BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrome) adalah suatu penyakit yang merusak kemampuan penderita untuk melawan penyakit, mengakibatkan tubuh rentan terhadap infeksi dan pembentukan kanker. AIDS disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). HIV mengganggu fungsi sistem imun. Sistem imun yang lemah berakibat meningkatnya infeksi dan kanker, kedua penyakit tersebut banyak mengakibatkan kematian pada pasien HIV/AIDS (Pinsky dan Douglas, 2009). Kerusakan sel yang terjadi disebabkan oleh inflamasi persisten akibat infeksi HIV. Hal ini dapat menjelaskan timbulnya onset yang cepat dari berbagai penyakit kronis yang diderita ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) (Anonim, 2013d). Survei yang dilakukan oleh UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV AIDS) menyebutkan bahwa pada tahun 2012 terdapat sekitar 35,3 juta orang di dunia hidup dengan HIV. Kematian akibat AIDS dapat dikategorikan tinggi, pada tahun 2012 terdapat 1,6 juta orang meninggal akibat AIDS. Survei statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI) hingga bulan Desember 2013. Hasil survei tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 2013 jumlah kasus
1
2
HIV dan AIDS masing-masing sebesar 29.037 kasus dan 5.608 kasus (Anonim, 2014b). Hingga saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS (Whiteside, 2008). Terapi yang tersedia bagi pasien HIV/AIDS adalah terapi antiretroviral (ARV), terapi ini tidak dapat menyembuhkan HIV/AIDS, tetapi dapat memaksimalkan supresi replikasi HIV. Terapi ARV diharapkan dapat membuat viral load pada plasma pasien menjadi lebih rendah dari batas kuantifikasi atau tidak terdeteksi. Selain penurunan viral load, diharapkan terjadi peningkatan CD4, hal ini dapat mencegah terjadinya infeksi oportunistik pada pasien (Fletcher dan Kakuda, 2005). Terapi ARV diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV/AIDS. Terapi ARV merupakan salah satu penemuan tersukses sepanjang sejarah pengobatan, walaupun demikian hasil yang diinginkan dari terapi ini belum 100% selalu tercapai. Alasan yang paling sering ditemui dalam kegagalan terapi ARV adalah rendahnya kepatuhan terapi pasien HIV/AIDS (Coffey dan Volberding, 2012). Kepatuhan terapi adalah mengikuti regimen terapi hampir setiap hari, menggunakan dosis yang tepat untuk setiap obat ARV pada waktu yang tepat sama seperti yang diresepkan. Kepatuhan sangat penting dalam tercapainya kesuksesan terapi HIV (Anonim, 2012b). Kepatuhan pada pasien HIV/AIDS merupakan kunci untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas pada populasi. Kepatuhan juga salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kesuksesan terapi. Kepatuhan yang rendah tehadap terapi antiretroviral dapat mengakibatkan
3
resistensi, resistensi silang, progresi penyakit, dan infeksi oportunistik, serta dapat menurunkan kualitas hidup pasien (Parrisbalogun, 2013). Oleh karena pentingnya kepatuhan bagi pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral, maka perlu dikaji permasalahan kepatuhan terapi ARV pada pasien HIV/AIDS beserta alasan penyebab ketidakpatuhan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan informasi terkait peningkatan kualitas terapi ARV sehingga morbiditas dan mortalitas akibat HIV/AIDS dapat ditekan. Penelitian dilakukan di Poliklinik Edelweis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta sebab Rumah sakit tersebut merupakan salah satu rumah sakit rujukan pagi pasien HIV/AIDS dan menjadi pusat pelayanan ARV di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana kepatuhan terapi ARV pasien HIV/AIDS di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 2. Apakah alasan yang menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV pasien HIV/AIDS?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kepatuhan terapi ARV pasien HIV/AIDS di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Mengetahui alasan yang menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV pasien HIV/AIDS.
4
D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi terkini terkait kepatuhan terapi ARV di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Menyediakan rujukan informasi bagi upaya peningkatan kualitas terapi ARV melalui peningkatan kepatuhan terapi pasien HIV/AIDS. 3. Menjadi dasar penelitian selanjutnya di bidang kepatuhan terapi pasien HIV/AIDS.
E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit HIV/AIDS a. Definisi HIV/AIDS AIDS menurut definisi yang dikeluarkan oleh U.S. Government Source for HIV/AIDS pada tahun 2011 adalah suatu penyakit sistem imun yang disebabkan oleh HIV. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) seseorang dapat divonis mengidap AIDS apabila memiliki nilai CD4 kurang dari 200 sel/mm3 dan menderita satu atau lebih infeksi oportunistik atau kanker yang disebabkan oleh HIV (Anonim, 2011b). HIV mampu menginfeksi sel-sel sistem imun manusia, terutama CD4, sel T, dan makrofag, ketiganya merupakan komponen sistem imun seluler. Infeksi tersebut menyebabkan sistem imun tidak dapat berfungsi secara sempurna sehingga akan terjadi imunodefisiensi. Kondisi ini akan mengakibatkan tubuh rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik dan kanker (Anonim, 2008).
