BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Vaginosis bakterial (VB) terjadi pada 20-60% wanita di seluruh dunia (Atashili et al, 2008). Vaginosis bakterial timbul akibat perubahan kimiawi dan pertumbuhan yang berlebih dari bakteri yang berkolonisasi di vagina yang ditandai dengan discharge vagina pada 10-25% pada wanita usia produktif (Edwarda, 2004; Klebanoff et al, 2004). Wanita dengan VB memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit radang panggul, meningkatan kerentanan terhadap infeksi Human Immunodefisiensi Virus (HIV) dan infeksi menular seksual (IMS) (Livengood et al, 2009; Cherpes et al, 2005; Hay, 2004). Penderita VB sering kali mengalami keluhan-keluhan pada daerah vagina, pada umumnya berupa sekret vagina yang tipis, homogen, dan berbau tak sedap (CDC&Prevention, 2010). Keluhan inilah yang biasanya membawa pasien untuk memeriksakan diri ke dokter (Hillier, 2005). Namun pada sebagian besar kasus VB ditemukan tanpa gejala (asimtomatis) (CDC&Prevention, 2010, Melbourne Sexual Health Centre, 2012). Pada tahun 2001-2004 di Amerika Serikat dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dan didapatkan hasil prevalensi VB sebesar 29,2% yang setara dengan 21 juta wanita (Koumans et al., 2007). Penelitian kohort yang dilakukan oleh Bradshaw et al (2013) di 29 pusat pelayanan kesehatan di
1
2
3 negara bagian di Australia mendapatkan hasil 11,8% wanita dengan VB dan 17,2% wanita dengan kondisi abnormal vagina. Prevalensi VB pada wanita Indonesia secara nasional belum pernah dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Ocviyanti et al (2009,2010) di Puskesmas Kabupaten Karawang, Balai Kesehatan Batlyon 201 Cijantung, FKUI dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi VB pada wanita sebesar 30,7%. Prevalensi VB di Indonesia sekitar 32,5% pada survei yang dilakukan di klinik keluarga berencana di Manado (Joesoef et al, 2001). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti yang diperoleh dari Puskesmas Perawatan Ampenan kota Mataram selama Januari-Juli 2013 ditemukan 9 kasus wanita terkena vaginosis bakterial (VB) dari 21 orang wanita yang memeriksakan diri ke Puskesmas. Smart (2004) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya vaginosis bakterial adalah 1) faktor demografi (status marital, usia, pekerjaan, ras dan riwayat obstetrik), 2) faktor seksual (riwayat penyakit menular seksual, lamanya hubungan seksual dan frekuensi hubungan seksual serta pemakaian kondom), 3) faktor risiko non seksual (peminum alkohol, perokok dan banyaknya rokok yang dikonsumsi perhari juga pengguna obat terlarang). Faktor risiko lain, dari aspek psikologis adalah stres. Penelitian menunjukkan VB memiliki hubungan konsistensi yang tinggi dengan tingkat stres (Nansel et al., 2006; Culhane, et al., 2006; Harville, et al., 2005). Stres merupakan tekanan yang dihadapi individu dari lingkungan (Marks, et al., 2011). Stres dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi. Patel, et al (2005)
3
menemukan bahwa penyebab keputihan yang abnormal adalah stres dan faktor emosional (36,6%), panas berlebih dalam tubuh (35,2%) dan infeksi (30,5%). Penelitian yang dilakukan oleh Paul et al (2008) bahwa stres akibat peristiwa dalam kehidupan berhubungan secara signifikan dengan tingginya prevalensi VB pada wanita ras Amerika Afrika sebesar 5,6% dibandingkan dengan kondisi normalnya yaitu 3,9% (P <0.001) dan pada wanita Amerika kulit putih sebesar 4,1% dibandingkan dengan kondisi normalnya yaitu 2,1% (P <0.001). Harville, et al (2005) menemukan bahwa 34% wanita yang memiliki tingkat stres tinggi mengalami VB dan 26% wanita dengan stres tinggi tetapi tidak mengalami VB. Wilayah dengan tingkat kerentanan yang tinggi akan menjadi wilayah yang semakin rawan terhadap bencana. Wilayah pesisir memiliki tingkat kerentanan yang tinggi karena rawan terhadap ancaman gelombang pasang air laut dan memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Kerentanan wilayah pesisir dapat menjadi sumber stresor tersendiri dan memicu terjadinya stres terutama bagi penduduk yang membangun rumah pada kawasan pesisir pantai. Penelitian yang dilakukan oleh Liu Shujuan, et al (2009) menunjukkan bahwa gejala infeksi saluran genital bagian bawah, gangguan menstruasi dan nyeri pada daerah pelvik meningkat secara signifikan setelah gempa. Bencana membawa kerusakan pada lingkungan, yang meningkatkan stres. Perubahan mendadak dalam kehidupan sehari-hari dapat menekan fungsi kekebalan tubuh, dan dengan demikian meningkatkan risiko tertular infeksi saluran reproduksi.
