BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketoprofen Ketoprofen
merupakan
biasa
digunakan
obat
antiinflamasi
untuk
pengobatan
kelompok
nonstreoidal.
arthritis
rheumatoid,
osteoarthritis, dan berbagai penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih dkk., 2010). Ketoprofen termasuk kedalam BCS (Biopharmaceutics Classification System)
kelas II, yaitu obat yang memiliki kelarutan yang rendah namun
memiliki permeabilitas yang tinggi (Shohin dkk., 2011). Kelarutan ketoprofen yang rendah dalam air menyebabkan laju disolusinya rendah sehingga memperlambat penyerapan pada gastrointestinal (Martin dkk., 1993). Untuk mengatasi masalah tersebut maka ketoprofen diformulasikan dalam bentuk SNEDDS. SNEDDS adalah metode penghantaran obat dengan pembuatan campuran isotropic minyak, surfaktan, ko-surfaktan, dan obat yang mampu membentuk nanoemulsi secara spontan di dalam saluran cerna dan menghasilkan ukuran tetesan yang berukuran nanometer. (Patel dkk., 2011; Han dkk., 2011 ; Makadia dkk., 2013). Formulasi SNEDDS ketoprofen pada penelitian ini dibuat menggunakan VCO (Virgin Coconut Oil) sebagai fase minyak, kombinasi tween 20/ tween 80 sebagai surfaktan, serta PEG 400 sebagai ko-surfaktan. VCO merupakan minyak nabati yang terdiri dari asam lemak trigliserida dan senyawa fenolik, sehingga akan membentuk nanoemulsi yang stabil (Maharini, 2013). Tween 20 dan tween 80 merupakan jenis surfaktan non-ionik memiliki nilai HLB 16,7 untuk tween 20
1
2
dan 15 untuk tween 80. Tween 20 dan tween 80 memiliki gugus hidroksil dan oksigen bebas yang memungkinkan pembentukan
ikatan hidrogen dengan
ketoprofen lebih banyak, karena semakin banyak ikatan hidrogen yang terbentuk maka akan mempercepat proses pelarutan. PEG 400 dipilih sebagai ko-surfaktan pada formulasi SNEDDS karena memiliki nilai HLB yang tinggi (>10) yaitu sebesar 11,6 sehingga dapat membantu surfaktan dalam meningkatkan pembentukan nanoemulsi secara spontan (Rowe dkk., 2009) Ketoprofen dibuat dalam formulasi SNEDDS agar mampu menyelesaikan permasalahan yang ada pada ketoprofen yaitu untuk meningkatkan kelarutan. Namun diharapkan komponen penyusun SNEDDS ketoprofen yakni tween 20 dan tween 80 tidak mengganggu atau menurunkan permeabilitas dari ketoprofen yang sudah baik, sehingga dalam penelitiaan ini dilakukan pengujian difusi menggunakan using chamber tipe horizontal dengan metode side by side pada usus tikus secara in vitro untuk melihat pengaruh tween 20 dan tween 80 terhadap permeasi serta uji disolusi untuk melihat pelepasan ketoprofen dalam cairan lambung buatan secara in vitro. Membran usus merupakan barrier utama bagi obat dengan rute penggunaan oral. Air, molekul dengan ukuran kecil, dan molekul lipofil dapat dengan mudah melewati membran usus (Shargel dkk., 2005).
3
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh komposisi tween 20 dan tween 80 dalam SNEDDS ketoprofen dengan VCO sebagai fase minyak terhadap kecepatan difusi dan jumlah ketoprofen terdifusi melalui membran usus secara in vitro? 2. Bagaimana profil disolusi dan kinetika orde disolusi formula optimum SNEDDS ketoprofen? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui pengaruh komposisi tween 20 dan tween 80 dalam SNEDDS ketoprofen dengan VCO sebagai fase minyak terhadap kecepatan difusi dan jumlah ketoprofen terdifusi melalui membran usus secara in vitro. 2. Mengetahui profil disolusi dan kinetika orde disolusi formula optimum SNEDDS ketoprofen D. Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
mengenai
penggunaan komposisi tween 20 dan tween 80 dengan VCO sebagai fase minyak yang optimal dalam SNEDDS ketoprofen yang efektif meningkatkan disolusi dan permeabilitas ketoprofen sehingga menjadi alternatif baru untuk penggunaan ketoprofen secara oral.
