perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Era modern membawa banyak sekali manfaat bagi kehidupan umat manusia. Banyak aktivitas yang menjadi lebih mudah untuk dilakukan berkat segala bentuk penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan zaman tersebut turut memacu manusia untuk semakin berkembang, bersaing dengan waktu. Persaingan yang begitu ketat diantara umat manusia pada akhirnya, baik disadari atau tidak, justru berdampak pada semakin curamnya kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat. Tuntutan hidup yang terus meningkat secara tidak langsung memaksa manusia, baik yang kaya dan yang miskin sekalipun, agar memiliki kemampuan dan daya saing sehingga mampu mengikuti tuntutan hidup tersebut tidak lain agar dapat memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik, atau setidak-tidaknya agar dapat tetap bertahan hidup. Pada kenyataannya, tidak semua orang mampu bersaing, entah karena faktor kebodohan, kekurangan secara fisik, kurangnya etos kerja, sikap apatis, dan faktor-faktor lainnya. Segala macam hambatan yang ada dalam persaingan tersebut kemudian membuat banyak pihak lebih memilih jalan pintas untuk mempertahankan kehidupannya. Kejahatan dilakukan sebagai suatu cara yang bisa dilakukan oleh pihakpihak tertentu untuk menjaga eksistensinya di tengah-tengah masyarakat. Kejahatan itu sendiri memiliki berbagai macam bentuk. Kejahatan yang paling mudah terlihat dan mudah ditemukan misalnya seperti pencurian, perampokan, pembobolan, penganiayaan, dan sebagainya. Kejahatan tidak hanya terbatas pada bentuk-bentuk tindakan yang dapat merugikan orang lain secara langsung maupun melukai secara fisik saja. Ada bentuk kejahatan yang tidak bisa begitu saja diketahui, dilakukan bukan dengan menggunakan kekuatan fisik, namun kerugian yang dapat ditimbulkan justru bisa lebih besar, pelakunya pun commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
biasanya berasal dari kalangan intelek. Bentuk kejahatan semacam ini disebut dengan white collar crime. Istilah white collar crime pertama kali diungkapkan oleh Edwin H. Sutherland tahun 1939. Ia merumuskan white colar crime sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by person of respectability and high social status in the course of their occupation). Di dalam perumusannya ini, Shuterland berusaha merombak teori tentang perilaku kriminal tradisional yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan adalah orangorang dari kelas sosial dan ekonomi dan rendah1. Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berkedudukan sosial tinggi ini tentu berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kriminal tradisional, yaitu dengan lebih banyak mengandalkan otak daripada otot, mengingat pelaku kejahataanya adalah orang yang berpendidikan. Salah satu bentuk kejahatan kerah putih yang populer adalah tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kriminalisasi terhadap suatu bentuk tindak kejahatan tentu disertai dengan disusunnya suatu aturan perundang-undangan, dan di Indonesia undang-undang yang mengatur tetang TPPU adalah UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kejahatan ini sedikit berbeda dengan kejahatankejahatan lainnya, karena pencucian uang baru dapat terjadi apabila sudah didahului dengan suatu bentuk kejahatan lainnya (harus ada predicate offense atau core crime). Money laundering bisa disebut sebagai “dampak” dari suatu kejahatan, yaitu supaya uang hasil kejahatan itu tidak memicu munculnya kecurigaan dari aparat penegak hukum. Uang yang dimaksud disini adalah hasil dari tindak pidana, yang selanjutnya “dicuci” untuk menyamarkan jejaknya. Ada berbagai macam bentuk kejahatan yang bisa menjadi tindak pidana asal (predicate offense atau core crime) dari pencucian uang. Hal ini diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) 1
Ningrum N. Sirait, Pidana Korporasi dan Persoalan Hukumnya, terdapat dalam commit to user http://acch.kpk.go.id/documents/10157/828035/Ningrum+N.+Sirait-Pidana+Korporasi.pdf diakses pada tanggal 9 November 2014 jam 18:01 WIB.
