelas-sebelas”. Metode sebelas-sebelas dimaksudkan untuk mempermudah cara mengetahui kerangka dasar mengenal wayang. Metode sebelas-sebelas yang diperkenalkan oleh Pandam Guritno tersebut seperti terlihat pada tabel 1 berikut ini:
25
Tabel 1. Kerangka dasar mengenal wayang metode sebelas-sebelas. No
Unsur pelaksana dan peralatan I. Unsur pelaksana 1. Dalang 2. Niyaga (penabuh gamelan) 3. Waranggana/sinden/penyanyi wanita II. Peralatan 1. Satu set wayang kulit 2. Kelir (layar) 3. Blencong (lampu penerangan) 4. Dhebog (pohon pisang) 5. Kothak (tempat wayang) 6. Cempala (pemukul kotak) 7. Kepyak 8. Gamelan (alat musik)
Unsur pertunjukan I. Yang dilihat Sabet (gerak wayang) II. Yang didengar 1. Janturan 2. Cariyos (kanda) 3. Ginem (pocapan) 4. Suluk 5. Tembang 6. Dodogan 7. Kepyakan (keprakan) 8. Gendhing 9. Gerong 10. Nyanyian pesinden
Penjelasan singkat mengenai metode sebelas-sebelas dapat dilihat pada pemaparan di bawah ini : 1). Unsur Pelaksana dan Peralatan a). Dalang Dalang adalah arsitek dalam pementasan wayang yang bertugas sebagai sutradara yang mengorganisir jalannya pementasan sekaligus menjadi pemain yang memerankan semua tokoh pewayangan.
Dalang adalah orang yang
memimpin jalanya pementasan pertunjukan wayang dari awal sampai akhir. b). Niyaga (penabuh gamelan) Niyaga adalah orang yang bertugas menabuh (mengiringi) pementasan wayang dengan alat musik yang berupa gamelan. Nama lain dari niyaga adalah pradangga, wiyaga atau yaga. Niyaga adalah orang yang mempunyai keterampilan khusus yang pandai memainkan alat musik gamelan.
26
c). Waranggana (penyanyi wanita) Waranggana adalah penyanyi yang mengiringi jalannya pementasan. Lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu khusus yang sudah dibuat pakem (patokan baku), waranggana memerankan posisi penting karena dapat memberikan efek suara yang bisa menambah nilai seni dalam sebuah pertunjukan. Nama lain dari waranggana adalah pesindhen, widuwati atau swarawati. d). Wayang kulit Tokoh utama pertunjukan wayang adalah wayang itu sendiri, dalam satu pertunjukan dibutuhkan paling tidak 200 buah, wayang. Jumlah tersebut kurang lebih hanya 50 buah saja dimainkan dalang dan sisanya dijajar diatas panggung yang bahannya terbuat dari pohon pisang, untuk menambah koleksi dalam pementasan, selain tokoh-tokoh utama, dalang biasanya menambah koleksi pelengkap seperti rampokan, hewan, kapal perang, wayang komedian dan lain sebagainya agar pementasan menjadi tambah semarak. e). Kelir (kain yang dibentangkan) Kelir adalah kain yang dibentang yang digunakan sebagai arena pertunjukan wayang. Nampak dari depan, pertunjukan wayang dapat dinikmati secara langsung, nampak dari belakang, pertunjukan wayang dapat dilihat melalui hasil pembentukan bayangan. Bayangan yang terlihat dibelakang kelir tersebut nampak lebih hidup dengan bantuan efek penyinaran lampu blencong. f). Blencong (lampu penerangan) Blencong adalah lampu penerangan untuk menerangi pementasan wayang yang sedang dimainkan. Blencong merupakan simbolisme bagi penerangan dunia yang riil.
27
g). Kothak (tempat menyimpan wayang) Kothak adalah tempat untuk menyimpan wayang, selain sebagai tempat untuk menyimpan wayang, kotak juga digunakan untuk menaruh keprak dan merupakan lokasi cempala di ketokkan. h). Cempala (pemukul kothak) Suara dodogan dihasilkan dari ketokkan cempala yang dipukulkan ke kotak. Dodogan inilah yang dipakai dalang sebagai salah satu isyarat dalam pementasan, isyarat dimulainya pementasan, menghentikan pementasan dan lain sebagainya. i). Kepyak (lempengan logam) Kepyak atau kecrek dibuat dari bilah logam, lazimnya terbuat dari besi, perunggu atau bahan stainlesteel. Kepyak merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan ritme pertunjukan wayang. j). Gamelan Alat musik gamelan dipergunakan untuk mengiringi jalannya pertunjukan. Gamelan merupakan alat musik serba bisa yang dapat digunakan untuk mengiringi jenis musik apa saja. Gamelan terdiri dari dua laras yakni laras selendro dan pelog. Laras pelog terdiri dari tiga pathet yakni pathet lima, pathet nem dan pathet barang, sedangkan laras slendro terdiri dari pathet nem, pathet sanga dan pathet manyura. Gamelan dalam suatu pementasan lazimnya terdiri dari gong, bonang, slenthem (saron besar), saron kecil (peking), kenong, saron, kempul, kethuk, siter, seruling, rebab, kendang dan gambang, namun bila diperlukan dimungkinkan ada tambahan instrumen lain. k). Debog (pohon pisang) Panggung pertunjukan terdiri dari kelir dan debog (pohon pisang yang ditata). Debog ini merupakan tempat untuk menancapkan wayang baik yang
28
dimainkan maupun yang hanya dijajar. Panggung atau debog merupakan simbolisme dari bumi tempat manusia berpijak. 2). Unsur Pertunjukan yang dilihat dan didengar a). Sabet Unsur yang dapat dilihat ketika wayang dipentaskan adalah sabet atau sabetan. Sabetan merupakan kegiatan dalang memainkan atau menggerakan wayang. Gerak wayang menjadi indah dan seakan hidup manakala sang dalang memiliki kompetensi sabet, salah satu nilai estetika dari wayang adalah kualitas sabetan. b). Janturan Janturan merupakan diskripsi narasi tentang hal yang akan dibicarakan dalam pementasan, janturan biasanya mendiskripsikan tentang keadaan suatu negara yang meliputi tempat, kondisi kultural dan lain sebagainya. Janturan merupakana walan dalam sebuah pertunjukan. c). Cariyos Cariyos disebut juga kanda atau cerita dalang yang isinya menceritakan kondisi tokoh tertentu. d). Ginem Ginem disebut juga pocapan, antawacana atau dialog. Ginem merupakan fungsi dalang untuk mewakili masing-masing tokoh dalam ucapan. e). Suluk Suluk dapat diartikan sebagai nyanyian pembawa suasana seperti suasana sedih, tegang, romantis dan lain sebagainya.
29
f). Tembang Tembang atau sekar dinyanyikan oleh dalang tetapi lewat perantara tokoh wayang, yang sering melantunkan tembang biasanya para abdi misalnya punakawan Petruk. Tembang atau sekar lazimnya untuk menghibur para bendhara (tuannya) yang sedang kesusahan. Sekar yang dibawakan misalnya kutut manggung dan lain sebagainya. g). Dodogan Dodogan adalah suara yang dihasilkan dari pukulan cempala ke kothak, bisa pada bagian luar atau bagian dalam kothak. Fungsi utama dodogan adalah sebagai bahasa isyarat dalang kepada niyaga dan sinden dalam memimpin jalanya pentas. Dodogan ada bermacam-macam jenis, dodogan lamba (satu kali), dodogan rangkep, geter, mbanyu tumetes, angganter (seru) dan tetegan (pukulan dalam kothak). Dodogan geter tujuh kali misalnya sebagai isyarat untuk membawakan gendhing srepegan, membawa keadaan pada suasana tegang, misalnya pada saat perang. h). Kepyakan Kepyakan adalah suara yang dihasilkan dari lempengan logam yang dimainkan dalang. Kepyakan selain berfungsi sebagai efek estetik juga dipergunakan sebagai bahasa isyarat seperti halnya dodogan. i). Gendhing Kondisi dan sifat wayang menuntut adanya gendhing yag mendukung suasana yang diiringi. Gendhing dinyanyikan untuk membawa pada situasi perwatakan tokoh dan suasana hati tokoh, misalnya jejer di Negara Amarta gendhing yang dibawakan adalah kawit, jejer Astina gendhingnya kabor dan lain sebagainya.
30
j). Gerong Geronga adalah koor putra yang bertugas melantunkan gendhing-gendhing atau lagu tertentu. Gendhing-gendhing yang biasanya dibawakan misalnya bawa (awalan sebelum lantunan lagu-lagu tunggal) dan lain sebagainya. k). Nyanyian pesinden Nyanyian pesinden adalah suara yang dilantunkan oleh pesinden atau waranggana. Nyanyian pesinden berfungsi sebagai penambah nilai estetik dalam pertunjukan. e. Fungsi Sosial Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Menurut Bambang Harsrinuksmo (1999 : 22), selain konsepsi nilai, pertunjukan wayang kulit juga memiliki beberapa fungsi sosial. Fungsi-fungsi sosial tersebut adalah: ”sebagai media dakwah, media hayatan, sarana hiburan dan sarana pendidikan. Sarana komunikasi, media propaganda, media penerangan dan fungsi komersial”. Wayang kulit merupakan media dakwah yang paling efektif, hal ini dikarenakan wayang kulit langsung berhadapan dengan masyarakat penonton yang merupakan obyek dakwah. Pertunjukan wayang kulit juga berfungsi sebagai media hayatan. Wayang bukan hanya sekedar permainan bayang-bayang tetapi wayang kulit merupakan wewayanganing aurip (bayangan atau gambaran hidup manusia dari lahir hingga meninggal dunia). Menurut R. Firt dalam Soetarno (2004 : 161), menyatakan bahwa seni pertunjukan paling tidak memiliki delapan fungsi yakni: ”sebagai sarana kepuasan batin, sarana bersantai dan hiburan, sarana ungkapan jati diri, sarana integratif dan pemersatu, sebagai penyembuhan, sebagai sarana pendidikan, sebagai integrasi pada massa kacau, sebagai lambang penuh makna dan mengandung kekuatan”. Menurut Soetarno (2004 : 161-162) diera globalisasi seperti saat ini, seni pertunjukan wayang kulit memiliki empat fungsi yakni: ”sebagai sarana penerangan dan pendidikan, sebagai sarana refleksi nilai-nilai estetis, refleksi dari
31
pola-pola ekonomi sebagai sarana untuk mencari nafkah, sebagai hiburan social atau aktivitas yang berkaitan dengan hiburan”. f. Wayang Sebagai Mitologi 1). Bagan Kebudayaan Bagan kebudayaan merupakan sebuah istilah yang dikemukakan oleh Peursen untuk menjelaskan perkembangan kebudayaan manusia dari zaman dulu hingga sekarang. Peursen (1988 : 18) membuat suatu bagan perkembangan kebudayaan manusia menjadi tiga tahap, yakni ”tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsional”. Bagan kebudayaan tidak bisa dimaknai sebagai suatu susunan yang hierarkis, perkembangan kebudayaan tidak bisa dimaknai setelah perkembangan mitis lalu ke perkembangan ontologis kemudian puncaknya keperkembangan fungsional. Bagan kebudayaan hanya sekedar sekema yang bisa digunakan sebagai sarana untuk mengetahui perkembangan zaman dulu (masa lampau) untuk menjelaskan keadaan masa kini. Penjelasan dari ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut : a). Tahap mitis Tahap mitis ialah sikap mausia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan goib yang ada di sekitarnya seperti kekuatan dewa-dewa dan kekuatan-kek goib yang lainnya. Alam pikiran mitis terkungkung pada sesuatu yang goib tanpa mampu mengungkap hukum sebab akibat yang menyebabkan mereka harus demikian. Manusia pada zaman mitis hanya menjalankan apa yang dia yakini secara goib dan apa saja hal-hal goib yang telah diwariskan oleh leluhur mereka tanpa mampu mempersoalkan hubungan sebab akibat dari keduanya, mereka mencoba menghayati dengan sepenuh hati sebagai sebuah kepatuhan mutlak tanpa mampu dan tanpa berusaha mempertanyakan. Tahap mitis inilah wayang diciptakan sebagai cerita mitis dan diwariskan hingga pada zaman sekarang.
32
b). Tahap ontologis Tahap ontologis ialah tahap dimana manusia tidak lagi merasa dalam kungkungan kekuatan-kekuatan goib yang mengitarinya, pada tahap ontologis orang mulai bisa mengungkap dengan mempertanyakan hukum sebab akibat dari segala sesuatu. Manusia mulai senang mencari hakikat-hakikat dari apaapa yang mereka temui. Hakikat kehidupan, hakikat penciptaan dan lain sebagainya. c). Tahab fungsional Tahap fungsional ialah tahap perkembangan kebudayaan dimana sikap dan alam pikiran manusia nampak dalam manusian modern. Manusia modern ditandai dengan kemajuan teknis, medis dan ilmiah seperti perkembangan teknologi dan lain sebagainya, namun demikian walaupun ada perkembangan teknis, medis maupun ilmiah, tetapi orang-orang yang hidup pada tahap mitis tidak kalah praktis, tidak kalah logis dengan manusia zaman modern. Fakta lain, bila orang-orang pada zaman modern dianggap lebih beradab dari masyarakat mitis, pendapat ini tidak semuaya benar. Orang pada zaman mitis membunuh orang dengan perantara dukun santhet dengan kekuatan magi yang lebih halus, tetapi orang-orang zaman sekarang sebagai manusia modern melakukan pembunuhan dengan menggunakan bom atom, bom nuklir, roket, yang semuanya justru merusak dan menunjukkan kekejaman. Uraian di atas menunjukkan bahwa, walaupun sudah sampai pada tahap fungsional, tetapi perkembangan dan peninggalan-peninggalan manusia pada tahap mitis masih ada. Wayang memang muncul pada zaman mitis, tetapi wayang diwariskan hingga zaman modern. 2). Pengertian Mitologi Setiap negara didunia hampir memiliki mitologi-mitologi. Bangsa Yunani mengenal cerita heboh ”Labirin” sebagai sebuah mitos yang terkenal, sedangkan wayang merupakan salah satu bentuk mitologi yang dimiliki oleh Bangsa
33
Indonesia. Menurut Peursen (1988 : 37), ”mitologi diartikan sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang”. Mitologi adalah karya imajiner yang bisa berupa cerita-cerita yang bisa diucapkan secara turun-temurun maupun dalam bentuk tindakan misalnya upacara kurban, sesaji dan lain-lain. Peursen secara rinci memaparkan mitologi sebagai berikut : Mitos ialah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat dituturkan, tetapi juga dapat juga diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan wayang misalnya. Intiinti cerita itu ialah lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia purba : lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian, dosa dan penyucian, perkawinan dan kesuburan, firdaus dan akhirat. Mitos mengatasi makna cerita dalam arti kata modern, isinya lebih padat daripada semacam rangkaian periatiwa-peristiwa yang menggetarkan atau yang menghibur saja, mitos tidak haya terbatas pada semacam reportase mengenai peristiwa-peristiwa yang dulu terjadi, sebuah kisah mengenai dewa-dewa dan dunia-dunia ajaib. Bukan. Mitos itu memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Wayang kulit bukan kejadian yang nyata, tetapi wayang kulit hanya cerita fiksi, karangan, cerita rekaan yang dibuat oleh pengarangnya, bila dicermati dalam setiap alur cerita pementasan, seolah penonton menyaksikan kejadian-kejadian yang dekat dengan kebiasaan-kebiasaan manusia, karena piawainya si pengarang cerita, hingga penonton dibuat percaya bahwa cerita-cerita yang dipentaskan seolah-olah merupakan kejadian nyata, seolah-olah pernah ada dan seolah-olah merupakan sejarah masa lalu yang riil terjadi. Terlepas dari itu semua, itulah kehebatan mitologi. Mitologi juga mampu mengarahkan masyarakat, meneladani dan menelaah dari setiap kandungan cerita. Mitologi juga mampu menjadi pedoman bagi masyarakat penganutnya. 3). Fungsi Mitologi Menurut Peursen (1988 : 38-41), ada tiga fungsi mitos yakni ”sarana menyadari adanya hal goib, memberikan jaminan pada massa kini dan memberikan pengetahuan tentang dunia”. Penjelasan dari ketiga fungsi mitos tersebut seperti dipaparkan di bawah ini:
34
a). Sarana menyadarkan manusia tentang kekuatan goib Mitos membantu manusia agar bisa menghayati kekuatan goib itu ada disekitar manusia, namun demikian mitos tidak memberikan informasi secara langsung mengenai hal goib tersebut. Orang yang berujar atau mempunyai punagi ketika ada anggota keluarganya yang sakit (apabila bisa sembuh dari sakitnya akan mengundang atau menanggap pementasan wayang), percaya bahwa wayang memiliki kekuatan goib. Ujar atau punagi untuk menanggap wayang merupakan media memusatkan keyakinan bahwa dengan ujar atau punagi tersebut, anggota keluarganya yang sakit akan bisa sembuh. Punagi atau ujar tersebut merupakan sarana memahami sesuatu yang bersifat goib (non materi). b). Mitos memberikan jaminan pada massa kini Mitos juga berfungsi sebagai penjamin keberhasilan di masa sekarang, dengan jalan mengulang cerita atau pementasan cerita mitos, diyakini kejadian dalam cerita tersebut akan terulang lagi. Banyak cerita-cerita mitos seperti dalam wayang yang ceritanya di ulang-ulang pada saat acara-acara tertentu misalnya pada saat bersih desa, pada saat persepsi pernikahan, acara kelahiran dan lain-lain. Pementasan cerita mitos tidak sembarangan, tetapi harus disesuaikan dengan harapan apa yang hendak dicapai, harapan apa yang hendak diminta dan harapan apa yang hendak diinginkan. Pementasan cerita mitis ada kaidah-kaidah tertentu, misalnya, pantangan mementaskan wayang dalam acara kelahiran menggunakan lakon tentang kematian karena lakon kematian diyakini akan menyebabkan kematian, sehingga dalam setiap pementasan cerita mitos disesuaikan dengan apa yang diimginkannya. Acara syukuran dan bersih desa cocok mementaskan lakon yang berhubungan dengan turunnya wahyu, misalnya wahyu cakraningrat. Acara lahiran cocok bila mementaskan lakon tentang lahiran, misalnya mementaskan lakon Gatutkaca lahir (lahire Gatutkana), harapannya, bayi yang lahir tesebut akan menjadi
35
manusia ideal seperti layaknya Raden Gatutkaca, menjadi manusia yang memiliki kemampuan luar biasa, gagah perkasa, memiliki kompetensi yang memadai pada zamannya, berhati mulia dan berjiwa kesatria. c). Mitos memberikan ilmu pengetahuan tentang dunia Mitos dapat memberikan pengetahuan mengenai dunia walaupun bukan dalam arti pengetahuan modern, bukan dalam arti pengetahuan ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya, namun hanya sekedar cerita yang dijadikan sebagai bahan diskripsi. Lewat pementasan wayang, orang dapat mengetahui bagaimana awal mula munculnya kehidupan, bagaimana ilmu pola berkumunikasi yang berhasil, bagaimana berpolitik mengatur negara, bagaimana seni bercinta, bagaimana hubungan antara manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Cerita tentang Dewa Ruci dapat menggambarkan dengan jelas mengenai sangkan paraning dumadi (mengenai asal mula dan akhir manusia berasal). Lakon Dewa Ruci dapat memberikan pengetahuan kepada Bima bagaimana manusia berasal, mau apa dia diciptakan dan mau kemana manusia setelah diciptakan. Cerita-cerita tersebut mampu memberikan pengetahuan kepada kita tentang sesuatu hal walaupun tidak bersifat ilmiah. 2. Tinjauan tentang Nilai Menurut Risieri Frondizi (2001 : 11-12) ”nilai berbeda dengan objek ideal. Obyek ideal bersifat ideal sedangkan nilai itu tidak riil, sebagai contoh, jika orang membandingkan keindahan yang merupakan nilai dengan ide tentang keindahan yang berupa obyek ideal”. Keindahan yang berkaitan dengan nilai dapat dipahami melalui emosi sedangkan keindahan sebagai obyek ideal dapat dipahami melalui daya intelektual. Obyek ideal itu ada sedangkan nilai itu tidak ada, bila benda itu ada sebagaimana adanya, tetapi nilai seolah-olah menampilkan dirinya dengan sisingkapkan
36
Nilai tidak bisa dilepaskan dari proses penilaian. Nilai berbeda dengan proses penilaian, karena penilaian mendahului nilai, dengan demikian tidak ada yang dinilai manakala tidak ada sesuatu yang dinilai. Hal sama juga akan terjadi pada persepsi dengan benda yang di persepsikan. Persepsi tidak bisa menciptakan obyek. Mempersepsikan berarti menangkap, menangkap apa saja, misalnya menangkap nilai keindahan, nilai moral, seni dan lain sebagainya, hal serupa terjadi dalam proses penilaian. Pendekatan subyektif sama dengan proses pemahaman nilai. Mempersepsikan wayang kulit antara satu orang dengan orang lain berbeda, seperti bila ada orang yang mengatakan lukisan adalah indah dan orang lain mengatakan lukisan tidak indah, bukan berarti yang mengatakan lukisan tidak indah itu tidak memiliki selera keindahan atau berselera rendah. Tidak seorangpun yang gagal menghargai keindahan, apa yang mungkin terjadi adalah orang tidak dapat mengenali kehadiran keindahan dalam obyek tertentu. Muncul pertanyaan misalnya, mengapa ada orang yang suka wayang dan ada yang tidak suka, sampai disini dapat dipahami bagaimana konsepsi tentang nilai. Mengapa generasi yang satu dengan generasi yang lain tidak sama mempersepsikan wayang kulit? Pertanyaan-pertanyaan diatas dapat dipahami bahwa sekumpulan orang atau entitas suatu masyarakat adalah merupakan kumpulan dari individu-individu, sedangkan pengalaman-pengalaman seperti memahami seni, menafsirkan benda yang indah atau menilai selera adalah merupakan pengalaman pribadi, mendalam dan seringkali tidak terlukiskan. Hal inilah yang mengakibatkan orang memiliki perbedaan-perbedaan selera dan persepsi, perbedaan pemahaman tentang keindahan, seni dan lain sebagainya. a. Pengertian Nilai Pengertian tentang nilai sudah banyak diulas oleh para ahli, berikut ini beberapa pengertian maupun konsep tentang nilai akan diutarakan sebagai bahan penjelas. Menurut Pepper dalam Munandar Sulaiman (1998 : 19), ”mengartikan nilai sebagai segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk”. Perry dalam
37
Munandar Sulaiman (1998 : 19), mengatakan bahwa nilai adalah ”segala sesuatu yang menarik sesuatu sebagai objek”. Menurut Munandar Sulaiman (1998 : 22), ”nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi, yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat”. Menurut Risieri Frondizi (2001 : 6-7), ”nilai tidak ada dalam dirinya sendiri, namun tergantung pada pengemban atau penopangnya yang pada umumnya adalah substansi yang berbadan”. Keindahan tidak ada pada dirinya sendiri, seolah-olah mengawang di udara, namun ia menyatu didalam obyek. Nilai bisa menempel dibaju, batu, tubuh manusia, dan lain sebagainya. Sebuah benda akan bernilai manakala ditambahkan nilai. Patung dari batu pualam sebelum dipahat oleh pematung, pualam hanya benda sematamata, pematunglah yang membuat patung dari pualam nampak indah, pematunglah yang membawakan segala sesuatu yang tidak semestinya, namun demikian patung juga masih menunjukkan ciri khas pualam, misal beratnya, kerasnya dan lain sebagainya. Menurut Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawita ( 2004 : 12) : Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodnes). Dalam dictionery of Sociology and Rekated Sciences diberikan perumusan tentang volue yang lebih terperinci lagi sebagai berikut : The believed capacity of any object to satisfy a human desire. The quality of any object which causes it to be of interest to an individual or a group. (kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkannya menarik minat seseorang atau suatu golongan) Pendapat dari para ahli lain berasal dari Pepper dalam Munandar Sulaiman, (1998 : 18) yang juga relevan dijadikan acuan berpendapat, ”Batasan nilai dapat mengacu kepada berbagai hal seperti minat, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban agama, kebutuhan, keamanan, hasrat, keengganan, atraksi (daya tarik), dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perasaan dari orientasi seleksinya”. Menurut Munandar Sulaiman (1998 : 18), ”segala sesuatu yang sifatnya merupakan manifestasi perilaku refleks atau hasil proses kimia di dalam tubuh
38
bukan termasuk nilai”. Menurut Risieri Frondizi (2001 : 9), ”nilai merupakan kualitas yang tidak riil. Nilai bukanlah benda atau unsur dari benda, tetapi nilai adalah sifat, kualitas, sui generis, yang dimiliki oleh objek tertentu”. Lebih lanjut diutarakan Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawita (2004 : 12-13) bahwa, ”Nilai semata-mata suatu realitas psikologis yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh orang dipercaya terdapat pada suatu benda sampai terbukti kebenarannya”. Menurut Frondizi (2001 : 10) : Nilai merupakan ada yang bersifat paratis yang tidak dapat hidup tanpa didukung oleh objek yang riil, dan membawa eksistensi yang mudah rusak setidak-tidaknya ketika merupakan kata sifat yang berkaitan dengan benda. Sementara itu kualitas primer tidak dapat dihilangkan dari objek. Sebuah pukul besi yang dipukulkan akan memadai untuk mengakhiri kegunaan dari sebuah peralatan, ataupun keindahan sebuah patung. Sebelum disertakan pada pengemban atau penopangnya, nilai tidak lain merupakan kemungkinan, tidak memiliki eksistensi yang riil b. Tingkatan Nilai Menurut Robin M. Williams dalam Munandar Sulaiman, (1998 : 19-20), ”nilai-nilai merupakan unsur penting dan tidak dapat disepelekan bagi orang yang bersangkutan”. Kenyataanya, nilai-nilai berhubungan dengan pilihan dan pilihan merupakan prasyarat untuk mengambil suatu tindakan, namun demikian, nilainilai bukan merupakan tujuan konkrit dari tindakan, tetapi mempunyai hubungan dengan tujuan, sebab nilai-nilai berfungsi sebagai kriteria dalam memiliki tujuantujuan. Seseorang akan berusaha mencapai segala sesuatu yang menurut pandangannya mempunyai nilai. Menurut Arnold Green dalam Munandar Sulaiman, (1998 : 20), ada tiga tingkatan nilai yakni ”perasaan, norma-norma moral dan keakuan”. Perasaan (sentimen) yang abstrak dipakai sebagai suatu landasan bagi orang untuk membuat putusan dan sebagai standar untuk tingkah laku. Tingkatan yang kedua ialah norma-norma moral yang merupakan standar tingkah laku yang berfungsi
39
sebagai kerangka patokan (frame of reference) dalam berinteraksi, sedangkan tingkatan yang ketiga adalah keakuan (kedirian), berperan dalam membentuk kepribadian melalui proses pengalaman sosial. c. Nilai, Obyektif atau Subyektif Hal yang menjadi perdebatan berkepanjangan di kalangan kaum aksiologi adalah mengenai masalah apakah nilai itu subyektif atau obyektif. Bila dikaitkan dengan kesenian wayang, misalkan ada orang yang mengatakan wayang kulit adalah kesenian yang adi luhung yang memiliki nilai seni tinggi, tetapi kenyataanya saat ini kaum muda jarang yang mampu mewarisi nilai-nilai wayang secara menyeluruh dalam hal ini wayang kulit dimaknai sebagai nilai yang subyektif, yakni nilai yang tergantung sepenuhnya terhadap siapa yang menilai. Menururt Risieri Frondizi ( 2001 : 7), ”nilai tidak ada untuk dirinya sendiri, nilai bisa dikatakan ada bila nilai menempel pada sesuatu”. Nilai membutuhkan semacam kendaraan atau butuh tempat untuk menempel yang sering disebut sebagai pengemban untuk berada, namun, kadang seseorang salah mempersepsikan, yang nampak seolah-olah hanya pengembannya. Misalkan lukisan yang bagus, pakaian yang bagus dan yang lainnya, namun ketika dihadapkan pada masalah keadilan, orang jadi bertanya, kalau demikian apakah keadilan itu bersifat subyektif atau obyektif. Bila nilai bersifat subyektif, keadaan bisa menjadi kacau jika ada seorang pencuri yang tertangkap, sang pencuri tentu akan mengaku tidak bersalah karena menurut subyektivitas sang pencuri perbuatanya benar, tetapi pengadilan menyatakan bersalah karena mencuri adalah perbuatan yang melanggar aturan. Orang lalu bingung, siapa yang benar dan dimana letak rasa keadilannya. Apakah keadilan dapat ditafsirkan sesuai dengan subyektifitas masing-masing orang? Nilai bersifat relatif, bisa subyektit bisa obyektif. Nilai bersifat obyektif bila nilainilai tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran baku yang telah di tentukan, sedangkan nilai bersifat subyektif bila nilai tersebut ditafsirkan oleh individu yang berlainan. Nilai bersifat obyektif jika nilai tidak targantung pada subyek atau
40
kesadaran yang menilai, sebaliknya nilai bersifat subyektif bila eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reasksi subyek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ia bersifat psikis atau fisik. d. Esensi Nilai dalam Wayang Kulit Purwa Wayang merupakan kesenian dengan nilai kompleksitas yang tinggi, disebut demikian karena wayang terdiri dari gabungan bermacam-macam seni. Menurut Abdullah dalam Sujamto (1992 : 17-18), dalam wayang kulit terdapat lima seni. Lima seni tersebut meliputi ”seni widya, seni drama, seni gatra, seni ripta dan seni cipta. Seni widya berupa filsafat dan pendidikan, seni drama berupa pentas dan karawitan, seni gatra berupa pahat dan lukisan, seni ripta berupa sanggit dan kesusastraan dan seni cipta terdiri dari konsepsi dan ciptaan baru”. Tidak mengherankan bila pementasan wayang kulit menjadi pementasan spektakuler, pementasan yang luar biasa karena sedemikian rumit dan kompleks. Menurut Bambang Harsrinuksmo (1999 : 21-22), wayang kulit memiliki tiga sistem nilai yakni ”nilai estetika, nilai etika, nilai falsafah”. Penjelasan dari ketiga nilai tersebut adalah sebagai berikut : 1). Nilai Estetika Memahami kesenian wayang kulit purwa tidak bisa lepas dari nilai estetika. Nilai estetika dalam wayang kulit purwa merupakan nilai yang paling mudah diketahui keberadaanya karena secara riil dapat ditangkap dengan indera penglihatan. Nilai estetika dalam wayang akan diuraikan dalam penjelasan berikut: a). Pengertian estetika Mempelajari wayang tidak bisa dilepaskan dari permasalahan estetika. Salah satu penyebab wayang dikatakan indah karena terkandung nilai estetik, dengan demikian mengetahui makna estetika menjadi hal penting agar tidak terjadi kebingungan ditengah jalan. Estetika menurut Dick Hartoko (1984 : 15), ”ialah cabang filsafat yang mempelajari tentang keindahan, baik
41
keindahan menurut realitasnya (dalam sebuah karya seni) maupun keindahan berdasarkan pengalaman subjektif”. Menurut Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawita (2004 : 5), ”estetika berasal dari bahasa Yunani dari kata aisthetika yang berarti hal-hal yang bisa dicerap oleh pancaindera”. Perkembangan berikutnya, estetika bukan semata-mata menjadi permasalahan filsafat, namun estetika menyangkut juga tentang karya seni, baik tentang keindahan seni, aliran seni, pengalaman estetis dan lain sebagainya. Persoalan estetika pada prinsipnya menyangkut empat hal yakni nilai estetika, pengalaman estetis, perilaku orang yang menciptakan seni dan seni itu sendiri. Nilai estetika bisa dimaknai sebagai segala sesuati yang dianggap indah, sedangkan mengenai pengalaman estetis dimaknai sebagai pengalaman seni yang terjadi dalam proses penciptaan seni. Seniman merupakan subjek yang
menciptakan
seni,
lewat
karya
seninya,
seniman
bermaksud
menyampaikan pesan, sedangkan seni itu sendiri adalah objek yang dijadikan seniman sebagai media menuangkan pesan. b). Esensi nilai estetika dalam wayang Dalang merupakan unsur sentral dalam pertunjukan, dalam sebuah pementasan, dalang memerankan diri sebagai komando, pemimpin sekaligus sebagai sutradara. Dalang bukan orang sembarangan, karena tidak semua orang bisa menjadi dalang yang mumpuni (kompeten). Telah diuraikan di atas bahwa wayang merupakan gabungan dari beberapa seni yakni seni rupa, seni suara, seni drama, seni karawitan dan musik serta seni sastra. Dalang yang mumpuni (kompeten) adalah dalang yang mampu menguasai dan menyatukan beberapa kesenian tersebut diatas menjadi satu kesatuan yang utuh. Uraian mengenai kompleksitas gabungan dari beberapa seni yang terkandung dalam wayang kulit tersebut adalah sebagai berikut:
42
(1). Seni rupa Wayang merupakan seni rupa yang sangat kompleks keindahannya. Paling tidak ada tiga bentuk seni rupa dalam wayang yakni tatah sungging dan wandha wayang. (a). Tatah Tatah atau tatahan adalah badan wayang yang diwujudkan dalam bentuk pahat, dari mulai ujung kaki hingga ujung rambut. Nampak seperti gambar Jagal Abilawa seperti terlihat pada gambar 1 menunjukkan betapa tatah wayang begitu rumit. Penampilan secara fisik ini menunjukkan kompleksitas pahatan sehingga siapapun yang melihat secara seksama akan mengakui bahwa tatah wayang merupakan seni rupa tingkat tinggi.
Gambar 1. Jagal Abilawa
43
(b). Sungging Gambar Bhatara Guru di bawah ini menunjukkan sunggingan (corak) wayang yang begitu indah. Badan, pakaian, senjata (gaman), perhiasan serta hewan yang dipakai sebagai kendaraan semua diwujudkan dalam sungging (corak) yang sangat kontras sehingga nampak seperti keadaan yang sesungguhnya. Nilai estetika yang berkaitan dengan sunggingan wayang kulit mudah dipahami kehadiranya karena riil berupa benda. Sunggingan akan terlihat indah manakala penonton memperhatikan wayang dengan teliti.
Gambar 2. Bathara Guru (c). Wandha wayang Salah satu yang membuat wayang menjadi seolah-olah hidup adalah karena faktor wandha. Menurut Pandam Guritno (1988 : 42), wandha adalah ”ekpresi atau ungkapan watak atau dapat pula berarti ekpresi keadaan batin”. Tokoh Puntadewa berbeda wanhda dengan
44
Prabu Baladewa, tetapi satu tokoh wayang bisa memiliki bermacammacam pola yang menunjukkan wandha atau yang menunjukkan perwatakan atau suasana hatinya. Wandha Raden Arjuna bisa dalam wandha kinanthi, wandha mangu, wandha kanyut dan lain sebagainya. Menurut Budiono Herusatoto (2008 : 181-182), wandha wayang meliputi ”wajah atau bentuk muka, warna muka, gaya, dedeg (postur yang menunjukkan pendek dan tingginya wayang), gaya, luk (liku-liku bentuk), macam pakaian, bentuk tangan, bentuk muka, mata, telinga dan mulut”. Wandha wayang merupakan daya pembeda, karena lewat wandha wayanglah bagaimana watak tokoh wayang, karakter, suara, cara berjalan dan sifat-sifat lainnya dapat diketahui.
Gambar 3. Prabu Baladewa
45
Wajah yang sedikit mendongak menunjukkan suaranya yang keras, sedangkan warna muka yang merah menunjukkan bahwa watak
wayang
tersebut
adalah
pemarah.
Wajah
merunduk
melambangkan suara dan tutur yang halus, misalkan tokoh Prabu Puntadewa, Raden Janaka, Raden Abimanyu dan lain-lain.