5
Terdapat empat tingkat stadium klinik infeksi HIV menurut WHO. Stadium klinik ini dapat digunakan apabila infeksi HIV sudah dipastikan, baik secara serologi dan/atau virologi (Anonim, 2006a). Stadium klinik infeksi HIV dapat dilihat pada Tabel I. Tabel I. Stadium Klinik Infeksi HIV menurut WHO (Anonim, 2006a) Gejala terkait HIV Stadium Klinik Asimtomatik 1 Ringan 2 Sedang 3 Parah (AIDS) 4
Fase klinik diperlukan untuk menilai kondisi awal (diagnosis pertama infeksi HIV) atau tahap lanjut, untuk memonitor terapi, untuk menetapkan dimulainya terapi ARV, dan intervensi lain pada terapi HIV (Sukandar dkk, 2009). AIDS merupakan stadium tertinggi pada infeksi HIV. Periode progresi infeksi HIV menjadi AIDS sangat bervariasi pada tiap individu. Kebanyakan pasien yang terinfeksi HIV dan tidak menerima terapi akan menunjukkan gejala infeksi HIV dalam 5-10 tahun, sedangkan waktu antara infeksi HIV dan diagnosa AIDS adalah 10-15 tahun, bahkan lebih pada kasus tertentu (Anonim, 2008). b. Epidemiologi Kasus AIDS pertama kali dilaporkan ke publik secara luas pada tanggal 5 Juni 1981 dalam Morbidity and Mortality Weekly Report yang dirilis oleh CDC di Atlanta, Amerika Serikat (Whiteside, 2008). Saat itu dilaporkan bahwa telah ditemukan Pneumocystis carinii (sekarang dikenal dengan jirovecii) pneumonia dan kaposi sarkoma pada pria homoseksual
6
dan immunocompromised. Kondisi tersebut dapat dengan cepat diketahui sebagai AIDS, tetapi pada saat itu sebab dan model transmisi penyakit AIDS belum diketahui. HIV yang sekarang dikenal sebagai penyebab AIDS baru ditemukan pada tahun 1983 (Sultan dan Adler, 2012). Saat ini sudah 30 tahun lebih setelah AIDS diketahui untuk pertama kali. Setelah satu atau dua tahun AIDS ditemukan pada pria homoseksual, penyakit dengan gejala yang sama juga ditemukan terjadi pada kelompok subjek lain, seperti pengguna obat injeksi, orang dengan hemofilia, penerima transfusi darah, anak anak, dan orang-orang di Afrika (Essex dan Novitsky, 2013). Kasus HIV/AIDS di dunia memang telah mengalami penurunan, walaupun demikian survei yang dilakukan UNAIDS (Joint United nations Programme on HIV AIDS) pada tahun 2012 menunjukkan statistik yang cukup memprihatinkan. Hingga akhir tahun 2012 di dunia terdapat sekitar 35,3 juta (3,3 juta–4,2 juta) orang hidup dengan HIV, dengan 2,3 juta (1,9 juta–2,7 juta) di antara populasi tersebut adalah orang yang baru terinfeksi HIV pada tahun 2012. Kematian akibat AIDS dapat dikategorikan tinggi, pada tahun 2012 terdapat 1,6 juta (1,4 juta–1,9 juta) meninggal akibat AIDS. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI) telah melakukan survei kasus HIV/AIDS di Indonesia hingga bulan Desember 2013 dan hasil survei tersebut cukup
7
memprihatinkan. Kasus HIV dan AIDS pada bulan Oktober hingga Desember 2013 memperoleh tambahan masing masing sejumlah 8.624 dan 2.845 kasus baru. Jumlah ini menambah jumlah kasus pada tahun 2013 yang didata dari tanggal 1 Januari hingga 31 Desember 2013 sebesar 29.037 kasus untuk HIV dan 5.608 kasus untuk AIDS. Kumulatif kasus HIV dan AIDS di Indonesia sejak 1 April 1987 hingga 31 Desember 2013 masing masing sebesar 127.416 dan 52.348
kasus, dengan jumlah
kematian 9.585 kasus (Anonim, 2014b). c. Etiologi Human immunodeficiency virus (HIV), virus penyebab penyakit AIDS, merupakan lentivirus, subfamili retrovirus. HIV memiliki regulasi ekspresi gen dan replikasi yang kompleks, sehingga HIV dikategorikan sebagai retrovirus yang lidak lazim. Kebanyakan retrovirus relatif tidak berbahaya dan jarang membunuh sel yang diinfeksi, tetapi HIV bersifat sitopatik dan sitotoksik, serta memiliki ekspresi viral yang sering mengakibatkan kematian sel yang diinfeksi maupun sel disekitarnya. HIV tetap memiliki siklus kehidupan yang sama dengan kebanyakan retrovirus walaupun dikategorikan sebagai retrovirus yang tidak lazim (Goff, 2004). Terdapat dua sub tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-2 lebih sulit ditransmisikan dan memiliki perkembangan yang lebih lambat. Kedua virus tersebut berasal dari virus yang ditemukan pada primata di Afrika, virus ini dikenal dengan simian (monyet) immunodeficiency virus (SIV). Sumber dari HIV-1 adalah simpanse di Afrika Tengah, sedangkan
8
HIV-2 berasal dari monyet Sooty mangabey di Afrika Barat (Whiteside, 2008). HIV dapat menyerang dan berikatan dengan sel-sel spesifik pada sistem imun, seperti monosit, makrofag, dan sel-T limfosit. Sel-sel tersebut memiliki protein reseptor spesifik yang dikenal dengan reseptor CD4, HIV memiliki kemampuan berikatan dengan reseptor ini. HIV juga mampu menghambat pembentukan sel CD4 yang baru. Setiap berikatan dengan reseptor CD4, dibutuhkan protein pendukung untuk melakukan fusi (CCR-5 dan CXR-4). CCR-5 ditemukan pada monosit dan limfosit T, jumlahnya meningkat tajam pada pasien yang baru terinfeksi HIV. CXR-4 banyak ditemukan pada limfosit T dan jumlahnya meningkat dalam jumlah yang berlebihan pada pasien yang telah menerima terapi ARV dalam jangka waktu yang cukup lama. Kompleks yang terbentuk antara CD4 dengan CCR-5/CXR-4 menyebabkan perubahan konformasional yang mengakibatkan ikatan antara HIV dan sel inang semakin kuat. HIV mengalami fusi dengan sel dan melepaskan RNA virus serta enzim-enzim replikasi ke sitoplasma sel inang. RNA virus yang beruntai tunggal mengalami transkripsi dengan bantuan enzim reverse transcriptase menjadi DNA proviral untai ganda yang kemudian bergabung dengan materi genetik sel inang dengan bantuan enzim integrase. HIV kemudian menggunakan sel yang terinfeksi untuk bertranslasi, bertranskripsi, dan memproduksi virion muda yang dapat keluar dari sel inang. Virion yang
9
sudah dewasa dapat dengan bebas menginfeksi sel lain dan kemudian memproduksi lebih banyak virus (Dumond dan Kashuba, 2009).
