BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara kepaulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.508 pulau dan dengan bentangan laut yang sangat panjang yaitu 94.166 kilometer merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada (www.finance.detik.com). Hal tersebut merupakan potensi yang besar bagi negara Indonesia khususnya di bidang maritim. Sejalan dengan hal tersebut pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini barulah terdapat wacana Revolusi Maritim Indonesia. Revolusi Maritim di pemerintahan Presiden Jokowi dimulai dengan visi besar membangun “Tol Laut” yang menghubungkan pelabuhan Indonesia bagian barat dengan bagian timur, dari Belawan hingga ke Sorong (Dermaga, Januari 2016:23). Maka saat ini fokus pemerintah adalah membangun infrastruktur pelabuhan dan juga potensi maritim lainnya dengan salah satu tujuan utamanya adalah guna meningkatkan integrasi aliran barang (logistik) nasional. Dengan tercapainya integrasi logistik nasional diharapkan bahwa seluruh aktivitas logistik di Indonesia mulai dari tingkat pedesaan, perkotaan sampai dengan antar wilayah dan antar pulau beroperasi secara efektif dan efisien serta menjadi satu kesatuan yang terintegrasi secara nasional dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang akan membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Salah satu unsur penting untuk mencapai hal tersebut adalah dengan adanya pelabuhan sebagai penyedia sarana dan prasarana kegiatan bongkar muat barang. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor: PM 60 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal, menyebutkan bahwa : “Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang , dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat
berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra- dan antarmoda transportasi” Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa pelabuhan memiliki peran penting dalam rangka penghubung kegiatan distribusi logistik nasional karena perannya sebagai tempat kegiatan bongkar dan muat barang berupa terminal. Pelabuhan merupakan sarana utama dalam pelaksanaan kegiatan bongkar dan muat logistik yang akan didistribusikan ke berbagai daerah di Indonesia dan sebagai tempat keluar masuknya barang dari atau keluar pulau baik dalam skala nasional maupun internasional. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 21 Tahun 2007 tentang Sistem dan Prosedur Pelayanan Kapal, Barang dan Penumpang pada Pelabuhan Laut yang Diselenggarakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kantor Pelabuan, menjelaskan tentang kegiatan bongkar muat barang yakni : “Kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal adalah kegiatan yang meliputi Stevedoring, Cargoing dan Receiving/ Delivery di pelabuhan”. Dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor : PM 60 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal, menyebutkan juga bahwa : “Kegiatan usaha bongkar muat barang merupakan kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan yang meliputi kegiatan : a. stevedoring; b. cargoing; dan c. receiving/ delivery.” Dari kedua penjelasan diatas dikemukakan bahwa untuk melaksanakan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal harus dilakukan di pelabuhan utamanya di terminal dengan fasilitas pendukungnya. Terkait dengan kegiatan bongkar muat barang, dijelaskan pula dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor : PM 60 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal, menjelaskan yakni :
a. Stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/ tongkang/ truk atau memuat barang dari dermaga/ tongkang/ truk ke dalam kapal sampai dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derak kapal atau derek darat. b. Cargodoring adalah pekerjaan melepaskan barang dari tali/ jala-jala (ex tackle) di dermaga dan mengangkut dari dermaga ke gudang/ lapangan penumpukan barang atau sebaliknya. c. Receiving/ Delivery adalah pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/ tempat penumpukan di gudang/ lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di atas kendaraan di pintu gudang/ lapangan penumpukan atau sebaliknya. Dari ketiga pengertian tersebut untuk lebih jelasnya disajikan dalam ilustrasi proses bongkar dan muat sebagai berikut :
Gambar 1.1: Ilustrasi Kegiatan Bongkar Muat Barang di Pelabuhan
Sumber : Situs Resmi PT. Mitra Karunia Samudra www.mikasa.co.id
Gambar diatas merupakan ilustrasi dari kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan yang meliputi kegiatan stevedoring, cargoing dan receiving/ delivery. Untuk memudahkan penjelasan agar menjadi satu rangkaian kegiatan bongkar muat maka, penulis menggunakan sistem transshipment atau alih kapal. Alih Kapal atau Transshipment adalah kegiatan membongkar petikemas dari kapal pengangkut pertama, disusun dan ditumpuk di lapangan penumpukan dan memuat kembali ke kapal pengangkut kedua.
PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam sektor perhubungan dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola Pelabuhan Umum pada 7 (tujuh) wilayah provinsi Indonesia meliputi wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sebagai operator terminal pelabuhan PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) memiliki beberapa bidang usaha yang salah satunya adalah sebagai penyedia dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar dan muat petikemas di terminal petikemas.
Gambar 1.2: Aktifitas Bongkar Petikemas di Terminal Multipurpose Nilam Timur
Sumber : Situs Resmi Majalah Dermaga PT. Pelindo III (Persero) www.majalahdermaga.co.id
Terminal petikemas merupakan fasilitas pendukung pelabuhan yang bergerak dalam hal bongkar muat barang. Pengangkutan dengan menggunakan petikemas memungkinkan barang-barang digabung menjadi satu dalam petikemas sehingga aktivitas bongkar muat dapat dimekanismekan. Hal ini dapat meningkatkan jumlah muatan yang bisa ditangani sehingga waktu bongkar muat menjadi lebih cepat. Sedangkan Petikemas (container) adalah satu kemasan yang dirancang secara khusus dengan ukuran tertentu, dapat dipakai berulang kali, dipergunakan untuk menyimpan dan sekaligus mengangkut muatan yang ada di dalamnya. Keduanya memiliki peran
besar sebagai sarana dalam membantu kegiatan distribusi logistik nasional maupun internasional yang terus berkembang. Berikut adalah grafik arus petikemas dari PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) :
Grafik 1.1: Arus Petikemas PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero)
Sumber : Situs Resmi PT. Pelindo III (Persero) www.pelindo.co.id
Grafik diatas adalah grafik arus petikemas dari PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) dari tahun 2010 sampai dengan 2014. Grafik tersebut disajikan dalam satuan juta TEUs (twenty foot equivalent unit yang merupakan satuan terkecil dalam ukuran petikemas). Arus petikemas PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) selama lima tahun mengalami peningkatan. Dimulai dari tahun 2010 jumlah arus petikemas 3,2 juta TEUs. Pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 3,5 juta TEUs. Pada tahun selanjutnya yakni 2012 terjadi peningkatan dengan jumlah mencapai 3,9 juta TEUs. Peningkatan jumlah juga terjadi pada tahun 2013 yakni menjadi 4,1 juta TEUs dan pada tahun 2014 mengalami peningkatan mencapai jumlah 4,3 juta TEUs. Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah transaksi arus barang selalu mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir utamanya pada jenis petikemas. Hal tersebut berarti kegiatan bongkar dan muat barang terus meningkat seiring dengan permintaan dan pemenuhan logistik nasional.
Hal lain, seiring dengan meningkatnya kegiatan bongkar muat barang tentu terdapat kendala yang menjadi penghambat kegiatan tersebut. Salah satu masalah yang terjadi saat ini adalah tentang kasus dwelling time atau waktu yang dihitung mulai dari suatu petikemas (container) dibongkar dan diangkat (unloading) dari kapal sampai petikemas tersebut meninggalkan pelabuhan. Seperti yang ditemukan saat sidak Presiden Jokowi tanggal 17 Juni 2015 di Pelabuhan Tanjung Priok, dwelling time di Indonesia dinilai masih mengecewakan karena waktunya masih tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.
Grafik 1.2: Perbandingan Dwelling Time di Dunia Tahun 2012
Sumber : Situs Berita Online Kompasiana www.kompasiana.com
Dari grafik diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan pelabuhan terbesar di Indonesia masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Waktu tercepat proses dwelling time adalah di negara Singapura yang hanya memakan waktu 1,5 hari disusul Hongkong selama 2 hari. Kemudian dwelling time di Australia dan Prancis selama 3 hari serta Thailand dan Malaysia memakan waktu 4 hari. Di Amerika dwelling time berlangsung selama 5 hari. Sedangkan di Pelabuhan Tanjung Priok Indonesia dwelling time masih memakan waktu selama 8 hari.
Izzany, Giffrar dkk (2015) dalam makalahnya yang berjudul Makalah Kebijakan Publik Mengenai Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung Priok mengemukakan bahwa : “Dwelling time yang ada di Indonesia masih sangat tertinggal dibandingkan dari beberapa tetangga kita, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. World Bank menyebutkan bahwa kinerja logistik Indonesia diukur dari komponen Logistic Performance Index (LPI) masih belum efisien” Dalam artikelnya yang berjudul Pelindo III Bertekad Tekan Dwelling Time dimuat dalam situs berita online www.antarajatim.com, Slamet Hadi Purnomo menuliskan : “Berdasarkan data, "dwelling time" di sejumlah terminal yang dikelola Pelindo III saat ini bervariasi. Contohnya, di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya selama 4 hari, di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS) 5,8 hari, PT. Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI) Surabaya 5 hari, Terminal Teluk Lamong Surabaya 5 hari dan Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) 5,5 hari “. Dari yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa dwelling time di wilayah PT. Pelindo III (Persero) berkisar kurang lebih selama 5 hari. Angka tersebut tentu dianggap masih tertinggal dibandingkan negara lain. Tidak ada ketetapan pasti mengenai waktu yang menjadi dasar penilaian proses dwelling time di pelabuhan. Namun kecepatan penanganan muatan kapal sejak turun dari kapal hingga keluar pelabuhan juga merupakan indikator daya saing layanan di pelabuhan. Penurunan dwelling time berarti perbaikan layanan dan perbaikan layanan berarti peningkatan daya saing. Lamanya proses dwelling time akan menimbulkan berbagai masalah diantaranya yakni tingginya biaya yang harus dikeluarkan pengusaha yang barangnya masuk dwelling time dan dikhawatirkan pengusaha banyak yang merugi sehingga gulung tikar. Selain itu dengan lamanya barang di gudang mengakibatkan peredaran aliran barang di masyarakat akan terhambat karena barang tertahan yang dapat mengakibatkan tingginya harga barang karena sedikitnya jumlah pasokan barang di masyarakat.
Akar masalah lamanya dwelling time di Indonesia khususnya di Pelabuhan Tanjung Priok dikemukakan oleh Kapolda Metro Jaya Jendral Tito Karnavian, yang dikutip oleh Joko Panji Sasongko dalam artikelnya yang berjudul Sistem Perizinan Ruwet Akar Masalah Bongkar Muat Pelabuhan, menyatakan bahwa: “Akar masalah utama lamanya proses bongkar muat barang (dwelling time) adalah buruknya penerapan sistem administrasi satu atap yang digunakan dalam proses ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta”. Dalam sumber lain yakni, artikel yang berjudul Analisa Dwelling Time, pengamat kegiatan kepelabuhanan Robbi Karsono mengemukakan “Angka Dwelling Time akan turun jika seluruh proses administrasi dilakukan secara elektronik dan penerapan EBPP di setiap instansi…”. Dari kedua pernyataan diatas maka, timbul suatu permasalahan yang lebih spesifik yakni penyebab dari lamanya proses dwelling time salah satunya adalah tentang penerapan sistem administrasi di lapangan yang masih buruk. Hadari Nawawi dan Martini Hadari (1994:28) dalam bukunya Ilmu Administrasi menerangkan bahwa “Administrasi merupakan rangkaian kegiatan atau proses pegendalian cara atau sistem kerja sama sejumlah orang, agar berlangsung efektif dan efisien dalam mewujudkan tujuan bersama”. Pendapat Moekijat (1997:53) yang dikutip oleh Ida Nuraida (2008:43) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Administrasi Perkantoran, mengemukakan bahwa “Kegiatan administrastif kantor harus mempunyai pola kerja yang baik untuk menunjang pencapaian tujuan organisasi…”. Yang dimaksud dengan pola kerja dalam kutipan tersebut adalah adanya prosedur yang baik untuk menunjang kegiatan administrasi kantor yang baik. Dari kedua penjelasan diatas dijelaskan bahwa tujuan dari administrasi adalah agar suatu sistem kerja dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakefektifan administrasi sehingga menghambat tujuan perusahaan antara lain adalah ketidaksesuaian terhadap prosedur atau pola kerja yang dibuat. Dalam bukunya yang berjudul Manajemen Perkantoran Efektif, Maryati (2014:34) menuliskan bahwa:
“Prosedur adalah serangkaian dari tahapan-tahapan atau urut-urutan dari langkah-langkah yang saling terikat dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Untuk mengendalikan pelaksanaan kerja agar efisiensi perusahaan tercapai dengan baik dibutuhkan sebuah petunjuk tentang prosedur kerja”. Selaras dengan pernyataan tersebut maka, prosedur dibuat dengan tujuan untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengendalikan pelaksanaan kerja agar efektif dan efisien. Dengan demikian bentuk permasalahan yang terjadi adalah terkait dengan prosedur pelaksanaan administrasi dari kegiatan bongkar muat barang atau petikemas di pelabuhan. Oleh sebab itu maka, perlulah adanya kejelasan mengenai prosedur pelaksanaan administrasi bongkar muat barang atau petikemas di pelabuhan dan hambatan di dalamnya. Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengetahui prosedur pelaksanaan administrasi bongkar muat barang atau petikemas di pelabuhan, hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan prosedur administrasi bongkar muat barang atau petikemas di pelabuhan dan cara yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut khususnya pada PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) maka, dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis memilih judul : “PROSEDUR PELAKSANAAN ADMINISTRASI BONGKAR DAN MUAT PETIKEMAS DENGAN SISTEM ALIH KAPAL (TRANSSHIPMENT) PADA PT. PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO) SURABAYA”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan yang akan menjadi pokok pembahasan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana prosedur pelaksanaan administrasi bongkar dan muat petikemas menggunakan sistem alih kapal (transshipment) pada PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) Surabaya ? 2. Apa hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan administrasi bongkar dan muat petikemas menggunakan sistem alih kapal (transshipment) pada PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) Surabaya ?
3. Bagaimana cara untuk mengatasi hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan administrasi bongkar dan muat petikemas menggunakan sistem alih kapal (transshipment) pada PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) Surabaya ?
C. Tujuan Pengamatan
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Operasional a. Untuk mengetahui dengan jelas proses di lapangan pelaksanaan kegiatan bongkar dan muat petikemas dengan menggunakan sistem alih kapal (transshipment) pada PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) Surabaya. b. Untuk mendeskripsikan secara jelas tentang prosedur pelaksanaan administrasi bongkar dan muat petikemas dengan menggunakan sistem alih kapal (transshipment) pada PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) Surabaya. c. Untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan administrasi bongkar dan muat petikemas dengan menggunakan sistem alih kapal (transshipment) pada PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) Surabaya. d. Untuk mengetahui cara mengatasi hambatan dalam pelaksanaan administrasi bongkar
muat
petikemas
dengan
menggunakan
sistem
alih
kapal
(transshipment) pada PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) Surabaya. 2. Tujuan Fungsional Untuk memberikan masukan yang positif, sehingga dapat berguna bagi PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero), khususnya dalam mengatasi hambatan dalam pelaksanakan administrasi bongkar dan muat petikemas dengan menggunakan sistem alih kapal (transshipment). 3. Tujuan Individual Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh sebutan Ahli Madya pada Program Diploma III Manajemen Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Pengamatan
Berdasarkan uraian diatas, maka manfaat yang diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Memberikan pengetahuan dan gambaran yakni mengetahui prosedur, hambatan dan cara mengatasi hambatan pelaksanaan administrasi bongkar dan muat petikemas dengan menggunakan sistem alih kapal (transshipment) yang dapat digunakan penulis untuk bekal di dunia kerja nanti. 2. Sebagai informasi bagi masyarakat maupun pihak-pihak yang akan melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan proses bongkar dan muat petikemas dengan menggunakan sistem alih kapal (transshipment) khususnya di PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) Surabaya. 3. Hasil pengamatan ini dapat dijadikan masukan dan evaluasi kerja perusahaan yakni PT. Pelabuhan Indonesia III (Persero) maupun pihak yang terkait dalam melaksanakan proses administrasi maupun pelaksanaan kegiatan bongkar dan muat petikemas dengan menggunakan sistem alih kapal (transshipment) supaya tertib administrasi sehingga tidak terjadi permasalahan yang menghambat proses prosedural kegiatan tersebut.