Tiap
penampakan wajah wayang menyimpan maksud yang berbeda sehingga perlu penafsiran yang cermat untuk bisa mengungkap apa simbol yang terkandung didalamnya. (2). Seni drama Wayang juga kaya akan seni drama, dalam pementasan wayang sesungguhnya terdiri dari bagian-bagian percakapan yang membentuk rangkaian cerita yang utuh layaknya pementasan drama. Perbincangan antar tokoh dan perwatakan merupakan tugas utama dalang untuk mendramatisir agar wayang menjadi seolah-olah hidup. Tiap cerita wayang memiliki karakteristik alur drama yang berbeda-beda. Cerita tentang ”Karna tanding” misalnya menjadi cerita yang begitu heroik ketika kedua orang yang sama-sama sakti mandraguna (yakni Prabu Karna dan Raden Janaka) bertemu dalam medan laga untuk bertandhing adu kesaktian. Ceritanya semakin seru ketika keduanya memilih paes kereta (sopir kereta perang) yang juga sama-sama hebat. Paes keretra Prabu Karna adalah Prabu Salya dan Paes Raden Janaka adalah Prabu Kresna, keduanya memiliki teknik yang sama-sama hebat dalam menyetir kereta. Cerita tentang pertandingan ini disusun menjadi cerita yang begitu mendebarkan dan seolah-olah penonton menyaksikan peperangan sesungguhnya. (3). Seni suara Seni suara tercermin dari kekompakan suara dalang, suara gamelan, suara pesinden atau waranggana, suara niyaga dan suara gerong (kur laki-laki) untuk membentuk suatu perpaduan suara yang pas. Suara-suara tersebut
46
saling mengisi dan melengkapi sehingga menjadi perpaduan yang harmonis misalnya, saat dalang menceritakan tentang kesedihan, pesinden menyanyikan lagu-lagu yang juga bernada sedih, gamelanpun juga diset dengan nada-nada yang sedih, sehingga suasana seperti dalam suasana duka yang sebenarnya. (4). Seni karawitan atau seni musik Seni karawitan dalam pentas wayang merupakan perpaduan antara seni suara dengan seni musik. Paduan antara seni suara dan seni musik menjadi identik. Seni karawitan ditunjukkan bagaimana rumitnya para niyaga (penabuh gamelan) mengiringi jalanya cerita dengan komposisi musik yang padu, sedangkan seni sastra tergambarkan melalui dalang yang membuat narasi cerita, berakting sesuai sifat dan watak masingmasing wayang dan sebagainya. Gabungan beberapa seni ini tergabung menjadi satu kesatuian yang utuh, sehingga dalam satu kali pertunjukan wayang kulit bisa dinikmati pentas seni yang indah, rumit dan kompleks, jadilah wayang kulit menjadi pertunjukan yang adiluhung. Musik dalam pementasan wayang dewasa ini meluputi musik klasik dan musik modern. (a). Musik klasik Musik klasik terdiri dari seperangkat gamelan yang terdiri dari dua laras yakni laras pelog dan laras slendro. Musik gamelan lazimnya terdiri dari saron, demung, kenong, gong, rebab, kendang, gender, gambang dan demung. Uniknya, gamelan merupakan alat musik tradisional serba bisa, gamelan merupakan peralatan sederhana yang dapat dipakai untuk mengiringi gendhing-gendhing atau lagu apapun. (b). Musik modern Pementasan wayang dewasa ini tidak hanya didukung dengan musik klasik yang berupa seperangkat gamelan, seiring perkembangan
47
zaman, pementasan sering dilengkapi dengan alat musik modern bertenaga listrik seperti keyboard, gitar listrik dan lain-lain. Keyboard dimanfaatkan untuk menambah pementasan misalnya efek suara dalam adegan-adegan tertentu, suara angin, suara hewan dan lain-lain. Alat musik pendukung lain seperti drum, jedor, ketipung dan alat musik lain bila dirasa perlu. (5). Seni sastra Lakon dalam wayang kulit merupakan seni sastra bermutu tinggi, sebab selain runutan cerita yang tersusun secara sistematis, cerita dalam wayang juga kaya falsafah, nilai-nilai dan ajaram-ajaran keutamaan hidup. Cerita dalam wayang merupakan mitologi yang bukan sekedar reportase kejadian, tetapi merupakan tuntunan dan pedoman hidup. Melalui pemamaran alur cerita dalam wayang, diharapkan dapat menuntun manusia ke jalan keutamaan hidup. Cerita tentang Karna tandhing bukan hanya diskripsi mengenai peperangan yang terjadi antara Prabhu Karna dengan Raden Janaka, tetapi juga bisa dijadikan sebagai falsafah hidup. Prabu Karna merupakan perwatakan yang baik dan selalu teguh pendirian, konsisten dan selalu memegang dharmaning aurip. Karna pada alur cerita memang membela para kurawa yang merupakan simbolisasi dari angkara murka dan kejahatan, tetapi bukan berarti Prabu Karna jahat. Karna bertanding melawan Arjuna bukan membela perbuatan Para Kurawa yang jelas berbuat angkara murka, Prabu Karna berperang karena ”netepi dharmaning aurip, mbelani wutah darahe” (berperang demi menjalankan kewajiban membela tanah air). Raden Arjuna juga hebat, walaupun Prabu Karna adalah saudara sendiri, tetapi bukan lantas menggelapkan kebaikan. Arjuna tetap berperang melawan Prabu Karna karena Prabu Karna berpihak pada Kurawa yang jelas-jelas berwatak angkaramurka. Baik tetap baik dan
48
angkaramurka tetap angkara murka, walaupun musuh, bila berbuat baik maka wajib untuk dibela, tetapi bila perbuatan jahat dan angkara murka, walaupun saudara sendiri harus tetap dilawan dan di binasakan. Perang baratayuhda merupakan peperangan pembuktian, becik ketitik ala ketara, sing sapa salah bakale seleh (yang baik pada akhirnya akan kelihatan baik dan yang jelek akan kelihatan jelek, siapa yang salah dia akan kelihatan salah). 2). Nilai Etika Nilai etika merupakan nilai yang abstrak yang terkandung dalam wayang. Berikut ini akan dipaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan nilai etika. a). Makna etika Menurut Bertens (1997 : 4), etika berasal dari Bahasa Yunani yang bisa ditinjau dari bentuk jamak dan dalam bentuk tunggal, dalam bentuk tunggal, ”etika berasal dari kata ethos yang berarti tempat tinggal yang biasa, adat, kebiasaan, cara berfikir, sikap, watak, perasaan, padang rumput, kandang. Etika dalam bentuk jamak berasal dari kata ta etha yang artinya adat kebiasaan”. Menurut Bertens (1997 : 4), ”kata yang sepadan dengan etika bila ditinjau dari sudut etimologi adalah kata moral. Moral berasal dari Bahasa Latin mos dan dalam bentuk jamak mores yang juga berarti adat kebiasaan”. Etika dan moral sama-sama memiliki makna kata yang sepadan walaupun berasal dari bahasa yang berlainan. Pengertian etika seperti dipaparkan di atas merupakan pengertian etika secara umum yang masih terlalu luas cakupannya. Pengertian etika secara rinci dapat dikutip dari pendapat Bertens (1997 : 6), ia berpendapat bahwa etika dapat dimaknai dari tiga segi: ”yakni etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma sebagai pegangan hidup, etika sebagai kumpulan nilai moral dan ilmu mengenai baik atau buruk”. Pengertian pertama, etika berarti seperangkat norma-norma dan nilai-nilai yang dijadikan pegangan, rujukan ataupun
49
petunjuk suatu masyarakat tertentu dalam bertingkah laku. Etika dalam hal ini sebagai kompas kehidupan yang dapat dipakai sebagai pegangan dalam brperilaku bersama. Etika dijadikan sebagai kerangka gerak artinya, masyarakat pengusungnya akan berperilaku seperti apa yang ada dalam etika yang telah disepakati, apabila melanggar maka orang tersebut dinyatakan telah melanggar etika. Pengertian yang kedua mengartikan etika sebagai sekumpulan asas atau nilai moral, dengan kata lain etika dimaknai sebagai kode etik. Mirip dengan pengertian pertama, etika sebagai kode etik dijadikan sebagai parameter bagaimana sekumpulan orang harus berbuat. Contoh, dalam kehidupan sehari-hari dikenal etika perawat, etika kedokteran, etika advokat dan lain sebagainya. Pengertian yang ketiga dari etika adalah etika dimaknai sebagai ilmu pengetahuan yang dipergunakan sebagai sarana untuk mengetahui tentang suatu hal yang baik dan yang buruk. Etika sebagai ilmu ini bukan berfungsi sebagai hakim yang berfungsi untuk mengadili suatu perkara, namun lebih kepada menggambarkan keadaan yang sesungguhnya tanpa berhak memvonis (mengadili) permasalahan yang ada baik atau buruk. b). Etika dan etiket Penggunaan istilah
etika dalam kehidupan sehari-hari sering
dicampuradukkan dengan pengertian etiket, padahal sebenarnya terdapat perbedaan antara keduanya. Menurut Bertens (1997 : 8), ”etika sama dengan moral, sedangkan etiket sama dengan sopan santun”. Kebiasaan menyerahkan barang kepada atasan dengan menggunakan tangan kanan adalah etiket atau sopan santun, dengan kata lain etiket hanya merupakan suatu cara bagaimana suatu perbuatan harus dilakukan, sedangkan etika atau moral lebih dalam dari hanya sekedar cara. Larangan mencuri adalah etika atau moral, apapun alasannya, mencuri tetap mencuri dan mencuri adalah perbuatan melanggar etika, sedangkan memberikan barang kepada atasan bisa saja dilakukan dengan tangan kiri dan sebenarnya tidak masalah.
50
Etika berlaku absolut sedangkan etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Mencuri, dimanapun tempatnya adalah perbuatan yang melanggar etika, sedangkan kebiasaan makan dengan mengeluarkan suara (kecap) adalah sopan santun yang bila dilakukan ketika makan sendirian tidak menjadi masalah. Konteks yang lain, etiket bersifat relatif sedangkan etika lebih absolut. Sopan santun yang dipakai di negara tertentu, belum tentu di negara lain berlaku, misalnya kebiasaan memegang kepala orang yang lebih tua dianggap perbuatan yang tidak sopan bagi kebudayaan Indonesia, padahal dinegara barat memegang kepala merupakan bentuk kedekatan, sedangkan perampokan dengan disertai pembunuhan dimanapun tempatnya adalah perbuatan melanggar etika. Etiket hanya mencerminkan perbuatan manusia dari luar, sedangkan etika lebih mendalam. Politikus misalnya kelihatan menggunakan sopan santun, perbuatannya begitu sopan, santun, padahal bisa saja mereka hanya menggunakan sopan santun sebagai alat untuk memuluskan niat busuknya dan munafik. Etika lebih bersifat mendalam, bisa saja orang berbuat munafik, tetapi orang yang selalu memegang etika tidak akan berbuat munafik karena munafik dianggap perbuatan yang tidak etis. c). Amoral dan immoral Sering terjadi kesalahan penggunaan istilah amoral dan imoral dalam kehidupan sehari-hari. Orang sering menyebut pembunuhan sadis merupakan perbuatan
yang
amoral.
Penggunaan
kata
amoral
untuk
menyebut
pembunuhan yang sadis sebagai perbuatan amoral adalah tidak tepat. Menurut Bertens (1997 : 7-8), ”amoral diartikan sebagai tidak berhubungan dengan moral atau bebes moral atau non-moral atau tidak ada relevansi moral, sedangkan kata-kata tidak bermoral lebih tepat menggunakan kata imoral”. Pembunuhan sadis lebih tepat menggunakan kata imoral bukan kata amoral.
51
d). Norma moral Menurut W. Poespoprodjo (1986 : 116-117) norma diartikan sebagai ”aturan, setandar atau ukuran, sedangkan norma moral atau norma moralitas diartikan sebagai aturan, standar atau ukuran yang dengan aturan, standar atau ukuran tesebut dapat mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan yang dapat di pertanggungjawabkan”. Manusia memiliki kelebihan akal yang dapat memungkinkan memiliki segala kelebihan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Konskuensinya, manusia berpeluang memiliki perbedaanperbedaan, untuk menyelaraskan dan mengatur agar hubungan yang penuh dengan perbedaan tersebut tetap berjalan, maka dibentuklah norma-norma sosial. Menurut Soerjono Soekanto (2005 : 200) berdasarkan kemampuan mengikatnya, norma sosial meliputi ”cara (usage), kebiasaan (falkways), tata kelakuan (mores) dan adat-istiadat”. Cara atau usage merupakan bentuk norma sosial yang paling lemah daya ikatnya. Cara merupakan cerminan hubungan antar individu. Penyimpangan terhadap cara, tidak akan menyebabkan yang melanggar terkena hukuman ataupun sanksi, tetapi hanya sekedar celaan dari lawan interaksinya. Contoh, orang yang sedang makan bersama tiba-tiba salah seorang dari mereka mengeluarkan ingus dengan keras. Cara yang demikian dianggap tidak pantas, namun pelakunya tidak mendapat hukuman yang berat, paling hanya sekedar ditegur karena membuat teman lain menjadi jijik. Kebiasaan atau folkways merupakan norma sosial yang tingkatan ikatnya lebih tinggi dibandingkan dengan cara (usage), orang yang melanggar kebiasaan dianggap melakuikan penyimpangan karena telah melanggar kebiasaan sebelumnya. Kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk aktivitas yang sama, misalnya, kebiasaan meperlakukan orang tua dengan penuh hormat, apabila ada orang yang tidak demikian maka orang tersebut dikategorikan menyimpang. Kebiasaan atau folkways apabila dijadikan sebagai norma pengatur, maka folkways atau kebiasaan tersebut
52
sebagai tata kelakuan atau mores yang daya ikatnya menjadi lebih tinggi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan yang kuat tertanam dimasyarakat akan meningkat menjadi adat istiadat. Orang yang melanggar adat-istiadat akan mendapatkan hukuman yang keras dari golongannya, contoh kasus perceraian bagi masyarakat lampung yang akan mendapatkan sanksi berat berupa dikeluarkan dari golongannya. Menurut Soerjono Soekanto (2005 : 205), selain norma diatas, masih ada norma-norma lain yang ada dimasyarakat, norma-norma tersebut adalah ”norma agama, norma kesusilaan, norma sopan-santun dan norma hukum”. Norma agama dan norma kesusilaan merupakan norma yang kaitannya mengatur pribadi manusia. Norma agama bertujuan agar manusia menjadi pribadi yang beriman, pribadi yang percaya terhadap kekuasaan dan eksistensi Tuhan, dzat yang membuat alam semesta, sedangkan norma kesusilaan ditujukan agar manusia memiliki hati-nurani yang bersih. Norma hukum dan norma sopan-santun merupakan norma yang mengatur hubungan antara pribadi dengan orang yang ada di sekitarnya. Norma kesopanan bertujuan agar manusia dalam hidupnya bertingkah laku yang baik terhadap sesama manusia, sedangkan norma hukum bertujuan agar manusia dalam hidupnya menaati hukum-hukum yang telah disepakati agar tercapai kedamaian hidup, tertib dan tentram. Norma selalu dinamis, agar norma-norma tersebut melembaga (institutionalized), norma tersebut perlu disosialisasikan agar norma diketahui, dipahami, dimengerti, ditaati dan dihargai. Apa bila norma tersebut sudah diketahui, dipahami, dimengerti, ditaati dan dihargai, norma-norma tersebut akan mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat atau mengalami proses internalized dan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam hidup. e). Kandungan nilai etika dalam wayang Pertunjukan wayang sebenarnya banyak menyampaikan pesan-pesan moral melalui percakapan para tokoh wayang, dari percakapan inilah dalang
53
memaparkan secara detail dan mendalam apa pesan moral sesuai karakter tokoh. Nilai etika merupakan nilai paling abstrak dalam wayang kulit karena bersifat non-materiil. Wayang tidak secara langsung membeberkan nilai etika, namun nilai etika akan muncul dan nampak jelas bila ditelusuri melalui penghayatan. Lakon Ramayana yang menceritakan Negara Alengka Diraja dengan penguasa Prabu Rahwana adalah cerita penuh makna etika. Prabu Rahwana pada suatu ketika menculik Dewi Sintha yang merupakan istri Prabu Rama. Rahwana terbuai nafsu asmara dan terpesona oleh kecantikan Dewi Sintha, walaupun Sintha sudah menjadi istri orang lain, tetapi karena dorongan syahwat yang menggelora, Rahwana tetap menginginkan Sintha menjadi istrinya, diculiklah Sintha dan dibawa ke Alengka. Perbuatan Rahwana secara etika adalah salah. Mengambil Dewi Sintha yang merupakan istri Rama, adalah perbuatan pencurian yang tidak dibenarkan secara etika. Perbuatan Rahwana ditanggapi berbeda oleh kedua adiknya, Kumbakarna dan Raden Wibisana. Wibisana lebih memilih membantu Rama berperang melawan Rahwana yang tidak lain adalah kakaknya, berperang menghancurkan Negara Alengka yang tidak lain adalah negaranya. Wibisana beranggapan, kakaknya secara etika bersalah dan pantas untuk diperangi. Berbeda dengan Wibisana, Kumbakarna memilih mempertahankan Alengka dan berperang melawan Prabu Rama tetapi bukan karena membela Rahwana yang jelas-jelas salah. Kumbakarna tetap berperang melawan Rama karena pertimbangan etika, membela tanah kelahiranya dari serangan musuh sebagai wujud dari jiwa patriotisme. Lain halnya dengan Dewi Sintha, karena Sintha secara etika sudah menjadi istri Rama, maka Sintha bersumpah untuk selalu menjaga kehormatannya, tidak akan pernah melayani hubungan layaknya suami-istri kecuali dengan suaminya, bahkan bila sampai ada yang memegang kulitnya selain suaminya, maka Sintha bersumpah akan mengelupas kulitnya, bila ada
54
yang sampai berani memegang pakaianya, ia bersumpah akan merobek pakaianya. Cerita di atas menggambarkan peperangan demi mempertahankan etika sebagai representasi nilai kesetiaan. Tidak etis bagi Sintha melayani orang yang bukan suaminya, begitupun juga Wibisana merasa tidak etis membela kakaknya yang jelas bersalah karena telah mencuri istri orang, sebaliknya Kumbakarna merasa tidak etis bila tidak mempertahankan negaranya dari serangan musuh walaupun pemimpinnya bersalah, begitu juga Rama merasa tidak etis bila tidak berperang melawan Rahwana yang jelasjelas telah melecehkan martabat diri dan negaranya. 3). Nilai Falsafah a). Pengertian falsafah Menurut Kamus Bahasa Jawa (2001 : 196), kata falsafah berarti ”gagasan, panemu lan utawa gegebenganing aurip (gagasan, pendapat dan atau pegangan hidup). ”Duwe falsafah” berarti duwe panemu utawa duwe gagasan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua (1996) falsafah adalah ”anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat. Falsafah juga diartikan sebagai pandangan hidup”. Berfalsafah berarti memikirkan dalam-dalam tentang sesuatu atau mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang dalam yang dijadikan pandangan hidup. Menurut Budiono Herusatoto (2008 : 110-111) dalam bukunya yang berjudul Simbolisme Jawa, ”falsafah diartikan sama dengan filsafat. Dia menyebut falsafah hidup jawa disamakan dengan pandangan hidup jawa”. Pandangan hidup jawa lazim disebut ngilmu kejawen atau ngilmu kesempurnaan jawa, dalam ranah hierarki ilmu, ilmu kesempurnaan jawa atau ilmu kesempurnaan jiwa termasuk dalam ilmu kebatinan, orang jawa menyebutnya sebagai suluk atau mistik. Ilmu kesempurnaan jawa dalam islam sepadan dengan istilah tasawuf atau sufisme. Ilmu kesempurnaan jiwa bukan merupakan ajaran agama atau keyakinan agama tetapi hanya sekedar
55
kepercayaan, ajaran atau paham, dalam ilmu kasampurnaan jiwa terdapat ajaran spiritual. Menurut Koentjaraningrat dalam M. Munandar Sulaeman (1998 : 7378), ”pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat yang dipilih secara selektif oleh para individu dan golongan di dalam masyarakat. Pandangan hidup bisa bersumber dari agama, ideologi negara maupun hasil perenungan”. Pandangan hidup berperan sebagai petunjuk atau pedoman untuk bersikap hidup yang penuh kebijakan. Pandangan hidup yang bersumber dari agama misalnya Agama Islam. Islam dijadikan sebagai pedoman, cita-cita, kebajikan dan sikap hidup yang datang dari Alloh SWT yang mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar. Pandangan hidup yang bersumber dari ideologi, berasal dari gagasan, pikiran, intisari konsepsi yang mengandung kristalisasi nilai kebenaran yang merangsang
masyarakat untuk mengamalkannya yang diyakini oleh
sekelompok masyarakat. Pandangan hidup yang bersumber dari ideologi ini misalnya ideologi pancasila, ideologi komunis, kapitalis dan lain sebagainya. Pandangan hidup yang bersumber dari hasil perenungan manusia misalnya kelompok ilmu kebatinan. Ilmu kebatinan diperoleh dari hasil perenungan yang lazim disebut wangsit dari hasil melakukan laku tirakat atau laku tapa. Kelompok kebatinan yang ada di Indonesia misalnya Pangestu, singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal. b). Simbolisme wayang Wayang merupakan karya seni yang kaya nilai estetika, namun demikian nilai estetis wayang tidak akan muncul dengan sendirinya. Menurut Budiono Herusatoto (2008 : 178-183), ”wayang merupakan karya seni yang merupakan simbol-simbol, untuk memahami nilai estetis yang terkandung dalam wayang berarti perlu mengungkap, memahami, mengapresiasi atau menafsirkan simbol-simbol tersebut”. Menurut Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawita (2004 : 191), ”melalui simbol-simbol inilah nilai yang
56
ada dalam wayang kulit diajarkan, untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut dapat melalui berbagai cara antara lain melalui penjelmaan dan benda, tokoh, karawitan, dialog dan monolog serta melalui warna”. Penjelasan dari pendapat Kartika tersebut di atas adalah sebagai berikut: (1). Melalui penjelmaan dan benda Penyampaian nilai melalui pemjelmaan dan benda ini misalnya Prabu Kresna yang merupakan penjelmaan dari Bhatara Wisnu, Semar sebagai penjelmaan Dewa yang tugasnya didunia menjadi penuntun bagi akhlak manusia. Kayon secara simbolis dimaknai sebagai gerbang pembuka (gapura) dan penutup jagad pewayangan. (2). Melalui tipe tokoh Tokoh merepresentasikan antara tokoh halus dan kasar, tokoh halus misalnya tokoh satria (kesatria), dewi, sedangkan tokoh kasar misalnya raksasa dan lain sebagainya. (3). Melalui karawitan Karawitan dalam wayang bukan hanya bunyi yang tidak ada maknanya, karawitan
merupakan
instrumen
penting
yang
berfungsi
untuk
menggambarkan suasana, karawitan juga bisa menjadi daya pembeda antar masing-masing karakter perorangan maupun karakter kelompok. (4). Melalui dialog dan monolog Wayang merupakan perwujudan drama tingkat tinggi karena kaya akan muatan filsafat dan nilai-nilai. Melalui dialog dan monolog, nilai-nilai tersebut ditafsirkan. Melalui dialog pula urutan-urutan dan karakter tokoh dapat diketahui.
57
(5). Melalui warna Warna yang dipakai untuk menggambarkan nilai biasanya terdapat pada muka atau wandha wayang. Warna putih menunjukan kesatria, penenang, penyabar, orang yang suci dan mempunyai sifat polos. Warna hijau muda menandakan sifat alim, pinandhita dan muda. Warna merah muda menggambarkan watak yang keras hati, pandai dan lincah. Warna merah tua
sebagai
simbol
pemarah
dan
angkaramurka.
Warna
emas
menunjukkan tokoh yang bersangkutan bernilai tinggi, agung. Warna biru muda menunjukkan tokoh yang adil, jujur dan mempunyai pandangan yang luas. c). Kandungan nilai falsafah dalam wayang Pertunjukan wayang selain menjadi tontonan (media huburan) wayang juga berperan sebagai tuntunan (ajaran yang dipakai sebagai pegangan hidup) bagi para penontonya. Dalang sebagai perantara untuk menyampaikan pesanpesan mengenai falsafah hidup melalui karakter masing-masing tokoh. Menurut Soetarno (2004 : 43-44), ”setelah penonton melihat pementasan wayang, orang biasanya mendiskusikan dan membicarakan makna lakon dan kejadian-kejadian yang ada dalam lakon tersebut, perwatakan dan temperamen dari masing-masing tokoh”. Proses pencarian isi pertunjukan hingga mengupas karakter wayang dari satu lakon tertentu terjadi setelah orang mendiskusikan makna lakon. Peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam alur cerita (lakon) hanya sekedar rangsangan untuk menggugah perhatian terhadap masalah yang ditampilkan oleh dalang, demikian pula cerita (lakon) yang disajikan tidak jarang mengandung konsepsi yang digunakan sebagai pedoman sikap dan perbuatan masyarakat penontonya. Konsepsi tentang hakikat hidup, tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan maupun hubungan antar sesama manusia, semua itu terdapat dalam pertunjukan wayang. Wayang secara hakikat merupakan simbol-simbol falsafah, bila dikupas secara
58
mendalam akan nampak nilai-nilainya, sebagai contoh, kayon merupakan simbol dari siklus hidup manusia. Kayon yang memiliki bentuk menyerupai segi tiga merupakan cerminan bahwa manusia hidup melewati tiga rangkaian, yakni lahir, manten (menikah) dan mati. Sisi bawah kayon menggambarkan bagaimana manusia yang tadinya tidak ada menjadi ada lewat proses kelahiran. Sisi sebelah kiri yang merupakan sisi naik atau menanjak menggambarkan posisi puncak manusia yang biasanya dalam fase ini merupakan fase manten (menikah) untuk meneruskan keturunan. Sisi kanan yang merupakan sisi menurun merupakan gambaran bahwa secara kodrati, secara alamiah manusia akan mengalami surut (penurunan) setelah melewati posisi puncak. Penurunan ini bisa berupa penurunan tenaga, kemampuan, stamina dan lain-lain. Posisi turun ini sebagai fase menuju siklus kematian, manusia yang tadinya tidak ada, menjadi ada melalui proses kelahiran dan kembali akan tidak ada lewat kematian.
Gambar 4. Kayon
59
Nilai falsafah lain yang terkandung dalam wayang kulit berasal dari menafsirkan tokoh wayang. Tokoh Prabu Puntadewa dapat ditafsirkan sebagai tokoh yang jujur. Selama hidup Puntadewa tidak pernah bohong. Nilai kejujuran selalu dipegang terus dengan teguh dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari walaupun dengan musuh. Tidak mengherankan bila Puntadewa menjadi harapan terakhir bagi orang yang akan mencari jawaban kejujuran. Cerita mengenai kejujuran Puntadewa tercermin dalam lakon Durna Gugur dalam cerita perang baratayudha, perang antara Pendawa dan Kurawa. Raden Werkudara adalah tokoh yang memiliki keberanian. Semar adalah tokoh kebijaksanaan, sedangkan Sengkuni adalah tokoh yang licik, karena dimanapun sengkuni berada selalu menghasut dan memperdayai musuh-musuhnya. Pendawa dan Kurawa adalah saudara, tetapi karena ulah Sengkuni, mengakibatkan Pendawa dan Kurawa saling bermusuhan.
Gambar 5. Raden Harya Sangkuni atau Harya Suman
60
4). Nilai falsafah Pancasila dalam wayang Menurut Pandam Guritno (1988 : 94-108), ”azas pancasila terkandung dalam wayang, azas tersebut meliputi ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial”. Azas pancasila terkandung dalam wayang merupakan nilai abstrak, pemahaman terhadap azas-azas tersebut memerlukan suatu proses penafsiran. Kandungan kelima sila Pancasila merupakan nilai falsafah yang juga terkandung dalam wayang kulit. 3. Tinjauan tentang Pewarisan Nilai a. Persepsi Memahami wayang kulit sebagai karya seni tidak bisa dipisahkan dari unsur persepsi. Karya seni bersifat relatif antar masing-masing individu. Seni mengandung unsur yang bersifat riil berupa benda maupun unsur yang bersifat abstrak berupa konsepsi nilai. Memahami benda riil dari karya seni adalah hal yang mudah karena secara visual dapat dilihat oleh mata. Unsur abstrak dalam karya seni tidak bisa ditemukan secara langsung, akan tetapi perlu penafsiran bagaimana kemampuan yang tidak bisa lepas dengan meresapi untuk mengungkap isi pesan dan bagaimana seseorang menyadari pesan-pesan yang terkandung dalam karya seni tersebut. Memahami karya seni tidak bisa lepas dari unsur persepsi. 1). Pengertian Persepsi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1996 : 759), mengartikan persepsi merupakan ”tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Persepsi juga diartikan sebagai proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indera”. Suatu ketika ada orang selesai dari jalan-jalan menceritakan keindahan gunung yang pernah dilihatnya seperti taman yang tidak ada tandinganya, berarti dia sedang mempersepsikan gunung sebagai sesuatu yang maha indah. Menurut Bower, ”persepsi ialah interpretasi tentang apa yang di inderakan atau dirasakan individu” (Bower dalam id.shvoong.com, diakses pada 1
61
Desember 2009). Menurut Gibson, ”persepsi merupakan suatu proses pengenalan maupun proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu” (Gibson dalam id.shvoong.com, diakses pada 1 Desember 2009). Menurut Slameto (2003 : 102), persepsi adalah ”proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia”. Pesan tersebut ditangkap melalui panca indera, baik melalui indera penglihatan, pendengar, peraba, perasa maupun indera penciuman. Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses hasil keputusan respon dari obyek (stimulus) yang dihadapi baik melalui penglihatan, pendengaran, penciuman dan perabaan yang diteruskan ke otak untuk diproses dalam otak yang selanjutnya menjadi keputusan atau kesimpulan. 2). Prinsip dasar Persepsi Menurut Slameto (2003 : 102), beberapa prinsip dasar persepsi adalah ”bahwa persepsi bersifat relatif, bersifat selektif, mempunyai tatanan, dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan dan tiap kelompok bisa berbeda”. Penjelasan dari prinsip dasar persepsi tersebut adalah sebagai berikut: (a). Persepsi bersifat relatif Persepsi itu relatif, bukan absolut, dengan demikian tiap-tiap individu memiliki persepsi atau tanggapan berbeda walaupun obyek yang diamati sama. (b). Persepsi bersifat selektif Tidak keseluruhan rangsangan diperhatikan dan mampu ditangkap oleh indera. Artinya, rangsangan yang diterima akan tergantung pada apa yang pernah dipelajari, yang pada suatu saat menarik perhatian dan ke arah mana persepsi itu mempunyai kecenderungan. (c). Persepsi mempunyai tatanan Rangsangan yang diterima bukan pecahan-pecahan tetapi berupa hubunganhubungan atau kelompok-kelompok. Jika rangsangan yang diterima tidak jelas atau hanya sebagian, maka seseorang akan berusaha melengkapinya
62
sehingga rangsangan yang diterima menjadi kelompok atau hubungan yang utuh. Jika pada saat melengkapi rangsangan tersebut informasi yang dikumpulkan sama dengan rangsangan awal, maka rangsangan ini akan melengkapi rangsangan awal yang lebih dulu masuk, tetapi bila rangsangan yang dikumpulkan salah, maka yang akan terjadi adalah salah interpretasi atau salah pengertian. (d). Persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan Harapan dan kesiapan penerima pesan akan menentukan pesan mana yang akan dipilih untuk diterima, bagaimana pesan yang dipilih akan ditata dan bagaimana pesan tersebut akan diinterpretasikan. (e). Persepsi tiap kelompok bisa berbeda Seseorang atau kelompok dapat jauh berbeda dengan persepsi orang atau kelompok lain sekalipu situasinya sama. Perbedaan persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaan individu, perbedaan sikap, perbedaan kepribadian dan perbedaan motivasi, misalnya, untuk mendapatkan persepsi yang sama pada objek yang berbeda tentunya memerlukan metode yang berbeda pula. 3). Jenis-jenis persepsi Mengutip http://id.wikapedia.org, membedakan persepsi menjadi lima macam. Kelima macam persepsi tersebut adalah ”persepsi visual, persepsi auditori, persepsi perabaan, persepsi penciuman dan persepsi pengecapan” (diakses 1 Oktober 2009). Penjelasan dari kelima macam persepsi tersebut adalah sebagai berikut : (a). persepsi visual Persepsi visual merupakan persepsi yang dihasilkan dari indera penglihatan. Bagi orang yang tidak tuna netra, mata sebagai indera penglihatan merupakan indera yang paling banyak mempersepsikan suatu rangsangan yang ditangkapnya.
63
(b). persepsi auditori Persepsi auditori merupakan persepsi yang dihasilkan dari indera pendengaran. Telinga sebagai indera pendengaran akan memberikan reaksi terhadap rangsangan yang didengarnya. (c). persepsi perabaan Persepsi perabaan merupakan persepsi yang dihasilkan dari indera taktil yaitu kulit. (d). persepsi penciuman Persepsi penciuman merupakan persepsi yang dihasilkan dari indera penciuman. (e). persepsi pengecapan Persepsi pengecapan merupakan persepsi yang dihasilkan dari indera pengecapan yaitu lidah. b. Perubahan sosial dan budaya Perubahan kebudayaan berbeda dengan perubahan sosial. Menurut Kingsley Davis dalam Soerjono Soekanto (2005 : 309), “perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan”. Mengacu pada pendapat Kingsley Davis tersebut dapat dipahami bahwa perubahan kebudayaan memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari perubahan sosial. Perubahan kebudayaan mencakup tujuh unsur kebudayaan yakni kesenian, bahasa, sistem kepercayaan, sistem organisasi sosial, sistem mata pencaharian, teknologi dan sistem ilmu pengetahuan. Perubahan pada tujuh unsur kebudayaan kaitanya dengan wayang kulit purwa dijelaskan pada pemaparan di bawah ini: 1). Bahasa Unsur penting dalam kehidupan manusia adalah faktor bahasa. Interaksi antar manusia hanya bisa dilakukan jika terjadi komunikasi. Kontak dan komunikasi
64
bisa berjalan hanya bila ada bahasa sebagai sarana berkomunikasi. Bahasa dapat berupa bahasa verbal (berupa ucapan) maupun berupa bahasa non-verbal (selain ucapan yang dapat berupa simbol dan yang lain). 2). Sistem teknologi Sistem teknologi berimplikasi luas terhadap perubahan manusia. Pada dasarnya, teknologi dirancang untuk mempermudah kehidupan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, saat ini, teknologi dirancang sebagai alat ekonomi kapitalis untuk mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya. 3). Sistem mata pencaharian Sejarah peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari unsur sistem mata pencaharian. Guna mempertahankan hidupnya, akhirnya manusia menemukan pola-pola mengumpulkan bahan makanan dari yang paling sederhana (berburu dan meramu) hingga cara mutakhir (investasi, perbankkan, pasar saham dan lain-lain). Pengaruh ideologi ekonomi kapitalis dan pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan kesenian bergeser dari nilai seni menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada akhirnya seni dijadikan sebagai mata pencaharian. 4). Organisasi sosial Organisasi sosial merupakan unsur kebudayaan manusia yang dirancang untuk mengatur pola komunikasi. Organisasi sosial memungkinkan manusia membentuk pola hubungan. 5). Sistem ilmu pengetahuan Unsur kebudayaan yang paling menonjol pengaruhnya terhadap pola perubahan sosial adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Lewat pengetahuan manusia bisa meninggalkan bukti-bukti peradaban materiil yang berupa gedung megah, apartemen dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan pula yang menyebabkan manusia tahab demi tahab memperbaiki taraf hidupnya
65
menciptakan teknologi yang menjadi penanda atas kualitas peradaban manusia. Komputer, internet, kapal terbang dan yang lainya menunjukkan tingkat peradaban manusia. 6). Religi Kehidupan manusia akan terasa kering bila tidak mengenal dunia supranatural, alam goib yang menguasai hidup. Lewat religi manusia menyadari bahwa kehidupanya ada yang menghidupkan, ada yang membuat hidup. Religi adalah unsur kebudayaan yang efektif sebagai kontrol sosial. 7). Kesenian Kesenian merupakan unsur kebudayaan yang penting, dalam hidupnya, manusia perlu mengaktualisasi dirinya untuk memperhatikan hal yang indah. Melalui seni, manusia menangkap nilai keindahan alam tersebut, seni juga memungkinkan manusia untuk berkreasi, berkarya dan menciptakan hal indah dalam hidupnya melalui karya seni. Berbeda dengan perubahan kebudayaan, perubahan sosial memiliki cakupan lebih sempit. Menurut Kingsley Davis dalam Soerjono Soekanto (2005 : 304), “mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat”. Menurut Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto (2005 : 304), mengartikan perubahan sosial “sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat”.
Menurut Selo
Soemardjan dalam Soerjono Soekanto (2005 : 303), mengartikan perubahan sosial “adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarkat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat”.
66
Penulis sependapat dengan pendapat Kingsley Davis bahwa perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Sekecil apapun bentuknya, hampir tidak ada masyarakat di dunia manapun yang tidak mengalami perubahan, walaupun lingkupnya hanya individu yang tidak mempengaruhi kondisi sosial yang sifatnya lebih luas, tetapi tetap mengalami perubahan. 1). Penyebab perubahan sosial Penyebab perubahan sosial dapat berasal dari internal maupun pengaruh dari eksternal. Menurut Soerjono Soekanto (2005 : 318-325), faktor penyebab perubahan sosial antara lain ”bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk, adanya penemuan baru, terjadinya konflik, terjadinya pembrontakan atau revolusi, faktor alam, peperangan dan pengaruh kebudayaan lain”. Penjelasan faktor penyebab perubahan sosial tersebut adalah sebagai berikut: a). Bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk Pertambahan dan berkurangnya penduduk akan berdampak pada perubahan sosial. Pertambahan penduduk akan meningkatkan kompetisi diantara manusia agar bisa survival of life (bertahan hidupnya). Proses survival of life tersebut akan berdampak luas terhadap perubahan sosial, mempertahankan hidup berarti harus menjalin interaksi dengan manusia lain. Proses interaksi tersebut akan menghasilkan kerjasama, repetition (saingan) dan bahkan pertentangan (konflik). Ketiga wujud interaksi tersebut akan berimplikasi terhadap perubahan sosial. b). Pengaruh kebudayaan lain Proses perubahan sosial juga dapat terjadi akibat pengaruh kebudayaan dari luar kebudayaan yang telah dianut, dengan kata lain telah terjadi kontak kebudayaan. Kontak kebudayaan ini akan menghasilkan tiga golongan yakni orang yang terang-terangan menolak, orang yang menerima sebagian dan membuang yang sebagian lagi dan orang yang menerima secara total
67
kebudayaan yang masuk. Kontak kebudayaan ini akan besar pengaruhnya terhadap proses perubahan sosial. c). adanya penemuan baru Penemuan-penemuan baru khususnya dalam bidang teknologi berpengaruh besar terhadap perubahan kebudayaan, saat ini, budaya materi berkembang lebih cepat melampaui perkembangan budaya ide. Penemuan internet, komputer, robot, teknologi transportasi telah membawa implikasi besar pola perubahan sosial manusia. Dunia terasa dalam genggaman, budaya, gaya hidup, mode, hiburan yang ada jauh di negara lain, dalam hitungan detik bisa kita ketahui. Penemuan baru menyebabkan orang bisa memilih apa saja sesuai selera, hal ini tentu akan mengancam eksistensi budaya lokal yang terancam terpinggirkan, terancam ditinggal hanya karena alasan bosan atau alasan sudah tidak suka. d). Selain tiga hal diatas, peperangan, terjadinya konflik,
faktor alam dan
terjadinya pembrontakan atau revolusi juga turut menjadi penyebab perubahan sosial. 2). Perubahan sosial pada generasi muda Menurut Soerjono Soekanto (2005 : 193), ”kaum muda pada prinsipnya lebih cepat menerima perubahan”. Kaum muda yang mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan kebanyakan kaum tua, menyebabkan kaum muda lebih terbuka. Menurut Ougburn dalam Soerjono Soekanto (2005 : 306), ”teknologi lebih menonjol pengaruhnya dalam memicu proses perubahan sosial, hal ini terbukti bahwa pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan kaum muda memiliki banyak pilihan”. Pesatnya arus informasi membawa konskuensi hilangnya sekat antar negara, dalam waktu sekejab, orang bisa menelusuri kejadian yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kaum muda lebih bisa mengikuti ritme perubahan yang sedang terjadi, selain hal-hal yang telah diterangkan di atas, ada beberapa pendorong perubahan
68
sosial yang menyebabkan kaum muda lebih bisa menerima perubahan, menurut Soerjono Soekanto (2005 : 326-329), beberapa faktor pendorong perubahan sosial adalah: terjadinya kontak dengan budaya lain, pendidikan formal yang maju, sikap toleransi, masyarakat yang heterogen, sistem stratifikasi sosial yang terbuka, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, sikap yang berorientasi ke masa depan, sikap hidup yang ingin selalu maju dan sikap menghargai hasil karya dan sistem nilai yang beranggapan bahwa hidup manusia harus meningkat ke yang lebih baik. Penjelasan dari uraian di atas adalah sebagai berikut : a). Kontak dengan budaya lain Tidak ada satu negarapun yang hidup tanpa campurtangan pihak lain. Zaman globalisasi seperti saat ini, menyebabkan kontak kebudayaan dengan pihak lain menjadi semakin terbuka. Kontak antar individu, kelompok, lingkup negara bahkan antar negarapun bisa dilakukan nyaris tanpa ada hambatan. Pesatnya teknologi informasi menjadikan budaya dari suatu bangsa (baik berupa seni, ilmu pengetahuan, life style dan lain-lain), bisa diketahui, diakses dan bila perlu diadopsi menjadi bagian hidup individu dalam sub ordinat yang lebih kecil. b). Pendidikan formal yang maju Pendidikan formal merupakan sarana yang paling efektif dalam mobilitas sosial. Pendidikan formal menyediakan ruang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk belajar dan aktualisasi diri. Pendidikan formal menyediakan peluang-peluang, menyediakan kemungkinan-kemungkinan untuk merubah stratifikasi sosial seseorang melalui mobilitas vertikal. Pendidikan formal yang maju akan membawa efek bola sodok terhadap kemajuan dibidang lain misalnya terbentuknya sikap hidup yang lebih berorientasi ke masa depan keinginan untuk hidup lebih maju dan sikap menghargai hasil karya.
