BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Karakter merupakan sebuah sifat yang dimiliki oleh individu sebagai landasan dalam bertindak. Kekuatan karakter juga mendukung pencapaian kesejahteraan (well-being) dan kebahagiaan individu (Park & Peterson dalam Lestari 2012). Bentuk dukungan tersebut berupa perilaku individu yang memberikan reaksi positif dari lingkungannya, sehingga membuat individu merasa bahagia dan sejahtera. Karakter dapat terbentuk dari pengalaman yang dialami oleh individu, baik di dalam lingkungan tempat tinggal maupun pengalaman orang lain yang menjadi pembelajaran bagi individu tersebut. Menurut Park & Peterson (dalam Lestari 2012), karakter didefinisikan sebagai sekumpulan trait positif yang terefleksi dalam pikiran, perasaan, dan perilaku. Holmgren (dalam Lestari 2012) menyatakan bahwa individu berkarakter kuat dapat bersikap rasional dan tidak mudah terombang-ambing oleh keyakinan yang salah tentang nilai sesuatu yang ada di luar dirinya. Hal ini berarti ketika seorang individu memiliki karakter yang kuat, maka ia tidak mudah terpengaruh oleh perkembangan zaman yang bersifat buruk dan godaan yang dapat merusak karakter dirinya. Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya. Keberagaman tersebut menjadi semboyan bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Hal ini mencerminkan harapan akan kesatuan bangsa dari keberagaman yang ada. Tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataan tidak selamanya semanis bayangan. Saat ini bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan karakter seiring berkembangnya jaman. Hal ini sesuai dengan pendapat SK, Kepala Bidang Nilai Budaya Dinas
1
2
Kebudayaan D.I.Y serta pelaku seni tradisional Jawa yang dibesarkan dalam keluarga seni, bahwa saat ini bangsa Indonesia semakin memiliki banyak tuntutan. “Tentu saja kalo bahasa Jawa itu namanya nut ing jaman kalakone, jadi kita ikut jaman yang sedang berlaku. Kalo jaman dahulu mungkin orang tidak terlalu banyak tuntutan, karena memang jamannya masih jaman-jaman sederhana, tapi setelah jaman itu menjadi jaman modern, globalisasi, kemudian manusia banyak tuntutan, ha ini menjadi sebu, em.., menjadi satu, satu pijakan untuk per.., berpindah ke karakter yang lain, karena banyak iming-iming, banyak, ep.., banyak tawaran bahwa di dalam sebuah pembentukan karakter ini ikut dengan jaman yang berlaku, yang semula dia tidak, i.., tidak suka dengan, ee.., dunia dugem, tapi dia kemudian dikenal dengan dunia dugem, bagaimana mereka bisa merasakan dunia dugem. Akhirnya, dia punya keinginan, nah, ini karakter ini, bener, ber.. , menjadi berbeda ketika dia memang orang desa, gitu kan. Tapi ketika mereka mengenal dunia dugem, oh seperti ini, jadi seperti ada sebuah keterkejutan di dalam gejolak jiwanya.” (W1.S3. 55-67) Tuntutan yang semakin banyak memunculkan banyak ide kritis dari para generasi muda bangsa Indonesia. Sugeng, seorang Warga Negara Indonesia dengan latar belakang keluarga dan lingkungan Jawa, anggota komunitas gamelan, serta aktif di lingkungan masyarakat, berpendapat bahwa generasi bangsa Indonesia kini mulai kritis. Sugeng pun menyayangkan bahwa kekritisan tersebut tidak diimbangi dengan kedewasaan dalam bersikap dan berpikir, “o ya, kalo bangsa Indonesia secara umum itu sekarang mempunyai karakter yang mulai bisa berpikir kritis, cuman, ee.., kadang-kadang tidak diikuti oleh sikap-sikap yang dewasa, atau cara berpikir yang dewasa. Banyak ide ataupun gagasan yang, eee.., bermacam-macam, tetapi kadang dalam pelaksanaannya, ee.., tidak diikuti oleh sikap-sikap yang dewasa dan bijaksana, artinya pelaksanaannya yang sungguh-sungguh jauh dari apa yang menjadi gagasan dan pikiran-pikirannya. Seperti itu, jadi, ee.., bangsa ini mengalami semacam, eee.., euforia, euforia reformasi, ya, mungkin, mungkin itu akibat dari reformasi, jadi orang maunya macem-macem tapi untuk melaksanakan di, C, masih jauh dari kapasitas, seperti itu.” (W1IE2, 81-89) Sugeng merasakan bahwa kekritisan bangsa Indonesia tidak dibarengi dengan sikap dewasa muncul pada era gelombang reformasi. Sugeng mengungkapkan bahwa Banyak petinggi negara saat ini yang pada jaman reformasi menjadi para pemuda yang memiliki
3
