1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi birokrasi yang telah digagas pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2010 terus berlanjut hingga saat ini. Grand design reformasi birokrasi tersebut telah diprogramkan untuk periode 2010–2025. Reformasi birokrasi ini terbagi ke dalam tiga fase yaitu fase 2010-2014, fase 2015-2019, dan fase 2020-2024. Reformasi birokrasi saat ini sedang memaasuki fase kedua dalam kepemimpinan presiden Jokowi.Perpres Nomor 81 Tahun 2010 mengenai grand design reformasi birokasi memaparkan sasaran reformasi birokrasi pada lima tahun pertama berfokus pada penguatan birokrasi demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta meningkatkan kapabilitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Sasaran reformasi birokrasi pada lima tahun kedua yaitu melanjutkan upaya yang belum tercapai pada berbagai komponen strategis birokrasi pemerintahan pada periode terdahulu. Sasaran reformasi birokrasi pada lima tahun ketigaadalah peningkatan kapasitas birokrasi secara terusmenerus hingga menjadi pemerintah kelas dunia. Reformasi birokrasi dilatarbelakangi oleh krisis multidimensional yang melanda Indonesia di tahun 1997. Krisis tersebut mendorong reformasi diberbagai bidang seperti bidang politik, ekonomi, hukum, dan birokrasi, yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama. Pelaksanaan reformasi gelombang pertama jauh meninggalkan reformasi birokasi. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kembali mengagas dan menegaskan kembali pentingnya reformasi birokrasi di tahun 2004. Prinsip clean goverment dan good goverment menjadi landasan reformasi birokrasi untuk memberikan pelayanan prima bagi masyarakat. Periode kedua kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono kembali
1
2
menegaskan untuk melanjutkan reformasi birokrasi guna menghindari dari dampak krisis yang terjadi pada periode pemerintahan terdahulu. Pemerintahan mulai menyusun Grand Design Reformasi Birokrasi untuk kuran waktu 2010-2025 dan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Era pemerintahan Jokowi kembali melanjutkan dan menjalankan Grand Design dan menyusun Road Map 2015-2020. Pengesahan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kemudian berlaku efektif per 15 Januari 2014 menandai dimulainya babak lanjutan pembenahan birokrasi pemerintahan Indonesia. UU ASN menjadi tonggak sejarah reformasi birokrasi Indonesia dengan mengusung prinsip-prinsip New Public Management (NPM) dan mulai meninggalkan prinsip-prinsip lama model Webberian yang diusung UU Nomor 43 tahun 1999. Model Webberian didasarkan atas dokumen-dokumen tertulis dan pengambilan kepeutusan merujuk pada aturan-aturan yang didokumentasikan serta didasari kebiasaan pelaksanaan suatu kegiatan sebelumnya. Model Webberian dipandang memiliki struktur yang gemuk, lamban, dan tidak efektif. Desain struktur birokrasi yang hirarkis, bersifat komando, dan terpusat di sekelompok elite birokrasi, serta penerapan aturan yang bersifat kaku dan mutlak menjadikan model ini dipandang tidak dapat mengejar ketertinggalan dengan dinamika masyarakat dan pasar yang menuntut perubahan secara cepat. Kritikan terhadap model Webberian melahirkan tantangan bagi model pemerintahan terbaru yang disebut New Public Management (NPM). Model NPM merupakan hasil dari berbagai pendekatan yaitu revitalisasi ekonomi neoklasik, new institutional ecomics, public choice, dan penggambaran model yang menyerupai sektor swasta. Model NPM mendorong kesadaran terhadap pentingnya potensi teknologi informasi dalam menunjang peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik. Model NPM memiliki ciri-ciri diataranya disagregasi yaitu pemecahan hirarki-hirarki sektor publik, kompetisi penyedia sumber daya internal, dan skema remunerasi. Penerapan model NPM tampak melalui penerbitan UU
3