69
c). Sikap toleransi Toleransi yang tinggi cenderung membebaskan orang memilih sesuai apa yang diinginkan dan apa yang disukai. Toleransi akan membuka peluang bagi individu untuk keluar dari adat-istiadat kelompoknya. d). Masyarakat yang heterogen, sistem stratifikasi sosial yang terbuka, ketidakpuasan terhadap bidang kehidupan tertentu, sikap yang berierentasi ke masa depan, sikap hidup yang selalu ingin maju dan menghargai hasil karya dan sistem nilai yang beranggapan bahwa hidup manusia harus meningkat ke yang lebih baik juga berpengaruh besar terhadap proses terjadinya perubahan sosial dimasyarakat. 3). Perubahan sosial pada generasi tua Menurut Soerjono Soekanto (2005 : 193), ”generasi tua lebih sulit menerima perubahan”. Hal ini disebabkan karena apa yang diyakini mengenai norma-norma, adat istiadat dan nilai-nilai hidup sudah tertanam kuat dalam jiwanya. Apa yang didapatkan selama hidupnya sudah terinternalized, dengan demikian hanya sedikit orang tua yang mampu melepaskan apa yang telah didapat dan diyakini dalam jiwanya. Menurut Soerjono Soekanto (2005 : 329-330), ada beberapa hal yang dapat menghambat perubahan sosial, antara lain adalah: kurangnya kontak dengan masyarakat lain, perkembangan ilmu pengetahuan yang terhambat, sikap masyarakat yang sangat tradisional, vested interest, takut akan kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka buruk, hambatan ideologis, adat atau kebiasaan dan nilai hidup yang beranggapan bahwa hidup itu buruk dan tak mungkin di perbaiki. Penjelasan dari beberapa hal yang menghambat perubahan sosial tersebut adalah sebagai berikut:
70
a). Kurangnya kontak dengan masyarakat lain Terhambatnya kontak kebudayaan selain dipengaruhi faktor individu (seperti sikap masyarakat yang sangat tradisional, hambatan yang bersifat ideologi seperti keyakinan agama, vested interest), juga dipengaruhi oleh faktor keterbatasan akses. Kaum tua yang mengenyam pengalaman hidup sebelum adanya arus teknologi informasi, mengakibatkan kaum tua hanya menelaah budaya yang telah memasyarakat saja, yaitu budaya, norma, tradisi maupun adat-istiadat yang berkembang dalam kelompoknya sendiri. Faktor inilah yang dominan pada generasi tua sehingga budaya yang ia adobsi menjadi mendarah-daging (internalized). Sebaliknya, kaum muda yang hidup pada zaman globalisasi dengan pesatnya teknologi informas, menjadikan kaum muda lebih moderat, toleran dan cenderung terbuka terhadap datangnya budaya lain. b). Perkembangan ilmu pengetahuan yang terhambat Ilmu pengetahuan menyebabkan manusia sadar akan dirinya dan apa yang ada di sekitarnya. Orang yang berilmu mampu berfikir kritis dan mampu menghubungkan hukum sebab akibat dan mampu menanyakan alasan dari tiap-tiap yang ia kerjakan. Sebaliknya, orang yang tidak berpengetahuan akan menghambat perubahan sosial. c). Sikap masyarakat yang sangat tradisional Masyarakat tradisional terjadi karena mereka jarang kontak dengan kebudayaan lain, akibatnya, mereka tidak tahu bahwa diluar mereka masih ada sub ordinat kebudayaan lain. Faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap pola fikir tradisional. Pola fikir tradisional cenderung berprasangka buruk terhadap apa yang datang dari luar dirinya dan takut terjadi kegoncangan kebudayaan jika ia mengadopsi kebudayaan lain.
71
d). Adanya vested interest Masyarakat yang tradisional biasanya menjunjung tinggi adat-istiadat. Faktor jarang kontak dengan kebudayaan lain, menyebabkan adat-istiadat ini tertanam dengan kuat dan sulit untuk dirubah sehingga sulit menerima hal baru yang datang dari luar. Bagi masyarakat adat, menjunjung adat adalah harga mati tanpa harus banyak mempersoalkanalasan dan penyebabnya. e). Selain hal-hal seperti yang telah diuraikan di atas, nilai hidup yang beranggapan bahwa hidup itu buruk juga menghambat terjadinya perubahan sosial.
72
B. Kerangka Berfikir Nilai yang terkandung dalam wayang
Kontak kebudayaan
Generasi tua
Penerimaan nilai untuk generasi tua Proses pewarisan nilai wayang Penerimaan nilai untuk generasi muda
Generasi muda
Kontak kebudayaan
Gambar 6. Kerangka berfikir
Keterangan Kesenian wayang kulit purwa merupakan unsur kebudayaan yang memiliki nilai adi luhung. Wayang kulit diciptakan bukan tanpa alasan, wayang kulit yang muncul pada fase mitis pada perkembanganya dijadikan sebagai sarana
73
untuk menyebarkan nilai-nilai yang terdapat pada tiap alur cerita. Ada paling tidak tiga unsur nilai yang terdapat dalam wayang kulit, yakni nilai estetika, nilai etika dan nilai falsafah, selain itu didalam wayang kulit purwa juga terkandung nilai falsafah pancasila. Nilai-nilai ini dijadikan sebagai pandangan hidup masyarakat. Kini wayang sudah jauh meninggalkan zaman dimana wayang dibuat, hingga saat ini wayang masih relatif eksis dan masih ada masyarakat yang mengagumi (walaupun tidak lagi dijadikan sebagai pandangan hidup secara menyeluruh). Pewarisan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang terus berjalan hingga kini. Eksistensi wayang yang hingga kini masih ada masyarakat yang mengadopsi bisa dijadikan sebagai asumsi bahwa proses pewarisan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit benar-benar masih berjalan. Paling tidak, generasi tua yang mengenyam pengalaman hidup sebelum hiruk-pikuk globalisasi dan masuknya teknologi informasi, setidaknya membuat orang tua masih mewarisi nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit masih eksis hingga saat ini. Persoalannya muncul ketika wayang kulit berkembang pada saat generasi muda intens berinteraksi dan kontak dengan budaya luar yang disebarkan secara langsung maupun tidak langsung oleh canggihnya teknologi informasi. Globalisasi membawa dampak pada kontak kebudayaan antara generasi muda dengan budaya yang datang dari luar, sehingga mau tidak mau akan berpengaruh terhadap proses pewarisan nilai-nilai wayang kulit. Pada akhirnya, kontak kebudayaan mempengaruhi proses pewarisan nilai-nilai wayang bagi genersi muda.
74
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian 1. Tempat Penelitian Sesuai dengan judul penelitian ini, maka peneliti mengadakan penelitian dengan mengambil lokasi di Desa Kepuhsari Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri. Lokasi ini peneliti pilih sebagai tempat penelitian dengan alasan sebagai berikut : a. Desa Kepuhsari Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri merupakan sentra wayang kulit purwa. b. Perangkat desa Kepuhsari memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk melakukan penelitian. c. Tersedia sumber informasi yang dibutuhkan seperti dalang, pesinden, niyaga dan pengrajin wayang. 2. Waktu Penelitian Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian ini kurang lebih Sebelas (11) Bulan, dari Bulan Februari sampai dengan Bulan Desember 2009. Langkah yang akan dilalui dalam proses penelitian ini meliputi pembuatan proposal penelitian, pengumpulan data,
analisis data dan pembuatan laporan
penelitian. B. Bentuk/Strategi Penelitian Menurut Hadari Nawawi (2003 : 61), ”metode adalah cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan”. Abdurrahman Fathoni (2005 : 99), mengartikan metode penelitian sebagai ”cara kerja yang digunakan dalam melakukan penelitian”. Penulis menarik kesimpilan bahwa metode penelitian dapat diartikan sebagai seperangkat cara yang dipergunakan untuk memecahkan masalah yang sedang diteliti.
75
Banyak pendapat yang memaparkan beberapa metode yang dikenal dalam penelitian. Menurut Abdurrahman Fathoni (2005 : 99), secara garis besar metode penelitian dibedakan menjadi tiga metode pokok yakni ”studi kasus, eksperimen dan survey”. Penjelasan dari ketiga jenis metode tersebut adalah sebagai berikut: 1. Studi kasus Kasus artinya kejadian atau peristiwa. Studi kasus berarti penelitian terhadap suatu kejadian atau peristiwa tertentu, namun demikian peristiwa yang diteliti bukan sekedar penelitian biasa tetapi penelitian yang mengandung permasalahan sehingga perlu ditelaah dan di cari solusinya. Penerapan studi kasus misalnya adalah ahli psikologi menangani orang yang mengidap kelainan jiwa. 2. Eksperimen Bahasa lain dari eksperimen adalah percobaan. Metode eksperimen berarti metode percobaan untuk mempelajari pengaruh dari variabel tertentu terhadap variabel lain melalui uji coba dalam kondisi khusus yang sengaja diciptakan. Metode eksperimen biasanya menetapkan sedikitnya tiga variabel, pertama variabel terikat, kedua variabel eksperimen dan yang ketiga variabel non-eksperimen. 3. Survey Survey artinya pemeriksaan atau pengukuran. Metode survey ialah metode penelitian yang dilakukan untuk mengadakan pemeriksaan dan pengukuran-pengukuran terhadap gejala empirik yang berlangsung dilapangan atau lokasi penelitian. Pemeriksaan dan pengukuran pada metode survey umumnya dilakukan terhadap unit sampel yang dihadapi sebagai responden dan bukan terhadap seluruh populasi. Metode survey dikenal beberapa jenis yakni survey eksploratif (penjajagan), survey deskriptif (menggambarkan), survey
konfirmatif
(menjelaskan
pola
hubungan),
(mengevaluasi) dan survey prediktif (memprediksi).
survey
evaluatif
76
Menurut Hadari Nawawi (2003 : 62-83), metode penelitian digolongkan dalam beberapa macam yakni: ”metode filosofis, metode deskriptif, metode historis dan metode eksperimen”. Penjelasan dari masing-masing metode tersebut adalah sebagai berikut : 1. Metode filosofis Adalah prosedur pemecahan masalah secara rasional melalui perenungan atau pemikiran yang terarah, mendalam, dan mendasar tentang hakikat sesuatu yang ada baik dengan menggunakan pola pikir aliran filsafat tertentu maupun dalam bentuk analisis sistematik berdasarkan pola berfikir fenomenologi,
deduktif,
induktif
atau
yang
lainnya
serta
dengan
memperhatikan hukum berfikir logis. Metode filosofis menggunakan data kualitatif, pembuktian hipotesis atau cara pemecahan masalahnya bersifat apriori. 2. Metode deskriptif Adalah menggambarkan
prosedur atau
pemecahan
melukiskan
obyek
masalah atau
yang subyek
bermaksud yang
diteliti
sebagaimana adanya sesuai keadaan saat penelitian dilakukan. Metode deskriptif pada tahap awal tertuju pada usaha mengemukakan gejala-gejala pada obyek yang diteliti agar jelas keadaanya dan lebih bersifat fact finding atau penemuan fakta-fakta apa adanya. Ada beberapa jenis metode penelitian deskriptif : a. Survey (survey studies) 1). Survey kelembagaan (institutional survey) Survey ini dilakukan dengan mengambil obyek penelitian berupa lembaga tertentu.
77
2). Analisis jabatan atau pekerjaan (job analysis) Pada dasarnya, analisis jabatan bermaksud untuk menemukan gejalagejala yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan secara berdaya guna dan berhasil guna. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat memperoleh gambaran pekerjaan yang dapat dipergunakan untuk menempatkan dan menyeleksi calon pegawai. 3). Analisis dokumenter (documentary analysis) Analisi dokumen bertujuan untuk mengungkap berbagai informasi yang terdapat dalam suatu dokumen. Analisis dokumen sering dikaitkan dengan metode penelitian historis. Analisis dokumen sering disebut juga metode analisis kegiatan, analisis informasi dan bahkan dinamakan juga dengan analisis isi. 4). Analisis isi (content analysis) Analisis isi merupakan metode penelitian yang bertujuan untuk mengungkap isi buku yang menggambarkan situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis. Analisis isi dapat diarahkan untuk membandingkan isi buku dengan buku yang lain dalam pembahasan bidang yang sama. 5). Survey pendapat umum (public opinion) Adalah metode yang digunakan untuk mengetahui pendapat umum suatu masyarakat. Penelitian ini biasanya dilakukan sebelum mengambil kebijakan untuk mengetahui gambaran riil tentang opini masyarakat, dilakukanlah survey public opinion. 6). Survay kemasyarakatan (Community survey) Survay kemasyarakatan bertujuan untuk mengungkapkan beberapa aspek tertentu dalam masyarakat untuk memperoleh suatu kesimpulan mengenai masalah yang diteliti. Metode ini juga disebut metode
78
penelitian sosial. Luas dan kedalaman dalam penelitian ini tergantung dari banyak sedikitnya masalah yang akan diungkap. b. Studi hubungan (interrelationship studies) 1). Studi kasus (case studies). Adalah metode penelitian yang memusatkan diri
secara
intensif
terhadap
satu
obyek
tertentu
dengan
mempelajarinya sebagai suatu kasus. 2). Studi sebab akibat dan perbandingan (causal-comparatif studies). Metode ini dilakukan usaha untuk memahami mengapa suatu gejala terjadi atau apa sebabnya suatu peristiwa, keadaan atau situasi berlangsung. 3). Studi korelasi (correlation studies). Studi korelasi untuk mengetahui hubungan sebab akibat yang menunjukkan ketergantungan antara dua variabel atau lebih. c. Studi perkembangan (developmental studies) 1). Studi pertumbuhan (growt studies). Studi pertumbuhan bertujuan untuk menggambarkan pertumbuhan atau perkembangan yang dialami oleh obyek penelitian baik sebagian atau keseluruhan dalam kurun waktu tertentu. 2). Studi kecenderungan (trend studies). Merupakan metode penelitian dengan
melakukan
analisa
prediktif
tentang
kecenderungan
perkembangan yang berpengaruh terhadap sutuasi atau keadaan yang akan datang. 3. Metode historis Metode penelitian historis adalah metode penelitian atau prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu yang berupa datadata peninggalan. Metode historis merupakan prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu, baik untuk memahami kejadian atau
79
suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami keadaan sekarang dalam hubunganya dengan masa lalu. Data utama dalam metode historis adalah bukan data sekarang tetapi mengutamakan data masa lalu. 4. Metode eksperimen Metode eksperimen adalah metode penelitian yang dilakukan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih dengan mengendalikan pengaruh variabel yang lain. Berdasarkan cara pelaksanaanya, metode eksperimen dikelompokkan menjadi dua yakni eksperimen murni (true experiment atau pure experiment) dan eksperimen pura-pura (quaisy experiment). Berdasarkan tujuannya, metode eksperimen juga dapat dibedakan menjadi dua : a. Eksperimen eksploratif (explorative experimental). Eksperimen eksploratif bertujuan untuk mempertajam masalah dan perumusan hipotesis tentang hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih. b. Eksperimen pengembangan (developmental experiment). Eksperimen pengembangan dilakukan untuk menguji atau membuktikan hipotesis dalam rangka menyusun generalisasi yang berlaku umum. Menurut Donald Ary, dkk (1982 : 319), ada empat metode penelitian yang lazim digunakan yakni ”metode penelitian eksperimen, metode penelitian sejarah, metode penelitian ex post facto dan metode penelitian deskriptif”. Penjabaran dari keempat macam metode penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Metode Penelitian Eksperimen Penelitian eksperimen, peneliti dengan sengaja dan secara sistematis memasukkan perubahan-perubahan ke dalam gejala-gejala alamiah dan kemudian mengamati akibat dari perubahan-perubahan itu.
80
2. Metode Penelitian Sejarah Ialah suatu metode penelitian yang bertujuan menyelidiki peristiwa masa lalu dengan jalan mencari, mengevaluasi dan menafsirkan berdasarkan bukti-bukti yang ada, selanjutnya hasilnya menjadi suatu kesimpulan. 3. Metode Penelitian ex post facto Ex post facto berasal dari bahasa latin yang artinya dari sesudah fakta. Penelitian ex post facto dilakukan setelah perbedaan dalam variabel bebas itu terjadi karena perkembangan kejadian itu secara ilmiah. Peneliti tidak melakukan pengendalian terhadap variabel bebas karena perbedaan variabel tersebut telah terjadi secara alami. 4. Metode Penelitian deskriptif Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk melukiskan variabel atau suatu kondisi apa adanya seperti pada saat penelitian itu dilakukan. Penelitian deskriptif tidak ada perlakuan variabel seperti dalam penelitian eksperimen. Beberapa jenis penelitian yang dapat digolongkan ke dalam penelitian deskriptif yaitu survey, analisis dokumen, analisis kecenderungan, studi korelasi, studi kasus, studi perkembangan dan studi tindak lanjut. Menurut Winarno Surakhmad (1998 : 131), metode penelitian digolongkan menjadi ”metode penelitian historis, metode penelitian deskriptif dan metode eksperimen”. Penelitian deskriptif sendiri dibagi menjadi beberapa bagian: 1. Studi kasus Studi kasus merupakan metode penelitian yang memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan mendetail. 2. Studi komparasi Merupakan metode penelitian yang berusaha mencari pemecahan melalui analisis tentang hubungan kausalitas dan membandingkan satu faktor dengan faktor yang lain apakah masing-masing mempunyai hubungan. 3. Studi waktu dan gerak Metode ini biasanya digunakan pada perusahaan tertentu untuk mengetahui efisiensi penggunaan waktu para karyawan. Analisis akhirnya akan diketahui mana gerak-gerak yang perlu diperbaiki, dilatih atau bahkan dibuang.
81
4. Studi operasional Setudi operasional merupakan penyelidikan ditengah-tengah situasi yang riil dalam mencari dasar bagi petugas-petugas untuk bertindak mengatasi suatu kebutuhan praksis yang mendesak. Nama lain dari studi operasional adalah penyelidikan kooperatif atau diartikan pula action research. 5. Teknik survey Survey pada umumnya merupakan cara pengumpulan data dari sejumlah unit atau individu dalam jangka waktu yang bersamaan dalam jumlah yang relatif besar. 6. Analisis tingkah laku Analisis tingkah laku dilaksanakan untuk mengetahui tingkah laku seseorang sehingga dari tingkah laku tersebut dapat digambarkan sebagai pertimbangan mengambil tindakan misalnya pemberian latihan, pemberian gaji dan lain-lain. 7. Analisis Kuantitatif Melalui analisis kuantitatif akan diperoleh gambaran sistemik mengenai isi suatu dokumen tertentu. Dokumen tersebut diteliti isinya, diklasifikasi menurut kriteria, menurut pola tertentu dan selanjutnya dianalisa atau dinilai. Berdasarkan uraian di atas, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan strategi studi kasus. Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan bagaimana proses pewarisan nilai-nilai kesenian wayang kulit purwa di Desa Kepuhsari Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri. Strategi studi kasus dimaksudkan untuk memfokuskan atau memusatkan perhatian secara intensif dan mendetail pada pewarisan nilai kesenian wayang kulit purwa. C. Sumber Data Menurut Suharsimi Arikunto (2006 : 129) yang dimaksud dengan sumber data adalah ”subyek darimana data dapat diperoleh. Ada tiga sumber data yakni orang, tempat dan dokumen”. Sumber data dalam penelitian ini meliputi orang, tempat dan dokumen. Data yang berupa orang adalah informan, yaitu orang yang telah dipilih, yang memiliki kemampuan memadai terhadap masalah yang diteliti, dalam hal ini adalah dalang, tokoh masyarakat, pengrajin wayang dan pihak lain
82
yang dianggap memiliki pengetahuan tentang wayang kulit purwa. Data tempat yaitu sumber data yang bisa menyajikan tampilan berupa keadaan diam dan bergerak, misalnya alat, wayang dan yang lainya. Data dokumen bisa merujuk pada data tertulis yang bisa berujud buku, arsip dan yang lainnya. D. Teknik Cuplikan Cara ideal untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya terhadap obyek yang diteliti adalah dengan jalan meneliti seluruh populasi. Namun demikian, karena beberapa pertimbangan kemampuan peneliti baik dari sisi waktu, biaya dan tenaga, maka yang lazim dilakukan adalah, peneliti hanya mengambil sebagian kecil populasi yang dirasa mampu mewakili keseluruhan populasi. Prinsip keterwakilan inilah yang menjadi kata kunci dalam teknik pengambilan sampel atau teknik sampling penelitian. Menurut Riduwan (2003 : 11) ”teknik sampling atau teknik pengambilan sampel adalah suatu cara mengambil sampel yang representatif dari populasi”. Menurut Riduwan (2003 : 11-29) ada dua teknik pengambilan sampel yang lazim digunakan dalam penelitian yakni Probability Sampling dan NonProbability Sampling. Lebih lanjut Riduwan memaparkan bahwa: Probability sampling terdiri dari simple random sampling, proportionate stratifie random sampling, disproportionate stratifie random sampling, area sampling. Non-probability sampling terdiri dari sampling sistematis, sampling kuota, sampling aksidental, purposive sampling, sampling jenuh dan snowball sampling. Penjelasan dari teknik sampling di atas adalah sebagai berikut: 1. Probability Sampling Adalah teknik sampling dengan memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik Probability Sampling terdiri dari : a. Simple random sampling Simple random sampling ialah cara pengambilan sampel dari anggota populasi dengan cara acak tanpa memperhatikan strata atau tingkatan dalam
83
anggota populasi tersebut. Pertimbangannya adalah karena anggota populasi homogen atau sejenis. Misalnya jumlah petani yang mendapatkan bantuan langsung tunai di Kabupaten Wonogiri. b. Proportionate stratifie random sampling Proportionate stratifie random sampling ialah cara pengambilan sampel dari anggota populasi dengan cara acak dan berstrata secara proporsional. Menggunakan teknik proportionate stratifie random sampling dengan pertimbangan apabila anggota populasi heterogen atau tidak sejenis, misal jumlah kursi anggota DPR dari partai besar pemenang pemilu Tahun 2004. Pengambilan sampel penelitianya didasarkan atas proporsi masing-masing partai sesuai besar kecilnya perolehan kursi. c. Dis-proportionate stratifie random sampling Dis-proportionate stratifie random sampling ialah cara pengambilan sampel dari anggota populasi dengan cara acak dan berstrata tetapi sebagian ada yang kurang proporsional pembagianya. Dis-proportionate stratifie random sampling digunakan bila anggota populasi berjenjang tetapi heterogen atau tidak sejenis, misalnya populasi dari struktur dinas pemuda dan olah raga se-Jateng dengan komposisi kepala dinas satu orang, Kasubbag satu orang, kaseksi lima orang. Pertimbangan di atas menyebabkan pemilihan sampel dalam penelitian tidak sama. d. Area sampling Area sampling atau sampling daerah atau wilayah ialah teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil wakil dari setiap daerah atau wilayah georgrafis yang ada. 2. Non-Probability Sampling Non-probability
sampling
ialah
teknik
sampling
yang
tidak
memberikan kesempatan (peluang) pada setiap anggota populasi untuk dijadikan sebagai anggota sampel. Teknik non-probability sampling terdiri dari :
84
a. Sampling sistematis Ialah pengambilan sampel didasarkan atas urutan dari populasi yang telah diberi nomor urut atau anggota sampel diambil dari populasi pada jarak interval waktu, ruang dengan urutan yang seragam. b. Sampling kuota Ialah teknik penentuan sampel yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah quota yang dikehendaki. Atau pengambilan sampel yang didasarkan pada pertimbangan tertentu dari peneliti. c. Sampling aksidental Ialah teknik penentuan sampel berdasarkan atas faktor spontanitas. Siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dan sesuai dengan karakteristiknya, maka orang tersebut dapat digunakan sebagai sampel. d. Purposive sampling Purposive sampling atau sampling pertimbangan ialah teknik sampling yang digunakan peneliti jika peneliti memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu. e. Sampling jenuh Sampling jenuh disebut juga sensus, ialah teknik pengambilan sampel apabila semua populasi dikenai sebagai sampel. Teknik ini dipilih bila populasi kurang dari 30. f. Snowball sampling Teknik snowball sampling mirip dengan cara kerja multy level marketing (MLM). Teknik snowball sampling merupakan teknik sampling yang semula berjumlah kecil kemudian anggota sampel mengajak para sahabatnya untuk dijadikan sampel, dan seterusnya anggota sampel semakin bertambah jumlahnya seperti bola salju yang menggelinding.
85
Dari penjabaran di atas, maka teknik cuplikan (sampling) yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik porposive sampling dan snowball sampling. Porposive sampling adalah teknik cuplikan dengan memilih individu-individu yang dianggap mengetahui informasi dan masalah penelitian secara mendalam dan dapat dipercaya sebagai sumber data. Porposive sampling memungkinkan untuk tidak menjadikan semua orang berkesempatan menjadi informan, hanya dipilih orang-orang yang memahami kesenian wayang kulit purwa, dalam hal ini misalnya dalang, pengrajin wayang, tokoh masyarakat, waranggana, niyaga, kaum tua dan kaum muda. Teknik snowball sampling memungkinkan peneliti bisa memperoleh informan atas rekomendasi informan sebelumnya. Orang yang direkomendasikan adalah orang yang paham tentang masalah yang diteliti, yakni orang yang paham tentang kesenian wayang kulit purwa. E. Teknik Pengumpulan Data Mengutip pendapat Sanapiah Faisal dalam bukunya format-format penelitian sosial (2001 : 29), apapun format penelitianya, suatu penelitian paling tidak melewati lima tahap global. Kelima tahap global tersebut terdiri dari: ”pemilihan dan analisis masalah, penentuan metodologi, pengumpulan data, pengolahan, analisis dan interpretasi data dan menyusun laporan”. Teknik pengumpulan data merupakan tahapan yang sangat menentukan kualitas sebuah penelitian. Menurut pendapat Abdurrahman Fathoni (2005 : 104), ada empat macam teknik pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian, yakni ”observasi, wawancara, angket dan studi dokumentasi”. Mengacu pada pendapat Abdurrahman Fathoni di atas, maka metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi partisipatif dan studi dokumentasi.
86
1. Wawancara mendalam Menurut Sutrisno Hadi (1991 : 194), ”interview memiliki tiga fungsi yang berbeda-beda, yakni interview sebagai metode primer, interview sebagai metode pelengkap dan interview sebaagai kriterium”. Sebagai metode primer bila interview dijadikan sebagai satu-satunya alat untuk mengumpulkan data, dalam hal ini interview diberi proporsi utama sebagai alat pengumpul data. Interview sebagai metode pelengkap jika interview digunakan sebagai alat bantu pengumpul data yang belum tuntas dan hanya memungkinkan bisa tuntas manakala melakukan wawancara dengan obyek penelitian. Bila interview digunakan oleh orang untuk menguji kebenaran dan kemantapan suatu datum yang telah diperoleh dengan cara lain seperti test, observasi, kuisioner, dan yang lainya, maka interview dalam konteks ini berfungsi sebagai alat ukur atau kriterium. 2. Pengamatan langsung (observasi) Nasution dalam Sugiyono (2008 : 226) mengungkapkan bahwa ”observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi”. Menurut Sanapiah Faisal dalam Sugiyono (2008 : 226), observasi dapat diklasifikasikan menjadi: ”observasi berpartisipasi, observasi yang secara terang-terangan dan tersamar serta observasi yang tidak terstruktur”. Spredley dalam Sugiyono membagi observasi berpartisipasi menjadi empat yakni ”pasive participation, moderat participation, active participation dan complete participation”. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipatif. 3. Analisis dokumen Menurut Suharsimi Arikunto (2006 : 231), ”data dokumen bisa berupa catatan, transkrip, buku-buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulensi rapat, lengger, agenda dan lain sebagainya”. Analisis dokumen dalam penelitian ini
87
dilakukan dengan menelaah catatan, rekaman hasil wawancara, buku-buku dan sumber tertulis lainya yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti. F. Validitas Data Data yang ditemukan dari hasil penelitian tidak serta merta langsung bisa diadobsi secara langsung, untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggung jawabkan harus dilakukan uji keabsahan data. Perbedaan penggunaan pendekatan penelitian akan berakibat pada perbedaan teknik uji keabsahan data. Menurut Sugiyono (2008 : 267)
kriteria uji keabsahan data hasil penelitian dalam
penelitian kuantitatif meliputi ”validitas, reliabilitas dan obyektivitas”. Validitas menyangkut derajat ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang dilaporkan oleh peneliti. Data dikatakan valid manakala ada kesamaan antara yang terjadi di lapangan dengan data yang dilaporkan oleh peneliti. Bila yang ada di lapangan warna kuning maka peneliti akan melaporkan warna kuning. Reliabilitas menyangkut derajat konsistensi dan stabilitas data temuan. Data dinyatakan reliabel apabila dua atau lebih peneliti dalam obyek yang sama menghasilkan data yang sama, atau peneliti yang sama dalam waktu yang berbeda menghasilkan data yang sama atau sekelompok data bila dipecah menjadi dua menunjukkan data yang tidak berbeda. Obyektifitas menyangkut derajat kesepakatan antar banyak orang terhadap suatu data. Menurut Sugiyono (2008 : 267), uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi ”credibility (pada penelitian kuantitatif disebut uji validitas internal), transferability (pada penelitian kuantitatif disebut uji validitas eksternal), dependability (pada penelitian kuantitatif disebut uji reliabilitas) dan konfirmability (pada penelitian kuantitatif disebut uji objektivitas)”. Pada penelitian kuantitatif, untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel yang diuji adalah instrumen penelitianya, sedangkan dalam penelitian kualitatif yang di uji datanya. Menurut Susan Stainback dalam Sugiyono (2008 : 268), ”pendekatan kuantitatif lebih menekankan aspek reliabilitas, sedangkan pendekatan kualitatif lebih menekankan aspek validitas datanya”.
88
Mengacu pada pendapat Sugiyono (2008 : 270), ada enam macam uji kredibilitas yakni: ”perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, member check, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif dan triangulasi (triangulasi sumber, triangulasi waktu dan triangulasi teknik)”. Teknik uji kredibilitas dalam penelitian ini adalah triangulasi yang meliputi triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Menurut Sugiyono (2008 : 273) ”trianggulasi diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber, dengan berbagai cara dan dengan berbagai waktu”. Triangulasi sumber dilakukan dengan jalan mencocokan data hasil penelitian dari sumber-sumber yang berbeda. Triangulasi cara atau teknik dilakukan dengan jalan membandingkan data yang sama dengan cara yang berbeda, bisa dengan wawancara, observasi maupun menelaah dokumentasi. Triangulasi waktu dilakukan dengan cara mengganti waktu pengumpulan data, data yang diperoleh pada waktu sore hari bisa dibandingkan dengan waktu pagi hari. G. Teknik Analisis Data Menurut Abdurrahman Fathoni (2005 : 119) ”dalam penelitian sosial, satuan-satuan analisis didasarkan atas pengukuran terhadap besaran nilai variabel kuantitatif atau atribut variabel kualitatif yang diamati”. Data hasil penelitian dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, hal ini didasarkan pada pendapat Abdurrahman Fathoni (2005 : 113), yang memaparkan bahwa ”lazimnya, analisis data hasil penelitian dibedakan dalam dua macam analisis yakni analisis kuantitatif dan analisis kualitatif”. Penjelasan dari kedua analisis data tersebut adalah sebagai berikut: 1. Analisis kuantitatif Analisi kuantitatif dipilih jika data hasil penelitian berupa data yang sangat sederhana berupa kejadian-kejadian monovarian, sehingga tidak mudah disusun dalam sturktur klasifikasi.
89
2. Analisis kualitatif Analisis kualitatif dipilih bila data yang diperoleh cukup banyak yang bersifat multivarian, sehingga mudah disusun dalam struktur klasifikasi. Sesuai dengan uraian di atas, karena satuan analisis dari hasil penelitian didasarkan atas pengukuran terhadap besaran nilai variabel, maka mengetahui konsep variabel menjadi sesuatu yang mutlak. Mengacu pada pendapat Abdurrahman Fathoni (2005 : 114-115), ”variabel kuantitatif dapat digolongkan menjadi dua, yakni variabel kuantitatif ordinal dan nominal”. Variabel kuantitatif ordinal merupakan atribut yang dapat dikuantifikasi atau diklasifiksi menurut jenjang atau kriteria tertentu. Variabel kuantitatif nominal merupakan kebalikan dari variabel kuantitatif ordinal, yakni suatu variabel yang atributnya tidak dapat diklasifikasi atau dikuantifikasikan sebagai ciri untuk membedakan antar atribut. Variabel kualitatif ordinal misalnya kecakapan guru yang atributnya dapat dikategorikan menurut kriteria sangat baik, baik, cukup, kurang dan sangat kurang. Variabel kualitatif nominal misalnya jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Laki-laki bukan berarti lebih baik dibandingkan perempuan, jenis kelamin hanya sekedar sebagai ciri untuk membedakan dua jenis yang berbeda. Menurut Abdurrahman Fathoni (2005 : 114-115),
”variabel kualitatif
dibedakan menjadi dua, yakni variabel kualitatif diskrit dan kontinum”. Variabel kualitatif kontinum adalah variabel yang besaranya dapat dipecah menjadi satuan yang lebih kecil misalnya umur dapat dipecah menjadi satu tahun, lima bulan 10 hari dan seterusnya. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang analisis datanya dilakukan setelah data atau instrumen penelitian terkumpul, analisis data penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan bahkan sebelum peneliti terjun ke tempat penelitian. Analisis penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama dan setelah dari lapangan. Menurut Nasution dalam Sugiyono (2008 : 245), ”analisis penelitian kualitatif telah dimulai sejak merumuskan dan
90
menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan laporan hasil penelitian, namun demikian, analisis data yang paling utama adalah analisis data setelah peneliti terjun ke lapangan”. Mengutip pendapat Sugiyono (2008 : 246-266), ”ada dua model analisis data dalam penelitian kualitatif, yakni model Miles and Huberman dan model Spradley”. Penjelasan dari kedua model analisis data tersebut adalah sebagai berikut: 1. Model Miles and Huberman Menurut Sugiyono (2008 : 246-253), analisis data model Miles and Huberman meliputi tiga tahapan yakni: ”tahap reduksi data (data reduction), tahap penyajian data (data display) dan tahap kesimpilan dan verifikasi (conclusion drawing and ferification)”. Penjelasan dari ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahab reduksi data (data reduction) setelah peneliti masuk ke lapangan untuk melakukan pengumpulan data, maka akan diperoleh data yang jumlahnya banyak. Langkah pertama setelah data berhasil dikumpulkan adalah mereduksi data. Menurut Sugiyono (2008 : 247), ”mereduksi data berarti merangkum, memilih halhal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya”. Reduksi data akan membantu memperjelas data yang telah dikumpulkan. b. Tahap Penyajian data (data display) langkah selanjutnya setelah data direduksi adalah display atau penyajian data. Menurut Sugiyono (2008 : 249), penyajian data dalam penelitian kualitatif ”bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Penyajian data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah berupa teks yang bersifat naratif”.
91
c. Penarikan kesimpilan dan verifikasi (conclusion drawing and ferification) Tahap ketiga dari analisis data model Miles and Huberman adalah tahap penarikan kesimpilan dan verifikasi (conclusion drawing and ferification). Menurut Sugiyono (2008 : 252-253), kesimpulan dalam penelitian kualitatif ”mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan”. 2. Model Spradley Analisis data model Spradley lebih kompleks dari model Miles and Huberman. Proses penelitian berdasarkan analisis data Model Spradley paling tidak melalui 12 langkah, dimana dalam 12 langkah tersebut terdapat empat tahap analisis. Kedua belas langkah tersebut adalah: Memilih situasi sosial baik berupa tempat, aktor dan aktivitas, melakukan observasi partisipan, mencatat hasil observasi dan wawancara, melakukan observasi deskriptif, melakukan analisis domain, melakukan observasi terfokus, melakukan analisis taksonomi, melakukan observasi terseleksi, melakukan analisis komponensial, melakukan analisis tema kultural, temuan budaya, dan menulis laporan penelitian kualitatif Menurut Sugiyono (2008 : 246-266), empat tahap analisis data pada analisis data model Spradley meliputi ”analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial dan analisis tema kultural”. Penjelasan dari keempat tahap tersebut adalah sebagai berikut: a. Analisis domain Analisis domain dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh dari objek penelitian atau situasi sosial. Analisis domain ditemukan berbagai domain atau kategori-kategori, selanjutnya peneliti memilih dan menetapkan kategori tertentu sebagai pijakan untuk proses penelitian selanjutnya.