ide dan gagasan kritis. Kekritisan tersebut sangat disayangkan karena tidak adanya sikap dewasa saat ini sehingga banyak yang menjadi koruptor. “Mmm, ya, kita nggak usah jauh-jauh ya berpikir tentang betapa jenuhnya ya ketika era orde baru itu kita gerah dengan koruptor, dengan KKN, kolusi, korupsi, dan nepotisme. Ketika masuk era reformasi orang sepertinya, ee.., ingin membenahi diri, saya pikir bangsa ini ingin membenahi diri betul dari, ee.., berek-berek masa lalu. Tapi kenyataannya ketika mereka yang dulunya ikut berdemo, menjatuhkan rezim, ee.., kalau boleh dikatakan sebagai rezim orde lama, kemudian itu jatuh, kemudian bangsa ini, ee.., memunculkan pemuda-pemuda yang waktu itu masih giat-giatnya untuk dia memiliki idealisme yang sungguh luar biasa. Kemudian mereka, ketika jaman sekarang, menjadi orang-orang penting yang mungkin ya duduk di parlemen atau bagaimana, ternyata juga tidak jauh berbeda, ee.., idenya banyak tetapi perilaku dan sikapnya tidak jauh berbeda, bahkan lebih parah lagi. Jaman sekarang banyak koruptor ditangkap itu mereka pada jaman orde baru itu mereka masih muda, masih idealismenya, omongannya masih luar biasa sekali. Ya, menjatuhkan rezim pada waktu itu, dan sekarang mereka menduduki, ee.., posisi orang yang penting, tetapi masih juga melakukan hal yang bodoh, yang bahkan lebih parah daripada ketika orde baru, yaitu korupsi. Sekarang pun banyak orang-orang yang, koruptor tu yang ditangkap itu masih, usianya masih sekitar 45, 50. Itu kan, itu kan sungguh sangat memprihatinkan bahwa generasi muda bangsa ini sudah benar-benar, ee.., hanya bisa berpikir untuk dirinya sendiri, bukan untuk kemaslahatan bangsa secara, ee.., sebenar-benarnya, itu.” (W1.IE2. 106-125) Sikap seorang pemimpin yang tidak disertai dengan kedewasaan berpikir dan kejujuran tersebut merupakan sebagian kecil dari contoh para koruptor Indonesia yang notabene adalah para petinggi negara, bagian dari pemimpin di negeri ini. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus suap kepengurusan perkara sengketa pemilihan kepala daerah di Lebak, Banten, dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ketika ia ditanya oleh wartawan terkait idenya yang dulu untuk memiskinkan dan memotong salah satu jari tangan pelaku korupsi, Akil Mochtar malah menampar wartawan tersebut (Rastika, 2013). Sikap kepemimpinan yang tidak dewasa tersebut terpengaruh oleh godaan kemudahan duniawi yang menggerakkan ketidakjujuran dalam diri mereka. Akibatnya, banyak dari mereka melakukan tindakan korupsi karena tergiur akan banyaknya uang negara yang mereka
4
kelola. Pemimpin bangsa kerap dijadikan role model oleh masyarakat. Tindakan role model akan dianggap legal oleh masyarakat untuk ditiru. Sikap Akhil Mochtar menampar wartawan terkait idenya dulu untuk memiskinkan dan memotong salah satu jari tangan pelaku korupsi tersebut juga merupakan salah satu bentuk sopan santun pada bangsa Indonesia yang semakin berkurang. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan memiliki sopan santun di mata dunia, selain keberagaman budaya yang dimilikinya. Eki, seorang mahasiswa FIB UGM dan merupakan penggemar musik gamelan, menyayangkan bahwa sikap sopan santun bangsa Indonesia saat ini mulai terkikis, terutama di daerah perkotaan. “Kayaknya kalo dilihat sekarang itu untuk, e, dalam hal misalnya sopansantun sendiri, eee, mungkin yang paling kelihatan itu malah justru yang di daerah-daerah yang, eee, yang bukan di perkotaan ya, emang, eee, bukan berarti orang-orang yang di kota itu, ee, nggak sopan atau gimana, tapi, ee, apa, dan tidak menutup kemungkinan juga kalo yang bukan di kota juga mereka lebih sopan atau gimana gitu. Cuma, ee, karena apa ya, pengaruh lingkungan juga dan perkembangan teknologi dan sebagainya itu kan mempengaruhi juga. Jadi, e, sikap-sikap yang mereka lakukan apa, saat bersosialisasi atau apa itu bukan, jadi, eee, apa ya, eee, menurut saya itu perkembangan teknologi itu juga berpengaruh gitu lho terhadap, eee, sikapsikap, apa, yang mereka selama ini, begitulah. Dan yang paling, apa, paling cepat, eee, apa, kena pengaruh dari perkembangan itu kan yang di daerah kota dan desanya masih kota, jadi yang kalo di des, e, apa, di desa atau, pokoknya yang di lingkungan, yang di daerah pinggiran atau apa itu kan jadi masih, mereka tu masih memegang, eee, apa, memegang ini, e, kayak adat-istiadatnya mereka gitu lah. Jadi, e..., dan kalo adat-istiadat itu pasti kan juga eee... ini berkaitan juga dengan sopan-santun dan sebagainya, dan itu masih, masih kental gitu lho. Jadi kalo, kalo menurut saya sih semakin ke, apa ya, makin ke mendekati ke kota tu makin berkurang itunya gitu. Tapi ya nggak semuanya gitu juga sih, tergantung juga daerahnya sih, gitu.” (W1.IE1. 28-45) Eki menambahkan bahwa dalam situasi berkurangnya sopan santun bangsa Indonesia saat ini, adat istiadat dapat turut berperan serta dalam mengontrol sikap sopan santun seseorang. “Kayaknya kalo dilihat sekarang itu untuk, e, dalam hal misalnya sopansantun sendiri, eee, mungkin yang paling kelihatan itu malah justru yang di daerah-daerah yang, eee, yang bukan di perkotaan ya, emang, eee, bukan berarti orang-orang yang di kota itu, ee, nggak sopan atau gimana, tapi, ee,
5
