BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap perubahan status nutrisi telah diketahui sejak tahap awal epidemi. Penyebaran HIV di seluruh dunia telah menggambarkan suatu hubungan yang kompleks antara komplikasi dan status nutrisi. Pada tingkat individu, banyak faktor yang turut memberikan kontribusi dalam penurunan status nutrisi dan kesehatan penderita HIV (Suttajit, 2007). Pada tahun 2005 diperkirakan hampir 38,6 juta orang terinfeksi HIV dan 2,8 juta meninggal oleh karenanya. Lebih dari 25 juta orang telah meninggal oleh karena Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) sejak tahun 1981. Jumlah orang yang mengidap HIV meningkat 3-4 kali sejak tahun 1990 sampai 2005, dan cenderung terus meningkat. Orang berusia muda (antara 15-24 tahun) merupakan setengah populasi pengidap HIV baru di seluruh dunia dan sekitar 6000 orang terinfeksi setiap harinya (Suttajit, 2007). Dari 842 juta orang yang menderita kelaparan kronis di seluruh dunia, sebanyak 800 juta orang tinggal di negara-negara berkembang. Diperkirakan 95% dari 38,6 juta penderita HIV juga hidup di negara berkembang dan negara miskin, dan sebanyak 70% hidup di sub-Sahara Afrika (World Food Programme, 2004). Telah dipahami dengan baik bahwa status nutrisi yang jelek memiliki efek yang cenderung merugikan terhadap fungsi dan perkembangan sistem imun. Demikian juga halnya bahwa penurunan fungsi sistem imun pada infeksi HIV
memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap status nutrisi (Family Health International, 2007). Bukti-bukti menunjukkan adanya hubungan yang sangat penting antara nutrisi dan perbaikan keluaran HIV/AIDS. Nutrisi yang adekuat sangat penting untuk
mempertahankan
sistem
imun,
mengatasi
infeksi
oportunistik,
mengoptimalisasi respon pengobatan, mempertahankan level aktivitas fisik dan mendukung kualitas hidup yang optimal penderita HIV (World Bank, 2007). Nutrisi
berperan
penting
dalam
mempertahankan
sistem
imun.
Ketidakseimbangan status nutrisi adalah kofaktor utama pada infeksi HIV dan berperan menyebabkan kematian selama perkembangan penyakit AIDS. Kebalikannya, infeksi HIV asimtomatik dan simtomatik juga bisa mempengaruhi status nutrisi dan berperan dalam setiap level AIDS. Beberapa defisiensi nutrisi dan akibat dari diet yang buruk didapatkan pada pasien AIDS. Malnutrisi dan sindrom wasting pada penderita HIV/AIDS sulit untuk dihindari jika mereka mengalami mual, muntah, diare, jamur, lesi esofagus dan mulut, kehilangan nafsu makan, absorbsi yang jelek dan lipodistrofi. Keadaan hipermetabolik dan efek samping pengobatan juga berperan dalam terjadinya penurunan berat badan dan massa tubuh. Keadaan status nutrisi seperti ini menciptakan risiko tinggi kematian pada penderita HIV/AIDS (Enwowu, 2006). Efek malnutrisi pada sistem imun antara lain menurunkan sel T-CD4, menekan reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan menyebabkan respon abnormal sel B . Setelah infeksi awal HIV, secara bertahap sistem imun diserang oleh virus dan terus menurun sampai lemah sehingga infeksi oportunistik bisa meruntuhkan
pertahanan alamiah tubuh. Efek infeksi HIV pada nutrisi telah dimulai sejak tahap awal penyakit bahkan sebelum seseorang menyadari bahwa dia terinfeksi virus tersebut (Piwoz, 2004). Status nutrisi yang jelek pada HIV/AIDS dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu asupan dan absorbsi nutrisi yang tidak adekuat, perubahan metabolik, hipermetabolisme atau gabungan dari semuanya, perubahan di saluran cerna serta interaksi antara obat dan nutrisi (Stambullian et al., 2007). Mikronutrien terutama Zink (Zn) dan Selenium (Se) adalah penting untuk mempertahankan dan menjaga sistem imun yang baik. Defisiensi Zn dapat menurunkan generasi sel T dan menekan imunitas humoral dan cell mediated immunity. Defisiensi Se juga memiliki beberapa dampak medis termasuk perburukan respon imunitas (Khalili et al., 2008). Kadar Zn dan Se serum penderita HIV/AIDS secara bermakna lebih rendah daripada orang yang sehat (Koch et al., 1996). Langkah pertama dari penanganan nutrisi adalah penilaian status nutrisi, yang harus dilakukan sesegera mungkin. Penilaian nutrisi yang komplit harus berisi beberapa parameter berikut ini: antropometri (pengukuran tubuh, yaitu tinggi badan, berat badan, lingkar pinggang-pinggul, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas), biokimia, klinis, diet dan sosial-ekonomi (HIV/AIDS Bureau, 2002). Problem nutrisi merupakan faktor yang secara bermakna berperan dalam kesehatan dan kematian penderita HIV. Nutrisi yang baik tidak hanya berperan dalam memperpanjang masa hidup dan memperbaiki kualitas hidup, tetapi juga meningkatkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi oportunistik. Status