92
b. Analisis taksonomi Merupakan tindak lanjut dari analisis sebelumnya, yakni analisis domain, dilakukan dengan jalan abservasi terfokus. Kategori yang telah dipilih dalam analisis domain selanjutnya dijabarkan dalam pemaparan lebih rinci untuk mengetahui struktur internalnya. c. Analisis komponensial Dilakukan untuk mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara mengontraskan antar elemen. Analisis komponensial dilakukan dengan jalan observasi dan wawancara terseleksi dengan pertanyaan yang mengontraskan. d. Analisis tema kultural Analisis tema kultural dilakukan untuk mencari hubungan diantara domain dan bagaimana hubungan dengan keseluruhan. Analisis tema kultural adalah bagaimana mencari benang merah, menghubungkan antar data dan selanjutnya dari hubungan tersebut dapat diketahui bentuknya secara utuh. Dari uraian di atas, maka teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis kualitatif model Miles and Huberman. Menurut Sugiyono (2008 : 246), ”analisis kualitatif model Miles and Huberman dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh”. H. Prosedur Penelitian Prosedur kegiatan penelitian dapat diartikan sebagai seluruh rangkaian penelitian dari mulai hingga selesai. Mengacu pada pendapat Sanapiah Faisal (2001 : 29), seperti telah diuraikan di depan, apapun format penelitianya, suatu penelitian paling tidak melewati lima tahap global. Rangkaian kelima tahap global tersebut terdiri dari: ”pemilihan dan analisis masalah penelitian, penentuan strategi pemecahan masalah atau penentuan metodologi, pengumpulan data,
93
pengolahan, analisis dan interpretasi data dan menyusun laporan”. Menurut H. B. Sutopo (2002 : 187-190), prosedur penelitian meliputi empat tahap yakni: ”tahap poersiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis data dan tahap pembuatan laporan penelitian”. Penjelasan dari keempat tahapan di atas adalah sebagai berikut : 1. Tahap persiapan a. Mengajukan judul penelitian. b. Mengumpulkan bahan, sumber dan materi penelitian. c. Menyusun proposal penelitian. d. Mengurus perizinan. e. Mempersiapkan alat observasi. 2. Tahap pengumpulan data a. Mengumpulkan data penelitian melalui teknik observasi, wawancara dan analisis dokumen. b. Menyusun catatan lapangan (field note). c. Mengklasifikasikan (memilah) data sesuai kebutuhan. 3. Tahap analisis data a. Memilih teknik analisis data yang sesuai. b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cocokkan dengan data temuan di lapangan. c. Melakukan verifikasi dan pengayaan dengan dibantu dosen pembimbing. d. Membuat kesimpulan akhir sebagai temuan penelitian. 4. Tahap penyusunan laporan penelitian a. Menyusun laporan awal. b. Mengoreksi kembali laporan awal dengan cara mendiskusikan laporan awal dengan orang yang memahami masalah yang sedang diteliti. c. Melakukan perbaikan laporan penelitian sesuai hasil diskusi. d. Membuat laporan akhir. Keempat tahap penelitian tersebut selanjutnya dijalankan berdasarkan jadual yang telah peneliti buat. Jadual yang peneliti maksud seperti tertera pada tabel 2 berikut ini:
94
Tabel 2. Jadual Penelitian No
BULAN
JENIS KEGIATAN FEB
1
MR
APR
Tahap persiapan Tahap pengumpulan data
3
Tahap analisis data
4
Tahap penyusunan laporan penelitian
Keterangan: Feb
: Februari
A
: Agustus
Mr
: Maret
S
: September
Apr
: April
O
: Oktober
M
: Mei
N
: November
Jn
: Juni
D
: Desember
Jl
: Juli
M
JN
JL
A
S
O
N
D
95
BAB IV PEMBAHASAN A. Diskripsi Tempat Penelitian 1. Letak Geografis Desa Kepuhsari adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Desa Kepuhsari secara geografis, terletak di sebelah selatan Kecamatan Manyaran. Batas wilayah Desa Kepuhsari meliputi, sebelah utara berbatasan dengan Desa Karang Lor dan Desa Pagutan Kecamatan Manyaran, sebelah timur berbatasan dengan Desa Pijiharjo Kecamatan Manyaran, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ngandong Kecamatan Eromoko dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan data monografi Desa Kepuhsari Tahun 2007, Desa Kepuhsari memiliki jumlah penduduk sebanyak 5.768 jiwa dan terdiri dari 1.435 Kepala Keluarga (KK). Jumlah tersebut terdiri dari 2.821 orang penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan 2.947 orang penduduk dengan jenis kelamin perempuan. Deskripsi pekerjaan mereka, sebanyak 1.979 orang bekerja sebagai petani, dengan perincian, 966 orang petani dengan jenis kelamin laki-laki dan sebanyak 1.013 orang petani dengan jenis kelamin perempuan. Sebanyak 1.930 memiliki mata pencaharian sebagai buruh tani, 875 orang buruh tani dengan jenis kelamin lakilaki dan 955 orang dengan jenis kelamin perempuan. Sebanyak 22 orang bekerja sebagai seniman (yakni sebagai dalang, niyaga, pesinden dan lain sebaginya), terdiri dari empat orang seniman dengan jenis kelamin laki-laki dan 18 orang seniman berjenis kelamin perempuan. Sisanya (yakni sebanyak 1.937 orang), bekerja sebagai pedagang, karyawan, TNI/Polri, Pegawai Negeri Sipil, termasuk menjadi pengrajin wayang yakni sebagai penatah (membuat wayang dengan cara dipahat) dan penyungging (membuat warna pada wayang) dan pekerjaan yang lainya.
96
2. Tempat Lahirnya Keturunan Dalang Banyak dalang yang lahir di Desa Kepuhsari. Dalang-dalang tersebut ada yang masih tetap menetap dan bertempat tinggal di Desa Kepuhsari dan ada yang sudah pindah keluar dari Desa Kepuhsari. Dalang yang saat ini masih menetap di Desa Kepuhsari terdiri dari dua generasi yakni generasi dalang tua yang terkenal dengan sebutan empu dalang (dalang ahli) atau dalang sepuh dan ada dalang yang secara umur relatif labih muda atau bisa juga disebut dengan sebutan dalang muda. Dalang yang masuk dalam golongan dalang sepuh antara lain adalah Ki Dalang GPW, Ki Dalang HC, Ki Dalang SRH, Ki Dalang SRS, Ki Dalang SKR dan Ki Dalang WGMN. Dalang yang masuk dalam golongan dalang muda antara lain adalah Nyi Dalang WS yang merupakan dalang perempuan yang terkenal yang merupakan keturunan dari Ki Dalang HC, Ki Dalang SWN yang merupakan keturunan dari Ki Dalang SRH dan Ki Dalang GR yang merupakan keturunan dari Ki Dalang WGMN. Ki Dalang GPW dan Ki Dalang HC, merupakan turunan dalang yang silsilahnya sudah mencapai turunan dalang yang kedelapan belas (18). Menurut silsilah, dari turunan inilah wayang, tatah dan sungging diperkenalkan hingga saat ini masih eksis di Desa Kepuhsari. Nyi Dalang WS dan Ki Dalang SWN merupakan turunan dalang yang silsilahnya sudah mencapai turunan dalang yang kesembilan belas (19). 3. Tempat Lahirnya Penatah Turunan penatah juga banyak dilahirkan dari Desa Kepuhsari. Berdasarkan informasi dari Sekretaris Desa Kepuhsari, yang menjadi sentra tempat penatah kerajinan wayang terletak di tiga dusun yakni di Dusun Kepuh Tengah sebanyak kurang lebih 30 orang penatah, Dusun Kepuh Kepil sebanyak 10 orang penatah dan Dusun Kepuh Karang Lo sebanyak kurang lebih lima (5) orang penatah. Jumlah tersebut belum termasuk mantan penatah (orang yang sudah berhenti menatah karena memilih pekerjaan lain) maupun orang yang menatah disaat-saat tertentu (misalnya penatah yang mau menatah bila tidak ada pekerjaan lain yang
97
dapat
dikerjakan
dengan
pertimbangan
pekerjaan
lain
tersebut
lebih
menguntungkan dari sisi ekonomi), mereka tidak termasuk dalam hitungan 45 orang yang sudah disebutkan di atas. Sebenarnya masih ada penatah lain diluar Dusun Kepuh Tengah, Dusun Kepuh Kepil dan Dusun Kepuh Karang Lo, yakni di Dusun Telogo sebanyak satu penatah dan di Dusun Kajuman sebanyak dua penatah. Menatah dijadikan sebagai pekerjaan utama mereka, selain itu beberapa diantara mereka ada yang masih memiliki pekerjaan sampingan mengelola pertanian, baik mengelola ladang, berternak sapi maupun mengusahakan pekerjaan lain. 4. Desa Sentra Wayang Kulit Desa Kepuhsari terkenal dengan wayang kulit, baik dalam hal penghasil wayang kulit yang diproduksi oleh penduduk setempat maupun tempat lahirnya para empu dalang (dalang ahli atau dalang senior) serta antusiasme masyarakat Kepuhsari terhadap seni pertunjukan wayang kulit purwa. Beberapa dari penduduk Kepuhsari juga ada yang bekerja sebagai niyaga (orang yang bertugas menabuh alat musik gamelan dalam pementasan wayang kulit) maupun bekerja sebagai pesinden atau waranggana yaitu orang yang bertugas melantunkan lagulagu atau gending dalam pementasan wayang. Tidak berlebihan bila Desa kepuhsari terkenal dengan sebutan Desa Sentra Wayang Kulit. Kurun waktu antara Bulan Januari hingga Desember 2008, secara kuantitatif di Desa Kepuhsari ada kurang lebih 13 kali pementasan wayang kulit purwa. Pementasan tersebut terselenggara di tujuh dusun. Dusun Gunung Gedhe sebanyak satu kali, Dusun Kajuman sebanyak dua kali, Dusun Sambeng sebanyak satu kali, Dusun Duwet sebanyak dua kali, Dusun Kepuh Kepil sebanyak dua kali, Dusun Ngrotorejo sebanyak satu kali dan Dusun Kepuh Tengah sebanyak empat kali. Tiga komponen seperti telah diterangkan di atas, yakni dalang, pengrajin wayang dan antusiasme masyarakat inilah yang menjadi key word (kata kunci)
98
pewarisan wayang kulit di Desa Kepuhsari sehingga wayang masih tetap eksis. Tiga Komponen ini seakan membentuk three angle (tiga sudut) yang saling berkaitan. Interaksi yang dibangun berdasarkan prinsip mutualisme (kerjasama yang saling menguntungkan). Dalang membutuhkan penatah sebagai pihak yang menyediakan wayang yang akan digunakan oleh ki dalang dalam pementasan. Bagi dalang, wayang adalah salah satu tools (alat) dalam pementasan. Wayang adalah sarana aktualisasi diri dalang, sarana mencari nafkah, sarana promosi dan lain sebagainya. Dalang juga membutuhkan masyarakat sebagai pihak yang menggunakan jasa dalang dalam bentuk pementasan. Masyarakat yang secara tidak langsung menjadikan si dalang sebagai dalang yang sesungguhnya. Dalam artian, masyarakat sendiri yang mengakui bahwa dalang A dinilai cakap atau tidak cakap, bagus atau jelek, layak mendalang atau tidak dan layak dihargai dengan honor (upah) tertentu. Masyarakatlah yang secara tidak langsung menjadikan dalang eksis dan diakui kiprahnya. Disisi lain, masyarakat juga membutuhkan dalang untuk memenuhi hajatnya. Dalam alam pikiran masyarakat jawa, bila suatu gagasan menanggap wayang sudah diwujudkan dalam bentuk ucapan, maka ucapan menanggap wayang tersebut seolah menjadi kewajiban yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Gagasan yang telah terucap ini dalam istilah jawa dinamakan dengan punagi. Suatu punagi akan selalu menjadi bayang-bayang dalam keseharian hidup masyarakat apabila punagi tersebut belum terlaksana, bagi sebagian masyarakat, punagi yang tidak cepat dilaksanakan akan berdampak ditimpa gruda-rubeda (bencana). Masyarakat selalu menarik garis sebab-akibat antara punagi yang belum terlaksana dengan musibah yang menimpa. Klimaksnya, apabila dalam keluarga yang memiliki ujar atau punagi tersebut tertimpa musibah yang tidak mengenakkan misalnya sakit-sakitan, kecelakaan dan sejenisnya, hal ini seakan menjadi rambu-rambu bahwa punagi harus segera dibayar, dalam artian, janji menanggap wayang harus segera dilaksanakan. Musibah diartikan sebagai akibat dari punagi yang belum dilunasi. Bila tidak segera dilaksanakan, dikhawatirkan kejadian-kejadian yang tidak
99
menyenangkan tersebut akan selalu terjadi dan terulang-ulang, dalam kondisi yang demikian, masyarakat pasti membutuhkan jasa dalang sebagai satu-satunya pihak yang bisa melunasi punaginya. Komponen yang ketiga adalah penatah. Penatah membutuhkan dalang dan masyarakat sebagai pasar untuk menjual produk kerajinannya. Penatah yang mampu menghasilkan karya sebaik apapun akan tidak ada artinya apa bila karya yang mereka hasilkan tidak ada yang memakai. Penatah bisa eksis dan diakui kemampuannya dalam membuat wayang lewat masyarakat pembeli dan dalang. Tiga sudut inilah yang membuat Desa Kepuhsari disebut sebagai sentra wayang kulit. B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pewarisan Fungsi Pertunjukan Wayang Kulit Purwa a. Pergeseran Fungsi Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Pewarisan fungsi pertunjukan wayang dipengruhi oleh geo-kultural yang tercermin dalam tujuh unsur kebudayaan. Tujuh unsur kebudayaan tersebut meliputi sistem mata pencaharian, sistem religi, sistem teknologi, bahasa, kesenian, sistem ilmu pengetahuan dan sistem organisasi sosial. 1). Sistem mata pencaharian Sistem mata pencaharian mengalami perubahan dari masa ke masa. Pada masa mitis, sistem mata pencaharian tidak lebih hanya sekedar usaha untuk survival of life (mempertahankan hidup), pekerjaan hanya terbatas pada usaha berburu dan meramu sebagai pekerjaan tunggal. Memasuki masa rasional seperti saat ini, manusia mengusahakan pekerjaan yang lebih variatif, saat ini manusia mengenal sistem ekonomi kapitalis yang berorientasi pada akumulasi untung. Perbedan nyata dalam hal menangkap peluang dan kesempatan antara masa mitis dan masa sekarang adalah pada persoalan kapitalisasi, yakni bahwa ekonomi kapitalis mengusahakan sesuatu hal agar bisa berlipat ganda dan terakumulasi.
100
Manusia agar tetap bisa bertahan hidup, jalan yang ditempuh adalah mengkapitalisasi kesempatan dan peluang yang ada di sekitarnya. Apapun bentuk peluang dan kesempatan, kalau bisa dikapitalisasi, peluang dan kesempatan tersebut akan berubah menjadi mata pencaharian. Hal ini akan membawa dampak pada tingkat heterogenitas (kemajemukan) pemilihan bidang mata pencahariaan. Seni, khususnya wayang pada zaman mitis berfungsi sebagai sarana magis, misalnya sebagai sarana berkomunikasi dengan roh nenek moyang, sarana ritus dan lain sebagainya, tetapi seni pada zaman rasional seperti sekarang, seni diwariskan sebagai komuditas yang bisa dikapitalisasi. Seni merupakan sektor yang bisa dijadikan sebagai mata pencaharian. Muncullah fenomena menjamurnya kesenian yang sekaligus dijadikan sebagai tumpuan hidup. Berkesenian adalah opsi alternatif atas dorongan motivasi ekonomi, di desa maupun dikota banyak seniman seperti kelompok musik campursari, grup musik, dalang dan lain sebagainya, tetapi upah dan honorarium ditentukan oleh selera dan kemauan pasar. Inilah argumentasi sebagai bukti telah terjadi kapitalisasi seni. Fenomena seni yang dijadikan sebagai mata pencaharian tidak lain karena dampak dari zaman yang telah terpengaruh oleh sistem ekonomi kapitalis yang pada saat sekarang banyak diadopsi sebagai ideologi ekonomi negara bahkan dijadikan sebagai ideologi ekonomi dunia. 2). Sistem religi Sistem kepercayaan pada zaman mitis tertumpu pada kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Animisme-dinamisme merupakan sistem kepercayaan masyarakat saat itu. Memasuki masa rasional, sistem kepercayaan mengalami pergeseran dari sistem animisme-dinamisme ke sistem kepercayaan monoteisme, sampailah pada suatu keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan sebagai sesembahan yakni Tuhan Yang Maha Esa. Pergeseran sistem kepercayaan ini membawa konskuensi terhadap fungsi pertunjukan wayang, bila pada masa mitis pertunjukan wayang
101
dijadikan sebagai sarana ritus, sarana komunikasi antara manusia dengan roh nenek moyang, kini di zaman rasional, pertunjukan wayang berfungsi sebagai sarana dakwah. Wayang dijadikan sebagai tools (alat) untuk menyebarkan nilai-nilai agama kepada umat manusia. Penyebaran nilai-nilai agama tersebut bisa secara ekplisit maupun secara simbolis. Secara simbolis, penyebaran nilai-nilai agama bisa dipahami dari menafsirkan simbol-simbol dalam wayang, misalnya, ternyata dewa dalam dunia pewayangan bukan Tuhan yang wajib disembah, dewa hanyalah makhluk Tuhan layaknya manusia biasa, hanya kedudukannya yang berbeda, dewa berkedudukan di kayangan sedangkan manusia berkedudukan di dunia. Penyebaran nilai-nilai agama secara eksplisit berupa percakapan antar tokoh, misalnya dalam sesi gara-gara. Tokoh semar, gareng, petruk dan bagong dapat dijadikan sebagai sarana dakwah. Bentuknya bisa berupa nasehat-nasehat, peringatan-peringatan atau yang lain. Wayang sebagai media dakwah disebut wayang sebagai tuntunan (pedoman atau petunjuk) sedangkan wayang sebagai hiburan disebut dengan wayang sebagai tontonan (hiburan), namun demikian seiring dengan perkembangan zaman, terdapat fakta baru bahwa saat ini pewarisan pertunjukan wayang lebih condong sebagai media tontonan (hiburan) daripada sebagai media tuntunan (pedoman hidup). Pergeseran ini tidak bisa dilepaskan dari kapitalisme global yang sudah diimplementasikan dalam semua lini kehidupan. Sistem kepitalis berorientasi pada akumulasi profit yang lebih bersifat
ego-sentris, kebutuhan orang lain dikesampingkan sebelum
kebutuhan dirinya terpenuhi. Religi merupakan bagian dari tujuh unsur kebudayaan yang proses perubahanya sangat lambat. Perbedaan yang mencolok antara zaman mitis dan zaman rasional adalah pada pergeseran dari sistem kepercayaan animismdinamisme menjadi sistem kepercayaan monoteisme. Pergeseran kepercayaan ini membawa dampak pada fungsi pertunjukan wayang kulit, bila pada masa mitis pertunjukan wayang kulit sebagai sarana interaksi antara manusia dengan roh nenek-moyang, tetapi pada masa rasional, pertunjukan wayang kulit
102
dijadikan sebagai sarana penyebaran nilai agama dalam bentuk keutamaankeutamaan hidup. 3). Sistem teknologi Pada zaman mitis, belum ditemukan variasi peralatan yang rumit dan kompleks. Peralatan era mitis hanya terbatas untuk menjawab kebutuhan zaman pada masa itu. Peralatan dirancang sekedar sebagai alat bantu untuk mempermudah pekerjaan sehari-hari. Pada zaman mitis ketika ditemukan peralatan baru, tidak membawa dampak perubahan yang signifikan, bahkan peralatan yang digunakan juga tidak banyak mengalami perubahan. Keadaan menjadi berbeda ketika zaman masuk pada masa rasional, peralatan bukan hanya sekedar menjawab kebutuhan zaman tetapi sudah dirancang berorientasi profit (untuk mengakumulasi keuntungan), teknologi menjadi alat ekonomi kapitalis untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Peralatan dirancang dengan prinsip ekonomi, mengeluarkan tenaga sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya, akhirnya, sistem teknologi digunakan sebagai sarana mengakumulasi keuntungan. Kecanggihan sistem teknologi pada era rasional, dengan ditemukan peralatan baru berdampak terhadap perubahan sosial-budaya masyarakat, misalnya dengan ditemukan internet, masyarakat bisa mengetahui keadaan dunia dalam waktu sekejab. Ditemukan pesawat televisi dan satelit membawa dampak pada semakain mudahnya masyarakat memilih siaran televisi dari seluruh penjuru dunia. Penemuan-penemuan baru inilah yang menyebabkan masyarakat memiliki banyak pilihan alternatif hiburan sesuai yang dia suka tidak terbatas pada hiburan lokal. Wayang kulit yang pada masa mitis sebagai satu-satunya alternatif hiburan bagi masyarakat, namun kini wayang kulit hanya menjadi salah satu dari banyak alternatif hiburan yang tersedia. 4). Bahasa dan kesenian Unsur bahasa dalam hierarki tujuh unsur kebudayaan tidak terlalu berdampak pada pewarisan pertunjukan wayang. Unsur kesenian, walaupun tidak terjadi perubahan yang banyak, namun cukup besar pengaruhnya
103
terhadap wayang kulit. Dahulu kala, pertunjukan wayang kulit hanya sekedar pementasan dalang dengan diiringi alat musik gamelan. Pada masa itu, sentra perhatian ketika orang menyaksikan pertunjukan wayang kulit adalah kedalaman dalang dalam mengekplorasi detail-detail alur cerita dari awal hingga pertunjukan selesai. Penonton menyimak kedalaman kupasan nilainilai wayang disampaikan oleh dalang. Tolok ukur dalang dikatakan baik dan kompeten manakala dalang menguasai nilai-nilai wayang secara mendalam dan mampu mentransfer nilai-nilai tersebut ke penonton. Terlepas dari hal di atas, kini pertunjukan wayang kulit tidak hanya terbatas pada dalang dan bunyi iringan alat musik gamelan. Kini pertunjukan wayang sudah memasukkan bentuk kesenian-kesenian baru seperti adanya pesinden, musik campur sari, penyanyi dangdut, musik keroncong dan bahkan bisa memasukkan pelawak dalam pementasan wayang kulit. Seni karawitan juga mengalami banyak perubahan, misalnya dengan masukknya alat musik modern seperti keyboard, drum dan lain sebagainya. Pertunjukan wayang kulit menjadi hiburan serba ada, ada musik dangdut, campursari, keroncong, lagu mancanegara, lagu rock dan lain sebagainya, semua itu bisa dinikmati penonton bila penonton menginginkan lewat request (permintaan). Terjadilah pergeseran pewarisan pertunjukan wayang kulit, yang pada awalnya penonton memusatkan perhatian pada nilai-nilai yang ada dalam cerita wayang, menjadi memusatkan perhatian pada hiburan. Penonton tidak lagi sebagai penikmat nilai-nilai filosofi wayang tetapi hanya sekedar penikmat hiburan. 5). Sistem organisasi sosial Sistem organisasi sosial dirancang untuk memudahkan pola-pola hubungan sosial antar sesame manusia. Pada masa rasional, diluar hubungan kerabat, hubungan antar manusia menjadi jalinan hubungan yang bersifat pragmatis atas dasar politik kepentingan. Sesederhana apapun kepentingan yang dijalin, selalu ada motif yang dijadikan alasan mengapa orang menjalin hubungan dengan orang lain. Bila hal ini dikaitkan dengan pola interaksi sosial, orang melakukan hubungan dengan orang lain karena ada faktor
104
pendorong, faktor yang membuat seseorang tertarik untuk melakukan hubungan sosial. Hubungan sosial yang terjalin lebih disebabkan karena alasan pemenuhan kebutuhan individu. Pada masa mitis, pola interaksi sosial didasarkan pada nilai-nilai humanisme universal, manusia hidup pada dasarnya sama, mereka sama-sama berhak untuk mendapatkan perlakuan layaknya manusia yang lain. Pola hubungan mereka berangkat dari kesamaan yang mendasar dan jauh dari motivasi untuk mengekploitasi lawan interaksinya, namun, kini zaman sudah berubah, dizaman rasional, pola interaksi sosial lebih banyak berangkat atas dasar untuk-rugi, melakukan hubungan dengan orang lain karena motivasi akan mendapatkan keuntungan. Contoh, ada seorang pembuat wayang yang dia sendiri tidak suka wayang, dia juga tidak suka pertunjukan wayang, tetapi ia terpaksa berusaha menyukai wayang dan melakukan interaksi dengan orang lain karena dia sadar, hanya menatah wayang satu-satunya pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Contoh kasus seperti di atas menunjukkan pergeseran pewarisan nilai pertunjukan wayang. Masyarakat saat ini merupakan cerminan dari model masyarakat
pragmatis yang selalu menarik korelasi antara tindakannya
dengan ukuran untung atau rugi. b. Pewarisan Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Pertunjukan wayang kulit purwa merupakan pertunjukan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, diantara nilai-nilai tersebut adalah nilai etika, nilai estetika dan nilai falsafah, selain itu di dalam pertunjukan juga terkandung nilai falsafah pancasila. Nilai-nilai tersebut perlu ditafsirkan agar bisa dipahami tetapi ada juga yang tanpa harus ditafsirkan. Berikut ini adalah hasil dari penelitian yang berkaitan dengan pewarisan pertunjukan wayang kulit yang hasilnya adalah sebagai berikut :
105
1). Alur cerita Alur cerita merupakan tontonan (hiburan) sekaligus tuntunan (petunjuk) yang didalamnya terkandung nilai-nilai. Pementasan pertunjukan wayang kulit purwa yang rata-rata digelar pada malam hari menjaikan pertunjukan wayang kulit purwa merupakan sarana sosialisasi dan sarana penyebaran pesan yang efektif. Pertunjukan yang digelar pada waktu malam hari adalah pilihan tepat. Malam hari adalah waktu dimana manusia tidak mempunyai aktivitas yang akan dikerjakan selain beristirahat (tidur), dengan demikian tidak ada lagi ganjalan dalam pikiranya, hal ini akan berdampak pada terciptanya ketenangan jiwa. Manusia akan lebih siap menerima pesan yang akan diudal (dieksplor) dalam cerita wayang. Wayang selain sebagai tuntunan juga merupakan tontonan (hiburan), dengan demikian pertunjukan wayang kulit purwa yang digelar dimalam hari adalah pemilihan waktu yang tepat. Orang setelah dalam satu hari bekerja, mereka membutuhkan refresing, butuh menyegarkan pikiran, pertunjukan wayang kulit dimalam hari juga berungsi sebagai media hiburan (tontonan). Wayang
adalah
sarana
untuk
ngudal
piwulang
(alat
untuk
mengeksplorasi ajaran) melalui penyampaian pesan yang terdapat dalam alur cerita. Pesan yang ada dalam wayang kulit purwa diantaranya adalah nilai etika dan nilai falsafah. Nilai etika mengajarkan tentang hal yang baik dan hal yang buruk, didalam wayang, ada tokoh yang berwatak baik dan ada yang berwatak buruk. Keduanya dapat dijadikan sebagai media pengingatan dan media belajar tentang pengalaman hidup. Manusia dalam hidupnya selalu dihadapkan pada dua pilihan, antara baik dan buruk, kuat dan lemah dan lainlain. Kebaikan selalu melawan keburukan, kebaikan pasti akan menang walaupun tidak harus secara langsung. Nilai falsafah brfungsi sebagai perisai untuk melawan keburukan, nilai falsafah mengajarkan tentang arti hidup, apa hakikat hidup, harus berbuat apa ketika hidup dan mau kemana setelah manusia hidup. Nilai falsafah juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan dan
106
bagaimana hubungan antar sesame manusia. Nilai etika dan nilai falsafah ibarat perisai dan kompas kehidupan, ia dapat membentengi diri dari hal-hal yang buruk sekaligus sebagai pedoman hidup. Idealnya, bila penonton betulbetul nggigiti ajaran wayang (menelaah dengan seksama ajaran dalam wayang), maka penonton akan mengalami proses kematangn jiwa. Menurut SRS, wayang merupakan tuntunan sekaligus tontonan. Lebih lanjut SRS mengutarakan : Iya. Wayang itu merupakan tuntunan (ajaran yang dipakai sebagai pedoman hidup) dan tontonan (sarana untuk mencari hiburan). Tontonanya, wayang bisa menjadikan sebagai media hiburan, sedangkan tuntunanya, wayang (dalam pertunjukan) ada ajaran yang baik-baik. Jangan meniru yang jelek (W/SRS/16/07/2009). Menurut WS, wayang merupakan media memberikan hiburan (tontonan) sekaligus media memberikan pelajaran berupa nasehat-nasehat (tuntunan). Lebih lanjut WS mengutarakan : Ya, ngandan-ngandani sing apik-apik lah, yang bagus silahkan ditiru yang tidak bagus jangan ditiru. Itu kan demi kebaikan. Kan wayang itu ya tuntunan ya tontonan (W/WS/16/07/2009). (ya, memberi nasehat yang baik-baik, yang bagus silahkan ditiru yang tidak bagus jangan ditiru. Itu kan demi kebaikan. Kan wayang itu ya tuntunan ya tontonan). Telah diuraikan di depan bahwa wayang kulit purwa merupakan tuntunan (pedoman) sekaligus tontonan (hiburan). Wayang sebagai tontonan (hiburan) adalah hal yang mudah diterima oleh penonton karena tontonan (hiburan) adalah seuatu hal yang menyenangkan. Sebaliknya, wayang sebagai media tuntunan (pedoman) tidak mudah untuk diterima oleh penonton karena tuntunan (pedoman) adalah sesuatu ajaran yang lebih bersifat formal dan kadang-kadang disajikan dengan kata-kata yang berat (kata-kata yang sulit untuk dipahami) dan dikemas dalam format yang membosankan. Pada akhirnya, kemampuan memahami tuntunan dalam alur cerita tergantung dari kemampuan individu.
107
Pementasan wayang kulit purwa saat ini terjadi penambahan waktu untuk sesi hiburan dan terjadi pengurangan waktu untuk sesi cerita inti. Alur cerita dalam pertunjukan wayang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pertunjukan wayang dan merupakan bagian yang penting. Melalui alur cerita, dalang mencoba menerangkan isi pesan, ide dan kemampuan dalang dituangkan melalui perwakilan tokoh wayang. Dalang dituntut untuk mampu menjadi karakter masing-masing tokoh, dalang juga harus mampu mengekplisitkan isi pesan kepada penonton melalui tokoh-tokoh wayang. Zaman dahulu pada umumnya, pementasan wayang dimulai dari pukul 21:00 hingga pukul 05: 00 pagi, masing-masing sesidiberikan alokasi waktu yang berbeda. Waktu antara pukul 21:00-23:00 adalah segmen jejer keraton, jejer kedaton dan paseban njawi (sesi keberangkatan prajurit). Pada segmen jejer kedaton, biasanya diselingi dengan abdi dalem yang berdendang menghibur raja atau permaisuri dengan menyayikan satu buah lagu agar sang bendhara (sang majikan) lejar penggalihe (tenang pikiranya, senang hatinya dan bisa melepaskan masalah yang sedang dihadapi). Pukul 23:00-00:00 adalah segmen perang sabrang. Pukul 00:00-03:00 adalah segmen jejer satria, seperti halnya jejer kedaton, jejer satria biasanya ditandai dengan munculnya abdi (punakawan) untuk menghibur sang majikan dari permasalahan yang sedang dihadapi dengan menyanyikan satu buah lagu penghibur. Pukul 03:00 adalah perang cakil (perang antara raksasa atau buto cakil dengan kesatria) dilanjutkan dengan menyelesaikan alur cerita hingga selesai pukul 05:00 (bahkan bisa lebih dari jam 05:00, kadang sampai terbit matahari atau pukul 06:00). Pertunjukan selesai ditandai dengan keluarnya wayang boneka yang terbuat dari kayu atau keluarnya wayang golek atau keluarnya godril yang diakhiri dengan tancep kayon (menancapkan kayon ditengah panggung) pertanda pertunjukan telah selesai. Seiring dengan perkembangan waktu, pembagian waktu pementasan mengalami pergeseran. Pertunjukan tetap dimulai pukul 21:00 tetapi selesainya pertunjukan lebih awal yakni kurang lebih jam 04:00 pagi.
108
Pembagian waktu antar segmen wayang juga mengalami banyak perubahan, yang paling mencolok, waktu untuk segmen hiburan mengalami peningkatan. Lazimnya pertunjukan wayang kulit saat ini, waktu antara pukul 22:00-00:00 adalah segmen limbukan atau segmen hiburan. Pukul 01:00-03:00 adalah segmengara-gara yang juga segmen hiburan. Inti pementasan cerita hanya berkisar antara pikul 21:00-22:00, pukul 00:00-01:00 dan pukul 03:00-04-00 (O/WS/17-18/07/2009). Bila dibandingkan antara pertunjukan wayang gaya klasik (zaman dahulu) dengan pertunjukan gaya sekarang adalah sebagai berikut. Pertama pementasan wayang kulit saat ini lebih singkat bila dibandingkan dengan pementasan wayang kulit pada zaman dahulu. Kedua, terjadi pemadatn waktu pada segmen cerita pokok dan terjadinya penambahan waktu pada segmen hiburan yakni limbukan dan gara-gara, hal ini disebabkan karena corak pementasan wayang kulit yang seperti ini disesuaikan dengan keinginan pasar. Model pementasan yang mengutamakan hiburan ini akan membahayakan eksistensi nilai-nilai yang terkandung dalam wayang karena dengan hanya mengejar segmen hiburan, inti cerita justru ditinggalkan dan pada akhirnya pertunjukan wayang menjadi kering dari nilai. 2). Dalang Peran dalang dalam pertunjukan wayang kulit memiliki posisi sentral, dalang adalah otak pertunjukan, arsitek sekaligus sutradara atas berjalanya pementasan. Sukses dan tidaknya pertunjukan wayang sangat dipengaruhi oleh peran dalang. Hasil penelitian ini diperoleh beberapa kecenderungan sebagai berikut: Dalang mengetahui wayang sejak kecil, rata-rata pengetahuan mendalang diperoleh dari orang tua, belajar dari lingkungan dan sering menyaksikan pementasan wayang. Nyi WS mengaku mengetahui wayang karena lingkungan dan orang tuanya yang menjadi seorang dalang. Bapak Nyi WS adalah ki dalang HC yang merupakan turunan dalang. Ki HC adalah generasi yang kedelapan belas (18), sedangkan anak Ki HC, yakni Nyi WS
109
adalah generasi turunan dalang yang kesembilan belas (19) (O/1718/07/2009). Dalang yang lain yakni Ki dalang GR adalah anak keturunan dari Ki WGMS yang juga merupakan keturunan dalang. Ki GR mendapatkan pengetahuan dasar tentang wayang dari ayahnya (O/WGMS/27/07/2009). Menurut Ki SRH, kemampuanya mendalang, menatah wayang, menyungging dan memainkan gamelan tidak bisa terlepas dari pengaruh keluarganya yang juga merupakan keluarga keturunan dalang. Ki SRH merupakan menantu dari Ki PDH yang merupakan dalang terkenal di Desa Kepuhsari pada masanya. Ki SRH juga merupakan adik ipar Ki dalang HC (O/SRH/25/07/2009). Lingkungan Desa kepuhsari yang terkenal dengan sentra wayang kulit menyebabkan Desa Kepuhsari ramai dengan bertemunya antar kepentingan yang ada kaitanya dengan wayang kulit, ada dalang, ada penatah, ada masyarakat yang sering menanggap wayang, ada penjual dan pembeli wayang, hal ini berdampak pada terbentuknya lingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi dan memberikan apresiasi positif terhadap kesenian wayang kulit. Wayang kulit menjadi sesuatu yang tidak asing bagi masyarakat. Banyaknya penatah, sering digelarnya pementasan wayang, menyebabkan dalang sejak kecil mendapatkan pengetahuan dasar mengenai wayang kulit. Desa Kepuhsari saat ini memiliki sepuluh dalang, sepuluh dalang tersebut adalah Ki WGMS, Ki GR, Ki GPW, Ki DW, Ki SRH, Ki SWN, Ki HC, Nyi WS, Ki SRS dan Ki SKR. Delapan dari sepuluh dalang adalah keturunan dalang yakni Ki WGMS, Ki GR, Ki GPW, Ki DW, Ki SRH, Ki SWN, Ki HC, Nyi WS sedangkan yang sampai saat ini masih aktif mendalang adalah Ki GR, Nyi WS dan Ki SWN. Dalang kecil yang merupakan dalang turunan (sebutan bagi anak keturunan dalang) banyak mendapatkan keuntungan dalam hal belajar mendalang. Pertama, dalang kecil dari turunan dalang akan banyak mendapatkan pendidikan dari orang tuanya. Orang tua
110
memiliki kecenderungan untuk mewariskan kemampuan mendalang ke anakanaknya. Proses pewarisan melalui perlakuan-perlakuan, misalnya dilatih, didampingi dan dibimbing seoptimal mungkin agar anaknya memiliki kemampuan optimal. Selain faktor treatment (perlakuan) dari orang tua, anak dari turunan dalang secara genetik mewarisi darah dalang. Faktor genetik mendorong anak memiliki interest (ketertarikan) yang lebih terhadap wayang kulit. Talenta (bakat) yang diwariskan dari orang tua merupakan dorongan intrinsik yang datang atas dasar minat, pikiran dan kemauan diri sendiri. Dorongan intrinsik inilah yang mendorong orang berusaha secara optimal sehingga pada akhirnya akan mengangkat diri dalang menjadi dalang yang berkarakter, kompeten dan berpeluang untuk menjadi dalang yang tenar (terkenal). Disisi lain, anak dari dalang turunan berkesempatan magang secara non formal
kepada bapaknya ketika bapaknya sedang pentas. Anak dari
dalang turunan biasanya sering menyertai orang tuanya ketika pentas, keikutsertaan anak dalam pementasan merupakan bentuk lain dari magang. Melalui magang ini anak secara tidak langsung dididik, dilatih dan mendapatkan pengetahuan dasar tentang mendalang. Anak secara tidak langsung melakukan observasi, menghimpun perbendaharaan pengetahuan mengenai wayang. Anak dalang turunan karena orang tuanya sering pentas, anak sering diberi waktu khusus, pentas singkat sebelum pementasan dalang yang sesungguhnya dimulai. Pertunjukan mengawali pementasan ini disebut dengan mucuki.
Mucuki merupakan media berlatih paling baik karena walaupun
mucuki adalah latihan, tetapi latihan yang secara langsung disaksikan oleh penonton
yang
sesungguhnya.
Pementasan
didepan
penonton
yang
sesungguhnya ini berdampak pada pematangan psikologi anak secara dini, artinya dengan mucuki psikologi dalang cilik (dalang kecil) sejak usia dini sudah ditempa, dikondisikan, dilatih yang langsung disaksikan penonton.
111
Mucuki akan mendorong dalang cilik (dalang kecil) menyajikan kemampuan dirinya secara optimal, mucuki juga merupakan stimulus (rangsangan) untuk mengoptimalkan kemampuan dalang cilik karena lebih termotivasi. Mucuki merupakan bentuk lain dari pemasaran atau marketing agar sedini mungkin dikenal oleh publik. Mucuki merupakan sarana efektif untuk promosi gratis yang merupakan bentuk lain dari politik pemasaran. Saat ini alasan dalang tetap menjadi dalang karena mendalang adalah pekerjaan. Menurut Nyi WS, mendalang adalah satu-satunya pekerjaan yang dia miliki. Mendalang adalah upaya untuk mencari uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Lebih lanjut Nyi WS mengutarakan : Aku itu prinsip saya lha mbok nganti tuwek, kalau masih laku ya mendalang, jadi gak ada putusnya. Iya, saya yakin kok. Aku ki urip neng ndonya ki ya mung merga ndalang. Saya juga bisa mencukupi (kebutuhan hidup) keluarga ya merga ndalang. Pekerjaan saya hanya itu kok mas. Jadi lha mbok nganti tuwa, ibarat lha mbok (wis nganti) tuwa pikun, saya tetap akan mendalang). Paling tidak gini mas, aku bisa ngruwat, palaing tidak besuk (kalau saya sudah tua) saya (akan) ngruwat. Gitu (W/WS/16/07/2009). (Prinsip saya, walaupun saya sudah tua kalau masih laku (kalau masih ada orang yang menanggap saya, untuk mendalang) saya tetap akan mendalang. Iya, saya yakin kok. Saya itu bisa hidup ya karena mendalang, bisa mencukupi kebutuhan keluarga juga karena saya mendalang. Pekerjaan saya hanya itu kok mas. Jadi walaupun ibarat saya sudah pikun, saya akan tetap mendalang. Paling tidak gini mas, saya bisa meruwat (menghilangkan sukerta), palaing tidak besuk (kalau saya sudah tua) saya (akan) meruwat. Hal senada diungkapkan oleh Ki SRH yang mengutarakan bahwa ia mencurahkan perhatian pada seni tatah-sungging, memainkan alat musik gamelan dan mendalang karena dijadikan sebagai pekerjaan utama. Lebih lebih lanjut Ki SRH menuturkan : Ya…, tempo dulu ya (menatah wayang, menyungging, mamainkan gamelan, mendalang, saya jadikan pekerjaan utama). Ketika saya sudah bisa (menatah wayang), saya membuat wayang untuk dijual ke siapa orang yang membutuhkan untuk pekerjaan utama. Ya kurang lebih sejak 57-70-an (W/SRH/25/07/2009).