f
Gambar 1. Siklus Replikatif HIV (Anonim, 2013 )
Seiring dengan waktu, menurut Fauci (1996) sel inang yang terinfeksi HIV dapat rusak melalui beberapa mekanisme, seperti: efek sitolitik dari virus (misal disfungsi selular), identifikasi dan eliminasi sel yang terinfeksi oleh respon sistem imun alami dari inang (misal akibat sel T sitotoksik limfosit), atau siklus sel terhenti secara alami. Sekali pasien terinfeksi HIV, ledakan awal viremia terjadi dan mengakibatkan infeksi laten di berbagai jaringan dan sel. Ledakan viremia
10
mengakibatkan terjadinya deplesi sel CD4 pada pasien HIV/AIDS. Kebanyakan virion infektif HIV (hampir 99%) ditemukan di dalam nodus limfa dan berbagai jaringan yang banyak mengandung sel imun. Sistem imun bereaksi dengan memproduksi antibodi untuk melawan HIV, walaupun demikian usaha ini belum mampu mengatasi replikasi yang cepat dan perkembangan galur baru dari HIV (Richman dkk., 2003). d. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik dari infeksi HIV primer sangat beragam, tetapi pasien kerap mengalami sindrom retroviral atau mononukleosis. Gejala dapat berlangsung hingga dua minggu berturut turut dan diperlukan rawat inap bagi sekitar 15% pasien. infeksi primer sering dikaitkan dengan viral load yang tinggi dan penurunan fungsi sistem imun, sehingga tidak dapat mengeliminasi virus (Fletcher dan Kakuda, 2005). Manifestasi klinik yang terjadi pada pasien AIDS adalah akibat dari defisiensi imunologis akibat infeksi HIV. Pasien menjadi rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik akibat bakteri, virus, protozoa dan jamur patogen. Gejala nonspesifik yang umum meliputi demam, keringat dingin, dan penurunan berat badan. Penurunan berat badan dapat disebabkan oleh nausea, muntah, anoreksia, atau diare yang dialami oleh pasien (McPhee dan Hammer, 2010). Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi (75% pasien) adalah infeksi paru paru akibat Pneumocytis jiroveci. Pasien mengalami demam, batuk, nafas pendek, dan sesak nafas dengan tingkat keparahan bervariasi
11
mulai ringan hingga parah. Selain itu pasien juga berisiko mengalami infeksi paru paru akibat bakteri S. pneumonia, H. influenza, atau M. tuberculosis dan infeksi fungi C. neoformans, H. capsulatum, atau C. immitis (McPhee dan Hammer, 2010). Berikut merupakan gejala-gejala yang patut diwaspadai sebagai infeksi HIV pada orang dewasa menurut pedoman yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI pada tahun 2011 dalam Anonim (2011c): 1) Keadaan umum a) Kehilangan berat badan lebih dari 10% dari berat badan awal b) Demam selama lebih dari satu bulan dengan temperatur > 37,5oC c) Diare terus menerus atau berkala lebih dari satu bulan d) Limfadenopati yang terus meluas 2) Kulit PPE dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Sedangkan kutil kelamin, folikulitis, dan psoriasis kerap terjadi pada pasien HIV/AIDS, tetapi tidak selalu terkait dengan infeksi HIV. 3) Infeksi jamur a) Kandidiasis oral b) Dermatitis seboroik c) Kandidiasis vagina berulang 4) Infeksi viral a) Herpes zoster yang berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatom
12
b) Herpes genital berulang c) Moluskus kontanginosum d) Kondiloma 5) Gangguan pernafasan a) Batuk lebih dari satu bulan b) Sesak nafas c) Tuberkulosis d) Pneumonia berulang e) Sinusistis kronis atau berulang 6) Gejala neurologis a) Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas penyebabnya) b) Kejang demam c) Menurunnya fungsi kognitif e. Transmisi Infeksi HIV dapat terjadi melalui tiga cara utama, yaitu seksual, parenteral, dan perinatal. Hubungan seksual, terutama penetrasi anal dan vaginal adalah jalur transmisi yang paling umum ditemui. Kemungkinan terjadinya transmisi HIV melalui penetrasi anorektal (melalui anus) adalah 0,1% sampai 3% setiap terjadi kontak seksual, sedangkan pada penetrasi melalui vagina adalah sebesar 0,1% hingga 0,2% setiap terjadi kontak seksual. Penggunaan kondom dapat menurunkan risiko terjadinya transmisi HIV sebesar 20 kali lipat saat berhubungan seksual. Individu
13
dengan ulserasi genital atau penyakit menular seksual, seperti sifilis, chancroid, herpes, gonorrhea, Chlamydia, dan trichomoniasis, memiliki risiko yang lebih besar untuk terinfeksi HIV (DiPiro, 2009). Transmisi parenteral HIV terjadi akibat pemaparan darah yang terinfeksi, seperti melalui jarum suntik, injeksi intravena dengan jarum bekas, donor darah, atau tranplantasi organ. Penggunaan jarum suntik atau alat injeksi lain oleh para pengguna obat-obatan terlarang merupakan penyebab utama transmisi parenteral. Kasus transmisi parenteral akibat transfusi darah atau transplantasi organ dilaporkan kurang dari 1% dari total kasus transmisi HIV. Praktisi kesehatan memiliki risiko kecil terpapar HIV akibat insiden di tempat kerja. Kebanyakan kasus transmisi yang terjadi pada praktisi kesehatan diakibatkan luka perkutan tusukan jarum suntik yang tidak disengaja. Studi menunjukkan bahwa risiko infeksi HIV seperti kasus di atas kira kira sebesar 0,3% (Fletcher dan Kakuda, 2005). Infeksi perinatal atau transmisi vertikal adalah penyebab yang paling umum pada pasien pediatri. Kebanyakan infeksi terjadi selama masa kehamilan atau kelahiran, untuk itu sangat diperlukan terapi bagi wanita hamil. Risiko transmisi HIV dari ibu ke anak kira kira sebesar 25% ketika tidak disertai proses menyusui dan terapi antiretroviral. Proses menyusui juga dapat mentransmisikan HIV, dengan kemungkinan sebesar 16,2%. Kebanyakan infeksi berkembang pada usia enam bulan pertama. Untuk mencegah terjadinya transmisi, ibu yang terinfeksi HIV direkomendasikan untuk tidak menyusui (Fletcher dan Kakuda, 2005).
