BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Sistem peradilan pidana dapat digam-barkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan, dapat diselesaikan dengan diaju-kannya si pelaku ke muka sidang pengadilan
dan
mendapat
hukuman.
Namun
gambaran diatas bukanlah sebagai keseluruhan tugas dari sistem peradilan pidana itu karena sebagian tugas yang lain adalah bagaimana mencegah mereka yang sedang ataupun telah melakukan perbuatan pidana itu tidak mengulangi lagi perbuatan mereka yang melanggar hukum itu. Sistem
Peradilan
Pidana
merupakan
suatu
sistem yang terbuka, seperti yang dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interpendensi) dengan lingkungannya dalam
peringkat-peringkat,
masyarakat,
ekonomi,
politik, pendidikan dan teknologi serta subsistem1
subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system)1 Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem tentunya
memiliki
subsistem-subsistem
seperti
pendapat Sidik Sunaryo sebagai berikut: Di dalam sistem peradilan pidana terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan menjadi luaran yang menjadi tujuan sistem peradilan. 2
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai salah satu subsistem peradilan pidana memiliki tugas yang salah satu tugas tersebut adalah melakukan penyidikan. Penyidikan sendiri diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang
untuk
melakukan
penyidikan.
Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-undang
mengumpulkan
bukti
untuk yang
mencari
terjadi
dan
serta guna
menemukan tersangkanya.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP Undip, hlm. 5 2 Sidik Sunaryo, 2005. Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, hlm. 256 1
2
Menurut Pasal 1 ayat (13) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia,
yang
dimaksud
dengan
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tugas Indonesia
Pokok
sesuai
Kepolisian
dengan
Negara
Republik
Undang-undang
Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.3 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketetertiban masyarakat,
tertib
terselenggaranya pelayanan
dan
tegaknya
perlindungan,
kepada
masyarakat
hukum,
penga-yoman serta
dan
terbinanya
Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia hlm. 114 3
3
ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia4. Tindakan kepolisian adalah setiap tindakan atau perbuatan kepolisian berdasarkan wewe- nangnya dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan di bidang
pemeliharaan
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat, pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum. Tindakan
kepolisian memposisikan polisi
sebagai subyek hukum artinya sebagai drager van de rechten en plichten atau pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban
di
lembaga
maupun
fungsi)
melakukan
berbagai
tindakan
yang
bersifat
tindakan
hukum
(rechtelijkhandelingen)
mana
kepolisian
maupun
(sebagai
tindakan
yang
berdasarkan fakta/nyata (feitelijkhandelingen). Di
dalam
keamanan
melaksanakan dan
ketertiban
tugas
pemeliharaan
masyarakat
tersebut
Kepolisian selalu melaksanakannya berdasarkan atas hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan hukum sendiri memiliki pengertian sebagai berikut: Tindakan hukum adalah suatu tindakan yang menimbulkan akibat hukum tertentu seperti tindakan dalam rangka penegakan hukum (penangkapan, pemeriksaan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan lain-lain) atau
Kelik Pramudya, 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Pustaka Yustisia, Jakarta. hlm. 52-53.
4
4
tindakan penertiban masyarakat pemakai jalan, unjuk rasa, pertunjukan dan lain-lain, sedangkan tindakan berdasarkan fakta/nyata artinya tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum, oleh karena itu, tidak menimbulkan akibat-akibat hukum seperti penyelenggaraan upacara, peresmian kantor atau gedung-gedung kepolisian, dan lain-lain, yang biasanya dilakukan oleh pejabat pemerintahan 5.
Oleh karena itu, setiap tindakan yang dilakukan kepolisian khususnya di dalam proses penyidikan selalu menimbulkan akibat hukum tertentu, sehingga segala tindakan kepolisian di dalam proses penyidikan haruslah memiliki sandaran hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalam menangani
kasus
yang
dilakukan
oleh
anak
di
antaranya adalah diversi, di mana pengertian diversi adalah: Pemikiran tentang pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijak-sanaan dalam menangani atau menye-lesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan /melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan yaitu dari penyidikan, pe-nuntutan, pemeriksaan pada sidang pe-ngadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini dimaksudkan
Sadjijono, 2010, Memahami LaksBangPresindo, Yogyakarta, hlm. 140.