apa, dan tidak menutup kemungkinan juga kalo yang bukan di kota juga mereka lebih sopan atau gimana gitu. Cuma, ee, karena apa ya, pengaruh lingkungan juga dan perkembangan teknologi dan sebagainya itu kan mempengaruhi juga. Jadi, e, sikap-sikap yang mereka lakukan apa, saat bersosialisasi atau apa itu bukan, jadi, eee, apa ya, eee, menurut saya itu perkembangan teknologi itu juga berpengaruh gitu lho terhadap, eee, sikapsikap, apa, yang mereka selama ini, begitulah. Dan yang paling, apa, paling cepat, eee, apa, kena pengaruh dari perkembangan itu kan yang di daerah kota dan desanya masih kota, jadi yang kalo di des, e, apa, di desa atau, pokoknya yang di lingkungan, yang di daerah pinggiran atau apa itu kan jadi masih, mereka tu masih memegang, eee, apa, memegang ini, e, kayak adat-istiadatnya mereka gitu lah. Jadi, e..., dan kalo adat-istiadat itu pasti kan juga eee... ini berkaitan juga dengan sopan-santun dan sebagainya, dan itu masih, masih kental gitu lho. Jadi kalo, kalo menurut saya sih semakin ke, apa ya, makin ke mendekati ke kota tu makin berkurang itunya gitu. Tapi ya nggak semuanya gitu juga sih, tergantung juga daerahnya sih, gitu.” (W1.IE1. 28-45) Masalah lain yang muncul dari pergeseran karakter akibat banyaknya tuntutan bangsa ini adalah ketidaktentraman kehidupan bermasyarakat bagi bangsa Indonesia. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh SK, “Kalo permasalahannya, sebetulnya, ee.., kalo bangsa Indonesia saat ini bagaimana bisa, ee.., bisa hidup damai dan tentram. Itu saja, sebetulnya. . . . “ (W1.S3. 76-77) Ketidaktenteraman yang terjadi dalam bangsa Indonesia menimbulkan kecurigaan satu sama lain, sehingga semboyan bhinneka tunggal ika menjadi kurang relevan dalam menggambarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Hal ini terbukti dari berbagai berita mengenai tindak kekerasan yang terjadi atas dasar ketidaksukaan terhadap budaya, agama, atau etnis tertentu. Keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia kini seakanakan tergantikan oleh keinginan keseregaman dari kelompok-kelompok tertentu yang melakukan tindak kekerasan. Sebagai salah satu contoh, yakni pengeroyokan terhadap sekelompok umat beragama yang sedang melakukan sembayang oleh kelompok umat beragama lainnya (Kompas.com). Peristiwa ini semakin memperkuat bahwa karakter bangsa Indonesia saat ini mulai merosot. Sugeng pun menuturkan bahwa toleransi perlu diajarkan dalam kehidupan masyarakat saat ini, terutama yang berlatar belakang Jawa.
6
“Yang jelas, ee.., untuk sekarang, tadi yang terlupa, untuk mendidik anak ya, itu, itu yang jelas karakter yang kalo, kalo tadi, nanti saya akan, saya akan sebutkan mendidik anak dan sebagainya. Kalo karakter yang seperti apa ya karakter yang, yang namanya karakter itu kan mempunyai ketegasan dalam, dalam perilaku ya. Ya, karakter kan yang seperti itu, jadi karakter yang dimunculkan dari, dari pendidikan atau pelajaran bermasyarakat seperti itu ya karakter Jawa. Yang kekhasan Jawa, ya artinya kehidupan yang penuh toleransi, saya, saya pada akhirnya sekarang menjadi orang tua, saya selalu mengajarkan ke anak-anak saya untuk selalu, ee.., bisa bertoleransi, menghormati orang yang lebih tua, meskipun saya tidak bisa lagi mengajarkan anak saya Berbahasa Jawa dengan baik, karena mungkin, mungkin, ee.., dah berbeda jamannya, meskipun sebenarnya, ee.., kalo sejak awal dilakukan bisa, cuman itu terlewat dari, dari pikiran saya. Sejak kecil anak saya saya ajak Bahasa Indonesia, jadi anak-anak saya entah di masyarakat tahu nggak berbahasa Jawa dengan baik, cuman dalam bersikap selalu saya tanamkan. Ee.., untuk, untuk, untuk mempunyai karakter yang khas bahwa kamu tu, ee.., wong Jowo, dadi harus Njawani. Njawani, sopan, sopan ketemu orang di gang harus nyapa, terus ketika ada tetangga yang membutuhkan pertolongan, kita harus ringan, ee.., tangan kita harus siap membantu, harus peka, nah itu, itu yang, yang, yang, yang menjadikan, ee.., e.., buah-buah daripada itu semua. ” (W1.IE2. 56-74) Toleransi yang masih sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia ternyata juga tidak dapat terlepas dari permasalahan budaya bangsa Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh SK bahwa negara ini sekarang sedang sangat butuh dipersatukan antar budayanya, mengingat bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, “Oke. Eee.. kondisi bangsa Indonesia saat ini kalau dilihat dari sisi budaya, kalo dilihat dari sisi budaya memang masih perlu dipersatukan. Ada satu dialog antar etnis, jadi satu dengan yang lain itu saling memahami, karena etnis satu dengan yang lain itu berbeda, tapi bagaimana bisa menyatukan dari keperbedaan ini menjadi satu, satu kesatuan, sesuai dengan negara Republik Indonesia yang memang negara kesatuan. Jadi, harus digalakkan kembali dialog antar etnis supaya bangsa Indonesia ini bisa memahami dan menghargai dari adat-istiadat yang hidup di masing-masing etnis. Kalau itu bisa dilakukan, maka yang terjadi kemudian adalah satu, kedamaian atau satu persatuan.” (W1S3, 8-16) Kebutuhan untuk mempersatukan budaya memerlukan rasa memiliki akan budaya bangsa sendiri. Eki merasa bahwa bangsa Indonesia saat ini belum memiliki kesadaran untuk memiliki budayanya sendiri. Generasi muda yang menurut Eki dapat menjadi ujung tombak pembangunan bangsa pun pada akhirnya kurang berminat pada kesenian budaya
