BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tak banyak seni tradisi yang mampu bertahan di tengah isu globalisasi. Misalnya saja Ketoprak yang sempat berjaya sekitar tahun 1950 hingga 1980-an kini tak lagi terdengar gaungnya. Begitu juga Ludruk yang sempat mencapai masa keemasan di era 70-80an juga kian tergusur oleh zaman. Tetapi tidak dengan wayang. 7 November 2013 UNESCO memproklamirkan wayang Indonesia sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity (Solichin, 2010: 15). Sudah lebih dari satu dasawarsa wayang diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Ini merupakan suatu prestasi membanggakan bagi bangsa Indonesia dalam hal budaya yang tentunya mengangkat citra Indonesia di kancah internasional. Alasan utama UNESCO menetapkan wayang Indonesia sebagai karya agung budaya karena sejak dulu wayang digemari dan didukung oleh masyarakat luas. Wayang Indonesia juga memiliki kualitas seni yang tinggi sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan agar bermanfaat bagi kemanusiaan (Solichin 2011: 2). Seni yang tinggi ini disebut adiluhung, yakni indah dan menarik serta sarat dengan kandungan ajaran moral keutamaan hidup. Oleh sebab itu, wayang tak hanya sekedar hiburan melainkan media yang dibalut dalam seni, media penerangan, dakwah, pendidikan, kritik sosial serta pemahaman filsafat bagi masyarakat. Dalam kesenian wayang terdapat kearifan lokal yang bermanfaat untuk membangun karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Itulah yang mampu membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain di dunia. Sehingga, menurut Mubah (2011: 305), jati diri bangsa sebagai nilai
1
identitas masyarakat harus dibangun secara kokoh dan diinternalisasikan secara mendalam. Terlebih lagi, kemunculan isu globalisasi saat ini dinilai telah mengancam keberadaan budaya lokal di Indonesia. Untuk itu, kesenian wayang kulit sebagai bagian dari budaya lokal milik Indonesia, sudah sepatutnya dijaga dan dilestarikan. Meski demikian tidak mudah menjaga keaslian sebuah budaya lokal, terlebih di era globalisasi ini. Globalisasi datang menggandeng media massa sebagai partner kerja. Dengan kata lain, media massa berperan sebagai penghubung yang mempertemukan budaya-budaya yang tersebar di dunia. Lewat media massa inilah budaya-budaya tersebut bisa saling bersinggungan. Ketika media massa dari negara maju telah mendominasi media massa yang ada di negara berkembang, hal ini akan memicu masuknya nilai-nilai budaya luar yang dengan mudah akan diadopsi oleh masyarakat lokal. Selain itu, Ritzer (2006) dalam tulisannya mengenai hiperglobalis, menegaskan bahwa pola-pola kehidupan sosial dan kultural masyarakat memperlihatkan adanya pengaruh yang amat kuat dari pola kehidupan masyarakat global dan budaya global. Pengaruh tersebut tak lain datang melalui berbagai teknologi dan media masa. Melalui pintu itulah, budaya global melancarkan ”serangan” terhadap masyarakat etnis dan kultur tertentu. Saat itu terjadi, eksistensi budaya lokal akan terancam dan tidak menutup kemungkinan budaya lokal tersebut hilang digantikan oleh budaya global. Begitu pula yang akan terjadi pada wayang kulit. Media selalu berusaha menghadirkan sesuatu yang baru, yang sesuai dengan tatanan dan realitas kehidupan masyarakat. Seperti media saat ini yang menyuguhkan berbagai macam hiburan menarik yang sesuai dengan keadaan zaman. Hal ini mengancam kesenian wayang kulit yang seringkali dianggap sebagian masyarakat kurang dinamis, kuno, tidak mengikuti perkembangan zaman
2
serta selera penonton. Akan tetapi perlu dipahami bahwa nilai-nilai budaya lokal dalam kesenian wayang ini bukanlah nilai usang yang dapat begitu mudah ditinggalkan. Nilai-nilai tersebut sebenarnya dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Oleh karena itu, kebudayaan lokal seperti wayang ini mampu beradaptasi di tengah derasnya arus globalisasi sebagai sebuah media walaupun dengan konsekuensi kehilangan keaslian atau kemurnian budaya tersebut. Pieterse
dalam
tulisannya yang
berjudul
Globalization
as
Hybridization, menyatakan bahwa globalisasi adalah suatu proses hibridisasi (2004). Dalam aspek budaya, hibridisasi didefinisikan sebagai “the ways in which forms become separated from existing practice and recombining with new forms in new practice” (Rowe & Scheilling dalam Pieterse, 2004: 64). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa hibridisasi merupakan suatu proses dimana terjadi peleburan bentuk lama ke bentuk yang baru. Sederhananya, hibridisasi adalah percampuran antara dua atau lebih budaya tanpa ada yang mendominasi. Misalnya dalam bidang musik, literatur dan seni kontemporer. Pandangan bahwa globalisasi sebagai suatu proses homogenisasi dan standarisasi bisa dikatakan kurang tepat. Globalisasi justru memunculkan heterogenitas baru. Dari sini bisa dilihat bahwa anggapan mengenai budaya global yang dibawa arus globalisasi mengancam budaya lokal serta memicu terjadinya homogenitas nilai masih bisa ditepis dengan hadirnya konsep tersebut. Justru berkat hibridisasi yang didorong oleh globalisasi, budaya lokal dan budaya global bisa saling bersinergi dan melahirkan budaya baru. Salah satu bentuk hibridisasi tersebut adalah wayang kontemporer. Kesenian wayang telah mengalami perkembangan terhitung sejak zaman prasejarah hingga zaman modern yang kemudian menghadirkan wayang kontemporer ini. Wayang jenis ini tidak melulu patuh pada pakem atau
3
acuan pewayangan yang telah disepakati, bukan pula wayang yang statis atau
beku,
melainkan
dinamis
dan
mampu
berkembang
sesuai
perkembangan zaman. Wayang kontemporer lahir dari benih kreativitas para dalang. Misalnya Slamet Gundono dengan Wayang Suketnya. Gundono membuat pentas Wayang Suket sebagai ruang yang bebas bagi penonton untuk membangun imajinasi dan interpretasi. Selain wayang suket, Gundono juga melahirkan jenis wayang kontemporer lain seperti Wayang Nggremeng (2002), Wayang Lindur, Wayang Multimedia, Wayang Guyub Ndesa (2006), dan Wayang Air. Ada pula dalang Ki Enthus Susmono yang juga dikenal gemar memadukan pewayangan tradisional dengan perkembangan kontemporer. Ki Enthus banyak menggelar pertunjukan wayang dalam berbagai gaya dan idiom diantaranya Wayang Prayungan (2000), Wayang Planet (2001), Wayang Batman, Wayang Alien, Wayang Osama bin Laden (2002), Wayang Wali (2004), Wayang Rai Wong (20052006), Wayang Blong (2007), hingga Wayang Barrack Obama. Wayang kontemporer dalam perkembangannya di era komunikasi dan informasi, telah berubah peran menjadi media komunikasi sosial. Seperti kita ketahui, media dengan teori agenda settingnya mampu menyajikan berbagai bentuk hiburan, edukasi, serta kritik sosial untuk disajikan kepada masyarakat. Pada akhirnya, apa yang dianggap penting bagi media maka dianggap penting juga oleh masyarakat. Dalam hal ini, seni pewayangan mendapat posisi yang signifikan di tengah masyarakat, khususnya dalam menyampaikan aspirasi masyarakat terkait dengan realitas sosial. Wayang merupakan media komunikasi tradisional yang sudah lama lahir dan berkembang di dalam masyarakat. Keberadaan wayang menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam sebab syarat akan kritik sosial. Di tengah masyarakat, sejak awal wayang sudah berfungsi
4
sebagai media kritik terhadap pola hidup masyarakat, dimana keseharian masyarakat diwayangkan dengan lakon yang mendidik dan lucu. Dalam pertunjukan wayang klasik yang lakonnya diambil dari cerita Ramayana dan Mahabrata, kritik mengenai kehidupan masyarakat sehari-hari tersebut dapat kita saksikan dalam pertunjukan goro-goro. Dengan hadirnya wayang kontemporer yang merupakan hasil hibridisasi budaya, hal ini semakin mempertegas fungsi wayang sebagai media kritik sosial. Wayang kontemporer eksis dengan berbagai macam cerita yang disampaikan oleh dalang. Lakon yang dimainkan dalang tidak melulu cerita baku yan diambil dari Epos Ramayana dan Mahabarata, melainkan lakon carangan yaitu cerita yang diangkat adalah cerita baru hasil pengembangan kreativitas dalang dalam menciptakan tokoh-tokoh baru
serta
kisah
yang
berbeda.