5
Hukum
Kepolisian,
5
un-tuk mengurangi dampak negative ke-terlibatan anak dalam proses peradilan tersebut 6.
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani,
jasmani
merupakan
usaha
dan dan
sosial.
Perlindungan
kegiatan
seluruh
anak lapisan
masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.7 Sehingga
upaya
perlindungan
anak
perlu
dilaksanakan sedini mung-kin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.8
Purniati, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, Departemen Kriminologi Universitas Indonesia & UNICEF, hlm. 4. 6
Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum terhadap anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung; Refika Aditama, hlm. 33 8 Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 7
6
Pengertian anak dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak sebagai seseorang yang berlum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak meng-artikan Perlindungan Anak sebagai
segala
kegiatan
untuk
menjamin
dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, optimal
berkembang sesuai
kemanusiaan
dan
dengan
serta
berpartisipasi
harkat
mendapat
dan
secara
martabat
perlindungan
dari
kekerasan dan diskriminasi. Mengenai penanganan anak yang berkonflik dengan hukum disebutkan dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang
Perlindungan
Anak
bahwa
“penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terkhir” Proses hukum formal merupakan jalan terakhir dalam
menangani
Anak
Konflik
Hukum9.
Dalam
penanganan Anak Konflik Hukum dikenal adanya konsep Restorative Justice, yang merupakan konsep penanganan Anak Konflik Hukum dengan melibatkan
Waluyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, hlm.12
9
7
semua pihak, termasuk pelaku sendiri10. Polri tidak sesegera
mungkin
kecil/ringan
ke
untuk
jalur
membawa
penyidikan,
kasus
yang
namun
lebih
memprioritaskan untuk menyelesaikan perma-salahan tersebut dengan melibatkan pranata sosial yang ada di masyarakat dengan mengedepankan prinsip kemitraan (partnership)
dan
pemecahan
masalah
(Problem
solving). Fiat
justisia
ruat
coelum,
pepatah Latin ini
memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer
karena
sering
digunakan
sebagai
dasar
argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem
peraturan
adagium dalam berdalih
tersebut
sebuah
Dalam pemikiran
dan
Restorative
penerapannya,
di-implementasikan
seolah-olah
kerangka
penegakan
pendekatan
hukum.
kepastian Justice
yang
sempit
hukum.
merupakan
Dan suatu
pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Sistem menciptakan
pemidanaan efek
jera
bagi
seakan para
tidak pelaku
lagi tindak
pidana,RumahTahanan dan Lembaga Pemasyarakatan yang over capacity malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hlm.23
10
8
lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan banyaknya jumlah tahanan narapidana. Lapas seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam memasyarakatkan kembali para narapidana
tersebut,
malah
seolah
lapas telah
bergeser fungsinya se-bagai academy of crime, tempat dimana
para
narapidana
lebih
“diasah”
kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana11. Bagaimana dengan kepentingan korban dan korban,
apakah
kepentingan
dan
dengan kerugian
dipidananya korban
si
pelaku,
telah
tercapai
pemenuhannya. Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dalam sebuah kasus misalnya,
posisi pelaku dan
korban yang telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut. Pihak penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang terjadi
hanyalah
sebuah
kesalah
pahaman
yang
melibatkan para pelaku yang masih berusia anakanak. Proses formil tersebut harus terus digulirkan karena sudah termasuk pada ranah hukum acara pidana, kilah penegak hu-kum pada umumnya. Pendekatan
Restorative
Justice
dalam
penanganan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak juga telah dikuatkan melalui Putusan 11
Ibid
9
Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 yang telah memberikan
"pencerahan
baru"
dalam
upaya
memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak terutama terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law). Uji
materiil
yang
diajukan
oleh
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia/KPAI dan Yayasan Pusat dan Kajian Anak Perlindungan Medan atas Undangundang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak (Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Di
dalam
putusan
Mahkamah
tersebut mengamanatkan bahwa
Konstitusi
Terhadap Anak
Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tin-dakan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang pengadilan Anak tidak ada perubahan kemudian pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. Di
dalam
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
tersebut menjelaskan bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: pidana penjara, pidana
kurungan,
pengawasan.