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Diantara 25 bidang yang bisa menjadi core crime TPPU menurut Pasal tersebut, beberapa diantaranya ialah korupsi, penyuapan, narkotika, terorisme, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, prostitusi. Selain ke-25 bidang yang disebutkan secara jelas, poin ke-26 menyebut bahwa hasil tindak pidana juga dapat diperoleh dari tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih menurut hukum Indonesia2. Alasan yang menjadikan tindak pidana pencucian uang berbeda dengan tindak pidana lainnya bukan hanya karena eksistensinya yang baru bisa muncul apabila ada tindak pidana lain yang mendahului, namun juga karena adanya sistem pembalikan beban pembuktian yang dapat diterapkan pada penanganan perkara ini. Pemberlakuan sistem semacam ini juga dapat ditemukan dalam penanganan kasus korupsi, bahkan diatur sedikit lebih lengkap di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada penanganan terhadap tindak pidana lainnya, yang memiliki beban pembuktian hanyalah penuntut umum, yang harus mempersiapkan bukti-bukti secara akurat untuk meyakinkan hakim bahwa memang terdakwa bersalah. Namun untuk perkara korupsi dan pencucian uang, seorang terdakwa turut membuktikan di muka persidangan bahwa dirinya tidak bersalah, yaitu dengan membuktikan asal-usul harta kekayaan yang ia miliki. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana3.” Sistem pembalikan beban pembuktian yang berlaku di Indonesia bukanlah sistem pembalikan beban pembuktian murni, artinya beban pembuktian bukan sematamata hanya berada pada terdakwa saja, namun penuntut umum juga tetap 2
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 3 commit to 2010 user tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tindak Pidana Pencucian Uang
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memiliki kewajiban untuk melakukan pembuktian, sehingga sistem pembalikan beban pembuktian yang berlaku di Indonesia adalah sistem pembalikan beban pembuktian berimbang. Dalam rangka penanganan perkara tindak pidana pencucian uang, pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum dan terdakwa tentu dilandaskan pada motivasi yang berlainan atau bertentangan. Penuntut umum wajib membuktikan bahwa terdakwa benar bersalah sebagaimana telah didakwakan, dan berusaha meyakinkan hakim agar memiliki pandangan yang sama dengan penuntut umum. Sebaliknya, terdakwa diberi perintah oleh hakim agar membuktikan secara aktif, yakni dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup, bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukanlah berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang4. Modus operandi dalam melakukan pencucian yang terus berubah dan berkembang seiring berjalannya waktu, prakteknya menjadi semakin kompleks dengan memanfaatkan segala bentuk kemajuan teknologi yang ada, yang membuatnya menjadi semakin rumit. Hal ini terjadi pada semua tahapantahapan pencucian uang, yaitu placement, layering, dan integration. Segala tahapan dalam tindak pidana pencucian uang tersebut membuat penanganan tindak pidana pencucian uang menjadi semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity bulding) dari aparat penegak hukum secara sistematis dan berkesinambungan5. Hukum pada hakikatnya memiliki fungsi untuk membawa kebaikan bagi umat manusia, yakni pihak yang menciptakan hukum itu sendiri. Hukum adalah alat yang diciptakan untuk mengatur dan mengangkat harkat martabat manusia itu melalui pencapaian nilai keadilan, untuk mengayomi manusia-
4
Pasal 78 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 5 commit to userUang di Pasar Modal, Ghalia Indonesia, Ivan Yustivianda, dkk, Tindak Pidana Pencucian Bogor, 2010, hlm. 46-48