112
Dalang pada zaman dahulu (pada zaman mitis) bukan merupakan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalang pada zaman mitis adalah mediator yang bertugas memandu manusia berkomunikasi dengan roh nenek moyang. Berbeda dengan masa mitis, pada masa rasional, dalang memiliki status dan peran yang berbeda, dalang adalah orang yang bertugas menyebarkan nilai-nilai keutamaan yang terkandung dalam wayang kulit kepada penonton. Pewarisan dari masa mitis ke masa rasional membawa dampak pada pergeseran fungsi wayang dan dalang. Seiring dengan perkembangan zaman, ditambah dengan perubahan sistem ekonomi dunia yang menganut ideologi ekonomi kapitalis, menyebabkan motivasi menjadi dalang mengalami pergeseran. Pada masa rasional, menjadi dalang adalah tuntutan mencukupi kebutuhan hidup, dalang adalah pekerjaan, dalang adalah mata pencaharian, namun tidak semua salah bila bila dalang dijadikan sebagai pekerjaan untuk menghasilkan uang, justru dengan dijadikan dalang sebagai pekerjaan, secara tidak langsung justru akan membantu mempertahankan eksistensi wayang kulit. Dalang yang menjadikan kegiatan mendalangnya sebagai pekerjaan, lazimnya selalu belajar untuk meningkatkan kompetensi diri agar tetap bisa eksis dan tetap digemari penonton, walaupun mendalang karena motif ekonomi, tetapi justru dengan motif ekonomi menyebabkan dalang menjadi semakin kompetitif. Dalang tentu tidak ingin kehilangan pekerjaanya, jalan untuk mempertahankan pekerjaan sebagai dalang adalah mempertahankan kepercayaan masyarakat yang dipercayakan padanya melalui peningkatan kemampuan diri. Dalang yang kompeten akan laku ditanggap (diundang untuk pentas), sebaliknya sebagai sebuah konskuensi, dalang yang tidak kompeten akan ditinggalkan penggemar dan pada akhirnya tidak ada masyarakat yang menanggap (mengundang untuk pentas).
113
Dalang yang dijadikan sebagai pekerjaan selain memiliki sisi positif tetapi juga memiliki sisi negatif. Dalang yang menjadikan mendalang sebagai mata pencaharian pasti berangkat dari motif ekonomi yang berorientasi pragmatis, yakni terakumulasinya keuntungan, akibatnya, orientasi mendalang berdasarkan kebutuhan pasar, yang menjadi berbahaya ketika pasar saat ini lebih menghendaki hiburan daripada tuntunan dalam pementasan wayang, akibatnya, pementasan akan menjadi kering dari nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam wayang. Salah satu penyebab mengapa wayang kulit purwa hingga saat ini masih eksis adalah karena kemampuan wayang kulit untuk hamot, hamong dan hamemangkat. Hamot artinya keterbukaan untuk menerima pengaruh dan masukan baik dari dalam maupun dari luar. Hamong artinya kemampuan menyaring unsur-unsur baru yang masuk. Tidak semua unsur dari luar yang masuk itu baik, tidak semua masukan langsung diterima dan diadopsi, unsur baru tersebut perlu disaring, disensor dan dipilih mana diantara unsur baru tersebut yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang. Hamemangkat artinya kemampuan mengubah unsur-unsur luar yang masuk yang sesuai dengan nilai-nilai wayang. Kemampuan hamot sudah teruji bahwa wayang terbuka dengan masuknya unsur-unsur baru dalam pementasan, terbukti dalam pementasan sering disisipkan unsur seni lain seperti musik dangdut, musik campursari, musik pop, pelawak dan lain sebagainya. Hal ini mampu membuktikan bahwa wayang mampu mengakomodasi aneka ragam unsur lain. Kemampuan hamong, wayang mampu menyaring unsur yang masuk, tidak semua yang masuk diakomodasi apabila bertentangan dengan nilai yang sudah ada dalam wayang. Akhirnya, dengan kemampuan hamemangkat, masukan-masukan baru tersebut mampu menjelma menjadi sajian yang baru. Bila musik dangdut masuk, maka akan menjelma menjadi musik dangdut versi pementasan wayang, bila musik pop masuk, maka akan berubah versi menjadi musik pop versi pementasan wayang. Kemampuan wayang dalam hamot, hamong dan
114
hamemangkat ini terbukti efektif sehingga wayanng sampai saat ini masih mampu bertahan. Bagi dalang, kemampuan wayang dalam hamot, hamong dan hamemangkat ditangkap sebagai suatu peluang. Melalui modivikasimodivikasi unsur pertunjukan, dalang mencurahkan seluruh kreativitasnya menggarap pakeliran menjadi semenarik mungkin. Kreativitas merupakan suatu pertarungan antar dalang, taruhanya adalah eksistensi dalang itu sendiri. Dalang yang krestif akan tetap laku dan banyak yang menanggap, sebaliknya, dalang yang kurang kreatif akan ketinggalan zaman dan ditinggalkan penonton. Kemampuan wayang dalam hamot, hamong dan hamemangkat inilah yang sering dimanfaatkan dalang dalam membentuk citra diri dan opini publik tentang diri dalang. Untuk menarik perhatian penonton dan agar pementasan menjadi menarik, dalang sengaja menyisipkan unsur hiburan seperti memasukkan pelawak, lagu dangdut, musik campursari dan hiburan lain. Tujuan dari menyisipkan hiburan pada pementasan wayang adalah untuk menyedot perhatian penonton. Hiburan merupakan daya tarik kuat dari pementasan wayang kulit purwa khususnya bagi kaum muda. Hiburan menjadi hal utama untuk di tonton. DR misalnya mengutarakan bahwa kaum muda lebih cenderung menonton wayang karena pertimbangan menonton hiburan (W/DR/22/07/2009). Seperti halnya pementasan wayang kulit purwa yang di bawakan oleh Nyi WS, penonton sangat antusias mengyaksikan sesi hiburan. Indikatornya, penonton bertumpah ruah pada sesi hiburan dengan memberikan apresiasi melalui permintaan lagu (reques lagu hiburan), menyimak secara seksama, menikmati dengan serius dan bahkan ada dari golongan anak muda yang memberikan apresiasi dengan cara berjoget atau sol, namun, ketika sesi hiburan selesai, penonton khususnya penonton dari generasi muda dengan serta merta langsung membubarkan diri (O/WS/17-18/07/2009).
115
Pertunjukan wayang yang sedang trend saat ini cenderung terkesan mengeksploitasi pertunjukan untuk mengeruk keuntungan. Unsur hiburan mendapat porsi dominan, sebaliknya, cerita inti justru hanya mendapat alokasi waktu minimalis, sehingga yang muncul dalam pementasan adalah kesan pesta hiburan, hura-hura tetapi pertunjukanya kering makna, kering nilai-nilai falsafah. Pada umumnya masyarakat saat ini dan kaum muda pada khususnya, memiliki kecenderungan menyukai pertunjukan wayang karena faktor hiburan. Faktor hiburan menjadi daya tarik karena kondisi zaman yang sudah berubah. Kecenderungan anak muda menyukai sesi hiburan dibandingkan sesi yang lain karena anak muda menginginkan sesuatu yang sedang trend di zamanya, hal ini akan cenderung sama untuk generasi sebelum mereka. Dimasa muda orang tua zaman dahulu, hiburan yang trend bukan wayang dengan sisipan lagu-lagu dangdut, bukan wayang dengan sisipan lagu pop, bukan wayang dengan sisipan pelawak, namun yang trend zaman dulu adalah hiburan wayang kulit klasik yang kaya akan tradisi filosofis. Orang tua menyukasi pementasan wayang kalasik karena di zamanya hiburan semacam ini yang zaman dahulu sedang trend, sebaliknya, bagi kaum muda saat ini, yang trend adalah pementasan wayang dengan sisipan hiburan seperti musik dangdut, musik pop, musik campursari dan dan sisipan hiburan yang lain. Tidak mengherankan bila jenis hiburan yang demikian yang disukai. Saat ini wayang masih dalam pengaruh antara pemikiran mitis sekaligus pemikiran rasional. Bukti kuat yang menunjukkan wayang berada diantara dua pengaruh mitis dan rasional adalah dalam hal pemilihan lakon pada pementasan wayang. Pemilihan lakon perlu pertimbangan khusus dan tidak semua lakon dipilih untuk dipentaskan, secara umum, lakon yang sering dipentaskan disesuaikan dengan jenis acara, jarang mementaskan jenis lakon kontroversial misalnya lakon baratayuda, lakon kematian, lakon bencana, pada acara yang diselenggarakan personal (perorangan). Umumnya, lakon yang dipentaskan disesuaikan dengan jenis acara, sebagai contoh pementasan pada
116
acara pernikahan, lakon yang dipentaskan adalah lakon raben (pernikahan), pementasan pada acara lahiran yang dipentaskan adalah lakon kelahiran, acara bersih desa dan tasyakuran, lakon yang dipentaskan adalah wahyon (cerita tentang turunya wahyu) dan lain sebagainya. Hal ini seperti disampaikan oleh Nyi WS : (Pementasan lakon yang diminta biasanya) mertata. Tapi kebanyakan kalau orang desa, kalau punya hajatan mantu (pernikahan), ya (lakon yang diminta) raben (lakon pernikahan), kalau (pada acara) tetakan (khitanan), ya (lakonnya) wahyon (lakon turunnya wahyu), kalau carangan ya wahyon. Kampanye-kampanye itu lain, ya wahyon (lakon turunnya wahyu) tetapi carangan (W/WS/16/07/2009). Lakon dipilih berdasarkan jenis acara, hal ini karena masyarakat penanggap (orang yang menanggap pementasan wayang) menginginkan dan mempercayai bahwa kehidupan penanggap akan berbanding atau akan mengalami kejadian yang sama dengan isi cerita atau lakon yang dipentaskan. Bila lakon menceritakan tentang kemuliaan, maka penanggap percaya dalam hidupnya akan menuai kemuliaan, sebaliknya, bila lakon yang dipentaskan mengisahkan malapetaka, maka penanggap percaya dalam hidupnya akan menuai malapetaka. Keyakinan yang bersifat mitis tersebutyang mendorong masyarakat penanggap (orang yang menanggap wayang) untuk tidak mementaskan lakon-lakon kontroversial (misalnya lakon baratayuda, lakon kematian, lakon bencana) pada acara-acara yang dilaksanakan oleh individu atau oleh personal. Menurut Nyi WS, karena masyarakat masih percaya mitologi wayang, menyebabkan lakon-lakon yang tergolong kontroversial jarang dipentaskan. Lakon yang tergolong kontroversial tersebut misalnya lakon peperangan, lakon bratayuda, lakon-lakon tentang kematian dan lain sebagainya. Hal ini karena lakon-lakon tersebut jarang diminta oleh penanggap, begitu juga sang dalang juga tidak berani sembarangan mementaskan jenis lakon kontroversial. Lebih lanjut Nyi WS menuturkan, “kalau lakon bratayuda (lakon peperangan
117
antara pendawa dengan kurawa) saya belum pernah (mementaskan), saya gak berani” (W/WS/16/07/2009). Masyarakat penanggap pada umumnya masih percaya adanya asep atau tuah dari masing-masing lakon. Sama halnya dengan penanggap, dalang juga memiliki kepercayaan yang sama. Seperti yang diutarakan oleh Nyi WS : Gini ya, ada yang bilang (lakon itu) sakral (keramat), (tetapi) ada yang bilang tidak. Kalau bapak saya, zaman dulu, (ketika mementaskan) lakon baratayuda, lakon baratayuda harus (dipentaskan) dilapangan atau di balai desa, tidak boleh di perumahan (dalam pementasan yang ditanggap oleh individu). Kalau diperumahan, pasti paginya ada kejadian (misalnya) orang meninggal, misalnya hanya berjalan, jatuh, mati. Rumah kebakaran, pokoknya ada-ada saja. Kalau (lakon) baratayuda itu harusnya (dipentaskan) di balai desa atau di lapangan (W/WS/16/07/2009). Walaupun masih terbuka bagi dalang untuk melakukan deal-deal atau kesepakatan-kesepakatan dengan penanggap untuk menawarkan alternatif lakon yang lain, tetapi pada akhirnya pemilihan lakon tetap dikembalikan semuanya ke penanggap, apakah penanggap setuju atau tidak. Dalang pada akhirnya akan memenuhi kemauan penanggap, walaupun lakon yang dipilih secara filosofis kering dari muatan nilai, namun yang menarik, jarang diantara penanggap pada pementasan individu yang berani mementaskan lakon kontroversial seperti misalnya lakon baratayuda atau lakon-lakon kematian. Lakon baratayuda dan lakon kematian diyakini akan membawa dampak yang kurang baik bagi kehidupan penanggap dikemudian hari. Dampak yang kurang baik tersebut bisa dalam bentuk terjadi bencana, nasib dan lain sebagainya. Uraian di atas menunjukan bahwa baik penanggap maupun dalang memilih lakon berdasarkan pertimbangan asep atau tuah atau karena pertimbangan mitis. Lakon yang dipentaskan diyakiniakan benar-benar akan terjadi pada kehidupan penanggap dikelak kemudian hari. Lakon seperti baratayuda, lakon-lakon kematian jarang dipentaskan oleh penanggap individual karena penanggap takut bila keluarganya dikemudiah hari ditimpa
118
musibah seperti yang terdapat dalam lakon wayang, sebaliknya, dipentaskan lakon-lakon yang baik, dengan harapan kehidupan penanggap dikemudian hari akan diberikan kebaikan seperti apa yang terdapat dalam lakon wayang. Pertimbangan-pertimbangan seperti diuraikan di atas karena pada dasarnya penanggap masih mempercayai unsur mitis dalam wayang kulit, walaupun saat ini merupakan zaman rasional, tetapi pengaruh-pengaruh mitis masih terwariskan ke penanggap. Bisa jadi ada satu atau dua orang penanggap yang tidak percaya adanya unsur mitis dalam wayang, tetapi penanggap yang berkeyakinan demikian akan merasa risi dan merasa terganggu perasaanya apabila mementaskan lakon kontroversial, sebab bila setelah pementasan terjadi musibah, masyarakat akan menghubungkan antara musibah dengan lakon wayang yang pernah dipentaskan. Penanggap yang awalnya tidak percaya akan adanya hal mitis pada lakon wayang, akhirnya menjadi ragu-ragu antara percaya dan tidak percaya dan pada akhirnya juga ikut mempercayai sebagai suatu kebenaran. 3). Penanggap Pada zaman mitis, pewarisan wayang murni karena faktor mitologi. Wayang terwariskan dari generasi-generasi sebelumnya karena wayang di jadikan sebagai sarana ritus. Wayang dijadikan sebagai media komunikasi dengan roh nenek-moyang, wayang merupakan kebutuhan religius. Pada zaman sekarang, wayang terwariskan antara pengaruh mitis sekaligus atas pertimbangan rasional. Rata-rata orang yang menanggap wayang karena faktor ujar atau punagi. Orang yang berujar biasanya orang yang sedang ditimpa permasalahan yang pelik, misalnya mempunyai anak kecil yang sakit-sakitan dan tidak kunjung sembuh, memiliki hutang yang tidak segera lunas dan lain sebagainya. Kemudian ia berujar, apa bila ia bisa segera keluar dari masalah yang ia hadapi, ia akan menanggap wayang. SH menuturkan : Bisa dikatakan seperti itu (orang menanggap wayang karena alasan nadzar), bahkan orang tua dalam budaya jawa ada istilah punagi atau janji atau keinginan yang mana punagi itu dimunculkan dikala dia itu
119
kadang punya anak yang sakit (bila sembuh dari sakitnya) bila hajatan ia akan nanggap wayang (W/WS/16/07/2009). Lebih lanjut SH menuturkan : Ujar atau punagi atau ucapan, ucapan yang timbul karena dorongan nurani yang kuat, karena punagi muncul karena ada permasalahan mendasar terkait dengan batin, (punagi) itu terus muncul dari nurani yang paling dalam. Jarang-jarang yang berharap, suk yen mari tak tanggapne dangdut (besuk kalau sembuh akan saya tanggapkan dangdut), yang tahu campursari, (tetapi) nanggapnya (tetap) wayang, walaupun wayang dalamnya ada campursarinya (W/SH/16/07/2009). Menurut ED, rata-rata masyarakat Kepuhsari menanggap wayang karena faktor punagi, selain karena punagi, pertimbangan lain adalah menanggap wayang karena faktor suka atau hobi, karena tuntutan gengsi atau wah, untuk mengisi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain. Menurut ED, bila dipresentasi orang menanggap wayang karena faktor punagi sebanyak 50% atau separuh dari penanggap. Menanggap wayang karena suka atau hobi sebanyak 20%, alasan gengsi sebannyak 10%, untuk mengisi waktu sebanyak 10% dan alasan lain sebanyak 10% (W/ED/03/08/2009). Menurut DR, wayang masih banyak dipentaskan karena orang yang menanggap wayang atas dasar suka atau karena nadzar atau punagi (W/DR/22/07/2009). Dari uraiuan di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata masyarakat Kepuhsari menanggap wayang dengan alasan punagi atau nadzar atau ujar. Nyi WS menuturkan : Misalnya sukuran atau kaulan (nadzar, punagi atau ujar), arepo misale wong sing ora duwe pingin nadzar wayangan, itu kan harus kelakon, itu kan pasti. Ning, saiki, arepo pejabat, apa wong sugih ora mesti wayangan. Malah kadang justru orang tani-tani itu malah wayangan. Merga ya kadang-kadang anaknya yang bayar. Orang-orang kaya malah gak wayangan. Gitu aja (W/WS/16/07/2009). (Misalnya sukuran atau kaulan (nadzar, punagi atau ujar), walaupun misalnya orang miskin, mempunyai keinginan nadzar wayangan, dia pasti menanggap wayang. Tetapi sekarang walaupun pejabat atau orang kaya belum tentu menanggap wayang. Kadang petani justru menanggap wayang. sebabnya kadang-kadang anaknya yang bayar. Orang-orang kaya justru tidak menanggap wayang).
120
Uniknya, orang yang berujar akan menanggap wayang, bukan menanggap pertunjukan yang lain, hal ini karena mereka mempercayai bahwa wayang dipercaya memiliki asep atau tuah, walaupun mereka hidup pada zaman rasional, tetapi tetap menanggap wayang atas pertimbangan mitis. Pewarisan wayang hingga saat ini masih bertahan antara pemikiran magis dan pemikiran rasional. Lain halnya dengan anak muda, menganggap bahwa pewarisan wayang dari generasi tua ke generasi muda sebagai model modivikasi hiburan dalam format penyajian yang baru. Anak muda berkepentingan melestarikan wayang karena faktor hiburan. Menurut ED : Kalau pentas wayang kulit klasik (tanpa musik campursari) rata-rata anak muda 50:50 (maksudnya 50% suka dan 50% lainnya tidak suka) dan tergantung dalangnya juga. Tetapi (kalau) pementasan wayang pakai embel-embel (ada unsur) campursari, rata-rata anak muda suka, tetapi sebatas senang (menikmati musik) campursari. Biasanya begitu. (W/ED/03/08/2009). Hal senada disampaikan oleh DR, “sini itu (penonton) gak memberatkan (tidak mengutamakan) wayangnya tetapi (mengutamakan musik) campursarinya” (W/DR/22/07/2009). Lebih lanjut DR mengutarakan : … Iya, wayang hanya sekedar, kalau udah habis campursarinya gitu (wayang) udah gak di perhatikan (W/DR/22/07/2009). (iya, wayang tidak menjadi perhatian utama, kalau hiburan campursari dalam pementasan wayang sudah selesai, pertunjukan wayang tidak diperhatikan lagi). Wayang mampu bertahan dan mampu mengisi ruang selera anak muda karena wayang dianggap mampu menyediakan apa yang anak muda inginkan yakni hiburan kekinian. Terbukti wayang mampu beradaptasi dengan tuntutan anak muda sehingga anak muda masih menyukai wayang walaupun sebatas menyukai segmen hiburan. Pertunjukan wayang terdapat bermacam-macam hiburan sekaligus, misalnya musik dangdut, musik campursari, pelawak dan lain sebagainya.
121
4). Penonton Pewarisan pertunjukan wayang kulit tidak bisa dilepaskan dari unsur penonton, dari hasil penelitian, diperoleh hasil hal-hal sebagai berikut. Penonton memiliki pengetahuan tentang wayang sejak kecil. Pengetahuan tentang wayang diperoleh dari seringnya ia menonton pertunjukan wayang. Kelurahan Kepuhsari merupakan sentra wayang kulit purwa, dari mulai penatah, penyungging, dalang, niyaga, waranggana semua ada di Desa Kepuhsari. Kelebihan ini memungkinkan masyarakat setempat bisa tahu wayang kulit purwa lebih awal, bahkan sejak kecil memungkinkan sudah bisa mengenal wayang. Lingkungan desa yang banyak pembuat wayang dan seringnya ada pementasan wayang menyebabkan masyarakat mendapatkan pengetahuan dasar tentang wayang. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh DR, “(saya mulai mengenal wayang kulit purwa) sejak kecil. (bisa mengenal wayang kulit purwa dari) menonton wayang lalu timbul rasa suka” (W/DR/22/07/2009). Masyarakat Desa Kepuhsari selain karena sudah mengenal wayang sejak kecil, mereka juga sering menyaksikan pertunjukan wayang kulit purwa. ED yang saat ini berumur 32 Tahun mengaku sudah menyaksikan pertunjukan wayang lebih dari 500 kali. ED mulai menonton pertunjukan wayang kulit purwa sejak kecil (W/ED/03/07/2009). Bila ED menonton wayang sejak umur tujuh tahun, maka ED sudah 25 tahun berkesempatan menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Perhitungan kasarnnya 500/25=20. Jadi ED tiap tahun rata-rata menyaksikan pertunjukan wayang kulit purwa sebanyak 20 kali. ED menyaksikan pertunjukan wayang kulit kurang lebih 500 kali berarti ED kemungkinan bisa menonton lebih dari 500 kali, jadi bisa saja kalau dirata-rata ED menyaksikan pertunjukan wayang dua kali dalam satu bulan. SRH yang saat ini berumur 75 Tahun mengaku telah menonton wayang lebih dari 1000 kali. SRH mulai menonton pertunjukan wayang kulit purwa juga sejak kecil (W/SRH/25/07/2009). Bila SRH menonton wayang sejak umur tujuh tahun, maka SRH sudah 68 tahun berkesempatan
122
menyaksikan pertunjukan wayang kulit. SRH menyaksikan pertunjukan wayang kulit kurang lebih 1000 kali berarti SRH kemungkinan bisa menonton lebih dari 1000 kali, sebagai contoh misalnya 1020 kali. Perhitungan kasarnnya 1020/68=15, jadi SRH tiap tahunya rata-rata menonton pertunjukan wayang kulit purwa sebanyak 15 kali. Angka ini bisa lebih dari 15 kali karena angka 15 kali per tahun hanya sebatas perhitungan kasar. Menurut DW, ia mengetahui wayang kulit purwa sejak kecil. Lebih lanjut DW menuturkan : Ya (memperoleh pengetahuan mengenai wayang kulit purwa) sejak kelas empat Sekolah Rakyat (SR). Mulanya juga hanya sering suka menonton wayang, lalu saya membuat wayang pakai kardus untuk dibuat main wayang. Lalu ada gagasan nyantrik (ngenger atau magang) buat wayang. Kebetulan yang saya jadikan tempat nyantrik adalah empuning wayang (masternya membuat wayang) sekaligus dalang turunan (W/DW/26/07/2009). Proses pewarisan pertunjukan wayang terjadi karena pengulanganpengulangan menyaksikan pertunjukan wayang, seringnya masyarakat menyaksikan pertunjukan secara berulang-ulang menyebabkab masyarakat mendapatkan pengetahuan dasar tentang wayang. Lewat pertunjukan inilah masyarakat mendapatkan pengetahuan sesuai kapasitas individu masingmasing. Wayang merupakan budaya eksplisit sekaligus budaya simbol, dengan demikian pengetahuan yang diperoleh dalam memahami wayang sesuai kapasitas individu masing-masing. Wayang merupakan budaya eksplisit artinya, wayang secara terang, lugas dan tanpa ditutup-tutupi bermaksud mengkomunikasikan, mengajarkan, mensosialisasikan, menyampaikan pesan ajakan, menyampaikan pesan larangan sama persis seperti yang terdapat dalam wayang. Pertunjukan wayang kulit secara eksplisit ingin menyampaikan pesan seperti yang terkandung dalam alur cerita melalui percakapan tokoh wayang. Ada tokoh yang baik, tokoh jahat, tokoh yang bermoral, tokoh yang
123
tidak bermoral dan lain sebagainya, yang secara terang dan langsung diungkapkan oleh dalang dalam bahasa verbal. Budaya eksplisit sangat mudah dipahami oleh penonton, namun yang sulit dipahami adalah budaya simbol yang masih bersifat abstrak berupa nilai estetika (keindahan) dan nilai falsafah. Wayang kulit yang merupakan budaya simbol baru bisa dipahami ketika simbol tersebut ditafsirkan. Penafsiran nilai wayang bersifat subyektif, benda yang sama akan menghasilkan penafsiran yang berbeda ketika ditafsirkan oleh orang yang berbeda. Wayang adalah salah satu bentuk karya seni, penafsiran benda nilai dalam benda seni bersifat relative, dengan demikian pemahaman seseorang tergantung dari individu masing-masing. Bila ada 10 orang maka aka nada 10 penafsiran yang berbeda. Proses penafsiran simbol dilakukan dengan cara mengungkap makna yang lebih bersifat filosofis melalui pencarian hakikat terhadap sesuatu. Kayon jika ditafsirkan bukan hanya sekedar wayang yang secara fisik mirip dengan bentuk pohon. Kayon secara filosofis adalah gambaran siklus hidup manusia dari lahir, manten (menikah) dan mati (meninggal dunia), dengan demikian, untuk memahami isi pesan yang bersifat simbol, dikembalikan kepada individu masing-masing. Kedalaman dan keluasan pemahaman tergantung dari kemampuan individu dalam menafsirkan simbol, inilah yang penulis maksud sesuatu yang bersifat subyektif. Hasil penafsiran ini akhirnya akan menjadi sesuatu yang bersifat relatif antar masing-masing individu. Ada yang sebatas tahu, ada yang paham dan bahkan ada yang hingga menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikatakan ED, “(penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang dalam kehidupan sehari-hari) itu tergantung (tergantung dari) pribadi masing-masing. Saya ini manusia, nilai-nilai (yang terkandung dalam wayang terkadang) itu belum bisa saya terapkan” (W/ED/03/08/2009).
124
Menurut DR, dia bisa mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit purwa, tetapi DR belum bisa konsisten, kadang-kadang sering lupa (secara tidak sadar nilai yang ada tidak dijalankan) dan tidak menerapkan lagi (W/DR/22/07/2009). Sebagaimana diutarakan oleh ED, penuturan senada disampaikan oleh SRH, lebih lanjut SRH mengutarakan, “kalau keinginan (maunya) seperti itu (yakni mengamalkan nilai-nilai wayang kulit dalam kehidupan sehari-hari. Sebisa mungkin juga saya terapkan” (W/SRH/25/07/2009). Pada umumnya, hanya sedikit dari penonton yang paham dan tahu nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit. Anak muda dangkal dalam memahami wayang, anak muda tertarik wayang karena faktor hiburan. Khususnya generasi muda, jarang dari mereka yang menonton wayang dari awal hingga pertunjukan berakhir. Hal ini seperti yang diutarakan DR : Kadang-kadang (saya) hanya nonton limbukan (sesi hiburan), terus (setelah itu) bubar (pulang) nanti gara-gara (sesi hiburan) datang lagi. Kene ki (sini itu penontonnya) ora ngabotke wayange (tidak mengutamakan wayangnya) ning campursarine (tetapi hiburan musik campursarinya). …iya, wayang hanya sekedarnya saja, kalau udah habis campursarinya gitu (wayang) udah gak diperhatikan. (W/DR/22/07/2009). Masyarakat secara umum, khususnya orang tua tidak mengajarkan nilai-nilai dalam wayang kepada anak-anaknya, kecuali orang tua yang pekerjaanya menjadi dalang. Proses pewarisan wayang kulit tidak terjadi karena prakarsa orang tua dalam mengarahkan anak-anaknya agar mendalami wayang kulit. Penonton mendapatkan pengetahuan tentang wayang kulit dari seringnya mereka menonton wayang. Tradisi menonton wayang ini bahkan sudah diwariskan dari generasi-generasi sebelumnya, sebab menonton wayang bisa multi fungsi. Menyaksikan pertunjukan wayang bisa digunakan sebagai media mencari hiburan, sarana berkumpul dengan teman, sebagai sarana mengekspresikan kesenangan dan lain sebagainya.
125
DR yang saat ini menjadi penatah wayang mengaku tidak pernah mendapatkan pengetahuan tentang tata cara membuat wayang maupun mengenai nilai-nilai dalam wayang dari orang tuanya (W/DR/22/07/2009). DD yang juga seorang penatah muda mengaku tidak pernah dilatih atau diberitahu oleh orang tuanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wayang. Media yang digunakan untuk mengetahui wayang hanya sekedar seringnya dia menyaksikan pertunjukan wayang dan belajar bagaimana menatah wayang dari tetangganya (W/DD/02/08/2009). SRY juga tidak pernah mendapatkan pengetahuan
tentang
wayang
kulit
purwa
dari
orang
tuanya
(W/SRY/24/07/2009). Kesimpulanya, faktor dominan yang menyebabkan masyarakat mendapatkan pengatahuan mengenai wayang kulit purwa adalah karena faktor lingkungan. Sering menyaksikan pertunjukan wayang dan didukung oleh lingkungan yang banyak yang bekerja sebagai pembuat wayang menyebabkan masyarakat mendapatkan pengetahuan dasar mengenai wayang kulit purwa. Tidak ada media lain untuk mengupas wayang secara mendalam selain dari menonton wayang. Akibatnya, wayang dipahami hanya sekedar pemaparan cerita-cerita yang dilakukan oleh dalang. Bila alur cerita dianggap menyenangkan hati, penonton menikmati pertunjukan, tetapi bila dianggap tidak menarik hati, sewaktu-waktu penonton bisa meninggalkan pertunjukan. Tidak ada usaha yang lebih filosofis untuk memahami wayang melalui penafsiran yang lebih substansial, sehingga hanya sedikit dari penonton yang paham dan tahu nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit. Penonton tidak tahu apa hakikat wayang, apa filosofi wayang, apa tujuan diciptakan wayang dan lain sebagainya. Penonton memahami wayang sebatas wayang sebagai pertunjukan yang dimainkan oleh dalang yang berisi cerita-cerita. Penonton dari golongan tua, walaupun tidak sampai mengupas wayang secara substantif, namun golongan tua masih bisa mencermati alur cerita, ada tokoh yang baik dan yang buruk dan lain sebagainya. Berbeda dengan kaum tua yang masih mau mencermati alur cerita, kaum muda menikmati
126
pertunjukan wayang karena alasan untuk mencari hiburan. Hiburan kekinian yang disisipkan dalam pertunjukan wayang menyebabkan anak muda masih mau menikmati pertunjukan wayang. Hal inilah yang menyebabkan anak muda dangkal pemahamannya terkait nilai-nilai yang terkandung dalam wayang. Secara umum, penonton gagal menangkap nilai-nilai yang terkandung dalam wayang secara komprehensif. Dangkalnya pemahaman penonton terhadap wayang disebabkan tidak tersedianya media yang memadai untuk mengkaji wayang secara mendalam berdampak pada minimnya pengetahuan penonton terhadap wayang. Penonton gagal memahami wayang yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang luas, bukan hanya sekedar pemaparan cerita. Penonton gagal mendeskripsikan wayang secara komprehensif. Wayang memiliki nilai etika, estetika dan nilai falsafah tetapi semua ini gagal dipahami. DR menuturkan, ketika ia menonton wayang perasaanya hanya biasabiasa saja, tidak terlalu senang dan juga tidak membenci wayang. Hal yang membuat DR tetap menyaksikan pertunjukan wayang adalah karena faktor hiburan, DR tertarik dengan sesi limbukan dan gara-gara. Hal lain yang disukai DR selain sesi hiburan adalah sabetan dan perang. DR juga tidak memiliki tokoh idola, walaupun tidak memiliki tokoh idola tetapi DR membenci sengkuni karena sengkuni berwatak jahat (W/DR/22/07/2009). Dari penuturan DR tersebut dapat ditarik suatu analisis bahwa DR yang ketika menonton wayang hatinya tidak terlalu senang dan tidak terlalu benci menunjukkan bahwa DR tidak mampu menyadari kehadiran nilai-nilai keindahan, nilai falsafah dan nilai etika dalam wayang secara menyeluruh. DR hanya mampu menyadari nilai-nilai dalam wayang sebatas pada bagian-bagian tertentu, misalnya DR tertarik pada sesi hiburan yang ternyata dalam sesi hiburan terdapat nilai keindahan atau nilai estetika. Nilai estetika dalam hiburan terletak pada keindahan alunan lagu yang bisa menarik dan memikat perhatian penonton.
127
Pewarisan wayang banyak ditolong oleh pengetahuan penanggap yang pada umumnya masyarakat menanggap wayang atas dasar mitis. Penanggap selalu mengaitkan antara pertunjukan wayang dengan hal yang bersifat supranatural seperti mengharapkan asep atau tuah. Budaya mitis tetap bertahan oleh karena faktor paradigma masyarakat yang tidak bisa menghubungkan antar fenomena sebagai hukum sebab-akibat (misalnya mengapa pada zaman mitis harus menyembah roh nenek-moyang, mengapa tidak menyembah yang lain, mengapa dalam ritual menyembah roh nenekmoyang harus memakai mediator dalang atau syaman bukan memakai mediator yang lain). Pada prinsipnya semua hanya dimaknai sebagai sesuatu yang benar dan harus dijalankan seperti yang diwariskan oleh orang-orang pendahulunya. Budaya mitis akan menerima apa yang diwariskan oleh nenekmoyang mereka sebagai suatu kebenaran tanpa harus mempersoalkan kebenaranya. Pada akhirnya pewarisan wayang tetap berlanjut karena budaya mitis yang terdapat pada wayang masih dipercaya oleh masyarakat. 2. Pewarisan Kerajinan Wayang Kulit Purwa Pewarisan kerajinan wayang kulit purwa yang masih eksis hingga saat ini karena faktor lingkungan yang sudah terbentuk, dikondsisikan dengan sistem turun-temurun dalam waktu yang sudah lama. Penatah (pengrajin wayang) pada umumnya sudah terkondisikan sejak kecil. Masyarakat yang sering melihat wayang baik karena unsur kesengajaan maupun karena faktor kebetulan merupakan bentuk pembelajaran yang tidak disadari. Aktivitas kontak dengan benda seni yang terulang dalam frekuensi yang tidak terhingga menimbulkan keinginan untuk berbuat hal yang sama seperti yang ia lihat, yakni menatah. Penarik paling kuat bahwa menatah bisa menghasilkan uang sejak usia dini tanpa harus mengeluarkan tenaga yang terlalu berat. Menurut SRH, dia membuat wayang karena terpengaruh oleh saudarasaudaranya. Lingkungan keluarga SRH adalah lingkungan keluarga pengrajin
128
wayang. SRH sering melihat (saudara-saudaranya yang membuat wayang) lalu timbul keinginan untuk membuat wayang sendiri. Lebih lanjut SRH menuturkan : Lha yang bisa saya utarakan berkaitan dengan tatah-sungging, ini semua (mengapa sampai saat ini di Desa Kepuhsarimasih pada membuat wayang) sejatinya hanya naluri. Maksudnya (naluri adalah) melanjutkan keterampilan orang tua dari zaman kuna-makuna (dari zaman dahulu kala) hingga sekarang. Kemampuan yang orang tua bisa, pedalangan (maupun) membuat wayang. Jadi tempo dulu ketika (zamannya) eyang-eyang (nenek moyang) tidak sekolah kemana-mana. Jadi kok pada bisa membuat wayang? ini (semua karena) diturunkan dari orang tua ke anak-cucu, canggah-wareng, melestarikan membuat wayang dan natah wayang, ngukir kulit (mengukir kulit untuk) dibuat wayang. Iya, (jadi asal-usul wayang di desa ini dari dalang PDH) ya dari mertua saya itu. Jadi tidak mengherankan bila di Manyaran (khususnya di Desa Kepuhsari) ini terkenal sebagai sentra wayang kulit yang terkenal hingga sekarang ya (sebenarnya) ini sumbernya (yakni berasal dari Ki dalang PDH). (sebenarnya yang mewariskan mula-mula adalah dalang PDH) ya, sebenarnya ini sumbernya, yang lainnya, (selain dalang PDH hanya) termasuk murid-muridnya, termasuk saya (juga hanya murid dari dalang PDH). (W/SRH/25/07/2009). Menurut DR, ia mulai tahu dan belajar membuat wayang sejak kecil. DR belajar dari tetangga-tetangganya yang kebanyakan bisa membuat wayang (W/DR/22/07/2009). DD juga mengaku tahu dan belajar membuat wayang sejak dia masih kecil. DD belajar membuat wayang juga dari tetangga-tetangganya (W/DD/02/08/2009). Lingkungan pedesaan dengan rata-rata mata pencaharian pada sektor pertanian menyebabkan mereka tetap mempertahankan pekerjaan sebagai penatah dengan pertimbangan beberapa hal. Pertama, tidak tersedia cukup banyak alternatif pekerjaan yang bisa mereka usahakan. Tidak tersedianya bidang pekerjaan yang bisa dipilih menyebabkan mereka tetap bertahan pada pekerjaan yang telah ada. Bila ada dua pilihan pekerjaan atau lebih, pekerjaan yang diutamakan untuk dikerjakan adalah pekerjaan yang lebih menguntungkan. Bagi yang tetap bertahan sebagai penatah, menatah adalah sawah-ladang (pekerjaan utama) sebagai sandaran hidup. Bertahan pada
pekerjaan menatah karena
motivasi ekonomi atas pertimbangan profit. Menatah merupakan pekerjaan ringan
129
dan tidak perlu mengeluarkan tenaga seperti misalnya bekerja sebagai petani, selain itu, pekerjaan menatah (membuat wayang) bertempat di tempat yang nyaman dan tidak banyak menuntut perubahan, bahkan bentuk-bentuk tatahan merupakan bentuk baku dan harus sama seperti yang telah ada sebelumnya. Menurut DR, ia tetap bertahan bekerja sebagai pembuat wayang karena daripada tidak bekerja. Pekerjaan yang paling memiliki nilai ekonomi dan bisa DR kerjakan adalah menjadi pembuat wayang (tatah-sungging), bila ada pekerjaan yang lebih menguntungkan dari menatah wayang, maka untuk sementara
pekerjaan
menatah
wayang
ditinggal
terlebih
dahulu
dan
mengutamakan mengerjaan pekerjaan yang sifatnya lebih menguntunngkan. Lebih lanjut DR mengutarakan, “…soalnya sekarang (orang di sini itu) hanya cari cepatnya saja bagaimana mencari uang. Sekarang ini kan musim sawo (panen buah sawo), lalu semua orang ramai-ramai terjun ke sawo semua (berbisnis, jualbeli buah sawo)” (W/DR/22/07/2009). Menurut ED, masih banyak orang di Desa Kepuhsari yang memilih bekerja sebagai pembuat wayang (tatah-sungging) karena memang sudah tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dikerjakan yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dari membuat wayang (tatah-sungging) (W/ED/03/08/2009). Pekerjaan enatah adalah pilihan terakhir karena terbatasnya bidang pekerjaan yang bisa dipilih, hal ini seakan menjadi legitimasi kultural untuk tetap menjadikan menatah dan menyungging sebagai pekerjaan utama. Kedua, pekerjaan menatah memungkinkan seseorang mengusahakan pekerjaan lain sebagai pekerjaan sampingan misalnya memelihara binatang ternak, menggarap sawah dan lain sebagainya. Masyarakat yang beralih pekerjaan dari menatah adalah mereka yang memiliki kesempatan memilih pekerjaan lain yang lebih menjanjikan dari sisi ekonomi, misalnya merantau ke Jakarta, menjadi pedagang dan lain sebagainya. Menurut SAI, selain menjadi pembuat wayang, ia masih memelihara hewan
ternak.