4
Berdasarkan peta indeks ancaman bencana gelombang pasang/abrasi di Indonesia yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2010, wilayah pesisir pantai Ampenan yang terletak di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk daerah rawan terkena gelombang pasang dan abrasi. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Mataram (2013) pada tanggal 25 Mei 2013 lalu telah terjadi bencana gelombang pasang air laut (rob) di daerah pesisir pantai di wilayah kota Mataram. Menurut informasi warga yang berhasil dikumpulkan oleh Dinas Kesehatan Kota Mataram (2013) bahwa air laut mulai naik sekitar pukul 07.30 WITA dan pukul 08.00 WITA gelombang semakin besar, air naik dan menggenangi rumah warga hingga ±250 m dari bibir pantai. Daerah yang terkena hempasan gelombang pasang meliputi 2 kecamatan, 7 kelurahan dan 10 lingkungan. Daerah yang cukup parah dialami di lingkungan Gatep, Karang Bunyuk, Banjar, Pondok Prasi dan Bintaro dengan jumlah penduduk yang terancam jiwanya sebanyak ±1.161 jiwa dan jumlah pengungsi terbanyak dari lingkungan Gatep sebanyak 240 jiwa pengungsi. Tercatat 11 rumah rusak akibat peristiwa tersebut. Gelombang pasang ini menyebabkan genangan yang berupa banjir pada pemukiman masyarakat pesisir dan abrasi. Dalam menghadapi kondisi stres, depresi dan gangguan psikologis lainnya, resiliensi memegang peranan yang penting, resiliensi dengan dimensi yang dimilikinya dapat membuat seseorang mencapai kehidupan yang positif dan dinamis meskipun pernah mengalami kesulitan dan kemalangan akibat trauma, sehingga
5
mampu
mengembangkan
kemampuan
sosial,
melaksanakan
tugas-tugas
perkembangan, serta memecahkan masalah yang dihadapinya. Resiliensi adalah suatu proses adaptasi yang baik dalam menghadapi kesengsaraan, trauma, tragedi, ancaman atau bahkan sumber stres signifikan lainnya seperti masalah keluarga dan hubungan, masalah kesehatan serius atau stresor tempat kerja dan keuangan, (Grotbergh dalam Pizzolongo, 2011; Siebert, 2005; American Psychological Assosiation, 2004). Pada intinya, kebanyakan definisi resiliensi memiliki dua unsur pokok. Di satu sisi, adanya stres atau pengalaman merugikan (Yu & Zhang, 2007; Hjemdal, et al. 2006; O’Rourke, et al, 2004; Tugade, et al, 2004; Black & Ford-Gilboe, 2004; Connor & Davidson 2003) dan di sisi lain, terdapat manifestasi kemampuan dalam mempertahankan pemfungsian yang optimal (Friborg et al, 2003). Secara jelas terlihat bahwa resiliensi tidak digunakan untuk melindungi individu dari pengalaman yang merugikan dan traumatis, namun orang yang resilien cenderung memiliki kemampuan untuk koping secara lebih fungsional dan fleksibel dalam menghadapi stres (Friborg, et al. 2003). Resiliensi terhadap trauma akan meningkat dengan adanya persiapan terhadap trauma, kemampuan menyesuaikan diri dengan trauma, dan yang paling penting, keberhasilan dalam pemulihan masa lalu. Penelitian yang dilakukan oleh Harville, et al (2009) menunjukkan bahwa banyak ibu hamil dan postpartum resilien terhadap kesehatan mental setelah bencana dan merasakan manfaat setelah pengalaman traumatis. Penelitian yang dilakukan Trakeshwar, et al (2006) yang meneliti individu dewasa (≥ 18 tahun) yang pernah mengalami pelecehan seksual dimasa kecil dan
6
remaja serta menderita HIV, menemukan individu memiliki 4 (empat) ciri resiliensi, mampu mengatasi stres dan trauma yang pernah dialaminya serta mengubah sikap invidu dalam kesehariannya. Penelitian yang dilakukan oleh Haddadi, et al (2010) juga membuktikan bahwa resilien secara signifikan berkorelasi negatif dengan stres, depresi dan kecemasan serta secara signifikan berkorelasi positif dengan kesejahteraan psikologis. Artinya seseorang dengan resiliensi tinggi memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan dengan sebaliknya. Berdasarkan latar belakang di atas, Peneliti tertarik membahas tentang hubungan resiliensi dan stres dengan terjadinya vaginosis bakterial (VB) pada wanita usia subur di pesisir pantai Ampenan kota Mataram.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan uraian permasalahan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah terdapat hubungan antara resiliensi dan stres dengan kejadian vaginosis bakterial pada wanita usia subur di pesisir pantai Ampenan kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat?”.