4
E. Tinjauan Pustaka 1. Ketoprofen
Gambar 1 . Struktur kimia ketoprofen
Nama kimia ketoprofen adalah asam 2-(3-benzoilfenil) propionat dengan bobot molekul 254,3. Ketoprofen mudah larut dalam etanol, kloroform dan eter, praktis tidak larut dalam air (Depkes., 1995). Ketoprofen memiliki jarak lebur 9396oC. Ketoprofen merupakan obat anti-inflamasi non-steroid. Ketoprofen biasa digunakan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dan berbagai penyakit muskuloskeletal kronis (Purwantiningsih dkk., 2010). Ketoprofen
merupakan
obat
yang pada
sistem
pengelompokkan
Biopharmaceutical Classification System (BCS) tergolong kelas II yang memiliki permeabilitas baik namun memiliki kelarutan yang rendah (Sheng dkk., 2006). Ketoprofen memiliki waktu paruh eliminasi dalam plasma darah sekitar 1.5−2 jam. Konsentrasi ketoprofen yang bertahan dalam plasma darah setelah 24 jam hanya sekitar 0.07 mg/L. Ketoprofen tergolong obat yang memiliki permeabilitas tinggi dengan nilai bioavailabilitas absolut 90% (Shohin dkk., 2011). Ketoprofen memiliki kelarutan dalam air yang rendah (0,13 mg mL-1 pada suhu 25C), sehingga menjadi masalah pada formulasi dan membatasi aplikasi terapeutik (Khaleel dkk., 2011). Ketoprofen merupakan asam lemah dengan pKa 4,39-4,76
5
(Shohin dkk., 2012). Kelarutan ketoprofen dipengaruhi oleh pKa, semakin tinggi nilai pH media maka kelarutan ketoprofen dalam media tersebut akan semakin meningkat, karena ketoprofen banyak dalam bentuk terion. Obat dalam bentuk terion akan meningkat kelarutannya dalam air. 2. SNEDDS SNEDDS adalah metode penghantaran obat yang memiliki komponen berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai emulgator minyak ke dalam air melalui pembentukan dan penjaga stabilitas lapisan film antar muka, ko-surfaktan untuk membantu kerja dari surfaktan sebagai emulgator, dan obat yang secara spontan membentuk nanoemulsi ketika bercampur dengan air dengan adanya pengadukan ringan motilitas saluran cerna (Date dkk., 2010; Dewan dkk., 2012; Patel dkk., 2011). SNEDDS menghasilkan ukuran tetesan yang berukuran kurang dari 100 nm dan meningkatkan kelarutan obat yang tidak larut dalam air sehingga dapat membantu absorpsi obat pada saluran cerna (Doh dkk., 2013; Han dkk., 2011 ; Makadia dkk., 2013). SNEDDS memiliki keunggulan yaitu lebih stabil dibandingkan dengan emulsi, dapat meningkatkan jumlah obat terdisolusi untuk obat yang absorbsinya dipengaruhi oleh kecepatan disolusinya serta meningkatkan permeasi antar membran saluran pencernaan (Rane dan Anderson, 2008; Wasan dkk., 2009; Wang dkk., 2010). Formulasi SNEDDS memiliki syarat, yaitu harus kompatibel, aman, memiliki kapasitas pelarut yang baik serta memiliki kemampuan self emulsifying yang baik (Han dkk., 2011).