7
milik bangsa sendiri karena dianggap kuno. Kebanyakan generasi muda Indonesia lebih berminat pada kesenian yang terpengaruh oleh budaya asing. “Secara umum. Karakternya ya. Eee, menurutku itu, emm, kayaknya untuk, untuk, eee, keseniannya ini masih belum semuanya, eee, apa ya? Belum semua ini sih bisa.. bisa, me, me apa sih, me, apa ya? Hehehe, eee, ini lho tentang, jadi gini sek, sia belum-belum punya apa bener-bener, kese, belum benerbener punya kesadaran, eee, untuk memiliki kebudayaan yang mereka punya terutama dalam hal kesenian karena, eee, ini kalo kalo saya sendiri sih, eee, ngeliatnya, eee, sebagai sebagai ini ya generasi muda ya itu masih kayaknya masih kurang apa ya, minatnya tu kurang gitu lho untuk, eee, apa, terhadap keseniannya itu masih masih kurang gitu. Jadi, eee, dan apa ya, karena pengaruh dari luar juga dan, eee, kayaknya kalo untuk mengikuti, eee, perkembangan dari, e, budayanya sendiri tu kayaknya tu, ma, meee, apa ya, kayak kurang, kurang apa ya, jadi kan kesannya kayaknya kan kalo yang tradisional kan, emm, yang terkesan keterkesan kuno gitu kan, trus, eee, jadi mereka lebih cenderung, kee, apa, berkiblat ke yang barat-barat gitu, jadi ya itu lah, menimbulkan, eee, kurangnya kesadaran terhadap budayanya mereka sendiri gitu.” (W1.IE1. 11-24) Pada rentang 2007-2012, Malaysia sudah tujuh kali mengklaim budaya Indonesia sebagai warisan budaya mereka (Marboen, 2012). Peristiwa tersebut mencerminkan adanya penurunan upaya pelestarian budaya oleh pemilik budaya saat itu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Eki bahwa bangsa Indonesia belum memiliki kesadaran akan kesenian dan kebudayaan yang dimilikinya. Tambahnya, generasi muda bangsa Indonesia kurang memiliki minat terhadap kesenian tradisional, terutama Jawa. Kebanyakan peminat kesenian tradisional adalah generasi orang tua, yang tentu saja membutuhkan generasi muda untuk membantu melestarikan kesenian tradisional tersebut. Keledai tidak akan jatuh di tempat yang sama untuk kedua kalinya. Klaim budaya Indonesia, terutama kesenian budaya Jawa, menjadi peringatan besar bagi seluruh bangsa Indonesia agar menjaga kelestarian budayanya. Saat ini, sudah mulai marak diadakan gerakan mencintai kesenian budaya sendiri, salah satunya adanya hari Batik, sebagai warisan budaya Indonesia. Selain seni rupa, kesenian musik dan gerak juga mulai banyak
8
digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Terbukti dengan munculnya berbagai komunitas seni baru. Pergeseran nilai budaya akibat masuknya budaya lain menjadi keprihatinan tersendiri. Walaupun banyak komunitas seni yang kini telah bangkit, namun nilai-nilai asli dalam kesenian belum tentu dapat terus dilestarikan secara utuh. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sugeng. Menurutnya, local wisdom dalam kesenian tradisional kini telah memudar. Nilai asli dari kesenian kini telah banyak bercampur, selain dengan budaya lain, juga dengan agama tertentu. Kesenian tradisional kini sudah tidak sesemarak dan seasli dulu. Banyak warga yang kini telah meninggalkan, bahkan antipati terhadap kesenian tradisional, khususnya gamelan Jawa. Hanya segelintir orang yang masih peduli terhadap kesenian-kesenian tradisional tersebut. Beberapa pergeseran karakter bangsa Indonesia yang ditemukan peneliti adalah kekritisan berpikir tanpa sikap dewasa, kepemimpinan yang tidak jujur, sopan santun yang mulai berkurang, serta tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan. Karakterkarakter yang berkurang tersebut dibarengi dengan munculnya ketidaktentraman kehidupan masyarakat di negara Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, dan ras. Hal ini pun menggoyahkan sikap toleransi dari bangsa Indonesia yang berasal dari suku, agama, dan ras berbeda satu sama lain. Kondisi ini memerlukan pembangunan akan kecintaan terhadap budaya sendiri sekaligus sebagai pemulih karakter khas bangsa Indonesia yang memiliki sopan santun, kedewasaan dalam berpikir dan bersikap, tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan, serta toleransi terhadap perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan bangsa Indonesia saat ini semakin ditinggalkan dalam mengembangkan kepribadian bangsa Indonesia yang kuat. Karakter khas bangsa Indonesia sendiri terbentuk dari budaya-budaya yang ada di Indonesia. Nilai-nilai yang terdapat pada budaya-budaya
9
