BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gama Giri Mandiri merupakan areal tanah perbukitan seluas 153 Ha milik Gama Multi Group, bisnis perusahaan milik Universitas Gadjah Mada. Salah satu program yang dijalankan di areal wilayah tersebut antara lain penyulingan minyak kayu putih dan budidaya beberapa tumbuhan obat populer pada musim penghujan (Hartomi, 2013). Di sekitar wilayah tersebut banyak terdapat tumbuhan obat yang tumbuh secara liar, salah satunya adalah Oxalis barrelieri L. (calincing). Calincing merupakan tumbuhan yang berasal dari bagian tropis Amerika Selatan dan tersebar berbagai negara dan wilayah karena sifatnya yang mudah tumbuh. Calincing dikenal sebagai tumbuhan gulma dan memiliki kecenderungan untuk tumbuh di wilayah agrikultur (Hashim dkk., 2010). Secara tradisional, calincing digunakan sebagai obat antidiare di Kamerun (Tagne dkk., 2015) dan sebagai obat antidiabetes di Malaysia (Enock dkk., 2006). Perlu dilakukan inventarisasi jenis tumbuhan obat liar di Gama Giri Mandiri untuk mendukung program pengelolaan wilayah Gama Giri Mandiri. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah analisis vegetasi. Analisis vegetasi merupakan cara untuk memahami komposisi dan struktur suatu vegetasi suatu wilayah kajian. Analisis vegetasi calincing dapat digunakan untuk mengungkap pola tumbuh calincing di wilayah Gama Giri Mandiri.
3
Menurut penelitian Enock dkk. (2006), ekstrak etanolik dari calincing memiliki potensi antihiperglikemik dan juga dapat mempercepat proses penyembuhan luka pada tikus yang sudah diinduksi streptozotocin. Sharma dan Kumari (2014) menyatakan bahwa tumbuhan semarga Oxalis barrelieri L., yaitu Oxalis corniculata memiliki aktivitas antibakteri pada 15 jenis bakteri yang patogen terhadap manusia. Efektivitas ekstrak air calincing sebagai antidiare telah dibuktikan terhadap tikus yang diinduksi dengan castor oil oleh Tagne dkk. (2015). Pada penelitian ini, dilakukan uji aktivitas antibakteri calincing terhadap bakteri penyebab diare, yaitu Escherichia coli. Melalui penelitian ini dapat diketahui secara lebih detail mengenai pengaruh lingkungan dan vegetasi terhadap kadar metabolit sekunder dari calincing. Sehingga hasil dari penelitian ini dapat dijadikan pedoman untuk budidaya tumbuhan calincing atau model penelitian untuk membuat pedoman budidaya tumbuhan obat berdasarkan korelasi faktor lingkungan dengan kadar metabolit sekunder suatu tumbuhan obat.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan 3 masalah, yaitu : 1. Bagaimana kontribusi tumbuhan calincing di wilayah Gama Giri Mandiri ditinjau dari nilai pentingnya terhadap vegetasi wilayah tersebut? 2. Apakah calincing memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli? 3. Bagaimana profil kandungan metabolit sekunder dari calincing?
C. Pentingnya Penelitian a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan keterangan lebih detail tentang pengaruh lingkungan terhadap jumlah kandungan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan dalam skala yang lebih spesifik. b. Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam melakukan budidaya tumbuhan obat dengan melihat korelasi pola budidaya dengan data aktivitas metabolit sekunder tumbuhan obat tersebut, terutama di wilayah Gama Giri Mandiri, Desa Mangunan, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul.
5
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui kontribusi tumbuhan calincing di areal wilayah Gama Giri Mandiri berdasarkan nilai pentingnya terhadap vegetasi di wilayah tersebut. 2. Mengetahui aktivitas antibakteri dari tumbuhan calincing terhadap E. coli, serta golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakterinya. 3. Mengetahui profil kandungan metabolit sekunder dari calincing.