pidana
Sedangkan
denda
pidana
atau
tambahan
pidana dapat
dijatuhkan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. (Ketentuan
10
mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah) Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memutuskan bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: 1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh; 2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau 3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Penjatuhan tersebut dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Pendekatan
Restorative
Justice
di
dalam
penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana di Polres Tegal salah satunya adalah di dalam proses penyidikan
terhadap
tindak
pidana penganiayaan
terhadap anak di bawah umur dengan Tersangka Panggi
bin
Rasman
atas
Laporan
Polisi
Nomor
LP/B/259/VIII/2013/ Jateng/Res Tegal, di mana di dalam uraian sing-kat kejadian disebutkan bahwa benar pada hari Senin, tanggal 26 Agustus 2013 Pukul 16.30 WIB telah terjadi kekerasan terhadap anak di mana kejadian berawal pada saat korban Samuel Matahelumual bin Abraham Yosef Mata- helumual, umur 12 tahun sedang bermain bersama temantemannya di belakang rumah Sdri. Surip, tiba-tiba korban didatangi oleh Ter-sangka dari arah sungai dan 11
langsung
mendorong
korban
hingga
terjengkang,
kemudian korban ditendang perutnya sebanyak 2 (dua) kali dan ditampar pipi sebelah kanan sebanyak 1 (satu) kali hingga merasakan sakit. Atas perkara tersebut pihak Kepolisian Resor Tegal menggunakan pendekatan Restorative Justice terhadap Tersangka dengan berusaha menghubungi korban dan perkara ini dapat diselesaikan melalui pendekatan Restorative Justice. A. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti dalam tesis ini sebagai berikut: 1. Mengapa dilakukan Restorative Justice dalam penyelesaian tindak pidana anak oleh Polres Tegal? 2. Apa kriteria yang digunakan dalam pendekatan Restorative Justice dalam penye-lesaian tindak pidana anak? B. Tujuan Penelitian Tujuan
dari
penelitian
ini
adalah
sebagai
berikut: 1. Untuk
menganalisis
alasan-alasan
diguna-
kannya pendekatan restorative justice system dalam penyelesaian tindak pidana anak. 2. Menganalisis
kriteria
pendekatan
restorative
justice dalam penyelesaian tindak pidana anak.
12
C. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini bagi pihak-pihak terkait adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum pidana pada umumnya dan khususnya di
dalam
implementasi
dan
me-kanisme
penyelesaian perkara dengan restorative justice 2. Manfaat Praktis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi para praktisi hukum pidana implementasi
dan
khususnya dalam
mekanisme
penyelesaian
perkara dengan restorative justice. D. Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan karya orisinil dari penulis sebagai eksplorasi lebih dalam dan berbeda dari
penelitian-penelitian
sebelumnya.
Konsep
restorative justice dalam penanganan tindak pidana anak pernah dikaji dalam penelitian sebelumnya oleh beberapa
penulis,
namun
pengkajiannya
tersebut
belum sampai pada ranah untuk memahami apa saja alasan-alasan digunakannya pendekatan restorative justice di dalam penanganan tindak pidana anak terutama di dalam proses penyidikan kepolisian. Penelitian
sebelumnya
lebih
mendeskripsikan
mengenai pelaksanaan restorative justice dan kendala13
kendalanya dalam penanganan tindak pidana anak di dalam proses penyidikan. E. Landasan Teori Landasan
teori
pendekatan
(approach)
menerapkan
pendekatan
yang untuk
digunakan
sebagai
menganalisis
restorative
justice
dan dalam
kasus penyelesaian tindak pidana anak adalah teori keadilan restorative, teori hukum progresif dan teori hukum kritis. 1. Teori Keadilan Restorasi Jim Consedine, salah seorang pelopor keadilan restoratif dari New Zealand berpendapat bahwa konsep keadilan reributif dan restitutif yang berlandaskan hukuman,
balas
dendam
terhadap
pelaku,
pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan restoratif yang berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan
korban,
pemaafan dan
integrasi
pengampunan12.