6
Komponen utama SNEDDS adalah: a. Minyak Fase minyak memiliki peran penting dalam formulasi SNEDDS karena dapat menentukan spontanitas emulsifikasi, kelarutan obat, dan ukuran tetesan emulsi. Selain
membantu self-emulsification dari SNEDDS juga mampu
meningkatkan fraksi obat hidrofobik yang tertransport melalui sistem intestinal limfatik sehingga meningkatkan absorbsi pada saluran gastrointestinal (Gursoy dan Benita, 2004). Minyak yang biasa digunakan dalam membuat formulasi SNEDDS adalah minyak yang dapat melarutkan obat dengan maksimal serta harus mampu menghasilkan ukuran tetesan yang kecil sehingga dapat terbentuk nanoemulsi. Minyak yang banyak mengandung komponen rantai hidrokarbon seperti minyak nabati atau trigliserida rantai panjang susah teremulsi dibandingkan dengan trigliserida rantai menengah, monogliserida rantai menengah atau ester asam lemak. (Anton dan Vandamme, 2009; Sadurni dkk., 2005). Fase minyak yang digunakan pada penelitian ini adalah VCO. VCO merupakan sumber triasilgliserol rantai sedang (Medium Chain Triglycerides, MCTs), mencapai 60% dari total kandungan minyak (Norulaini dkk., 2009). Kandungan fenolik dalam VCO berupa asam protoketakuat, asam vanilat, asam kafeat, asam siringat, asam ferulat, dan asam p-kumarat. Asam-asam tersebut merupakan komponen yang bermanfaat sebagai antioksidan (Marina dkk., 2009). Struktur asam laurat adalah sebagai berikut:
Gambar 2 . Struktur asam laurat
7
b.
Surfaktan Surfaktan adalah zat yang dalam struktur molekulnya memiliki bagian
lipofil dan hidrofil (Fudholi, 2013). Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka dengan minyak/lemak (lipofilik). Surfaktan dalam SNEDDS berperan dalam pembentukan tetesan berukuran nanometer (Dixit and Nagarsenker, 2008). Surfaktan nonionik lebih sering digunakan dibandingkan dengan surfaktan ionik karena tidak terlalu dipengaruhi oleh pH media, aman, dan biokompatibel untuk penggunaan secara oral (Azeem dkk., 2009; Patel dkk., 2011). Penambahan surfaktan dapat mengurangi tegangan antarmuka sehingga dapat menghasilkan tetesan nanoemulsi yang stabil (Costa dkk., 2012). Secara umum, surfaktan untuk SNEDDS memiliki nilai HLB berkisar antara 15-21. Surfaktan dalam SNEDDS dapat berupa sebagai surfaktan tunggal atau kombinasi beberapa surfaktan (Date dkk., 2010). Dalam penelitian ini digunakan kombinasi beberapa surfaktan yaitu tween 20 dan tween 80. Tweeen 20 (Polyoxyethylene (20) sorbitan monolaurate) adalah ester dari polioksietilen sorbitan yang memiliki nilai HLB 16,7 (Sigma, 2014). Tween 20 yang tampak pada gambar 4 merupakan surfaktan nonionik hidrofilik yang secara luas digunakan sebagai pengemulsi dalam sediaan farmasetik emulsi stabil minyak dalam air (Rowe dkk., 2009).
8
O O
w O O
OH O
x
HO
OH O
O
z
w+x+y+z=20 y
Gambar 3. Struktur kimia tween 20
Tween 80 atau polyoxyethylene 20 sorbitan monooleate (C64H124O26) memiliki HLB 15 dan dikategorikan sebagai generally regarded as nontoxic and Nonirritant (Rowe dkk., 2009). Struktur rantai alkil surfaktan memiliki efek dalam penetrasi minyak ke lapisan surfaktan yang memungkinkan pembentukan nanoemulsi seperti yang dimiliki oleh tween 80 (Rao dan Shao, 2008). Struktur dari tween 80 adalah sebagai berikut :
Gambar 4. Struktur kimia tween 80
c.