ASN. UU ASN memaparkan terkait penggolongan jabatan struktural dan fungsional bagi PNS diubah menjadi jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi. Sementara itu, di luar PNS terdapat pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (Setiawan, 2014). Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup banyak terkait birokrasinya. Isu-isu strategik seperti lemahnya penegakan hukum, rendahnya komitmen pencegahan
dan
pemberantasan
korupsi,
kualitas
akuntabilitas
kinerja
instansi
pemerintahan yang masih rendah, pengadaan barang dan jasa yang belum terselenggara secara efisien, organisasi yang gemuk dan tumpang tindih, hingga integritas dan sistem remunerasi dan peran Aparatur Pengawas Internal Pemerintah yang masih lemah. Isu-isu tersebut mengarahkan reformasi birokrasi kepada tiga sasaran yaitu birokrasi yang bersih dan akuntabel, birokrasi yang efektif dan efesien, serta birokrasi yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas. Pemenuhan sasaran tersebut perlu didukung dengan pembaharuan pada delapan aspek yaitu mental aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kelembagaan, tatalaksana, sumber daya manusia Aparatur Sipil Negara, peraturan perundang-undangan, dan pelayanan publik. Mental sebagai aspek pertama yang dikenali sebagai area perubahan menjadi poin kunci terhadap sasaran reformasi birokrasi yang telah ditetapkan. Mental memberikan pengaruh langsung kepada pengawasan, pelayanan, termasuk juga akuntabilitas dan kelembagaan. Hal ini sejalan dengan Rancangan Pembangunan Jangkah Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pemerintah baru yang memberi garis bawah pada revolusi mental. Revolusi mental aparatur menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan reformasi birokrasi selain penerapan teknologi dan informasi serta penguatan sistem manajemen sumber daya manusia ASN. Quick Wins dilakukan untuk pelaksanaan revolusi mental yang terdiri dari kampanye gerakan revolusi mental, penetapan organisasi kementerian kabinet
4
kerja, penghematan kegiatan operasional, penguatan manajemen ASN, penuntasan rekruitmen ASN, percepatan operasionalisasi Komisi Aparatur Sipil Negeri, dan penilaian pengelolaan pengaduan pelayanan publik. Pelaksanaan revolusi mental ASN dapat berhasil melalui lima kunci pelaksanaannya yaitu komitmen pemimpin, determinasi pantang menyerah, konsistensi, perlu pengorbanan, dan kesabaran. Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 menjabarkan bahwa berbagai perubahan dalam sistem penyelenggaraan negara, revitalisasi lembaga-lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum dilakukan dalam rangka membangun good goverment. Reformasi dalam bidang ekonomi telah mengantarkan Indonesia kembali ke dalam jajaran middle income countries (MICs). Namun disisi lain, perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN masih jauh dari harapan. Hal ini ditunjukkan dari corruption perception index Indonesia ditahun 2014 yang menempati posisi 117 dari 175 negara dengan poin 34 dari total keselurahan 100 (Wahyudi, 2015). Pelayanan publik pemerintah Indonesia belum dapat menunjukkan pelayanan yang prima sesuai dengan tantangan yang dihadapi yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Pemerintah belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor yang berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia. Hal ini tercermin dari data Doing Business 2016 dimana Indonesia menempati urutan 109 dari 189 negara (World Bank Group, 2016). Revolusi mental yang menjadi sarana percepatan reformasi birokrasi memaksa aparatur negara untuk bertransformasi diri menjadi aparatur yang lebih kompeten dan profesional. Permintaan dari internal instansi dan tuntutan dari masyarakat mendorong PNS untuk bergulat dengan perubahan serta peningkatan kinerja secara berkelanjutan guna menyukseskan reformasi birokrasi. Peningkatan kinerja yang terus dilakukan guna mencapai tingkatan good goverment masih meninggalkan beberapa permasalahan yang
5