dalam
ma-syarakat,
Nilai-nilai keadilan
memberikan perhatian yang sama terhadap korban dan pelaku. Otoritas untuk menentukan rasa keadilan ada di tangan para pihak bukan pada negara. Mereka tidak mau lagi menjadi korban kedua kali oleh negara dan menentukan derajat keadilan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka seperti dalam keadilan retributif
dan
restitutif.
Considine
mendorong
Fatahillah A. Syukur, 2011, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 16
12
14
penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif yang memi-nimalkan
peran
negara
dan
fokus
pada
pemulihan korban dan pelaku. Consedine mendefinisikan keadilan restoratif sebagai: Crime is no longer defined as an attack on the stage but rather an offence by one person against another. It is based on recognition of the humanity of both offender and victim. The goal of the restorative proccess is to heal the wounds of every person affected by the offence, including the victim and the offender, Option are explored that focus on repairing the damage. (Tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai serangan terhadap negara, tetapi kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Keadilan restoratif berlandaskan pada kemanusiaan kedua belah pihak, pelaku dan korban. Tujuan dari proses restoratif adalah untuk memulihkan luka semua pihak yang disebabkan oleh kejahatan yang di-lakukan termasuk korban dan penjahat. Alternatif solusi dieksplorasi dengan fokus untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan)13
Munculnya keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian sengketa merupakan jawaban dari kritik terhadap kelemahan sistem peradilan pidana yang ada sekarang yakni:
Jim Consedine, 1995, Restorative Justice; Healing the Effects of crime, Lyttelton, Ploughshares Publications, hlm. 11 13
15
a. ketidakefektifan dan kegagalan untuk mencapai tujuannya sendiri yakni perbaikan diri pelaku dan pencegahan tindak kriminal; b. mengambil pusat konflik dari para pihak dan meminggirkan peran mereka; c. kegagalan untuk membuat pelaku bertanggung jawab secara tepat dan berguna dan kurang tanggap terhadap kebutuhan korban; d. ketergantungan
pada
penjatuhan
hukum-an
sebagai balasan terhadap penderitaan akibat kejahatan. dibalas
Sebagai dengan
hasilnya
pen-deritaan
penderitaan
lain
yang
meningkatkan penderitaan dalam masyarakat, bukan menguranginya; e. terpisah secara waktu, ruang dan hubungan sosial
dari
kejahatan
permasalahannya memperngaruhi
dan
yang para
terjadinya
dilakukan,
individu
yang
pengulangan
kejahatan; f. ketergantungan terhadap kontrol sosial formal bukan informal; g. ketidaksensitifan terhadap keragaman budaya dan etnis; h. tidak efisien, terutama terkait dengan lamanya waktu dalam memperoses per-kara; dan i. biaya tinggi dalam makna sosial dan ekonomi.14
Adan Crawford and Tim Newburn, 2001, Youth Offending and Restorative Justice Implementing Reform in Youth Justice, Portland, Willan Publishing, hlm. 20-12
14
16
2. Teori Hukum Progresif Hukum progresif berupa mengubah paradigma legalistik yang sudah terdogma dalam pikiran aparat penegak hukum untuk tidak hanya berpedoman pada teks hukum belaka15. Para penegak hukum harus mengamati dan menyesuaikan dengan perubahan sosial budaya yang terjadi di dalam masyarakat. Gagasan hukum progresif bertolak dari dua komponen basis dalam hukum yaitu hukum dan perilaku. Jadi hukum sebagai peraturan dan hukum sebagai perilaku. Peraturan akan membangun suatu system
hukum
positif
sedangkan
perilaku
atau
manusia akan menggerakan peraturan dan system yang sudah dibangun. Sehingga dapat kita lihat ada peraturan yang tidak berlaku (black letter law, law on paper, law in the book), Hukum hanya menjadi janjijanji dan akan menjadi kenyataan (in action) apabila. ada
campur
tangan
manusia.