7
C. Tujuan Penelitian 1. Umum Mengetahui hubungan resiliensi dan stres dengan kejadian vaginosis bakterial pada wanita usia subur dipesisir pantai Ampenan kota Mataram provinsi Nusa Tenggara Barat . 2. Khusus a. Untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dengan kejadian vaginosis bakterial pada wanita usia subur di pesisir pantai Ampenan kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. b. Untuk mengetahui hubungan antara stres dengan kejadian vaginosis bakterial pada wanita usia subur di pesisir pantai Ampenan kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. c. Untuk mengetahui hubungan antara usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, frekuensi menikah, usia menikah pertama, frekuensi mengganti celana dalam, penggunaan kontrasepsi, dan frekuensi berhubungan seksual dengan kejadian vaginosis bakterial pada wanita usia subur di pesisir pantai Ampenan kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat.
D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi pengembangan ilmu pengetahuan a. Menambah pengetahuan di bidang kesehatan pada umumnya dan keperawatan pada khususnya tentang kondisi kesehatan mental (resiliensi dan stres) dan
8
kesehatan reproduksi dalam hal ini terkait dengan gangguan akibat vaginosis bakterial pada wanita usia subur yang hidup di pesisir pantai dan rentan terhadap gelombang pasang air laut. b. Menjadi landasan untuk pengembangan asuhan keperawatan maternitas berbasis komunitas terhadap kesehatan reproduksi wanita di daerah rawan bencana. c.
Bagi pemerintah dan masyarakat a. Memberikan gambaran tentang resiliensi yang menjadi modal dan kapasitas untuk keluar dari permasalahan yang dihadapi pada wanita pesisir pantai terkait kesehatan mental dan kesehatan reproduksi di tengah ancaman gelombang pasang air laut. b. Memberikan informasi bagi pemerintah daerah dan dinas kesehatan setempat terkait kesehatan mental dan kesehatan reproduksi wanita di pesisir pantai sehingga dapat merumuskan kebijakan berhubungan dengan kesehatan mental dan kesehatan reproduksi wanita dalam pengelolaan daerah pesisir. c. Memberikan pengetahuan bagi masyarakat, khususnya wanita usia subur dalam upaya pencegahan infeksi bakteri vaginosis yang pada akhirnya dapat menurunkan risiko penyakit infeksi kelamin lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian 1.
Harville. et al (2010), yang berjudul “Resilience After Hurricane Katrina Among Pregnant And Postpartum Women”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
9
memberikan gambaran demografi dan hubungan resiliensi dengan pertumbuhan pasca trauma akibat badai Katrina. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan mewawancarai 222 wanita hamil dan 292 wanita postpartum yang terkena badai di selatan Louisiana dimana resiliensi diukur menggunakan Edinburgh Depression Scale dan Post-Traumatic Stress Checklist. Pertumbuhan pasca trauma diukur melalui pertanyaan terkait pengalaman, manfaat yang dirasakan akibat badai, bagaimana cara mengatasi bahaya, penyakit/cedera, dan kerusakan yang dialami akibat badai. Hasilnya menunjukkan bahwa 35% wanita hamil dan 34% wanita postpartum resilien terhadap depresi. 56% wanita hamil dan 49% wanita postpartum resilien terhadap gangguan stres pasca trauma. Resiliensi diperoleh lebih tinggi pada wanita kulit putih, wanita usia tua dan wanita yang memiliki pasangan. Pengalaman yang besar akibat badai, khususnya terkait penyakit/cedera atau bahaya memiliki hubungan yang rendah dengan resiliensi. Pengalaman mengalami kerusakan akibat badai memiliki hubungan dengan peningkatan penerimaan manfaat yang dirasakan. Persamaan pada penelitian ini terletak pada pengukuran variabel resiliensi wanita. Perbedaan penelitian pada subyek penelitian, lokasi penelitian, variabel penelitian selain resiliensi dan skala ukur yang digunakan. 2.
