BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi seseorang manusia dan diluar kewajaran atau ada suatu kelainan apabila hidup mengasingkan diri dari manusia-manusia lainnya. Dikatakan oleh Aristoteles, seorang filsuf yunani terkemuka, manusia adalah zoon politikon, yaitu selalu mencari manusia lainnya untuk hidup bersama dan kemudian berorganisasi. Dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai adanya keluarga1. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa keluarga itu terbentuk karena adanya perkawinan. Dari sudut ilmu bahasa atau semantik perkataan perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”, dalam bahasa arab lazim juga digunakan kata ziwaaj untuk maksud yang sama. Kata nikah mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan dalam arti kiasan (majaaz), dalam pengertian yang sebenarnya kata nikah itu berarti “berkumpul”, sedangkan dalam arti kiasan berarti aqad atau “mengadakan perjanjian perkawinan”.2 Dalam Islam
pembentukan sebuah keluarga dengan menyatukan
seorang laki-laki dan seorang perempuan diawali dengan suatu ikatan suci, yakni kontrak perkawinan atau ikatan perkawinan. Ikatan ini mensyaratkan komitmen dari
masing-masing
pasangan serta perwujudan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bersama. Seperti yang tercantum dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Th. 1974, yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
1
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hal .1 2 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1974), cetakan pertama, hal. 11
1
2
tujuan membentuk keluarga, rumah
tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Rukun dan Syarat Perkawinan Bab IV Pasal 14 telah tertulis sebagai berikut: Untuk melaksanakan perkawinan harus ada, yaitu: 1. Calon Suami; 2. Calon Isteri; 3. Wali nikah; 4. Dua orang saksi dan; 5. Ijab dan Kabul.3 Lima perkara yang ditetapkan oleh KHI ini adalah sesuai dengan syariat Islam. Ini dikarenakan lima perkara ini adalah bagian dari rukun nikah di dalam mazhab Syafi'i. Rukun perkawinan tersebut yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Mempelai laki-laki Mempelai perempuan Wali Dua orang saksi Sighat Ijab qabul.4
Di dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 termuat beberapa asas dan prinsip penting yang berkenaan dengan perkawinan. Asas-asas dan prinsipprinsip ini, yang boleh dikatakan telah disesuaikan dengan dunia kehidupan modern, adalah sebagai berikut: 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan keperibadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 2. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiaptiap perkawinan sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-Surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3
Ibid, hal. 232 H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah hukumPerkawinan Islami, Alih Bahasa Agus Salim, (Jakarta : Pusaka Amani) hal. 30 4
3
3. Undang-undang itu menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. 4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin, baik bagi pria maupun bagi wanita, yaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. 5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. 6. Kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu di dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.5 Dari beberapa asas perkawinan diatas disebutkan tentang batasan usia minimal dalam perkawinan serta alasan-alasan mengapa perlunya diatur masalah usia tersebut. Meskipun al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam tidak menyebutkan batasan usia perkawinan secara jelas namun ada pertimbangan yang harus dipenuhi calon mempelai yang ingin melakukan perkawinan. Hal itu dapat kita petik dalam surat an-Nisa’ ayat 6:
5
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2007), hal.29-31
4
. . .
“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka hartanya,6
Dalam ayat Al-Qur’an di atas, secara konkrit tidak menentukan batas usia
bagi pihak yang akan
diberikan berdasarkan
melangsungkan pernikahan.
Batasan hanya
kualitas diri seseorang, yaitu telah cerdas dalam
mengelola harta. Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqoha dan ahli undang-undang sepakat
menetapkan,
seseorang
diminta
pertanggung
jawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan hidupnya setelah cukup umur (baligh). Walaupun dalam al-Qur’an secara konkrit tidak menentukan batas usia pernikahan, namun UU Perkawinan
No. 1 Th. 1974 menentukan
batasan usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan dan sebagai salah satu syarat perkawinan. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Namun dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa menikah di bawah umur tetap bisa dilaksanakan jika mendapat ijin orang
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya : Mekar 2004) hal. 38
5
tua/wali sebelum usia 21 tahun. Mendapat ijin/dispensasi dari Pengadilan Agama bagi calon suami yang belum berusia 19 tahun dan di bawah usia 16 tahun bagi calon isteri. Maka, secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten. Pengadilan Agama adalah salah satu lembaga peradilan yang berwenang dalam memberikan dispensasi bagi yang ingin menikah dibawah umur. Akan tetapi permohonan tersebut tidak selalu dikabulkan karena pertimbangan hakim mengacu kepada kemaslahatan. Undang-undang tidak
menyebutkan syarat-syarat atau alasan-alasan
dalam pengajuan dispensasi, namun berikut ini adalah hal-hal yang biasa menjadi penyebab utama dispensasi kawin itu diajukan yaitu: 1. Telah melakukan hubungan suami-isteri Arus informasi begitu kuat yang tidak didukung oleh pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-nilai menyebabkan begitu mudahnya remaja-remaja kita melakukan hubungan badan. Bahkan banyak dari mereka yang dengan tanpa bebannya tinggal bersama. Tapi kebiasaan ini tentu belum bisa diterima oleh masyarakat. Dan ketika masalah ini terjadi, maka dengan serta merta orang tua si anak berinisiatif untuk menikahkan anak-anak ini. 2. Hamil Sebelum Menikah. Ini hanya sebagai akibat dari penyebab di atas. Dalam pergaulan sesama remaja diikuti kurangnya kontrol, maka bisa berakibat hamil di luar pernikahan. Sedangkan dalam masyarakat kita, hamil di luar pernikahan merupakan aib. Dan untuk menutupi aib, maka disegerakan menikah dengan harapan anak yang lahir kelak mempunyai status nasab yang jelas. 3. Pemahaman terhadap agama. Ada beberapa orang tua, memahami bahwa jika mempunyai anak gadis, dimana anak tersebut telah haid, maka segera dinikahkan. Walaupun sikapsikap demikian tidak banyak diikuti, tapi yang jelas masih ada.