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manusia yang terhimpun sebagai suatu masyarakat6. Manusia sebagai makhluk sosial, mau atau tidak haruslah tetap hidup berdampingan dengan manusiamanusia lainnya, sehingga terbentuk suatu lingkungan masyarakat. Manusia hidup saling membutuhkan satu sama lain, namun di dalam relasi tersebut seringkali timbul konflik yang dapat menyebabkan perpecahan dan perbuatanperbuatan yang dapat saling merugikan. Keadaan semacam ini menunjukkan bahwa manusia memerlukan suatu batasan atau aturan, yang dikenal sebagai hukum itu sendiri, agar masing-masing individu dapat mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat tanpa saling mengganggu satu dengan yang lainnya. Artinya, manusia menggunakan hukum demi keadilan. Ada sebuah ungkapan seorang filsuf Yunani yang hidup sebelum masa Socrates, yakni pada tahun 630-555 sebelum Masehi, yang bernama Solon, menggambarkan suatu keadaan sebagaimana yang terjadi di masa sekarang. Ungkapan tersebut adalah: “Laws are like spider’s webs, if some poor weak creature come up againts them, it is cauhgt. But a bigger one can break through and get away7.” Perumpaman ini menyadarkan kita betapa pelaksanaan hukum di negara kita tidak jauh berbeda seperti sarang laba-laba. Ketika ada sebuah makhluk kecil yang lemah yang naik dan masuk ke jaring laba-laba, maka makhluk itu tentu akan tertangkap dan terjerat di dalamnya, namun akan berbeda apabila yang masuk ke jaring tersebut adalah suatu makhluk yang lebih besar, maka ia akan dapat melewatinya dan berlalu begitu saja. Perumpamaan yang disampaikan oleh Solon ini hampir sama dengan ungkapan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat kecil yang tanpa jabatan dan tingkat pendidikan ala kadarnya, seringkali dengan begitu mudah terpakas berurusan dengan hukum, sekalipun perbuatan yang dilakukannya sekedar mengambil buah semangka atau mencuri sepasang sandal. Lain cerita dengan para orang kaya, terhormat, dan berkedudukan tinggi di negara ini. 6
Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Gentha Publishing, Yogyakarta, 2014, hlm. viii 7 Soen‟an Hadi Poernomo, Beranicommit Korupsitoituuser Memalukan, Imania, Bandung , 2013, hlm. 148
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seribu satu alasan dapat dicari untuk membebaskan mereka dari permasalahan hukum, sehingga begitu mudahnya bagi mereka untuk lolos, sebagaimana hewan besar dapat dengan mudah melewati jaring laba-laba, tanpa perlu terjebak di dalamnya. Kenyataan bahwa tidak sedikit pejabat tinggi negeri bahkan aparat penegak hukum yang justru terkena masalah hukum tentu berdampak pada tercorengnya wajah penegakan hukum di Indonesia. Kasus-kasus tersebut menjadi bukti bahwa moral absen dalam proses penegakan hukum. Hukum yang merupakan produk masyarakat adalah perwujudan nurani tentang apa yang menjadi kehendak, rasa, cipta, tujuan hidup di masyarakat, sehingga apabila kita berbicara mengenai hukum tidak dapat terlepas dari moralitas. Lagi pula perbuatan-perbuatan jahat seperti penyuapan, korupsi, hingga pencucian uang bukan lagi karena motivasi untuk memenuhi kebutuhan (needs) melainkan karena keserakahan (greeds)8. Krisis politik, hukum, bahkan moral dan kepercayaan terhadap lembagalembaga pemerintah tidak bisa dielakkan. Hubungan timbal balik antara disfungsi lembaga dan pranata hukum cenderung meningkatkan perilaku menyimpang, sebagai reaksi terhadap penerapan produk hukum yang kurang membela, melindungi, atau bahkan menjerat aspirasi rakyat9. Aparat penegak hukum sebagai alat pemaksa perundang-undangan didalam melaksanakan undang-undang harus mempunyai integritas kepribadian, adil, dan jujur. Akan tetapi kondisi semacam ini belum secara utuh dimiliki oleh aparat penegak hukum yang melakukan penyimpangan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai penegak hukum10. Peraturan hukum yang baik harus diiringi pula dengan penerapan hukum yang baik serta aparat penegak hukum yang baik pula, karena apabila tidak maka sebaik apapun peraturan hukum yang termuat dalam perundang-undangan akan menjadi sia-sia.