nutrisi yang baik juga membuat penderita HIV dapat tetap produktif lebih lama, membuat keluarga tetap bersatu dan menstabilkan komunitas (World Food Programme, 2004). Suatu studi potong lintang yang dilakukan terhadap 77 pasien HIV/AIDS di Khon Kaen, Thailand mempelajari hubungan antara status nutrisi dengan Active Opportunistic Infection (AOI) dengan menggunakan antropometri. Didapatkan rasio Odd untuk AOI dibanding dengan non AOI adalah 4,57 pada underweight, 9,87 pada severe underweight, 2,55 pada ST dan 5,22 pada LLA (p < 0,05) ( Ludy et al., 2005). Penentuan kualitas dari faktor-faktor ini dapat membantu menetapkan metode yang terbaik dalam terapi dan penanganan penderita HIV/AIDS (Nojomi et al., 2008). Pada komunitas yang miskin, bukan hanya obat-obatan atau uang yang dibutuhkan mereka yang mengidap HIV/AIDS, tetapi makanan (World Food Programme, 2004). Penderita HIV/AIDS mendapat informasi tentang konsep dasar nutrisi yang optimal dengan mengidentifikasi makanan, status nutrisi dan perubahan gaya hidup yang berpengaruh terhadap perbaikan sistem imun. Oleh karena itu penilaian status nutrisi, manajemen nutrisi, konseling dan edukasi bermanfaat untuk kualitas dan perpanjangan hidup pengidap HIV/AIDS (Suttajit, 2007). B. Pertanyaan Penelitian Dari latar belakang tersebut, timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah pemberian anti retroviral berpengaruh terhadap perubahan nilai antropometri penderita HIV/AIDS?
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui apakah pemberian antiretroviral berpengaruh terhadap perubahan nilai antropometri penderita HIV/AIDS. Tujuan khusus penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis antriretroviral terhadap perubahan nilai antropometri penderita HIV/AIDS dan pengaruh stadium penyakit terhadap perubahan nilai antropometri setelah terapi ARV. D. Manfaat Penelitian Manfaat untuk penderita HIV/AIDS adalah: mengetahui efek pemberian antiretroviral terhadap status nutrisi melalui pengukuran antropometri sehingga bisa turut serta dalam usaha memperbaikinya. Manfaat untuk peneliti adalah: mendapatkan pengetahuan tentang efek pemberian antiretroviral terhadap status nutrisi melalui pengukuran antropometri penderita HIV/AIDS sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan, perbaikan dan penanggulangan masalah tersebut dalam rangka mengupayakan peningkatan kualitas hidupnya. Manfaat untuk institusi dan akademis: mendapatkan data tentang status nutrisi dengan penilaian antropometri dan efek obat bagi penderita HIV/AIDS sehingga bisa turut serta dalam upaya pencegahan, perbaikan dan penanggulangan masalah tersebut. E. Keaslian Penelitian Peneliti menelusuri penelitian-penelitian sebelumnya tentang ukuran antropometri dan kualitas hidup penderita HIV/AIDS, didapatkan antara lain: Burgin et al., (2008) meneliti status nutrisi dan pemberian diet pada penderita
HIV/AIDS. Penelitian dilakukan pada 36 penderita HIV/AIDS dan 37 orang sehat. Didapatkan bahwa penderita HIV/AIDS secara bermakna memiliki rerata berat badan, Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar lengan atas dan tebal lemak lengan yang lebih rendah dibanding dengan orang yang sehat. Juga diketahui bahwa penderita HIV/AIDS memiliki risiko yang tinggi akan kekurangan asupan buah dan sayur serta massa tubuh. Penelitian lainnya dilakukan oleh Stambulian et al, (2007) meneliti status nutrisi penderita HIV/AIDS dewasa dengan parameter biokimia. Studi ini dilakukan terhadap 43 penderita HIV/AIDS berusia 26-44 tahun, dari status sosioekonomi yang menengah ke bawah yang memiliki akses ke pelayanan kesehatan. Hasil penelitian ini didapatkan perubahan profil lipid, penurunan level Zn, Se dan fibrinogen, penurunan albumin serum dan protein fase akut yang terjadi pada penderita HIV/AIDS. Sepengetahuan penulis sampai saat ini belum ada penelitian yang serupa dilakukan di Yogyakarta.