Isi
cerita
yang
disampaikan
menggambarkan realitas sosial masyarakat, seperti keagamaan, pendidikan, hiburan, informasi serta kritik bagi pemerintah maupun kritik sosial bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal inilah yang kemudian menjadikan fungsi wayang sebagai media kritik sosial. Kesenian wayang kulit dapat digunakan sebagai media kritik yang tepat terhadap kinerja para wakil rakyat atau pemerintah. Sebab kritik tersebut dikemas dalam bentuk hiburan yang dibawakan dengan bahasa-bahasa sederhana sehingga kritik yang disampaikan pun terkesan tidak frontal, justru mudah dipahami oleh masyarakat. Salah satunya adalah Wayang Hip Hop yang ada di Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Wayang hasil karya Ki Catur “Benyek” Kuncoro ini merupakan salah satu bentuk kesenian wayang kontemporer yang tergolong unik karena mengusung
konsep
budaya
luar
yaitu
Hip
Hop
kemudian
menggabungkannya dengan budaya lokal yang tak lain adalah kesenian wayang kulit itu sendiri. Perpaduan antara wayang dan musik Hip Hop dengan lirik-lirik Jawa ini mengacu pada pola garap campur antara seni tradisi dengan kekinian. Cerita yang dibawakan oleh dalang bersifat 5
situasional dengan tokoh sentral Punokawan. Salah satu lakon yang terkenal adalah Lakon Endog Jagad yang bercerita tentang pecahnya telur semesta yang menetaskan tiga dewa calon pemimpin Kahyangan. Dalam pertunjukkannya, Wayang Hip Hop tidak menggunakan gamelan, melainkan diiringi dengan musik dj serta alat musik modern seperti bass, gitar, keyboard, drum dll. Layar yang digunakan selama pertunjukkan juga bukan kelir yang terbuat dari kain, melainkan LCD Screen lengkap dengan lampu kerlap-kerlip. Selain Ki Benyek yang berperan sebagai dalang, anggota lainya terdiri dari Tiara Yantika sebagai Sinden, Inung Arhaen dan Tyno t.N.t sebagai rapper, serta Khocil Birawa dan Rio Srundeng sebagai additional talent. Jika melihat Wayang Hip Hop ini sebagai sebuah media komunikasi, dari cerita yang disampaikan oleh dalang sudah tampak bahwa ada kritik yang ingin disampaikan. Terlebih dengan diusungnya konsep Hip Hop, dimana budaya Hip Hop identik dengan kritik, perlawanan dan perjuangan dari sebuah penindasan. Awalnya, Hip Hop digunakan untuk menjernihkan perlawanan ekstrem dari budaya dominan dan menampilkan perjuangan dan kerugian kaum kulit hitam di daerah pemukiman kumuh urban seperti di Bronx dan Los Angeles (Pamungkas. 2011: 9-10). Salah satu bentuk kritik dan perlawanan tersebut disampaikan lewat salah satu elemen budaya Hip Hop yaitu musik Hip Hop atau Rap. Musik Hip Hop ini sarat akan pesan moral dan juga kritik sosial. Kekuatan musik Hip Hop terletak pada lirik lagunya yang terkesan nakal, tajam tapi “ngena” dalam mengkritik realitas sosial yang ada di masyarakat. Hal tersebut yang mungkin saja diterapkan dalam kesenian Wayang Hip Hop. Dari segi ceritanya, Wayang Hip Hop mengangkat mengenai isu realitas sosial dalam masyarakat seperti situasi sosial dan politik. Dalam pementasannya, Wayang Hip Hop juga diiringi dengan alunan musik dj dan rap yang enerjik serta lirik yang kritis dengan
6
campuran Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Wayang ini dikemas secara lebih sederhana dengan maksud agar mudah dipahami oleh semua generasi dan kalangan tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisi yang ada. Wayang Hip Hop merupakan kesenian yang tergolong unik dan masih jarang ditemukan. Sebagai kesenian dengan basis tradisional, Wayang Hip Hop ini mampu beradaptasi dengan perkembangan masyarakat dengan mengusung konsep budaya hibrid. Oleh karena itu, berangkat dari latar belakang di atas peneliti hendak mengkaji pertunjukan wayang hasil kreativitas dalang Ki Catur “Benyek” Kuncoro yang ada di Desa Ngestiharjo, Kasihan Bantul. Dengan melihat Wayang Hip Hop ini sebagai media, peneliti ingin melihat pertunjukan wayang ini sebagai media kritik sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat. B. Rumusan Masalah Bagaimana pertunjukan Wayang Hip Hop dari Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul sebagai hasil hibridisasi budaya yang mampu beradaptasi dalam masyarakat modern menjadi media kritik sosial? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dirumuskan kedalam 2 poin. Poin pertama, secara umum
penelitian
ini
akan
memberikan
pemahaman
tentang
keberlangsungan seni tradisi yang telah mengalami transformasi dalam masyarakat modern di Indonesia. Tentu seni tradisi yang dimaksud di sini adalah seni pewayangan. Kemudian secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertunjukan Wayang Hip Hop dari Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul sebagai hasil hibridisasi budaya yang mampu beradaptasi dalam masyarakat modern menjadi media kritik sosial.