harus segera diselesaikan. Salah satu permasalah tersebut ialah distribusi beban kerja yang tidak merata antar bagian. Beban kerja yang timpang antar bagian berdampak pada peningkatan stres kerja. Hal ini sejalan dengan penuturan salah satu responden pra penelitian ini. “Beban kerja tinggi to, jadi stres nya tinggi.” Negara melakukan proses seleksi yang ketat demi menemukan dan mendapatkan sumber daya manusia yang kompeten profesional. Hal ini tampak dari jumlah pelamar calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang menembus angka 2.603.780 padahal pemerintah hanya menyediakan 100.000 lowongan di tahun 2014 (Wahyuni, 2014). Setiap satu orang yang lolos menjadi calon pegawai negeri sipil telah menyisihkan 26 orang lainnya. Seleksi yang ketat ini harapannya dapat menghasilkan abdi-abdi negara yang memiliki kompetensi tinggi dan profesional. Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 1999 menyatakan bahwa Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Negara Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas pegawai negeri kemudian dijabarkan dalam pasal 3 UU Nomor 43 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa tugas pegawai negeri adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Pemerintah memberi berbagai macam tunjangan kepada pegawai negeri sipil guna pemenuhan hak pegawai serta menstimulus pegawai untuk memberikan performa yang maksimal. Tunjangan-tunjangan tersebut diantaranya tunjangan beras, tunjangan umum,
6
tunjangan anak dan istri, tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan struktural, dan tunjangan fungsional (wikipns.com, 2015). Pemerintah kembali menciptakan kebijakan baru guna meningkatkan kesejahteraan para abdi negara dengan memberikan tunjangan hari raya (THR) mulai tahun 2016. Pegawai negeri sipil akan berkesempatan mendapatkan 14 kali gajian yaitu 12 gaji bulanan, gaji ke-13, dan tunjangan hari raya (THR). Pemberian THR ini sebagai pengganti kebijakan kenaikkan gaji bagi pegawai negeri sipil (Ariyanti, 2015). Peneliti melakukan preliminary research pada tanggal 17 November 2015 guna mengungkap berbagai fenomena yang terkait stres kerja pada pegawai negeri sipil. Salah satu pegawai pada pra-penelitian menuturkan salah satu penyebab stres yang mereka alami. “Ya stres tinggi, karena pekerjaannya tiga: target, fungsi menyatukan data se-kabupaten, dan beban berhadapan langsung dengan konsumen yaitu masyarakat dan dewan/politik. Artinya disini ya lumayan stres. Unik lah, kan di kantor ini ada 5 bidang, nah lima bidang ini sudah mewakili seluruh PNS. Saya sudah pindah kerja 9 kali dan sama saja, stres juga.” Tugas pegawai negeri sipil yang sering kali bersinggungan dengan masyarakat luar cenderung menimbulkan stres. Tingginya interaksi pekerja dengan konsumen secara langsung umumnya lebih cepat meningkatkan stres dibandingkan ketika pekerja berinteraksi dengan data dan mesin (Siegrist, dkk., 2004). Usaha yang dikeluarkan oleh para pegawai negeri sipil ini juga telah diimbangi dengan adanya imbalan yang sesuai. Hal ini terungkap melalui penuturan salah seorang pegawai. “Kalau gaji saya pikir gak terlalu kecil. Karena ketika saya punya uang kan saya pengennya menghabiskan. Jadi bingung kalau uang saya banyak dan nggak ada waktu untuk menghabiskan. Waktu untuk menghabiskan uang nggak banyak. Kalau kesempatan pengembangan diri kalau saya dipilih ya saya laksanakan sebagai tugas.” Hal ini mengindikasikan adanya imbalan yang cukup sesuai dengan usaha yang telah dikeluarkan. Imbalan yang telah dirasa cukup oleh pegawai negeri sipil diantanya ialah gaji dan tunjangan yang cukup memadai serta adanya keamanan kerja. Namun, pengembangan
7
