BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tahun 2008 sebagai tahun Sanitasi Internasional dan tanggal 15 Oktober ditetapkan sebagai Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia (HCTPS). Tema HCTPS 2008 adalah “Tangan Bersih Selamatkan Kehidupan”. Visi utama dari kampanye HCTPS adalah terbentuknya budaya cuci tangan dengan sabun, baik di tingkat lokal, nasional, bahkan global. Semakin luas budaya mencuci tangan dengan sabun, diharapkan bisa mengurangi tingkat kematian balita pada tahun 2015 hingga 70%. Indonesia merupakan salah satu dari 70 negara di dunia yang berkomitmen untuk berperan serta melakukan cuci tangan pakai sabun (CTPS) secara serentak (Depkes, 2008a; Depkes, 2009a). Menurut laporan World Health Organization (WHO), Unicef Joint Monitoring, hanya separuh penduduk Indonesia yang memiliki akses pada sanitasi yang memadai, di desa bahkan hanya 1/3nya. Hal ini menyebabkan anak-anak rentan terhadap diare dan penyakit yang ditularkan melalui air. Studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006 tentang persepsi dan perilaku masyarakat Indonesia terhadap kebiasaan CTPS menemukan bahwa baru 12% yang melakukan CTPS setelah buang air besar, 14% sebelum makan, 9% setelah menceboki anak dan 6% sebelum menyiapkan makanan (Kemenkes, 2010a; Kemenkes, 2012a). Penelitian di Angolela (Basona Werena) Ethiopia menunjukkan bahwa hanya 52% siswa yang mempunyai pengetahuan
tentang kebersihan
perorangan dengan baik (Vivas dkk., 2010), dan hanya 33,6% siswa SD di Bogota yang melakukan CTPS (Lopez-Quintero dkk., 2009). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, menunjukkan bahwa perilaku cuci tangan masyarakat Indonesia masih rendah. Demikian pula pada anak usia sekolah dasar, baru sekitar 17% yang melakukan CTPS dengan benar (Gambar 1).
1
Gambar 1. Persentase usia dengan perilaku CTPS yang benar di Indonesia 2007 Sumber
: Depkes 2008. Riskesdas 2007
Hasil yang lebih baik terlihat setelah dicanangkannya Hari Cuci Tangan Pakai Sabun sedunia pada 15 Oktober 2008. Kajian Morbiditas diare (2010) Direktorat
Pengendalian
Penyakit
Menular
Langsung
Kemenkes
RI,
menyatakan bahwa berbagai kampanye, sosialisasi dan advokasi melalui HCTPS selama beberapa tahun terakhir mampu meningkatkan kebiasaan cara mencuci tangan dengan benar. Hasil pencapaian kebiasaan cuci tangan yang benar pada 5 waktu kritis, adalah : sebelum makan sebesar 35,6%, sebelum menyusui 52,12%, sebelum menyiapkan makan 52,88%, setelah buang air besar (BAB) 65,15%, dan setelah menceboki bayi 62,26%. Sementara, berdasarkan data indeks pembangunan kesehatan masyarakat (IPKM) tahun 2010, persentase penduduk Indonesia yang berperilaku benar dalam melakukan CTPS secara rata-rata nasional baru 24,3% (Kemenkes, 2011c; Pamsimas, 2011). Mencuci tangan pakai sabun adalah kebiasaan yang sederhana untuk menjaga kesehatan. Merupakan satu cara paling efektif untuk mencegah penyakit yang ditularkan melalui tangan. Mencuci tangan memakai sabun akan mengurangi jumlah mikroorganisme dari tangan. Di samping itu, CTPS