7
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan pemahaman tentang keberlangsungan seni pewayangan yang telah mengalami transformasi dalam masyarakat modern di Indonesia. Dalam hal ini adalah Wayang Hip Hop sebagai hasil hibridisasi budaya yang mampu bertahan di tengah arus globalisasi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan mengenai pertunjukan wayang tersebut sebagai media kritik sosial baik bagi pemerintah maupun masyarakat. E. Kerangka Pemikiran Bertolak dari latar belakang serta rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka dalam kerangka pemikiran ini akan dipaparkan sejumlah pengertian serta beberapa teori yang relevan dengan topik penelitian yang diangkat, antara lain globalisasi dan media, Wayang Hip Hop sebagai bentuk hibridisasi, wayang sebagai media komunikasi, serta Wayang Hip Hop dan kritik sosial. 1. Globalisasi dan Media Menurut asal katanya, globalisasi diambil dari kata global, yang memiliki makna universal. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia semakin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat. Menurut Emmanuel Richter, globalisasi adalah sebuah jaringan kerja yang secara bersamaan manyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar-pencar dan terisolasi ke dalam ketergantungan dan persatuan dunia. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya
8
akan mengendalikan ekonomi dunia. Sedangkan negara-negara kecil semakin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Globalisasi ini berpengaruh besar terhadap masyarakat dunia dan menyentuh banyak aspek kehidupan, khususnya aspek budaya. Robert Holton
(2000)
dalam
“Globalization’s
Cultural
Consequences”
mengungkapkan ada 3 konsekuensi yang ditimbulkan oleh globalisasi terhadap prospek kultur budaya yaitu homogenisasi, polarisasi, dan hibridisasi. Homogenisasi terjadi ketika globalisasi membawa kita kepada kebudayaan yang konvergen, dimana sebuah budaya menjadi dominan pada suatu negara sehingga terjadi keseragaman atau standarisasi terhadap suatu budaya tertentu. Holton juga menyamakan homogenisasi dengan Westernisasi atau Amerikanisasi dengan munculnya brand – brand homogen seperti Coca-cola dan McDonald. Konsekuensi kedua adalah polarisasi. Polarisasi lebih kepada bentrokan antar budaya. Tidak seperti homogenisasi yang menerima begitu saja budaya masuk, polarisasi bersifat sebaliknya yaitu melawan. Holton mengatakan bahwa perubahan teknologi informasi pada globalisasi dengan mudah digunakan sebagai tujuan pertahanan atas etnonasionalisme dan kebencian ras sebagai intercultural dialogue dan pembagian pengalaman. Budaya, kelihatannya, lebih sulit untuk diglobalkan daripada aktivitas politik atau ekonomi. Edward Said mendefinisikan Barat sebagai budaya yang sungguh superior, sedangkan Islam dan negara – negara di Timur Tengah merupakan
budaya
yang
erat
kaitannya
dengan
terorisme
dan
fundamentalisme (Holton, 2000). Benjamin Barber (1995) kemudian memberi gambaran polarisasi sebagai konflik antara McWorld dan jihad. McWorld merupakan sebuah budaya dimana dunia ada di zaman serba cepat seperti makanan cepat saji McDonald atau komputer super cepat besutan Apple, yaitu Mac. Sedangkan jihad merupakan perjuangan
9
fundamentalis keadilan bagi yang tertindas oleh yang lain yang seringkali diidentikkan dengan Islam. Keduanya dipandang sebagai dua kubu yang berlawanan antara pro dan anti globalisasi. Konsekuensi ketiga adalah hibridisasi. Sama seperti hibrid secara biologis yang mengkombinasikan materi genetik yang berbeda, dalam ilmu sosial hibrid mengkombinasikan elemen budaya dari berbagai sumber. Hibridisasi adalah percampuran antara dua atau lebih budaya tanpa ada yang mendominasi. Hal ini berbeda dengan homogenisasi yang cenderung didominasi oleh satu budaya. Hibridisasi menghadirkan fenomena baru terkait dengan aspek budaya dan identitas. Seperti yang dikemukakan Ken Booth dalam tulisan Pieterse (2004) yakni “Identity patterns are becoming more complex, as people assert local loyalties but want to share in global values and lifestyles”. Media memiliki posisi yang sangat signifkan di era globalisasi ini. Sebab hadirnya globalisasi tidak lepas dari keberadaan media. Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima (Heinich et.al., 2002). Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan (Criticos,1996). Dalam hal ini, media dipahami sebagai komponen penting dalam komunikasi yang menjadi perantara atau penyampai pesan dari si pengirim pesan ke penerima pesan. Dalam konteks global, media berperan dalam pertukaran arus informasi yang intensif, luas dan menyeluruh. Tanpa adanya media, globalisasi tidak akan terjadi. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi juga turut andil dalam hal ini, semakin canggih teknologi serta media yang digunakan, maka semakin mudah pula penyebaran serta pertukaran arus informasi ke seluruh dunia. Arus globalisasi yang melanda seluruh aspek kehidupan manusia sejak abad ke-21 membawa pengaruh
10
yang besar bagi masyarakat dunia. Budaya menjadi sasaran empuk arus globalisasi. Hingga pada suatu titik tertentu, pertukaran arus informasi ini akan mengakibatkan benturan antar budaya-budaya di dunia dan mengakibatkan terjadinya globalisasi budaya. Budaya lokal yang dimiliki suatu negara bisa saja menghilang dan digantikan dengan budaya global karena hadirnya globalisasi. Begitu pula dengan nilai-nilai lokal yang terkandung di dalamnya. Walau demikian, tak dapat dipungkiri bahwa globalisasi ternyata juga mampu menghadirkan heterogenitas nilai bagi sebuah kebudayaan contohnya dengan kemunculan budaya hibrid. Dengan hibridisasi, budaya yang ada mampu bertahan dan terus berkembang mengikuti jaman. Contoh budaya hibrid tersebut dapat kita temui dalam beberapa kesenian tradisional yang sudah diinovasi oleh tangan-tangan kreatif. 2. Wayang Hip Hop sebagai bentuk Hibridisasi Dalam bahasan sebelumnya sudah dipaparkan bahwa salah satu konsekuensi yang ditimbulkan oleh globalisasi terhadap prospek kultur budaya adalah Hibridisasi. Hibridisasi menghadirkan fenomena baru terkait dengan aspek budaya dan identitas. Globalisasi yang mengaburkan batas ruang dan waktu ini membuat masyarakat menjadi bagian dari keberagaman global sehingga mereka bisa merasakan hibridisasi budaya dan memiliki multiple identities. Hal ini yang kemudian membawa masyarakat pada global melange, yaitu proses yang mengindikasikan terjadinya perpindahan kebudayaan yang tidak berlangsung di daerah asalnya ( Pieterse, 2004). Misalnya dalam bidang musik, literatur dan seni kontemporer. Jan Nederveen Pieterse menyebutkan bahwa konsep globalisasi sebagai hibridisasi yakni budaya baru sebagai hasil saling silang atau pencangkokan dari berbagai budaya, transisi dari berbagai sumber budaya,
11
dan pengemasan baru dari budaya lama, seperti disitir Jazuli (2000: 9198). Hibridisasi juga merujuk pada proses saling mengikatnya budaya satu dengan budaya lainnya. Budaya tersebut mengadopsi nilai-nilai yang dianggap baik dan meninggalkan nilai-nilai yang dianggap kurang baik dari masing-masing budaya. Proses hibridisasi ini memberikan warna baru pada kebudayaan lokal yang ada. Dalam hal ini kita perlu membedakan konsep hibridisasi dengan akulturasi dan asimilasi. Sebab ketiga konsep tersebut agak-agak mirip dan sering kali membuat para masyarakat awam rancu. Umumnya definisi asimilasi dan akulturasi yang digunakan pada beberapa buku teks pelajaran di Indonesia mengacu pada apa yang dikemukakan Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1980). Asimilasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Dalam pengertian yang berbeda, khususnya berkaitan dengan interaksi antar kebudayaan, asimilasi diartikan sebagai proses sosial yang timbul
apabila
ada
kelompok-kelompok
manusia
yang
berbeda
kebudayaannya, individu-individu sebagai anggota kelompok itu saling bergaul secara langsung dan intensif dalam waktu yang relatif lama, serta kebudayaan-kebudayaan dari kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri. Golongan yang dimaksud dalam proses asimilasi tersebut adalah golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini, golongan minoritas merubah sifat khas dari unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lama kelamaan kepribadian kebudayaannya pun menghilang, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan identitas 12
etnik dan kecenderungan asimilasi bisa terjadi apabila terjadi interaksi antarkelompok yang berbeda, dan jika ada kesadaran dari masing-masing kelompok. Sedangkan akulturasi didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu semakin lama diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dalam hal ini Poerwanti Hadi Pratiwi dalam tulisannya yang berjudul Asimilasi dan Akulturasi: Sebuah Tinjauan Konsep memaparkan bahwa terdapat perbedaan antara bagian kebudayaan yang sulit berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (covert culture), dengan bagian kebudayaan yang mudah berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (overt culture). Covert culture misalnya, sistem nilai-nilai budaya, keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan beberapa adat yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. Sedangkan overt culture misalnya kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna, tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang berguna dan memberi kenyamanan. Dalam ilmu sosial, istilah asimilasi dan akulturasi seringkali dipergunakan tumpang tindih. Ada sebagian pendapat yag mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai oleh para ahli sosiologi, sedangkan istilah akulturasi lebih sering digunakan oleh ahli antropologi (Gordon, 1964: 61) dan lebih merupakan istilah spesifik yang lazim dipakai para ahli antropologi di Amerika (Herskovits, 1958). Di kalangan sebagian mahasiswa di Jerman, lapangan studi akulturasi lebih dikenal
13
dengan kajian tentang perubahan kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih populer dengan studi perihal pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Hari Poerwanto (1999) dalam jurnalnya yang berjudul Asimilasi, Akulturasi dan Integrasi Nasional menyatakan bahwa pada dasarnya, pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi maupun akulturasi memiliki
persamaan.