14
2. Terapi antiretroviral Penggunaan terapi antiretroviral atau antiretroviral therapy (ART) sebagai pengobatan infeksi HIV telah berkembang secara signifikan sejak kesuksesan uji terapetik terhadap zidovudin (AZT/ZDV) pada tahun 1986. Terapi
ini
tidak
dapat
menyembuhkan
HIV/AIDS,
tetapi
dapat
memaksimalkan supresi replikasi HIV. Hal ini telah mengurangi total morbiditas dan mortalitas pasien infeksi HIV, serta mereduksi transmisi perinatal. Terapi ARV relatif poten, mudah dilakukan, dan dapat ditoleransi dengan baik (Wagner, 2013). Selain itu pemberian terapi ARV dapat meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS (Kumarasamy dkk, 2011). Penggunaan terapi ARV secara kontinyu, terutama dengan kombinasi obat, secara signifikan dapat memperlambat progresi penyakit (Uretsky dan Odle, 2006). Terapi ARV diharapkan dapat membuat viral load pada plasma pasien menjadi lebih rendah dari batas kuantifikasi atau tidak terdeteksi. Selain penurunan viral load, diharapkan terjadi peningkatan CD4, hal ini dapat mencegah terjadinya infeksi oportunistik pada pasien (Fletcher dan Kakuda, 2005). a. Penggunaan ARV Akses terhadap ARV di dunia pada saat terbilang sudah sangat luas, hingga akhir tahun 2012 di negara-negara berkembang terdapat total 1,6 juta orang menerima terapi ARV. Angka ini sangat jauh dibandingkan dengan pererima ART di negara-negara berkembang pada tahun 2002
15
yaitu hanya sebanyak 300.000 orang. Jumlah tersebut masih jauh dari target 15 juta penerima ART pada tahun 2015, sebuah target yang dicanangkan oleh PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) pada bulan Juni 2011 dalam General Assembly High-Level Meeting on AIDS di New York (Anonim, 2013c). b. Golongan obat ARV Menurut Merry dan Flexner (2012) saat ini terdapat lima golongan obat ARV, yaitu : 1) nucleoside (NRTI) dan nucleotide (NtRTI) reverse transcriptase inhibitor Obat golongan RTI merupakan awal kesuksesan dari obat obatan ARV. Obat jenis ini merupakan inhibitor kompetitif dari proses reverse transcription (RT), yaitu perubahan RNA menjadi DNA. Obatobat NRTI akan ditangkap oleh sel-sel yang terinfeksi HIV dan kemudian difosforilasi oleh enzim kinase sel inang menjadi derivat trifosfat dari senyawa induk. Nukleotida yang dihasilkan akan dikenali oleh enzim reverse trancriptase sebagai template RNA virus yang digunakan sebagai penyusun komplemen DNA. Berbeda dengan golongan NRTI obat golongan NtRI yang merupakan analog nukleotida tidak memerlukan fosforilasi intraseluler. Mekanisme obat golongan NRTI dan NtRTI dapat mencegah proses elongasi DNA dan menggagalkan proses RT sehingga akan menekan replikasi virus (Schooley, 2004).
16
2) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) Obat golongan NNRTI dapat berikatan langsung dengan enzim reverse transcriptase dari HIV, menyebabkan inhibisi alosterik terhadap RNA dan DNA yang tergantung pada polimerase DNA. Letak ikatan NNRTI berdekatan tetapi berbeda dengan NRTI. Tidak seperti NRTI, NNRTI tidak berkompetisi dengan nukleosida trifosfat dan tidak memerlukan aktivasi dengan proses fosforilasi. Obat NNRTI menunjukkan aktivitas in vitro yang rendah terhadap HIV-2. Resistensi NNRTI terjadi secara cepat pada monoterapi dan dapat diakibatkan oleh mutasi tunggal. Walaupun demikian tidak ditemukan resistensi silang antara NNRTI dengan NRTI. Obat NNRTI kerap dikaitkan dengan terjadinya beragam keluhan gastrointestinal dan ruam kulit (Safrin, 2009). 3) Protease inhibitor (PI) Enzim protease bertanggung jawab dalam memecah molekul molekul prekursor untuk membentuk protein struktural sebagai inti virion matang. PI dapat mencegah terjadinya proses pemecahan molekul-molekul prekursor, sehingga dapat mencegah perubahan protein viral menjadi konformasi fungsional dan akan terbentuk partikel viral yang tidak matang dan noninfektif. Obat obat PI bersifat aktif terhadap HIV-1 maupun HIV-2 (Safrin, 2009). Obat PI berupa protein abnormal yang memiliki kemampuan antiviral tinggi dan secara umum dapat ditoleransi dengan baik,
17
walaupun demikian penggunaan jangka panjang kadang menimbulkan gangguan metabolisme lipid dan karbohidrat (Lüllmann, 2000). 4) Entry inhibitor (EI) Proses penetrasi HIV ke dalam sel inang merupakan hal yang kompleks dan setiap tahapnya dapat menjadi target aksi obat EI. Proses ini diawali dengan terbentuknya ikatan kompleks glikoprotein gp160 (tersusun atas gp120 dan gp41) viral dengan reseptor CD4 seluler
sel
inang.