Ko-surfaktan Ko-surfaktan digunakan dalam formulasi SNEDDS untuk meningkatkan
drug loading, mempercepat waktu emulsifikasi, dan mengatur ukuran tetesan emulsi (Biradar dkk., 2009; Makadia dkk., 2013). Ko-surfaktan yang dipilih umumnya yaitu berupa alkohol yang memiliki rantai pendek karena dapat mengurangi tegangan antarmuka. Pada penelitian ini ko-surfaktan yang digunakan adalah PEG 400 karena termasuk ke dalam alkohol rantai pendek. PEG berupa
9
cairan kental, tidak berwarna dan transparan. Struktur PEG 400 adalah sebagai berikut:
Gambar 5. Sturtur kimia PEG 400
PEG 400 merupakan kosurfaktan yang dapat digunakan dalam formulasi SNEDDS dengan konsentrasi optimal 30% v/v yang menghasilkan SNEDDS yang jernih dan stabil serta nanoemulsi dengan ukuran droplet sebesar 29,53 nm (Chavda dkk., 2013). 3. Disolusi dan Difusi a) Disolusi Disolusi merupakan salah satu faktor penentu proses absorbsi obat dalam tubuh manusia, terutama bila zat aktif tersebut memiliki kelarutan yang kecil dalam medium gastrik intestinal. Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan alat, medium disolusi dan kondisi percobaan sedemikian rupa sehingga menghasilkan hasil yang reprodusibel (Fudholi, 2013). Pada penelitian ini dilakukan uji disolusi menggunakan alat apparatus II (Paddle). Paddle apparatus berupa labu silindris denga alas agak melengkung dari gelas borosilikat, dengan kapasitas 1000 ml, dilengkapi dengan pengaduk berbentuk dayung yang berputar dengan kecepatan sesuai tersebut dalam
10
monograf dengan batas rentang 4%. Alat ini dipakai untuk sediaan tablet atau kapsul. Menurut (Fudholi, 2013) kecepatan obat larut kedalam medium dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a. Sifat fisika kimia obat b. Jenis alat yang digunakan c. Kondisi percobaan, seperti: intensitas pengadukan, macam komposisi medium, temperatur percobaan. d. Formulasi dan metode fabrikasi. b) Difusi Mekanisme transport dibutuhkan untuk dapat melewati barier absorpsi. Salah satu mekanisme transport absorbsi adalah difusi pasif yang digunakan untuk melukiskan lewatnya molekul-molekul obat melalui suatu membran yang bersifat inert dan tidak berpartisipasi aktif dalam proses tersebut. Difusi pasif dikendalikan oleh perbedaan konsentrasi yang ada di seberang membran, dengan perjalanan obat terjadi dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah (Ansel, 1985). Permeabilitas membran biologis terhadap suatu obat dapat digambarkan oleh koefisien partisinya dan mempunyai hubungan linier dengan kecepatan absorpsinya, yang dinyatakan dengan persamaan (1) (Shargel & Yu, 1999):
11
𝑑𝑄𝑏 𝑑𝑡
1
= 𝐷𝑚 . 𝐴𝑚 . 𝑃𝑚⁄𝑠 . (𝐶𝑔 − 𝐶𝑏). ∆𝑋
𝑚
(1)
dimana: 𝑑𝑄𝑏 𝑑𝑡
𝐷𝑚 𝐴𝑚 𝑃𝑚⁄𝑠 ∆𝑋𝑚 𝐶𝑔 𝐶𝑏
= kecepatan transport obat ke kompartemen dalam, = tetapan difusi obat melalui membran, = luas membran yang digunakan untuk berdifusi, = koefisien partisi obat dalam membran pelarut, = ketebalan membran, = kadar obat kompartemen luar pada waktu t, = kadar obat kompartemen dalam pada waktu t.
