1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sakit merupakan gangguan psikososial yang dirasakan seseorang, berbeda dengan penyakit yang menyerang langsung pada organ tubuh berdasarkan diagnosis yang dilakukan oleh dokter (Supardi & Notosiswoyo, 2005). Lebih dari 60% masyarakat mengambil keputusan dalam hal pengobatan sendiri tanpa resep dari dokter, berdasarkan hasil Susenas tahun 2009 BPS tepatnya mencatat 66% masyarakat yang mengalami sakit di Indonesia melakukan swamedikasi (Kartajaya et al., 2011), hal ini bersinergi dengan salah satu indikator terciptanya Program Pembangunan Kesehatan yang menunjukkan peningkatan taraf kesehatan masyarakat (Rakhmawatie & Anggraini, 2010). Swamedikasi (Pengobatan sendiri) merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam pengobatan tanpa adannya resep dari dokter atau tenaga medis lainnya. Swamedikasi dilakukan berdasarkan dari pengalaman pasien atau dari rekomendasi orang lain. Pengobatan sendiri dilakukan untuk mengatasi keluhankeluhan ringan (Merianti et al., 2013), menurut World Health Organization (WHO) peran pengobatan sendiri adalah untuk mengatasi dan menanggulangi secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi medis, mengurangi beban biaya dan meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan medis (Supardi & Notosiswoyo, 2005). Salah satu penyakit ringan yang dapat diatasi dengan pengobatan sendiri adalah penyakit batuk. Mekanisme batuk merupakan suatu respon badan terhadap iritan yang telah mengganggu jalannya saluran pernafasan berupa refleks untuk mengeluarkan iritan atau benda asing tersebut (Depkes RI, 1997). Secara umum batuk dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu batuk kering yang merupakan batuk yang disebabkan oleh alergi, makanan, udara, dan obat-obatan. Batuk kering dapat dikenali dari suaranya yang nyaring, sedangkan yang kedua adalah batuk berdahak yang disebabkan oleh adanya infeksi mikroorganisme atau virus dan dapat dikenali dari suaranya yang lebih berat dengan adanya pengeluaran 1
2
dahak (Djunarko & Hendrawati, 2011). Kesulitan dalam pengeluaran dahak akan berdampak pada sulitnya bernafas yang bisa menyebabkan sianosis, kelelahan, apatis serta merasa lemah (Nugroho & Kristianti, 2011). Swamedikasi batuk diperlukan pengetahuan mengenai pemilihan obat yang rasional sesuai batuk yang dialami oleh pasien, untuk batuk berdahak digunakan obat golongan mukolitik (pengencer dahak) dan ekspektoran (membantu mengeluarkan dahak), sementara untuk batuk kering digunakan obat golongan antitusif (penekan batuk) (Djunarko & Hendrawati, 2011). Survei pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada 10 orang yang berdomisili di Kabupaten Sukoharjo didapatkan data yaitu 6 dari 10 orang tidak meminum obat saat batuk tetapi melakukan swamedikasi non farmakologi seperti minum air hangat, minum perasan jeruk dan lain-lain, sedangkan 4 orang sisanya meminum obat yang berdasarkan iklan yang berasal dari media sosial. Obat-obat yang dipilih mengandung lebih dari satu zat aktif y ang kurang sesuai untuk pengobatan batuk. Berdasarkan Survei pendahuluan tersebut maka pengetahuan tentang obat batuk dibutuhkan dalam pemilihan pengobatan itu sendiri supaya masyarakat dapat memilih obat yang sesuai dengan batuk yang diderita (Kristina et al., 2007). Pengobatan sendiri dimasa yang akan datang akan meningkat seiring dengan meningkatnya aspek sosial ekonomi dan aspek pendidikan formal maupun informal yang berasal dari tenaga medis atau informasi dalam