Hukum
progresif
berkehendak agar hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif bertumpu pada manusia yang melakukan mobilisasi hukum, maka penegak hukum menjadi faktor penentu bagi lahirnya
hukum
yang
berpihak
pada
keadilan,
ketertiban, kemanfaatan perdamaian. Oleh karena itu perlu ada kebijakan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum untuk mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal. Dalam artian apakah anak Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Kompas, hlm. 154
15
17
apabila berhadapan dengan hukum mesti diproses secara pidana atau tidak? Kalau diproses secara pidana apa parameternya? Kalau tidak juga perlu parametemya.Sesungguhnya apabila ada suatu kasus maka Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Ke-polisian Republik Indonesia . memberikan wewenang
kepada
kepolisian
untuk
menge-luarkan
deskresi. Nonet dan Selnick membedakan tiga keadaan dasar mengenai hukum dasar ma-syarakat yaitu: Pertama, Hukum represif, yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif; Kedua,
Hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu
pranata
yang
mampu
menetralisir
represi
dan
melindungi integritas hukum itu sendiri. Ketiga,
Hukum responsive, yaitu hukum sebagai
suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Hukum responsive terbuka terhadap perubahan-perubahan masyarakat dengan maksud untuk mengabdi pada usaha meringankan beban kehidupan sosial dan mencapai sasaran-sasaran kebijakan sosial, seperti keadilan
sosial,
emansipasi
kelompok-kelompok
sosial yang dikesampingkan dan diterlantarkan, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup. 3. Teori Hukum Kritis Teori
hukum
kritis
juga
bertujuan
meningkatkan kondisi sosial golongan yang lemah (vulnerable) 18
untuk
mendapatkan
akses
keadilan,
termasuk perempuan dan anak. Beberapa konvensi internasional mema-sukkan perempuan dan anak sebagai
ke-lompok
menghadapi
yang
banyak
resiko
lemah dan
karena rentan
selalu
terhadap
bahaya dari kelompok lain.16 Menurut pandangan teori hukum kritis, hukum di Indonesia hanya berpaku pada Undang-Undang tanpa
mempertimbangkan
faktor
sosiologis.
Semestinya hukum tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus ditopang oleh faktor sosiologis. Penegakan hukum di Indonesia tersandera oleh banyaknya aturan hukum tanpa memperdulikan esensi hukum tersebut untuk kepentingan masyarakat. Hukum di Indonesia memenjarakan diri-nya sendiri pada tujuan keadilan dan kepastian hukum tanpa memerdulikan tujuan kemanfaatan. Bangsa ini harus
menyadari
bahwa
hukum
dibuat
untuk
manusia sehingga eksistensi hukum harus benarbenar dimaknai untuk memberikan kemanfaatan bagi seluruh manusia. Penegakan hukum di Indonesia yang tanpa didasari pemahamaman akan filosofi dari tujuan pembuatan terjadinya
hukum disorientasi
itu
sendiri
dalam
menyebabkan
penegakan
hukum.
Disorientasi ini tampak dalam sistem pemidanaan yang hanya mampu memenjarakan orang tetapi tidak mampu mengembalikan keseimbangan dan persatuan Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan: Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Bandung: Refika Aditama, hlm. 3
16
19
di tengah masyarakat yang terganggu akibat suatu tindak pidana. Sudah saatnya pene-gakan hukum di Indonesia dikembalikan kepada orientasi yang benar. Orientasi yang didasarkan pada keseimbangan antara faktor keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Pengembalian penegakan hukum di Indonesia pada orientasi yang benar dapat diawali dengan penerapan restorative justice atau prinsip keadilan restoratif.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode
penelitian
yang
digunakan
untuk
menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan dalam tesis ini yaitu yuridis sosiologis atau Sosio-Legal research, karena permasalahan yang diteliti berkaitan erat dengan realitas sosial dan tingkah laku nyata manusia.17 Penelitian ini mencoba menelusuri secara mendalam
(indepth)
dan
nyata
terhadap
sebuah
fenomena penerapan hukum pidana dari konteks sosial. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat mengungkap sesuatu yang berkaitan erat dengan sifat unit dari realitas sosial dan dunia tingkah laku manusia, sehingga memperoleh gambaran yang jelas yang terkait langsung dengan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana anak.