Untuk obat-obat yang struktur dan tempat absorpsinya tertentu, kecepatan absorpsinya hanya ditentukan oleh gradient kadar obat di antara kedua permukaan membran, yang memisahkan lumen saluran pencernaan dengan darah, sehingga persamaan (1) dapat disederhanakan menjadi (Shargel & Yu, 1999): 𝑑𝑄𝑏 𝑑𝑡
= 𝑃𝑥 (𝐶𝑔 − 𝐶𝑏)
(2)
dimana : 1
𝑃 = 𝐷𝑚 . 𝐴𝑚 . 𝑃𝑚⁄𝑠 . ∆𝑋𝑚 .
(3)
P disebut sebagai permeabilitas membran. Jika Cb dapat diabaikan karena Cb << Cg, maka persamaan (2) tersebut dapat disederhanakan menjadi persamaan 4 (Shargel & Yu, 1999) : 𝑑𝑄𝑏 𝑑𝑡
= 𝑃. 𝐶𝑔
(4)
Hasil integrasi persamaan ini adalah : 𝑄𝑏 = 𝑃. 𝐶𝑔 . 𝑡
(5)
dimana : Qb = jumlah obat yang ditranspor dari kompartemen luar menuju kompartemen dalam, dalam selang waktu t (Shargel & Yu, 1999).
12
Kurva hubungan jumlah obat yang ditransport sebagai fungsi waktu akan memberikan garis linier dengan angka arah Va = P.Cg (6) dan lag time yaitu harga perpotongan garis dengan sumbu X. Bahan obat yang memiliki lag time kurang dari 15 menit biasanya tidak menimbulkan masalah pada proses transport melalui membran biologi karena obat cepat dilepaskan dari sediaan dan segera mengalami absorpsi (Shargel & Yu, 1999). 4. Uji difusi side by side (Ussing chamber) Uji difusi dilakukan untuk memperoleh parameter kinetik transport obat melalui membran usus, serta mempelajari pengaruh bahan terhadap profil transport obat (Deferme dkk., 2008). Membran yang dipakai dalam uji difusi dapat berupa membran buatan dan organ terisolasi. Usus tikus digunakan sebagai sel difusi pada Ussing chamber tipe horizontal yang terdiri dari dua kompartemen yaitu kompartemen mukosal (donor) dan kompartemen serosal (aseptor). Penggunaan tikus dengan ras dan jenis kelamin yang sama, serta usia yang kurang lebih sama pada uji difusi bertujuan untuk mengendalikan variasi absorbsi melalui membran usus. Pengujian terhadap daya absorbsi obat dengan usus tikus terisolasi dilakukan sebagai studi pendahuluan obat yang tertranspor di usus dan untuk mengestimasi level first pass metabolism melewati kompartemen pada sel epitel usus. Mekanisme transpor obat menggunakan Ussing chamber tipe horizontal terlihat pada gambar 6.