Walau
begitu,
dalam
pengertian
tersebut
menunjukkan adanya dimensi yang berbeda. Sebagai contoh, pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Ernest W. Burgess dalam Encyclopaedia of the Social Sciences (1957), antara lain mengatakan “… a process of interpretation and fusion in which persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and by sharing their experience and history, are incorporates with them in a common cultural life.” Lebih lanjut Ernest W. Burgess mengatakan bahwa dalam kontak-kontak sosial tersebut yang diawali dengan terjadinya interaksi yang bersifat pribadi dan mendalam terutama akan berguna untuk meletakkan dasar-dasar dari suatu hubungan lebih lanjut Selanjutnya, diterimanya secara bulat akulturasi sebagai lapangan studi disiplin antropologi di Amerika Serikat dapat dikatakan masih relatif baru. Untuk pertama kalinya, kajian tentang akulturasi mulai dikemukakan pada pertemuan tahunan dari American Anthropological Association tahun 1930. Berdasarkan perumusan yang dibuat oleh Roberts Redfield, Ralph Linton, dan Melville J.Herskovits dari Sub Komite Akulturasi dalam kongres Social Science Research Counchil 1930, yang dimuat sebagai “Memorandum for the Study of Acculturation”, American Anthropologist, Vol. 38 No. 1 (Januari-Maret 1936), hlm.136 dikatakan bahwa akuturasi adalah “…comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different culture comes into continous first hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups.”
14
Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisi suatu pengertian mengenai terjadinya pertemuan orang-orang atau perilaku budaya. Sebagai akibat pertemuan tersebut, kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk. Perbedaannya adalah tidak ditemukannya ciri-ciri struktural dalam pembatasan akulturasi. Sedangkan di dalam pembatasan asimilasi, hubungan yang bersifat sosiostruktural tersermin dari kata-kata “…sharing their experience” dan “…incorporated with in a common cultural life”. Lebih lanjut Arnold M. Rose dalam Poerwanto (1999) juga menjelaskan perbedaan antara asimilasi dan akulturasi. Ia menyatakan bahwa asimilasi adalah “…the adoption of the culture of another social group a complete extent that the person or group no longer has any characteristic identifying him with his former culture and no longer has any particular loyalities to his former culture. Or, the process leading to his adoption.” Atas dasar pembatasan tersebut maka leading to this adoption atau suatu adopsi kebudayaan asing yang demikian luas dan lengkap lebih tepat disebut asimilasi, sedangkan akulturasi dikatakannya hanya “…the adoption by a person or group of the culture of another social group” adalah akulturasi. Loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil, dan akhirya kelompok tersebut mengidentifikasi dirinya ke dalam suatu kebudayaan baru. Hal tersebut jelas berbeda dengan hibridisasi. Hibridisasi diartikan sebagai suatu cara, dimana suatu bentuk dipisahkan dari kesatuannya (keberadaanya) untuk kemudian digabungkan dengan bentuk lain yang baru. Dalam konsep ini, berarti ada unsur yang dianggap uggul yang dipindahkan atau diambil dari asalnya untuk kemudian digabungkan dengan unsur lain yang juga dianggap unggul. Konsep hibridisasi Pieterse mengandung dua dimensi. Pertama, adalah ide tentang percampuran atau penggabungan baik yang berkaitan
15
dengan ruang maupun waktu. Kedua adalah dimensi peningkatan (increasing). Jadi dalam proses penggabungan yang tentu saja disertai perubahan ada proses peningkatan, terutama peeningkatan kualitas maupun kuantitas. Percampuran ini bisa terjadi dalam beragai bidang, dengan memadukan keunggulan dari masing-masing dimensi ruang dan waktu. Dari dimensi ruang kita bisa melihat bahwa masing-masing bangsa mempunyai keunggulan yang bisa kita ambil dan kemudian kita padukan dengan keunggulan kita. Dari dimensi waktu, budaya masa lalupun tidak sepenuhnya buruk, masih ada nilai-nilai yang bisa kita bawa ke masa depan. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan dimensi waktu, perlu melakukan evaluasi terhadap budaya kita, nilai-nilai apa yang bisa kita ambil untuk kita bawa ke depan, dan nilai-nilai mana yang memang sudah tidak lagi relevan untuk menghadapi masa depan. Evaluasi itu juga berkait dengan konsep yang kita pegang. Selanjutnya, hibridisasi membantu proses pengkomunikasian nilainilai budaya yang kemudian berujung pada semakin mudahnya nilai-nilai tersebut dikenal dan kemudian diakui serta dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat. Hibridisasi budaya tersebut termanifestasi dalam bentukbentuk nilai cipta, rasa, dan karsa yang kemudian bisa dikonsumsi oleh masyarakat secara luas. Globalisasi budaya membawa dampak pada proses hibridisasi dalam kesenian lokal dimana nilai-nilai budaya yang ada dalam kesenian lokal tersebut mengalami peleburan dengan budaya luar. Wayang Hip Hop yang berasal dari Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul merupakan salah satu contohnya. Hip hop merupakan sebuah gerakan budaya yang lahir di Amerika Serikat pada awal 70-an dan kini telah berkembang pesat dan tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Hip hop merupakan sebuah gerakan kebudayaan yang mulai tumbuh sekitar tahun 1970’an di daerah Bronx, sebuah kawasan kumuh di sebelah utara New York. Musiknya yang penuh semangat dan dekat dengan keseharian anak muda membuat Hip Hop 16
dapat diterima dengan mudah. Hip Hop menjadi popular music dan komunitasnya bermunculan dimana-mana. Hip Hop merupakan perpaduan yang sangat dinamis antara elemen-elemen yang terdiri dari MC-ing (rapping), DJ-ing, Breakdance, dan Graffiti. Elemen-elemen tersebut dipadukan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perpaduan yang sempurna. Maka tak heran apabila musik Hip Hop menjadi salah satu jenis musik yang cukup diminati saat ini. Dalam pertunjukan Wayang Hip Hop, budaya Hip Hop tampak begitu epik berpadu dengan unsur-unsur kebudayaan lokal Jawa. Misalnya, Ki Benyek yang seorang dalang dalam menyampaikan lakonnya sambil nge-rapp, ia juga menggunakan kacamata hitam, kadang dengan kalung rantai panjang ala anak Hip Hop. Selain itu, Ki Benyek juga ditemani oleh dua rapper dan satu sinden dengan gaya Hip Hopnya. Mereka melantunkan lagu-lagu rap saat pertunjukan wayang berlangsung. Lagu rap yang dinyanyikan bukan sembarang rap, melainkan lirik lagunya ditulis dengan mencampurkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Jawa. Selain itu, unsur budaya Hip Hop juga tampak dalam bentuk wayang yang dilakonkan. Jika dalam wayang kulit purwa, baju yang digunakan adalah baju adat Jawa. Lain halnya dengan Wayang Hip Hop, para tokoh wayangnya menggunakan kostum ala Hip Hop seperti kaos gombrong, jumper, celana jeans, serta aksesoris blink-bink. Dalam pertunjukannya, Wayang Hip Hop menggunakan LCD screen serta iringan musik DJ. Dengan perpaduan dua budaya tersebut, wayang yang umumnya identik dengan orang tua, kini bisa menyentuh semua generasi dan semua kalangan. Nilai-nilai, pesan-pesan moral bahkan kritik sosial lebih mudah disampaikan sehingga wayang masih mampu menjadi media komunikasi yang baik dan efektif bagi masyarakat. Dengan ini, kehadiran globalisasi justru
dianggap
mampu
memperkaya
kebudayaan
lokal,
dan
mempermudah nilai-nilai budaya lokal untuk dikomunikasikan kepada
17
masyarakat. Lebih jauh, globalisasi mampu terintegrasi ke dalam budaya lokal itu sendiri lewat hibridisasi. 3.