Pekerjaan
sampingan
SAI
adalah
menggemukkan
sapi
130
(W/SAI/03/08/2009). Pekerjaan sampingan bagi penatah (pembuat wayang) memiliki nilai strategis, hewan ternak bisa berperan sebagai media substitusi ketika pekerjaan menatah sedang tidak menghasilkan uang, misalnya ketika pesanan wayang sedang tidak banyak membuat wayang atau ketika memiliki kebutuhan yang sifatnya lebih besar yang tidak mungkin cukup bila dibiayai dengan hasil menatah. Kerajinan tatah-sungging diwariskan dari generasi ke generasi sejak dahulu kala. Menatah hanya sekedar tradisi turun-temurun dari orang-orang sebelumnnya. Menurut Ki Dalang SRH, orang yang pertama kali membawa kesenian tatah-sungging ke Desa Kepuhsari adalah Ki Dalang PDH. PDH adalah seorang dalang, penatah, sekaligus penyungging wayang yang terkenal, namun, PDH bukan generasi pertama, ia adalah generasi ke-17 dari anak-turun dalang (keturunan dalang). Leluhur (generasi pendahulu dari asal keturunan) di atas PDH juga seorang dalang, penatah, penyungging sekaligus orang yang piawai memainkan alat musik gamelan. PDH
inilah yang sering disebut sebagai
empuning dalang dan empuning wayang (ahli pembuat wayang sekaligus dalang ahli atau dalang senior
yang mula-mula memperkenalkan wayang) di Desa
Kapuhsari. Generasi saat ini dari generasi PDH adalah generasi ke-19. Generasi yang ke-19 juga masih melanjutkan pewarisan seni tatah-sungging dan dalang, dari generasi PDH inilah kesenian tatah-sungging menyebar-luas di Desa Kepuhsari, begitu pesat perkembangan seni tatah-sungging hingga Desa Kepuhsari terkenal sebagai sentra wayang kulit. Seni tatah-sungging diwariskan melalui sistem jaringan sel. Sistem jaringan sel ini pada akhirnya memecah mirip dengan prinsip kerja multy level marketing atau MLM. Satu orang yang sudah menguasai seni tatah-sungging merekrut dua murid hingga mahir, kemudian dua muridnya yang sudah mahir tadi merekrut empat murid. Begitu seterusnya hingga jaringan sel tersebut menyebar ke seluruh desa. Hal ini seperti yang diutarakan oleh DW, ”Tahun 1957 saya
131
mandiri (membuat wayang sendiri), lalu sejak tahun itu saya punya anak buah yang belajar ke saya. Ketika itu saya punya lima anak buah, dua setengah tahun kemudian
mereka
saya
lepas
dan
mandiri
sendiri
di
rumahnya”
(W/DW/26/07/09). Menurut SRH, “jadi tidak mengherankan bila Manyaran (khususnya di Desa Kepuhsari) begitu terkenal (dengan wayang kulit purwa) ya ini sumbernya. Satu orang yang sudah bisa (mahir membuat wayang kulit) bisa mempunyai murid antara tiga (3) hingga empat (4). Sebenarnya begitu” (W/SRH/25/07/09). Menurut DR, ia saat ini ikut menatah di tempat WGM. Menurut DR, WGM saat ini mempunyai tenaga menatah dan menyungging wayang kurang lebih 15 orang (W/DR/22/07/2009). Kelima belas (15) orang ini bisa jadi masih memiliki anak-buah atau murid, karena banyak penatah di Desa Kepuhsari, menyebabkan produksi meningkat. Permasalahan muncul ketika pasar yang sempit diperebutkan oleh penatah yang jumlahnya sangat banyak, akhirnya banyak penatah dari Desa Kepuhsari yang pindah ke daerah lain untuk mencari peluang pasar yang lebih baik di bidang tatah-sungging. Mereka pindah ke Klaten Jawa Tengah, Surabaya, Jakarta hingga ada yang sampai ke luar Pulau Jawa. Pada zaman dahulu, orang belajar tatah-sungging melalui konsep ngenger atau nyantrik. Ngenger adalah mengabdikan diri untuk belajar tentang suatu hal dengan sepenuh jiwa dan raga. Konsep ngenger hampir sama dengan model magang pada zaman sekarang, hanya saja antara keduanya terdapat perbedaan. Perbedaannya, ngenger harus mengabdikan diri secara totalitas, sedangkan magang adalah berlatih bekerja secara professional sesuai kompetensi. Nyantrik atau ngenger adalah pekerjaan yang sulit, namun demi untuk mempelajari kesenian tatah-sungging, mereka rela totalitas mengabdikan dirinya. Orang yang ngenger atau nyantrik biasanya harus membantu menyelesaikan pekerjaan seharihari hingga selesai. Belum diberi pengetahuan tentang tatah-sungging apabila sang guru belum benar-benar memiliki waktu luang. Karena ngenger harus mengabdi, membanting tulang dan bersusah payah, menyebabkan tidak banyak
132
orang yang bisa bertahan, yang bisa bertahan hanyalah orang-orang terpilih yang benar-benar memiliki minat tinggi terhadap kesenian wayang kulit. Menurut SRH, ia bisa membuat wayang, memyungging wayang, memainkan alat musik gamelan, bisa mendalang karena SRH ngenger (magang) di tempatnya dalang PHD dan GPW (W/SRH/25/07/2009). Menurut DW, ia bisa belajar membuat wayang dan mendalang karena ia nyantrik (ngenger atau magang) di tempatnya dalang PDH dan SRH. Lebih lanjut DW menuturkan : Pertama di tempatnya dalang GPW yang kedua tempatnya dalang SRH, lalu ke tempatnya KS, mereka termasuk empu-empunya wayang (ahlinya membuat wayang). Bapaknya GPW adalah PDH adalah penatah kraton Solo. Zaman dulu gak ada yang berani magang atau nyantrik di tempatnya empu wayang (para ahli pembuat wayang), tapi saya memberanikan diri, akhirnya saya bisa (menatah wayang). Tahun 57 (1957) saya mandiri (membuat wayang sendiri), lalu sejak tahun itu saya punya anak buah yang belajar (tatah-sungging) ke saya (W/DW/26/07/09). Saat ini ada cara yang lebih modern untuk belajar seni tatah-sungging selain dengan metode ngenger,, yakni memasukkan seni tatah-sungging pada mata pelajaran di sekolah melalui mata pelajaran muatan lokal dan ekstrakokurikuler. Di Desa Kepuhsari, ada dua sekolah yang menerapkan metode tersebut yakni SMP N 2 Manyaran dan Sekolah Dasar Negeri 2 Kepuhsari. SMP N 2 Manyaran memasukkan seni tatah-sungging baik pada mata pelajaran muatan lokal maupun pada ekstrakokurikuler, sedangkan Sekolah Dasar Negeri 2 Kepuhsari hanya memasukkan seni tatah-sungging pada mata pelajaran muatan lokal. Siswa tertarik mengikuti ekstrakokurikuler maupun mata pelajaran muatan lokal tatah-sungging salah satunya karena tatah-sungging bisa menghasilkan uang sejak dini, walaupun masih usia sekolah tetapi bila sudah mampu menatah, ia langsung bisa menghasilkan uang. 3. Pewarisan Nilai dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa a. Kecenderungan pewarisan nilai kesenian wayang kulit purwa Wayang mampu bertahan dan eksis sampai saat ini karena dua hal. Pertama, orang yang berkepentingan dalam masalah wayang (dalam hal ini
133
dalang, penatah, niyaga, waranggana, penjual wayang), mengapresiasi wayang karena apresiasi ekonomi bukan karena apresiasi seni secara murni. Kedua, kemampuan wayang dalam menjawab tantangan zaman. Penjelasan dari kedua hal tersebut adalah sebagai berikut : 1). Apresiasi Ekonomi Menurut SRS, ia masih aktif membuat wayang karena alasan ekonomi. SRS hingga saat ini hanya mengandalkan wayang untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Usaha yang dirintis SRS adalah dari mulai menatah wayang, menyungging wayang hingga usaha persewaan wayang kulit. Segmen pasar persewaan wayang yang di bidik SRS adalah dalang-dalang, instansi atau pihak swasta yang belum memiliki wayang yang digunakan untuk pentas. Terbukti dengan usaha dalam bidang wayang, SRS bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dengan layak, bahkan SRS tergolong orang
dengan
ekonomi
menengah
ke
atas
di
kampungnya
(O/SRS/25/07/2009). Menurut WS, ia tetap bertahan menjadi dalang hingga saat ini karena menjadi dalang adalah pekerjaan utamanya, dari hasil usahanya menjadi dalang, ia bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. WS juga termasuk golongan ekonomi kelas menengah ke atas dikampungnya (O/WS/16/07/2009. Menurut DR, walaupun penghasilan dari menatah wayang tidak besar, tetapi ia tetap bertahan menjadi penatah karena daripada tidak bekerja. DR tidak memiliki keahlian lain selain membuat wayang (W/DR/22/07/2009). Secara umum masyarakat yang masih intens dan peduli mengurus wayang bukan karena murni atas dasar dorongan idealisme yang secara tulus ikhlas ingin melestarikan kesenian wayang tetapi karena mengurus wayang adalah mata pencaharian, tumpuan hidup, serta sawah-ladang (pekerjaan utama). Wayang bagi mereka adalah sektor yang diusahakan untuk menopang keberlangsungan hidup. Melestarikan wayang lebih kepada membela diri demi kepentingan pribadi agar kebutuhan ekonomi pribadi dan keluarganya
134
tercukupi. Mengurus wayang karena faktor keberpihakan yang bersifat egosentris yang muaranya demi kepentingan dirinya sendiri. 2). Kemampuan Wayang dalam Hamot, Hamong dan Hamemangkat Wayang kulit purwa mampu bertahan karena kemampuan wayang dalam menjawab tantangan zaman, hal ini karena wayang memiliki kemampuan hamot, hamong dan hamemangkat. Istilah ini penulis kutip dari pendapat Bambang Harsrinuksmo (1999 : 29). Hamot adalah kempuan wayang dalam menerima masukan mengenai hal-hal yang baru, hamong artinya kemampuan wayang menyaring hal baru yang masuk yang tidak sesuai dengan nilai yang telah ada sedangkan hamemangkat adalah kemampuan wayang dalam mengemas masukan-masukan baru tersebut dalam bentuk yang baru. Wayang mampu menjawab tantangan zaman karena memiliki kemampuan hamot, hamong dan hamemangkat. Wayang mampu menjawab trend bahkan mampu mengikuti trend tetapi tidak melebur tidak meninggalkan nilai-nilai yang telah ada dalam wayang. Masuknya musik campursari, musik dangdut, pelawak dalam pertunjukan wayang merupakan bukti kemampuan wayang dalam hamot, hamong dan hamemangkat. Musik yang lebih modern seperti musik dangdut dan campursari seakan menjadi sesuatu yang melekat pada pertunjukan wayang kulit purwa, walaupun musik campursari merupakan unsur baru yang pada zaman mitis tidak ada dalam pertunjukan wayang, namun masukanya unsur baru tersebut tidak merusak tatanan yang telah ada. Kemampuan wayang dalam hamot, hamong dan hamemangkat inilah yang mampu memunculkan pertunjukan wayang kulit purwa dengan format baru yang lebih kreatif, pertunjukan wayang kulit menjadi pertunjukan serba ada. Ada cerita wayang yang merupakan unsur inti dan ada hiburan seperti musik dangdut, musik campursari, pelawak, bahkan karena begitu fleksibel dalam menyesuaikan diri, dalam pertunjukan memungkinkan adanya partisipasi dua arah. Pertunjukan wayang bukan hanya milik dalang seorang diri tetapi penonton juga memiliki hak untuk berpartisipasi. Bentuk partisipasi
135
penonton adalah dengan cara ikut menentukan apa jenis hiburan yang sebaiknya disajikan melalui reques (permintaan). Bentuk permintaan tersebut dapat melalui surat atau yang lebih canggih (modern) dengan menggunakan layanan sort massage service atau layanan SMS. Pengajuan reques (permintaan) pada pementasan wayang kulit purwa, mirip pada pertunjukan tayub atau ronggeng, dalam pertunjukan wayang ada pula tradisi nyawer (O/WS/17-18/07/2009). Penonton yang mengajukan permintaan, menyertakan uang dalam jumlah tertentu atau dalam wujud barang seperti rokok dan lain sebagainya untuk menyawer. Uang atau barang hasil saweran penonton tersebut nantinya bisa menjadi milik dalang atau juga bisa menjadi milik rombongan (dalang beserta krunya). Permintaan dari penonton ini lazim disebut dengan pamundhut (permintaan), walaupun tidak secara eksplisit diutarakan, lewat pamundhut, dalam pertunjukan wayang sebenarnya sudah terjadi transaksi, telah terjadi deal-deal antara dalang dengan penonton mengenai hiburan yang akan disajikan. Penonton berkepentingan menyawer karena dengan menyawer, jenis hiburan yang diinginkan bisa terakomodasi. Dilain pihak, dalang beserta rombongan (kru) bisa mendapatkan uang atau barang saweran dari penonton. Uang dan barang hasil saweran ini sekaligus bisa digunakan untuk merangsang rombongan (kru) agar pementasan lebih semangat lagi, karena mendapat penghasilan tambahan, selain uang honor dari hasil mendalang, kru (rombongan dalang) masih mendapat uang atau barang dari hasil saweran penonton. Pertunjukan wayang merupakan pencerahan yang diulang-ulang. Pada dasarnya, bentuk pertunjukan wayang kulit dari dahulu hingga sekarang cenderung memiliki kesamaan, baik mengenai tokoh wayang, alur cerita maupun karakter dari masing-masing tokoh. Secara garis besar, dalam cerita wayang terdapat dua alur besar, yakni ramayana dan mahabarata. Ramayana menceritakan zaman kehidupan Prabu Ramawijaya beserta asal keturunanya ke atas beserta anak-turunya ke bawah, sedangkan mahabarata menceritakan tentang kehidupan
136
para pendawa dan kurawa beserta asal keturunanya ke atas serta anak-turunya ke bawah. Cerita tentang Ramayana maupun Mahabarata dari dulu hingga sekarang selalu sama, bila ada perbedaan itu hanya soal kreativitas dari masing-masing dalang. Begitu juga mengenai tokoh-tokoh beserta karakter dari masing-masing tokoh juga tidak mengalami perubahan. Pertunjukan wayang pada dasarnya hanya mengulang lakon-lakon yang sudah ada, misalnya lakon tentang Gatutkaca lahir dari dulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan, hal ini memungkinkan penonton hafal mengenai lakon-lakon dalam wayang. Penonton yang sudah hafal mengenai alur cerita bukan berarti menjadi bosan dengan pertunjukan wayang kulit, justru karena sudah hafal dengan alur cerita, tokoh cerita maupun karakter dari masing-masing membuat penonton semakin menyukai pertunjukan wayang kulit. Hal ini disebabkan: 1). Menonton wayang merupakan siraman wawasan baru. Pertunjukan wayang walaupun hanya merupakan pengulangan mengenai alur, tokoh maupun karakter tokoh, tetapi tetap menarik karena menonton wayang seperti mendapat siraman mengenai wawasan baru. Cerita wayang bukan merupakan cerita kering yang jauh dari ajaran-ajaran keutamaan, cerita wayang merupakan cerita yang kaya nilai etika, nilai estetika dan nilai falsafah sehingga semakin diulang akan semakin menarik, bila lama tidak melihat pertunjukan wayang kulit purwa seperti layaknya media untuk mengingat apa yang telah didapat ketika menyaksikan pertunjukan sebelumnya. Hal ini seperti disampaikan SH : Sebab gini, saya sendiri ya ngomongnya susah. (menyaksikan pertunjukan wayang yang selalu diulang-ulang) tetap saja menarik, karena dianggapnya bisa melegakan dan merupakan siraman rohani. Namanya siraman rohani kan setiap saat. Baik itu untuk kita sendiri maupun untuk orang lain. Rasanya kita puas kalau itu dimunculkan (kembali). Terus biar orang lain mendengar bagaimana, bagaimana gambaran kehidupan ini dalam wayang itu. Justru disini itu kebanyakan orang-orang yang sudah hafal (cerita wayang) itu kalau ada wayang itu lebih senang lagi. Gak bosan. (W/SH/16/07/2009).
137
2). Menonton pertunjukan wayang memantabkan nilai-nilai yang sudah didapat sebelumnya. Dalang dalam pertunjukan wayang kulit merupakan unsur sentral. Dalang dituntut untuk bisa memaparkan isi cerita sesuai pesan yang terkandung dalam wayang agar makna cerita mudah dipahami oleh penonton. Dalang yang mumpuni (kompeten) adalah dalang yang mampu memantapkan nilai-nilai yang sudah didapat ketika menonton wayang sebelumnya. Sebagaimana disampaikan SH bahwa : (yang sudah hafal alur cerita wayang justru akan lebih senang bila menonton kembali) lebih senang lagi, karena ya mungkin bisa mengkaji buat diri kita sendiri, lebih mantap, seiring dengan bahtera kehidupan ini, itu kan kalau ada seperti itu kan mantap, terus pikiranya itu akan puas, akan puas. itu kan memberikan gambaran bagi orang lain… (W/SH/16/07/2009). 3). Menonton pertunjukan wayang mirip dengan mengikuti pengajian keagamaan. Kelebihan wayang dengan hiburan yang lain terletak pada kandungan nilai-nilai, estetika, etika dan falsafah, dengan nilai estetika penonton dapat menyelami keindahan wayang, dengan nilai etika penonton akan mendapatkan nasehat-nasehat mengenai baik dan buruk sedangkan dengan nilai falsafah penonton akan dapat memahami filosofi-filosofi dalam ajaran wayang. Menonton pertunjukan wayang mirip dengan mengikuti pengajian keagamaan, walaupun alur ceritanya selalu diulang-ulang tetapi tetap tidak mmbosankan. Seperti yang disampaikan oleh SH : Kadang-kadang karena sudah mengetahui ceritanya, kadang-kadang ia akan lebih mantap, mendengarkan cerita yang dibawakan dalang dalam olahkridaning (penampilan) dalang, itu selain mempunyai daya tarik tersendiri dari masing-masing dalang dalam membawakan itu (alur cerita). Memang secara garis besar itu nanti, khususnya orang tua, sudah menghafal ceritanya. Tuntunan dalam wayang dalam pementasan wayang ibarat pengajian. Menonton wayang ibarat mendengarkan pengajian. Jadi semacam ada suntikan, masukan yang baru, siraman yang baru, untuk memunculkan nilai-nilai yang sudah ia kenal itu, sehingga akan lebih memantapkan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang itu. Sebagai tuntunan dalam kehidupan yang sesungguhnya, dari masing-masing karakter wayang, itu kalau
138
dijumbuhkan (dicocokkan) dalam sesungguhnya (W/SH/16/07/2009).
kehidupan
manusia
yang
c. Nilai kesenian wayang kulit purwa yang dapat diterima oleh penonton Nilai yang terkandung dalam kesenian wayang kulit jumlahnya lebih dari satu. Untuk mempermudah dalam memahami konsepsi nilai yang kandungan dalam wayang kulit purwa, berikut ini dipaparkan tabel nilai: Tabel 3. Matriks nilai yang terkandung dalam wayang kulit purwa No 1
Kandungan Nilai A. Nilai estetika 1. Seni rupa a. Tatah : kerumitan bentuk b. Sungging : kompleksitas motif c. Wandha wayang : wandha wayang 1). wajah atau bentuk muka, 2). warna muka, 3). gaya, 4). dedeg (postur yang menunjukkan pendek dan tingginya wayang), 5). luk (liku-liku bentuk), 6). macam pakaian, bentuk tangan, 7). mata, telinga dan mulut 2. Seni drama : karakteristik alur cerita a. Jejer negara b. Paseban njawi c. Jejer kedhaton (diselingi limbok dan cangik pada pentas modern) d. Perang sabrang e. Jejer negara kedua f. Jejer satria (hiburan punakawan dalam pentas wayang modern) g. Perang cakil
139
h. Klimaks cerita (perang akhir) i. Tancap kayon 3. Seni suara : kompleksitas suara a. Suara dalang b. Suara alat musik c. Suara gerong d. Suara pesinden 4. Seni musik (karawitan) : kompleksitas alat musik a. Alat musik klasik/gamelan 1). gong dan kempul, Bonang dan kenong, 2). slenthem (saron besar), rebab dan kendang 3). saron kecil (peking), gambang, 4). saron, kethuk, siter dan seruling, b. Alat musik modern 1). Kiyboard atau orgent, Drumb 2). Ketipung, Jedor c. Kompleksitas laras 1). Laras pelog a). pathet lima, b). pathet nem dan c). pathet barang, 2). Laras slendro a). pathet nem, b). pathet sanga dan c). pathet manyura. d. Kompleksitas gendhing 1). Gendhing kawit untuk jejer Negara Amarta 2). Gendhing kabor untuk jejer Negara Astina 3). Gendhing damarkethi untuk jejer putren Banowati di Astina 4). dan lain-lain 5. Sastra : muatan falsafah jawa
140
a. Sangkan paraning dumadi b. Sejatining aurip c. Konsepsi tentang hakikat hidup d. Konsepsi tentang tujuan hidup e. Konsepsi hubungan manusia dengan Tuhan dan lain-lain 2
B. Nilai etika : mengenai ajaran tentang baik dan buruk 1. Tokoh mahabarata a. Tokoh baik : Pendawa (Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula dan Sadewa). b. Tokoh buruk : Sengkuni, dan lain-lain 2. Tokoh dalam Ramayana a. Tokoh baik : Prabu Rama, Sintha, Wibisana, Anoman b. Tokoh buruk : Prabu Rahwana dan lain-lain
3
C. Nilai falsafah 1. Simbolisme a. Melalui penjelmaan dan benda 1). Prabu Kresna merupakan penjelmaan dari Bhatara Wisnu melambangkan kebijaksanaan 2). Semar sebagai penjelmaan dewa 3). Kayon sebagai gerbang pembuka dan penutup jagad pewayangan b. Melalui tipe tokoh 1). Simbolisme tokoh halus misalnya tokoh satria (kesatria), dewi 2). Simbolisme tokoh kasar misalnya raksasa dan lain sebagainya. c. Melalui karawitan Karawitan berfungsi untuk menggambarkan suasana dan sebagai daya pembeda antar masing-masing karakter perorangan maupun karakter kelompok. d. Melalui dialog dan monolog Percakapan tentang makna hidup dan yang lain
141
e. Melalui warna : warna dipakai untuk menggambarkan nilai 1). Warna putih menunjukan kesatria, penenang, penyabar, orang yang suci dan mempunyai sifat polos. 2). Warna hijau muda menandakan sifat alim, pinandhita dan muda 3). Warna merah muda menggambarkan watak yang keras hati, pandai dan lincah 4). Warna merah tua sebagai simbol pemarah dan angkaramurka 5). Warna emas menunjukkan tokoh yang agung. 6). Warna biru muda menunjukkan tokoh yang adil, jujur dan mempunyai pandangan yang luas 2. Simbolisme a. Kayon : falsafah hidup tentang siklus hidup manusia b. Bima : falsafah hidup tentang keberanian c. Puntadewa : falsafah hidup tentang kejujuran 3. Falsafah wayang dalam Pancasila a. Nilai ke-Tuhanan Paham monoteisme, faham monoteis adalah suatu paham yang hanya mengenal satu Tuhan yaitu Tuhan Yang Maha Esa. b. Nilai kemanusiaan 1). Humanisme universal, konsep humanisme universal ini menempatkan yang lingkupnya lebih kecil harus tunduk dengan kepentingan yang sifatnya lebih besar. 2). Nasionalisme/kepentingan nasional atau nasionalisme juga masih harus tunduk pada kepentingan yang lebih tinggi lagi yakni kepentingan internasional atau internasionalisme. c. Nilai kerakyatan Nilai kerakyatan ditemukan dalam diri Semar. Semar adalah dewa yang menitis ke dunia menjadi manusia biasa d. Nilai keadilan sosial Yudistira yang tidak diskriminatif terhadap adik tirinya
142
e. Nilai persatuan Bersatunya pendawa membangun Negara Amarta
Nilai yang terkandung dalam pertunjukan wayang tidak mampu dipahami oleh penonton secara menyeluruh. Pemahamananya hanya bersifat partikular, hanya sepotong-sepotong dan hanya sebatas pada apa yang dia saksikan, itupun tidak dianggapnya sebagai sesuatu yang bernilai. Wayang hanya dimaknai sebagai suatu pementasan yang menceritakan alur cerita tertentu yang dibawakan oleh dalang dengan wayang sebagai sarana (tools) dalam pementasan. Nilai yang mampu diterima oleh penonton hanya terbatas pada hiburan, karakter tokoh dan bunyi-bunyi suara gamelan yang indah, suara pesinden dan suara dalang. Penjelasan dari nilai yang dapat dipahami oleh penonton tersebut adalah sebagai berikut: 1). Hiburan Segmen dalam pertunjukan wayang yang paling banyak mengundang perhatian penonton, khususnya penonton generasi muda adalah segmen hiburan yakni limbukan dan gara-gara. Limbukan adalah segmen munculnya abdi dalem (pembantu) raja yakni tokoh limbuk dan cangik, lazimnya, limbukan muncul pada saat jejer kedaton, sedangkan segmen gara-gara adalah segmen munculnya tokoh punakawan yakni Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Tokoh punakawan adalah abdi dari kesatria yang umumnya merupakan abdi para Pendawa. Baik segmen limbukan maupun segmen garagara sama-sama ingin mempersembahkan hiburan pada majikan atau sekedar menghibur diri disela-sela kesibukannya sebagai abdi (pembantu). Zaman dulu, pada saat pertunjukan wayang masih model klasik, segmen hiburan hanya sekedar membawakan satu lagu atau gending, namun saat ini segmen hiburan mengalami pergeseran, limbukan dan gara-gara yang pada pementasan klasik hanya membutuhkan maksimal 15 menit tetapi kini limbukan membutuhkan waktu kurang lebih satu hingga dua jam. Sesi gara-
143
gara memakan alokasi waktu dua hingga tiga jam. Pergeseran penambahan waktu untuk segmen hiburan tidak bisa dilepaskan dari kemampuan wayang dalam
hamot,
hamong
dan
hamemangkat.
Wayang
harus
mampu
menyesuaikan diri dengan trend zaman agar bisa tetap bertahan, wayang harus lebih akomodatif dengan keinginan penonton agar tetap laku. Alokasi waktu untuk segmen hiburan yang lebih panjang karena permintaan pasar yang lebih menyukai sesi hiburan. Penonton lebih menyukai sesi limbukan dan gara-gara karena sesi limbukan dan gara-gara dijadikan sebagai sarana menghibur dan memuaskan hati. Lantunan gending dan lagu dirasakan sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan, bila permintaan (reques) lagunya dipenuhi oleh dalang, penonton akan terpuaskan secara batiniah. Perhatian penonton pada sajian hiburan bukan karena penonton menyadari kedalaman nilai estetika dalam hiburan tersebut, namun lebih karena pemenuhan kesenangan hati. Kesenangan hati tersebut bukan karena penonton sadar mendalami nilai estetika, hati yang senang ketika mendengar lagu-lagu atau gendhing hanya karena menginginkan sesuatu yang lazim dan sesuatu yang trend pada saat itu. Lagu-lagu dan gendhing dianggap menyenangkan karena lagu dan gendhing sebagai sesuatu yang trend, sesuatu yang sedang umum, sesuatu yang sedang marak. 2). Karakter tokoh Penonton tertarik dan tahu karakter tokoh sebab karakter tokoh selalu diungkap secara eksplisit oleh dalang. Dalang sebagai orang yang bertugas mengeksplisitkan karakter tokoh dituntut untuk menguasai karakter dari masing-masing tokoh. Dalang yang baik adalah dalang yang mampu menjadi Puntadewa ketika memerankan Puntadewa, menjadi Baladewa ketika memerankan tokoh Baladewa, bahkan mampu berkarakter seperti setan ketika memerankan tokoh setan. Berkat kepiawaian dalang dalam menarasikan masing-masing tokoh, menyebabkan penonton seakan-akan menyaksikan
144
langsung percakapan antar tokoh tersebut. Ada tokoh yang baik, ada tokoh yang buruk, semua dimaknai sebagai gambaran hidup manusia. Baik dan buruk adalah pedoman etika dalam hidup. Menurut ED, ia mengidolakan tokoh Prabu Kresna, alasanya, Prabu Kresna adalah tokoh yang sakti, namun demikian, ED tidak membenci tokoh tertentu. Menurut ED, sengkuni adalah tokoh antagonis tokoh yang dibenci karena prilakunya yang jelek, tetapi ED tidak membenci tokoh sengkuni (W/ED/03/07/2009). Menurut DR, ia tidak mengidolakan tokoh tertentu tetapi DR membenci tokoh sengkuni, alasanya, tokoh sengkuni sering berbuat jahat dan selalu berperilaku tidak baik (W/DR/22/07/2009). Menurut SH, ia membenci tokoh sengkuni, disamping itu ia juga memiliki tokoh idola, tokoh idola SH adalah Raden Werkudara atau Raden Bratasena atau Bima. Lebih lanjut SH menuturkan alasan mengapa ia mengidolakan tokoh Bima : (Alasan mengapa saya mengidolakan bima) itu adalah pertama, (Bima) memiliki fisik yang tangguh, gagah dan ganteng. Tapi mestinya ada keterpaduan, selain gagah dan ganteng, dia punya jalan gerak dalam mengutamakan kebenaran dan berani memberantas kejahatan. Yang terakhir itu, selain memberikan teladan yang baik, bertingkah laku yang baik, berpitutur (berkata) yang baik, dia berani baik secara fisik maupun moral berani memberantas kejahatan. Dan seperti saya yang utama tokohnya itu soalnya dia kan gambaranya Werkudara orang yang utuh. Kalau Janaka itu kan ada nilai negatifnya, meskipun ia ganteng tetapi (dia itu) kan banyak perempuannya (banyak istri). Apalagi Sengkuni itu jelas provokator, bukan mencarikan jalan keluar yang baik tetapi justru memprovokasi (W/SH/16/07/2009). Dari penuturan-penuturan di atas, nampak jelas bahwa penonton pada umumnya mengetahui karakter dari masing-masing tokoh. Karakter tokoh wayang yang banyak dikenal oleh masyarakat adalah karakter dari tokohtokoh sentral yang oleh dalang sering dipentaskan. Tokoh yang banyak dikenal misalnya tokoh Puntadewa merupakan tokoh yang memiliki karakter lemah-lembut, penuh dengan belas-kasih, selalu menjunjung kebenaran dan tidak pernah berbohong. Tokoh Sengkuni adalah tokoh yang berkarakter jahat, selalu menjadi penghasut, licik, curang dan selalu menerapkan politik hitam
145
dalam hidupnya. Tokoh Werkudara (Bima) adalah tokoh yang berkarakter kaku tetapi baik, tuturnya kasar tetapi hatinya lembut serta teguh dalam pendirian. Tokoh Kumbakarna adalah sosok raksasa yang berbudi luhur, raksasa yang berjiwa kesatria, sedangkan tokoh Anoman adalah sosok kera yang berjiwa kesatria. Nilai-nilai etika dalam pertunjukan wayang mampu dirasakan kehadiranya
oleh
penonton,
namun
demikian,
penonton
tidak
mengimplementasikan nilai etika tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Nilainilai yang diperoleh ketika menonton wayang seolah menjadi sesuatu yang tidak harus dibawa dalam kehidupan sehari-hari. 3). Suara gamelan yang indah, suara dalang dan suara pesinden Penonton mampu menangkap suara gamelan, suara pesinden dan suara dalang karena ketiganya merupakan hal utama yang diperhatikan oleh penonton. Suara-suara tersebut mampu mempengaruhi pikiran penonton yang mengakibatkan perasaan kagum dan takjub. Pemahaman akan nilai keindahan dari gabungan tiga suara tersebut akan semakin bertambah manakala penonton mau mencermati dengan seksama. Penonton yang intensitas mencermatinya bertambah akan semakin tertarik, bahkan hingga dibawa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada saat hatinya senang, mereka akan rengeng-rengeng (berdendang) menirukan sulukan dalang, menirukan janturan dalang, menirukan gending yang dibawakan pesinden dan lain sebagainya. Semua ini dipahami sebagai sesuatu yang bernilai estetis (indah) dan menyenangkan hati. Penonton yang sudah menghayati nilai-nilai seperti diuraikan di atas, akan cenderung menerapkan secara otomatis dalam kehidupan sehari-hari sebagai naluri yang bisa muncul secara tiba-tiba. Sebaliknya, penonton yang kurang intensitas penghayatanya terhadap suara gamelan, suara dalang dan suara pesinden, akan memiliki kepekaan yang juga kurang, sehingga tidak mampu menyadari atau merasakan adanya nilai-nilai estetika dalam wayang.