di Indonesia dapat dimanfaatkan dalam mengembalikan karakter bangsa yang menjadi permasalahan tersebut. Salah satu budaya yang berkontribusi dalam pembentukan karakter khas bangsa Indonesia adalah budaya Jawa. Eki merasa bahwa budaya Jawa mengajarkan sikap dan sopan santun melalui tata krama berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan tingkatan usia, “Ee.. setahu saya, ee.. ketika saya masih kecil saya dididik untuk bagaimana, ee.., yang terutama sekali pada bersikap dan berkomunikasi. Jelas kalau di dalam bahasa, e, di dalam budaya Jawa di masyarakat Jawa yang saya kenal itu, ee.., unggah-ungguh dan tata krama atau pun tata krama, atau pun cara berbahasa ada Bahasa Jawa yang sifatnya kromo inggil, ada yang ngoko dan ada yang, ee..., kromo campuran atau apa, saya kurang begitu paham, cuman yang jelas itu cukup, cukup, ee.., ee.., menjadi karakter, menumbuhkan karakter yang kental sekali dalam, dalam kehidupan saya. Seperti bagaimana bertatakrama yang baik, menjadi orang Jawa itu karena muncul dari didikan orang tua yang jelas-jelas mengajarkan unggah-ungguh dan tata krama serta cara berbahasa yang, ee.., membedakan antara saya harus menggunakan krama inggil, saya harus ngoko, itu cukup, itu, itu yang khas menurut saya.” (W1.IE2. 17-28) Hal senada juga dirasakan oleh Sugeng. Sugeng pun dididik dalam lingkungan budaya Jawa yang mengajarkan sikap dan sopan santun melalui tata krama berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan tingkatan usia serta gotong royong sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan dan toleransi pada orang lain. “Ee.., kalo jaman saya kecil, saya selalu diajarkan untuk, nek ngomong, istilah kalau pakai Basa Jawa, „nek ngomong karo wong tuwa ki boso, nganggo boso‟ ya boso maksudnya boso itu pake bahasa kromo inggil, mbak, ee.., ora ngoko, tidak bahasa kasar kalau bahasa Indonesia. Itu, itu dalam berbahasa. Kemudian dalam ber, berunggah-ungguh atau bertatakrama atau pun sikap bahasa tubuh ya dari bahasa tubuh, misalnya lewat di depan orang tua itu harus membungkuk. Ee.., kalo lewat di depan rumah orang ndherek langkung mbah, dan sebagainya. Kemudian di dalam keseharian, ee.., di depan masyarakat kami, waktu itu di desa ya, di desa jadi ada kegiatan yang, yang khas, kekhasannya ya khas itu kegiatan budaya Jawa seperti e kalo jaman sekarang disebut kerja bakti kalo dulu kerigan atau dalam bahasa, kalau orang bikin rumah bareng-bareng itu gotong royong atau sambatan. Nah, itu sejak kecil saya diajarkan untuk ikut sambatan atau pun gotong royong, misalnya tetangganya itu mbangun rumah, itu, terus membantu untuk naikin genting, ngi.., ee.., dengan, dengan ranting tangan itu. Jadi, dari satu orang ke orang yang lain terus urut itu, itu anak-anak remaja bahkan anak kecil ikut di situ budaya gotong royong. Ketika, terus, membenahi selokan untuk pengairan
10
di sawah itu ya kita yang remaja itu udah dilibatkan untuk membantu gotong royong. Di situ terjadi komunikasi yang, m.., yang sungguh, sungguh sangat, sangat baik untuk pendidikan karakter bagi anak-anak remaja, bagi anak-anak pada seumuran saya waktu itu. Bagaimana harus berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dan sebagainya. Seperti itu, diajarkan secara tidak langsung oleh orang tua saya, jadi tidak terus tiap hari didekte seperti pelajaran di sekolah, nggak, tapi pelajarannya melalui kehidupan bermasyarakat. Seperti itu.” (W1.IE2. 31-53) Pernyataan tersebut menjadi pertimbangan peneliti dalam menggunakan acuan budaya Jawa sebagai wadah pembentukan karakter bangsa Indonesia yang telah mengalami pergeseran. Hal ini pun didukung oleh beberapa pendapat ahli mengenai budaya Jawa. Budaya Jawa merupakan lingkungan etnis-tradisional yang memiliki persepsi pembangunan yang kokoh, berakar kuat dan mandiri di tengah arus informasi modern (Sastroatmodjo, 2006). Pengasuhan anak dalam keluarga Jawa lebih menekankan pada kontrol emosi diri dan harmoni dalam hubungan sosial (Lestari, 2012). Salah satu produk budaya yang menjadi media penyampaian pesan nilai-nilai budaya adalah kesenian. Menurut Sastroatmodjo (2006), pendidikan seni merupakan salah satu wadah yang relevan dalam pengetahuan kreativitas generasi muda. Bidang ini akan mengantar anak didik (subjek manusia) untuk mengalami proses pendewasaan secara bertahap (Sastroatmodjo, 2006). Menurut Nurhadiat (2004), seni memiliki sifat perasaan, pengertiannya dalam membuat karya seni selalu melibatkan emosi dan jiwa. Hal ini berarti seni mengandung nilai-nilai yang tentu saja memengaruhi perilaku seseorang yang menikmati dan menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Nurhadiat (2004) menjelaskan bahwa seni bersifat universal, yakni tidak mengenal batasan waktu, bahasa, bangsa dan lain- lain. Seni dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia tanpa harus memahami masing-masing karakteristik individu. Karya seni berfungsi sosial jika berhubungan dengan orang lain. Seni dapat menjadi media penerangan, media pendidikan, media agama, dan media hiburan (Nurhadiat, 2004).