13
Gambar 6. Mekanisme kerja Ussing chamber tipe horizontal (dimodifikasi dari Sari, 2012)
5. WinSAAM Metode pendekatan berbasis kompartemen memandang transport obat melalui membran usus sebagai serangkaian proses perpindahan obat dari fase donor (kondisi in vitro) menuju membran usus, selanjutnya obat dari membran mengalami berpindah menuju fase akseptor (kondisi in vitro) atau ke dalam darah (kondisi in vivo). Untuk memudahkan penggambaran proses transport obat dalam sistem kompartemen, dapat digunakan piranti lunak WinSAAM (Maharini, 2013). WinSAAM merupakan permodelan sistem biologi yang berbasis Windows dengan menggunakan model matematis. Keunggulan WinSAAM antara lain: mudah dioperasikan, untuk sistem linear dan nonlinear dikerjakan dengan perintah umum, otomatis fitting data tanpa perlu menerjemahkan model konstruksi, secara otomatis menentukan parameter linear atau nonlinear sesuai model konstruksi, fleksibel untuk berbagai model, fasilitas spreadsheet memungkinkan output hasil
14
pengolahan data dapat diekspor secara langsung ke excel atau sistem spreadsheet lainnya (Linares dan Boston, 2010). Analisis data dengan WinSAAM dimulai dengan listing meliputi estimasi nilai awal, batas minimum dan maksimum, serta penulisan parameter-parameter model yang disusun secara sistematis sesuai dengan konvensi yang ada. Proses selanjutnya merupakan proses penerjemahan listing program ke dalam bahasa WinSAAM atau proses decking yang dilakukan dengan mengetikkan kode deck pada jendela utama (terminal window). Pemecahan model dan persamaan diferensial terkait dilakukan dengan mengetikkan solve pada jendela utama. Proses pencarian parameter model terbaik dilakukan dengan proses pencarian berulang (iteration) yang dapat diinisiasi dengan mengetikkan iter pada jendela utama (Maharini, 2013). 6. SLD (Simplex Lattice Design) Berbagai penelitian menyebutkan, perubahan satu atau lebih variabel proses dalam pengamatan efek dapat merubah variabel respon. Desain penelitian bertujuan untuk meningkatkan efisiensi prosedur dalam rencana penelitian yang berisi data yang dapat dianalisis, sehingga diperoleh hasil yang valid dan kesimpulan yang objektif. Selain itu, desain penelitian yang dipilih dengan baik, akan dapat memberikan informasi yang cukup sehingga dapat menjelaskan hasil penelitian dengan baik, dalam mempelajari efek pada faktor yang berbeda, kondisi dan respon interaksi pengamatan dalam penelitian (Patel dkk., 2010). Beberapa keuntungan ketika mengggunakan desain penelitian antara lain seperti, penafsiran faktor dan interaksi lebih efektif, dapat memprediksi efek yang
15
diinginkan ketika tidak terjadi interaksi sehingga memberikan efisiensi yang maksimal, namun jika ada interaksi maka perlu untuk mengungkapkan dan mengidentifikasi interaksi tersebut (Patel dkk., 2010). Suatu formula merupakan campuran yang terdiri dari beberapa komponen atau bahan yang apabila terdapat perubahan fraksi salah satu komponennya, maka akan mengubah satu atau lebih komponen lain (Rachmawati, 2012). Permasalahan umum dalam studi formulasi terjadi, bila komponen-komponen formula diubahubah dalam upaya untuk mengoptimalkan hasil. Setiap perubahan fraksi salah satu komponen dari campuran akan merubah sedikitnya satu variabel atau bahkan lebih fraksi komponen lain. Salah satu contoh desain penelitian yang dipakai dalam formulasi obat adalah SLD. Simplex lattice design
merupakan suatu metode untuk menentukan
optimasi pada berbagai komposisi bahan yang berbeda. Metode simplex lattice design dapat digunakan untuk menentukan proporsi relatif bahan-bahan yang digunakan dalam suatu formula, sehingga diharapkan akan dapat dihasilkan suatu formula yang paling baik (dari campuran tersebut) sesuai kriteria yang ditentukan Jika Xi adalah fraksi komponen I dalam campuran fraksi, maka: 0 ≤ Xi ≤ 1, I = 1,2,q
(7)
Campuran akan mengandung sedikitnya i komponen dan jumlah fraksi dari semua komponen adalah tetap (= 1), ini berarti: X1+X2+….+Xq = 1
(8)
Ada beberapa model persamaan matematika yang cocok untuk masingmasing desain, yaitu model linear, kuadratik, dan spesial kubik (Bolton, 1997)
16
a. Linear y= β1X1+β2X2+ β3X3
(9)
b. Kuadratik y= β1X1+ β2X2+ β3X3+ β12X1X2+ β13X1X3+ β23X2X3
(10)
c. Spesial kubik Y= b1X1+b2X2+b3X3 b12X1X2+b23X2 X3+b13X1X3+b123X1 X2 X3 Ket: Y X1, X2, X3 b1, b2, b3 b12, b13, b23 b123
(11)
= respon = fraksi dari tiap komponen = koefisien interaksi dari X1, X2, X3 = koefisien interaksi dari X1-X2, X1-X3, X2-X3 = koefisien interaksi dari X1-X2-X3
Desain eksperimen kombinasi proporsi dengan metode SLD dapat menggunakan bantuan piranti lunak Design Expert versi 7.1.5. Piranti lunak tersebut menawarkan berbagai macam desain diantaranya faktorial, faktorial fraksional, dan desain gabungan. Kelebihan dari piranti lunak ini yaitu dapat digunakan untuk kedua variabel proses dan variabel campuran, menghasilkan desain optimal untuk desain standard yang tidak applicable, dan dapat meningkatkan desain yang sudah ada (Buxton, 2007).