2
merupakan intervensi kesehatan yang tidak membutuhkan biaya mahal (Depkes, 2009a). Fewtrell dkk. (2005) dalam metaanalisisnya terhadap lebih dari 30 penelitian menemukan bahwa cuci tangan pakai sabun dapat mengurangi angka penderita diare hingga 50%. Mencuci tangan tanpa menggunakan sabun dapat memangkas 30% angka penderita diare, dan 43-47% apabila mencuci tangan disertai penggunaan sabun (Curtis & Cairncross, 2003; Ejemot dkk., 2008). Cuci tangan pakai sabun juga dapat mengurangi pernafasan akut (ISPA)
kejadian infeksi saluran
sebesar 16% (Rabie & Curtis, 2006), bahkan di
Pakistan hingga 50% (Luby dkk., 2005). Penyakit infeksi lain yang umumnya menyerang usia anak-anak juga mengalami penurunan kejadian, seperti kasus kecacingan (Fung & Craincross, 2009) dan infeksi mata (Emerson dkk., 2000). Diare dan pneumonia merupakan penyebab kematian utama pada bayi (31,4% dan 23,8%) dan balita (25,2% dan 15,5%). Survei morbiditas Departemen Kesehatan RI, menunjukkan bahwa pada tahun 2010 sekitar 411 di antara 1.000 penduduk Indonesia terkena diare (Kemenkes RI, 2011b). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menyatakan bahwa Jawa Tengah (9,2%) merupakan salah satu provinsi yang mempunyai prevalensi diare yang
lebih tinggi dari standar nasional (9%). Prevalensi diare lebih
banyak terjadi di pedesaan, pada kelompok pendidikan rendah dan masyarakat yang bekerja sebagai petani, nelayan dan buruh (Depkes, 2008).
Tabel 1. Angka kesakitan diare Kabupaten Magelang Kabupaten Magelang
Prov. Jawa Tengah
No
Tahun
1
2008
24.321
20,18
18,60
2
2009
26.781
22,01
19,50
3
2010
38.363
32,46
18,88
Kasus baru diare
Angka kesakitan*
Angka kesakitan*
Keterangan : * = per 1000 penduduk
3
Sumber
: Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang (2009-2011)
Berdasarkan data profil tahunan, Kabupaten Magelang mempunyai angka kesakitan diare yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan angka kesakitan diare Jawa Tengah (Tabel 1). Pada tahun 2011, Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) melaporkan adanya kejadian luar biasa (KLB) diare dengan 64 korban dan 45 orang di antaranya dirujuk ke RS setempat. Selama tahun 2011, di Kabupaten Magelang terdapat 33.449 kasus diare dengan angka kesakitan (Incidence rate = IR) sebesar 28,07/1.000. Tidak terjadi kasus kematian karena diare (Case fatality rate = 0%), yang menunjukkan bahwa penanganan kasus diare sudah cukup baik (Dinkes Kab. Magelang, 2012). Beberapa penyakit infeksi lain yang penularannya dapat dicegah dengan CTPS belum menunjukkan penurunan angka kesakitan yang cukup bermakna. Data dari pusat informasi dan manajemen kesehatan (PIMK) Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang melaporkan bahwa ISPA merupakan kasus terbanyak di Kabupaten Magelang (Gambar 2).