Wayang sebagai media komunikasi Wayang merupakan warisan kekayaan budaya yang sudah ada
sejak zaman nenek moyang. Wayang adalah salah satu unsur kebudayaan Indonesia yang mengandung nilai seni, pendidikan dan nilai pengetahuan yang tinggi. Kata “wayang‟ diartikan sebagai bayangan. Wayang merupakan sebuah seni dekoratif, ekspresi kebudayaan nasional yang dimainkan oleh seorang dalang. Secara umum, cerita wayang diambil dari cerita naskah Mahabarata dan Ramayana. Dalam pementasanya, pertunjukkan wayang diiringi dengan musik gamelan yang dimainkan oleh sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh pesinden. Hingga saat ini, wayang terus berkembang mengikuti alur zaman. Budaya wayang yang berkembang selama berabad–abad telah memunculkan berbagai ragam jenis wayang mulai dari paling tua, yaitu wayang beber hingga wayang inovasi baru, yaitu wayang jenis kontemporer. Wayang bukan sekedar karya seni yang diwariskan secara turun menurun dari nenek moyang, lebih dari itu wayang adalah sebuah media. Wayang telah ada sejak beberapa abad yang lalu di zaman prasejarah. Sejak saat itu, wayang telah berfungsi sebagai media, yaitu
media
pemanggil roh nenek moyang dalam upacara keagamaan masyarakat Jawa, penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dalam hal ini wayang dimaknai sebagai media komunikasi ritual. Deddy Mulyana (2007) berpendapat bahwa komunikasi ritual merupakan proses pemaknaan pesan sebuah kelompok terhadap aktifitas religi dan sistem kepercayaan yang dianutnya. Komunikasi ritual biasanya dilakukan secara kolektif atau bersama-sama oleh sebuah komunitas yang berkenaan dengan ritual-ritual tertentu dan dilakukan secara rutin. Misalnya saat upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pernikahan dan lain-lain. Orang dalam komunitas
18
tersebut melakukan komunikasi ritual sebagai bentuk komitmen mereka terhadap tradisi yang dipegangnya. Wayang sebagai media komunikasi ritual sudah ada sejak zaman prasejarah dimana wayang digunakan sebagai media pemanggil roh nenek moyang terdahulu untuk meminta keselamatan. Hingga saat ini pun masih ada sebagian masyarakat yang menggunakan wayang sebagai media komunikasi ritual, misalnya dalam acara ruwatan, slametan, dan lain-lain. Dalam proses komunikasi ritual tersebut, terjadi pemaknaan simbol-simbol tertentu dari media yang digunakan. Misalnya simbol yang terdapat dalam kelir, debog, keprak, cempala, gamelan dan lain-lain. Namun seiring berjalannya waktu, zaman terus berkembang. Begitu pula dengan fungsi wayang. Fungsi wayang sebagai media komunikasi ritual yang erat kaitannya dengan tradisi kian memudar dan bergeser menjadi media komunikasi sosial, ekspresif dan instrumental. Wayang yang awalnya hanya digunakan sebagai media untuk memanggil roh nenek moyang kini telah digunakan sebagai media penyampai pesan maupun informasi yang mampu
mendidik,
menghibur,
memberikan
pemahaman
bahkan
mengkritik masyarakat. Secara umum, media dapat diartikan sebagai suatu alat atau sarana komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan atau khalayak. Media dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu media modern dan tradisional. Media modern yang juga diistilahkan dengan “media elektronika” mengacu pada karakteristik media yang berkembang akhir-akhir ini dengan basis teknologi. Atau dengan kata lain media ini lahir karena adanya teknologi seperti radio, televisi, hingga yang terbaru adalah internet. Sedangkan media tradisional dikenal juga media rakyat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, yaitu alat komunikasi yang sudah ada di tengah masyarakat dan digunakan di suatu tempat (desa)
19
sebelum kebudayaannya tersentuh oleh teknologi dan dimanfaatkan sampai sekarang (Nurudin, 2007: 114). Dalam hubungan ini, Coseteng dan Nemenzo mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka
dengan
maksud
menghibur,
memaklumkan,
menjelaskan,
mengajar, dan mendidik (Jahi, 1988). Dari penjabaran tersebut, dapat kita lihat bahwa media tradisional adalah suatu identitas dan perekat sosial di masyarakat. Di tengah era teknologi, berbagai macam informasi sudah berkembang sedemikian rupa menggunakan teknologi yang begitu canggih, sehingga informasi yang dibutuhkan masyarakat bisa dinikmati dalam hitungan detik. Hal ini menunjukkan persaingan dalam hal informasi yang memanfaatkan media modern untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Sekalipun media massa modern di Indonesia sekarang berkembang pesat, media tradisional tetap tidak kalah dalam menyampaikan informasi karena media tradisional merupakan komunikasi sosial yang tidak akan terpisahkan dari kehidupan manusia. Nurudin (2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional. Dalam hal ini, wayang termasuk di dalamnya. Menurut Kathy Foley, wayang mempunyai dua fungsi utama dalam kehidupan sosial politik, yaitu: pertama, sebagai terompet pemerintah
untuk
masyarakat,
dan
kedua,
sebagai
alat
untuk
menyampaikan kehendak masyarakat untuk pemerintahnya. Dengan demikian, wayang dapat dijadikan alat komunikasi dua arah. Cerita wayang selain disampaikan kepada masyarakat lewat kaset rekaman maupun buku, juga dapat dikomunikasikan melalui pertunjukan (Nursodik, 2011: 58).