6
Perkara nikah di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Praktik ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak di pedalaman. Sebabnya-pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, karena hamil terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah (married by accident), dan lain-lain. Dalam masalah ini penulis melihat hal tersebut banyak terjadi di Kecamatan Pelaihari. Setelah melakukan observasi awal ditemukan beberapa pasangan menikah dibawah usia yang ditentukan dalam undang-undang. Akan tetapi ada kejanggalan-kejanggalan yang dirasa penting untuk dipertanyakan. Pertama, karena instansi Pengadilan Agama Pelaihari mengaku sudah lama tidak menangani berita acara permohonan dispensasi kawin. Terahir pada bulan februari 2009 pernah masuk berita acara permohonan dispensasi kawin, namun pada hari persidangan ternyata pemohon tidak datang dan tidak berhubungan lagi dengan pihak Pengadilan Agama. Untuk menikah dibawah umur masyarakat cenderung melakukan pengubahan data usia dibanding harus beracara dipengadilan agama. Sudah menjadi sifat manusia bahwa manusia itu cendrung mencari jalan yang lebih mudah. Ketika ada dua pilihan cara menikah di bawah umur dalam masyarakat yaitu, memohon dispensasi kawin kepengadilan Agama atau merubah data umur, maka pilihan yang dianggap cepat dan mudah adalah pilihan ke dua. Hal tersebut dibenarkan oleh sebagian masyarakat kecamatan Pelaihari yang mengetahui adanya praktek tersebut. Dari uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul: “MEKANISME MANIPULASI USIA NIKAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
ACARA
PERMOHONAN
KECAMATAN PELAIHARI”.
B. Rumusan Masalah
DISPENSASI
KAWIN
DI
7
Agar penelitian ini lebih terarah dan untuk memudahkan pemecahan masalah, maka permasalahannya rumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana mekanisme manipulasi usia nikah? 2. Bagaimanakah implikasinya terhadap acara permohonan dispensasi kawin?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui: 1. Mengetahui mekanisme manipulasi usia nikah. 2. Mengetahui implikasinya terhadap acara permohonan dispensasi kawin.
D. Signifikasi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai 1. Bahan informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum keluarga (Ahwal al-Syakhsiyyah). 2. Sumbangan pemikiran dalam rangka memperkaya khazanah perpustakaan IAIN Antasari Banjarmasin. 3. Bahan informasi bagi yang berminat untuk mengadakan penelitian lebih jauh mengenai kajian yang serupa.