Ikatan
ini
akan
menginduksi
perubahan
konformasional pada gp120 yang memungkinkan akses ke kemokin koreseptor CCR5 atau CCR4. Ikatan koreseptor menyebabkan perubahan konformasi lebih lanjut pada gp120 dan gp41, sehingga mengakibatkan terjadinya fusi viral envelope dengan membran sel inang dan menginisiasi terjadinya penetrasi inti viral ke dalam sitoplasma. Obat EI dapat menghambat proses di atas (Safrin, 2009). 5) Integrase inhibitor (INSTI) Integrase adalah salah satu enzim HIV yang dapat menginduksi penggabungan genom DNA virus dengan genom sel inang. Enzim ini terletak di dalam partikel viral dan dilepaskan selama proses infeksi. Integrase berikatan dengan DNA yang dihasilkan oleh enzim reverse transcriptase
dan
menghilangkan
dua
nukleotida.
Selanjutnya
integrase menangkap genom sel inang dan menggabungkan asam nukleat virus dengan DNA seluler (Offermanns dan Rosenthal, 2008).
18
INSTI
mampu
menggagalkan
replikasi
virus
dengan
menghambat transfer untai DNA. Obat ISTI dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki efikasi yang sama dengan terapi lini pertama. Metabolisme INSTI tidak melalui jalur sitokrom P450. Karakteristik INSTI ini membuat beberapa pedoman ART memasukkan INSTI ke dalam terapi lini pertama (Benn dkk, 2012). Terdapat berbagai jenis obat ARV yang termasuk ke dalam lima golongan di atas. Penggolongan obat obat ARV menurut Merry dan Flexner (2012) dapat dilihat pada tabel II. Tabel II. Penggolongan Obat Obat ARV (Merry dan Flexner, 2012) NRTI dan NtRTI NNRTI PI INSTI EI AZT EFV SQV RAL T-20 d4T NVP RTV MVC 3TC DLV IDV ddC ETR APV ddI FPV FTC ATV ABC NFV TDF TPV LPV/r DRV Keterangan: AZT, zidovudin; EFV, efavirenz; SQV, saquinavir; RAL, raltegravir; T-20, enfuvirtide; d4T, stavudin; NVP, nevirapin; RTV, ritonavir; MVC, maraviroc; 3TC, lamivudin; DLV, delavirdin; IDV, indinavir; ddC, dideoxycytidin; ETR, etravirin; APV, amprenavir; ddI, didanosin; FPV, fosamprenavir; FTC, emtricitabin; ATV, atazanavir; ABC, abacavir; NFV, nelfinavir; TDF, tenofovir; TPV, tipranavir; LPV/r, koformulasi lopinavir/ritonavir; DRV, darunavir.
c. Regimen terapi ARV Penelitian menunjukkan bahwa ART perlu dimulai pada kondisi pasien asimtomatik dengan nilai CD4 kurang dari 350/mm3. Selain penentuan terapi awal yang tepat, pasien juga perlu disiapkan sebelum memulai ART dalam rangka mencapai kepatuhan terapi. Pasien dibekali
19
pengetahuan terkait terapi dan manfaat terapi, pentingnya kepatuhan terapi, dan konsekuensi ketidakpatuhan terapi (seperti penggantian regimen terapi yang lebih mahal, resistensi, dan progresi penyakit). Setelah pasien dipastikan memahami ART, terapi dapat dimulai (Kumarasamy dkk, 2011). Pemilihan obat ARV didasarkan pada lima aspek utama, yaitu efektivitas, efek samping/ toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan harga obat (Anonim, 2011c). WHO merekomendasikan penggunaan dua NRTI/NNRTI standard sebagai lini pertama ART, kombinasi ini telah digunakan secara luas di berbagai belahan dunia (Anonim, 2006). Berikut merupakan beberapa kombinasi ART lini pertama dan lini kedua yang direkomendasikan oleh WHO (Anonim, 2010) : 1) Lini pertama a) AZT + 3TC + EFV b) AZT + 3TC + NVP c) TDF + 3TC (atau FTC) + EFV d) TDF + 3TC (atau FTC) + NVP 2) Lini kedua a) TDF + 3TC (atau FTC) + ATV/r (atau LPV/r) b) AZT + 3TC + ATV/r (atau LPVr) Kedua lini di atas merupakan terapi kombinasi yang umum digunakan pada pasien remaja dan dewasa, walaupun demikian pemilihan obat dan kombinasi dapat disesuaikan terhadap kondisi masing-masing pasien.
20
Berikut merupakan panduan lini pertama bagi pasien dengan kondisi khusus yang direkomendasikan menurut “Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral” yang disusun oleh Direktorat
Jenderal
Pengendalian Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI) pada tahun 2011. Tabel III. Panduan Terapi Lini Pertama pada Populasi Khusus (Anonim, 2011 c) Populasi Target
Pilihan yang Direkomendasikan
Catatan
Merupakan pilihan panduan yang sesuai untuk sebagian besar pasien EFV tidak boleh digunakan pada trimester pertama, dapat Wanita hamil AZT + 3TC + EFV atau NVP digunakan TDF sebagai alternatif Terapi ARV dimulai setelah AZT atau TDF + 3TC (FTC) + Ko-infeksi HIV/TB terapi TB dapat ditoleransi EFV (antara 2 hingga 8 minggu) Pertimbangan pemeriksaan HBsAg terutama bila TDF Ko-infeksi TDF + 3TC (FTC) + EFV atau merupakan paduan lini HIV/Hepatitis B NVP pertama. Diperlukan kronik aktif penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas anti HBV Keterangan: AZT, zidovudin; EFV, efavirenz; NVP, nevirapin; 3TC, lamivudin; FTC, emtricitabin; TDF, tenofovir. Anak anak
AZT atau TDF + 3TC (atau FTC) +EFV atau NVP
Kombinasi ARV dapat meningkatkan efektivitas terapi dan mencegah terjadinya resistensi, sehingga akan meningkatkan kesuksesan terapi ARV. Kombinasi dapat dilakukan antar RTI dan/atau dengan PI. Kombinasi obat didesain berdasarkan pola perkembangan resistensi dan parameter farmakokinetik (kemampuan penetrasi ke dalam sistem saraf pusat, neuroprotection, frekuensi pemberian, dll) (Lüllmann, 2000).