20
Dalam kajian ilmu komunikasi secara sederhana komunikasi memiliki unsur yaitu sumber (source), pesan (Message), media (channel) dan penerima (receiver). Dalam menyampaikan sebuah pesan, media memiliki peranan yang sangat penting dalam menghubungkan sumber dan penerima pesan. Jika media yang digunakan dalam komunikasi merupakan pertunjukan wayang maka pertunjukan tersebut berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan penyampai pesan yaitu dalang dengan penerima pesan yaitu penonton, dan sebaliknya. Saat pertunjukan wayang kulit digelar, berbagai reaksi afektif penonton seperti tertawa, berteriak, tepuk tangan, berdecak kagum, mengangguk-ngangguk menghayati, dan lain-lain
menunjukkan
bahwa
pertunjukan
tersebut
komunikatif
(Nurgiyantoro, 1998: 37). Sebagai fenomena komunikasi, pertunjukkan wayang mengutamakan komunikasi efektif yang disampaikan lewat caracara yang menarik. Dalam sebuah proses komunikasi pasti ditemukan beberapa keterbatasan. Begitu pula komunikasi yang terjadi pada sebuah pertunjukan wayang. Kanti Waluyo menyatakan, dari berbagai hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi melalui wayang adalah dalang. Ketika dalang dapat menjalankan perannya dengan baik, maka komunikasi yang terjadi lewat pertunjukan wayang tersebut dapat berjalan dengan efektif. Efektivitas pesan yang disampaikan dalang sendiri dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu pengetahuan umum baik mengenai seni pedalangan maupun pesanpesan pembangunan, pengalaman mendalang, perkumpulan dalang yang diikuti, kemampuan dalang dalam berkomunikasi, penguasaan terhadap norma-norma yang berlaku di tempat pagelaran wayang serta suara dan estetika dalang dalam menuturkan cerita (Nursodik Gunarjo, 2011: 61-64). Dalam pertunjukan wayang, seorang dalang bertugas memimpin pertunjukan wayang secara keseluruhan. Lebih jelasnya, segala kendali dalam pertunjukan wayang ada pada kuasa dalang. Menilik artian dalang 21
itu sendiri, Groendel (1987: 6) menyatakan bahwa dalang adalah tokoh utama dalam semua bentuk teater wayang. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat tertentu, pemimpin suara gamelan, dan di atas segalanya, dalang adalah pemberi jiwa pada boneka atau tokoh wayang. 4. Seni Pertunjukan Wayang Hip Hop dan Kritik Sosial Kritik sosial merupakan frase yang terdiri dari dua kata yaitu kritik dan sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik adalah suatu tanggapan atau kecaman yang kadang-kadang disertai dengan uraian dan pertimbangan baik maupun burukya suatu hasil karya, pendapat, dan gaya hidup. Kata kritik bermakna suatu penilaian yang dikemukakan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan tentang suatu hal, sedangkan sosial adalah suatu hal berkenaan dengan perilaku interpersonal, atau berkaitan dengan proses sosial (Soekanto, 1993). Sosial juga bisa berarti sekumpulan orang yang hidup bersama dalam situasi yang lama dan diikat dengan nilai-nilai yang dianut. Kritik sosial juga dapat didefinisikan suatu aktivitas yang berhubungan
dengan
penilaian,
perbandingan,
dan
pengungkapan
mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan pedoman. Hal ini dilakukan untuk menilai atau menguji keadaan masyarakat. Dengan kata lain, kritik sosial berfungsi sebagai tindakan untuk membandingkan serta mengamati secara teliti dan melihat perkembangan secara cermat tentang baik atau buruknya kualitas suatu masyarakat. Masyarakat kebudayaan
dan
merupakan tradisi
kumpulan
yang
selalu
manusia
yang
berubah
sesuai
memiliki dengan
perkembanganya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat berupa nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku,
22
organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapiasan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya (Basrowi, 2005: 38). Dinamika perubahan masyarakat tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal yaitu faktor yang berhubungan erat dan melekat dalam diri masyarakat itu sendiri dan juga bisa faktor eksternal yang berasal dari luar masyarakat seperti adanya penemuan baru, pengaruh budaya lain, kebijakan, maupun lingkungan. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarkat juga bisa datang dari hal-hal kecil yang dilakukan sebagian orang atau media modern maupun media tradisional. Perubahan yang dihasilkan atas dasar pesan yang dikomunikasikan seperti perubahan nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku masyarakat, semua terlahir dari komunikasi yang bersifat kritikan yang membangun dan memberi perubahan terhadap konstruksi masyarakat (Nursodik Gunarjo, 2011: 259). Dalam hal ini, kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya suatu sistem sosial atau proses bermasyarakat. Kritik sosial dapat disampaikan melalui berbagai cara, mulai dari cara tradisional, ungkapan sindiran melalui komunikasi antar personal dan komunikasi sosial, seni sastra dan media massa. Tindakan mengkritik dapat dilakukan oleh siapapun termasuk sastrawan dan seniman. Sejak masa pencerahan di Eropa, kritik sosial dituangkan dalam bentuk tulisan (sastra). Hal ini dilakukan karena sastra membantu gerakan kelas menengah sebagai alat untuk memperoleh harga diri mereka serta mengungkapkan tuntutan-tuntutan manusiawi melawan negara absolut dan masyarakat hierarkies (Eagleton, 2003: 2). Secara garis besar, kritik sosial dapat digolongkan menjadi dua jenis berdasarkan cara pengekspresianya, yaitu kritik sosial yang dilakukan secara terbuka dan kritik yang dilakukan secara tertutup atau terselubung.
23
Kritik sosial secara terbuka merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan dalam menilai, menganalisis dan mengkaji sebuah fenomena sosial secara langsung. Misalnya seperti mogok makan, mogok bekerja serta demonstrasi yang dilakukan secara massal. Sedangkan kritik sosial yang dilakukan secara terselubung biasanya diekspresikan dalam bentuk seni, salah satunya adalah seni pertunjukan. Seni pertunjukan merupakan sebuah penyajian bentuk karya seni dengan cara dipertontonkan. Seni pertunjukan terdiri dari dua suku kata yaitu seni dan pertunjukan, menurut The Liang Gie (1996: 18) seni adalah segenap kegiatan budi pikiran seorang seniaman yang secara mahir menciptakan suatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia. Sedangkan pertunjukan sama dengan pementasan atau dipertontonkan. Dalam proses pertunjukan terdapat elemen-elemen penting yang harus ada, yaitu pemain (performer), penonton (audience), dan pesan (idea). Ketiganya merupakan jalinan atau hubungan interaksi yang secara sengaja dan disadari. Jadi seni pertunjukan adalah suatu bentuk seni yang menggabungkan elemen-elemen bentuk seni lain, seperti lukisan, film, tari, dan drama yang ditampilkan dengan cara dipentaskan atau dipertunjukkan. Di Indonesia sendiri, khususnya di Tanah Jawa, tumbuh dan berkembangnya seni pertunjukan dibagi menjadi dua tempat, pertama di lingkungan masyarakat dan yang kedua di lingkungan keraton. Seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat biasa disebut low culture atau lebih tepatya adalah folk culture, misalnya, ledek, kethoprak, ludruk, dll. Sedangkan seni pertunjukan yang berkembang di lingkungan keraton sering disebut pula sebagai high culture, yaitu seni yang tinggi atau adiluhung. Dulu, seni yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton hanya dipentaskan dan dinikmati oleh orang-orang yang berada di lingkungan keraton. Seni adiluhung yang tumbuh di lingkungan keraton salah satunya adalah pertunjukan wayang.