E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tentang Calincing (Oxalis barrelieri L.) a. Kedudukan kategori taksa calincing dalam sistematika tumbuhan Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Anak kelas
: Rosidae
Bangsa
: Geraniales
Suku
: Oxalidaceae
Marga
: Oxalis
Jenis
: Oxalis barrelieri L. (Backer & van Den Brink, 1965)
6
b. Gambar calincing
Gambar 1. Calincing (Oxalis barrelieri L.)
c. Nama umum Indonesia Blimbing-blimbingan d. Nama daerah Sumatera
: belimbing tanah
Jawa
: calincing (Sunda)
e. Nama asing Inggris
: Lavender sorrel atau Barrelier’s sorrel
f. Distribusi tumbuhan Tumbuhan ini berasal dari bagian tropis Amerika Selatan, banyak ditemukan juga di Indonesia seperti di Jawa, Sumatra, Bangka, dan Papua. Terdapat juga di semenanjung Malaya dan Papua New Guinea. Tumbuhan ini tumbuh liar sebagai gulma di tepi jalan atau di tanah yang tidak terawat, biasanya di daerah yang lembab dan teduh.
7
g. Deskripsi tumbuhan Calincing berupa semak tegak berkayu, tinggi dapat mencapai 1,5 m, batangnya berbentuk silindris, permukaannya halus, berwarna hijau agak kecokelatan. Memiliki bunga majemuk dengan tangkai malai panjang yang tumbuh di ketiak daun. Bunga berwarna putih dengan kelopak kehijauan dan bintik kekuningan, berbentuk terompet. Berdaun majemuk, terdiri dari 3 anak daun yang berbentuk telur (trifolia) dengan panjang kurang lebih 2-3 cm dan lebar 1-2 cm, tulang daun menyirip, tangkai daun panjang dan tepi daunnya rata. Memiliki akar tunggang (de Padua, 1999). h. Kandungan kimia Tumbuhan yang termasuk dalam suku Oxalidaceae secara umum banyak mengandung basa oksalat, flavonoid (pada beberapa spesies mengandung leukoantosianin), tannin, dan kuinon (Hegnauer, 1969). Analisis kandungan calincing yang dilakukan oleh Tagne dkk. (2015) mengidentifikasikan bahwa calincing mengandung senyawa-senyawa polifenol, terpenoid, antosianidin, antrakuinon, kumarin, saponin, lipid, dan minyak atsiri. Terdapat juga senyawa alkaloid dalam jumlah yang sangat sedikit.
8
i. Kegunaan tumbuhan Tumbuhan ini digunakan di Indonesia sebagai lalapan atau sayuran, tetapi kurang diminati (de Padua, 1999). Di Kamerun, tumbuhan ini digunakan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan diare dengan cara direbus atau decocta (Tagne dkk., 2015). Beberapa penelitian melaporkan potensi tumbuhan ini sebagai antihiperglikemik dan mempercepat penyembuhan luka (Enock dkk., 2006) serta berpotensi sebagai antidiare (Tagne dkk., 2015). 2. Ekologi dan Analisis Vegetasi a. Ekologi Vegetasi Vegetasi dapat didefinisikan sebagai kumpulan beragam tumbuhan dalam satu lokasi yang saling berhubungan satu sama lain. Suatu jenis tumbuhan biasanya memiliki kecenderungan untuk berkelompok dengan jenis tumbuhan lain tertentu yang dapat berasosiasi dengan dirinya. Kelompok ini disebut dengan komunitas. Setiap jenis tumbuhan dalam suatu komunitas akan tetap mempertahankan sifat yang menjadi ciri khas dari jenisnya masingmasing. Dinamika dalam suatu komunitas ditentukan oleh sifat individualitas dari masing-masing jenis tumbuhan serta hubungannya dengan tumbuhan lain di sekitarnya. Menurut Walter (1971), hubungan antar jenis tumbuhan yang mungkin ada antara lain:
9