8 9
Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Op.Cit., hlm. 12. RB Soemanto, Sosiologi Hukum (Filsafat, Teori, dan Masalah), UNS Press, Solo, 2012,
hlm. 29
to userBeban Pembuktian”, artikel pada Jurnal Wahyu Wiriadinata, “Korupsi commit dan Pembalikan Konstitusi Vol. 2 No. 2Juni 2012, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 317 10
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, yang dalam penanganannya menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian, dianggap sebagai tindak pidana khusus sehingga memerlukan penanganan yang khusus pula. Namun dengan diberikannya pula beban pembuktian kepada terdakwa, cenderung mengalihkan asas praduga tak bersalah (presumpsion of innocent) menjadi praduga bersalah (presumpsion of guilty), sehingga perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dari terdakwa menjadi dipertanyakan. Bahkan di dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan: “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.11” Keberadaan ayat ini dimaksudkan agar penyidikan dapat segera dilakukan, serta terhadap barang-barang atau harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana dapat dilakukan penyitaan. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang tidak cukup efisien dan efektif apabila hanya mengandalkan pendekatan normatif hukum pidana saja, namun harus menggunakan pendekatan dengan paradigma keadilan restoratif dan retributif12. Tindak pidana pencucian uang bukan semata-mata masalah hukum biasa, namun tindak pidana ini dapat berdampak pada keuangan negara, dan dapat mencakup hal-hal yang sangat kompleks sehingga dapat menimbulkan akibat yang fatal. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian memungkinkan adanya pemblokiran terhadap barang-barang atau harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Bahkan hal ini dapat dilakukan pula terhadap seseorang yang belum ditetapkan sebagai tersangka13. Ketentuan semacam ini yang nantinya akan menyebabkan prinsip praduga tak bersalah rentan untuk 11
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 12 Romli Atmasasmita, Buku 1 Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2014, hlm. 72 13 commit to 2010 user tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tindak Pidana Pencucian Uang
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilanggar. Bahkan tidak menutup kemungkinan kalau aturan ini bisa menyebabkan ketidaknyamanan bagi pelaku-pelaku bisnis, lalu mendorongnya untuk tidak melakukan bisnis di Indonesia. Kemudian pada akhirnya akan berdampak pada kepentingan ekonomi nasional. Pembuktian tentang benar tidaknya dan terbukti atau tidak terbuktinya terdakwa melakukan perbuatan seperti termuat dalam dakwaan jaksa penuntut umum, merupakan bagian yang sangat menentukan dalam proses acara pidana. Dalam proses inilah hak asasi manusia menjadi hal yang sangat penting14. Proses pembuktian di persidangan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menentukan bagaimana status seorang terdakwa di kemudian hari, karena alat bukti yang disampaikan dimuka persidangan akan menjadi pertimbangan bagi majelis hakim untuk memutuskan apakah seseorang tersebut bersalah atau tidak, serta bentuk sanksi pidana seperti apa yang akan dijatuhkan terhadap dirinya. Apabila dikaitkan dengan presumption of guilty, seseorang akan dianggap bersalah hingga dapat dibuktikan sebaliknya, berkebalikan dengan asas presumption of innocent, dimana seseorang dianggap tidak bersalah sebelum terbukti bahwa benar ia melakukan tindak pidana. Presumption of guilty ini secara tidak langsung tercermin di dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yakni bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, sehingga harta kekayaan orang yang bersangkutan dapat terlebih dahulu disita demi kepentingan penyidikan. Pencucian uang menjadi sarana bagi koruptor untuk seakan-akan melegalkan uang hasil kejahatannya dalam rangka menghilangkan jejak. Selain itu, uang hasil korupsi tersebut selanjutnya dapat diolah sedemikian rupa guna
commit to user 14
Wahyu Wiriadinata, Op.Cit, hlm. 320