sosial media dewasa ini (Hermawati, 2012), meningkatnya tindakan swamedikasi juga ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan pada mahasiswa bidang kesehatan di Universitas Muhammmadiyah Surakarta (UMS) menunjukkan rata-rata nilai tingkat pengetahuan dalam kategori baik, kerasionalan penggunaan obat sebesar 77,59%, yaitu sebesar 270 responden dari 348 responden rasional dalam memilih obat (Lestari, 2014), hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan yang berperan penting dalam pengambilan keputusan pada ketepatan dan kerasionalan pemilihan pengobatan. Menurut Kartajaya (2011) alasan masyarakat Indonesia melakukan swamedikasi atau peresepan sendiri karena penyakit dianggap ringan (46%), harga obat yang lebih murah (16%) dan obat mudah diperoleh (9%), walaupun
3
jumlah dokter dan rumah sakit bertambah, hal ini tidak mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan swamedikasi (Kartajaya et al., 2011). Maka pengetahuan mengenai obat batuk sangat dibutuhkan dalam memilih obat yang benar saat mengalami batuk (Djunarko & Hendrawati, 2011). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keadaan sesungguhnya hubungan pengetahuan terhadap pemilihan obat pada swamedikasi batuk, sehingga dimaksudkan akan berdampak positif kepada apoteker untuk lebih dapat menjelaskan dengan benar fungsi dari masing-masing obat batuk yang akan dipilih oleh pasien (Kartajaya et al., 2011). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sukoharjo yang merupakan kota berkembang dengan masyarakatnya yang sering melakukan swamedikasi untuk mengatasi penyakit atau gejala ringan yang sering dialami seperti halnya batuk.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dalam swamedikasi batuk diperlukan pengetahuan mengenai pemilihan obat yang rasional sesuai batuk
yang dialami oleh pasien maka dapat ditarik rumusan
masalah yaitu : adakah hubungan pengetahuan dengan pemilihan obat pada swamedikasi batuk di masyarakat Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan pengetahuan dengan pemilihan obat pada swamedikasi batuk di masyarakat Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.
D. Tinjauan Pustaka 1. Pengetahuan a. Definisi pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil yang berasal dari penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan berasal dari panca indera manusia yakni pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa dan raba dan sebagian besar berasal
4
dari indra penglihatan dan pendengaran. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh dengan perilaku seseorang dalam menentukan tindakan (Notoatmodjo, 2003). b. Tingkat pengetahuan Menurut Nursalam (2008) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterprestasikan dengan skala sebagai berikut : 1) Baik atau tinggi dapat dinilai dengan hasil persentase 76%-100% 2) Cukup atau sedang dapat dinilai dengan hasil persentase 56%-75% 3) Kurang atau rendah dapat dinilai dengan hasil persentase <56% (Nursalam, 2008) c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan : 1) Faktor Internal menurut Notoatmodjo (2003) : a)
Pendidikan Menurut pendapat Notoatdmojo (2003), pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju kepada kedewasaan (Notoatmodjo, 2003).
b) Minat
Minat adalah suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu yang didukung dengan pengetahuan. c)
Pengalaman Pengalaman adalah suatu peristiwa yang dialami seseorang, yang melibatkan emosi, penghayatan, pengalaman akan lebih mendalam dan lama membekas.