17
F. Landasan Teori Absorbsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sistem biologis. Absopsi obat memiliki peran penting untuk menentukan efektivitas obat, selain itu dapat mempengaruhi jumlah obat yang dapat di distribusikan dan sampai ke tempat kerja. Hal yang dapat mempengaruhi absorpsi antara lain kelarutan dan permeabilitas. Kelarutan zat aktif sangat mempengaruhi kecepatan disolusi nyasedangkan permeabilitas akan mempengaruhi waktu absorpsi dan jumlah obat yang terabsorpsi. Ketoprofen termasuk kedalam BCS kelas II yaitu obat yang memiliki permeabilitas yang baik namun memiliki kelarutan yang buruk sehingga diperlukan waktu yang lebih lama bagi obat terabsorpsi karena jumlah ketersediaan untuk diabsorpsi kecil, sehingga dalam penelitian ini ketoprofen diformulasikan dalam bentuk SNEDDS. SNEDDS adalah bentuk sediaan yang mengandung minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan bersama obat yang akan membentuk suatu nanoemulsi secara spontan dengan pengadukan ringan. SNEDDS dapat meningkatkan kelarutan obat serta mempengaruhi permeabilitas suatu obat. Minyak berperan sebagai pembawa obat hidrofobik dan meningkatkan fraksi obat hidrofobik yang tertransport melalui sistem intestinal limfatik sehingga meningkatkan absorpsi pada saluran gastrointestinal. Surfaktan berperan dalam pembentukan tetesan berukuran nanometer dengan menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Surfaktan yang
18
lebih sering digunakan yaitu surfaktan nonionik dibandingkan surfaktan ionik karena sifatnya yang kurang terpengaruh oleh pH, aman, dan biokompatibel untuk penggunaan melalui rute oral. Untuk formulasi SNEDDS surfaktan harus sangat hidrofilik yaitu memiliki HLB antara 15-20. SNEDDS ketoprofen dibuat menggunakan kombinasi surfaktan yaitu tween 20 yang memiliki nilai HLB 16,7 dan tween 80 yang memiliki nilai HLB 15. Tween 80 dapat meningkatkan permeabilitas membran dengan melonggarkan tightjunction. Tween 20 dan tween 80 dapat meningkatkan absorbsi pada intestinal. Penambahan campuran surfaktan tween 20 dan tween 80 mampu menurunkan tegangan antarmuka minyak dan air. Kombinasi tween 20 dan tween 80 diharapkan dapat meningkatkan absorbsi dan disolusi ketoprofen sehingga perlu dilakukan uji difusi dan uji disolusi terhadap formula optimum SNEDDS ketoprofen.
G. Hipotesis 1. Komposisi tween 20 dan tween 80 dalam SNEDDS ketoprofen dengan VCO sebagai fase minyak dapat meningkatkan kecepatan difusi dan jumlah ketoprofen terdifusi melalui membran usus secara in vitro. 2. Formula SNEDDS ketoprofen optimum mengikuti kinetika pelepasan orde ke satu.