11
Budaya Jawa juga masih melestarikan keseniannya, dengan pelaku yang berbedabeda dari generasi ke generasi. Kesenian tersebut tentu saja diajarkan turun-temurun oleh para orang tua Jawa kepada anak-anak mereka. Hal ini membuat para orang tua mengajarkan kesenian kepada anak-anak mereka, sekaligus nilai-nilai kehidupan dari budaya yang ada dalam seni tersebut. Suryanto Sastroatmodjo (2006) berpendapat bahwa kekuatan-kekuatan simbol-simbol dalam kebudayaan dapat menumbuhkan daya tangkap dan daya tanggap yang kuat atas diri generasi muda. Ia akan memperoleh peluang untuk mengintegrasikan segenap pengalaman cipta-rasa-karsanya, yang berarti mengembangkan daya hayat secara luwes dan serasi. Menurut Suryanto Sastroatmodjo (2006), isi pesan yang disampaikan oleh media kesenian tradisional berkaitan erat dengan derajat homophilie yang tinggi, yakni tingkat kesamaan dalam beberapa hal, seperti nilai-nilai, kepercayaan, pendidikan, dan status sosial antara pelaku kesenian tradisional sebagai komunikator dengan penonton kesenian tradisional sebagai komunikan. Derajat homophilie yang tinggi ini menyatakan bahwa isi pesan yang disampaikan pelaku kesenian tradisional akan banyak menggali kebiasaankebiasaan atau norma setempat yang berlaku. Hal ini tergantung pada
kemampuan
komunikator (pelaku kesenian tradisional) dalam menggiring khalayak kepada wawasan pemikiran luas dan maju (cosmopolitie) (Sastroatmodjo, 2006). Pernyataan tersebut menekankan pentingnya peran dari kedua belah pihak terhadap tersampaikannya pesan melalui media kesenian tradisional. Pelaku kesenian tradisional dituntut untuk dapat menyampaikan pesan tersebut secara menarik sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat penikmat kesenian tradisional. Kesenian tradisional yang ada pada budaya Jawa memiliki banyak cabang, salah satunya adalah gamelan sebagai musik budaya. Musik budaya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Menurut Merriam (dalam Sumarsam, 2003) terdapat
12
tiga fungsi musik budaya, yakni menjalankan kepaduan norma sosial, mengabsahkan institusi sosial dan ritual agama, dan menopang kelangsungan dan stabilitas kebudayaan. Hal ini menjamin kestabilan nilai budaya yang luhur walaupun hidup berdampingan dengan budaya lain yang memiliki nilai kurang baik. Musik budaya gamelan Jawa sudah ada sejak lama. Tak hanya orang tua saja yang menggemari musik tradisional Jawa ini, namun segelintir pemuda dan anak-anak menyukainya, terlebih yang tinggal di lingkungan dengan nilai budaya yang kental. Tak hanya sebagai hiburan, musik tradisional gamelan Jawa juga menjadi ajang ekspresi diri dari pemainnya. Hal ini terbukti dari banyaknya aransemen musik gamelan Jawa pada lagu-lagu populer kawula muda. Selain itu, musik gamelan Jawa juga sudah mulai digubah menjadi lebih modern sehingga tidak terkesan kuno. Hal inilah yang menyebabkan belakangan ini musik gamelan Jawa digemari dari generasi ke generasi. Modernisasi musik tradisional juga tidak menutup kemungkinan terhadap bergesernya nilai-nilai budaya Jawa itu sendiri. Eki, seorang mahasiswa FIB UGM penggemar musik gamelan, memiliki pendapat yang sesuai dengan pernyataan tersebut, “Mmm, yang jelas, yang paling kelihatan jelas itu ya, yang orang-orang tua gitu kan. Eee, terus kalo anak mudanya sebenernya ada, soalnya dari komunitas yang saya ikuti itu, itu juga sebenernya banyak anak mudanya, cuma memang, eee, apa ya, ya anak muda tertentu saja sih sebenernya yang, yang menggemari musik gamelan itu. Dan yang mereka, eee, menurut saya itu yang mereka sadar akan, apa, eee, sed, tentang budaya yang mereka punya gitu, jadi yang, eee, jadi kebudayaan itu patut, eee, wajib dilestarikan dan mereka, aaa, ingin ikut serta dan sebagai pelaku seni, eee, sebagai pelaku seninya langsung yang dia, eee, untuk melestarikan budayanya dia itu, dan, mmm, apa ya, dan ini sih, terutama, eee, apa, eee, yang di daerah-daerah mungkin ya kalo yang ininya, yang masih, masih pada suka. Tapi ini juga sih, nggak, nggak, nggak semua juga, soalnya di daerah-daerah pun, daerah, ya daerah ini sih, daerah, emm, mungkin pinggiran apa gitu juga nggak, apa kalo diliat sekarang apa juga nggak semua anak mudanya mau gitu lho, malah orang-orang tuanya, gitu. Tapi ya itu dari ini sih, kesadaran diri sendiri juga sebenernya. Cuma, emang kalo dilihat secara kasat mata emang kayaknya masih banyakan, lebih banyak orang tuanya deh daripada orang, eee, apa, yang anak-anak mudanya walaupun emang ada beberapa komunitas yang itu
13
isinya anak muda, yang dia menggemari gamelan. Seperti itu.” (W1.IE1. 161177) Kesenian tradisional gamelan Jawa walaupun tidak terlalu disenangi oleh generasi muda saat ini, tetap harus dilestarikan. Hal ini untuk mencegah semakin bergesernya karakter dan budaya bangsa Indonesia. SK menjelaskan bahwa
kesenian Jawa harus