146
Sebagian besar penonton tidak tahu kalau di dalam wayang ada nilai-nilai yang lebih luas, seperti telah diuraikan di atas, tidak semua kandungan nilai dalam pertunjukan wayang kulit purwa mampu dipahami secara menyeluruh oleh penonton. Padahal, menurut Bambang Harsrinuksmo (1999 : 21-22), dalam wayang kulit terkandung tiga nilai besar yakni nilai estetika, nilai etika dan nilai falsafah, selain itu di dalam wayang juga terkandung nilai falsafah Pancasila. Nilai estetika merupakan nilai keindahan wayang yang meliputi seni rupa (tatah, sungging, wandha wayang), seni drama, seni suara, seni karawitan atau seni musik (musik klasik dan musik modern), dan seni sastra. Nilai Etika dalam wayang yang didalamnya terdapat ajaran tentang baik dan buruk. Nilai Falsafah dalam wayang yang meliputi simbolisme wayang yang bisa diungkap melalui penjelmaan dan benda, melalui tipe tokoh, melalui karawitan, melalui dialog dan monolog, melalui warna. Nilai falsafah dalam wayang juga terdapat dalam pancasila yakni nilai ke-Tuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan sosial. Diantara beberapa nilai yang ada dalam wayang kulit seperti diuraikan di atas yang mampu dipahami oleh penonton sebatas pada tiga hal yakni pertama, hiburan, sesi limbukan dan gara-gara. Sesi ini didalamnya terdapat gending dan lagu-lagu, gending dan lagu-lagu sebagai bentuk nilai estetika. Kedua, karakter tokoh. Ada tokoh yang baik, ada tokoh yang berperilaku buruk. Perilaku baik dan buruk sebagai nilai etika. Sengkuni sebagai tokoh yang berperilaku licik dan jahat, Kumbakarna, raksasa yang bersifat kesatria, Werkudara, pemberani, teguh pendirian dan berjiwa kesatria. Anoman, sebagai sosok kera yang berjiwa kesatria, ini semua merupakan nilai etika yang terkandung dalam wayang kulit purwa. Ketiga, bunyi-bunyian suara gamelan yang indah, suara pesinden dan suara dalang sebagai nilai estetika. Nilai-nilai yang lain tidak mampu dipahami oleh penonton. Ada tiga penyebab mengapa sebagian besar penonton tidak tahu kalau di dalam wayang ada nilai-nilai yang lebih luas. Pertama, penonton tidak menyadari kalau di dalam wayang ada nilai yang lebih luas. Kemungkinan kedua karena nilai
147
yang terkandung dalam wayang tidak diutarakan secara eksplisit oleh dalang sehingga penonton gagal memahami nilai yang terkandung dalam wayang. Kemungkinan yang ketiga, penonton tidak memiliki cukup kemampuan untuk menafsirkan nilai yang terkandung dalam wayang. b. Relevansi nilai falsafah Pancasila dalam wayang kulit purwa Nilai falsafah pancasila terkandung dalam kesenian wayang kulit purwa. Nilai falsafah tersebut meliputi nilai ke-Tuhanan, nilai kemanusiaan, nilai kerakyatan, nilai persatuan dan nilai keadilan sosial. Penjelasan dari kelima nilai falsafah tersebut adalah sebagai berikut: 1). Nilai ke-Tuhanan Wayang mengenal dewa-dewa yang kedudukanya berbeda dari kedudukan manusia biasa, dewa bertempat di kayangan sedangkan manusia bertempat di dunia. Bhatara Guru adalah raja dari para dewa yang bertahta di Njonggringsalaka, walaupun merupakan dewanya para dewa, Bhatara Guru juga termasuk makhluk Tuhan, yang juga tunduk pada kekuatan Tuhan. Tuhan yang disembah bukan dewa tetapi Tuhan Yang Maha Esa (paham monoteisme). Bhatara Guru pada suatu ketika dapat dikalahkan oleh hamba biasa. Lakon Gatutkaca lahir (lahire Gatutkaca) menceritakan kekalahan para dewa (termasuk Bhatara Guru), yang berperang dengan Prabu Pracona dari Kerajaan Pringgandhani. Prabu Pracona yang adalah raja-diraja raksasa jatuh hati dan termabuk cinta atas kecantikan Bhatari Supraba. Bhatari Supraba adalah ratu bidadari dari kayangan yang terkenal cantik, karena ada kesenjangan fisik, Bhatari Supraba bidadari cantik jelita dan Prabu Pracona adalah raja raksasa buruk rupa, akhirnya cinta Prabu Pracona bertepuk sebelah tangan. Prabu Pracona tidak terima atas penolakan Bhatari Supraba dan bermaksud merebut Bhatari Supraba dari tangan para dewa. Terjadilah peperangan, dimana dalam peperangan tersebut semua dewa kalah, termasuk
148
Bhatara Guru. Pada akhir cerita, justru yang bisa mengalahkan Prabu Pracona adalah Gatutkaca yang hanya seorang manusia biasa. Para dewa juga makluk Tuhan, walaupun kedudukan dewa di kayangan, tetapi mereka hanya sebagai makhluk Tuhan yang diberi kekuasaan lebih untuk menjadi pengawas (supervisi) dunia, hanya ada satu Tuhan yaitu Sang Hyang Suksma Kawekas atau Sang Hyang Akarya Jagat atau Tuhan Yang Maha Esa. Sang Akarya Jagat tidak diujudkan dalam bentuk wayang dan tidak dimainkan. 2). Nilai kemanusiaan Konsep nilai kemanusiaan dalam Pancasila dimaknai sebagai humanisme universal dalam wayang. Konsep humanisme universal ini menempatkan yang lingkupnya lebih kecil harus tunduk dengan kepentingan yang sifatnya lebih besar. Kepentingan pribadi harus tunduk dengan kepentingan umum, kepentingan umum juga harus tunduk dengan kepentingan negara atau nasionalisme. Tidak hanya sampai pada tingkat nasionalisme, kepentingan nasional atau nasionalisme juga masih harus tunduk pada kepentingan yang lebih tinggi lagi yakni kepentingan internasional atau internasionalisme. Kemanusiaan yang diharapkan adalah kemanusiaan yang universal. Cerita Prabu Rahwana dari Negeri Alengkadiraja yang menculik Dewi Shinta adalah cerita dalam wayang kulit yang dapat dijadikan sebagai contoh nilai kemanusiaan humanisme universal. Penculikan Shinta oleh Rahwana ditanggapi berbeda oleh kedua adiknya, Raden Wibisana dan Kumbakarna. Raden Wibisana memilih membantu Prabu Rama memerangi kakaknya sedangkan Kumbakarna memilih berperang melawan Rama bukan karena membela kakaknya yang salah tetapi berperang atas nama negara atau atas kepentingan nasionalisme. Raden Wibisana yang ketika mudanya lebih mengutamakan internasionalisme, ketika akhir hayatnya langsung bisa masuk surga. Sebelum masuk surga ia mendengar arwah Kumbakarna yang masih
149
belum bisa masuk surga karena dianggap belum sempurna. Kumbakarna harus menitis ke (masuk ke badan) Raden Werkudara (Bima), ternyata konsep
internasionalisme
Wibisana
lebih
utama
dibanding
wujud
nasionalisme Kumbakarna. 3). Nilai kerakyatan Nilai Kerakyatan dalam Pancasila ditemukan dalam diri semar. Semar adalah dewa yang silsilahnya lebih tua dari Bhatara Guru (rajanya para dewa) Semar adalah dewa yang menjelma menjadi manusia biasa dan hidup didunia untuk mengajarkan keutamaan hidup kepada manusia. Semar yang digambarkan sebagai sosok tua renta, wajah jelek dan kelihatanya bodoh, tetapi sejatinya semar adalah dewa yang berpengetahuan luas. 4). Nilai keadilan sosial Konsep keadilan sosial dalam wayang ditemukan dalam tokoh Yudistira atau Prabu Puntadewa. Yudistira merupakan satu diantara pendawa lima yang terkenal jujur dan adil. Pada suatu ketika, ketiga adiknya, Arjuna, Nakula dan Sadewa mati dipinggir kolam setelah minum air yang beracun. Betapa paniknya Yudistira dan Bima ketika mendapati ketiga adiknya sudah terbujur kaku ditepian kolam. Yudistira sedih sangat mendalam. Ketika dalam kesedihanya itu terdengar ”suara tanpa rupa” (suara tanpa wujud), suara tersebut menjanjikan atas hidupnya kembali adik Yudistira bila Yudistira mampu menjawap pertanyaan, ternyata Yudistira mampu menjawab semua pertanyaan dengan benar. Suara tersebut menepati janji menghidupkan adik Yudistira satu dari ketiga adiknya. Suara tersebut memerintahkan Yudistira untuk memilih, siapa satu diantara adiknya yang akan dipilih Yudistira untuk dihidupkan. Yudistira dengan tegas menyatakan yang dipilih adalah Nakula yang ternyata hanya adik tirinya sedangkan Arjuna yang adik kandungnya tidak dipilih. Yudistira beralasan, menghidupkan Arjuna adalah perbuatan yang tidak adil karena
150
dikira pilih kasih dan merasa bersalah pada ibu tirinya karena Dewi Madrim (Ibu Nakula dan Sadewa) akan kehilangan dua anaknya. Memilih Nakula berarti adil karena baik Dewi Kunthi (Ibu Yudistira, Bima dan Arjuna) dan Dewi Madrim (Ibu Nakula dan Sadewa) sama-sama kehilangan anak termudanya. Mendengar penuturan Yudistira yang menerapkan keadilan universal tersebut, oleh dewa Yudistira mendapat bonus, bukan hanya Nakula saja yang dihidupkan tetapi Arjuna dan Sadewa juga dihidupkan. 5). Nilai persatuan Cerita mengenai babat alas wana marta memberikan pelajaran mengenai nilai persatuan pendawa, dalam kondisi yang sulit, pendawa bersama-sama babat alas (menebang hutan) untuk mendirikan negara. Hasilnya, alas wana-marta yang tadinya hutan belantara berubah menjadi negara yang subur dan makmur. Kesimpulan dari urian di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai falsafah Pancasila relevan dengan nilai yang terkandung dalam kesenian wayang kulit purwa. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai ke-Tuhanan, nilai kemanusiaan, nilai kerakyatan, nilai persatuan dan nilai keadilan sosial.
151
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Pertunjukan wayang kulit purwa secara tidak langsung merupakan gambaran mengenai kehidupan manusia di dunia dalam berbangsa dan bernegara. Dimana raja sebagai kepala pemerintahan dengan segala kebijakannya, sebagaimana tertuang dalam janturan cerita. Pada hakikatnya nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit purwa relevan dengan falsafah Pancasila. Nilai-nilai wayang yang relevan dengan falsafah Pancasila tersebut meliputi nilai ke-Tuhanan, nilai kemanusiaan, nilai kerakyatan, nilai persatuan dan nilai keadilan sosial. Penerimaan nilai wayang bagi kaum muda, bahwa wayang cenderung diterima sebagai nilai hiburan (tontonan). Sebaliknya penerimaan nilai wayang bagi kaum tua, bahwa wayang bagi kaum tua adalah tuntunan (suatu ajaran yang dipakai sebagai peraturan hidup), namun demikian, kaum tua gagal memahami nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit secara komprehensif. Wayang tetap eksis di Desa Kepuhsari karena kelompok yang mempunyai kepentingan dengan wayang (dalam hal ini dalang, pengrajin wayang, penampung kerajinan wayang dan distributor wayang) mengapresiasi wayang dengan motivasi ekonomi. B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan di atas, maka implikasi dalam penelitian ini adalah seperti diuraikan di bawah ini: 1. Pertunjukan wayang kulit purwa secara tidak langsung merupakan gambaran mengenai kehidupan manusia di dunia dalam berbangsa dan bernegara, dimana raja sebagai kepala pemerintahan dengan segala kebijakannya. Implikasinya, dalam masyarakat ada sistem kekuasaan dan kewenangan yang
152
diatur dalam sistem sosial tertentu dalam konteks yang berbeda pada setiap zaman. Misalnya, zaman dahulu raja sebagai kepala pemerintahan, sekarang, presiden yang menjadi kepala pemerintahan. 2. Hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit purwa relevan dengan falsafah Pancasila. Implikasinya wayang dilestarikan sebagai budaya bangsa Indonesia. 3. Wayang bagi kaum muda cenderung diterima sebagai nilai hiburan (tontonan). Implikasinya peningkatan sosialisasi wayang pada generasi muda agar wayang tidak hanya diterima sebagai hiburan tetapi juga diterima sebagai tuntunan. 4. Kaum tua menganggap cerita dalam wayang sebagai tuntunan tetapi kaum tua gagal memahami nilai wayang secar komprehensif. Implikasinya dalam pertunjukan wayang dieksplisitkan nilai yang komprohensif secara lebih jelas dan lebih mudah diterima oleh golongan tua, sehingga nilai wayang diterima secara komprehensif. 5. Kelompok yang berkepentingan (dalam hal ini dalang, pengrajin wayang, niyaga, pesinden dan distributor kerajinan wayang) berorientasi ekonomi, implikasinya: a. Peningkatan wayang sebagai sumber daya ekonomi untuk kesejahteraan para pelaku atau kelompok yang berkepentingan (dalam hal ini dalang, pengrajin wayang, niyaga, pesinden dan distributor kerajinan wayang). b. Sosialisasi
pemahaman
nilai-nilai
wayang
bagi
kelompok
yang
berkepentingan (dalam hal ini dalang, pengrajin wayang, niyaga, pesinden dan distributor kerajinan wayang). C. Saran 1. Saran untuk Dalang a. Dalang
dalam
pertunjukan
wayang
kulit
purwa
hendaklah
mempertimbangkan proporsi seimbang antara sesi hiburan dengan sesi inti
153
cerita agar pertunjukan wayang tidak terkesan pesta hiburan dan kering nilai. b. Dalang hendaklah tidak hanya mengejar kemauan pasar dengan mementaskan pertunjukan wayang yang hanya menonjolkan hiburan tetapi seyogiyanya tetap mempertimbangkan pementasan wayang yang tetap menyajikan idealisme nilai-nilai yang terkandung dalam wayang. 2. Saran untuk Pemerintah a. Pemerintah hendaklah memprakarsai menghidupkan kembali koperasi wayang agar kerajinan wayang mempunyai lembaga khusus yang menangani agar kerajinan wayang mempunyai kepastian dalam hal pemasaran. b. Pemerintah perlu memberikan perhatian dan stimulus (rangsangan) agar kerajinan wayang tetap eksis. Stimulus dari pemerintah dapat berupa bantuan modal, pembangunan gedung teater, pembinaan, mencarikan pasar (pembeli), menampung hasil kerajinan wayang lewat koperasi maupun stimulus yang lain. c. Pemerintah perlu mendirikan sekolah kejuruan yang khusus menangani masalah tatah, sungging dan hal-hal yang berkaitan dengan wayang kulit purwa. d. Hendaklah ada usaha alternatif untuk melestarikan wayang kulit purwa selain berupa pementasan, misalnya melalui pembuatan patung yang dipasang di tempat umum, sebagai nama jalan, sebagai nama anak dan lain sebagainya. 3. Saran untuk Pengrajin Hendaklah pengrajin tidak hanya mengejar profit tetapi tetap ada kepedulian terhadap pelestarian nilai wayang.
154
4. Saran untuk Generasi Tua Hendaklah ada usaha aktif dari orang tua untuk menumbuhkan kesadaran kolektif dengan cara mengajarkan nilai-nilai wayang kepada anak-anaknya agar nilai-nilai wayang kulit purwa tetap eksis. 5. Saran untuk Generasi Muda Hendaknya ada prakarsa aktif dari generasi muda untuk tetap peduli melestarikan nilai-nilai kesenian wayang kulit purwa agar tetap eksis.
155
DAFTAR PUSTAKA
A. Kardiyat Wiharyanto. 2009. Mengapa Wayang Diciptakan. Harian Umum Kompas Edisi Sabtu 10 Januari 2009 Hal B. Abdurrahman Fathoni. 2005. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta : PT Rineka Cipta. Bambang Harsrinuksmo. 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Jakarta : Sekretaris Pewayangan Indonesia (Sena Wangi). Pelaksana Penerbitan: PT Sakanindo Printama. Bertens, Kees. 1997. Etika. Jakarta : PT Granedia Pustaka Utama. Budiono Herusatoto. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta :Ombak. Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawita. 2004. Pengantar Estetika. Bandung : Pengantar Sains. Dick Hartoko. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta : Kanisius. Donald Ary, dkk. 1982. (diterjemahkan oleh Arief Furchan) Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional. Ezema dalam http://www.scribd.com/doc/14070039/globalisation-and-culturalimperialism. Diakses Minggu 8 November 2009. Frondizi, Risieri. 2001. What is Volue (Diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta : Pustaka Pelajar). Hadari Nawawi. 2003. Metode Penelitian Bidang sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. H.B. Sutopo, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/1837978-definisi-persepsi. Diakses pada hari Selasa, 1 Desember 2009. ____ id.wikapedia.org. Diakses 23 Agustus 2009. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). 2001. Yogyakarta : Kanisius.
156
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua Departemen Pendidikan Nasional. 1996. Jakarta : Balai Pustaka. Muji Sutrisno dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius. Munandar Sulaiman. 1998. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung : PT Refika Aditama. Nach dalam http://www.scribd.com/doc/17441883/The-Impact-of-InformationTechnology-on-Identity-Framing-The-Research-Agenda. Diakses Minggu, 8 November 2009. Pandam Guritno. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Peursen. 1976. Strategi Kebudayaan (diterjemahkan dari buku Cultuur in Stroomversnelling). Yogyakarta : Kanisius. Riduan. 2003. Dasar-Dasar Statistik. Bandung : Alfabeta. R. M. Ismunandar K. 1988. Wayang, Asal-Usul dan Jenisnya. Semarang : Dahara Prize. Saifur Rohman. 2009. Budaya yang Tak Pernah Menang. Kompas edisi Kamis 5 Februari 2009. Sanapiah Faisal. 2001. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta. Soerjono Soekanto. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Soetarno. 2004. Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan hiburan. Surakarta: STSI Press. Sri Mulyono. 1994. Wayang, Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta : P.B. Alda. Suara Merdeka. 2008. Wayang Kulit Gagrak Jogja, Alat Piwulang yang Kini Tinggal Hiasan. Edisi Rabu Kliwon 3 Desember 2008 hal I.
157
_____ 2008. Wayang Kulit Gagrak Jogja, Makin Sulit Mendapatkan Generasi Penerus. Edisi Kamis Wage 4 Desember 2008 hal I. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan E & R. Bandung : Alfabeta. Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang : Dahara Prize. Suharsimi Arikunto. 1996. Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : PT Rineka Cipta. Sutrisno Hadi. 1990. Metodologi Research untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis dan Disertasi. Yogyakarta : Andi Offset. Sztompka, Piotr. The Sociology of Social Change (Alih Bahasa Alimandan. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada Media). Winarno Surakhmad. ___ Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, Teknik. Bandung : Tarsito. W. Poespoprodjo. 1986. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktik. Bandung : CV Remadja Karya.
158
Lampiran 1 : Interview guide No
Informan
∑
Informasi yang diharapkan
Teknik Pengumpulan informasi Wawancara
1
Tokoh masyarakat
5
a. Pengetahuan tentang wayang b. Persepsi terhadap wayang c. Sikap terhadap nilai dalam wayang d. Minat/daya tarik terhadap wayang e. Internalisasi nilai dalam wayang f. Aplikasi nilai dalam hidup
2
Kaum tua
10 a. Pengetahuan tentang wayang b. Persepsi terhadap wayang c. Sikap terhadap nilai dalam wayang d. Minat/daya tarik terhadap wayang e. Internalisasi nilai dalam wayang f. Aplikasi nilai dalam hidup
Wawancara
3
Kaum muda
10 a. Pengetahuan tentang wayang b. Persepsi terhadap wayang c. Sikap terhadap nilai dalam wayang d. Minat/daya tarik terhadap wayang e. Internalisasi nilai dalam wayang f. Aplikasi nilai dalam hidup
Wawancara
4
Kepala Desa
1
a. Pengetahuan tentang wayang b. Persepsi terhadap wayang c. Sikap terhadap nilai dalam wayang d. Minat/daya tarik terhadap wayang e. Internalisasi nilai dalam wayang f. Aplikasi nilai dalam hidup
a. Wawancara b. Dokumentasi
5
Dalang
2
a. b. c. d. e. f.
Pengetahuan tentang wayang Persepsi terhadap wayang Sikap terhadap nilai wayang Minat/daya tarik terhadap wayang Internalisasi nilai dalam wayang Aplikasi nilai dalam hidup
a. Wawancara b. Dokumentasi c. Observasi
6
Penanggap
5
a. b. c. d. e. f.
Pengetahuan tentang wayang Persepsi terhadap wayang Sikap terhadap nilai wayang Minat/daya tarik terhadap wayang Internalisasi nilai dalam wayang Aplikasi nilai dalam hidup
a. Wawancara b. Observasi
159
Lampiran 2 : Field Note Informan 1 W/WS/16/07/09 MENDALANG SEBAGAI PEKERJAAN WS adalah seorang dalang terkenal di daerah Kepuhsari dan sekitarnya, pementasanya bahkan tidak hanya terbatas pada daerah di Pulau Jawa, akan tetapi WS sudah pentas jelajah di Pulau Sumatera. Sebagai seorang dalang terkenal, WS sudah tidak asing lagi dengan dunia wayang dan dunia dalang. Ia adalah turunan dalang tenar (terkenal), orang tua WS adalah Ki Dalang HC yang merupakan turunan dalang sepuh (dalang senior) atau yang sering disebut dengan empuning dalang (masternya dalang atau dalang ahli). Ki HC adalah turunan dalang yang merupakan generasi yang ke delapan belas (18), dengan demikian WS merupakan turunan dalang generasi yang ke sembilan belas (19). Oleh sebab dari klan keluarganya yang merupakan keturunan dalang (trah dalang), maka dengan sendirinya sudah bersinggungan dengan dunia wayang dan dunia dalang sejak usia muda, WS menuturkan sudah bisa mendalang sejak kelas lima (5) Sekolah Dasar (SD). Dari tangan Ki HC ini, WS mendapatkan pengetahuan dasar mengenai wayang dan mengenai teknik mendalang. WS ketika kecil sudah sering menyertai sang ayah ketika pentas, disela-sela pementasan inilah Ki HC menempa dan mendidik WS baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendidikan yang bersifat langsung, WS sering diberi waktu khusus di awal sesi sebelum Ki HC pentas, ia sering didaulat sang ayah untuk mucuki (pentas singkat sebelum pementasan dalang utama dimulai). Pendidikan yang bersifat tidak langsung, WS sering menyertai sang ayah pentas, ia berkesempatan menyaksikan pementasan ayahnya dari awal hingga akhir. WS secara tidak sengaja ikut magang orang tuanya dalam jumlah yang tak terhingga. Saranasarana semacam inilah yang menjadikan WS menjadi seorang dalang yang terampil dan mumpuni (kompeten).
160
Bagi WS, wayang merupakan tuntunan (ajaran yang dipakai sebagai pedoman hidup) sekaligus sebagai tontonan (hiburan). WS bisa menyalurkan gagasan mengenai konsep pendidikan, budi pekerti, akhlak dan yang lain melalui percakapan antar tokoh. Bentuk wayang sebagai tontonan, wayang dijadikan sebagai sarana untuk mencari hiburan sedangkan wayang sebagai tuntunan misalnya wayang dapat dijadikan sebagai sarana menasehati, memberikan pengarahan, peringatan dan lain sebagainya. Sebagaimana yang diutarakan WS: “Ya, ngandan-ngandani sing apik-apik lah. Yang bagus silahkan diterima, yang kurang bagus jangan ditiru. Itu kan demi kebaikan. Wayang itu kan, ya tuntunan ya tontonan. Tapi kalau sekarang kok cenderung tontonan. Karena kebanyakan yang tua masih memperhatikan, tapi yang muda cenderung ke campur-sarine, pada (sesi) limbukan dan gara-gara. Tetapi kita juga memberitahu tentang ajaran, tuntunan dan pengetahuan itu melalui limbukan dan gara-gara, diselipkan disitu” (W/WS/16/07/09). Menurut WS, sesi yang paling tepat untuk menjadikan wayang sebagai sarana tuntunan (ajaran yang dipakai sebagai pedoman hidup) dan tontonan (hiburan) adalah pada sesi limbukan (sesi keluarnya tokoh limbuk dan cangik) dan sesi gara-gara (sesi keluarnya tokoh punakawan). Lebih lanjut WS mengutarakan: “Ya disitu (dilimbukan dan gara-gara). Terus kalau masalah lakon juga (merupakan) tuntunan, tetapi biasanya yang meperhatikan adalah yang sepuhsepuh (yang tua-tua), kalau yang muda hanya memperhatikan limbukan dan garagara (sesi hiburan). Tapi disitu diselang-selingi ada tuntunannya disitu. Bisa dalang itu mengolah, penonton itu biar gak jenuh dan memperhatikan ajaranajarannya” (W/WS/16/07/09). Mendalang bagi WS merupakan penyaluran hobi sekaligus menjadi media untuk mencari penghasilan, mendalang adalah pekerjaan. Sebagaimana diutarakan oleh WS: “Gini, semua itu bisa tercantum. Hobi juga, manghasilkan uang juga bisa karena yo kuwi penggautanku (ya ini pekerjaan saya), itu salah satu sumber penghasilan saya” (W/WS/16/07/09). Mendalang adalah mata pencaharian yang dipakai sebagai sarana untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Melalui
161
mendalang, WS bisa hidup berkecukupan, bahkan ia bisa hidup dengan status sosial ekonomi kelas menengah ke atas di desanya. WS tidak memiliki pekerjaan sampingan, satu-satunya pekerjaan adalah menjadi dalang. Menurut WS, masyarakat Desa Kepuhsari masih mempercayai adanya asep atau tuah pada lakon wayang yang dipentaskan. Kenyataanya dalam setiap pementasan, pemilihan lakon memerlukan pertimbangan khusus dan tidak semua lakon dipilih untuk dipentaskan. Secara umum, lakon yang sering dipentaskan disesuaikan dengan jenis acara yang sedang digelar, jarang mementaskan jenis lakon kontroversial misalnya lakon baratayuda, lakon kematian, lakon bencana, pada acara yang diselenggarakan personal (perorangan). Umumnya, lakon yang dipentaskan disesuaikan dengan jenis acara, sebagai contoh pementasan pada acara pernikahan, lakon yang dipentaskan adalah lakon raben (pernikahan), pementasan pada acara lahiran yang dipentaskan adalah lakon kelahiran, acara bersih desa dan tasyakuran, lakon yang dipentaskan adalah wahyon (cerita tentang turunya wahyu) dan lain sebagainya. Hal ini seperti disampaikan oleh Nyi WS: “(Pementasan lakon yang diminta biasanya) merata. Tapi kebanyakan kalau orang desa, kalau punya hajatan mantu (pernikahan), ya (lakon yang diminta) raben (lakon pernikahan), kalau (pada acara) tetakan (khitanan), ya (lakonnya) wahyon (lakon turunnya wahyu), kalau carangan ya wahyon. Kampanye-kampanye itu lain, ya wahyon (lakon turunnya wahyu) tetapi carangan” (W/WS/16/07/2009). Menurut Nyi WS, karena masyarakat masih percaya mitologi wayang, menyebabkan lakon-lakon yang tergolong kontroversial jarang dipentaskan pada acara yang digelar perseorangan. Lakon yang tergolong kontroversial tersebut misalnya lakon peperangan, lakon bratayuda, lakon-lakon tentang kematian dan lain sebagainya. Hal ini karena lakon-lakon tersebut jarang diminta oleh penanggap, begitu juga sang dalang juga tidak berani sembarangan mementaskan jenis lakon kontroversial. Lebih lanjut Nyi WS menuturkan: “Kalau lakon bratayuda (lakon peperangan antara Pandawa dengan Kurawa) saya belum pernah (mementaskan), saya gak berani” (W/WS/16/07/2009).
162
Masyarakat penanggap pada umumnya masih percaya adanya asep atau tuah dari masing-masing lakon. Sama halnya dengan penanggap, dalang juga memiliki kepercayaan yang sama. Seperti yang diutarakan oleh Nyi WS: “Gini ya, ada yang bilang (lakon itu) sakral (keramat), (tetapi) ada yang bilang tidak. Kalau bapak saya, zaman dulu, (ketika mementaskan) lakon baratayuda, lakon baratayuda harus (dipentaskan) dilapangan atau di balai desa, tidak boleh di perumahan
(dalam
pementasan
yang
ditanggap
oleh
individu).
Kalau
diperumahan, pasti paginya ada kejadian (misalnya) orang meninggal, misalnya hanya berjalan, jatuh, (lalu) mati. Rumah kebakaran, pokoknya ada-ada saja. Kalau (lakon) baratayuda itu harusnya (dipentaskan) di balai desa atau di lapangan” (W/WS/16/07/2009). Selai pada pemilihan lakon, masyarakat rata-rata menanggap wayang atas dasar punagi atau ujar atau nadzar. Orang yang mempunyai punagi atau ujar atau nadzar ingin menanggap wayang, seakan hukumnya wajib dan harus terlaksana. Anehnya, kebanyakan orang yang berujar ingin menanggap wayang dan bukan menanggap yang lain. Hal ini karena masyarakat masih mempercayai unsure magis wayang yang berupa asep atau tuah. Punagi sifatnya harus terlaksana, sebagaimana disampaikan WS: “Misalnya sukuran atau kaulan (nadzar, punagi atau ujar), arepo misale wong sing ora duwe pingin nadzar wayangan, itu kan harus kelakon, itu kan pasti. Ning, saiki, arepo pejabat, apa wong sugih ora mesti wayangan. Malah kadang justru orang tani-tani itu malah wayangan. Merga ya kadang-kadang anaknya yang bayar. Orang-orang kaya malah gak wayangan. Gitu aja” (W/WS/16/07/2009). (Misalnya sukuran atau kaulan (nadzar, punagi atau ujar), walaupun misalnya orang miskin, mempunyai keinginan nadzar wayangan, dia pasti menanggap wayang. Tetapi sekarang walaupun pejabat atau orang kaya belum tentu menanggap wayang. Kadang petani justru menanggap wayang. sebabnya kadang-kadang anaknya yang bayar. Orang-orang kaya justru tidak menanggap wayang).
163
Kesimpulan: Salah satu faktor yang menyebabkan wayang kulit purwa tetap eksis di Desa Kepuhsari adalah karena kelompok yang berkepentingan (dalam hal ini dalang, niyaga, pengrajin wayang dan yang lain) mengusahakan wayang dengan pendekatan ekonomi. Wayang dijadikan sebagi pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bagi mereka (kelompok yang berkepentingan, dalam hal ini dalang, niyaga, pengrajin wayang dan yang lain) mengusahakan dunia pewayangan sebagai sawah ladang atau sebagai mata pencaharian, wayang adalah komoditas. Wayang yang dijadikan sebagai komoditas memiliki nilai negatif maupun positif. Nilai positifnya, wayang tetap eksis, tetap ada penggemarnya dan memungkinkan kelompok yang berkepentingan (dalam hal ini dalang, niyaga, pengrajin wayang dan yang lain) semakin profesional. Hal ini karena untuk meningkatkan nilai kompetensi sekaligus nilai kompetisi, pihak yang tidak kompeten akan tidak laku yang berimplikasi pada hilangnya pendapatan, maka agar tetap mendapatkan penghasilan, mau tidak mau mereka (para pelaku seni) harus kompetitif. Sisi negatif dari komersialisasi wayang adalah semakin menipis dan memudarnya makna yang bersifat filosofis pada pementasan wayang, hal ini akan berdampak pada pertunjukan yang terkesan pesta hiburan tetapi kering makna. Komersialisasi wayang inilah yang menjadi kontraproduktif dengan nilai yang terkandung dalam wayang kulit. Komersialisasi dapat meningkatkan nilai kompetisi tetapi disisi lain dapat mengaburkan makna.
164
Infoman 2 W/SH/16/07/09 MENYAKSIKAN PERTUNJUKAN WAYANG LAYAKNYA MENDENGARKAN PENGAJIAN Laki-laki yang bekerja sebagai Kepala Dusun (Kadus) ini adalah penggemar wayang. Sebagai pamong masyarakat dan sekaligus sebagai tokoh masyarakat, SH sudah tidak asing lagi dengan dunia pewayangan. Jabatannya sebagai Kadus memungkinkan dia selalu hadir pada setiap hajatan yang masyarakat yang dipimpinnya. Artinya, setiap ada masyarakatnya yang menggelar pertunjukan wayang, ia pasti berkesempatan untuk menyaksikan. Bagi SH, ia sudah mulai mengenal wayang sejak kecil, walaupun sejak kecil sering menonton pertunjukan wayang, ia mengaku sampai saat ini tidak merasa bosan untuk selalu menyaksikan setiap ada pertunjukan wayang. Menurut SH, cerita wayang bukan merupakan cerita kering yang jauh dari ajaran-ajaran keutamaan. Menurut SH, cerita wayang merupakan cerita yang kaya nilai etika, nilai estetika dan nilai falsafah sehingga semakin diulang akan semakin menarik. Bila lama tidak melihat pertunjukan wayang kulit purwa seperti layaknya media untuk mengingat apa yang telah didapat ketika menyaksikan pertunjukan sebelumnya. Hal ini seperti disampaikan SH: ”Sebab gini, saya sendiri ya ngomongnya susah. (menyaksikan pertunjukan wayang yang selalu diulangulang) tetap saja menarik, karena dianggapnya bisa melegakan dan merupakan siraman rohani. Namanya siraman rohani kan setiap saat. Baik itu untuk kita sendiri maupun untuk orang lain. Rasanya kita puas kalau itu dimunculkan (kembali). Terus biar orang lain mendengar bagaimana, bagaimana gambaran kehidupan ini dalam wayang itu. Justru disini itu kebanyakan orang-orang yang sudah hafal (cerita wayang) itu kalau ada wayang itu lebih senang lagi. Gak bosan” (W/SH/16/07/2009).
165
Sebagai tokoh masyarakat, ia tahu bagaimana karakteristik masyarakat yang dipimpinnya. Menurutnya, masyarakat Kepuhsari merupakan masyarakat yang masih mempercayai kekuatan supranatural (mengenai kandungan asep atau tuah) pada pertunjukan wayang. Hal ini dapat dibuktikan karena rata-rata masyarakat Desa Kepuhsari menanggap wayang karena faktor ujar atau punagi. Orang yang berujar biasanya orang yang sedang ditimpa permasalahan yang pelik, misalnya mempunyai anak kecil yang sakit-sakitan dan tidak kunjung sembuh, memiliki hutang yang tidak segera lunas dan lain sebagainya. Kemudian ia berujar, apa bila ia bisa segera keluar dari masalah yang ia hadapi, ia akan menanggap wayang. SH menuturkan: ”Bisa dikatakan seperti itu (orang menanggap wayang karena alasan nadzar), bahkan orang tua dalam budaya jawa ada istilah punagi atau janji atau keinginan yang mana punagi itu dimunculkan dikala dia itu kadang punya anak yang sakit (bila sembuh dari sakitnya) bila hajatan ia akan nanggap wayang” (W/SH/16/07/2009). Lebih lanjut SH menuturkan: ”Ujar atau punagi atau ucapan, ucapan yang timbul karena dorongan nurani yang kuat, karena punagi muncul karena ada permasalahan mendasar terkait dengan batin, (punagi) itu terus muncul dari nurani yang paling dalam. Jarang-jarang yang berharap, suk yen mari tak tanggapne dangdut (besuk kalau sembuh dari sakitnya akan saya tanggapkan dangdut) atau campursari, (tetapi) nanggapnya (tetap) wayang, walaupun (dalam pertunjukan wayang) ada campursarinya” (W/SH/16/07/2009). Dalang dalam pertunjukan wayang kulit menduduki unsur sentral. Dalang dituntut untuk bisa memaparkan isi cerita sesuai pesan yang terkandung dalam wayang agar makna cerita mudah dipahami oleh penonton. Dalang yang mumpuni (kompeten) adalah dalang yang mampu memantapkan nilai-nilai yang sudah didapat ketika menonton wayang sebelumnya. Sebagaimana disampaikan SH bahwa: ”(yang sudah hafal alur cerita wayang justru akan lebih senang bila menonton kembali) lebih senang lagi, karena ya mungkin bisa mengkaji buat diri kita sendiri, lebih mantap, seiring dengan bahtera kehidupan ini, itu kan kalau ada
166
seperti itu kan mantap, terus pikiranya itu akan puas, akan puas. itu kan memberikan gambaran bagi orang lain….” (W/SH/16/07/2009). Kelebihan wayang dengan hiburan yang lain terletak pada kandungan nilai-nilai, estetika, etika dan falsafah yang tidak dimiliki oleh pertunjukan seni yang lain, dengan nilai estetika penonton dapat menyelami keindahan wayang, dengan nilai etika penonton akan mendapatkan nasehat-nasehat mengenai baik dan buruk sedangkan dengan nilai falsafah penonton akan dapat memahami filosofi-filosofi dalam ajaran wayang. Menonton pertunjukan wayang mirip dengan mengikuti pengajian keagamaan, walaupun alur ceritanya selalu diulangulang tetapi tetap tidak mmbosankan. Seperti yang disampaikan oleh SH : “Kadang-kadang karena sudah mengetahui ceritanya, kadang-kadang ia akan lebih mantap, mendengarkan cerita yang dibawakan dalang dalam olahkridaning (penampilan) dalang, itu selain mempunyai daya tarik tersendiri dari masing-masing dalang dalam membawakan itu (alur cerita). Memang secara garis besar itu nanti, khususnya orang tua, sudah menghafal ceritanya. Tuntunan dalam wayang dalam pementasan wayang ibarat pengajian. Menonton wayang ibarat mendengarkan pengajian. Jadi semacam ada suntikan, masukan yang baru, siraman yang baru, untuk memunculkan nilai-nilai yang sudah ia kenal itu, sehingga akan lebih memantapkan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang itu. Sebagai tuntunan dalam kehidupan yang sesungguhnya, dari masing-masing karakter wayang, itu kalau dijumbuhkan (dicocokkan) dalam kehidupan manusia yang sesungguhnya” (W/SH/16/07/2009). Menurut SH, ia membenci tokoh sengkuni, disamping itu ia juga memiliki tokoh idola yakni Raden Werkudara atau Raden Bratasena atau Bima. Lebih lanjut SH menuturkan alasan mengapa ia mengidolakan tokoh Bima: “(Alasan mengapa saya mengidolakan Bima) itu adalah pertama, (Bima) memiliki fisik yang tangguh, gagah dan ganteng. Tapi mestinya ada keterpaduan, selain gagah dan ganteng, dia punya jalan gerak dalam mengutamakan kebenaran dan berani memberantas kejahatan. Yang terakhir itu, selain memberikan teladan yang baik,
167
bertingkah laku yang baik, berpitutur (berkata) yang baik, dia berani baik secara fisik maupun moral berani memberantas kejahatan. Dan seperti saya yang utama tokohnya itu soalnya dia kan gambaranya Werkudara orang yang utuh. Kalau Janaka itu kan ada nilai negatifnya, meskipun ia ganteng tetapi (dia itu) kan banyak perempuannya (banyak istri). Apalagi Sengkuni itu jelas provokator, bukan mencarikan jalan keluar yang baik tetapi justru memprovokasi” (W/SH/16/07/2009). Kesimpulan: Wayang kulit adalah budaya yang adiluhung, selain sebagai media untuk mencari hiburan (tontonan) wayang kulit juga bisa dijadikan sebagai tuntunan (petunjuk yang dipakai sebagai ajaran hidup). Wayang secara filosofis menyediakan ruang yang luas untuk mencari petunjuk hidup. Menyaksikan pertunjukan wayang layaknya mendengarkan kajian keagamaan, atau dengan kata lain, menyaksikan pertunjukan wayang kulit seperti layaknya mendapat siraman rohani.