1. Kompetisi langsung; setiap jenis berkompetisi untuk menguasai sumber daya lingkungan dengan cara menempati strata yang sama baik di atas maupun di bawah tanah. 2. Ketergantungan jenis terhadap keberadaan jenis lain; jenis yang satu ada karena keberadaan jenis yang lain. 3. Keberadaan antar jenis yang saling melengkapi, dalam hal ini tidak terjadi kompetisi di antara jenis-jenis yang ada, karena kebutuhan dari masing-masing jenis terpenuhi. Setiap jenis menempati strata yang berbeda pada tanah, atau tumbuh pada irama biologi yang berbeda. Dinamika hubungan inilah yang akan memberikan identitas bagi suatu wilayah vegetasi. Ekologi vegetasi tidak hanya berfokus pada identifikasi komunitas
tumbuhan
(vegetasi)
pada
suatu
wilayah,
tetapi
juga
mendeterminasi bagaimana masing-masing tumbuhan di dalamnya dapat berhubungan dengan tumbuhan lain dan reaksinya terhadap faktor-faktor lingkungan di wilayah tersebut. b. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi adalah cara untuk mendalami dan memahami komposisi jenis dan struktur vegetasi tumbuh-tumbuhan dalam suatu wilayah. Analisis vegetasi digunakan untuk mengungkap informasi yang berguna dari berbagai komponen yang ada pada suatu ekosistem (Moore &
10
Chapman, 1986). Adriadi dkk. (2012) menggunakan analisis vegetasi untuk melihat komposisi dan struktur gulma di daerah perkebunan kelapa sawit di daerah Batang Hari, Padang. Hasil yang didapatkan berupa gulma yang mendominasi dan mengganggu di daerah perkebunan tersebut sehingga dapat
ditindaklanjuti
dengan
program
pengendalian
gulma
untuk
meningkatkan produksi pertanian. Asmayannur dkk. (2012) melakukan analisis vegetasi untuk melihat komposisi, struktur dan keanekaragaman tumbuhan di bawah pohon jati emas dan jati putih. Setiap jenis tumbuhan penyusun vegetasi diberikan bobot kuantitas dalam analisis vegetasi untuk menentukan peranan jenis tersebut dalam suatu komunitas. Beberapa parameter kuantitatif yang penting dan sering digunakan untuk menghitung kuantitas dalam sampling komunitas (vegetasi) adalah: 1. Kerapatan (Density/Abundance/Densitas), jumlah cacah individu suatu jenis tumbuhan terhadap luasan daerah kajian. 2. Frekuensi,
jumlah
kehadiran
suatu
jenis
tumbuhan
dalam
keseluruhan plot dalam daerah kajian. 3. Cover, skala penutupan tanah oleh suatu jenis tumbuhan. 4. Indeks Nilai Penting (Importance Value Index), merupakan gambaran lengkap mengenai karakter sosiologi jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting didapatkan dengan menjumlahkan
11
Kerapatan Relatif dan Frekuensi Relatif. Nilai atau angka yang didapatkan menggambarkan tingkat penguasaan suatu jenis dalam vegetasi (Brower dkk., 1990). c. Penempatan plot Dalam analisis vegetasi dibutuhkan pengambilan segmen/plot lahan yang akan dikaji untuk mewakili keseluruhan lahan yang dikaji. Dalam melakukan penempatan plot, ada 3 hal yang perlu diperhatikan, yaitu jumlah petak contoh, cara peletakan petak contoh dan teknik analisa vegetasi yang digunakan (Swarnamo, 1996). Peletakkan plot dapat dilakukan secara acak (simple random), secara teratur (systematic) atau secara acak teratur (stratified random) (Sutaryo, 2009). Ilustrasi untuk peletakan plot adalah sebagai berikut :
Gambar 2. Pola peletakan plot
d. Ordinasi Untuk memperoleh informasi vegetasi secara objektif digunakan metode ordinasi dengan menderetkan contoh-contoh (releve) berdasar koefisien
ketidaksamaan.