mampu sejajar dengan kesenian lain untuk tidak egois dalam menghadapi perkembangan dunia. “Tapi bagaimana kemudian jaman globalisasi ini, kesenian Jawa ini mampu untuk mensejajarkan dengan jenis kesenian yang lain. Sehingga seorang guru kesenian harus tau itu, bagaimana jaman yang sedang berlaku. Kita jangan memaksakan kehendak bahwa sebuah egoisme yang ada pada seorang penampil, seorang guru kesenian itu kemudian diterapkan pada anak didiknya, mereka tidak bisa membaca seperti apa, ee.., perkembangan jaman sekarang. Harus manut, manut jaman kalakone. Jadi, umpamanya gamelan, gamelan bagaimana kemudian dicintai oleh anak muda? Kita bentuk suatu komposisi yang itu mengatasnamakan karakter muda, gitu kan.” (W1.S3. 161-169) Kesenian tradisional gamelan Jawa penting dilestarikan sebagai bentuk pelestarian budaya sendiri dari ancaman bangsa lain sehingga masih dapat berbangga pada kekayaan bangsa. Hal ini diungkapkan oleh Eki sekaligus menuntut peran generasi muda dalam pelestarian kesenian budaya Indonesia sebagai bentuk tanggung jawab terhadap warisan budaya sendiri. “Eee, itu, pentingnya itu terutama untuk menjaga kelestarian budaya ya, dan, eee, apa ya, kalo gamelan itu kan, eee, itu yang khas dari, apa, Indonesia terutama khususnya Jawa kan, jadi kalo misalnya sampe sekarang me, apa, terutama generasi muda sekarang, para pemuda Indonesia itu pun masih mempertahankan gamelan itu, dan bahkan bisa membawa gamelan sampe ke luar negeri itu kan suatu kebangsaan, eee, kebanggaan dan, apa, eee, apa ya, kebanggaan tersendiri, eee, kalo, kalo bisa bawa budaya itu sampe luar gitu lho, dan itu akan semakin, e, membuat Indonesia makin terkenal di mata dunia, gitu kan. Terus, eee, dan, apa ya, ya itu jadi, apa sih, eee, untuk sebagai identitas bangsa juga itu lho. Eee, jadi, apa ya, mmm, ya, terutama ini sih, untuk, eee, untuk, apa, kalo sekarang ini, kalo orang, eee, yang, yang pada main gamelan itu kan mereka juga targetnya bisa membawa gamelan sampe ke luar negeri kan, ya itu karena untuk pengen, biar bisa memperkenalkan gamelan gitu lho. Dan biar orang-orang tu tahu, dan jangan sampai, eee, malah orang luar negeri yang belajar ke Indonesia dan malah mereka jadi ahli di bidang itu, gamelan, terus, eh malah jadinya, lama-lama, karena kita nggak,
14
nggak mau itu kan, nerusin gamelan itu malah jadinya kita yang belajar dari orang luar negeri kan, emang kita nggak malu kayak gitu? Itu lho. Itu makanya penting banget untuk, apa, gamelan kalo, kalo untuk dipelajari sekarang gitu, dan, eee, apa, gamelan juga nggak, nggak kalah bagus kok kalo sama musik-musik la, aliran musik lain dan sebagainya, gitu. He‟e, jadi ya harus, ya, ya itu, eee, apa, itu budayamu, gitu. Itu kan warisan budaya juga kan yang, eee, apa, yang harus banget dan wajib dipertahankan gitu dan dilestarikan gitu. Jadi nggak usah malu lah gitu. Terus nah sekarang kan rasanya kan gamelan tu, eee, yang cuma buat orang tua lah atau apa gitu kan, dan, eee, identik dengan pemainnya juga yang udah tua-tua soalnya kan untuk nga, eee, ngiringin wayang gitu kan, dan wayang itu kan, apa, mmm, mainnya kan semalem suntuk gitu, dan yang kuat kan biasanya orang-orang tua gitu karena ya mereka terbiasa gitu lho dari dulu lho. Sekarang, jaman sekarang, eee, mana ada gitu anak muda yang mau wayangan gitu sampe pagi ya kan? Gitu. Hahaha, itu sih paling.” (W1.IE1. 63-90) SK menambahkan bahwa pelestarian kesenian tradisional gamelan Jawa menuntut kemampuan dari para pelatih sebagai pemimpin kelompok seni sekaligus komunikator pada masyarakat. Hal ini menjadi tanggung jawab dari para pelatih kesenian tradisional gamelan Jawa untuk menciptakan karakter seninya sesuai dengan karakter muda sehingga menjadi daya tarik bagi generasi muda dan masyarakat umum untuk melestarikan kesenian ini. “Tapi sekarang dengan beberapa pelatih, beberapa komposer karawitan itu menciptakan suatu karakter untuk anak-anak muda, sehingga daya tarik ini kemudian ditangkap oleh mereka.” (W1.S3. 200-202) Kesenian tradisional gamelan Jawa menjadi pilihan peneliti dalam penelitian ini karena memiliki ciri khas yang menekankan pada kebersamaan dan keberagaman. Hal ini sesuai dengan ciri khas bangsa Indonesia di mata dunia, yang pada akhirnya kini bergeser sehingga menjadi kurang memiliki toleransi, sopan santun, kejujuran, serta kedewasaan dalam bersikap dan berpikir. Alasan ini pun turut mengacu pada pendapat SK bahwa kesenian tradisional gamelan Jawa bersifat pancasilais, sesuai dengan dasar negara Indonesia. “Sangat penting. Karena, ee.., kalo saya, di dalam sebuah permainan gamelan ini bisa diatasnamakan sebuah pancasilais.” (W1.S3. 365-366)
15