21
Ketika terapi kombinasi ARV yang digunakan tidak tepat, dapat timbul kerugian bagi pasien, beberapa kombinasi ARV yang tidak dianjurkan dapat dilihat pada Tabel IV. Tabel IV. Panduan Kombinasi ARV yang Tidak Dianjurkan (Anonim, 2011c) Panduan ARV Mono atau dual terapi untuk pengobatan infeksi HIV kronis d4T + AZT d4T + ddI
Alasan Tidak Dianjurkan Cepat menimbulkan resistensi
Antagonis (menurunkan khasiat kedua obat) Toksisitas (pancreatitis, hepatitis, dan lipoatrofi), terdapat laporan kematian pada wanita hamil 3TC + FTC Dapat saling menggantikan, tetapi tidak boleh digunakan bersama TDF + 3TC + ABC atau Dapat meningkatkan mutasi K65R dan terkait TDF + 3TC + ddI kegagalan virologi secara dini TDF + ddI + obat obat NNRTI Kegagalan virologi secara dini Keterangan: AZT, zidovudin; 3TC, lamivudin; FTC, emtricitabin; TDF, tenofovir; d4T, stavudin; ddI, didanosin; ABC, abacavir; NNRTI, non nuclease reverse transcriptase inhibitor
3. Kepatuhan terapi Kepatuhan (adherence) didefinisikan sebagai mengikuti instruksi yang telah diberikan, hal ini melibatkan pilihan konsumen dan tidak bersifat menghakimi, tidak seperti compliance yang menuntut pasien untuk bersifat pasif. Ketidakpatuhan terapi meliputi penundaan pengambilan resep, tidak mengambil obat yang diresepkan, tidak mematuhi dosis, dan mengurangi frekuensi penggunaan obat (Bosworth, 2010). Park dan Meade (2007) menyebutkan kepatuhan terapi adalah perilaku pasien yang mengonsumsi obat yang telah diresepkan oleh tenaga kesehatan dengan jumlah, waktu, dan frekuensi yang tepat. Definisi lain menjelaskan bahwa kepatuhan pada terapi adalah suatu keadaan dimana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri bukan hanya karena mematuhi
22
perintah dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat (Anonim, 2011c). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa manfaat yang lebih besar di bidang kesehatan dunia akan diperoleh dengan peningkatan kepatuhan terapi dari pada pengembangan obat baru. Intervensi yang dapat menstimulasi timbulnya kepatuhan terapi yang lebih baik, walaupun kecil akan bermanfaat besar dalam peningkatan kesehatan publik (Bosworth, 2010). Untuk dapat menjalani terapi dengan baik atau mengikuti instruksi medis dengan tepat, pasien harus dapat memahami instruksi dengan baik, lalu mengingat instruksi tersebut. Selanjutnya pasien harus mampu melaksanakan instruksi secara prospektif. Untuk mencapai kepatuhan terapi pemahaman pasien sebaiknya tidak tebatas pada regimen terapi, tetapi juga mengenai informasi lain terkait pengobatan, seperti tujuan pengobatan (Park dan Meade, 2007). a. Faktor faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi Menurut Machtinger dan Bangsberg (2006), terdapat empat faktor yang paling mempengaruhi kepatuhan terapi, yaitu : 1) Karakteristik pasien Karakteristik pasien meliputi faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, ras/etnis, penghasilan, pendidikan, status dalam rumah tangga, status kepemilikan asuransi) dan psikososial (kesehatan mental, penggunaan senyawa senyawa adiktif, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap terapi yang dijalani). Berbagai studi
23
menunjukkan hasil yang berbeda beda mengenai hubungan antara faktor sosiodemografi dengan kepatuhan terapi, walaupun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia yang lebih muda, ras kulit berwarna, pendapatan yang lebih rendah, dan kondisi rumah tangga yang tidak stabil dikaitkan dengan ketidakpatuhan terapi. Faktor yang tidak memiliki hubungan dengan kepatuhan terapi adalah tingkat pendidikan dan stasus kepemilikan asuransi. Berbeda dengan sosiodemografi, hubungan yang lebih kuat ditemukan antara faktor psikososial dan kepatuhan terapi. Beberapa faktor yang memicu timbulnya ketidakpatuhan terapi antara lain depresi/morbiditas psikiatrik, penyalahgunaan obat atau alkohol, stres, rendahnya dukungan sosial, dan ketidakmampuan memahami regimen terapi. Hal ini sejalan dengan penelitian Manyeki (2012) yang menyatakan bahwa depresi, penyalahgunaan alkohol, dan kurangnya dukungan sosial dapat menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan terapi. 2) Regimen terapi Faktor yang berkaitan dengan regimen terapi antara lain jumlah obat yang diresepkan, kompleksitas dari regimen, jenis obat, dan efek samping. Kompleksitas regimen dan efek samping merupakan faktor yang paling sering menyebabkan ketidakpatuhan. Penerapan dosis tunggal pada regimen terapi diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan terapi.
24
3) Karakteristik penyakit Karakteristik penyakit meliputi stadium dan durasi penyakit, penyakit penyerta, dan gejala penyakit. 4) Hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan Karakteristik hubungan
pasien dengan penyedia layanan
kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan terapi antara lain kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diperoleh, kepercayaan pasien terhadap penyedia layanan kesehatan dan petugas kesehatan, kondisi hubungan keduanya (kedekatan, keterbukaan, dan lain lain), kesamaan ras/etnis antar keduanya, dan kesediaan keduanya dalam berinteraksi. Tidak banyak dilakukan penelitian mengenai pengaruh hubungan antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan. Terdapat studi yang menunjukkan kepercayaan pasien terhadap penyedia layanan kesehatan dapat meningkatkan kepatuhan terapi. 5) Keadaan pelayanan kesehatan Faktor-faktor
terkait
pelayanan
kesehatan
yang
dapat
mempengaruhi kepatuhan terapi antara lain akses terhadap pelayanan kesehatan primer, ketersediaan transportasi dan penitipan anak, kondisi lingkungan tempat pelayanan kesehatan, jadwal pertemuan dengan dokter, dan kepuasan terhadap pelayanan kesehatan yang pernah digunakan.