24
Dahulu orang menyebut wayang identik dengan wayang kulit purwa. Namun seiring berkembangnya zaman serta munculnya isu globalisasi, lahirlah wayang inovasi baru yaitu wayang kontemporer. Wayang kontemporer muncul melalui gagasan kreatif para pelaku seni guna mempertahankan minat masyarakat terhadap pertunjukan wayang. Memang tidak bisa dipungkiri, hadirnya gobalisasi telah membawa konsekuensi bagi budaya lokal yang ada di dalam masyarakat, tak terkecuali kesenian tradisional. Wayang kontemporer merupakan hasil dari hibridisadi budaya sebagai akibat dari globalisasi. Wayang jenis ini menggabungkan unsur-unsur tradisional (budaya lokal) dengan nilai-nilai modern (budaya luar) yang dibawa oleh globalisasi. Kita bisa menyebutnya sebagai budaya hibrid. Hibridisasi budaya menjadikan kesenian wayang yang dulunya “saklek” dengan aturan atau pakem yang harus disepakati, kini lebih dinamis. Berbeda
dengan
wayang
klasik
yang
mengangkat
cerita
Mahabharata dan Ramayana, wayang kontemporer mengangkat cerita seputar kehidupan masyarakat, seperti isu-isu di bidang politik, ekonomi, pembangunan dan sosial budaya. Melalui kesenian tersebut, masyarakat menyampaikan kritik sosialnya kepada para penguasa, atau elit pemeritah yang dirasa tidak adil dalam menjalankan kekuasaan. Di sisi lain, kritik yang disampaikan tak hanya ditujukan kepada pemerintah, melainkan juga untuk diri mereka sendiri (self-criticism). Oleh karena itu, keseniaan wayang kontemporer merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang dapat digunakan sebagai media kritik sosial. Contohnya adalah pertunjukan Wayang Hip Hop dari Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Kritik sosial tampak begitu melekat dalam Wayang Hip Hop. Wayang sendiri sudah sarat akan kritik lewat lakonnya, kritik tersebut samakin diperkuat dengan dipadukannya budaya Hip Hop. Hip hop merupakan budaya yang lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan kaum Afro-America. Emmet G. Price (2006: 1) menyebutkan 25
bahwa musik Hip Hop lahir sebagai hasil dari pergerakan hak-hak sipil generasi baru yang dipicu oleh anak-anak muda yang merasa terasingkan, termarginalisasi dan tertekan. Price (2006: 9) menambahkan bahwa Hip Hop berkembang sebagai pergerakan kebebasan dalam bentuk sebuah budaya yang berbeda. Jadi dapat dikatakan bahwa Hip Hop adalah solusi produk dari sikap self-determination, self-realization, kreativitas dan kebanggaan masyarakat tersebut. F. Desain Penelitian Globalisasi membawa konsekuensi bagi sebuah kebudayaan. Salah satu konsekuensinya adalah hibridisasi budaya, yaitu perpaduan antara budaya global dengan budaya lokal tanpa ada yang mendominasi. Budaya yang terbentuk adalah murni budaya baru hasil perpaduan tersebut, salah satu contohnya adalah kesenian wayang kontemporer dari Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, “Wayang Hip Hop”. Kesenian wayang sendiri bukan sekedar karya seni yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang, lebih dari itu wayang adalah sebuah media, baik media penerangan, pendidikan, dakwah, pemahaman filsafat dan kritik sosial. Dalam hal ini, peneliti melihat pertunjukan Wayang Hip Hop sebagai sebuah media kritik sosial. Di dalam sebuah proses komunikasi, media tidak bisa lepas dari komunikator, komunikan serta pesan. Elemenelemen tersebut saling berhubungan, begitu pula dalam pertunjukan Wayang Hip Hop. Wayang ini digunakan oleh dalang, termasuk rapper dan juga sinden untuk menyampaikan pesan kepada penonton. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, Wayang Hip Hop membawa dua pesan penting yaitu kritik sosial dan dakwah budaya. Fokus penelitian ini adalah melihat Wayang Hip Hop sebagai media kritik sosial. Sesuai dengan penuturan narasumber, kritik sosial yang dibawa Wayang Hip Hop termuat dalam lakon dan lirik lagunya, maka dengan melihat dua
26
hal tersebut peneliti akan membahas seperti apa kritik sosial yang disampaikan. Untuk mempermudah analisis serta menguraikan hasil penelitian, peneliti membedah kritik sosial tersebut dalam beberapa kategori, diantaranya, posisi kritik, gagasan kritik, sasaran kritik, serta respon kritik. Berdasarkan uraian di atas, peneliti gambarkan desain penelitiannya sebagai berikut. Pelaku; Dalang, Sinden, dan Rapper
Kritik Sosial
Pesan
Lakon (Endog Jagad, Salah Kaprah, Tragedi Kompor Gas LPG)
Posisi Kritik
Audiens; Generasi Muda
Pertunjukan Wayang Hip Hop
Pesan Budaya
Lirik Lagu ( Dilarang Miskin, Salin Srengat, Jula-juli Dangdut Bacokan, dan Gudul Pacul Remix)
Gagasan Kritik
Sasaran Kritik
Respon Kritik
Gambar 1.1 Desain Penelitian
G. Metodologi Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian Wayang Hip Hop ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya keadaan masyarakat, perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan yang dilakukan seorang tokoh dan inividu yang
27
berpengaruh (Moelong, 2006: 6). Pendekatan ini akan mempermudah peneliti dalam berhubungan langsung dengan yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Peneliti berusaha untuk mengkaji dan menggali sebuah fenomena tertentu, yang khusus, unik dan jarang ditemui, yaitu Wayang Hip Hop dari Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul sebagai bentuk dari kesenian wayang kontemporer hasil hibridisasi budaya menjadi media kritik sosial. Dalam hal ini, studi kasus merupakan suatu penelitian dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan (program, event, proses, institusi atau kelompok sosial) serta mengumpulkan informasi secara terperinci dan mendalam dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu. Fokus dari metode penelitian studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan (Creswell, 1998: 37-38). Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan jenis studi kasus mendalam (intrinsic case study). Penelitian ini dimaksudkan untuk meneliti Wayang Hip Hop secara mendalam. Peneliti ingin melihat kritik sosial yang ada dalam pertunjukan Wayang Kulit Hip Hop tersebut melalui penuturan cerita dalang, lirik lagu atau rap yang dinyanyikan, serta cerita atau lakon yang diangkat. Perlu dicatat bahwa penelitian ini sendiri tidak dimaksudkan untuk mewakili kasus lain, sehingga tidak bisa diterapkan di penelitian-penelitian lainnya kecuali penelitian tersebut memiliki karakteristik yang sama. 1.
Objek penelitian Objek penelitian ini adalah Wayang Hip Hop yang ada di Desa
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Wayang Hip Hop adalah suatu pagelaran seni pertunjukkan wayang kulit milik Ki Catur “Benyek” Kuncoro yang
28
memadukan unsur tradisi dan modernitas. Bagi peneliti, kesenian ini merupakan bentuk kesenian kontemporer hasil hibridisasi budaya yang tergolong unik. 2.
Teknik pengumpulan data Prosedur pengumpulan data merupakan salah satu hal yang sangat
penting bagi sebuah penelitian sehingga data yang diperoleh benar-benar sesuai dengan judul yang ditentukan. Menurut Sugiyono (2006: 193), teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan, wawancara, angket, dokumentasi dan gabungan dari keempatnya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 3 teknik pengumpulan data yaitu : a.
Wawancara mendalam (in-depth interview)
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid, peneliti melakukan wawancara secara mendalam kepada narasumber penting. Dalam hal ini, peneliti mewawancarai Ki Catur “Benyek” Kuncoro sebagai informan utama sebab ialah pencetus lahirnya Wayang Hip Hop. Ki Benyek pula yang berperan sebagai dalang dalam pertunjukan wayang tersebut. Dengan wawancara mendalam bersama Ki Benyek, informasi yang diperoleh diharapkan bisa lengkap dan rinci. Hal ini dikarenakan Ki Benyek tahu secara detail seluk beluk Wayang Hip Hop. Selain wawancara mendalam dengan dalang, untuk menambah informasi, peneliti juga melakukan wawancara (bukan in-depth interview) dengan anggota lainnya seperti sinden dan juga rapper. Teknik wawancara yang digunakan sifatnya tidak beraturan tetapi terkonsep. Cara ini bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dan leluasa dalam memperoleh data tentang wayang sebagai media kritik sosial beserta faktor-faktor yang mendasarinya. Narasumber diwawancarai seputar seluk beluk Wayang Hip Hop, seperti asal usulnya, bagaimana program pentasnya, lakon apa saja yang diangkat, apa yang 29
menjadi gagasan, muatan dan sasaran kritiknya, bagaimana posisi kritiknya serta saran dan harapannya untuk kesenian wayang sebagai sebagai media komunikasi masyarakat agar tetap diminati dan lain-lain. Wawancara dilakukan di Sanggar Wayang Hip Hop yang juga merupakan tempat tinggal Ki Benyek. Wawancara mendalam secara langsung dan tatap muka dilakukan sebanyak dua kali dengan rentang waktu yang cukup lama dari wawancara yang pertama ke wawancara yang ke dua. Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 24 Juni 2015, sedangkan wawancara yang kedua pada tanggal 19 September 2015. Selama rentang waktu 3 bulan tersebut, peneliti melakukan observasi serta studi dokumentasi. b.