d) Usia
Semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang akan lebih matang dalam berfikir. Hal ini sebagai akibat dari makin kondusif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Azwar, 2009). 2) Faktor Eksternal menurut Notoatmodjo (2003), antara lain : a) Ekonomi Tingkat ekonomi dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang berbagai hal, dikarenakan ekonomi yang lebih mapan lebih mudah mendapatkan informasi daripada individu yang memiliki ekonomi rendah
5
b) Informasi Informasi adalah suatu hal baru yang dapat didapatkan dari media masa atau orang lain yang dapat menambah suatu pengetahuan sehingga dapat mempengaruhi suatu tindakan. c) Kebudayaan/Lingkungan Kebudayaan sangatlah berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang dalam menjalani hidupnya baik dalam bertindak atau mengambil keputusan
yang
didasari
dengan
kebiasaan
dalam
budayanya
(Notoatmodjo, 2003). 2. Swamedikasi Dorongan untuk merawat diri sendiri dipandang sebagai kesempatan untuk membangun kepercayaan diri untuk mengelola kesehatan dan juga awal langkah yang positif dalam hubungan antara pasien dan tenaga medis. Swamedikasi merupakan sebuah tahap pembangunan kesehatan dimana setiap orang memiliki hak dalam menentukan kualitas selfcare-nya sehingga dapat memanajemen keuangan sendiri dengan keuntungan mampu menghindarkan dari perawatan yang tidak rasional (Gupta et al. 2011). Faktor lain yang mempengaruhi tindakan swamedikasi diantaranya yaitu mendesaknya perawatan yang dibutuhkan, penanganan pertama pada pasien sakit, kekurangannya pelayanan kesehatan, ekonomi yang rendah, ketidakpercayaan terhadap tenaga medis, pengaruh informasi dari iklan, ketersediaan obat yang melimpah di toko-toko atau warung, dan salah satu faktor yang sering dialami oleh masyarakat yaitu karena terbatasnya keterjangkauan akses kesehatan di daerah pedesaan atau terpencil (Phalke et al., 2006). Berdasarkan Susenas-BPS tahun 2011, Indonesia tercatat 66,8% melakukan swamedikasi (Gitawati, 2014), namun tingkat swamedikasi Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan angka swamedikasi yang ada di Amerika yaitu hingga 73% bahkan cenderung akan meningkat, hal ini berdasakan survei enam dari sepuluh warga Amerika mengatakan akan melakukan swamedikasi pada penyakit yang sama (Kartajaya et al., 2011). Dimasa yang akan datang perilaku
6
pengobatan sendiri akan meningkat seiring dengan meningkatnya aspek sosial ekonomi dan aspek pendidikan formal maupun informal yang berasal dari tenaga medis atau informasi dalam sosial media dewasa ini (Hermawati, 2012). Swamedikasi biasanya dilakukan dengan membeli obat bebas yang ada di pasaran tetapi kemungkinan terjadi adanya ketidakrasionalan dalam pengobatan sangatlah besar, diantaranya pengobatan yang boros bahkan sampai berbahaya (Kristina et al., 2007). Tindakan swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan kesehatan yang sifatnya ringan (Merianti et al., 2013) seperti halnya batuk yang merupakan keluhan kesehatan yang banyak dialami oleh masyarakat (Depkes RI, 1997). 3. Batuk a. Patofisiologi Batuk Batuk adalah suatu refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan. Batuk juga melindungi paru-paru dari aspirasi asing yaitu masuknya benda asing dari saluran cerna maupun saluran nafas bagian atas. Saluran nafas bagian atas dimulai dari tenggorokan, trakhea, bronkhioli sampai ke jaringan paru (Depkes RI, 1997). Batuk sendiri dibedakan menjadi dua yaitu batuk berdahak dan batuk tidak berdahak (batuk kering). Batuk berdahak lebih sering terjadi karena adanya dahak pada tenggorokan. Batuk berdahak lebih sering terjadi karena adanya paparan