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memperbesar jaringannya15. Tindakan korupsi lantas akan mengakibatkan kerugian yang terus bertambah besar apabila tidak dengan tepat dan cepat ditangani. Kejahatan-kejahatan yang terjadi pada waktu sekarang dan waktu yang akan datang akan semakin bervariasi dan berkembang, termasuk dengan menggunakan cara yang canggih dengan memanfaatkan segala bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Salah satu contoh perkara pencucian uang dengan tindak pidana korupsi sebagai predicate offense yang kepadanya diterapkan sistem pembalikan beban pembuktian adalah yang melibatkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, yang pada kala itu menjabat sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri. Penanganan perkara Djoko Susilo ini menjadi cukup menarik perhatian karena aset yang ia miliki sangat banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, serta beberapa istrinya pun juga terlibat karena memiliki sebagian harta-harta Djoko Susilo. Selain itu, melalui perkara ini pun masyarakat juga mulai familiar dengan istilah pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 537K/Pid.Sus/2014 Djoko Susilo dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi dalam pengadaan simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri pada tahun 2010 hingga 2011 serta tindak pidana pencucian uang periode 2003-2010 dan 2010-2012. Pada tingkat kasasi, hakim menolak kasasi yang diajukan oleh Djoko Susilo dan memutus memperkuat putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, yakni pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun serta pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan uang pengganti sebesar Rp 32.000.000.000,00 (tiga puluh dua miliar rupiah). Selain itu, terdakwa juga dihukum dengan pidana tambahan
15
Yenti Garnasih, “Tindak Pidana Pencucian Uang: Dalam Teori dan Praktik” makalah commit to user disampaikan pada Seminar dalam Rangka Munas dan Seminar Mahupiki, diselenggarakan Mahupiki Kerjasama Mahupiki dan Universitas Sebelas Maret, Solo 8-10 September 2013
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik16. Djoko dinyatakan terbukti merugikan keuangan negara senilai Rp 121 miliar dari proyek pengadaan alat simulator mengemudi kendaraan bermotor untuk ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korlantas Polri pada tahun 2011. Menurut majelis hakim, Djoko terbukti telah mengarahkan Teddy Rusmawan selaku ketua panitia pengadaan simulator mengemudi agar menunjuk Budi Susanto selaku Dirut PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) sebagai pelaksana pengadaan. Djoko Susilo dianggap mengetahui mark-up atu penggelembungan harga yang dilakukan dalam proyek itu, sehingga negara mengalami kerugian hingga Rp 121 miliar. Djoko juga memperoleh uang senilai Rp 30 miliar ditambah lagi Rp 2 miliar dalam kesempatan yang berbeda dari Dirut PT. CMMA Budi Susanto, diduga terkait dengan penunjukan PT. CMMA sebagai pemenang lelang pengadaan simulator SIM tahun 2011 tersebut. Selain dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi, Djoko juga dinyatakan melakukan tindak pidana pencucian uang terkait proyek pengadaan simulator SIM, terutama yang berkaitan dengan pemberian uang rekanannya, Budi Susanto17. Sebelum Djoko Susilo ditetapkan sebagai terdakwa, KPK telah melakukan penyitaan terhadap aset-aset milik Djoko Susilo, termasuk yang diatasnamakan orang lain, yakni istri-istri dan kerabat Djoko Susilo. Hal ini dilakukan dalam upaya menyelamatkan dan mengamankan bukti-bukti yang nantinya akan digunakan dalam proses pembuktian di muka persidangan. Djoko Susilo pun wajib membuktikan di muka persidangan bahwa harta kekayaan miliknya yang disita oleh KPK tersebut bukanlah berasal dari tindak pidana, sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang telah disebutkan sebelumnya di atas. Maka dalam hal ini dapat dikatakan berlaku asas praduga bersalah (presumption of gulty), artinya Djoko Susilo dianggap telah menguasai harta-harta yang merupakan hasil dari tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sebelum dapat dibuktikan sebaliknya.
16
Putusan Mahkamah Agung No. 537 K/Pid.Sus/2014, diucapkan pada 4 Juni 2014, hlm.
133.