Gambar 2. Kasus penyakit infeksi di Kabupaten Magelang
4
Pemeriksaan tinja terhadap siswa SD yang dilakukan Bidang Kesehatan lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang pada tahun 2011 di beberapa puskesmas menemukan bahwa kejadian kecacingan adalah 3-13%, dengan kecenderungan kejadian yang lebih tinggi pada sekolah-sekolah yang terletak di daerah pedesaan (rural). Terdapat 2 kasus flu burung pada manusia dengan 1 kasus kematian (CFR = 50%), yang terjadi pada anak-anak. Mencuci tangan yang benar adalah dengan menggunakan air bersih yang mengalir dan memakai sabun. Kegiatan CTPS merupakan salah satu indikator PHBS di sekolah. Peringatan HCTPS 2010 mengangkat subtema ”Cuci Tangan Pakai Sabun, Perilaku Sederhana Berdampak Luar Biasa”, mengedepankan pentingnya melibatkan anak-anak pada kelompok usia sekolah dalam melakukan promosi kesehatan CTPS (Kemenkes, 2010b). Berbagai penyakit infeksi dapat ditularkan saat berada di sekolah. Lebih dari itu, usia sekolah dasar bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai penyakit (Depkes, 2007). Usia sekolah merupakan masa keemasan untuk menanamkan perilaku hidup bersih dan sehat. Siswa sekolah dasar telah mempunyai kemampuan untuk belajar, dan berpikir realistis dan relatif lebih mudah untuk mengajarkan perilaku, sehingga berpotensi pembawa pesan yang efektif baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya. Sebuah penelitian di Bondo, Kenya dengan menggunakan teori actionoriented and participatory pada 40 siswa SD, menunjukkan hasil bahwa siswa SD yang telah dilatih, dapat membagi informasi yang telah diterimanya tentang tentang malaria, diare dan kebersihan diri kepada teman sekolah dan keluarganya. Penelitian selama 14 bulan tersebut menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan dan perilaku kesehatan pada responden, terutama pada anak-anak ( Oyango-Ouma dkk., 2005). Pendidikan promosi kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku CTPS anak sekolah. Penggunaan metode ceramah, demonstrasi dan latihan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan intensi perilaku anak sekolah tentang CTPS di Jambi. Namun, penggunaan media leaflet dalam penelitian yang sama menunjukkan hasil yang berbeda (Khairani, 2008).
5
Metode ceramah, praktik, didukung dengan media poster yang diletakkan di atas tempat cuci tangan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan kebiasaan CTPS anak sekolah dasar di North Zealand, Denmark (Nandrup-Bus, 2009). Potensi anak sekolah yang besar, baik sebagai generasi penerus bangsa, sebagai agen perubahan, serta jumlah anak sekolah yang besar dan tersebar di berbagai daerah menjadikan promosi kesehatan pada anak sekolah merupakan langkah strategis dalam tujuannya untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat pada masyarakat luas. Peningkatan kesadaran anak sekolah dalam cuci tangan menggunakan sabun, sehingga membudaya, perlu dilakukan dengan cara demonstrasi dan praktik cuci tangan secara teratur dan terusmenerus agar pemahaman dapat sejalan dengan praktik (Depkes, 2009a). Lau dkk. (2012) menyarankan penyampaian pesan setiap 2 bulan sekali walaupun singkat, akan menjadikan suatu kebiasaan (Depdiknas, 2007). Dalam menghadapi meningkatnya jumlah penderita beberapa penyakit infeksi, Dinas Kesehatan dan jajaran di bawahnya melakukan beberapa upaya penanggulangan. Upaya di bidang promosi kesehatan di antaranya adalah dengan pembinaan PHBS di berbagai tatanan masyarakat, salah satunya adalah pembinaan CTPS di tatanan sekolah. Dalam pelaksanaannya, CTPS di sekolah belum dapat dilakukan secara maksimal. Kabupaten Magelang memiliki luas 1.085,73 km², jauh lebih luas bila dibandingkan dengan Kota Magelang (18,12 km²) dan Kota Yogyakarta (32,5 km²). Memiliki 21 kecamatan dengan 367 desa dan 5 kelurahan. Keadaan geografisnya bervariasi, dari dataran hingga pegunungan. Lebih dari 80% luas wilayahnya merupakan lahan pertanian yang subur. Hal ini tak lepas karena keberadaan gunung berapi yang mengelilinginya (BPS Kab. Magelang, 2012a). Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang mengkoordinir 29 puskesmas induk, dengan 3 di antaranya merupakan puskesmas rawat inap. Tiga puskesmas telah memiliki petugas promosi kesehatan dengan jabatan penuh, selebihnya adalah tenaga kesehatan lain yang mendapat tugas tambahan sebagai petugas promosi kesehatan.
6
Kejadian diare di Kabupaten Magelang memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian di Provinsi Jawa Tengah. Data dari pengelola program Diare dan ISPA Kabupaten Magelang menunjukkan bahwa beberapa kecamatan memiliki kasus diare dan ISPA balita yang tinggi, salah satunya adalah Kecamatan Sawangan. Kecamatan Sawangan terletak di lereng Gunung Merapi, terdiri atas 15 desa dengan luas 70 km². Struktur tanah bervariasi dari datar, bergelombang, curam, hingga sangat curam. Lebih dari 80% luas Kecamatan Sawangan merupakan lahan pertanian. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian dengan menggunakan pestisida, pupuk kimia, dan juga pupuk alami yang sering diletakkan di pinggir jalan. Hampir setiap penduduk mempunyai hewan peliharaan, baik sapi, kerbau, kambing, maupun berbagai macam unggas yang seringkali ditempatkan bersatu dengan rumah induk . Akses rumah tangga terhadap air bersih menggunakan mata air terlindung (83,46%),
ledeng
(5,61%), dan mata air tak terlindung (5,42%). Dari 15.466 kepala keluarga (KK), baru 56,6% yang memiliki jamban sendiri (BPS Kab. Magelang, 2012b), adapun di Kab. Magelang kepemilikan jamban sudah sebesar 87,4% (Dinkes Kab. Magelang, 2012). Terdapat 28 SD negeri dan 3 SD swasta yang tersebar di seluruh desa. Sarana kesehatan terdiri dari 2 puskesmas induk, 3 puskesmas pembantu, dan 11 poskesdes. Dalam pengamatan peneliti, masih banyak rumah tangga yang belum menyediakan sabun di dekat jamban. Wawancara sederhana terhadap beberapa murid SD di Sawangan mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka telah melakukan aktivitas cuci tangan dalam kegiatan kritis, akan tetapi lebih dari 50% belum menggunakan sabun. Keberadaan sabun telah ada di tiap rumah, umumnya digunakan untuk mandi, mencuci baju dan peralatan dapur. Metode ceramah sering digunakan dalam penyampaian materi belajar demikian pula pada kegiatan promosi kesehatan. Ceramah kesehatan bersifat ekonomis,
efektif
dalam
penyampaian
informasi,
namun
seringkali
membosankan. Agar lebih bersifat mendidik ceramah harus dikombinasi dengan metode lain seperti tanya jawab yang efektif, peragaan, permainan, atau
7
alat bantu pandang seperti leaflet, poster, film sebagai media pengajaran (Depkes, 2002; WHO,1992). Media yang sering digunakan dalam promosi kesehatan adalah media cetak leaflet dan poster, akan tetapi jumlahnya sangat terbatas. Sebagian besar SD tidak mendapat leaflet dan poster tersebut. Hasil wawancara dengan Kasi Pembinaan
Kepemudaan dan Kesiswaan Disdikpora Kabupaten Magelang,
baru sekitar 20% SD yang mempunyai peralatan audiovisual elektronik dan tidak semuanya dalam kondisi baik. Hal ini menyebabkan kegiatan promosi kesehatan dengan media elektronik belum banyak dilakukan di SD. Promosi kesehatan CTPS yang dilakukan oleh puskesmas pada umumnya menggunakan metode ceramah saja atau ditambah dengan demonstrasi maupun media flyer. Leaflet dan flyer (hand out) merupakan media below the line yang mempunyai kelebihan, yaitu fokus pada sasaran yang lebih spesifik sehingga informasi bisa dicapai dengan biaya yang lebih efisien dan efektif (Triadi & Bharata, 2010). Hand out memuat informasi berupa kalimat, gambar atau kombinasinya dan memiliki
fungsi edukasi, sehingga sering digunakan
sebagai penunjang dalam ceramah. Manfaat hand out sangat ditentukan oleh cara penggunaannya (Egger dkk., 1995). Leaflet merupakan salah satu media cetak untuk menyampaikan informasi kesehatan melalui lembaran yang dilipat (Sadiman dkk., 2010). Adapun flyer (selebaran) berbentuk seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk lipatan (Mahfoedz dkk., 2008). Komunikasi
kesehatan
yang
efektif
umumnya
menggabungkan