Informan 3 W/DR/22/07/09 TETAP MENJADI PENATAH WAYANG KARENA TIDAK ADA PEKERJAAN LAIN DR adalah seorang pemuda yang pekerjaanya sebagai pengrajin wayang. Setiap hari, DR adalah orang yang berkemampuan khusus yang mampu menambah nilai pada selembar kulit menjadi bernilai tinggi. DR adalah orang yang mampu membuat selembar kulit menjadi wayang yang memiliki nilai estetika tingkat tinggi. Sebagai seorang yang pekerjaannya membuat wayang, ia sudah tidak asing lagi dengan wayang. DR sudah mengetahui wayang sejak kecil, ia mengetahui wayang karena ia sering menyaksikan pertunjukan wayang. Selain itu, Desa Kepuhsari yang terkenal dengan desa sentra wayang kulit, membuat DR
168
mempunyai kesempatan untuk mengakses seluk beluk teknik pembuatan wayang dari tetangga-tetangganya. Lingkungan desa yang banyak pembuat wayang dan seringnya ada pementasan wayang menyebabkan DR mendapatkan pengetahuan dasar tentang wayang. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh DR, “(Saya mulai mengenal wayang kulit purwa) sejak kecil. (Bisa mengenal wayang kulit purwa dari) menonton wayang lalu timbul rasa suka” (W/DR/22/07/2009). DR menuturkan, walaupun saat ini ia menjadi penatah wayang, ia mengaku tidak pernah mendapatkan pengetahuan tentang tata cara membuat wayang maupun mengenai nilai-nilai dalam wayang dari orang tuanya. Kemampuan membuat wayang lebih banyak disebabkan karena faktor lingkungan, faktor hobi dan faktor untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Bagi DR, ia tetap bertahan menjadi penatah wayang karena ia tidak memiliki pekerjaan lain yang bisa diusahakan. DR berpandangan, ia tetap bertahan bekerja sebagai pembuat wayang karena daripada tidak bekerja. Pekerjaan yang paling memiliki nilai ekonomi lebih dan bisa DR kerjakan adalah menjadi pembuat wayang (tatah-sungging), bila ada pekerjaan yang lebih menguntungkan dari menatah wayang, maka untuk sementara
pekerjaan
menatah
wayang
ditinggal
terlebih
dahulu
dan
mengutamakan mengerjaan pekerjaan yang sifatnya lebih menguntunngkan. Lebih lanjut DR mengutarakan, “Soalnya sekarang (orang di sini itu) hanya cari cepatnya saja bagaimana mencari uang. Sekarang ini kan musim sawo (panen buah sawo), lalu semua orang ramai-ramai terjun ke sawo semua (berbisnis, jualbeli buah sawo)” (W/DR/22/07/2009). Menurut DR, walaupun penghasilan dari menatah wayang tidak besar, tetapi ia tetap bertahan menjadi penatah karena daripada tidak bekerja. DR tidak memiliki keahlian lain selain membuat wayang (W/DR/22/07/2009). Hiburan merupakan daya tarik kuat dari pementasan wayang kulit purwa khususnya bagi kaum muda. Hiburan menjadi hal utama untuk di tonton. DR misalnya mengutarakan bahwa kaum muda lebih cenderung menonton wayang
169
karena pertimbangan menonton hiburan. Menurut DR, wayang masih banyak dipentaskan karena orang yang menanggap wayang atas dasar suka atau karena nadzar atau punagi. Hal senada disampaikan oleh DR, “sini itu (penonton) gak memberatkan (tidak mengutamakan) wayangnya tetapi (mengutamakan musik) campursarinya” (W/DR/22/07/2009). Menurut DR, dia bisa mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang kulit purwa, tetapi DR belum bisa konsisten, kadang-kadang sering lupa (secara tidak sadar nilai yang ada tidak dijalankan) dan tidak menerapkan lagi (W/DR/22/07/2009). Pada umumnya, hanya sedikit dari penonton yang paham dan tahu nilainilai yang terkandung dalam wayang kulit. Anak muda dangkal dalam memahami wayang, anak muda tertarik wayang karena faktor hiburan. Khususnya generasi muda, jarang dari mereka yang menonton wayang hingga ngebyar atau menyaksikan dari awal hingga pertunjukan berakhir. Hal ini seperti yang diutarakan DR: “Kadang-kadang (saya) hanya nonton limbukan (sesi hiburan), terus (setelah itu) bubar (pulang) nanti gara-gara (sesi hiburan) datang lagi. … kene ki (sini
itu penontonnya) ora ngabotke wayange (tidak mengutamakan
wayangnya) ning campursarine (tetapi hiburan musik campursarinya). …iya, wayang hanya sekedarnya saja, kalau udah habis campursarinya gitu (wayang) udah gak diperhatikan” (W/DR/22/07/2009). DR menuturkan, ketika ia menonton wayang perasaanya hanya biasa-biasa saja, tidak terlalu senang dan juga tidak membenci wayang. Hal yang membuat DR tetap menyaksikan pertunjukan wayang adalah karena faktor hiburan, DR tertarik dengan sesi limbukan dan gara-gara. Hal lain yang disukai DR selain sesi hiburan adalah sabetan dan perang. DR juga tidak memiliki tokoh idola, walaupun tidak memiliki tokoh idola tetapi DR membenci sengkuni karena sengkuni berwatak jahat. Menurut DR, ia saat ini ikut menatah di tempat WGM. Menurut DR, WGM saat ini mempunyai tenaga menatah dan menyungging wayang kurang lebih 15 orang. Menurut DR, ia tidak mengidolakan tokoh tertentu tetapi DR
170
membenci tokoh sengkuni, alasanya, tokoh sengkuni sering berbuat jahat dan selalu berperilaku tidak baik. Kesimpulan: DR tetap bertahan menjadi penatah karena tidak memiliki akses untuk memilih pekerjaan yang memiliki nilai ekonomi lebih. Bagi DR, pekerjaan yang bisa ia usahakan dan memiliki nilai ekonomi lebih adalah membuat wayang. Ia bertahan menjadi pembuat wayang karena tidak ada pekerjaan lain yang mampu menggantikan, hal ini diperkuat dengan minimnya ketersediaan pekerjaan baru. Kondisi inilah yang menyebabkan pekerjaan membuat wayang masih menjadi primadona.
Informan 4 W/ED/03/08/09 MENYAKSIKAN PERTUNJUKAN WAYANG KARENA FAKTOR HIBURAN Lelaki berusia 32 tahun ini adalah tokoh pemuda di Desa Kepuhsari, namanya ED. Berdasarkan trah keturunnnya, ED adalah keluarga pembuat wayang atau penatah, Bapak ED dulunya adalah pembuat wayang. ED sendiri sebenarnya juga bisa membuat wayang, walaupun dia bisa membuat wayang tetapi ia sekarang tidak mau meneruskan tradisi keluarganya sebagai pembuat wayang. Alasannya, membuat wayang bila ditinjau dari pendekatan ekonomi tidak bisa memberikan jaminan kesejahteraan. Menatah wayang dianggap tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. ED menuturkan: “Iya, mungkin iya (pekerjaan sebagai pembuat wayang kurang bisa mencukupi kebutuhan hidup), umpamanya dipakai mbat-mbatan (bahan pertimbangan) gitu, apalagi dulu, maksudnya dari segi ekonomi finansial itu, cari uang dengan membuat wayang itu lama, tidak bisa dijadikan butuh (menatah wayang tidak cepat menghasilkan uang, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan)” (W/ED/03/08/09).
171
Sebagai seorang yang sudah berkeluarga dengan satu istri dan satu anak, ia lebih memilih mengusahakan bidang pekerjaan diluar tatah sungging, ia lebih memilih menjadi pedagang kayu (bakul kayu). ED beranggapan, pekerjaanya yang sekarang lebih bisa memberikan kepastian pemenuhan kebutuhan keluarganya dibandingkan dengan membuat wayang. Walaupun ED tergolong generasi muda yang lebih suka hiburan yang berbau musik-musik modern, tetapi ia mengaku suka dengan pertunjukan wayang, menurut pengakuannya, dari masa kecil hingga usia 32 tahun, ia mengaku pernah menonton wayang kurang lebih 500 kali. ED berpendapat, anak muda zaman sekarang ikut menyemarakkan pertunjukan wayang bukan karena berkepentingan melestarikan wayang, akan tetapi lebih karena faktor hiburan. Musik campusari yang terdapat dalam pertunjukan wayang menjadi daya tarik bagi kaum muda untuk menyaksikan pertunjukan wayang, terlepas dari hal tersebut ED beranggapan hanya sebagian saja dari kaum muda yang tertarik menyaksikan pertunjukan wayang gaya klasik dengan tanpa hiburan campursari. Menurut ED: “Kalau pentas wayang kulit klasik (tanpa musik campursari) rata-rata anak muda 50:50 (maksudnya 50% suka dan 50% lainnya tidak suka) dan tergantung dalangnya juga. Tetapi (kalau) pementasan wayang pakai embel-embel (ada unsur) campursari, rata-rata anak muda suka, tetapi sebatas senang (menikmati musik) campursari. Biasanya begitu” (W/ED/03/08/2009). Menurut ED, rata-rata masyarakat Kepuhsari menanggap wayang karena faktor punagi, selain karena punagi, pertimbangan lain adalah menanggap wayang karena faktor suka atau hobi, karena tuntutan gengsi atau wah, untuk mengisi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain. Menurut ED, bila dipresentasi orang menanggap wayang karena faktor punagi sebanyak 50% atau separuh dari penanggap. Menanggap wayang karena suka atau hobi sebanyak 20%, alasan gengsi sebannyak 10%, untuk mengisi waktu sebanyak 10% dan alasan lain sebanyak 10%.
172
Persepsi orang mengenai pertunjukan wayang bersifat relatif, hal ini tergantung dari penafsiran masing-masing orang. Hasil penafsiran ini akhirnya akan menjadi sesuatu yang bersifat relatif antar masing-masing individu. Ada yang sebatas tahu, ada yang paham dan bahkan ada yang hingga menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikatakan ED, “(penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang dalam kehidupan sehari-hari) itu tergantung (tergantung dari) pribadi masing-masing. Saya ini manusia, nilai-nilai (yang terkandung dalam wayang terkadang) itu belum bisa saya terapkan” (W/ED/03/08/2009). Menurut ED, masih banyak orang di Desa Kepuhsari yang memilih bekerja sebagai pembuat wayang (tatah-sungging) karena memang sudah tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dikerjakan yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dari membuat wayang (tatahsungging). Menurut ED, ia mengidolakan tokoh Prabu Kresna. Alasanya, Prabu Kresna adalah tokoh yang sakti, namun demikian, ED tidak membenci tokoh tertentu. Menurut ED, Sengkuni adalah tokoh antagonis tokoh yang (oleh sebagian orang) dibenci karena prilakunya yang jelek, tetapi ED tidak membenci tokoh sengkuni. Kesimpulan: Kecenderungan yang saat ini muncul adalah, kaum muda cenderung menganggap pertunjukan wayang kulit purwa sebagai hiburan. Anak muda masih menonton wayang karena tertarik dengan hiburan yang terdapat pada salah satu sesi dalam pementasan yakni pada sesi limbukan dan gara-gara. Hal ini tentunya berbahaya karena dapat mengaburkan makna dan nilai-nilai adiluhung yang terdapat dalam cerita wayang.
173
Informan 5 W/SRS/16/07/2009 MEMBUAT WAYANG KARENA ALASAN EKONOMI Lelaki yang saat ini berumur 60 tahun ini adalah pembuat wayang sekaligus seorang dalang. SRS memiliki kelebihan menggambar wayang sejak usia kecil. Faktor lingkungan yang rata-rata pekerjaannya membuat wayang dan dorongan yang kuat dari dirinya untuk bisa membiayai sekolahnya inilah yang mengantarkan SRS menjadi seorang pembuat wayang yang terkenal. SRS kecil berasal dari keluarga yang secara ekonomi tergolong ekonomi menengah ke bawah, padahal secara pribadi ia memiliki cita-cita untuk melanjutkan sekolah sedangkan keluarga SRS tidak mungkin bisa membiayai. Sengkat cerita, ia memutar otak, berfikir keras bagaimana agar kesulitan ekonomi yang sedang ia hadapi tidak menjadi penghalang bagi dirinya untuk melanjutkan sekolah. Pilihanya jatuh pada pembuatan wayang kulit purwa, ia memutuskan untuk ngenger atau nyantrik atau magang pada tetangganya yang adalah empuning dalang dan empuning wayang (dalang ahli dan ahlinya membuat wayang). Akhirnya hasil usahanya ini tidak sia-sia, ia dapat melanjutkan sekolah hingga Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), jenjang sekolah yang untuk orang yang saat ini berusia 60 tahun adalah jenjang pendidikan yang tergolong prestisius. Pekerjaanya sebagai penatah wayang ini pula yang mengantarkan SRS hidup dengan kelas ekonomi menengah ke atas di desanya. Saat ini SRS tidak lagi membuat wayang sendiri tetapi sudah memiliki karyawan yang khusus dipekerjakan untuk membantu pekerjaanya membuat wayang. Ia saat ini lebih banyak memantau karyawannya, menyewakan gamelan dan wayang untuk pementasan dalang yang belum mempunyai peralatan sendiri. Sebagai orang yang pekerjaanya sebagai pembuat wayang, SRS menganggap wayang merupakan tuntunan sekaligus tontonan. Lebih lanjut SRS mengutarakan: “Iya. Wayang itu merupakan tuntunan (ajaran yang dipakai
174
sebagai pedoman hidup) dan tontonan (sarana untuk mencari hiburan). Tontonanya, wayang bisa menjadikan sebagai media hiburan, sedangkan tuntunanya, wayang (dalam pertunjukan) ada ajaran yang baik-baik. Jangan meniru yang jelek” (W/SRS/16/07/2009). Menurut SRS, ia masih aktif membuat wayang karena alasan ekonomi. SRS hingga saat ini hanya mengandalkan wayang untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Usaha yang dirintis SRS adalah dari mulai menatah wayang, menyungging wayang hingga usaha persewaan wayang kulit dan gamelan. Segmen pasar persewaan wayang yang ia bidik adalah dalang-dalang, instansi atau pihak swasta yang belum memiliki wayang yang digunakan untuk pentas. Terbukti dengan usaha dalam bidang wayang, SRS bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dengan layak, bahkan SRS tergolong orang dengan ekonomi menengah ke atas di kampungnya. Kesimpulan: SRS memilih mengusahakan pekerjaan tatah sungging berawal dari kesulitan ekonomi yang sedang ia hadapi. Ketekunan, konsistensi dan dedikasi SRS terhadap seni tatah sungging mengantarkan dia mampu mencapai impianya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Wayang pula yang mengantarkan SRS hidup dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Hingga kini, ia tetap bertahan menjadi pembuat wayang karena itulah pekerjaanya.
Informan 6 W/SRH/25/07/2009 WAYANG BERKEMBANG MIRIP PRINSIP MULTY LEVEL MARKETING (MLM) Pria berusia 75 tahun ini adalah ahlinya membuat wayang (penatah dan penyungging) niyaga (penabuh alat musik gamelan) sekaligus seorang dalang
175
terkenal. SRH adalah menantu dari empuning dalang dan empuning wayang (dalang ahli dan ahli pembuat wayang), mertuanya adalah Ki PDH, Ki PDH adalah turunan dalang generasi yang ke tujuh belas (17). Saudara lelaki dari suami Ki SRH yang saat ini berdomisili di Desa Kepuhsari adalah Ki GPW, Ki HC dan Ki DW yang juga orang-orang yang menggeluti dunia wayang. Tidak mengherankan bila Ki SRH menjadi ahlinya memainkan alat musik gamelan, dalang sekaligus pembuat wayang, ini semua tidak terlepas dari peran orang-orang yang ada di sekitarnya (keluarga dan saudara-saudaranya). Menurut SRH, dia membuat wayang karena terpengaruh oleh saudarasaudaranya. Lingkungan keluarga SRH adalah lingkungan keluarga pengrajin wayang. SRH sering melihat (saudara-saudaranya yang membuat wayang) lalu timbul keinginan untuk membuat wayang sendiri. Lebih lanjut SRH menuturkan: “Lha yang bisa saya utarakan berkaitan dengan tatah-sungging, ini semua (mengapa sampai saat ini di Desa Kepuhsarimasih pada membuat wayang) sejatinya hanya naluri. Maksudnya (naluri adalah) melanjutkan keterampilan orang tua dari zaman kuna-makuna (dari zaman dahulu kala) hingga sekarang. … kemampuan yang orang tua bisa, pedalangan (maupun) membuat wayang. Jadi tempo dulu ketika (zamannya) eyang-eyang (nenek moyang) tidak sekolah kemana-mana. Jadi kok pada bisa membuat wayang? ini (semua karena) diturunkan dari orang tua ke anak-cucu, canggah-wareng, melestarikan membuat wayang dan natah wayang, ngukir kulit (mengukir kulit untuk) dibuat wayang. Iya, (jadi asal-usul wayang di desa ini dari dalang PDH) ya dari mertua saya itu. …. Jadi tidak mengherankan bila di Manyaran (khususnya di Desa Kepuhsari) ini terkenal sebagai sentra wayang kulit yang terkenal hingga sekarang ya (sebenarnya) ini sumbernya (yakni berasal dari Ki dalang PDH). … (sebenarnya yang mewariskan mula-mula adalah dalang PDH) ya, sebenarnya ini sumbernya, yang lainnya, (selain dalang PDH hanya) termasuk murid-muridnya, termasuk saya (juga hanya murid dari dalang PDH)” (W/SRH/25/07/2009). Menurut SRH, ia bisa membuat wayang, memyungging wayang, memainkan alat musik gamelan,
176
bisa mendalang karena SRH ngenger (magang) di tempatnya dalang PDH dan GPW. Pada mulanya, Ki SRH mencurahkan perhatian pada seni tatah-sungging, memainkan alat musik gamelan dan mendalang karena dijadikan sebagai pekerjaan utama. Dalang, membuat wayang dan mamainkan alat musik gamelan adalah pekerjaan utama yang dijadikan sebagai sarana untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Seniman adalah sawah ladang atau mata pencahariannya. Lebih lanjut Ki SRH menuturkan: “Ya, tempo dulu ya (menatah wayang, menyungging, mamainkan gamelan, mendalang, saya jadikan pekerjaan utama). Ketika saya sudah bisa (menatah wayang), saya membuat wayang untuk dijual ke siapa orang yang membutuhkan untuk pekerjaan utama. Ya kurang lebih sejak 57-70-an” (W/SRH/25/07/2009). Seiring berjalannya waktu, ia diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Pada fase ini Ki SRH berada pada persimpangan jalan antara tetap melanjutkan pekerjaanya sebagai seorang seniman, menjadi PNS ataukah tetap menjadi PNS tetapi tetap bekerja sampingan sebagai seorang seniman. Bekerja sebagai PNS ternyata lebih banyak menyita waktu Ki SRH yang selama satu kali dua puluh empat jam (1x24 jam) harus siap siaga mengabdikan diri pada negara, akhirnya Ki SRH memutuskan untuk memilih menjadi PNS dan meninggalkan pekerjaanya sebagai seorang seniman. Walaupun tidak melanjutkan sebagai seniman, darah seniman tetap menurun pada anaknya. Ki SRH menurunkan trah dalang yakni Ki SWN yeng merupakan turunan dalang yang ke sembilan belas (19). SRH yang saat ini berumur 75 Tahun mengaku telah menonton wayang lebih dari 1.000 kali. SRH mulai menonton pertunjukan wayang kulit purwa juga sejak kecil. Perkembangan wayang kulit purwa di Desa Kepuhsari mirip dengan prinsip kerja Multy Level Marketing atau MLM. Satu orang yang ahli membuat wayang bisa merekrtu lebih dari satu murid, lalu muridnya merekrut lebih banyak lagi anak buah, begitu seterusnya. Hal ini selaras dengan yang disampaikan SRH: “jadi tidak mengherankan bila MNY (khususnya di Desa Kepuhsari) begitu
177
terkenal (dengan wayang kulit purwa) ya ini sumbernya. Satu orang yang sudah bisa (mahir membuat wayang kulit) bisa mempunyai murid antara tiga (3) hingga empat (4). Sebenarnya begitu” (W/SRH/25/07/09). Bagi SRH, wayang kulit merupakan media yang dapat digunakan untuk mencari nilai-nilai kehidupan, karena sejatinya cerita dalam pementasan wayang kulit kaya akan nilai-nilai. Nilai dalam pertunjukan wayang kulit tersebut sejatinya bias dijadikan sebagai pedoman hidup bila bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar inilah SRH berusaha untuk selalu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut SRH mengutarakan, “Kalau keinginan (maunya) seperti itu (yakni mengamalkan nilainilai wayang kulit dalam kehidupan sehari-hari. Sebisa mungkin juga saya terapkan” (W/SRH/25/07/2009). Kesimpulan: Wayang berkembang di Desa Kepuhsari mirip prinsip kerja Multy Level Marketing (MLM). Wayang berkembang dari satu orang yang ahli, lalu orang yang ahli tersebut memiliki murid atau binaan lebih dari satu, lalu binaan-binaan tadi memiliki murid yang lebih banyak lagi, kesenian wayang kulit purwa hampir tidak ada putusnya. Perkembangan kesenian wayang kulit purwa, khususnya seni tatah sungging yang begitu cepat lebih didasarkan pada motif menjadikan tatah sungging sebagai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Informan 7 W/DW/26/07/2009 BELAJAR WAYANG DARI NYANTRIK DI TEMPATNYA EMPUNING WAYANG DAN EMPUNING DALANG Sosok yang satu ini analah orang dengan multi talenta, DW adalah seorang pembuat wayang, dalang, orang yang ahli memainkan alat musik gamelan
178
sekaligus seorang guru. DW tidak jauh dari lingkaran keluarga seniman, ia adalah menantu dari dalang terkenal yakni Ki GPW, Ki GPW sendiri adalah anak dari dalang terkenal yakni Ki PDH. Ia banyak belajar mengenai wayang, alat musik gamelan dan teknik mendalang dari mertua dan saudara-saudaranya. Menurut DW, ia mengetahui wayang kulit purwa sejak kecil. Lebih lanjut DW menuturkan: “Ya (memperoleh pengetahuan mengenai wayang kulit purwa) sejak kelas empat Sekolah Rakyat (SR). Mulanya juga hanya sering suka menonton wayang, lalu saya membuat wayang pakai kardus untuk dibuat main wayang. Lalu ada gagasan nyantrik (ngenger atau magang) buat wayang. Kebetulan yang saya jadikan tempat nyantrik adalah empuning wayang (masternya membuat wayang) sekaligus dalang turunan” (W/DW/26/07/2009). DW menuturkan, perkembangan seni tatah-sungging di Desa Kepuhsari diwariskan melalui sistem jaringan sel. Sistem jaringan sel ini pada akhirnya memecah mirip dengan prinsip kerja multy level marketing atau MLM. Satu orang yang sudah menguasai seni tatah-sungging merekrut dua murid hingga mahir, kemudian dua muridnya yang sudah mahir tadi merekrut empat murid. Begitu seterusnya hingga jaringan sel tersebut menyebar ke seluruh desa. Hal ini seperti yang diutarakan oleh DW: ”Tahun 1957 saya mandiri (membuat wayang sendiri), lalu sejak tahun itu saya punya anak buah yang belajar ke saya. ketika itu saya punya lima anak buah, dua setengah tahun kemudian mereka saya lepas dan mandiri sendiri di rumahnya” (W/DW/26/07/09). Menurut DW, ia bisa belajar membuat wayang dan mendalang karena ia nyantrik (ngenger atau magang) di tempatnya dalang PDH dan SRH. Lebih lanjut DW menuturkan: ”Pertama di tempatnya dalang GPW yang kedua tempatnya dalang SRH, lalu ke tempatnya KS, mereka termasuk empu-empunya wayang (ahlinya membuat wayang). Bapaknya GPW adalah PDH adalah penatah kraton Solo. Zaman dulu gak ada yang berani magang atau nyantrik di tempatnya empu wayang (para ahli pembuat wayang), tapi saya memberanikan diri, akhirnya saya bisa (menatah wayang). Tahun 57 (1957) saya mandiri (membuat wayang
179
sendiri), lalu sejak tahun itu saya punya anak buah yang belajar (tatah-sungging) ke saya ” (W/DW/26/07/09). Munurut DW, ia berkeyakinan wayang kulit tidak akan punah, bahkan akan semakin berkembang. Alasannya, para penatah dicarikan pekerjaan untuk menghsilkan uang. Belajar sekalian (bisa) cari uang, dengan alasan ini ia berkeyakinan wayang tidak akan punah. Menurut dia, kalau anak-anak sudah bisa menatah (biasanya mereka) tidak mau berhenti (untuk menatah) sayang kalau berhenti (karena kalau berhenti tidak dapat penghasilan atau tidak dapat uang). DW dikaruniai dua anak dan kedua-duanya bisa menatah, namun demikian anak-anak DW tidak ada yang secara spesifik menggeluti pekerjaan sebagai pembuat wayang, anak-anak DW lebih memilih pekerjaan utamanya sebagai guru. Bila ada pesanan, anak DW yang pertama masih menyempatkan untuk membuat wayang atau melukis kaca sebagai pekerjaan sampingan. Zaman dahulu, DW menjadikan tatah sungging sebagai pekerjaan utama, dari hasil usahanya ini, ia mampu membiayai pendidikan dua anaknya hingga lulus perguruan tinggi. Ia mengaku bersyukur memiliki keahlian tatah sungging, sebab, bila tidak memiliki keahlian tatah sungging, mungkin ia tidak akan bisa menyekolahkan dua anaknya. Saat ini, DW selain membuat wayang, ia juga bekerja sebagai guru di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang ada di Desa Kepuhsari. Ia mengajar mata pelajaran tatah sungging yang yang tergolong mata pelajaran muatan lokal, selain itu ia juga mengajar ekstrakokurikuler tatah sungging. Sebelumnya, ia mengajar di beberapa tempat. Tahun 1975, ia menjadi tentor pada penataran tatah sungging bagi guru Sekolah Dasar se-JT, tiap kabupaten diambil lima (5) orang, kegiatan ini berlangsung setiap tahun hingga tahun 1985. selain itu, ia juga sudah mulai bekerja sama dengan BLK SL dan DW yang menjadi tentornya. Mulai tahun 1986 hingga tahun 1996, ia mengajar di SMA GM di WN dan SMA VTR di SK. DW menuturkan, ia rela masuk ke sekolah-sekolah, mengajar atau menjadi guru karena usahanya menjaga wayang agar tidak punah. DW mengaku mengidolakan tokoh Werkudara atau Bima.
180
Menyangkut pemasaran produksi wayang, DW menuturkan, pada tahun 1975 pemasaranya sudah sampai Negeri Belanda. Setelah Presiden Suharto lengser, hubungan dengan luar negeri mulai renggang. Zaman dulu, pemasaran ke luar negeri yang mengorganisir adalah Pekerti yang berkedudukan di Jakarta. Pekerti inilah yang menjadi semacam agen yang menghubungkan user (pemakai atau pembeli) dengan pengrajin di tempatnya DW. Zaman dulu ketika pemasaran masih ramai, setiap tiga (3) bulan pasti ada turis yang berkunjung ke tempatnya DW, mereka meliputi turis dari Nederland, Jepang, Perancis dan Amerika. Walaupun para turis datang sendiri ke tempatnya DW, tetapi pengiriman barang tetap melalui Pekerti. Menurut DW, orang yang membeli wayang biasanya untuk koleksi sendiri, dipakai untuk pentas dan dijual lagi. Wayang yang dipakai untuk koleksi sendiri biasanya dipercayai sebagai benda yang mempunyai asep atau tuah oleh pemiliknya, atau setidaknya dijadikan sebagai simbol. Wayang yang dipajang sebagai simbol, biasanya dijadikan sebagai referensi gerak oleh pemiliknya. Misalnya, ada orang yang memasang tokoh Bima, berarti sang pemilik menjadikan Bima sebagai referensi geraknya. Bima adalah tokoh yang memiliki karakter kuat, teguh pendirian dan pemberani. Wayang yang dipakai untuk pentas dan wayang yang dijual kembali, merupakan komersialisasi wayang untuk mencari keuntungan. Wayang yang dijadikan sebagai komoditas, biasanya melibatkan banyak pihak, antara lain pengrajin, pengepul atau penampung dan pemakai atau pembeli. Diantara ketiga pihak tersebut, pengepul biasanya lebih bisa mendominasi dan kadangkala menerapkan sistem kartel. Kelebihan pengepul adalah memiliki kemampuan mengendalikan harga, mengendalikan produksi dan pemasaran. Hal ini dikarenakan, pengepul mampu menyediakan modal yang lebih besar yang tidak bisa dilakukan oleh para pengrajin. Kesimpulan: Seperti yang dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya, DW mendapatkan pengetahuan tentang wayang karena ia rela ngenger atau nyantrik
181
atau magang pada empuning dalang. Usaha DW tidak sia-sia karena ia menjadi ahli di bidang pewayangan. Belajar wayang selain bisa ditempuh secara tradisional melalui pendidikan non formal dalam bentuk ngenger atau nyantrik atau magang, belajar wayang dapat ditempuh di jenjang pendidikan formal seperti SD dan di SMP. Hal inilah yang dirintis DW, ia rela mengajar di sekolah-sekolah formal seperti di SD dan SMP untuk melestarikan kesenian wayang kulit purwa khususnya pengetahuan tentang tatah sungging.
Informan 8 W/DD/02/08/2009 BISA MENATAH KARENA BELAJAR DARI TETANGGA DD adalah seorang pemuda yang memiliki keahlian sebagai pembuat wayang dengan spesialisasi sebagai penatah. Pria yang lahir pada tahun 1981 ini mengaku mendapatkan pengetahuan mengenai teknik menatah (memahat) wayang dari tetangga-tetangganya. Orang tua dari DD adalah seorang petani, DD lebih banyak belajar mengenai teknik membuat wayang dari ngenger (magang) di tempat tetangga-tetangganya. DD yang juga seorang penatah muda mengaku tidak pernah dilatih atau diberitahu oleh orang tuanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wayang. Media yang digunakan untuk mengetahui wayang hanya sekedar seringnya dia menyaksikan pertunjukan wayang dan belajar bagaimana menatah wayang dari tetangganya. Dunia wayang bagi DD bukanlah hal yang baru karena DD sudah mengenal wayang sejak ia masih kecil, ia sudah mulai menatah sejak kelas empat (4) Sekolah Dasar. Hebatnya, karyanya sudah laku dijual saat ia masih kelas enam (6) Sekolah Dasar, selisih dua tahun sejak ia pertama kali belajar menatah wayang. Saat ini DD belum berumah tangga, setelah dia tamat dari SMA ia menfokuskan diri bekerja sebagai penatah wayang. DD tidak punya pekerjaan sampingan, pekerjaan satu-satunya yang dipakai untuk mencukupi kebutuhan
182
hidupnya adalah dari menatah wayang. Ia menuturkan, tetap bertahan menjadi penatah karena menatah dapat menghasilkan uang, dengan kata lain, DD tetap bertahan bekerja sebagai penatah wayang atas dasar motif ekonomi. DD yang bekerja sebagai pembuat wayang tentu tidak asing lagi dengan dunia pewayangan, namun demikian, DD mengaku masih sering menyaksikan pertunjukan wayang. Sesi dalam pertunjukan wayang yang ia gemari adalah sesi hiburan yakni sesi limbukan (sesi keluarnya limbuk dan cangik) dan gara-gara (sesi keluarnya punakawan), penyebabnya karena pada sesi ini DD dapat menikmati hiburan. Ia mengidolakan tokoh Werkudara karena wataknya yang tegas, selain itu ia membenci tokoh Sengkuni. Bagi DD, pementasan wayang adalah sarana pendidikan bagi penonton. Wayang merupakan gambaran hidup manusia. Gambaran hidup yang dimaksud DD misalnya mengenai sistem pemerintahan, berbangsa, bernegara, sistem politik dan lain sebagainya. Kesimpulan: Konsep pendidikan yang lazim pada zaman dahulu adalah ngenger. Konsep ngenger adalah bentuk pendidikan non formal yang berorientasi pada penguasaan kompetensi dasar mengenai hal yang dipelajari. Ngenger sepadan dengan konsep magang pada zaman sekarang. Inilah yang dilakukan DD, agar dia dapat memiliki pengetahuan tentang teknik membuat wayang, ia rela ngenger atau magang atau nyantrik ke tetangga-tetangganya. Ngenger adalah cara yang sangat efektif karena atas dasar kesadaran murni dari anak didik tentang pentingnya belajar sungguh-sungguh (penuh pengorbanan, banyak kesulitan dan perlu ketekunan) tentang apa yang ia pelajari dengan penekanan pada pengusaan kompetensi dasar.
183
Informan 9 W/SRY/24/07/2009 ORANG TUA TIDAK MEMBERIKAN PENGETAHUAN TENTANG WAYANG SRY adalah seorang pemuda yang memiliki keahlian menyungging wayang (memberi corak pada wayang dengan memakai cat). Ia mengaku mengenal wayang sejak kecil, ia belajar menyungging selama 13 tahun, hasil dari belajarnya yang tekun, ia dari tahun 1998 hingga tahun 2008 mulai menyungging secara profesional untuk mendapatkan penghasilan. Sebagai penyungging yang terampil, ia mengaku tidak pernah mendapatkan pengetahuan tentang wayang kulit purwa dari orang tuanya. Kemampuanya menyungging lebih didasarkan pada keinginannya untuk mendapatkan penghasilan, oleh karena itu ia berusaha belajar atas keinginan sendiri. Seperti layaknya anak muda yang lain, SRY juga tetap suka menyaksikan pertunjukan wayang. Sesi pertunjukan wayang yang ia sukai adalah sesi hiburan yakni limbukan dan gara-gara. Ia mengidolakan tokoh Wisanggeni, selain itu ia juga membenci tokoh Sengkuni karena Sengkuni dianggapnya sebagai tukang ubub-ubub (provokator). Bagi SRY, ia suka dengan wayang karena wayang dapat menghasilkan uang. Kesimpulan: Pengetahuan mengeni wayang (termasuk didalamnya teknik tatah dan sungging), rata-rata diperoleh karena faktor lingkungan Desa Kepuhsari yang memang merupakan sentra wayang kulit. Pembuatan wayang biasanya banyak menarik perhatian anak-anak yang belum mampu mengusahakan pekerjaan yang berat (seperti misalnya mencangkul, bekerja merantau dan lain sebagainya) karena dapat menghasilkan uang sejak usia dini. Proses pewarisan pembuatan wayang kulit purwa akan berjalan dengan sendirinya walaupun orang tua tidak mengajarkan pengetahuan mengenai teknik pembuatan wayang. Keinginan anak
184
untuk menatah seakan muncul secara intrinsik karena secara naluriah ingin mendapatkan uang.
Informan 10 W/SAI/03/08/2009 PENATAH MEMUNGKINKAN MEMPUNYAI PEKERJAAN SAMPINGAN Pria yang saat ini berusia 38 tahun ini adalah seorang penatah tulen. Ia sudah mulai menatah dan mengenal wayang sejak kecil, bagi dia, wayang bukan sesuatu yang baru karena sejak kecil, sejak kelas lima (5) SD sudah mulai belajar menatah wayang. Hasil dari menatah wayang tersebut dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Ia dapat membeli tanah pekarangan, membuat rumah dan biaya untuk menyekolahkan anaknya dari hasil menatah. Menurut SAI, pekerjaan sebagai pembuat wayang memungkinkan masih bisa mengusahakan pekerjaan sampingan. Saat ini, selain menjadi pembuat wayang, ia masih memelihara hewan ternak, pekerjaan sampingan SAI adalah penggemukkan sapi. Bagi SAI, selain dapat menghasilkan uang, wayang juga merupakan lakoning urip atau lakon kehidupan (wayang sebagai gambaran hidup manusia). Kesimpulan: SAI memilih pekerjaan sebagai pembuat wayang karena dunia pembuatan wayang dianggap memiliki nilai ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, membuat wayang masih terbuka kesempatan untuk mengusahakan pekerjaan yang lain, dengan demikian akan terbuka sekaligus memperbanyak peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
185
Lampiran 3 : Curriculum Vitae
1. Nama
: Sutino
2. NIM
: K 8404045
3. Prodi
: Pendidikan Sosiologi Antropologi
4. Angkatan : 2004 5. PT
:Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS)
6. Alamat 7. Alamat Domisili
: Petung, Ngandong, Eromoko, Wonogiri
: Gg Mega III No 6 Gendingan, Jebres, Surakarta
57126. 8. No Telp/HP
: 081 3299 654 25
9. Status
: Belum Kawin
10. Email
:
[email protected]
11. Motto Hidup
: Hidup adalah Proses Belajar
12. Riwayat Pendidikan NO
Tingkat
Institusi
Pendidikan 1
TK
Taman Kanak-Kanak Pertiwi Desa Ngandong
2
SD
Sekolah Dasar Negeri Ngandong II di Ngandong
3
SLTP
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri II Eromoko
4
SMA/SMK
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Harapan Kartasura di Sukoharjo
5
PT
Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret Surakarta
186
13. Riwayat Organisasi : a. Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Harapan Kartasura. b. Staff
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2004. c. Staff
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2005. d. Staff Departemen Dalam Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2006. e. Menteri Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2007. f. Staff Departemen Keilmiahan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2008. g. Pendamping Lingkar Studi Pendidikan (LSP) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2009. 14. Karya tulis yang pernah dibuat : a. Keragaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk Kegiatan Sekolah pada Sekolah Dasar di Kelurahan Jebres Surakarta Tahun 2007. b. Implikasi Putusan Uji Materiil (Yudicial Review) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Nasional. c. Realisasi
Pelaksanaan
Electronik
Governence
(E-Governence)
di
Kabutaten Sragen Guna Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Efektif. 15. Pengalaman Penelitian a. Peneliti pada Keragaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk Kegiatan Sekolah pada Sekolah Dasar di Kelurahan Jebres Surakarta Tahun 2007.
187
b. Peneliti pada Pengawasan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi yang diselenggarakan oleh Manajemen Konsorsium PT. Surveyor Indonesia dan PT. Sucofindo Tahun 2008. c. Peneliti pada Business Climate Survey 2007 yang diselenggarakan Bank Indonesia dan Suara Merdeka Tahun 2007. 16. Tulisan di media massa : a. Reshuffle Kabiner, Ujian Bagi SBY (Dimuat di Harian Solopos edisi 20 Maret 2007). b. Solusi Kemiskinan Wonogiri (Dimuat di Harian Suara Merdeka edisi 8 Mei 2007). c. Sekolah Pluss Jangan Diskriminatif (Dimuat di Harian Umum Solopos Tahun 2007). d. Merajut Kembali Makna Sumpah Pemuda (Dimuat di Harian Solopos edisi 23 Oktober 2007). e. Jangan Tergesa-Gesa Berlakukan Smart Card (Dimuat di Harian Solopos edisi 26 Februari 2008). f. Proyek Alas Kethu, Antara Harapan dan Ancaman (Dimuat di Harian Joglosemar edisi 16 Februari 2008). g. UNS di Tengan Pertarungan Global (Dimuat di Harian Joglosemar edisi 10 Maret 2008). h. UNPK, Ideal Secara Konsep (Dimuat di Harian Umum Solopos edisi Selasa Pahing 18 Juli 2008). 17. Prestasi dan Penghargaan yang Pernah diraih a. Juara I Debat Mahasiswa dengan Tema “Standarisasi Pendidikan dan Sertifikasi Guru” yang diadakan oleh Departemen POSDM Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2006. b. Juara V Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Tahun 2008.
188
c. Juara I Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Universitas Sebelas Maret Surakarta yang diselenggarakan tanggal 22-24 April 2008. d. Finalis
Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa Bidang Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) Wilayah B (Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah dan Kalimantan) yang diselenggarakan di Universitas Tanjungpura Pontianak pada Tanggal 2-4 Juni 2008. e. Finalis Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) yang diselenggarakan pada tanggal 21 April 2007 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 18. Pengalaman Sebagai Narasumber dan Pembicara a. Pembicara dalam kegiatan Osmaru PKn Himpunan Mahasiswa Program (HMP) Demokratia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan tema “Menumbuhkan semangat dalam berorganisasi” yang diselenggarakan pada tanggal 6 September 2008. b. Pembicara dalam kegiatan Training Motivasi Lingkar Studi Pendidikan (LSP) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 2008. c. Pembicara dengan materi Analisis Sosial (Ansos) dalam acara Dauroh Marhalah I Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Sholahuddin Al-Ayyubi UNS yang diselenggarakan di Masjid Agung Karanganyar Tahun 2008. d. Pembicara dalam acara Training Organization (TO) Himpunan Mahasiswa Program (HMP) Demokratia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang diselenggarakan pada tanggal 10 Maret 2008. e. Pembicara dengan materi Analisis Sosial (Ansos) dalam acara Dauroh Marhalah I Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Sholahuddin Al-Ayyubi UNS yang diselenggarakan di Hotel Maliyawan Karanganyar Tahun 2008.
189
f. Pembicara dalam kegiatan Training Motivasi Departemen Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang diselenggarakan pada Bulan Maret Tahun 2008. g. Pembicara dalam Training Organisasi dan Kepemimpinan Himpunan Mahasiswa Diploma Tiga Pertanian (Himadipta) Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta yang di selenggarakan pada tanggal 24-26 Juni 2008. h. Pembicara dengan materi Analisis Sosial (Ansos) dalam acara Dauroh Marhalah I Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Sholahuddin Al-Ayyubi UNS yang diselenggarakan di Gedung IPHI Karanganyar, 19-21 Desember 2008.