commit to user http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1334-djoko-susilo-terbukti-korupsi-dan-cuciuang?tmpl=componentdanformat=pdf, diakses pada tanggal 21 April 2014 pukul 20.42 WIB 17
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada penanganan terhadap perkara Djoko Susilo ini, di tingkat kasasi ia dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi dan kejahatan sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum terhadap dirinya. Djoko Susilo dianggap tidak dapat membuktikan bahwa harta kekayaan dan aset-aset miliknya, yang sebelumnya telah disita oleh KPK, bukan berasal dari kejahatan. Gagalnya Djoko Susilo dalam upaya pembuktian, maka hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang menguatkan dakwaan penuntut umum dan selanjutnya menjadi pertimbangan bagi majelis hakim. Sehingga tidak dapat dielakkan lagi, majelis hakim menetapkan seluruh barang bukti yang telah disita dan dirampas untuk negara sebagaimana diputus Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dirampas untuk negara, ditambah lagi dengan beberapa barang bukti lain berupa rumah berikut bangunannya dan 2 unit mobil. Perkara yang melibatkan Djoko Susilo tersebut hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak perkara pidana yang menunjukkan buruknya mental masyarakat, khususnya dalam hal ini para pejabat tinggi di Indonesia, yang justru seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat. Selain Djoko Susilo, masih ada nama-nama lain yang terjerat perkara yang sama, seperti misalnya Anas Urbaningrum, Ahmad Fathanah, Rudi Rubiandini, dan juga Ratu Atut. Absennya moral dalam diri para abdi negara ini barangkali juga merupakan dampak dari sikap tidak mau tahu dari masyarakat. Daya kritis masyarakat yang cenderung kurang, baik secara langsung maupun tidak langsung mendorong perkembangan white collar crime oleh para elit. Masyarakat tidak menaruh perhatian atau malas untuk mempersoalkan bagaimana seorang pejabat atau petinggi negeri bisa memiliki harta kekayaan yang sangat melimpah, seperti rumah yang tersebar di berbagai kota, koleksi mobil-mobil mewah, tanah, hingga aset-aset lainnya. Bahkan masyarakat sekitar sudah cukup senang dan menjadi bungkam ketika pejabat menggunakan uang kotornya untuk disumbangkan ke suatu daerah, misalnya untuk membangun sekolah atau rumah ibadah. Sistem pembalikan beban pembuktian telah menjadikan penanganan to user tehadap perkara pencucian commit uang dan korupsi menjadi berbeda dengan
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penanganan terhadap tindak pidana lainnya. Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Diterapkannya sistem pembalikan beban pembuktian pada perkara tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur dalam beberapa pasal pada Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menimbulkan berbagai tanggapan dari berbagai pihak, khususnya terkait adanya hak tersangka atau terdakwa yang dilanggar. Sebagai contohnya ialah Akil Mochtar, terpidana tindak pidana pencucian uang, pernah mengajukan permohonan pengujian terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Aturan mengenai dapat dilakukannya penyitaan terhadap harta kekayaan milik seorang tersangka tindak pidana pencucian uang (yang diatur dalam Pasal 69 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang) serta adanya pembalikan beban pembuktian, dimana seorang terdakwa diberi kewajiban untuk membuktikan harta kekayaannya di muka persidangan (diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang) memang rawan untuk dikaitkan dengan isu pelanggaran hak asasi seorang terdakwa. Kita mengenal adanya asas praduga tak bersalah, dan asas itu pula yang menjadi pegangan bagi aparat penegak hukum di negara kita. Sementara itu, pasal 69 yang menyebutkan bahwa “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.” Adanya ketentuan semacam ini memungkinkan dilakukannya penyitaan terhadap harta kekayaan yang dimiliki seorang tersangka tindak pidana pencucian uang untuk memudahkan penegak hukum dalam melakukan user tindak pidana yang telah ia penyidikan, sekalipun belum commit terbuktito apakah
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lakukan sebelumnya sehingga ia menghasilkan proceed of crime atau hasil kejahatan. Seorang tersangka pencucian uang bisa saja merasa haknya sebagai warga negara telah dilanggar, mengingat memang sudah diatur dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28G ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, serta Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak mempunyai hak pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.18” Bagaimana harta kekayaan milik seseorang dapat disita demi dilakukannya penyidikan, sementara belum ada kepastian apakah tersangka tindak pidana pencucian uang yang bersangkutan sebelumnya telah melakukan suatu tindak kejahatan yang kemudian memungkinkan dirinya untuk memiliki harta kekayaan tersebut, inilah yang menimbulkan masalah terkait dengan dilanggar atau tidaknya hak seorang tersangka. Sama halnya dengan Pasal 69, Pasal 77 dan Pasal 78 yang mengatur mengenai pembalikan beban pembuktian, rawan pula untuk dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Penyitaan terhadap harta kekayaan yang dimiliki seorang tersangka atau terdakwa pencucian uang yang didasarkan pada asumsi atau dugaan bahwa harta kekayaan tersebut tidak sesuai dengan latar belakang kehidupan tersangka atau terdakwa menjadi perbuatan yang bisa saja mencederai hak asasi tersangka atau terdakwa untuk memiliki harta kekayaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28G ayat (1) serta Pasal 28H ayat (4) sebagaimana telah disebutkan di atas. Pembebanan bagi terdakwa untuk membuktikan asal-usul harta kekayaannya