debu, lembab berlebihan sebagainya. Batuk tidak berdahak (batuk kering) yaitu batuk yang terjadi karena tidak adanya sekresi saluran nafas, iritasi pada tenggorokan, sehingga timbul rasa sakit (Djunarko & Hendrawati, 2011). b. Penyebab Batuk Batuk dapat disebabkan karena dua hal, yaitu penyakit infeksi dan bukan infeksi. Penyebab batuk dari infeksi bisa berupa bakteri atau virus, misalnya tuberkulosa, influenza, campak, dan batuk rejan. Sedangkan penyebab yang bukan infeksi misalnya debu, asma, alergi, makanan yang merangsang tenggorokan, batuk pada perokok, batuk pada perokok berat sulit diatasi hanya dengan obat batuk simptomatik. Batuk pada keadaan sakit disebabkan adanya kelainan
7
terutama pada saluran nafas yaitu bronkitis, pneumonia dan sebagainya (Depkes RI, 1997). Beberapa penyakit penyebab batuk yang tidak disarankan untuk dilakukan tindakan swamedikasi, karena beberapa faktor yang bisa membahayakan bagi penderita, diantaranya : 1) Batuk yang disebabkan karena kuman TB yang dapat berbahaya bagi pasien yang menderita, respon dapat berupa batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) (Werdhani, 1995). 2) Batuk yang disebabkan karena asma yaitu peradangan kronis pada saluran nafas dimana saluran nafas mengalami hipersekresi mukus dan juga lubang bronkus mengalami penyempitan, sehingga bisa menyebabkan sesak nafas atau mengi. 3) Batuk yang disebabkan karena PPOK yang menggambarkan pasien dengan bronchitis kronis, emfisema atau keduanya, pada pasien PPOK mengalami batuk produktif selama 3 bulan. 4) Batuk yang disebabkan pneumonia yang merupakan peradangan paru yang disebabkan karena bakteri Streptococus pneumoniae (Lyrawati et al. 2012). 5) Dan lain-lain, beberapa penyakit diatas sebaiknya ditangani dengan berkonsultasi dengan tenaga medis secara persisten karena berbahaya bagi pasien yang menderita. c. Pengobatan swamedikasi 1) Non farmakologi Umumnya batuk berdahak dan tidak berdahak dapat dikurangi dengan cara sebagai berikut : a) Memperbanyak minum air putih, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurangi iritasi atau rasa gatal. b) Menghindari paparan debu, minuman atau makanan yang merangsang tenggorokan dan udara malam yang dingin (Depkes RI, 1997).
8
2) Farmakologi Bila keadaan batuk belum dapat teratasi dengan cara-cara tersebut maka dapat digunakan obat batuk, yang mana obat batuk dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : a) Ekspektoran (pengencer dahak/riak) Meningkatkan sekresi dahak dari saluran pernafasan sehingga mudah dikeluarkan (Anief, 1995) beberapa obat yang bisa diperoleh tanpa resep dokter antara lain: (1) Glyseryl guaiacolate (Guafenesin) (a) Mekanisme kerja obat yaitu mengencerkan dahak dari saluran nafas. (b) Dosis pemakaian untuk dewasa 200-400 mg setiap 4 jam dan untuk anak-anak usia 2-6 tahun 50-100 mg setiap 4 jam, Sedangkan untuk usia 6-12 tahun 100-200 mg setiap 4 jam. (c) Perhatian usia dibawah 2 tahun dan ibu hamil harus dengan pengawasan dokter, diharap tidak menggunakan lebih dari 7 hari tanpa izin dokter, minumlah 1 gelas air setiap minum obat ini, dan waspada pada alergi guafenesin. (d) Indikasi untuk batuk yang membutuhkan pengeluaran dahak. (e) Kontraindikasi terhadap yang alergi guafenesin (f) Efek samping mual, muntah yang dapat dikurangi dengan minum segelas air putih. (2) Bromheksin (a) Mekanisme kerja dari Bromheksin untuk mengencerkan dahak di saluran nafas. (b) Dosis pemakaian untuk dewasa 4-8 mg, 3 kali sehari. (c) Perhatian, hati-hati pada penderita tukak lambung dan wanita hamil 3 bulan pertama. (d) Efek samping dapat terjadi rasa mual, diare, dan kembung yang ringan (Depkes RI, 1997).