E. Defenisi Operasional Untuk menghindari penafsiran yang berbeda dan dikhawatirkan keluar dari tujuan yang sebenarnya, maka penulis merasa perlu untuk memberikan batasan terhadap permasalahan yang akan dibahas yaitu : 1. Mekanisme adalah hal cara bekerjanya. 2. Manipulasi adalah tindakan mengerjakan sesuatu dengan penyelewengan disini dimaksudkan dalam usia seseorang yang akan melakukan pernikahan. 3. Usia nikah batas usia kawin yang disyaratkan dalam Undang-undang
8
4. Implikasi adalah dampak yang ditimbulkan (keterlibatan penyelipan masalah)7. 5. Dispensasi
Kawin
yaitu
kelonggaran,
pengecualian,
memberikan
keringanan, memberikan kelonggaran dalam hal khusus dari ketentuan undang-undang. F. Kajian Pustaka Sepanjang penulis ketahui dalam penelitian manipulasi usia nikah, belum ada buku atau artikel yang membahas secara khusus tentang manipulasi usia nikah tersebut serta mekanismenya. Hal ini yang mendorong penulis untuk meneliti tentang mekanisme manipulasi usia nikah dan implikasinya terhadap acara permohonan dispensasi kawin. Ahrum Hoerudin dalam bukunya yang berjudul Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama), mengungkapkan tentang pengertian dispensasi kawin. Menurutnya dispensasi kawin ialah dispensasi yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai 16 (enam belas) tahun. Dispensasi kawin diajukan oleh para pihak kepada Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh orang tua masing-masing. Pengajuan perkara permohonan dispensasi kawin dibuat dalam bentuk permohonan (voluntair) bukan gugatan8. Roihan A. Rasyid dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Peradilan Agama, menjelaskan bahwa calom suami belum berusia 19 tahun dan calon isteri belum berusia 16 tahun sedangkan mereka mau kawin dan untuk kawin diperlukan dispensasi dari Pengadilan. Jika kedua calon suami -
7
A. Pius Partanto dan M. Dahlan Al-Bahri, Kamus Ilmiah Populer, (Surbaya: Arloka, 1994), cetakan VI, hal. 247 8 Ahrum Hoerudin, Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 11
9
isteri tersebut sama beragama Islam, keduanya dapat mengajukan permohonan, bahkan boleh sekaligus hanya dalam satu surat permohonan, untuk mendapatkan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Dan jika calon suami-isteri beragama non Islam maka mengajukan permohonannya ke Pengadilan Negeri9. Sariyanti dalam skripsinya yang berjudul Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (Studi Penetapan Hakim di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005) menjelaskan Mekanisme pengajuan perkara permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai berikut: Prameja, Meja I, Kasir dan yang terakhir ke Meja II. Proses penyelesaian perkara permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Salatiga adalah sebagai berikut: sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum kemudian penasehatan selanjutnya pemeriksaan dan yang terakhir penetapan. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara permohonan Dispensasi Kawin karma hubungan luar nikah di Pengadilan Agama Salatiga adalah kemaslahatan dan kemudharatannya, ditakutkan bila tidak dinikahkan akan menambah dosa dan terjadi perkawinan di bawah tangan yang akan mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak anak yang dilahirkan. Penetapan hakim dalam permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Salatiga dengan Nomor: 04/P d t .P/ 2005/P A.S al. dan 05/P dt .P/ 2005/P A.S al . t idak menyimpang dari ketentuan UU perkawinan pasal 7 ayat (2) dan KHI pasal 53.10 Dari penelitian-penelitian di atas hanya membahas tentang mekanisme permohonan dispensasi kawin dan tidak ada yang membahas tentang mekanisme manipulasi usia nikah dan implikasinya terhadap acara permohonan dispensasi kawin.
9 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Oktober 1998), cetakan VI, hal. 32 10 Sariyanti, Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah (Studi Penetapan Hakim di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2005). (Salatiga: STAIN Salatiga, 2007), hal. 66
10
G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari 6 (enam) bab yang dijabarkan sebagai berikut: Bab I Merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang permasalahan mendasar diangkatnya penelitian ini, sehingga dari kesimpulan awal diketahui dengan jelas bagaimana gambaran pernikahan dibawah umur tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Kemudian agar permasalahan yang diteliti terjawab maka ditetapkanlah tujuan penelitian. Agar terarahnya maksud dan arti dari permasalahan yang diteliti ini, maka dijelaskanlah batasan istilah penelitian ini dan untuk mengetahui pentingnya dilakukan penelitian ini maka di uraikan dalam bentuk signifikansi penelitian. Agar penelitian ini tersusun secara sistematis maka disusunlah sitematika penulisan ini. Bab II memuat Kajian teoritis penelitian ini, yang memuat bab pengertian, Batas usia menurut fiqh, batas usia menurut UU perkawinan no. 1 tahun 1974, syarat serta mekanisme dan penyebab dispensasi kawin. Bab III memuat metodologi penelitian yaitu mengenai tatacara atau teknik dalam melakukan penelitian, yang meliputi jenis dan sifat penelitian, lokasi dilakukannya penelitian ini, yang menjadi subjek dan objek penelitian ini, mengenai jumlah populasi dan yang dijadikan sampel penelitian, data yang harus digali dan sumber datanya, teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data, teknik yang dikumpulkan untuk mengolah data yang telah diproses, teknik yang digunakan untuk menganalisis data dan tahapan-tahapan penelitian ini. Bab IV merupakan penyajian data hasil penelitian dan pembahasan yang memuat analisis. Penyajian data dalam bentuk laporan basil penelitian yang terdiri dari; identitas para responder penelitian ini, berisi tentang bagaimana mekanisme manipulasi usia nikah dan implikasinya terhadap acara permohonan dispensasi kawin. Kemudian pembahasan yang memuat analisis penelitian ini
11
yang menelaah secara mendalam terhadap data hasil penelitian yang dikaji berdasarkan landasan teoritis pada bab II, analisis ini dilakukan sesuai dengan rumusan masalahnya dan di kaji berdasarkan hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Bab VI merupakan penutup dari penelitian ini yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian baik mengenai data hasil penelitian maupun kesimpulan hukum dari hasil analisis dan saran-saran dari penulis yang berkaitan permasalahan penelitian ini.