tanpa
ada
pembatasan
yang
jelas,
bisa
menimbulkan
kemungkinan akan terjadi kesewenang-wenangan atas hak terdakwa. Meskipun demikian, pengaturan dan penerapan sistem pembalikan beban pembuktian
to (4) user Pasal 28G ayat (1) dan Pasalcommit 28H ayat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 18
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada perkara pencucian uang telah menjadi suatu gebrakan baru dalam dunia hukum di Indonesia, khususnya dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta tindak pidana korupsi yang dianggap sebagai kejahatan kerah putih. Penerapan pembalikan beban pembuktian dijadikan sebagai sebuah senjata baru bagi penegak hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta yang sebelumnya juga telah diatur terlebih dulu dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Permasalahan yang dapat ditimbulkan dengan diaturnya sistem pembalikan beban pembuktian pada perkara pencucian uang di Indonesia, yakni dengan keberadaaannya sebagai extra ordinary crime terkait dengan dilanggar atau tidaknya hak seorang tersangka/terdakwa untuk disita harta kekayaanya, serta adanya pembebanan terhadap terdakwa untuk membuktikan di muka persidangan dari mana harta kekayaannya berasal, menarik perhatian penulis untuk membahasnya secara lebih lanjut, bagaimanakah pelaksanaan pembalikan beban pembuktian dalam perkara pencucian uang di Indonesia, apakah hal ini mampu menjadi solusi bagi permasalahan kejahatan pencucian uang yang selama ini telah banyak menimbulkan kerugian negara. Di samping itu, ketika membicarakan mengenai penerapan sistem pembalikan beban pembuktian tentu tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan terkait hak-hak tersangka atau terdakwa yang bersangkutan, karena sistem pembuktian yang dianut oleh negara kita adalah sistem pembuktian negatif, dimana pihak yang memiliki kewajiban untuk membuktikan di persidangan adalah penuntut umum, sedangkan terhadap seorang tersangka atau terdakwa tidak diberikan beban kewajiban pembuktian.
commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis akan mengkaji secara lebih rinci permasalahan yang ada dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah urgensi pengaturan pembalikan beban pembuktian dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi di Indonesia? 2. Apakah pengaturan pembalikan beban pembuktian sebagaimana diterapkan dalam Putusan No. 537/K/Pid.Sus/2014 tidak bertentangan dengan hak terdakwa?
C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian haruslah memiliki tujuan yang jelas agar memberikan hal yang pasti sebagai pemecahan dari permasalahan yang dihadapi. Dalam penelitian ini, adapun yang menjadi tujuan adalah: 1. Tujuan Obyektif Tujuan obyektif meliputi: a. untuk mengetahui apakah relevansi penerapan pembalikan beban pembuktian dalam perkara tindak pidana pencucian uang. b. untuk mengkaji dan menganalisis lebih dalam tentang pembalikan beban pembuktian tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana korupsi sebagai predicate offense terkait dengan hak pelaku.
2. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif meliputi: a. untuk menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman penulis terhadap teori-teori dan peraturan hukum yang diterima selama menempuh kuliah guna mengatasi masalah hukum yang terjadi di masyarakat, khususnya yang terkait dengan penerapan pembalikan beban to user pembuktian tindak pidanacommit pencucian uang;
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. untuk memperoleh data yang lengkap guna menyusun tesis sebagai persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum minat utama Hukum Pidana Ekonomi pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis penelitian ini adalah: a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu hukum pidana ekonomi, khususnya pengembangan studi hukum pidana ekonomi, berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum pidana ekonomi. b. Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pidana ekonomi khususnya mengenai tindak pidana pencucian uang dengan predicate offense tindak pidana korupsi.
2. Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis kepada para aparatur negara terkait permasalahan tindak pidana pencucian uang agar
dapat
dijadikan
bahan
pembelajaran
sekaligus
dimanfaatkan
sedemikian rupa agar dapat mengantisipasi atau mencegah terjadinya hal yang sama.
commit to user
16