Ordinasi
dapat
pula
digunakan
untuk
12
menghubungkaan pola sebaran jenis dengan perubahan faktor lingkungan (Swarnamo, 1996). 3. Fungsi Unsur Hara Gangguan pertumbuhan organ pada tumbuhan dapat digunakan untuk mengetahui fungsi suatu unsur pada tumbuhan. Gejala kekahatan (gangguan pertumbuhan organ tumbuhan) suatu unsur terutama bergantung pada 2 faktor, yaitu fungsi dari unsur tersebut dan mudah tidaknya unsur tersebut berpindah dari daun tua ke daun yang lebih muda. Berhasil atau tidaknya pengambilan suatu unsur dari daun bergantung pada kemudahan gerak unsur tersebut di jaringan pembuluh floem. Kemudahan gerak unsur sebagian ditentukan oleh : 1) Kelarutan bentuk kimia unsur tersebut dalam jaringan 2) Seberapa mudah unsur tersebut memasuki tabung tapis dalam floem. Beberapa unsur yang dapat bergerak dengan mudah melalui floem dari daun tua ke daun muda kemudian ke organ penyimpanan adalah nitrogen, fosfor dan kalium (Salisbury & Ross, 1992).
13
1. Nitrogen Ada 2 bentuk utama ion nitrogen yang diserap dari tanah, yaitu bentuk nitrat (NO3-) dan Amonium (NH4+). Kekurangan nitrogen akan menyebabkan pertumbuhan tumbuhan menjadi lambat, karena nitrogen terdapat dalam banyak senyawa penting dalam siklus hidup tumbuhan (Salisbury & Ross, 1992). Stewart dkk. (2001) menyatakan bahwa kandungan nitrogen yang rendah menghasilkan kandungan flavonol yang tinggi pada tomat. 2. Fosfor Fosfor diserap terutama sebagai anion fosfat valensi satu (H2PO4-), dan diserap lebih lambat dalam bentuk anion valensi dua (H2PO42-). pH dari tanah berperan dalam mengimbangkan jumlah kedua bentuk fosfor ini; H2PO4- tersedia pada pH di bawah 7, dan H2PO42- di atas pH 7. Fosfor merupakan bagian esensial dari banyak gula fosfat yang berperan dalam nukleotida, seperti RNA dan DNA, serta bagian dari fosfolipid pada membran. Fosfor berperan penting pula dalam metabolisme energi, karena keberadaan dalam ATP, ADP, AMP, dan pirofosfat (PPi) (Salisbury & Ross, 1992). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stewart dkk. (2001) menunjukkan bahwa kandungan fosfor yang tinggi menyebabkan tingginya produksi flavonol pada tomat.
14
3. Kalium Kalium merupakan pengaktif dari sejumlah besar enzim yang penting untuk fotosintesis dan respirasi. Kalium mengaktifkan pula enzim yang diperlukan untuk membentuk pati dan protein. Unsur ini berlimpah jumlahnya sehingga menjadi penentu utama potensial osmotik sel (Salisbury & Ross, 1992). 4. Pengaruh faktor lingkungan terhadap produksi metabolit sekunder Pengaruh faktor lingkungan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan dan produksi metabolit pada tumbuhan. Setiap tumbuhan menghendaki kondisi lingkungan tumbuh tertentu agar dapat berproduksi dengan baik. Beberapa parameter lingkungan yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain: a. Intensitas cahaya matahari Cahaya matahari merupakan faktor lingkungan yang terpenting karena memiliki peran yang mendasar pada proses metabolisme tumbuhan, salah satunya adalah proses fotosintesis. Intensitas cahaya memiliki
pengaruh
terhadap
aktivitas
pertumbuhan,
perubahan
morfologi dan karakter fisiologis, aktivitas metabolisme baik primer maupun sekunder. Cahaya berpengaruh langsung pada fotosintesis dan
15
berpengaruh tidak langsung melalui pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Energi cahaya menggerakkan beberapa proses dan sistem enzim pada rangkaian metabolisme. Tumbuhan obat memiliki tanggapan berbeda terhadap intensitas cahaya matahari, tergantung jenisnya. Intensitas cahaya tinggi akan mengakibatkan terjadinya foto oksidasi yang menyebabkan terhambatnya kegiatan fotosintesis. Intensitas cahaya yang kurang dari 40% (rendah) juga mengakibatkan fotosintesis terganggu karena stomata yang tidak terbuka secara sempurna sehingga CO2 sulit terdifusi ke dalam daun. Berdasarkan penelitian Ghasemzadeh dkk. (2010), terdapat korelasi positif yang sangat nyata antara total fenolat dan karbohidrat terlarut pada rimpang jahe. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya laju fotosintesis. b. pH tanah Nilai pH tanah menggambarkan kepekatan ion hidrogen dalam partikel tanah. Perubahan kondisi keasaman dapat menyebabkan perubahan dalam proses biokimia dan fisiologi pada semua tanaman (Gerendas & Raticliffe, 2000). Kondisi keasaman tanah mempengaruhi ketersediaan kandungan tanah, serapan unsur hara, keberadaan unsur beracun serta aktivitas biologi dalam tanah.