25
b. Pengukuran kepatuhan terapi Terdapat beragam metode untuk mengukur tingkat kepatuhan terapi, berikut beberapa metode dalam Machtinger dan Bangsberg (2006). 1) MEMS Cap Metode MEMS (Medication Event Monitoring System) Cap menggunakan cip computer yang diletakkan di tutup botol obat yang telah disesain khusus untuk merekap waktu dan durasi setiap botol dibuka. Metode ini merupakan salah satu metode yang paling sensitif dalam mendeteksi ketidakpatuhan terapi, walaupun demikian terdapat beberapa limitasi pada akurasi dan kepraktisan metode ini. Sebagai contoh pasien tidak dapat menggunakan pill organizer atau kemasan blister yang biasa digunakan karena pasien harus mendapatkan semua dosis dari botol MEMS. Jumlah obat yang diambil setiap botol dibuka tidak dihitung, jika pasien mengambil obat dalam jumlah yang berlebih untuk diminum pada waktu minum obat selanjutnya, maka hal ini akan terdeteksi sebagai ketidakpatuhan. 2) Pill Counts Metode ini dapat dilaksanakan di klinik ataupun dengan kunjungan ke rumah pasien. Kepatuhan diukur dengan menghitung jumlah obat yang tersisa dan mengasumsikan apabila terdapat kelebihan jumlah obat maka ada dosis yang dilewatkan oleh pasien. Hal ini akan lebih mudah apabila pasien menggunakan pill organizer. Sensitivitas
26
metode ini menjadi berkurang apabila pasien mengambil obat tetapi tidak meminumnya. 3) Biological markers Metode ini dilakukan dengan mengukur konsentrasi obat dalam plasma pasien. Konsentrasi obat dalam plasma yang rendah dapat mengindikasikan ketidakpatuhan terapi. Terdapat studi yang menyatakan metode ini kurang sensitif sebab konsentrasi obat dalam plasma dipengaruhi oleh banyak hal diluar kepatuhan terapi, misalnya malabsorpsi, interaksi obat, dan perbedaan metabolisme tiap individu. 4) Pharmacy refill data Metode ini dapat mengukur kepatuhan dengan melihat tanggal ketika obat diambil. Tanggal dapat diperoleh dari apotek atau penyedia layanan obat lain. Pada metode ini pasien dinyatakan telah melewatkan pengobatan ketika pengambilan obat tidak sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan. Selain keempat metode di atas, terdapat beberapa metode lain untuk mengukur tingkat kepatuhan terapi dari berbagai literatur, antara lain : 1) Modified morisky scale (MMS) Pada pertengahan tahun 1980an, Morisky dan tim risetnya mengembangkan sebuah kuesioner untuk dapat memprediksi kepatuhan pasien terhadap pengobatan antihipertensi. Instrumen ini telah divalidasi dalam berbagai studi dan menunjukkan hasil psikometri yang baik. Sejak saat itu para peneliti di seluruh dunia telah mengembangkan penggunaan
27
instrumen ini terhadap berbagai penyakit, seperti diabetes dan PPOK. Kuesioner MMS yang belum diterjemahkan dapat dilihat pada Tabel V. Tabel V. Kuesioner MMS yang Belum Diterjemahkan (Anonim, 2006b) Question Motivation Knowledge 1. Do you ever forget to take your Yes (0) No (1) medicine? 2. Are you careless at times about Yes (0) No (1) taking your medicine 3. When you feel better do you sometimes stop taking your Yes (0) No (1) medicine? 4. Sometimes if you feel worse when you take tour medicine, do you stop Yes (0) No (1) taking it? 5. Do you know the long-term benefit of taking your medicine as told to Yes (1) No (0) you by your doctor or pharmacist? 6. Sometimes do you forget to refill Yes (0) No (1) your prescription medicine on time?
Pertanyaan 1, 2, dan 6 mengindikasikan aspek motivasi dari kepatuhan. Sedangkan pertanyaan 3, 4, dan 5 mengindikasikan aspek pengetahuan dari kepatuhan. Selanjutnya kedua aspek (motivasi dan pengetahuan) dimasukkan ke dalam domain kepatuhan, terdapat tiga domain, yaitu kepatuhan tinggi, sedang, dan rendah. (Anonim, 2006b). 2) SMAQ SMAQ
(Simplified
Medication
Adherence
Questionnaire)
merupakan kuesioner yang dibuat berdasarkan Morisky Scale (MS), dengan beberapa tambahan dan pengurangan pertanyaan. SMAQ terdiri atas 6 butir pertanyaan yang terdiri dari 4 pertanyaan kualitatif dan 2 pertanyaan kuantitatif. Jawaban pertanyaan pada SMAQ menunjukkan indikasi positif apabila pasien tidak patuh. SMAQ menggabungkan pengukuran multidimensional dengan pengukuran dosis yang terlewat,
28
sehingga perbedaan antara variabel patuh dan tidak patuh akan menjadi jelas (Knobel dkk, 2002). SMAQ telah divalidasi oleh Knobel dkk (2002) dalam mengukur kepatuhan terapi pasien ARV pasien HIV/AIDS dan menunjukkan hasil yang positif. SMAQ memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup ketika dibandingkan dengan instrumen kepatuhan yang lain seperti MEMS (Medication Event Monitoring System), reliabel, mudah diaplikasikan, dan murah. Keunggulan-keunggulan tersebut membuat SMAQ dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan terapi pasien infeksi HIV. 3) ACTG Adherence Baseline Questionairre ACTG merupakan singkatan dari AIDS Clinical Trial Group. ACTG
Adherence
Baseline
Questionnaire
dikembangkan
oleh