beberapa metode (WHO,1992). Simulasi merupakan penyederhanaan realita yang mencerminkan situasi sebenarnya dan bersifat operasional (Sadiman dkk., 2011). Simulasi memungkinkan adanya pelatihan keterampilan dengan biaya dan risiko yang rendah. Metode simulasi akan memperjelas metode demonstrasi, di mana sasaran hanya melihat peragaan suatu keterampilan atau prosedur yang tengah dipelajari (Smaldino dkk., 2012). Wawancara sederhana pada beberapa kelompok siswa dari SD yang berbeda-beda, sebagian besar (80%) mengatakan bahwa mereka belum pernah dilatih untuk melakukan kegiatan CTPS. Sebagian lagi mengatakan bahwa
8
mereka pernah dilatih beberapa tahun yang lalu, tetapi mengaku lupa atau kurang sempurna dalam mempraktikkan teknik cuci tangan yang benar. Upaya
untuk
meningkatkan
dan
mempertahankan
peningkatan
pengetahuan, sikap, dan kebiasaan CTPS anak sekolah memerlukan kerja sama dari berbagai sektor. Disdikpora Kabupaten Magelang berencana memberi aturan untuk melaksanakan kegiatan CTPS setiap hari di SD. Nandrup-Bus (2009) membuktikan bahwa aturan untuk melaksanakan CTPS pada waktuwaktu tertentu di sekolah dapat meningkatkan kepatuhan anak sekolah untuk melakukan CTPS. Pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan (penjasorkes) yang dilakukan seminggu sekali dapat dimanfaatkan sebagai sarana edukasi CTPS. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang promosi kesehatan cuci tangan pakai sabun (CTPS) melalui pendidikan kesehatan dengan metode ceramah interaktif menggunakan media leaflet, demonstrasi, dan simulasi, yang kemudian ditunjang dengan aturan untuk melakukan CTPS di sekolah setiap seminggu sekali dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan cuci tangan memakai sabun pada anak sekolah. Selain itu, metode dan media yang dipilih diharapkan dapat mempertahan pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan siswa yang telah dicapai. Diharapkan, kebiasaan CTPS pada siswa sekolah akan bermanfaat bagi diri dan kemudian bagi keluarga, dan lingkungannya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ‘Bagaimanakah perbedaan promosi
kesehatan melalui
pendidikan kesehatan (metode ceramah interaktif dengan media leaflet, demonstrasi dan simulasi) disertai peraturan untuk melakukan CTPS seminggu sekali di sekolah, dibandingkan dengan pendidikan kesehatan (metode ceramah interaktif dengan flyer dan demonstrasi) tanpa peraturan untuk melakukan
CTPS di sekolah, terhadap
perubahan pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan siswa SD terkait dengan CTPS?’
9
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui pengaruh promosi kesehatan melalui pendidikan kesehatan (metode ceramah interaktif dengan leaflet, demonstrasi, simulasi CTPS) yang disertai peraturan untuk melaksanakan CTPS seminggu sekali di sekolah dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan siswa sekolah dasar terhadap kegiatan CTPS, di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. 2. Tujuan khusus a. Memperoleh gambaran pengaruh promosi kesehatan CTPS melalui peendidikan kesehatan (metode ceramah interaktif dengan leaflet, demonstrasi, dan simulasi), yang disertai dengan peraturan dari sekolah untuk melaksanakan CTPS seminggu sekali terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan siswa sekolah dasar dalam CTPS di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. b. Memperoleh gambaran pengaruh promosi kesehatan CTPS dengan pendidikan kesehatan (metode ceramah interaktif dengan flyer dan demonstrasi) tanpa peraturan untuk melaksanakan CTPS di sekolah, terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan siswa sekolah dasar dalam CTPS di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. c. Mengetahui perbedaan pengaruh kegiatan promosi kesehatan CTPS antara : 1) pendidikan kesehatan (metode ceramah interaktif dengan leaflet, demonstrasi dan simulasi) dengan aturan dari sekolah untuk melaksanakan praktik CTPS seminggu sekali, dengan 2) Pendidikan kesehatan (metode ceramah interaktif dengan flyer, demonstrasi) tanpa peraturan untuk melaksanakan CTPS di sekolah, terhadap peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan siswa sekolah dasar dalam CTPS di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
10
D. Manfaat Penelitian
1. Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan CTPS, serta menanamkan salah satu dari nilai-nilai PHBS sejak dini pada siswa SDN Kapuhan 1 dan SDN Sawangan 1, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. 2. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, khususnya Bidang Promosi Kesehatan
dan Bidang
Kesehatan lingkungan di Dinas Kesehatan Magelang, Puskesmas Sawangan, dan Puskesmas sewilayah Kabupaten Magelang dalam menggunakan media dan metode pada program CTPS. 3. Dinas pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Magelang beserta jajaran Unit Pelaksana Teknis, Kepala Sekolah, guru dan siswa sekolah dasar, dengan penelitian ini dapat menambah pemahaman dan menjadi salah satu masukan dalam upaya budaya CTPS di sekolah. 4. Semua pihak, dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan masukan untuk mengambil kebijakan maupun sebagai masukan untuk meneliti lebih lanjut agar promosi kesehatan CTPS dapat menjadi budaya masyarakat dan pada akhirnya dapat meningkatkan derajat kesehatan, khususnya di Kabupaten Magelang. 5. Bagi peneliti, merupakan proses pembelajaran dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian ilmiah. E. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian tentang peningkatan pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, perilaku dan penggunaan media, metode promosi kesehatan yang pernah dilakukan di antaranya adalah : 1. Vivas dkk. (2010) dengan penelitian secara cross sectional
berjudul
Knowledge, Attitudes, and Practices (KAP) of Hygiene among School Children
11
in Angolela, Ethiopia. Studi tersebut bertujuan untuk mengetahui hubungan antara KAP kebersihan diri siswa SD dengan risiko terjadinya kecacingan. Persamaan dengan penelitian ini adalah membahas pengetahuan, dan praktik tentang CTPS pada siswa SD. Adapun
perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan ini adalah menggunakan metode eksperimen semu dengan menilai juga pengaruh penerapan peraturan CTPS di sekolah. 2.
Mauliyanti (2012) yang melakukan penelitian tentang pendidikan kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan terhadap filariasis di Kabupaten Aceh Besar mengemukakan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku dapat meningkat dengan menggunakan metode diskusi interaktif dan audiovisual. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah pendidikan dan pengaruhnya pada pengetahuan, dan perilaku subjek. Perbedaannya adalah metode yang digunakan adalah diskusi interaktif dan audiovisual, sedangkan penelitian ini menggunakan metode ceramah interaktif, demonstrasi, simulasi serta penerapan aturan dari sekolah.
3.
Khairani (2009), meneliti efektivitas promosi kesehatan cuci tangan pakai sabun dengan media leaflet, dibandingkan dengan metode ceramah dan demonstrasi terhadap peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku pada siswa SD di Jambi. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah meneliti tentang CTPS pada siswa SD, sedangkan perbedaannya pada metode yang digunakan.
Penelitian
ini
menggunakan
metode
ceramah
interaktif,
demonstrasi, simulasi dan aturan untuk pembiasaan CTPS seminggu sekali. 4.
Nandrup-Bus (2009), yang meneliti tentang perintah untuk melakukan cuci tangan di sekolah yang dapat mengurangi ketidakhadiran siswa karena penyakit infeksi pada murid SD. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini adalah tentang CTPS dengan subjek siswa SD. Perbedaannya terletak pada metode yang digunakan. Penelitian Nandrup dengan metode mencuci tangan memakai sabun 3 kali sehari dan tujuan penelitian adalah tentang hubungan kepatuhan pelaksanaan CTPS di sekolah dengan absensi siswa. Penelitian yang dilakukan ini tentang perubahan pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan serta pembiasaan yang dilakukan sekali dalam seminggu.
12