16
Mikroorganisme tanah memiliki peranan sebagai pendekomposisi senyawa organik dalam tanah menjadi nutrisi yang mudah diserap tumbuhan. pH yang terlalu asam menyebabkan sulitnya mikroogranisme tanah berkembang biak sehingga penyerapan nutrisi tumbuhan menjadi terhambat (Ruan dkk., 2007). Tumbuhan dapat bertumbuh dengan baik pada tanah yang netral, agak asam atau sedikit basa. Ion fosfat pada tanah (H2PO4-) lebih cepat diserap tumbuhan pada pH 5,5 -6,5 (Salisbury & Ross, 1992). c. Kelembaban udara dan Kelembaban tanah Kelembaban udara dan kelembaban tanah menggambarkan jumlah keberadaan air yang dinyatakan dalam persentase relative humidity (RH %). Kelembaban udara meregulasi hilangnya air karena transpirasi dan pembukaan stomata daun (Tibbits, 1979). Kelembaban yang tinggi mencegah daun kehilangan banyak air melalui stomata. Hal ini akan menyebabkan suhu tumbuhan menjadi hangat dan aktivitas fisiologi dapat terus dilakukan. Kelembaban yang terlalu tinggi tidak baik untuk tumbuhan karena memicu pertumbuhan bakteri dan jamur penyakit. Menurut Larson (1988), kelembaban rendah memberikan stres oksidatif bagi tumbuhan dan meningkatkan jumlah produksi flavonoid dan asam fenolik tumbuhan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jaafar dkk. (2012) menunjukkan bahwa produksi metabolit sekunder (fenolik,
17
flavonoid dan antosianin) meningkat pada kondisi RH 50% pada jenis Labisia pumila Benth. d. Suhu Suhu memiliki peranan besar terhadap aktivitas metabolisme tumbuhan. Setiap jenis tumbuhan mempunyai suhu batas minimum, optimum dan maksimum untuk setiap tingkat pertumbuhannya. Tingkat kerusakan jaringan tumbuhan muda lebih besar karena protoplasma yang terdenaturasi (Jumin, 2002). Beberapa penelitian yang tertera pada jurnal Ramakrishna dkk. (2011) menunjukkan bahwa suhu rendah meningkatkan produksi antosianin pada beberapa tumbuhan. 5. Uraian tentang Senyawa Fenolik Fenolik atau senyawa polifenol merupakan metabolit sekunder yang mempunyai struktur cincin aromatik yang terikat oleh satu atau lebih substitusi gugus hidroksi (OH), berasal dari jalur metabolisme asam sikimat dan fenil propanoid. Senyawa polifenol biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya. Senyawa yang termasuk dalam senyawa polifenol adalah fenol sederhana, asam fenolat, kumarin, tannin dan flavonoid. Dalam tumbuhan, senyawa-senyawa ini biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya (Proestos dkk., 2006). Banyak penelitian yang telah melaporkan aktivitas dari senyawa polifenol secara biologis, antara lain berpotensi sebagai antioksidan secara
18
in vitro (Kahkonen dkk., 2003) hingga mencegah berbagai penyakit degeneratif (Joshipura dkk., 2001). Aktivitas biologis dari senyawa polifenol diakibatkan oleh kemampuannya untuk menyumbangkan hidrogen ke radikal bebas dan bahkan memecah rantai oksidasi lipid pada tahap inisiasi awal (Gulcin dkk., 2004). Selain dari aktivitas antioksidannya, senyawa fenolik pada tumbuhan juga memiliki aktivitas antibakteri. Pereira dkk. (2007) melaporkan aktivitas antimikroba senyawa fenolik dari daun zaitun (Olea europaea L. Cv. Cobrancosa) terhadap beberapa jenis bakteri gram positif, bakteri gram negatif dan jamur. Proestos dkk., (2005) pada penelitiannya tentang tumbuhan aromatik Yunani menyatakan bahwa senyawa fenolik memiliki aktivitas antibakteri. 6. Penetapan Kadar Fenolik Total Kadar fenolik total dapat ditentukan dengan menggunakan metode Folin-Ciocalteu. Prinsip dasar dari metode ini adalah reaksi oksidasi dan reduksi kolorimetrik yang terjadi antara pereaksi Folin-Ciocalteu dengan seluruh senyawa fenolik dalam sampel uji. Pereaksi Folin-Ciocalteu merupakan kompleks ion polimerik yang terbentuk dari asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat (Folin & Ciocalteu, 1994). Reaksi senyawa fenolik dan pereaksi ini menghasilkan kompleks fosfotungstat-fosfomollibdat berwarna biru yang dapat dideteksi dengan
19
spektrofotometer. Seiring dengan meningkatnya konsentrasi ion fenolat, warna yang timbul akan semakin pekat. Hal ini dapat terjadi karena ion fenolat mereduksi sampel asam heteropoli sehingga warna biru akan semakin pekat (Singleton & Rossi, 1965). 7. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi merupakan teknik pemisahan senyawa yang paling umum dan paling mudah dilakukan untuk analisis secara kualitatif, kuantitatif dan preparatif. Berdasarkan alat yang digunakan, kromatografi dapat dibedakan menjadi Kromatografi Kertas, Kromatografi Lapis Tipis, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan Kromatografi Gas (GC). Kromatografi Lapis Tipis digunakan untuk memisahkan komponenkomponen senyawa berdasarkan perbedaan adsorpsi atau partisi yang timbul antara fase diam dengan analit dan fase gerak dengan analit. Hingga saat ini metode KLT banyak digunakan untuk mendeteksi kandungan senyawa bahan alami sebagai uji pendahuluan. Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap (kromatografi cair-padat) atau sebagai penyangga untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Beberapa jenis penjerap yang biasanya digunakan adalah silica gel, alumina (aluminium oksida), kiselgur (tanah diatome) dan selulosa. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut (Gritter dkk, 1991).
20
Sistem KLT terdiri atas fase diam dan fase gerak. Fase diam digunakan sebagai media rambat sampel yang akan dianalisis. Fase gerak akan melewati fase diam dengan gaya kapilaritas. Masing-masing totolan sampel akan terelusi dengan jarak tempuh yang berbeda-beda karena afinitas yang berbeda dari masing-masing komponen dengan fase diam atau fase gerak (Sharma, 1996). Keberhasilan pemisahan dilihat dengan cara membandingkan jarak bercak dari awal pengembangan senyawa yang dipisahkan. Jarak ini dikonversikan dalam nilai Rf (Retardation Factor) yang dihitung dengan cara:
Nilai hRf ditentukan dengan cara nilai Rf dikalikan faktor 100 (h), yang menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100. Deteksi dalam KLT dapat dilakukan secara kimia, fisika, biologi. Cara fisika yang dapat digunakan dengan pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet. Cara kimiawi yang biasa digunakan dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas (Gandjar & Rohman, 2007).
21
8. Uraian tentang bakteri uji Escherichia coli Kedudukan taksa secara sistematika bakteri dari Escherichia coli adalah sebagai berikut: Divisi : Proteobacteria Kelas : Schizomycetes Bangsa : Enterobacteriales Suku : Enterobacteriaceae Marga : Escherichia Jenis : Escherichia coli
(Salle, 1961)
E.coli hanya hidup pada usus manusia atau binatang. Berbentuk batang pendek gemuk berukuran 2,4µ x 0,4 sampai 0,7µ, Gram negatif tak bersimpai, bergerak aktif dan tidak berspora. Bersifat aerob atau fakultatif anaerob dan tumbuh pada pembenihan biasa. Suhu optimum pertumbuhan ialah 37oC. Bakteri merupakan flora normal bagi manusia dan hewan. Akan tetapi, dalam jumlah koloni yang berlebihan dan pada tipe E.coli tertentu, bakteri ini dapat menyebabkan infeksi pada saluran kemih, gastrointestinal (diare, gastroenteritis pada bayi), dan infeksi piogenik, misalnya seperti meningitis dan peritonitis (Gupte, 1990).
22
9. Uraian tentang Uji Aktivitas Antibakteri Uji aktivitas antribakteri diukur berdasarkan respon pertumbuhan populasi bakteri terhadap agen antibakteri. Pratiwi (2008) membagi beberapa cara untuk menguji aktivitas antimikroba/antibakteri, antara lain: a. Metode Dilusi 1) Metode dilusi cair (Broth dilution test) Metode ini mengukur kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM) antibakteri yang diuji. Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran antibakteri pada medium cair yang telah ditambahkan dengan mikroba atau bakteri uji. Kadar terkecil larutan uji antibakteri yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM selanjutnya dikultur ulang pada media cari tanpa penambahan mikroba uji ataupun antibakteri, kemudian diinkubasi pada 18-24 jam. Media cari yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM. 2) Metode dilusi padat (Solid dilution test) Metode dilusi padat mirip dengan metode dilusi cair hanya saja media yang digunakan adalah media padat. Keuntungan dari
23
penggunaan metode ini adalah satu konsentrasi antibakteri dapat digunakan untuk menguji beberapa bakteri uji. b. Metode Difusi Metode difusi yang paling sering digunakan dan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu metode silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas (disc diffusion). Metode cakram kertas digunakan untuk menentukan aktivitas agen antibakteri dengan cara meletakkan cakram yang telah diinokulasikan antibakteri di atas media agar yang telah dicampur dengan bakteri uji. Hambatan pertumbuhan bakteri ditandai dengan adanya area jernih di sekitar cakram yang ditanamkan agen antibakteri (Kusumayati & Agustini, 2007). 10. Metode KLT-Bioautografi Menurut Pratiwi (2008), bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil KLT (kromatografi lapis tipis) yang memiliki aktivitas antibakteri, antifungi, dan antivirus, sehingga mendekatkan metode separasi dengan uji biologis. Ada 2 macam metode bioautografi, yaitu : a. Bioautografi langsung Metode
ini
dilakukan
dengan
cara
menyemprotkan
suspense
mikroorganisme pada pelat KLT atau dengan menyentuhkan pelat KLT pada permukaan agar yang telah tersuspensi dengan mikroorganisme.
24
Kemudian media tersebut diinkubasi dalam waktu tertentu, letak senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba dapat terlihat sebagai area yang jernih. b. Bioautografi overlay / kontak Metode ini dilakukan dengan menuangkan media agar yang telah disuspensikan dengan mikroorganisme di atas permukaan pelat KLT, lalu dibiarkan hingga media menjadi padat kemudian diinkubasi sampai waktu tertentu. Area hambatan terdeteksi dengan menyemprotkan senyawa
tetrazolium
klorida.
Totolan
yang
memiliki
aktivitas
antimikroba akan tampak sebagai area jernih dengan latar belakang berwarna ungu.
F. Keterangan Empiris Berdasarkan keterangan di atas, dapat disusun suatu keterangan empiris yang akan diperoleh yaitu keragaman jenis, lingkungan tumbuh serta kandungan tanah berpengaruh terhadap kadar fenolik calincing. Kandungan metabolit sekunder calincing memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap Escherichia coli.
25