9
(3) Succus liquiritiae (OBH) Mekanisme kerja dari Succus Liquiritiae untuk mengatasi batuk, membantu pengeluaran dahak, menyembuhkan peradangan (Djunarko & Hendrawati, 2011), succus merupakan sediaan galenik dari Radix liquiritiae berwarna hitam coklat, dan larut dalam air. Succus Liquiritiae merupakan komponen dari Obat Batuk Hitam (OBH) (Depkes RI, 1997). (4) Amonium klorida (a) Mekanisme kerja dari amonium klorida untuk meningkatkan pengeluaran dahak melalui refleks rangsangan selaput lendir saluran cerna, Amonium Klorida merupakan salah satu komponen Obat Batuk Hitam (OBH). (b) Dosis pemakaian untuk dewasa 300 mg setiap 4 jam (c) Perhatian tidak dianjurkan pada pasien yang mengalami kerusakan hati, ginjal, dan pasien mengidap jantung kronik karena dapat mengganggu keseimbangan kimia darah yang mempengaruhi ekskresi obat. (d) Dosis 5 g pada penderita dapat menyebabkan efek samping dengan gejala antara lain : mual, muntah, haus, sakit kepala, dan hiperventilasi. (5) Obat Batuk Hitam Komposisi baku OBH antara lain: Succus Liquiritiae Amonium Klorida SASA (Solutio Ammonii Spirituosa Anisata) Air sampai dengan b) Antitusif (penekan batuk)
10 5 6 100
(1) Dekstrometorfan HBr (a) Mekanisme kerja obat bekerja menekan pusat batuk di otak, meringankan batuk kering (b) Dosis pemakaian dewasa 10-20 mg, 3 kali sehari 1 tablet jika perlu (jika batuk). Dalam bentuk sirup 5-10 ml jika perlu 3x sehari sedangkan untuk dosis anak-anak (usia 6-12 tahun) 5-10 mg 3 kali sehari dan dalam bentuk sirup 2,5-5 ml (1/2-1 sendok takar)
10
(c) Perhatian, Dekstromethorpan HBr sebaiknya tidak digunakan untuk batuk berdahak, dikhawatirkan dahak malah tidak bisa keluar. (d) Efek samping pemakaian yang berlebihan akan menyebabkan penurunan refleks bernapas (Djunarko & Hendrawati, 2011). Pada tahun 2014 lalu dekstrometrophan dalam sediaan tunggal telah di tarik dari pasaran karena banyaknya penyalahgunaan sediaan ini, tetapi sediaan ini dengan kombinasi masih boleh beredar dengan pengawasan atau menjadi obat bebas terbatas (BPOM, 2014) (2) Difenhidramin HCL (a) Mekanisme kerja obat memiliki efek antitusif dan juga antihistamin sebagai anti alergi (b) Dosis pemakaian untuk dewasa 25 mg, 3-4 kali sehari dan untuk anakanak 12,5 mg atau 4 kali sehari (c) Perhatian, tidak dianjurkan mengemudi selepas minum obat ini karena efeknya dapat mengantuk, dan juga tidak dianjurkan diminum bersamaan obat anti influenza yang mengandung antihistamin, dikonsultasikan terlebih dahulu pada tenaga medis jika digunakan pada penderita asma karena dapat mengentalkan dahak dan mengurangi sekresinya. (d) Kontraindikasi terhadap wanita hamil, ibu menyusui dan anak < 6 tahun. (e) Efek samping dapat menyebabkan kantuk (Depkes RI, 1997).
E. Landasan Teori Secara umum batuk dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu batuk kering yang merupakan batuk yang disebabkan oleh alergi, makanan, udara, dan obatobatan. Batuk kering dapat dikenali dari suaranya yang nyaring. Sedangkan yang kedua
adalah
batuk
berdahak
yang
disebabkan
oleh
adanya
infeksi
mikroorganisme atau virus dan dapat dikenali dari suaranya yang lebih berat dengan adanya pengeluaran dahak (Djunarko & Hendrawati, 2011).
11
Menurut Lestari (2014) bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan obat pada tindakan swamedikasi yang dilakukan di lingkungan mahasiswa kesehatan, hal ini menunjukan bahwa pengetahuan memiliki korelasi terhadap tindakan seseorang dalam melakukan pengobatan pada penyakit yang diderita (Lestari, 2014).
F. Hipotesis Ada hubungan antara pengetahuan dengan pemilihan obat pada swamedikasi batuk di masyarakat Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.