Ronny Hanintijo Soemitro, 1982. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta hlm. 16
17
20
2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini, yaitu sebagai berikut : a. Pendekatan Kasus (Case Approach) Pendekatan melakukan
kasus
telaah
dilakukan
terhadap
dengan
cara
kasus-kasus
yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi
suatu
putusan
yang
telah
memiliki
kekuatan hukum tetap18. Kasus yang digunakan oleh penulis adalah Berita Acara Pemeriksaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di
Polres
Tegal
yang
diselesaikan
melalui
pendekatan Resto-rative justice seperti tersebut di dalam Latar Belakang Penelitian ini. Kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yang merupakan referensi bagi peneliti sebagai penyusunan argumentasi dalam pemecahan
isu
hukum
pendekatan
restorative
justice dalam pe-nyelesaian tindak pidana anak. b. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach) Pendekatan dengan
Undang-undang
menelaah
semua
dila-kukan
Undang-undang
dan
regulasi yang bersangkut paut dengan kasus yang ditangani. Dalam hal ini penulis menelaah Undangundang
yang
berkaitan
dengan
pendekatan
restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana anak seperti(a) Undang-undang Nomor 2 Tahun Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 94
18
21
2002
tentang
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia; (b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (c) Undangundang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai Perubahan Atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak c. Jenis Bahan Hukum Berkaiatan dengan data yang digunakan dalam penulisan tesis ini, maka bahan hukum yang digunakan antara lain: 1) Bahan Hukum Primer Berikut
ini
undangan
peraturan
yang
perundang-
digunakan
adalah:
(a)Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia; (b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (c) Undang-undang
Nomor
tentang
Sistem
sebagai
Perubahan
11
Peradilan Atas
Tahun
2012
Pidana
Anak
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Sedangkan
Berita
Acara
Peme-riksaan
dalam tindak pidana yang di-lakukan oleh anak yang diselesaikan melalui pendekatan restorative justice digunakan juga sebagai bahan hukum primer
22
2) Bahan Hukum Sekunder Dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan komentar
atas
putusan
pengadilan
yang
terkait dengan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana anak. 3. Metode Analisis Data yang terkumpul akan dianalisis secara yuridis-kualitatif. Analisis yuridis dilakukan karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundangundangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan analisis kualitatif pikir
sistematis
yaitu menggunakan tahapan berguna
menemukan
jawaban
atas
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini yakni
pendekatan
restorative
justice
dalam
penyelesaian tindak pidana anak dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana Terpadu. G. Sistematika Penulisan Bab I
Pendahuluan Dalam
bab
ini
akan
dibahas
tentang latar belakang penelitian, rumusan penelitian,
masalah, manfaat
tujuan penelitian,
keaslian penelitian, lan-dasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
23
Bab II
Tinjauan Pustaka Tinjauan
pustaka
yang
menjadi
acuan analisia penelitian adalah me-ngenai Konsepsi Tindak Pidana Yang
Dilakukan
Anak,
Kepolisian
Negara
Indonesia
dan
Tugas Republik
Pen-dekatan
Restorative Justice Bab III
Hasil Penelitian dan Analisis Dalam Bab III ini, penulis akan menjelaskan secara rinci mengenai ha-sil
penelitian
yakni
analisis
kriteria
pertimbangan-
pertimbangan
digunakannya
pendekatan
restora-tive
justice
system dalam penye-lesaian tindak pidana anak oleh Polres Tegal dan analisis
mengenai
pendekatan
kriteria
restorative
justice
system dalam penyelesaian tindak pidana anak. Bab IV
Penutup Pada Bab IV ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan dari analisis dan saran atau masukan mengenai pertimbangan-pertimbangan diguna-kannya restorative
pendekatan justice
dalam
penyelesaian tindak pidana anak. 24