“Karena apa? Dari masing-masing gamelan yang ada ini mempunyai tata cara tabuhan sendiri.” (W1.S3. 368-369) “Ini yang, yang dicapai adalah harmoni, hee..” (W1.S3. 378) SK menambahkan bahwa kesenian tradisional gamelan Jawa membutuhkan ketenangan dan karakter tertentu dari para pemainnya untuk menghasilkan nada dan irama sesuai dengan harmoni yang ingin dicapai. “Seratus persen. Karena apa? Orang bermain gamelan, itu kalo suasana hatinya, karakternya itu masih nggronjal, karakternya masih brangasan, itu tidak bisa, ber.., mereka harus bermain gamelan.” (W1.S3. 391-393) “Dia bermain rebab, dia harus mempunyai karakter yang sangat halus. Dia bermain gender, harus mempunyai sebuah keindahan, nilai estetisnya, begitu, yak. Dia bermain kendhang, dia harus mempunyai jiwa pemimpin yang tangguh. Dia bermain, ee.., bonang, dia harus bisa menciptakan beberapa tentang, ee.., kembang-kembang yang ada dalam sebuah kehidupan gamelan, dia harus mempunyai karakter yang sangat lembut. Tidak bisa kemudian karakter brangasan dia bermain gender atau bermain rebab, ndak bisa.” (W1.S3. 395-401) Alasan lain peneliti mengangkat kesenian tradisional gamelan Jawa dalam penelitian ini berkaitan dengan karakter adalah ketertarikan peneliti terhadap kesenian tradisional gamelan Jawa. Ketertarikan peneliti pada kesenian tradisional gamelan Jawa berawal dari perkembangan kesenian tradisional gamelan Jawa yang saat ini sudah mulai mengikuti perkembangan jaman, sehingga dapat disajikan dengan mengikuti selera generasi muda saat ini. Hal ini menurut peneliti menjadikan kesenian tradisional gamelan Jawa secara tidak langsung terakomodir dalam pelestariannya oleh segelintir generasi muda bangsa Indonesia. Peneliti pun merasa penasaran dengan karakter yang terbentuk pada pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa atas proses berkesenian yang telah mereka lalui dalam tahap yang tidak sebentar. Kecintaan komunitas terhadap kesenian tradisional Jawa, terutama gamelan, dapat menjadi counter culture terhadap perkembangan zaman yang semakin pesat. Menurut Theodore Roszak (dalam Sachari, 2007), counter culture (budaya tanding) merupakan
16
gerakan yang terjadi di berbagai negara yang mencoba mengkritisi kebudayaan Barat dan mencoba membangun alternatif baru dalam membangun kebudayaannya. Karakter pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa kini dapat dipertanyakan keadaannya mengingat adanya pengaruh budaya luar, sehingga menggeser nilai-nilai asli dan luhur kebudayaan setempat. Pembentukan karakter pada diri individu pun tidak dapat terlepas dari pengalamannya dalam rentang kehidupan. Hal ini pun dapat dialami oleh para pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa dalam lingkungan budaya Jawa yang melekat di diri mereka. Tembang macapat yang kerap dilantunkan dalam kesenian tradisional gamelan Jawa dan kehidupan sehari-hari pun dapat menggambarkan pengalaman diri individu dan tugas perkembangan individu dalam menjalani rentang kehidupannya sebagai manusia. Penelitian mengenai kesenian tradisional gamelan Jawa telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Rachmawati (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Program Kelompok Bermain Gamelan Jawa terhadap Kesejahteraan Emosi dan Keterampilan Sosial pada Remaja menemukan bahwa program kelompok bermain gamelan Jawa dapat meningkatkan kesejahteraan emosi dan keterampilan sosial pada remaja. Temuan penelitian tersebut merupakan salah satu karakter yang dibutuhkan dalam perkembangan diri individu.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pembentukan karakter pada pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa? 2. Faktor-faktor apa saja yang membentuk karakter pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa?
17
3. Karakter apa saja yang terbentuk pada pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah memberikan masukan kepada masyarakat luas mengenai salah satu media pembentukan karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai latar belakang, yakni kesenian tradisional gamelan Jawa, sekaligus sebagai bentuk pelestarian budaya, agar menjadi bangsa yang kuat dalam menghadapi era globalisasi. Hal yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah bentuk kontribusi kesenian tradisional gamelan Jawa sebagai media pembentukan karakter bangsa Indonesia melalui proses pembentukan karakter pelaku kesenian tradisional gamelan Jawan dengan pengaruh faktor-faktor pembentuk karakter pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa sehingga diketahui karakter yang terbentuk pada pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini memiliki manfaat teoritis, yakni menambah khasanah ilmu pengetahuan psikologi, terutama bidang psikologi sosial dan psikologi pendidikan. Hal ini dapat membantu para pembaca dalam memahami bagaimana pembentukan karakter pada pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa. 2. Manfaat Praktis Selain manfaat teoritis, penelitian ini juga memiliki manfaat praktis yang dapat diterapkan
dalam
kehidupan
sehari-hari
pembaca.
Pengetahuan
mengenai
pembentukan karakter pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama masyarakat yang memiliki kemiripan karakteristik dengan pelaku kesenian tradisional gamelan Jawa.