diri bagi pegawai negeri sipil masih kurang diperhatikan. Jumlah total pegawai negeri sipil Kabupaten Purworejo yang terhitung sebanyak 10.600 di tahun 2011 hanya 60 orang yang dikirim per tahun untuk mengikuti pelatihan pengembangan keahlian. Hal ini terbentur dengan minimnya anggaran dari pemerintah untuk pengembangan kemampuan pegawai negeri sipil. Adanya era globalisasi turut mendorong pengembangan pengukuran stres kerja. Awalnya pengukuran stres lebih banyak mengukur stres secara langsung baik melalui gejala fisiologis, emosi yang dirasakan, dan persepsi terhadap stres. Pengukuran stres secara langsung dapat menggunakan beberapa alat ukur diantaranya job related tension index oleh French dan Khan (1962), stress diagnostic survey oleh Ivancevich dan Matteson (1976), occupational stres inventory oleh Osipow dan Spokane (1980), occupational stres indicator oleh Cooper, Sloan, dan Williams (1988), dan job stress survey oleh Spielbeger (1991; Abbas & Ahmed,2014). Pengukuran stres yang umumnya berupa self report memiliki kelemahan subjektifitas yang sangat tinggi. Pengukuran stress secara tidak langsung diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih objektif. Karasek (1979) mencoba mengukur stres secara tidak langsung. Karasek menggunakan job demand dan job control untuk mengindikasikan tingkat stres. Karasek dan Theorell (1990; Dewe,2012) menawarkan model pengukuran stres baru yaitu mengukur stres dengan melihat job demand, job control, dan social support. Siegrist (1996) mengukur stres secara tidak langsung dengan melihat ketidakseimbangan antara effort dan reward. Demereoti (2001) mengajukan model pengukuran stres secara tidak langsung pula dengan melihat job demand dan job resources. Adams (1965) memaparkan teori social exchange yang menyatakan bahwa pekerja selalu berusaha menjaga keseimbangan antara investasi yang diberikan dan akibat dari pertukaran
dalam
hubungan
timbal
balik
tersebut.
Individu
yang
merasakan
8
ketidakseimbangan dalam proses timbal balik akan mengalami stres. Manusia menginvestasikan waktu, energi, dan kemampuan demi memenuhi tuntutan pekerjaan dan mendapatkan pengembalian berdasarkan pekerjaan yang telah dilakukan. Pekerja akan mengeluarkan effort tambahan jika menghadapi tuntutan kerja yang sangat berat dan menyebabkan stress. Ketika pekerja mampu mengkoping stres secara efektif dan memenuhi tuntutan pekerjaan maka keseimbangan antara investasi dan hasil akan seimbang. Di lain pihak, ketika pekerja tidak mampu mengkoping dengan efektif dan tuntutan pekerjaan tidak terpenuhi maka pekerja tidak mencapai keseimbangan (Hu, Schaufeli, & Taris, 2016). Hal ini sejalan dengan teori effort reward imbalance yang akan digunakan sebagai model dalam menjelaskan stress dalam penelitian ini. Stres terjadi ketika pekerja yang mengeluarkan effort tinggi namun mendapatkan reward yang tidak sepadan sehingga pekerja mengalami stres (Siegrist, 1996). Effort dan reward
yang
dihitung secara terpisah tidak dapat memberikan estimasi yang lebih akurat dibandingkan kombinasi keduanya (Siegrist, Starke, Chandola, Godin, Marmot, Niedhammer, & Peter, 2004). Perspektif effort reward imbalances dianggap sesuai dengan konteks hubungan industrial yang bersifat transaksional saat ini. Tingginya persaingan global, waktu kerja yang lebih panjang, dan perubahan teknologi mengiring terbentuknya stressor-stressor yang semakin unik dan bervariasi sehingga dibutuhkan model pengukuran stres yang sesuai dengan situasi dunia pekerjaan saat ini. Skala ERI hadir untuk menjawab hubungan timbal balik antara input dan output yang dilakukan dalam hubungan pekerja dengan organisasi. Penggunaan skala ERI telah digunakan pada beberapa negara diantaranya Jepang (Irie, Tsutsumi, Shioji, & Kobayashi, 2004), Swedia (Fahlen, et al., 2006), Korea Selatan (Eum, Li, Lee, Kim, Paek, Siegrist, & Cho, 2007), Norwegia (Lau, 2008), Belgia (Derycke, Vlerick, Burnay, Decleire, D’Hoore, Hasselhorn, & Braeckman, 2010), Pakistan
9
(Rehman, Khan, & Afzal, 2010), Jerman (Sperlich, Peter, & Geyer, 2012), Finlandia (Rantanen, Feldt, Hyvonen, Kinnunen, & Makikangas, 2013), Arab Saudi (Almadi, Cathers, & Chow, 2013), Taiwan (Chen, Gau, Pikhart, Peasey, Chen, & Tsai, 2014), dan Indonesia (Widanarko, Legg, Devereux, & Stevenson, 2015).
Skala effort reward
imbalances penggunaannya masih sangat minim sekali di Indonesia. Widanarko (2015) pertama kali mengadaptasi skala ini ke dalam bahasa Indonesia dan digunakan untuk mengukur tingkat stres pekerja tambang. Work-life balances juga mempengaruhi tingkat stres kerja. Para pegawai negeri sipil juga memiliki kehidupan pribadi yang harus di jalani, selain mengabdi pada negara. Sering kali para pegawai lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja sehingga kewajibankewajiban peran lainnya terabaikan. Hal ini lebih sering dirasakan oleh para kaum hawa dikarenakan selain membantu mencari nafka mereka harus tetap menjalankan tugas-tugas domestiknya. Stres kerja dan kondisi dalam keluarga berdampak pada tingkat kematian wanita karier di Amerika (Sabbath, Mejia-Guavara, Noelke, & Berkman, 2015). Selain itu, satu diantara sepuluh pekerja pria yang baru memiliki anak menghadapi work family conflict dikarenakan pekerjaanya (Cooklin, Giallo, Strazdins, martin, Leach, & Nicholson, 2015). Berikut ini merupakan penuturan salah seorang responden pra-penelitian terkait work family conflict yang kerap kali dihadapi. ”Satu masalah misal dalam keluarga, nah kalau ada pekerjaan yang sebenarnya mudah jadi nggak enjoy jadi gak bener. Makanya dalam pekerjaan ini kalau datang ke kantor harusnya dalam suasana enak. Jadi urusan rumah tidak dibawa ke kantor, urusan rumah juga tidak dibawa ke kantor.” Work family conflict menjadi prediktor kelelahan emosi bagi para pekerja (Rubio, 2015). Kelelahan emosi ini akan berdampak pada pembentukkan stres. Sering kali permasalahan yang terjadi di kantor bisa berimbas terhadap keharmonisan kehidupan keluarga. Saat ini tengah beredar tren baru di kalangan pegawai negeri sipil yaitu meningkatnya angka perceraian. Berdasarkan data pengadilan agama Magelang sejak
10
Januari sampai Maret 2015 terdapat empat perkara cerai gugat dan enam perkara cerai talak yang melibatkan pegawai negeri sipil (tribunnews.com, 2015). Hal ini mengindikasikan adanya konflik hubungan personal dan pekerjaan yang berdampak pada ketidakharmonisan keluarga. Selain itu, ketika pegawai tidak mampu bersifat profesional dan bergantung pada mood maka pegawai juga tidak dapat memberikan performa yang maksimal dalam bekerja. Work life balances merupakan isu yang sedang hangat dibahas di dunia industri. Seiring dengan peningkatan stres kerja yang tinggi, organisasi-organisasi di dunia mulai meningkatkan kesadarannya. Organisasi mulai menyadari bahwa pekerja akan lebih produktif ketika ia bisa membagi waktu dan menjalankan peran lainnya di luar perannya sebagai pekerja. Banyak organisasi mulai mencanangkan family-friendly policy guna menunjang kebutuhan pekerja. Negara sendiri telah menetapkan peraturan terkait cuti bagi pegawai negeri guna menunjang kebutuhan pegawai. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1976 yang mengatur terkait cuti pegawai. Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa pegawai negeri sipil wanita yang mengalami gugur kandung berhak atas cuti sakit untuk paling lama satu setengah bulan. Selain itu, pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa untuk persalinan anaknya yang pertama, kedua, ketiga, pegawai negeri sipil wanita berhak untuk cuti bersalin. Pasal 22 (a) juga menyatakam bahwa yang dimaksutkan dengan cuti alasan penting adalah cuti karena ibu, bapak, isteri/suami, anak, adik, kakak, mertua atau menantu sakit keras atau meninggal dunia. Cuti-cuti diatas merupakan salah satu bentuk familyfriendly policy yang ditetapkan negara untuk meminimalisir terjadinya work family conflict. Work family conflict yang rendah akan membantu pekerja mencapai tingkat work life balance yang tinggi. Pekerja yang dilaporkan memiliki work life balances yang tinggi mengalami stress yang lebih jarang dibandingkan pekerja yang sulit menyeimbangkan
11
kehidupan personal dan pekerjaannya (Thompson, 2006). Pekerja yang sering kali mengabaikan peran dan
tanggung jawab di luar pekerjaan umumnya tidak dapat
memberikan perfoma yang maksimal dalam pekerjaannya (Nohe, Michel, & Sonntag, 2014). Pekerja yang tidak mampu menyeimbangkan work life balancenya harus mengeluarkan effort yang lebih guna menyempurnakan kinerja yang tidak maksimal. Effort tinggi yang dikeluarkan pekerja bagi organisainya dapat meningkatkan dampak stres kerja. Spence dan Robbins (1992 dalam Aziz, Wuensch, & Bandon, 2010) mengidentifikasi enam tipe pekerja berdasarkan tinggi rendahnya keterlibatan kerja, dorongan kerja dan kesenangan dalam bekerja. Tipe-tipe pekerja yang dijabarkan diantaranya workaholic, positively engaged worker, work enthusiast, relaxed worker, disenchanted worker, dan uneganged worker. Penelitian yang dilakukan Aziz dkk. (2010) menemukan bahwa workaholic memiliki tingkat work-life balance yang burukdibandingkan dengan work enthuasiast, sedangkan uneganged worker dan relaxed worker memiliki tingkat work-life balance yang baik. Workaholic menghabiskan banyak waktunya untuk memikirkan dan terlibat dalam pekerjaan, namun workaholic tidak menikmati pekerjaan. Hal ini mengarahkan workaholic mengalami ketegangan dalam hubungan dengan keluarga, teman, rekan kerja, dan anggota dari masyarakat. Akibat dari work-life imbalance menyebabkan workaholic rentan terpapar stres dan permasalahan kesehatan. Tabel 1. Tipe Pekerja oleh Spence dan Robbins Worker type Workaholic Positively engaged worker Work enthusiast Relaxed worker Disenchanted worker Unengaged worker
Work involvement High High High Low Low Low
Work drive High High Low Low High Low
Work enjoyment Low High High High Low Low
Peran pemimpin memberikan pengaruh bagi tingkat stres pekerja. Seorang pemimpin yang memiliki ciri pemimpin autentik dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,
12
mengurangi tingkat stres pekerja, meningkatkan kepuasan kerja, dan menurunkan tingkat turnover (Laschinger, Wong, & Grau, 2012). Seorang pemimpin autentik memiliki ciri yaitu : a) memiliki self understanding yang tinggi, b) terbuka terhadap masukan dan kritik, c) merealisasikan ide-idenya melalui tindakan, dan d) berorientasikan pada hubungan interpersonal baik dengan bawahan maupun lingkungan yang lebih luas (Kernis & Goldman, 2006 dalam Gardner, Cogliser, Davis, & Dickens, 2011). Berdasarkan salah satu penuturan responden pra-penelitian merasa mendapatkan sosok pemimpin yang mengayomi sehingga berdampak pada hasil pekerjaanya. “Alhamdulillah atasan langsung saya enak semua, memberi motivasi, peluang. Mulai dari capek (calon pegawai) jadi langsung enak. Kalau ada kendala jadi langsung konsultasi, kalau pekerjaan belum selesai atasan memberi diskusi. Tidak hanya memberi perintah tapi juga memantau.” Deskripsi pemimpin yang dipaparkan oleh salah seorang pegawai negeri sipil menunjukkan salah satu ciri pemimpin autentik yang berorientasikan pada hubungan interpesonal. Tidak hanya beroriantasikan hasil yang memuaskan tetapi juga menjalin hubungan yang hangat dan kekeluargaan di lingkungan kerja. Pemimpin autentik juga dapat meningkatkan tingkat kepercayaan dan kedekatan hubungan interpersonal antara atasan dan bawahan (Avilio & Gadner, 2005). Kepemimpinan autentik mempengaruhi effort yang lebih kecil dalam pekerja. Bawahan yang mendapatkan bimbingan dari atasan yang mengedepankan perkembangan pegawainya dan selalu menjalin hubungan yang terbuka maka pegawai akan lebih mudah mengerjakan setiap pekerjaannya. Penelitian terkait kepemimpinan sudah banyak sekali dikembangkan. Berbagai teori kepemimpinan telah dibentuk mulai dari pemimpin diktaktor, pemimpin demokratis, pemimpin yang mengemukakan hubungan relasional hingga pemimpin Laisses-Faire yang memfokuskan usaha minumun untuk mencapai pekerjaan yang maksimal. Burns dan Bass juga memaparkan jenis pemimpin transaksional dan pemimpin transformasional (Schermerhorn, 2012). Kemudian Gardner dan Avilio dkk. (2005) mulai mengembangkan
13
teori kepemimpinan baru yang mengarahkan pada teori psikologi positif yaitu kepemimpinan autentik. Teori ini masih terus dikembangkan secara berkelanjutan. Penelitian yang membahas kaitan stres kerja dengan kepemimpinan autentik sudah mulai berkembang. Namun penelitian yang membahas variabel work life balances dan kepemimpinan autentik yang dikaitkan dengan stres kerja secara bersamaan masih minimnya. Selain itu, penelitian yang membahas pegawai negeri sipil di Indonesis juga masih sangat minim. Oleh karena itu, peneliti mengembangkan penelitian yang membahas tiga varibel di atas pada pegawai negeri sipil.
14
B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui hubungan antara work-life balances dan kepemimpinan autentik terhadap stres kerja baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Mengetahui sumbangan efektif dari work-life balances dan kepemimpinan autentik terhadap stres kerja. C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapakan mampu memberikan sumbangan secara konseptual dan pengembangan teori khususnya di bidang Psikologi Industri dan Organisasi tentang dinamika work-life balances dan kepemimpinan autentik dengan stres kerja. Penelitian ini diharapkan mampu mendorong pengembangan dan penggunaan skala ERI di Indonesia. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Purworejo dalam menurunkan tingkat stres dan mengembangkan penerapan work-life balances bagi seluruh jajaran staff sehingga pegawai dapat bekerja lebih efektif dan efisien lagi. Selain itu data ini bisa menjadikan masukan guna menanamkan nilai-nilai kepemimpinan autentik bagi jajaran petingginya. Data penelitian ini harapannya bisa menjadi rujukan bagi pembentukan intervensi yang dibutuhkan ke depan.