Observasi
Peneliti juga mengumpulkan data melalui observasi. Peneliti mengamati seperti apa pertunjukan Wayang Hip Hop tersebut berlangsung. Sebelum melakukan wawancara mendalam dengan Ki Benyek, peneliti melakukan observasi terlebih dahulu. Peneliti mengamati pentas kesenian Wayang Hip Hop secara langsung pada acara Srawung Budaya di Monumen Serangan Umum Satu Maret yang diselenggarakan oleh Padmanaba pada tanggal 24 Mei 2015. Saat melihat pertunjukan Wayang Hip Hop tersebut, penulis mengamati dan mencatat apa saja yang bisa menjadi bahan penelitian. Misalnya, konsep wayangnya seperti apa, bentuk wayangnya bagaimana, pentas yang berlangsung seperti apa, animo penonton, letak kritiknya dimana dan lain-lain. Observasi selanjutnya peneliti lakukan saat berkunjung ke Sanggar Wayang Hip Hop untuk wawancara mendalam dengan Ki Benyek pada tanggal 24 Juni 2015. Seusai wawancara, peneliti melakukan pengamatan secara lebih dekat terhadap tokoh-tokoh wayang, properti, serta alat-alat yang digunakan untuk pentas Wayang Hip Hop. Setelah itu, pada tanggal
30
29 Juni 2015 peneliti kembali melakukan observasi secara langsung dengan mengamati pentas Wayang Hip Hop dalam acara Tamansari Art Festival II, diskusi budaya "Menjadi Manusia Jawa Sejati" bersama Cak Nun dan Kyai Kanjeng di Plasa Ngasem,Taman Sari. Kegiatan observasi peneliti lakukan secermat mungkin, mengamati bagaimana dalang mementaskan wayangnya, bagaimana sinden nembang dan bagaimana rapper menyanyikan lagu-lagu rapnya, bagaimana reaksi dan respon penonton juga peneliti amati. Pengamatan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Peneliti tak hanya mengamati tapi juga mencoba memahami pertunjukan Wayang Hip Hop tersebut, seperti pesan apa yang ingin disampaikan, dimana nilai-nilai kritis dalam pertunjukan Wayang Hip Hop tersebut, kritik seperti apa yang disampaikan, kritik ditujukan kepada siapa dan lain-lain. Dengan melakukan serangkaian observasi tersebut diharapkan informasi atau data yang dibutuhkan untuk penelitian menjadi lebih lengkap. Proses pengamatan ini bersifat pengamatan yang tidak terstruktur yaitu proses pengamatan yang disesuaikan dengan keadaan peneliti, hal ini dilakukan dengan mengamati obyek penelitian secara langsung dan mendiskripsikan keadaan secara detail (Sugiyono, 2006: 205). c.
Studi dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan dengan cara mencatat peristiwaperistiwa yang sudah berlalu (Sugiono, 2006:329). Metode dokumentasi adalah metode mencari data mengenai hal-hal yang variabelnya berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, lengger, agenda dan lain sebagainya (Arikunto, 2006: 231). Dokumendokumen yang didapatkan dalam proses penelitian merupakan sumber data sekunder yang bisa digunakan dalam prosedur penelitian.
31
pengumpulan data
Dalam hal ini peneliti mencari dan mengumpulkan dokumen dari berbagai sumber mulai dari internet, buku, surat kabar, majalah, serta penelitian-penelitian sebelumnya terkait Wayang Hip Hop. Data penelitian yang diperoleh berupa catatan pentas Wayang Hip Hop, lirik-lirik lagu, perjalanan karir Ki Benyek, foto-foto hasil dokumentasi Wayang Hp Hop, video pentas, skripsi-skripsi terdahulu tentang Wayang Hip Hop dan segala hal yang berhubungan dengan penelitian ini. Tentunya data-data yang dicari adalah data-data dengan tema yang berkaitan dengan kritik sosial. 5. Teknik analisis data Analisis data merupakan suatu proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan urutan dasar, dikarenakan data tersebut masih bersifat bertebaran, sehingga peneliti diwajibkan mengklasifikasikan ke dalam kategori tertentu untuk mendapatkan pemaknaan terhadap data (Kriyantono, 2006: 196). Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan teknik analisis data kualitatif Marshall dan Rossman (2007), yaitu: a.
Mengorganisasikan Data
Peneliti mendapatkan data langsung dari informan yaitu Ki Benyak melalui wawancara mendalam (in-depth inteviw), serta wawancara dengan anggota Wayang Hip Hop yang lain. Data diperoleh dengan cara membuat transkrip wawancara yang sudah direkam menggunakan handphone. Selain mentranskrip wawancara, peneliti juga melihat catatan yang ditulis dalam buku saat wawancara. Setelah transkrip wawancara selesai, data yang diperoleh dibaca berulang-ulang agar peneliti mengerti dan benarbenar paham dengan data atau hasil wawancara yang telah didapatk. b.
Reduksi data
32
Pada tahap ini peneliti membutuhkan pemahaman yang dalam terhadap data. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam mekukan coding. Setelah itu peneliti melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan, dalam hal ini yang perlu digaris bawahi adalah data-data yang berhubungan dengan kritik sosial. Kemudian data yang tidak berhubungan dengan tema bisa disaring untuk tidak digunakan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan
singkat,
kemudian
dikelompokan
atau
dikategorikan
berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat. Misalnya, mulai dari awal terbentuknya Wayang Hip Hop, gambaran Wayang Hip Hop, Kritik yang termuat dalam lakon dan lirik lagu, prestasi dan pencapain Wayang Hip Hop. c.
Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dengan menggabungkan data yang diperoleh dan telah direduksi, kemudian disajikan dalam bentuk narasi dan tulisan dengan menyusun kalimat secara logis dan sistematis sehingga mudah dibaca dan dipahami yang pada akhirnya bisa memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan oleh peneliti (Milles & Huberman, 1992 : 17). Penyajian data dipaparkan dalam Bab 4 di bagian pembahasan. Di bab 4 tersebut peneliti memaparkan temuan-temuan yang diperoleh selama penelitian secara rimci, sedetail dan sesistematis mungkin. Dalam bab 4 tersebut terdiri dari 6 sub bab, yaitu munculnya pertunjukan Wayang Hip Hop, pertunjukan Wayang Hip Hop sebagai media kritik sosial, kritik dalam pertunjukan Wayang Hip Hop, posisi, gagasan dan sasaran kritik, respon kritik, keberlangsungan Wayang Hip Hop, prestasi dan pencapaiannya. e.
Penarikan Kesimpulan
33
Kesimpulan senantiasa harus diverifikasi selama penelitian berlangsung (Nasution, 1992 : 129). Dalam penelitian ini, penarikan kesimpulan dimulai sejak pengumpulan data dengan memahami apa makna dari berbagai data yang diperoleh dengan melakukan pencatatan. Pernyataan dan berbagai jawaban dari informan juga diverifikasi terlebih dahulu. Hal tersebut di lakukan secara berulang dengan tujuan pemantapan data agar kesimpulan yang diperoleh tidak melenceng dari pemaparan pembahasan pada bab 4.
34