Recruitment, Adherence, and Retention Subcomittee of the Adult Outcomes Comittee dan Patient Care Comitee dari ACTG. Kelompok peneliti ini terdiri atas social scientist, dokter, perawat, dan apoteker yang bekerja sama dalam mengembangkan instrumen yang mudah digunakan dan dapat diterima baik oleh pasien, tenaga kesehatan, maupun peneliti (Chesney dkk, 2000). Kuesioner kepatuhan ACTG merupakan instrumen yang valid dan reliabel dalam mengukur kepatuhan (Reynolds dkk, 2007). Selain untuk mengukur kepatuhan, di dalam kuesioner ini juga terdapat item-item pertanyaan terkait alasan tidak minum obat, pertanyaan-pertanyaan tersebut yang digunakan
29
sebagai kuesioner penelitian untuk mengetahui alasan ketidakpatuhan terapi ARV pasien HIV/AIDS. c. Kepatuhan terapi ARV Terapi ARV, terapi yang ditujukan bagi pasien dengan infeksi HIV merupakan salah satu terapi oral yang paling membutuhkan ketelitian dan perhatian lebih dari pasien. Diperlukan kepatuhan terapi yang tinggi untuk memperoleh
kesuksesan
pengobatan
dan
mengurangi
kemungkinan
terjadinya resistensi. Hal ini cukup sulit dipenuhi oleh sebagian pasien yang mengalami efek samping jangka pendek maupun jangka panjang, seperti fatigue, nausea, diare, insomnia, akumulasi lemak, perubahan indera perasa, dan neuropati perifer. Untuk memperoleh manfaat penuh dari terapi ARV diperlukan tidak hanya dengan meminum semua dosis seperti pada penyakit kronis lain, tetapi harus mengikuti regimen dosis (frekuensi, waktu, dll) dan aturan makan yang ketat dengan sempurna. Kebanyakan pasien memiliki tingkat kepatuhan terapi yang belum sempurna sehingga potensi ARV yang diperoleh belum maksimal (Safren dkk, 2008). Kepatuhan mempengaruhi terapi HIV melalui dua cara. Pertama, kepatuhan terhadap terapi HIV mengakibatkan obat-obatan ARV dapat bekerja secara efektif untuk mengurangi jumlah HIV di dalam tubuh. Melewatkan pengobatan walaupun jarang dapat memberikan kesempatan pada HIV utuk bereplikasi dengan cepat. Kedua, kepatuhan terapi HIV dapat mencegah resistensi obat. Resistensi terjadi akibat virus bermutasi dan menjadi resisten terhadap obat ARV. Satu atau lebih obat ARV dalam
30
regimen terapi dapat menjadi tidak efektif lagi akibat resistensi sehingga dapat menurunkan kemungkinan kesuksesan terapi (Anonim, 2012b). Risiko ini tidak hanya pada pasien yang tidak patuh dalam menjalani terapi, tetapi juga pada komunitas pasien sebab virus yang telah resisten dapat ditansmisikan dari satu orang ke orang lain (Safren dkk, 2008). Resistensi dapat terjadi dengan sangat cepat, bahkan hanya setelah satu minggu tidak minum obat atau tidak rutin minum obat. Sekali resistensi terjadi, maka keefektivan obat tersebut pada individu tersebut hilang selamanya, pada beberapa kasus dapat terjadi resistensi silang dengan obat lain (Bamberger dkk, 2000). Pasien dengan tingkat kepatuhan terapi yang rendah akan menunjukkan nilai viral load yang tinggi dan berisiko tinggi mengalami kegagalan terapi. Sebaliknya, pasien yang memiliki kepatuhan 100% akan mengalami supresi virus. Pasien HIV/AIDS yang menghentikan pengobatan ARV lebih berisiko mengalami progresivitas penyakit dan mortalitas (Goldstein, 2010). Kepatuhan terapi ARV dan penanganannya sangat bervariasi diantara kelompok usia, kelas sosial-ekonomi, dukungan sosial, dan keterjangkauan terhadap layanan kesehatan. Faktor risiko lain yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV antara lain kepercayaan, ketidakmampuan beradaptasi dengan pengobatan, stigma sosial, stres, trauma, depresi, kecemasan, keputusasaan, permasalahan rumah tangga, keuangan, pekerjaan, dan penyalahgunaan obat. Faktor faktor tersebut tidak
31
hanya menjadi hambatan bagi kepatuhan terapi ARV, tetapi juga mempengaruhi
kesehatan
pasien
HIV/AIDS
secara
keseluruhan
(Parrisbagolun, 2013) Konseling dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan terapi ARV, berikut merupakan tahapan konseling untuk meningkatkan kepatuhan terapi ARV yang diuraikan dalam Anonim (2011c). 1) Membina hubungan kepercayaan dengan pasien 2) Memberikan informasi akurat mengenai manfaat ARV 3) Membantu pasien menemukan orang yang dapat membantu pengobatan (misalnya keluarga atau teman) 4) Mengembangkan regimen terapi yang sesuai dengan keseharian pasien 5) Mendiskusikan cara yang paling sesuai untuk digunakan sebagai pengingat minum obat 6) Menyederhanakan regimen terapi dan meminimalkan efek samping obat 7) Mengidentifikasi penyebab ketidakpatuhan pasien dan memberikan solusi sesuai dengan faktor penyebabnya.
F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kepatuhan terapi ARV pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Kepatuhan pasien diukur berdasarkan SMAQ (Simplified Medication Adherence Questionaire). Selain itu, dilakukan juga penelitian untuk mengetahui alasan ketidakpatuhan terapi ARV
32
yang diperoleh dengan kuesioner alasan ketidakpatuhan yang diambil dari ACTG Adherence Baseline Questionnaire.
Terapi ARV
Respon terapi 1. Klinis 2. Imunologis 3. Virologis Kepatuhan terapi
: Tidak diamati
Karakteristik pasien: 1. 2. 3. 4.
Jenis kelamin Usia Status pernikahan Pendidikan
5. Pekerjaan 6. Faktor risiko 7. Stadium klinis 8. Kombinasi ARV
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian