BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ekstubasi merupakan 7% dari semua masalah respirasi perioperatif menurut database American Society of Anesthesiologists (ASA) Closed Claim Project antara tahun 1990 sampai 2007 . Faktor anestesi yang dapat dicegah mencakup hanya 0,19% dari semua pasien teranestesi dan yang memerlukan reintubasi darurat. Di Inggris tercatat komplikasi yang terjadi sesaat sesudah ekstubasi trakea mencapai hampir 3 kali lipat dibandingkan masalah respirasi saat induksi anestesi (12,6% vs 4,6%). Batuk, desaturasi dan obstruksi jalan napas relatif sering terjadi saat ekstubasi dan lebih tinggi pada pasien perokok (Gray, 2005). Komplikasi ekstubasi trakea pada anestesi umum menurut literatur lain meliputi hipoventilasi (karena efek residual obat anestesi dan pelumpuh otot), obstruksi jalan napas atas, spasme laring, bronkhus, batuk, terganggunya fungsi laring, aspirasi paru, hipertensi, takikardia, disritmia dan iskemia miokard (Gal, 2005). Batuk adalah respon tubuh yang esensial, protektif dan defensif untuk menjamin pengeluaran mukus, substansi noksius dan infeksi dari laring, trakea dan bronki. Batuk adalah mekanisme tubuh yang efisien untuk membersihkan jalan napas atas dan dianggap sebagai mekanisme pertahanan bawaan (innate) (Chung, 2003). Definisi batuk lainnya adalah mekanisme fisiologi kompleks 1
2
untuk melindungi jalan nafas dan paru dengan cara mengeluarkan mukus dan benda asing dari laring, trakea dan bronkhus melalui kontrol volunter atau involunter (refleks) (Arain et al., 2005). Sedang istilah bucking adalah refleks batuk yang dihubungkan dengan mengejan dan menahan napas pada fase kompresi otot-otot pernapasan yang lebih kuat secara involunter dan secara fisiologik mirip dengan manuver Valsalva (Miller, Harkin dan Bailey, 1995 dan Priebe, 2011). Batuk dan bucking selama pemulihan anestesi umum adalah respon fisiologik terhadap ekstubasi trakea. Pipa endotrakea sebagai benda asing menimbulkan rangsangan iritasi dan taktil pada mukosa saluran nafas sehingga menimbulkan refleks jalan napas (Estebe et al., 2001). Kejadian batuk saat ekstubasi sadar pada penelitian Minogue et al. (2004) adalah 19 dari 27 pasien kelompok kontrol (70,4 %) dan 6 dari 23 pasien kelompok lidokain intracuff (26%) dengan menilai ada atau tidak adanya batuk. Batuk menimbulkan potensi bahaya akibat pergerakan pasien, hipertensi, takikardia atau aritmia lainnya, iskemia miokard, perdarahan, spasme bronkus, dan peningkatan tekanan intrakranial dan intraokuler (Leech et al., 1974; Bidwai et al., 1979). Efek fisiologik batuk tidak dapat ditoleransi oleh pasien dengan penyakit tertentu seperti penyakit jantung koroner atau kongenital, gagal jantung kongestif, dan patologi intrakranial dengan kompensasi yang rendah (terbatas) (Gal, 2005). Burney dan Winn (1975) menyimpulkan bahwa laringoskopi dan intubasi meningkatkan tekanan intrakranial (TIK), peningkatan lebih nyata pada pasien yang sudah menurun daya adaptasi intrakranialnya. Efek ekstubasi trakea
3
juga menyebabkan peningkatan TIK sesaat yang didapat dari hasil ekstrapolasi penelitian lain. Bedford dan Donegan tahun 1980 melaporkan bahwa TIK meningkat sebesar 12+5 mm Hg saat suction pipa endotrakea pada pasien koma. Sementara Lindauer et al. (1982) juga menemukan peningkatan TIK dari 15+1 menjadi 22+3 mm Hg dan menetap selama rata-rata 3 menit sesudah suction pipa endotrakea pada pasien koma di ICU. Kedua penelitian itu menyimpulkan bahwa iritasi jalan napas yang berhubungan dengan suction menyebabkan kenaikan TIK melalui mekanisme peningkatan tekanan intratoraks, tekanan vena serebral dan volume darah serebral seperti mekanisme batuk. Maka ekstubasi trakea terutama bila dihubungkan dengan suction disertai batuk atau bucking juga meningkatkan TIK. Ekstubasi trakea menyebabkan kenaikan tekanan darah arterial yang sering dikaitkan dengan peningkatan TIK atau perdarahan intrakranial pada pasien dengan patologi intrakranial (Miller, Harkin dan Bailey, 1997). Beberapa cara dan teknik ekstubasi dapat mencegah atau menekan refleks batuk mencakup ekstubasi dalam, pemberian obat anestetik lokal (lidokain), vasodilator dan opioid aksi singkat (Gal, 2005; Priebe, 2011). Ekstubasi dalam secara umum dapat menghindari bucking, hipertensi arterial dan desaturasi sehingga bermanfaat untuk pembedahan neurologi, oftalmologi tertentu, pasien dengan penyakit jalan napas reaktif atau kardiovaskuler. Risiko ekstubasi dalam adalah meningkatnya kejadian obstruksi jalan napas dan mikro-aspirasi. Penelitian berskala besar di Inggris membuktikan bahwa 30% pasien yang diekstubasi dalam mengalami komplikasi respirasi 2 kali lipat dibandingkan ekstubasi sadar. Kontra indikasi primer ekstubasi dalam di Amerika Serikat adalah jalan napas sulit,
4
obesitas dan risiko aspirasi (Gray, 2005). Teknik total intravenous anaesthesia (TIVA) mampu mengurangi kejadian batuk dan stimulasi hemodinamik selama ekstubasi (Hohlrieder et al., 2007; Nho et al., 2009 dan Cho et al., 2012). Penggunaan lidokain intravena untuk menekan refleks kardiovaskuler dan batuk saat intubasi dan ekstubasi sudah banyak diteliti dan sudah menjadi sebuah standar. Cara pemberian secara instilasi intracuff dan topikal semprot (Jee et al., 2003; Minogue et al., 2004) juga sudah banyak diteliti. Khezril et al. (2011) membandingkan pemberian lidokain intravena dengan intratrakea untuk mengurangi kejadian batuk saat ekstubasi dan pemulihan anestesi. Modifikasi larutan lidokain terhadap konsentrasi dan pH larutan menarik perhatian peneliti (Huang et al., 1999; Estebe et al., 2002; Jaichandran et al., 2008). Pemberian opioid sintetik aksi singkat untuk menekan batuk saat ekstubasi juga banyak diteliti. Rute pemberian yang selama ini sudah diteliti adalah intravena. Perbandingan efek fentanil intravena kontinyu dan epidural terhadap respon hemodinamik saat ekstubasi diteliti oleh Inagaki et al. (1997). Perbandingan efek pemberian opioid dengan lidokain dan dexmedetomidine dalam menekan refleks hemodinamik dan batuk sudah dipelajari. Kongener fentanil (remifentanil dan alfentanil) lebih unggul untuk menekan batuk saat ekstubasi dibandingkan dengan lidokain (Sadegi et al., 2008; Lee et al., 2011). Penelitian Yoo et al. tahun 2011 membandingkan kejadian batuk dan kenaikan tekanan darah saat dan sesudah ekstubasi dengan fentanil yang berbeda dosisnya. Enam puluh pasien dialokasi acak menjadi 4 kelompok yaitu F0, F1, F1,5 dan F2 masing-masing menerima 0 µg/kg, 1 µg/kg, 1,5 µg/kg dan 2 µg/kg
5
fentanil intravena sesaat sesudah sevofluran dihentikan. Didapatkan hasil bahwa penekanan respon batuk oleh fentanil mengikuti pola pertambahan dosis. Makin besar dosis maka makin sedikit kejadian batuk. Kejadian batuk pada kelompok penelitian didapatkan F0 (76,33%), F1 (41,23%), F1,5 (25,15%) dan F2 (15,82%) dengan P<0,001. Pada kelompok F2 ditemukan frekuensi napas 9±2 kali semenit dan waktu ekstubasi waktu ekstubasi 11,9±1,8 menit sedangkan kelompok F0 yaitu 13±3 kali semenit dan 10, ±1,1 menit. Dalam kesimpulannya Yoo et al. menyebutkan bahwa fentanil menekan batuk dalam pola peningkatan dosis selama pemulihan anestesi umum dengan sevofluran dan 2 µg/kg dianggap dosis yang cukup untuk menghilangkan batuk saat ekstubasi. Penelitian Aksu et al. (2009) membandingkan efek pemberian fentanil 1 µg/kg IV dengan dexmedetomidine 0,5 µg/kg i.v lima menit sebelum ekstubasi
untuk mencegah batuk pada 40 pasien laki-laki dan perempuan yang menjalani pembedahan rhinoplasti. Jumlah pasien yang diekstubasi tanpa batuk (skor 0) pada kelompok dexmedetomidine dibandingkan kelompok fentanil yaitu 85% vs 30%; P=0,001, skor 1 atau ekstubasi nyaman dengan batuk 1 sampai 2 kali yaitu 10% vs 25% pasien, skor 2 atau ekstubasi dengan batuk 4-5 kali 5% vs 20%, dan skor 4 atau ekstubasi dengan batuk berulang-ulang 5-10 kali 0 vs 20%. Spasme laring dialami 1 pasien (5%) kelompok fentanyl tetapi tidak bermakna secara klinis. Tidak ada penurunan tekanan darah dan denyut jantung yang bermakna pada kedua kelompok. Denyut jantung kelompok fentanil meningkat bermakna pada menit ke 1, 5, dan 10 sesudah ekstubasi dibandingkan sebelum ekstubasi (P= 0,007), sedang kelompok dexmedetomidine tidak. Peningkatan tekanan darah sistolik bermakna terhadap nilai pra-ekstubasi pada kelompok dexmedetomidine
6
terjadi pada menit pertama dan kelima sesudah ekstubasi (P = 0,033). Skor sedasi pasca pembedahan, waktu ekstubasi, waktu pulih sadar dan orientasi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Aksu et al. menyimpulkan bahwa pemberian dexmedetomidine intravena 5 menit sebelum ekstubasi efektif menekan batuk dan mempertahankan stabilitas hemodinamik saat tindakan ekstubasi. Lidokain secara ekonomis murah harganya dan menjadi obat standar anti aritmia dan anestetik lokal yang dapat dipakai untuk mengurangi kejadian batuk dan respon hemodinamik saat ekstubasi. Fentanil memang 20 kali lebih mahal, tetapi bila efektifitasnya lebih baik dibandingkan dengan lidokain, maka keselamatan pasien jauh lebih berharga. Fentanil merupakan obat analgesik opioid intravena selain petidin dan tramadol dengan spektrum klinis luas yang tercantum dalam Formularium Obat Esensial di RSUP Dr. Sardjito. Berdasarkan penelitian terdahulu, sepengetahuan penulis bahwa penelitian yang membandingkan antara fentanil 1 µg/kg dengan lidokain 1,5 mg/kg untuk mengurangi kejadian batuk saat ekstubasi sadar pada anestesi umum dengan pipa endotrakea di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah diteliti. Oleh sebab itu penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian ini. B. Rumusan Masalah Batuk saat ekstubasi merupakan respon fisiologik yang mengindikasi pulihnya refleks jalan napas. Namun batuk yang berlebihan berbahaya karena menyebabkan stimulasi saraf simpatis yang membebani kerja jantung pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler berat dan peningkatan tekanan intrakranial pada
7
pasien dengan lesi desak ruang intrakranial. Batuk yang berlebihan juga menyebabkan perdarahan karena terlepasnya jahitan. Kejadian batuk saat ekstubasi pada penelitian Minogue et al. (2004) adalah 19 dari 27 pasien (70%), dengan menilai ada atau tidak adanya batuk. Cara penilaian batuk dengan skor berikut: batuk ringan (1 kali batuk); batuk sedang (lebih dari 1 episode lamanya > 5 detik) dan batuk berat (berkepanjangan lamanya > 5 detik). Mikawa et al. (1997) menemukan kejadian batuk saat ekstubasi sebanyak 100% pada 25 pasien denan menggunakan skala batuk 5 tingkatan (1 = tidak ada batuk, 2 = nyaman, batuk minimal, 3 = batuk sedang, 4 = batuk disertai bucking, dan 5 = batuk berkepanjangan, tidak nyaman). Pemberian lidokain intravena 1,5 mg/kg menurunkan kejadian batuk menjadi 54% (Mikawa et al., 1997). Penilaian batuk saat ekstubasi pada kedua penelitian diatas adalah ada dan tidak ada batuk. Refleks batuk saat ekstubasi secara teoritis juga dapat dikurangi dengan pemberian agonis opioid sintetik aksi singkat. Fentanil sebagai salah satu pilihan karena keterjangkauannya di rumah sakit pada umumnya. Efek fentanil untuk mengurangi batuk saat ekstubasi bersifat dose dependent (Yoo et al., 2011). Fentanil 1 µg/kg i.v menghasilkan batuk saat ekstubasi sebanyak 41,23% sedang fentanil 2 µg/kg adalah 15,82%. Waktu ekstubasi dan frekuensi napas sesudah ekstubasi pada kelompok fentanil 1µg/kg dan fentanil 0 µg/kg tidak menunjukkan perbedaan bermakna, sedangkan pada kelompok fentanil 2 µg/kg dibandingkan fentanil 0 µg/kg ditemukan frekuensi napas sesudah ekstubasi 9+2 vs 10,4+1,1 kali semenit.
8
Penelitian Aksu et al., 2009 membandingkan efek dexmedetomidine 0,5 µg/kg dan fentanil 1 µg/kg terhadap kejadian batuk saat ekstubasi menghasilkan ekstubasi tanpa batuk (skor 0) 85% vs 30 % dan batuk ringan (skor 1) 10% vs 25%. Bila dianggap kondisi ekstubasi yang nyaman adalah skor batuk 0 dan 1 maka kelompok fentanil menunjukkan kondisi ekstubasi yang nyaman sebanyak 55 %. Berdasarkan paparan fakta diatas, maka penulis berminat untuk mengetahui perbandingan antara pemberian fentanil 1 µg/kg intravena dengan lidokain 1,5 mg/kg intravena untuk menurunkan kejadian batuk saat ekstubasi sadar pada anestesi umum dengan pipa endotrakeal. Pada penelitian ini faktor anestesi dikontrol dan variabel yang dibandingkan adalah ada atau tidak dan derajat batuk. C. Pertanyaan Penelitian Apakah pemberian fentanil 1 µg/kg intravena dapat menurunkan kejadian batuk saat ekstubasi sadar lebih banyak dibandingkan dengan pemberian lidokain 1,5 mg/kg intravena? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui efek fentanil 1 µg/kg intravena dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menurunkan kejadian batuk saat ekstubasi sadar.
9
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk pasien • Penurunan morbiditas dan komplikasi yang berhubungan dengan ekstubasi trakea, terutama pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan kesulitan pengelolaan jalan napas (difficult ventilation and intubation). • Bagian dari upaya preventif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sesudah pembedahan dan anestesi. 2. Manfaat untuk peneliti • Sebagai sarana untuk melatih cara berpikir ilmiah dan membuat penelitian berdasarkan metode penelitian yang baik dan benar serta memberikan manfaat klinis yang besar. • Sebagai sarana menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan. 3. Manfaat untuk institusi Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi bagi institusi mengenai upaya mencegah komplikasi batuk dengan cara pemberian fentanil intravena saat ekstubasi trakea sebelum ekstubasi trakeal. F. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian tentang uji banding antara pemberian fentanil 1 µg/kg intravena dan lidokain 1,5 mg/kg intravena untuk menumpulkan refleks batuk saat ekstubasi sadar pada anestesi umum dengan pipa endotrakea di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum ditemukan, dan juga belum ditemukan dari literatur penelitian seperti tabel 1 berikut.
Tabel 1. Tinjauan sistematik keaslian penelitian Judul penelitian
Peneliti
Obat yang diteliti
Jumlah Desain sampel penelitian
Hasil
Comparison of the Effects of Dexmedetomidine Versus Fentanil on Airway Reflexes and Hemodynamic Respones to Tracheal Extubation During Rhinoplasty: A Double-Blind, Randomized, Controlled Study. 2009. Curr Ther Res Vol. 70 (3): 209-19.
Aksu, R., Akin, A., Biçer, C., Esmaoglu, A., Tosun, Z., and Boyaci, A.
Dexmedetomidine 0.5 µg/kg (dalam 100 mL NaCl 0,9%) dan fentanil 1 µg/kg (dalam 100 mL NaCl 0,9%) secara intravena diberikan 5 menit sebelum ekstubasi.
40 pasien
RCT
Dexmedetomidine 0.5 µg/kg IV yang diberikan sebelum ekstubasi lebih efektif untuk menumpulkan respon refleks jalan napas saat ekstubasi dan bermanfaat untuk menjaga stabilitas hemodinamik tanpa memperlambat waktu pulih sadar diban-dingkan dengan fentanil 1 µg/kg IV pada pasien yang menjalani rhinoplasty. Prevalensi ekstubasi tanpa batuk dexmedetomidine dibanding fentanil : 85% [17/20] vs 30% [6/20], P = 0,001).
Attenuation of Cardiovascular Respones to Tracheal Extubation: Comparison of Verapamil, Lidocaine, and Verapamil-Lidocaine Combination. 1997. Anesth Analg. (85):1005-10.
Mikawa K, Nishina K, Takao Y, Shiga M, Maekawa N, Obara H.
Lidokain 1,5 mg/kg, verapamil 0,1 mg/kg dan kombinasi verapamil 0,1 mg/kg lidokain 1,5 mg/kg secara intravena diberikan 2 menit sebelum ekstubasi. Ada kelompok kontrol.
100 pasien
RCT
Hasil sekunder : kejadian batuk. Kelompok kontrol (saline) : 25 (100%) Kelompok verapamil : 25 (100%). Kelompok lidokain : 14 (56%) P = 0,0001 Kelompok kombinasi verapamil-lidokain : 16 (64%) P = 0,0001. Kualitas ekstubasi kelompok L dan V-L : skor 2 Kualitas ekstubasi kelompok V dan K : skor 2-5 (median 3)
Dose-dependent attenuation by fentanyl on cough during emergence from general anesthesia. 2011. Acta Anaest Scand (55)10: 1215–20
Yoo Y C., Na S., Jeong J J., Choi E M., Moon B E., Lee J R.,
F0 (fentanil 0 µg/kg), F1 (fentanil 1 µg/kg), F1,5 (fentanil 1,5 µg/kg), F2 (fentanil 2 µg/kg)
60 pasien
RCT
Kejadian batuk F0/F1/F1,5/F2 adalah 76,33%, 41,23%, F1.5 25,15% dan F2 15,82% (p<0,001). Efek hemodinamik (MAP dan HR) kelompok F2 menunjukkan tidak ada perbedaan dengan sebelum ekstubasi (p<0,03 dan p<0,05). Skala batuk dibagi menjadi 4 yaitu 0; tidak ada batuk; 1, batuk 1 kali; 2; lebih dari 1 kali dan tidak spasmodik; 3, batuk spasmodik disertai terangkatnya kepala. Skor batuk 2 dan 3 dianggap batuk (+).
10
Judul penelitian
Peneliti
Efficacy of intravenous lidocaine in prevention of post extubation laryngospasm in patients undergoing cleft palate surgery. 2010. Ind J Anaest (54)2: 132-6.
Sanikop C S., Bhat S.
Comparison of the clinical efficacies of fentanyl, esmolol and lidocaine in preventing the hemodynamic responses to endotracheal intubation and extubation. 2012. J Curr Surg 2(1): 24-28
Bostana H., Eroglu A.
Obat yang diteliti Kontrol : NaCl 0,9% Lidokain: 1,5 mg/kg
Jumlah Desain sampel penelitian 74 pasien
RCT
Hasil Kejadian batuk: Kontrol vs lidokain : 40,54% vs 10,8% (p=0,0017) Kejadian spasme laring : Kontrol vs lidokain : 24,32% : 5,4% (p=0,011)
Kontrol: NaCl 0.9% 10 mL Fentanil: 1µg/kg Esmolol: 1 mg/kg Lidokain: 1 mg/kg
120 pasien
RCT
Keluaran primer: Frekuensi denyut jantung. tekanan darah sistolik dan diastolik pada menit pertama, ketiga dan kelima sesudah ekstubasi lebih rendah secara bermakna pada kelompok esmolol dibandingkan dengan kelompok fentanil dan lidokain (P < 0.05). Keluaran sekunder: Data kejadian batuk tidak cukup. Kejadian batuk pada kelompok kontrol dan esmolol lebih tinggi dibanding fentanil dan lidokain. Kejadian batuk antara kelompok lidokain dan fentanil tidak dijelaskan.
11