Liu, S. et al (2009), yang berjudul “A report on the reproductive health of women after the massive 2008 Wenchuan earthquake”. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi kesehatan reproduksi pada wanita setelah gempa Wenchuan 8.0 skala Richter di Cina tahun 2008. Menggunakan metode cross sectional dimana
10
para Ginekolog melakukan survei pada 170 wanita korban gempa Wenchuan 8.0 skala Richter menggunakan kuesioner tentang gejala infeksi saluran reproduksi, gangguan menstruasi, kepuasan seksual, dan fertilitas. Hasilnya diperoleh bahwa tingkat gejala infeksi saluran reproduksi bagian bawah tinggi setelah gempa bumi dibandingkan dengan sebelum terjadinya gempa bumi (50,0% vs 26,5%) seperti penyakit radang panggul (35,9% vs 19,4%) dan gangguan menstruasi (51,8% vs 22,4%) (p value <0,05). Terkait dengan kehidupan seksual perempuan setelah gempa bumi, 89,4% wanita tidak memiliki keinginan untuk hamil, dan 67,1% wanita akan meminta penghentian kehamilan jika mereka hamil. Persamaan dengan penelitian untuk melihat dampak bencana terhadap kesehatan reproduksi dalam hal ini terkait gejala infeksi saluran reproduksi. Perbedaannya terletak pada variabel penelitian, lokasi penelitian, skala ukur yang digunakan. 3.
Paul, et al (2008) yang berjudul “Racial disparity in bacterial vaginosis: the role of socioeconomic status, psychosocial stress, and neighborhood characteristics, and possible implications for preterm birth”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara status sosial ekonomi, stres psikososial dan lingkungan bertetangga terhadap prevalensi vaginosis bakterial. Menggunakan metode cross sectional pada populasi wanita ras Afrika Amerika dengan kulit putih Amerika yang berada di King County, Washington, USA dengan menginvestigasi efek dari pendapatan rumahtangga, stres psikososial, dan kondisi lingkungan sekitar terhadap prevalensi vaginosis bakterial. Ditemukan bahwa pendapatan yang rendah berhubungan secara signifikan dengan prevalensi yang tinggi pada
11
vaginosis bakterial pada ras Amerika kulit putih tetapi tidak pada ras Afrika Amerika. Tingginya stres akibat peristiwa dalam hidup berhububungan secara signifikan terhadap prevalensi vaginosis bakterial pada kedua kelompok ras. Persamaan penelitian ini sama-sama melihat hubungan antara stres dengan prevalensi vaginosis bakterial dengan metode cross sectional. Perbedaannya terletak pada variabel lain yang digunakan yaitu resiliensi, lokasi penelitian, dan kriteria diagnostik untuk VB yang digunakan. 4.
Harville, et al (2005) yang berjudul “Perceived Life Stress and Bacterial Vaginosis”. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan stres dalam kehidupan terhadap kejadian vaginosis bakterial dengan desain kohort terhadap 411 wanita Afrika Amerika yang rutin mengunjungi klinik ginekologi di dua rumahsakit di kota New York. Subyek diminta untuk menilai tekanan yang dirasakan selama seminggu terakhir sebagai akibat dari perubahan, hubungan dengan sesama, penyakit, dan masalah keuangan menggunakan Global Assessment of Recent Stress scale yang dikategorikan menjadi stres rendah, sedang dan tinggi. VB didiagnosis menggunakan pemeriksaan gram stain dengan kriteria Nugent. Hasilnya diperoleh bahwa 34% wanita dengan VB memiliki stres yang tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak menagalami VB (26%). Persamaan dengan penelitian adalah sama-sama melihat hubungan stres dengan kejadian VB. Perbedaannya terletak pada variabel lain yaitu resiliensi, skala ukur stres yang digunakan, lokasi penelitian dan kriteria diagnostik untuk VB yang digunakan.